Universitas Nusa Cendana 139
HUBUNGAN KOMPONEN SANITASI TOTAL BERBASIS
MASYARAKAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI
PUSKESMAS NIKI-NIKI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN
Mery Aferdina Kosat, S.M.J Koamesah, Kresnawati W. Setiono
ABSTRAK
Diare masih merupakan masalah kesehatan utama pada balita terutama di negara berkembang seperti di Indonesia. Sanitasi lingkungan dan perilaku hidup yang tidak sehat seperti kebiasaan buang air besar sembarangan, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas, pengelolaan air minum dan makanan yang tidak higienis serta pengelolaan sampah dan limbah cair rumah tangga yang tidak aman merupakan faktor yang dapat menyebabkan kejadian diare terutama pada balita. Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan rancangan studi kasus kontrol yang bertujuan untuk mengetahui hubungan komponen sanitasi total berbasis masyarakat dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Niki-Niki Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling dan diperoleh jumlah sampel sebanyak 90 orang dengan perbandingan antara kelompok kasus 45 orang dan kelompok kontrol 45 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat hasil rekam medik responden lalu melakukan wawancara dan observasi langsung dirumahnya. Hasil analisis statistik chi-square diperoleh adanya hubungan yang signifikan antara komponen stop buang air besar sembarangan (p = 0,000 dan OR = 0,051), cuci tangan pakai sabun (p = 0,000 dan OR = 0,037), pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga (p = 0,000 dan OR = 0,098), pengamanan sampah rumah tangga (p = 0,03 dan OR = 0,334) dan pengamanan limbah cair rumah tangga (p = 0,000 dan OR = 0,102) dengan kejadian diare pada balita.
Kata Kunci: sanitasi total berbasis masyarakat, diare, balita, puskesmas
Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang. Umumnya penyakit ini dapat menyerang semua kelompok usia namun yang biasanya rentan untuk terkena diare adalah bayi dan
balita.(1) Menurut data World Health
Organisation di negara berkembang sekitar
17,5-25% kematian pada anak usia dibawah lima tahun diakibatkan oleh diare dan lebih dari 1,5 juta anak meninggal setiap tahun
akibat diare tersebut.(2)
Di Indonesia, dari Hasil Riset Kesehatan Dasar (2013) insiden diare pada
balita yakni 6,7%.(3) Survei Kesehatan
Nasional menunjukkan bahwa diare
merupakan penyebab kematian nomor dua yaitu sebesar 23,0% pada balita dan nomor
tiga yaitu sebesar 11,4% pada bayi.(4)
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, berdasarkan profil kesehatan NTT (2010) jumlah penderita diare terutama pada balita sebesar 68.825 kasus dengan case fatality
rate (CFR) sebesar 1,61%.(5) Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten TTS (2014), jumlah penderita diare sebesar 9421 kasus. Di Puskesmas Niki-Niki jumlah kasus diare ditemukan sebanyak 615 kasus. Dilaporkan juga kematian balita akibat diare di kabupaten TTS hanya ditemukan di Puskesmas Niki-Niki yaitu
sebanyak dua kasus.(6)
Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi pendorong terjadinya penyakit diare. Dari beberapa faktor yang ada, penyakit ini berhubungan langsung dengan lingkungan dan perilaku
perorangan dimana keduanya saling
Universitas Nusa Cendana 140 tidak sehat karena tercemar kuman diare
serta berakumulasi dengan perilaku
manusia yang tidak sehat pula, maka penularan diare dengan mudah dapat
terjadi. Faktor lingkungan serta perilaku
yang bisa menyebabkan terjadinya diare yakni kebiasaan buang air besar secara sembarangan, kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, serta pengelolaan air minum dan makanan yang tidak
hiegenis.(7)
Berbagai penelitian telah dilakukan
berkaitan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian diare. Dari
penelitian tersebut diperoleh faktor yang paling mempengaruhi kejadian diare di suatu wilayah yakni faktor lingkungan dan perilaku. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pradirga R, Arsyad D, Wahiduddin (2014) di Makassar diperoleh hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan dan menggunakan jamban dengan
kejadian diare.(7) Penelitian yang dilakukan
oleh Agus S, Handoyo dan Widiyanti (2009) di Kebumen juga menunjukan hal yang sama yakni keadaan lingkungan dan pola higiene sanitasi memiliki hubungan
bermakna dengan kejadian diare.(8) Namun
hasil berbeda diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Hardi A, Masni dan Rahma (2012) di Makassar mengenai faktor risiko diare pada balita didapatkan hanya faktor
lingkungan yang memiliki hubungan
bermakna dengan kejadian diare sedangkan
faktor perilaku tidak.(9) Pada penelitian
yang dilakukan oleh Sinthamurniwaty di
Semarang, diperoleh justru faktor
lingkungan dan perilaku tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian diare
pada balita.(10) Meskipun telah banyak
penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kejadian diare namun nyatanya kasus diare tidak mengalami penurunan.
Berbagai upaya juga telah dilakukan
oleh pemerintah untuk mengurangi
kejadian diare yang terjadi di masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM). STBM adalah salah
satu program nasional yang bertujuan untuk menurunkan kejadian penyakit diare dan
penyakit berbasis lingkungan STBM
memiliki lima pilar utama yakni bebas buang air besar sembarangan, mencuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengelolaan sampah rumah tangga dan pengelolaan
limbah cair rumah tangga.(11)
Berdasarkan data Riskesdas (2013) tentang proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved berdasarkan kriteria JMP
WHO-UNICEF 2006, NTT berada dalam urutan sanitasi terendah bersama Papua dengan
angka proporsi rumah tangga yang
memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi
improved sebesar 30,5%. Dari data Riskesdas (2013) NTT juga menempati urutan kedua tertinggi (setelah Papua) untuk pembuangan akhir tinja tidak ke
tangki septik (SPAL, kolam/sawah,
langsung ke sungai/danau/laut, langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun) dengan persentase sebesar 65,3%. Sedangkan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) NTT menempati urutan ketiga terendah setelah Papua dan Aceh dengan persentase sekitar 20% sedangkan proporsi nasional
sebesar 32,3%.(3) Berdasarkan profil
kesehatan NTT (2010), Kabupaten TTS menempati urutan keenam terendah untuk rumah sehat dengan persentasi sebesar 45% sedangkan untuk PHBS TTS menempati urutan pertama terendah dengan presentasi
24,8%.(5)
Observasi langsung dilapangan
terkait komponen STBM di wilayah kerja Puskesmas Niki-Niki didapatkan, jika dibandingkan dengan beberapa puskesmas yang ada di Kabupaten TTS misalnya Puskesmas kota SoE, meskipun kasus diarenya menempati urutan tertinggi namun komponen STBM diwilayah tersebut sudah
tergolong baik.(6)
Dengan memperhatikan data-data tersebut diatas dimana di Kabupaten TTS terutama di Puskesmas Niki-Niki kasus
Universitas Nusa Cendana 140
Universitas Nusa Cendana 141 diare masih terbilang cukup tinggi dengan
ditemukannya kasus kematian balita akibat diare dan data mengenai sanitasi dan PHBS yang rendah di NTT khususnya di Kabupaten TTS dan di Puskesmas Niki-Niki maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut ditinjau
dari beberapa aspek yang sangat
mempengaruhi kejadian diare yakni komponen sanitasi total masyarakatnya
dengan mempertimbangkan
penelitian-penelitian sebelumnya yang masih menuai pro dan kontra. Adapun penelitian yang dilakukan yakni hubungan komponen sanitasi total berbasis masyarakat dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Niki-Niki.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Niki-Niki Kabupaten TTS pada Bulan Oktober-November 2015. Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode analitik observasional dengan rancangan studi kasus kontrol untuk melihat hubungan antara komponen sanitasi total berbasis masyarakat dengan kejadian diare pada balita dengan melakukan perbandingan
antara kelompok kasus (pasien dengan efek atau penyakit tertentu) dengan kelompok kontrol (mereka yang tidak menderita penyakit tertentu atau efek). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang berada di wilayah kerja Puskesmas Niki-Niki Kabupaten TTS. Sampel diambil dengan menggunakan teknik consecutive
sampling dan diperoleh jumlah sampel
sebanyak 90 orang dengan perbandingan antara kelompok kasus 45 orang dan kelompok kontrol 45 orang. Dilakukan
analisis univariat untuk mengetahui
distribusi frekuensi setiap variabel dan analisis bivariat untuk melihat pengaruh
antara variabel independen terhadap
variabel dependen dengan menggunakan uji
chi square.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik dari 90 sampel
penelitian di Puskesmas Niki-Niki, menurut usia responden, pekerjaan responden, pendidikan responden, jenis kelamin balita dan usia balita dapat disajikan pada tabel 1
Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian
No Karakteristik Sampel Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Umur Responden: 15-19 tahun 3 3,3% 20-35 tahun 65 72,2% 36-65 tahun 22 24,4% 2 Pekerjaan Responden: PNS 4 4,4% Wiraswasta 2 2,2% Karyawan Swasta 3 3,3%
Ibu Rumah Tangga 67 74,4%
Lain-Lain 14 15,6% 3 Pendidikan Responden: Sarjana 14 15,6% Tamat SLTA 26 28% Tamat SLTP 22 24,4% Tamat SD 19 21,1% Tidak Tamat SD 9 10%
Universitas Nusa Cendana 142
4 Jenis Kelamin Balita:
Laki-Laki 48 53,3% Perempuan 42 46,7% 5 Umur Balita: 12-24 bulan 51 56,7% 24-36 bulan 17 18,9% 37-48 bulan 16 17,8% 49-60 bulan 6 6,7%
Tabel 4.2 menjelaskan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berumur 20-35 tahun yaitu sebanyak 65 orang (72,2%) sedangkan kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 3 orang (3,3%) dan kelompok umur 35-65 tahun sebanyak 22 orang (24,4%).
Menurut Wiknjosastro (2001) umur 20-35 tahun merupakan kelompok yang paling ideal dari aspek kesehatan bila ditinjau dari tugas dan perkembangan manusia. Masa tersebut adalah masa
dewasa yang merupakan masa usia
reproduksi yang ideal. Oleh sebab usia 20-35 tahun adalah usia yang cocok untuk bisa
memiliki dan merawat bayi serta balita.(12)
Berdasarkan tabel diatas, sebagian besar pekerjaan responden adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 67 orang (74,4%) diikuti dengan lain-lain (petani, guru honor) sebanyak 14 orang (15,6%), PNS sebanyak 4 orang (4,4%), karyawan swasta sebanyak 3 orang (3,3%) dan wiraswasta sebanyak 2 orang (2,2%).
Sebagian besar responden bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga mereka mempunyai kesempatan lebih banyak merawat balitanya karena jenis pekerjaan tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama untuk meninggalkan balita dirumah. Akan tetapi bila dilihat dari sudut pandang sosial ekonomi keluarga, responden yang bekerja sebagai ibu rumah tangga apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok dan fasilitas yang memadai untuk balitanya terutama dalam hal perlindungan kesehatan maka balita tersebut justru akan mudah
terkena penyakit.(12)
Ditinjau dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden berpendidikan tamat SLTA yaitu sebanyak 26 orang (28%) diikuti dengan tamat SLTP sebanyak 22 orang (24,4%), tamat SD sebanyak 19 orang (21,1%), sarjana sebanyak 15 orang (15,6%) dan tidak tamat SD sebanyak 9 orang (10%).
Pendidikan mempengaruhi apa yang akan dilakukan yang tercermin dari
pengetahuan, sikap dan perilaku.
Pendidikan yang rendah berhubungan dengan derajat kesehatan yang rendah. Angka kesakitan sangat berbeda jumlahnya pada pendidikan rendah dan pekerjaan tidak memadai. Hampir semua penyakit teridentifikasi diantara populasi dengan tingkat pendidikan rendah, dan bila dibandingkan dengan pendidikan tinggi perbedaan itu tampak nyata. Oleh karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua balita maka maka upaya untuk menjaga kesehatan dan kebersihan juga semakin
baik sehingga diharapkan dapat
mengurangi angka kesakitan diare pada balita.(10)
Tabel diatas menunjukkan bahwa sampel penelitian ini lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 48 orang
(53,3%) dibandingkan yang berjenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 42 orang (46,7%). Riset Kesehatan Dasar (2013) insiden diare pada balita menurut jenis kelamin hampir sama namun pada laki-laki presentasenya lebih besar yaitu
sebanyak 7,1% dibandingkan pada
perempuan yaitu sebanyak 6,3%. Menurut jenis kelamin, tidak ada pengaruh yang cukup bermakna antara jenis kelamin balita
Universitas Nusa Cendana 142
Universitas Nusa Cendana 143 dengan kejadian diare. Diare pada balita
bisa terjadi pada jenis kelamin apa saja.(3)
Berkaitan dengan umur balita, dapat
dilihat bahwa sebagian besar balita
berumur 12-24 bulan yaitu sebanyak 51 orang (56,7%) diikuti kelompok umur 24-36 sebanyak 17 orang (18,9%), kelompok umur 37-48 bulan sebanyak 16 orang (17,8%) dan kelompok umur 49-60 bulan sebanyak 6 orang (6,7%). Semakin muda umur balita semakin besar kemungkinan terkena penyakit infeksi salah satunya penyakit diare. Kemungkinan terkena diare pada anak balita yang berusia semakin muda dikarenakan semakin rendah usia
balita daya tahan tubuhnya terhadap infeksi penyakit terutama penyakit diare semakin rendah, terlebih jika status gizinya kurang dan berada dalam lingkungan yang kurang memadai. Selain itu semakin muda umur balita keadaan integritas mukosa usus masih belum baik sehingga mudah untuk terkena diare. Pada balita usia 12-24 bulan
biasanya sudah mendapat makanan
tambahan dan menurut perkembangannya, balita tersebut mulai dapat merangkak dan berjalan sendiri sehingga kontak langsung dengan kuman diare bisa saja terjadi. Akibatnya risiko terkena diare semakin
mudah terjadi.(10)
Analisis Univariat
Tabel 2. Gambaran Komponen Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
No Komponen STBM Frekuensi (n) Persentase (%)
1 Stop BAB Sembarangan:
Ya 53 58,9%
Tidak 37 41,1%
2 Cuci Tangan Pakai Sabun
Ya 27 30%
Tidak 63 70%
3 Pengelolaan Air Minum dan Makanan
Rumah Tangga
Baik 68 75,6%
Tidak 22 24,4%
4 Pengamanan Sampah Rumah Tangga
Baik 23 25,6%%
Tidak 67 74,4%%
5 Pengamanan Limbah Cair Rumah
Tangga
Baik 26 28,9%
Tidak 64 71,1%
Berdasarkan data pada tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa untuk komponen stop buang air besar sembarangan dari 90 responden terdapat 53 responden (58,9%) yang dikategorikan stop buang air besar sembarangan sedangkan 37 responden (41,1%) dikategorikan buang air besar sembarangan. Terkait komponen cuci tangan pakai sabun terdapat 27 responden (30%) yang dikategorikan cuci tangan
pakai sabun sedangkan 63 responden (70%) dikategorikan tidak cuci tangan pakai sabun. Untuk komponen pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga terdapat 68 responden (75,6%) yang dikategorikan baik dalam mengelola air minum dan makanan rumah tangga sedangkan 22 responden (24,4%) dikategorikan tidak mengelolanya dengan baik. Mengenai komponen pengamanan sampah rumah
Universitas Nusa Cendana 144 tangga sebanyak 23 responden (25,6%)
dikategorikan baik dalam mengamankan sampah rumah tangga sedangkan 67 responden (74,4%) dikategorikan tidak mengamankan sampahnya dengan baik. Untuk komponen pengamanan limbah cair rumah tangga sebanyak 26 responden
(28,9%) dikategorikan baik dalam
mengamankan limbah cair rumah tangga
sedangkan 64 responden (71,1%)
dikategorikan tidak mengamankannya
dengan baik.
Data yang diperoleh ini didukung oleh data Riskesdas (2013) dimana provinsi Nusa Tenggara Timur untuk akses ke fasilitas sanitasi improved presentasenya hanya sebesar 30,5% dan pembuangan akhir tinja tidak ke tangki septik, kolam / sawah, langsung ke sungai/danau/laut,
langsung ke lubang tanah, atau ke pantai/kebun) memiliki persentase sebesar 65,3%. Untuk perilaku hidup bersih sehat termasuk mengenai kebiasaan cuci tangan
pakai sabun untuk provinsi NTT
presentasinya sebesar 20% sedangkan di kabupaten TTS presentasi perilaku hidup
bersih sehat hanya sebesar 24,8%.(3)(5)
Dari data diatas, bisa dilihat bahwa
komponen sanitasi total berbasis
masyarakat untuk stop buang air besar sembarangan dan pengelolaan air minum serta makanan rumah tangga termasuk dalam kategori baik sedangkan komponen pengamanan limbah cair rumah tangga termasuk kategori cukup dan untuk komponen cuci tangan pakai sabun dan pengamanan sampah rumah tangga masih tergolong kurang.
Analysys Bivariat
Tabel 3. Crosstabulasi Hubungan Stop BAB Sembarangan dengan Kejadian Diare pada Balita
No Stop BAB sembarangan
Kejadian Diare
P OR
Diare Tidak Diare
n % n %
1. Ya 13 28,9% 40 88,9%
0,000 0,051
2. Tidak 32 71,1% 5 11,1%
Berdasarkan tabel tabulasi silang diatas dapat dilihat bahwa untuk komponen stop BAB sembarangan dari 45 responden yang termasuk dalam kelompok kasus (mengalami diare), 13 responden (28,9%)
dikategorikan stop buang air besar
sembarangan dan 32 responden (71,1%) dikategorikan buang air besar
sembarangan. Sedangkan untuk kelompok kontrol (tidak mengalami
diare), 40 responden (88,9%)
dikategorikan stop buang air besar sembarangan dan 5 responden (11,1%)
dikategorikan buang air besar
sembarangan.
Hasil dari uji statistik diatas diketahui nilai
p value = 0,000 (< 0,05) yang berarti bahwa terdapat hubungan bermakna antara stop
BAB sembarangan dengan kejadian diare
pada balita. Stop buang air besar
sembarangan merupakan faktor protektif terhadap terjadinya diare dengan OR = 0,051.
Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kebiasaan buang air besar sembarangan akan meningkatkan risiko timbulnya penyakit diare. Penularan penyakit diare terjadi akibat tinja yang
dikeluarkan tidak pada tempatnya
mengkontaminasi lingkungan sekitar
sehingga apabila seseorang kontak
langsung dengan lingkungan yang sudah terkontaminasi maka perpindahan kuman tersebut ke manusia bisa terjadi. Tinja yang dibuang di tempat terbuka juga dapat digunakan oleh lalat untuk bertelur dan Universitas Nusa Cendana 144
Universitas Nusa Cendana 145 berkembang biak. Apabila lalat tersebut
hinggap pada makanan manusia maka
kuman tersebut bisa berpindah.(13)
Kebiasaan BAB sembarangan ini juga berkaitan erat dengan ketersediaan jamban dan penggunaan jamban yang tidak memenuhi syarat. Syarat sanitasi dari jamban tersebut berkaitan dengan jenis jamban yang digunakan, jarak jamban ke sumber air serta kondisi jamban tersebut apakah tidak menimbulkan bau, tidak dapat dijangkau oleh serangga, tidak licin, dan mempunyai saluran untuk pembuangan air
bekas ke sistem pembuangan air
limbah.(4)(13). Hasil penelitian yang
diperoleh ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Cita RS (2013) dengan
desain penelitian cross sectional yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku penggunaan jamban dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan dengan nilai p value = 0,024. Penelitian serupa yang dilakukan Sintamurniwaty (2006) mengenai faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada balita
dengan desain case control juga
menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara ketersediaan jamban dengan kejadian diare pada balita yakni nilai p value = 0,009.
Keluarga yang tidak mempunyai jamban berisiko 2,09 kali lebih besar untuk
terkenadiare.(10)(13)
Tabel 4. Crosstabulasi Hubungan Cuci Tangan Pakai Sabun dengan Kejadian Diare pada Balita
No Cuci tangan pakai
sabun
Kejadian Diare
P OR
Diare Tidak Diare
n % n %
1. Ya 2 4,4% 25 55,6%
0,000 0,037
2. Tidak 43 95,6% 20 44,4%
Berdasarkan tabel tabulasi silang diatas dapat dilihat bahwa untuk komponen cuci tangan pakai sabun dari 45 responden yang termasuk dalam kelompok kasus (mengalami diare), 2 responden (4,4%) dikategorikan cuci tangan pakai sabun dan 43 responden (95,6%) dikategorikan tidak cuci tangan pakai sabun. Sedangkan untuk kelompok kontrol (tidak mengalami diare) 25 responden (55,6%) dikategorikan cuci tangan pakai sabun dan 20 responden (44,4%) dikategorikan tidak cuci tangan pakai sabun. Dari hasil uji statistik diatas diperoleh nilai p value = 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat hubungan bermakna antara cuci tangan pakai sabun
dengan kejadian diare pada balita.
Kebiasaan cuci tangan pakai sabun
merupakan faktor protektif terhadap
terjadinya diare dengan OR = 0,037.
Mencuci tangan dengan sabun
dikenal juga sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dikarenakan
tangan merupakan pembawa kuman
penyebab penyakit. Mencuci tangan dengan sabun terutama sesudah buang air dan sebelum menyiapkan makanan atau makan, telah dibuktikan mempunyai dampak dalam kejadian diare.
Kebiasaan tidak mencuci tangan
dengan sabun sesudah buang air besar
merupakan kebiasaan yang dapat
membahayakan bayi terutama ketika ibu memasak makanan atau menyuapi balita
makan. Hal ini terjadi karena kuman diare
yang masih menempel pada tangan yang tidak bersih apabila langsung dipakai untuk mengolah makanan serta minuman maka kuman tersebut bisa berpindah ke tubuh
Universitas Nusa Cendana 146 Hasil penelitian diatas sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pradirga R, Arsyad D, Wahiduddin (2006) dengan
desain penelitian case control,
menunjukkan bahwa kebiasaan tidak cuci tangan meningkatkan risiko 4,339 kali lebih besar untuk terkena diare. Penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Cita RS (2013) dengan desain penelitian cross sectional dimana ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita umur 10-59 bulan dengan
nilai p value = 0,050.(7)(13)
Tabel 5 Crosstabulasi Hubungan Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga dengan Kejadian Diare pada Balita
No
Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah
Tangga
Kejadian Diare
P OR
Diare Tidak Diare
n % n %
1. Baik 26 57,8% 42 93,3%
0,000 0,098
2. Tidak 19 42,2% 3 6,7%
Berdasarkan tabel tabulasi silang diatas dapat dilihat bahwa untuk komponen pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga dari 45 responden yang termasuk dalam kelompok kasus (mengalami diare), 26 responden (57,8%) dikategorikan baik dalam mengelola air minum dan makanan rumah tangga dan 19 responden (42,2%) dikategorikan tidak mengelola air minum dan makanan rumah tangga dengan baik. Sedangkan untuk kelompok kontrol (tidak mengalami diare) 42 responden (93,3%) dikategorikan baik dalam mengelola air minum dan makanan rumah tangga dan 3 responden (6,7%) dikategorikan tidak mengelola air minum dan makanan rumah tangga dengan baik. Hasil dari uji statistik diatas diketahui nilai p value = 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga dengan kejadian diare pada balita. Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga yang baik merupakan faktor protektif terhadap terjadinya diare dengan OR = 0,098
Pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga meliputi penggunaan sumber air yang bersih dan tidak terkontaminasi, air minum yang akan diolah jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau, wadah tempat penampungan air tesebut
bersih, makanan yang akan diolah masih segar, tidak busuk dan tidak rusak, makanan tersebut diolah dengan alat yang bersih dan makanan yang sudah diolah disimpan ditempat yang aman untuk
mengindari kontaminasi.(14)
Makanan dan minuman yang tidak diolah dengan baik dapat menyebabkan terjadinya diare karena sebagian besar kuman–kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal–oral. Apabila minuman dan makananan yang akan dikonsumsi sudah terkontaminasi kuman diare karena tidak diolah dengan baik maka kemungkinan besar kuman tersebut akan
pindah ke tubuh seseorang dan
menimbulkan penyakit.(4)
Hasil penelitian yang diperoleh ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Umiati (2009) yang menunjukkan bahwa sumber air minum yang dikonsumsi ada hubungan dengan kejadian diare pada balita dimana nilai p value = 0,001.
Penelitian yang dilakukan oleh
Sintamurniwaty (2006) juga menunjukkan bahwa perilaku mencuci bahan makanan
merupakan faktor protektif terhadap
terjadinya diare dengan OR = 0,29 dan secara statistik bermakna dengan nilai p
value = 0,047.(4)(10)
Universitas Nusa Cendana 146
Universitas Nusa Cendana 147 Tabel 6 Crosstabulasi Hubungan Pengamanan Sampah Rumah Tangga dengan Kejadian
Diare pada Balita
No Pengamanan Sampah
Rumah Tangga
Kejadian Diare
P OR
Diare Tidak Diare
n % n %
1. Baik 7 15,6% 16 35,6%
0,003 0,334
2. Tidak 38 84,4% 29 64,4%
Berdasarkan tabel tabulasi silang diatas dapat dilihat bahwa untuk komponen pengamanan sampah rumah tangga dari 45 responden yang termasuk dalam kelompok kasus (mengalami diare), 7 responden
(15,6%) dikategorikan baik dalam
mengamankan sampah rumah tangga dan 38 responden (84,4%) dikategorikan tidak mengamankan sampahnya dengan baik. Sedangkan untuk kelompok kontrol (tidak mengalami diare) 16 responden (35,6) dikategorikan baik dalam mengamankan sampah rumah tangga dan 29 responden (64,4%) dikategorikan tidak mengamankan sampahnya dengan baik. Hasil dari uji statistik diatas diketahui nilai p value = 0,030 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat hubungan bermakna antara pengamanan sampah rumah tangga dengan kejadian diare pada balita. Pengamanan sampah rumah tangga yang baik merupakan faktor protektif terhadap terjadinya diare dengan OR = 0,334.
Hasil yang diperoleh sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa sampah yang berserakan sangat mendukung terjadinya
penyebaran virus atau bakteri yang
mengakibatkan diare pada anak terutama pada balita. Terlebih jika sampah tersebut banyak dihinggapi lalat maka kemungkinan lalat tersebut bisa berterbangan bebas masuk ke rumah untuk menghinggapi
makanan yang ada di rumah.(15)
Pengamanan sampah diantaranya
ialah membuang sampah pada tempatnya, memilih serta mendaur ulang sampah rumah tangga. Penelitian yang mendukung hasil penelitian yang diperoleh ini ialah penelitian yang dilakukan oleh Budiman (2011) terdapat hubungan yang signifikan antara STBM aspek mengolah sampah dengan benar dengan kejadian penyakit diare pada Balita dengan nilai p value=
0,0001.(15)
Tabel 7 Crosstabulasi Hubungan Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga dengan Kejadian Diare pada Balita
No Pengamanan Limbah
Cair Rumah Tangga
Kejadian Diare
P OR
Diare Tidak Diare
n % N %
1. Baik 4 8,9% 22 48,9%
0,000 0.102
2. Tidak 41 91,1% 23 51,1%
Mengenai komponen pengamanan
limbah cair rumah tangga dari tabel tabulasi
silang diatas menunjukkan dari 45
responden yang termasuk dalam kelompok kasus (mengalami diare) 4 responden
(8,9%) dikategorikan baik dalam
mengamankan sampah rumah tangga dan
41 responden (91,1%) dikategorikan tidak mengamankan dengan baik. Sedangkan untuk kelompok kontrol (tidak mengalami diare) 22 responden (48,9%) dikategorikan baik dan 23 responden (51%) dikategorikan tidak mengamankan dengan baik. Dari hasil uji statistik diatas diperoleh nilai p value =
Universitas Nusa Cendana 148 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat
hubungan bermakna antara pengamanan limbah cair rumah tangga dengan kejadian diare pada balita. Pengamanan limbah cair rumah tangga yang baik merupakan faktor protektif terhadap terjadinya diare dengan OR = 0,102.
Hasil penelitian yang diperoleh
didukung oleh teori yang mengatakan pengamanan limbah cair rumah tangga yang tidak aman contohnya tidak adanya septik tank, tidak dibuat penampungan saluran limbah cair rumah tangga serta pembuangan limbah yang disatukan dalam saluran got dan dibiarkan dalam keadaan terbuka menyebabkan lingkungan menjadi tidak bersih. Keadaan ini dapat menjadi media transmisi penyebaran penyakit
diare.(15)
Penelitian yang mendukung hasil
penelitian ini ialah penelitian yang
dilakukan oleh Budiman (2011)
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara STBM aspek mengolah limbah cair rumah tangga dengan aman dengan kejadian penyakit diare pada
Balita dengan nilai p value = 0,006.(15)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di
Puskesmas Niki-Niki Kabupaten TTS terkait komponen sanitasi total berbasis masyarakat dengan kejadian diare pada balita, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Gambaran komponen STBM yang dikategorikan baik yaitu stop buang air besar sembarangan dan pengelolaan air minum serta makanan rumah tangga sedangkan yang dikategorikan tidak
yaitu cuci tangan pakai sabun,
pengamanan sampah rumah tangga dan pengamanan limbah cair rumah tangga. 2. Ada hubungan yang bermakna antara
komponen STBM stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun,
pengelolaan air minum dan makanan rumah tangga, pengamanan sampah rumah tangga dan pengamanan limbah cair rumah tangga dengan kejadian diare pada balita.
3. Komponen STBM stop buang air besar sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan
rumah tangga serta pengamanan
sampah dan limbah cair rumah tangga yang baik merupakan faktor protektif terhadap terjadinya diare pada balita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agtini, M. Morbiditas dan Mortalitas Diare pada Balita di Indonesia Tahun 2000-2007. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan [Internet]. 2011;2.
Available from:
www.depkes.go.id/download.php?file= download/pusdatin/buletin/buletin diare.pdf
2. World Health Organization. WHO recommendations on the management of diarrhoea and pneumonia in HIV-infected infants and children. Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) [Internet]. 2010;
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. 2013;
4. Umiati. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan dengan kejadian Diare
pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Nogosari Kabupaten
Boyolali tahun 2009 [Internet].
Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2010.
5. Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010. 2010; Available from:
www.dinkeskotakupang.web.id/bankdat a/category/1profilkesehatan.html?down
Universitas Nusa Cendana 148
Universitas Nusa Cendana 149
load=17:profil-kesehatan-nusa-tenggara-timur-ntt
6. Dinas Kesehatan Kabupaten TTS. Pemantauan Kasus Penyakit Potensial Wabah Minggu 1 sd Minggu 52; 2014. 7. Pradirga R, Arsyad D, Wahiduddin.
Faktor risiko Kejadian Diare pada Bayi di Kelurahan Pannampu Kecamatan
Tallo Kota Makassar [Internet].
Universitas Hasanuddin; 2014. Available from: http://repository.unhas.ac.id/bitstream/h andle/123456789/10645/RIZKYPANJI PRADIRGAK11110130.pdf?sequence= 1
8. Agus S, Handoyo, Widiyanti D. Analisis Faktor-Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Ambal Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Keperawatan
[Internet]. 2009;5(2). Available
from:digilib.stikesmuhgombong.ac.id/fi
les/disk1/23/jtstikesmuhgo-gdl-safrudinag-1111-2-vol.5n-9.pdf
9. Hardi AR, Masni, Rahma. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompu Kecamatan Ujung Tanah Tahun 2012 [Internet].
UNHAS; 2012. Available from:
repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/
123456789/4666/Jurnal Fix Amin
RahmanHardi
(K11107156).pdf?sequence=1
10. Shintamurniwaty. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut pada Balita (Studi
Kasus di Kabupaten Semarang)
[Internet]. Universitas Diponegoro;
2006. Dinas kesehatan Provinsi
Kepulauan Riau. Perkembangan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2011-2012. Available from: www.dinkesprovkepri.org/download/L
APORAN PERKEMBANGAN
STBM.pdf
11. Dinas kesehatan Provinsi Kepulauan Riau. Perkembangan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM) di
Provinsi Kepulauan Riau Tahun
2011-2012. Available from:
www.dinkesprovkepri.org/download/
LAPORAN PERKEMBANGAN
STBM.pdf
12. Hartini. Hubungan antara umur anak balita, pendidikan orang tua, kebiasaan menyuapi makanan di luar rumah, dengan kejadian diaredi kawasan padat penduduk Kalicode Kota Yogyakarta [Internet]. Sebelas Maret Surakarta;
2015. Available from:
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/down load/188537/MTg4NTM3
13. Cita R. Hubungan Sarana Sanitasi Air Bersih dan Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Diare pada Balita Umur 10-59 bulan di Wilayah Puskesmas Keranggan Kecamatan Setu Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013
[Internet]. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jkarta; 2013.
Available from:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bit stream/123456789/25807/1/ROYA SELARAS CITA.pdf
14. Menteri Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun 2014 Tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. 2014; Available from: http://www.hukor.depkes.go.id/up_pro d_permenkes/PMK No. 3 ttg Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.pdf
15. Budiman., Juhaeriah, Juju., Abdilah,
Asep. Hubungan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat dengan Kejadian Diare pada Balita di Kelurahan Cibabat Kecamatan Cimahi Utara. [Internet]. 2011;2(1). Available from: http://e- journal.kopertis4.or.id/file/Hubungan Sanitasi Total.pdf