STUDI ANALISA HUBUNGAN FREKUENSI
DENGAN PENENTUAN TRANSFER DAYA PADA JALUR INTERKONEKSI SUBSISTEM SUMSEL – LAMPUNG
(JURNAL)
Oleh
Muhammad Hakam Sidiq (1) Drs. Agus Santoso, ST., MT(2)
Yenni Afrida, ST., M,Pd.T (3)
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2016
STUDI ANALISA HUBUNGAN FREKUENSI
DENGAN PENENTUAN TRANSFER DAYA PADA JALUR INTERKONEKSI SUBSISTEM SUMSEL – LAMPUNG
Muhammad Hakam Sidiq (1) Drs. Agus Santoso, ST., MT(2) Yenni Afrida, ST., M,Pd.T (3)
Abstract: The subsystem Lampung occur disconnections between power generation with load power, which supplies power generation Lampung is still lacking compared to consumers who are in the subsystem Lampung. So, to meet the power shortage the data transfer occurs between subsystem Southern Sumatra to Lampung. Evacuation of Sumsel – Lampung power subsystem that uses path backbone conductive Bukit Asam – Baturaja 1.2 is very susceptible to interference, so it is possible the occurrence of a total blackout for power evacuation difficult path due to reduction in the frequency subsystem of Sumsel – Lampung pretty high on the Lampung subsystem that can touch settings under frequency relay on plants in Lampung subsystem. To anticipate that is necessary for the calculation of the value of the transfer restrictions on interconnection lines Sumsel – Lampung subsystem in order to avoid a total blackout subsystem Lampung.
Key words : Frequency, Interconnection, Power Transfer..
Abstrak: Pada Subsistem Lampung terjadi ketidakseimbangan antara daya pembangkitan dengan daya beban, dimana pasokan daya pembangkitan Lampung masih kurang dibandingkan dengan beban konsumen yang berada di subsistem Lampung. Maka untuk memenuhi kekurangan daya tersebut terjadi transfer daya antara Subsistem Sumsel dengan Subsistem Lampung. Evakuasi daya subsistem Sumsel – Lampung yang menggunakan jalur Backbone penghantar Bukit Asam – Baturaja 1.2 sangat rentan terhadap gangguan. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya pemadaman total subsistem atau blackout parcial akibat tripnya jalur evakuasi daya subsistem Sumsel – Lampung akibat penurunan frekuensi cukup tinggi pada subsistem Lampung sehingga dapat menyentuh seting under
Frekuensi relay pada pembangkit di subsistem Lampung. Untuk mengantisipasi
hal tersebut, maka diperlukan perhitungan untuk pembatasan nilai transfer pada jalur interkoneksi subsistem Sumsel – Lampung agar tidak terjadinya pemadaman total subsistem Lampung.
Kata kunci : Frekuensi, Interkoneksi,Transfer Daya.
s 1
Mahasiswa Teknik Elektro 2
Dosen Pembimbing I 3
1. PENDAHULUAN
Untuk keperluan penyediaan tenaga listrik bagi para pelanggan, diperlukan berbagai peralatan listrik. Berbagai peralatan listrik ini
dihubungkan satu sama lain
mempunyai interelasi dan secara keseluruhan membentuk suatu sistem tenaga listrik. Yang dimaksud dengan sistem tenaga listrik disini adalah sekumpulan pusat listrik dan gardu induk (pusat beban) yang satu sama lain dihubungkan oleh jaringan
transmisi sehingga merupakan
sebuah kesatuan interkoneksi.
Sistem tenaga listrik harus mampu menyediakan tenaga listrik bagi konsumen dengan frekuensi yang konstan, oleh karena itu antara daya pembangkit dengan daya beban
diupayakan agar seimbang.
Terjadinya kenaikan frekuensi berarti daya pembangkitan lebih besar dari daya beban, sebaliknya apabila beban yang dilayani lebih besar dari daya yang dibangkitkan maka akan terjadi penurunan frekuensi.
Dalam operasi real time, frekuensi sistem selalu berubah-ubah dikarenakan beberapa hal, antara lain
beban yang selalu dinamis,
pemutusan beban secara mendadak akibat gangguan pada saluran transmisi atau distribusi, dan gangguan pada pembangkit yang sedang beroperasi. Ketiga hal di atas
tentu sangat mempengaruhi
keamanan operasi dari pembangkit karena generator sinkron cenderung
beroperasi stabil pada rentang frekuensi tertentu.
Sistem tenaga listrik di Sumbagsel terdiri dari tiga Subsistem yang saling berinterkoneksi, yaitu
Subsistem Sumsel, Subistem
Lampung dan Subsistem Bengkulu. Penghubung jalur interkoneksi antara Subsistem Sumsel dengan Lampung ialah SUTT Bukit Asam – Baturaja, sedangkan antara Subsistem Sumsel dengan Bengkulu ialah SUTT Lubuk Linggau - Pekalongan.
Subsistem Sumsel dengan sumber daya alam berupa gas dan batubara yang banyak menjadikan Subsistem Sumsel memiliki daya pembangkitan yang lebih besar dibandingkan dengan Subsistem yang lainnya. Pada Subsistem Lampung terjadi ketidakseimbangan antara daya pembangkitan dengan daya beban, dimana pasokan daya
pembangkitan Lampung masih
kurang dibandingkan dengan beban konsumen yang berada di subsistem Lampung. Maka untuk memenuhi kekurangan daya tersebut terjadi transfer daya antara Subsistem Sumsel dengan Subsistem Lampung.
Tripnya pembangkit secara mendadak akibat gangguan internal atau gangguan pada saluran transmisi jalur backbone Subsistem Lampung dapat mengakibatkan penurunan frekuensi cukup tinggi pada sistem.
Penurunan frekuensi akan
mengganggu kestabilan dari
Sesuai Aturan Jaringan PLN
Sumatera, range pengaturan
frekuensi pada sistem adalah (50 ± 0,5Hz) agar pembangkit dapat beroperasi secara normal dan setelan
under frekuensi relay pada
pembangkit adalah sama (47.5 Hz) pada setiap pembangkit kecuali permintaan PLN P3B Sumatera sehingga sangat mungkin terjadi pemadaman total subsistem atau
blackout partial akibat tripnya jalur
evakuasi daya subsistem Sumsel – Lampung akibat penurunan frekuensi
cukup tinggi pada subsistem
Lampung sehingga dapat menyentuh setting under Frekuensi relay pada pembangkit di subsistem Lampung. Oleh karena itu, perlu ditentukan pembatasan nilai transfer pada jalur interkoneksi subsistem Sumsel – Lampung.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Sistem Interkoneksi
Permintaan beban konsumen pada umumnya sangat dinamis setiap
saat untuk berbagai ragam
penggunaan yang tidak bisa
diprediksi secara pasti. Keadaan ini perlu diantisipasi dengan penyediaan pasokan listrik yang cukup dan dapat
merespon kondisi beban yang
dinamis tersebut. Pusat-pusat Pembangkit listrik umumnya jauh dari bebannya dan tersebar di wilayah yang berbeda-beda. Kondisi ini membutuhkan sistem jaringan interkoneksi antar pembangkit dan demand di sejumlah wilayah yang
secara teknis dan topologis masih memenuhi kriteria keandalan dan keenomian. Tujuan interkoneksi Sistem Tenaga Listrik adalah untuk alasan ekonomis dan keandalan pasokan listrik ke pelanggan yang terus meningkat. Interkoneksi sistem tenaga sangat dibutuhkan dalam upaya mengikuti tuntutan demands saat ini dan antisipasi perkembangan sistem ke depan yang semakin luas dan komplek.
Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik Interkoneksi
2.1.2 Daya aktif dan Frekuensi
Daya aktif mempunyai
hubungan erat dengan nilai
frekuensi dalam sistem, sedangkan beban sistem selalu berubah sepanjang waktu. Sehubungan dengan hal ini, maka untuk mempertahankan frekuensi dalam batas toleransi yang diperbolehkan, penyediaan / pembangkitan daya aktif dalam sistem harus disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan atas daya aktif. Penyesuaian daya aktif ini dilakukan dengan mengatur
besarnya kopel penggerak
generator.
Penambahan kopel pemutar generator memerlukan tambahan bahan bakar pada unit pembangkit
termis dan pada unit PLTA
karenanya produksi MW memerlukan bahan bakar pada unit pembangkit termis dan memerlukan sejumlah air pada unit PLTA.
Menurut hukum Newton ada hubungan antara kopel penggerak mekanis penggerak generator dengan perputaran generator, yaitu :
Hal ini berarti bahwa pengaturan frekuensi dalam sistem berarti pula pengaturan kopel penggerak generator atau juga pengaturan daya aktif dari generator. Ditinjau dari segi mesin penggerak
generator ini berarti bahwa
pengaturan frekuensi sistem adalah pengaturan pemberian bahan bakar pada unit termis dan pengaturan pemberian air pada unit PLTA.
Ditinjau dari segi beban sistem, frekuensi akan turun apabila daya aktif yang dibangkitkan tidak mencukupi kebutuhan beban dan sebaliknya frekuensi akan naik apabila ada surplus daya aktif dalam sistem. (Tg – Tb) = ∆T < 0, maka dω / dt < 0, frekuensi turun (Tg – Tb) = ∆T > 0, maka dω / dt > 0, frekuensi naik 2.1.3. Transfer Daya
Pada suatu sistem tenaga listrik terjadi ketidakseimbangan antara daya pembangkit dan beban maka akan mempengaruhi besarnya nilai frekuensi dimana jika beban yang dilayani lebih besar dari
kemampuan pembangkit akan
menyebabkan penurunan frekuensi pada sistem tersebut. Sebaliknya apabila daya pembangkitan lebih besar dari beban akan terjadi kenaikan frekuensi. Pada suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem, dimana subsistem ini akan saling membantu dalam memenuhi ketidaksetimbangan daya. Dimana jika terdapat suatu subsistem yang
mengalami kekurangan daya
pembangkit, maka subsistem lain yang memiliki daya pembangkit yang lebih akan mentransfer daya
melalui SUTT (Saluran Udara
Tegangan Tinggi) untuk memenuhi kebutuhan daya subsistem yang
mengalami kekurangan daya
tersebut.
2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penurunan Frekuensi
2.2.1. Persentase Beban Lebih
Besarnya beban lebih
ditentukan dengan membandingkan daya pembangkit yang hilang dengan
daya pembangkit yang masih
beroperasi atau membandingkan jumlah beban yang tidak dapat dipikul yang disebabkan hilangnya pembangkitan dengan beban yang
masih dapat dipikul oleh pembangkit yang tersisa.
Persentase kelebihan beban (persen overload = OL) didefinisikan sebagai berikut: 𝑂𝐿 = 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑘𝑖𝑡𝑎𝑛 𝑆𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑘𝑖𝑡𝑎𝑛 𝑥 100% (2.1) Atau 𝑂𝐿 = 𝐷𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑘𝑖𝑡𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑖𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑘𝑖𝑡𝑎𝑛 𝑥 100% (2.2)
Definisi persentase kelebihan beban secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑂𝐿 =𝑃𝐿− (𝑃𝐺0− ∆𝑃𝐺) 𝑃𝐺0− ∆𝑃𝐺 𝑥 100% (2.3) Atau 𝑂𝐿 = ∆𝑃𝐺 𝑃𝐺0− ∆𝑃𝐺 𝑥 100% (2.4) Dimana:
𝑃𝐿 = kebutuhan beban sistem 𝑃𝐺0 = daya pembangkitan mula-mula ∆𝑃𝐺 = daya pembangkitan yang hilang
Jadi dengan mengetahui
persentase kelebihan beban, dapat diketahui tingkat ketidakseimbangan antara daya pembangkitan dengan kebutuhan beban suatu system. 2.2.2. Konstanta Inersia Sistem
Energi kinetik dari suatu sistem tenaga listrik adalah merupakan jumlah energi kinetik dari unit-unit pembangkit ditambah
dengan energi kinetik dari bebannya sendiri.
Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Et= 𝐸𝑖 𝑘
𝑖=1
+ Energi kinetik beban (2.5)
𝐸𝑖 = 𝐺𝑖 . 𝐻𝑖 (2.6) Sehingga:
Et= 𝐺𝑖 . 𝐻𝑖 𝑘
𝑖=1
+ Energi kinetik beban (2.7)
Dimana:
𝐸𝑡 = Energi kinetik total sistem (MW.detik) 𝐸𝑖 = Energi kinetik yang tersimpan di pembangkit ke-1 (MW.detik)
𝐺𝑖= Rating unit pembangkit ke-1 (MVA) 𝐻𝑖 = Konstanta inersia mesin ke-1 (MW.detik/MVA)
K = jumlah pembangkit
Harga konstanta inersia (H) dari suatu unit pembangkit biasanya telah ditentukan oleh pabrik pembuatannya atau dapat juga
ditentukan dengan persamaan
berikut:
𝐻 =𝐸𝑛𝑒𝑟𝑔𝑖 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑡𝑖𝑘 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 (𝑀𝑊. 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘)
𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 (𝑀𝑉𝐴) (2.8)
Pada saat terjadinya
kekurangan pembangkit, maka
kelebihan beban tersebut mula – mula dilayani sebagai energi kinetik yang dimiliki mesin – mesin. Setelah energi kinetik tersebut habis maka frekuensi akan turun hingga nilai tertentu.
Konstanta inersia sistem hanya berpengaruh pada masa peralihan setelah suatu ketidakseimbangan terjadi untuk memberikan waktu yang cukup bagi pengaturan primer dan sekunder untuk menambah daya pembangkit. Makin besar harga H makin lambat sistem mencapai frekuensi akhirnya. Jadi besaran H ini merupakan ukuran dari kekakuan dari sistem. Semakin besar harga H semakin kaku pula sistem itu terhadap gangguan.
2.2.3. Indeks Karakteristik Frekuensi Daya Beban (d)
Jika 𝑃𝐿0 adalah permintaan beban pada frekuensi normal (𝑓0) maka beban yang terdiri bermacam – macam jenis itu dapat dinyatakan sebagai daya yang tergantung secara eksponensial terhadap frekuensi, yang dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝑃𝐿 = 𝑃𝐿0 𝑓 𝑓0
𝑑
(2.9) Dimana: 𝑃𝐿= Permintaan beban pada frekuensi sembarang
f = frekuensi sembarang
d = suatu indeks yang berhubungan
dengan karakteristik
frekuensinya
Pengaruh daya akibat
perubahan frekuensi, Jika beban sistem seluruhnya bersifat tahanan (resistif murni) maka harga d akan mendekati nol, artinya permintaan
beban tidak dipengaruhi frekuensi. Jika komposisi beban makin bersifat induktif maka harga d akan makin besar.
2.3. Perhitungan Penurunan
Frekuensi karena Gangguan Unit Pembangkit
Penambahan beban secara
mendadak mempunyai dampak
menurunkan frekuensi sistem, begitu pula apabila ada unit pembangkit yang terganggu dan trip (jatuh) dari sistem, dampaknya juga menurunkan frekuensi.
Sebelum ada unit pembangkit yang trip, keadaan adalah seimbang, artinya daya yang dibangkitkan dalam sistem 𝑃𝐺 = beban 𝑃𝐵. Jika unit pembangkit yang trip sebelum trip membangkitkan daya sebesar 𝑃𝑆 ke dalam sistem, maka pada saat unit ini trip dalam sistem terjadi kekurangan daya yang dibangkitkan sebesar 𝑃𝑆. Kekurangan daya inilah yang menyebabkan frekuensi turun. Secara fisik, kekurangan daya ini menyebabkan kopel yang dihasilkan generator – generator dalam sistem 𝑇𝐺 menjadi lebih kecil daripada kopel beban 𝑇𝐺 sehingga menurut persamaan dibawah ini:
∆𝑇 = 𝑇𝐺− 𝑇𝐵 adalah < 0 Nilai ∆𝑇 < 0 ini menyebabkan terjadinya percepatan negatif atas kecepatan sudut rotor generator, karena
∆𝑇 = 𝐼 𝑑𝜔
Dimana I = nilai momen inersia bagian – bagian yang berputar dalam sistem. Dinyatakan dengan
frekuensi melalui persamaan
𝜔 = 2𝜋𝑓 didapat: ∆𝑇 = 𝐼. 2𝜋𝑑𝑓
𝑑𝑡 (2.11) ∆𝐹0 = frekuensi sistem
𝑃𝐺0 = besarnya daya yang
dibangkitkan dalam sistem sebelum ada gangguan unit pembangkit
𝑃𝑆0 = besarnya selisih daya antara yang dibangkitkan dengan beban setelah ada gangguan, dalam hal ini = sebenarnya daya yang dibangkitkan oleh unit yang terganggu
𝑃𝐵0 = baban sistem sebelum
gangguan
𝑇0 = saat terjadinya gangguan unit pembangkit Maka: 𝑇𝐺 . ω0=𝑃0 (2.12) ∆𝑇𝜔0 = 𝑃0− 𝑃𝑆0 − 𝑃𝐵0 = −𝑃𝑆0 (2.13) 𝑃0 = 𝑃𝐵0 karena sebelum
gangguan daya dibangkitkan adalah sama dengan beban tanda negatif menunjukkan adanya kekurangan daya yang dibangkitkan. Persamaan (2.11 ) bersama persamaan (2.13 ) menghasilkan: −𝑃𝑆0 𝜔0 = 2𝜋𝐼 𝑑𝑓 𝑑𝑡 (2.14) −𝑃𝑆0 = 2𝜋 𝐼 𝜔0 𝑑𝑓 𝑑𝑡 (2.15) Karena 𝜔0 = 2𝜋 𝐼 𝑓0 selanjutnya didapat: −𝑃𝑆0 = 2𝜋 𝐼 2𝜋 𝑓0𝑑𝑓 𝑑𝑡 = 4𝜋2 𝑓 0 𝐼 𝑑𝑓 𝑑𝑡 (2.16) Nilai yang menyangkut energi mekanik dinyatakan dengan H, yaitu besarnya energi mekanik per MW terpasang. Energi mekanik dalam sistem: 𝐻 = 1 2 𝐼 𝜔2 = 1 2 𝐼 (2𝜋𝑓)2 𝐻 = 2𝜋2 𝐼 𝑓2 (2.17) 𝐼 = 𝐻 2𝜋2 𝑓2 (2.18) Persamaan (2.18) dimasukkan ke dalam persamaan (2.16 ) menjadi: −𝑃𝑆0 = 4𝜋2 𝑓0 . 𝐻 2𝜋2𝑓 02 .𝑑𝑓 𝑑𝑡 = 2𝐻 𝑓0 . 𝑑𝑓 𝑑𝑡 Atau 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 𝑓0 2𝐻 . 𝑃𝑆0 (2.19) Dengan persamaan (2.19) dapat dihitung nilai 𝑑𝑓𝑑𝑡 untuk persamaan nilai 𝑃𝑆0 tertentu sesaat
setelah gangguan terjadi. Tanda negatif menunjukkan terjadinya
penurunan frekuensi dengan
terjadinya gangguan unit pembangkit yang sebelumnya menyumbangkan daya ke dalam sistem sebesar 𝑃𝑆0.
H adalah energi kinetis dalam sistem dibagi daya terpasang dalam sistem yang dinyatakan dalam MW. Untuk keperluan menghitung 𝑑𝑓𝑑𝑡 yang dinyatakan oleh persamaan (2.19), energi kinetis maupun daya terpasang yang dipakai untuk menghitung nilai H, haruslah dari sistem tanpa kebesaran unit yang terganggu. Karena merupakan energi kinetis perdaya terpasang, jadi dalam per unit maka 𝑃𝑆0 yang dinyatakan dalam per unit adalah:
𝑃𝑆0
𝑃𝐺0𝑇− 𝑃𝑆0𝑇 (2.19𝑎) Dimana:
𝑃𝐺0𝑇 = daya yang terpasang dalam MW dari unit – unit pembangkit
yang beroperasi sebelum ada
gangguan
𝑃𝑆0𝑇 = daya terpasang dalam MW dari unit yang mengalami gangguan
Dengan menggunakan
kebesaran – kebesaran per unit seperti yang dipakai untuk H maka persamaan (2.19) menjadi: 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 𝑓0 2𝐻 𝑃𝑆0 𝑃𝐺0𝑇− 𝑃𝑆0𝑇 (2.20) Keharusan menyatakan nilai 𝑃𝑆0 dalam per unit kalau nilai H
dinyatakan dalam per unit adalah agar dimensi ruas kiri dan dimensi ruas kanan persamaan (2.20) menjadi sama yaitu 𝐻𝑒𝑟𝑡𝑧𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘.
Dengan turunnya nilai
frekuensi, besarnya beban juga turun, dimana untuk perubahan frekuensi sebesar ∆f akan terjadi perubahan beban sebesar :
∆PB = D x ∆f
Dalam hal ini D = ∂PB / ∂f
adalah sebuah faktor yang
menggambarkan besarnya perubahan beban yang terjadi dalam sistem sebagai akibat terjadinya sebuah frekuensi.
Pada akhir selang waktu yang
pertama merupakan permulaan
selang waktu yang kedua, yaitu pada saat t1, nilai frekuensi adalah :
F1 = F0 (df/dt)0-1 x (t1-t0) Dimana (df/dt)0-1 adalah nilai df/dt dalam selang waktu antara (t 0-t1)
Begitu seterusnya dapat dilakukan perhitungan yang serupa
untuk selang –selang waktu
berikutnya
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendahuluan
Secara umum metodologi yang digunakan dalam Tugas Akhir
ini digambarkan pada flowchart sebagai berikut:
Gambar 3.1. Flowchart Metodologi penelitian Penjelasan dari flowchart metodelogi penelitian di atas adalah :
1. Studi Referensi
Mengumpulkan bahan-bahan
bacaan yang berkaitan dengan judul penelitan dari berbagai media seperti
buku-buku penunjang, jurnal,
internet, dan lain-lain. 2. Pengumpulan Data
Mengambil data-data realisasi operasi berupa beban sistem, beban pembangkit, inersia pembangkit, serta topologi Subsistem Sumbagsel dari Sumber PT PLN (Persero) UPB Sumbagsel.
3. Perhitungan
Menghitung pengaruh pelepasan SUTT 150 kV Bukit Asam - Baturaja sebagai jalur evakuasi daya dari Subsistem Sumsel ke Subsistem
Lampung terhadap penuruan
frekuensi. 4. Hasil
Mendapatkan hasil perhitungan penurunan frekuensi dari pengaruh pelepasan SUTT 150 kV Bukit Asam
- Baturaja sebagai jalur evakuasi daya dari Subsistem Sumsel ke Subsistem Lampung.
5. Kesimpulan
Memberikan kesimpulan dari studi yang telah dilakukan dengan penentuan nilai ideal transfer daya dari Subsistem Sumsel ke Subsistem Lampung
3.2 Lokasi Analisa Data
Analisa perhitungan Tugas Akhir ini dilakukan pada sistem Tenaga Listrik Subsistem Lampung dan data yang diperlukan untuk penyusunan Tugas Akhir ini didapatkan dari PT. PLN (Persero) UPB Sumbagsel. 3.3 Variabel Analisis Data
Diagram satu garis Subsistem Lampung
Data pembangkitan Subsistem Lampung
Beban Subsistem Lampung 3.4 Teknik pengumpulan dan
pengolahan data 1. Pengambilan Data
Data yang diperoleh dari pengambilan data di PT PLN (Persero) UPB Sumbagsel. 2. Perhitungan Data
Data yang telah diperoleh
kemudian dihitung dengan
menggunakan persamaan swing generator.
Dari hasil perhitungan kemudian
dianalisa sehingga dapat
ditentukan transfer ideal dari Subsistem Sumsel ke Subsistem Lampung pada waktu beban puncak, luar waktu beban puncak hari kerja dan waktu beban puncak, luar waktu beban puncak hari libur.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perhitungan Perubahan Frekuensi
4.1.1 Perhitungan pada Hari Kerja Waktu Beban Puncak
Pada hari kerja WBP, yaitu Tanggal 4 Mei 2016. Sesuai dengan data beban hari kerja WBP sebesar 846,1 MW.
Data lengkap sebagai berikut : Tabel 4.1 Data Perhitungan Hari Kerja WBP
Selanjutnya kita akan
menghitung perubahan frekuensi terhadap waktu saat tie-line SUTT 150 kV Bukit Asam – Baturaja lepas
secara tiba-tiba. Prosedur
perhitungannya sebagai berikut :
1. Hitung besar perubahan (df/dt) penurunan frekuensi akibat gangguan Penghantar 150 kV Bukit Asam – Baturaja trip. Rumus : 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 𝑓 2𝐻 𝑃𝑠𝑜 𝑃𝑔𝑜𝑡 − 𝑃𝑠𝑜𝑡 Perhitungan : 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 50 2𝑋3,99815 80 1157,1 − 360 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 0,62576 𝐻𝑧/𝑠𝑒𝑐
2. Hitung frekuensi akibat
gangguan Penghantar 150 kV
Baturaja-Blambangan
Umpu-Bukit Kemuning trip. Selisih waktu yang kita gunakan adalah 0,1 sekon. Nilai n dimulai dari 0. Rumus : 𝑓𝑛+1= 𝑓𝑛 +𝑑𝑓 𝑑𝑡(∆𝑡) Perhitungan : 𝑓1 = 50 − 0,62576(0,1) 𝑓1 = 49,94 Hz
3. Tentukan beban sistem setelah perubahan frekuensi (Pb) waktu ke n dengan selang waktu masing-masing t = 0,1sekon. Rumus : 𝑃𝑏𝑛+1 =𝑓𝑛+1 𝑓0 𝑥𝑃𝑏𝑛 Perhitungan : 𝑃𝑏1 =49,94 50 𝑥846,1 𝑃𝑏1 = 845,038 𝑀𝑊 4. Lanjutkan perhitungan s.d frekuensi mencapai frekuensi terendah 49,31 Hz. Pada WBP hari
kerja, frekuensi mencapai 49,314 Hz dalam waktu 1 detik dengan
Gambar 4.1. Grafik Penurunan Frekuensi pada Saat
Hari Kerja WBP
4.5.2. Perhitungan pada Hari Kerja Luar Waktu Beban Puncak
Pada hari kerja LWBP, yaitu Tanggal 4 Mei 2016. Sesuai dengan data beban hari kerja LWBP pada sub bab 4.2.1 diatas adalah sebesar 574,9 MW.
Data lengkap sebagai berikut : Tabel 4.2 Data Perhitungan Hari Kerja LWBP
Selanjutnya kita akan
menghitung perubahan frekuensi terhadap waktu saat tie-line SUTT 150 kV Bukit Asam – Baturaja lepas secara tiba-tiba. Prosedur perhitungannya sebagai berikut : 1. Hitung besar perubahan (df/dt)
penurunan frekuensi akibat gangguan Penghantar 150 kV Bukit Asam – Baturaja trip.
Rumus : 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 𝑓 2𝐻 𝑃𝑠𝑜 𝑃𝑔𝑜𝑡 − 𝑃𝑠𝑜𝑡 Perhitungan : 𝑑𝑓 𝑑𝑡= − 50 2𝑋3,69305 68 1092 − 360 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 0,62886 𝐻𝑧/𝑠𝑒𝑐
2. Hitung frekuensi akibat
gangguan Penghantar 150 kV
Baturaja-Blambangan
Umpu-Bukit Kemuning trip. Selisih waktu yang kita gunakan adalah 0,1 sekon. Nilai n dimulai dari 0. Rumus : 𝑓𝑛+1= 𝑓𝑛 + 𝑑𝑓 𝑑𝑡(∆𝑡) Perhitungan : 𝑓1 = 50 − 0,62886(0,1) 𝑓1 = 49,94 Hz
3. Tentukan beban sistem setelah perubahan frekuensi (Pb) waktu ke n dengan selang waktu masing-masing t = 0,1sekon. Rumus : 𝑃𝑏𝑛+1 = 𝑓𝑛+1 𝑓0 𝑥𝑃𝑏𝑛 Perhitungan : 𝑃𝑏1 =49,94 50 𝑥574,9 𝑃𝑏1 = 574,177 𝑀𝑊 4. Lanjutkan perhitungan s.d
frekuensi mencapai frekuensi terendah 49,31 Hz. Pada LWBP hari kerja, frekuensi mencapai 49,3126 Hz dalam waktu 1 detik dengan nilai transfer 68 MW.
Gambar 4.2. Grafik Penurunan Frekuensi pada Saat Hari Kerja LWBP
4.5.3. Perhitungan pada Hari Libur Waktu Beban Puncak
Pada hari libur WBP, yaitu Tanggal 8 Mei 2016. Sesuai dengan data beban hari libur WBP pada sub bab 4.2.2 diatas adalah sebesar 826,9 MW.
Data lengkap sebagai berikut :
Tabel 4.3 Data Perhitungan Hari Libur WBP
Selanjutnya kita akan
menghitung perubahan frekuensi terhadap waktu saat tie-line SUTT 150 kV Bukit Asam – Baturaja lepas
secara tiba-tiba. Prosedur
perhitungannya sebagai berikut : 1. Hitung besar perubahan (df/dt)
penurunan frekuensi akibat
gangguan Penghantar 150 kV Bukit Asam – Baturaja trip. Rumus : 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 𝑓 2𝐻 𝑃𝑠𝑜 𝑃𝑔𝑜𝑡 − 𝑃𝑠𝑜𝑡 Perhitungan : 𝑑𝑓 𝑑𝑡= − 50 2𝑋3,92682 77 1142,3 − 360 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 0,62664 𝐻𝑧/𝑠𝑒𝑐
2. Hitung frekuensi akibat
gangguan Penghantar 150 kV
Baturaja-Blambangan
Umpu-Bukit Kemuning trip. Selisih waktu yang kita gunakan adalah 0,1 sekon. Nilai n dimulai dari 0. Rumus : 𝑓𝑛+1 = 𝑓𝑛 +𝑑𝑓 𝑑𝑡(∆𝑡) Perhitungan : 𝑓1 = 50 − 0,62664(0,1) 𝑓1= 49,94 Hz
3. Tentukan beban sistem setelah perubahan frekuensi (Pb) waktu ke n dengan selang waktu masing-masing t = 0,1sekon. Rumus : 𝑃𝑏𝑛+1 =𝑓𝑛+1 𝑓0 𝑥𝑃𝑏𝑛 Perhitungan : 𝑃𝑏1 =49,94 50 𝑥826,9 𝑃𝑏1 = 825,864 𝑀𝑊 4. Lanjutkan perhitungan s.d frekuensi mencapai frekuensi terendah 49,31 Hz. Pada WBP hari libur, frekuensi mencapai
49,315 Hz dalam waktu 1 detik dengan nilai transfer 77 MW.
Gambar 4.3. Grafik Penurunan Frekuensi pada Saat
Hari Libur WBP
4.5.4. Perhitungan pada Hari Libur Luar Waktu Beban Puncak
Pada hari libur LWBP, yaitu Tanggal 8 Mei 2016. Sesuai dengan data beban hari libur WBP adalah sebesar 557,1 MW.
Data lengkap sebagai berikut : Tabel 4.4 Data Perhitungan Hari Libur LWBP
Selanjutnya kita akan
menghitung perubahan frekuensi terhadap waktu saat tie-line SUTT 150 kV Bukit Asam – Baturaja lepas
secara tiba-tiba. Prosedur
perhitungannya sebagai berikut :
1. Hitung besar perubahan (df/dt) penurunan frekuensi akibat gangguan Penghantar 150 kV Bukit Asam – Baturaja trip. Rumus : 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 𝑓 2𝐻 𝑃𝑠𝑜 𝑃𝑔𝑜𝑡 − 𝑃𝑠𝑜𝑡 Perhitungan : 𝑑𝑓 𝑑𝑡= − 50 2𝑋3,69305 68 1092 − 360 𝑑𝑓 𝑑𝑡 = − 0,62886 𝐻𝑧/𝑠𝑒𝑐
2. Hitung frekuensi akibat
gangguan Penghantar 150 kV
Baturaja-Blambangan
Umpu-Bukit Kemuning trip. Selisih waktu yang kita gunakan adalah 0,1 sekon. Nilai n dimulai dari 0. Rumus : 𝑓𝑛+1 = 𝑓𝑛 + 𝑑𝑓 𝑑𝑡(∆𝑡) Perhitungan : 𝑓1= 50 − 0,62886(0,1) 𝑓1 = 49,94 Hz
3. Tentukan beban sistem setelah perubahan frekuensi (Pb) waktu ke n dengan selang waktu masing-masing t = 0,1sekon. Rumus : 𝑃𝑏𝑛+1 = 𝑓𝑛+1 𝑓0 𝑥𝑃𝑏𝑛 Perhitungan : 𝑃𝑏1 =49,94 50 𝑥557,1 𝑃𝑏1 = 556,399 𝑀𝑊 4. Lanjutkan perhitungan s.d
frekuensi mencapai frekuensi terendah 49,31 Hz. Pada WBP
hari libur, frekuensi mencapai 49,3126 Hz dalam waktu 1 detik dengan nilai transfer 68 MW.
Gambar 4.4. Grafik Penurunan Frekuensi pada Saat Hari Libur LWBP
4.6. Pembahasan
Tabel 4.5 Resume Hasil Perhitungan
Dari tabel diatas, dapat dilihat : 1. Penurunan frekuensi berbanding
lurus terhadap kesiapan
pembangkit di Subsitem
Lampung dan beban Subsistem Lampung.
2. Transfer daya yang dapat dikirimkan dari Subsistem
sumsel-Lampung tidak dapat lebih dari 80 MW pada saat WBP dan 68 MW pada saat LWBP agar penurunan frekuensi tidak menyentuh skema ufr tahapan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Pada hari kerja WBP, dengan
beban Subsistem Lampung
sebesar 846,1 MW dan
pembangkit Lampung sebesar
521,6 MW maka transfer
maksimal yang dapat disalurkan dari subsistem Sumsel-Lampung sebesar 80 MW dengan frekuensi akhir menjadi 49,314 Hz.
2. Pada hari kerja LWBP, dengan
beban Subsistem Lampung
sebesar 574,9 MW dan
pembangkit Lampung sebesar
382 MW maka transfer
maksimal yang dapat disalurkan dari subsistem Sumsel-Lampung sebesar 68 MW dengan frekuensi akhir menjadi 49,3126 Hz.
3. Pada hari libur WBP, dengan
beban Subsistem Lampung
sebesar 826,9 MW dan
pembangkit Lampung sebesar
470,1 MW maka transfer
maksimal yang dapat disalurkan dari subsistem Sumsel-Lampung sebesar 77 MW dengan frekuensi akhir menjadi 49,315 Hz.
4. Pada hari kerja LWBP, dengan
sebesar 557,1 MW dan pembangkit Lampung sebesar
368,3 MW maka transfer
maksimal yang dapat disalurkan dari subsistem Sumsel-Lampung sebesar 68 MW dengan frekuensi akhir menjadi 49,3126 Hz.
5. Berdasarkan beban tertinggi pada
Subsistem Lampung, maka
Subsistem lampung
membutuhkan penambahan daya pembangkit sebesar ± 244 MW. 5.2 SARAN
Hasil perhitungan ini
diharapkan dapat menjadi acuan dan
referensi untuk PLN dalam
menambah pasokan daya pembangkit
di Subsistem Lampung untuk
mengantisipasi gangguan frekuensi rendah pada Subsistem Lampung saat terjadi gangguan pada Pht 150 kV Bukit Asam – Baturaja 1.2.
DAFTAR PUSTAKA
Idris, K. 1994. Analisis Sistem
Tenaga Listrik. Penerbit
Erlangga : Jakarta.
Ir. Sulasno. 2001. Analisis Sistem
Tenaga Listrik. Penerbit
Universitas Diponegoro : Semarang.
Marsudi, Djiteng. 2005.
Pembangkitan Energi Listrik.
Penerbit Erlangga : Jakarta.
Marsudi, Djiteng. 2006. Operasi
Sistem Tenaga Listrik. Penerbit
Graha Ilmu : Yogyakarta. Pusat Pendidikan dan Pelatihan.
2015. Overview Operasi Sistem.