• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan prediksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya kadang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital sehingga diagnosa dini sulit untuk ditegakkan (Roezin, dan Adam,2007).

2.2 Etiologi

Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring (Nasution,2007).

2.2.1 Infeksi Virus Epstein-barr

Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host Infeksi Virus Epstein Barr (Brennan, 2006). Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll

Konsumsi ikan asin

Beberapa peneliti epidemologi dan laboratorium menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaraan penduduk cina selatan kemungkinan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan KNF. Hal ini didasari

(2)

atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan di hongkong yang makanannya banyak mengkonsumsi ikan yang diasinkan dan sedikit mengandung sayur dan buah. Kebiasaan memakan makan yang di asinkan juga di temukan pada penduduk keturunan cina yang bermigrasi ke Negara lain seperti ke Malaysia timur dan Negara asia tenggara.

Penelitian lain sebelumnya di cina juga mendapatkan bahwa penduduk yang mulai mengkonsumsi ikan asin setelah masa diasapi mempunyai resiko terjadi KNF yang lebih tinggi. Tan tjin joe mengirim 12 jenis ikan asin yang berbeda dari Sumatra utara dan dianalisa oleh prof.HO di hongkong, ternyata ke 12 ikan tersebut dijumpai nitrosamine (Brennan,2006).

Selain ikan asin, uap nitrosamin tingkat tinggi juga ditemukan pada berbagai makan yang di awetkan di china, Greenland dimana bahan makan tersebut mengandung precursor nitrosamine yang tinggi setelah di cerna di lambung.

2.2.2 Faktor genetik

Berdasarkan fakta-fakta yang ada terdapat perbedaan frekuensi yang nyata diantara beberapa kelompok etnik, yaitu adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF. Dan masih tingginya imigran Cina yang terkena KNF di daerah yang insiden KNF nya sangat rendah.

Penelitian pertama tentang adanya kelainan genetik ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan Bw46 (Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di Medan menemukan gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007).

2.2.3 Lingkungan dan kebiasaan hidup

Faktor lingkungan lain yang mempunyai risiko terhadap KNF adalah merokok, terpapar bahan dari industri seperti formaldehid, asap kayu bakar, asap dupa, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapat

(3)

dijelaskan. Penelitian matching case control di Semarang dilaporkan paparan formaldehid berbentuk uap dan asap yang terhirup berpeluang terbesar terhadap terjadinya KNF (Nolodewo A, Yuslam, dan Muyassaroh, 2007). Perokok berat berisiko 2-4 kali dibanding yang tidak merokok. Konsumsi alkohol yang tinggi tidak menunjukkan risiko pada masyarakat Cina, walaupun di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan (Yi, dan Jhen,2009).

2.2.4 Radang Kronis

Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan infeksi kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Zahara,2007).

2.3 Gejala Klinis

Dikarenakan kaya akan suplai limfatik dan area yang sulit diperiksa, maka metastasis servikal sering dijumpai pada tampilan awal. Seperti keganasan kepala dan leher lainnya, tidak ada hubungan antara ukuran tumor primer dengan kelenjar limfe servikal. Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya.

Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial, dan pembesaran kelenjar limfe leher.

2.3.1 Gejala Hidung Epistaksis

Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga iritasi ringan dapat terjadi perdarahan.

(4)

Hidung sumbat

Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor yang menutup koana, infiltrasi tumor dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa tumor dapat menonjol kedalam kavum nasi (Asroel,2002).

2.3.2. Gejala Telinga

Gejala ini disebabkan perluasan tumor ke latero-posterior sampai ruang para nasofaringeal sehingga terjadi gangguan pada fungsi tuba Eustachius.

2.3.3 Gangguan pendengaran Tinnitus

Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat sangat mengganggu dan sulit diobati. Gejala ini juga disebabkan akibat gangguan fungsi tuba (Juli,2011).

Nyeri telinga / Otalgia

Bila dijumpai gejala otalgia, maka tumor sudah menginfiltrasi daerah parafaring dan mendestruksi basis kranii. Nyeri yang hebat pada telinga dapat juga terjadi akibat infiltrasi tumor pada glossofaringeus (Juli,2011).. • Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani

Disfungsi tuba Eustachius dari infiltrasi ke m.levator veli palatini menyebabkan terjadi otitis media serosa pada 40 % penderita (Juli,2011).

2.3.4 Gejala Neurologis Sindroma Petrosfenoidal

Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, III, IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi

(5)

dan wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua saraf grup anterior (n. II – n. VI) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor pada duramater.

Sindroma Parafaring

Gejala ini timbul akibat gangguan saraf kranial grup posterior (n. IX, X, XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus. Manifestasi kelumpuhan ialah : nervus IX : kesulitan menelan karena hemiparese.konstriktor faringeus superior, nervus X : gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi. nervus XI : kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, nervus XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan nervus VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi (Munir,2007).

2.3.5 Limfadenopati servikal

Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior (atas dan tengah), kemudian diikuti kelenjar servikal tengah. Penelitian di Hongkong mendapatkan sebagian besar penderita KNF (74.5%) datang berobat dengan keluhan benjolan di leher, dan paling banyak bilateral sebesar 50% (Lee et al, 1997), sedangkan di Taiwan mendapatkan 64 dari 83 penderita KNF dengan pembesaran kelenjar leher (Liu et al,2003). Dari enam sentra di Malaysia keluhan utama adalah bengkak di leher (42%), hidung sumbat (30%), keluhan telinga

(6)

(11%), sakit kepala (5%), saraf kranial (6 %), dll (6%). Tumor biasa teraba keras, tidak nyeri, dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Siregar,2010).

2.3.6 Gejala Metastasis Jauh

Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal dan limpa. Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang, paru-paru, hepar dan kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosa yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Siregar,2010).

2.4 Diagnosa

Pengetahuan mengenai epidemiologi dan gambaran klinis KNF sangat diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan dokter terhadap pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya keganasan ini. Setelah dicurigai kemungkinan adanya KNF,pemeriksa yang menyeluruh dan teliti harus segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang pasti dan stadium penyakit ini.

2.4.1 Anamnesis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya sangat bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir, 2009). Demikian pula dengan keluhan yang ditimbulkannya. Pada stadium dini, keluhan yang ada erring tidak menimbukan kecurigan atas keberadan tumor ini. Jika ada biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau keduannya.

2.4.2 Pemeriksaan

Pada kasus KNF pemeriksaan yang teliti keseluruhan kepala dan leher merupakan bagian yang terpenting dala menegakkan diagnosis. Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyi atau daerah yang paling sulit diperiksa dengan cara konvensional.

(7)

1. Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter

Pemeriksaan ini dilakukan pada penderita dewasa yang tidak sensitif, dilakukan dengan menggunakan kaca nasofaring. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan tampak dengan mudah.

2. Rinoskopi posterior dengan menggunakan kateter

Dua buah kateter dimasukkan masing-masing ke dalam rongga hidung kanan dan kiri. Setelah tampak di orofaring, ujung kateter tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar, kemudian disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya. Kedua ujung ini ditarik dengan keras agar palatum molle terangkat ke atas sehingga rongganya menjadi luas, selanjutnya dikunci dengan klem. Dengan kaca nasofaring rongga nasofaring tampak dengan jelas.

3. Endoskopi

• Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy)

Alat yang digunakan terdiri dari teleskop dengan sudut bervariasi yaitu 0, 30, dan 70 derajat dengan tang biopsi.

Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara:

 Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung

 Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut. • Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy)

Alat ini bersifat lentur dengan ujungnya yang dilengkapi alat biopsi. Endoskopi fleksibel memungkinkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh terhadap nasofaring, meskipun masuknya hanya melalui satu sisi kavum nasi. Biopsi massa tumor dapat dilakukan dengan melihat langsung sasaran. Alat endoskopi fleksibel ini memiliki saluran khusus untuk suction dimana forsep biopsi dapat dimasukkan melaluinya, sehingga biopsi tetap dapat dilakukan dengan pandangan langsung.

(8)

2.4.3 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. (Chan,Teo, dan Johnson,2002).

Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak

Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan bayangan jaringan lunak(soft tissue) di daerah nasofaring terutama pada tumor yang tumbuh secara eksofitik atau adanya destruksi dasar tengkorakatau os vertebra servikal. • CT scan nasofaring, pada KNF yang tumbuh endofitik/submukosa dapat

dideteksi dengan CT scan. Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis krani dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu, dapat pula menilai kekambuhan tumor setelah pengobatam, adanya metastasis, dan juga akibat komplikasi paska radioterapi seperti nekrosis lobus temporal dan atrofi kelenjar hipofise.

Magnetic Resonance Imaging(MRI) lebih baik dari CT dalam memperlihatkan jaringan lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam. Akan tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail tulang dan CT harus dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh MRI.

Positron Emission Tomography (PET), merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk menilai adanya tumor residual atau rekuren pada KNF (Chan,Teo,dan Johnson,2002).

(9)

Pemeriksaan Patologi Anatomi a. Sitologi

Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sering meragukan, sehingga pemeriksaan sitologi ini belum dapat diterima untuk mendiagnosis KNF.

b. Histopatologi

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi.

Biopsi Nasofaring

Biopsi dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku. Forseps biopsi harus selalu dimasukkan seiring dengan endoskopi agar dapat melakukan biopsi tumor dengan pandangan langsung.

2.4.4 Pemeriksaan Imunohistokimia

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. Antibodi digunakan terhadap potongan jaringan dan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi digunakan untuk identifikasi lokasi antibodi menggunakan penanda molekuler yang dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat.

2.4.5 Pemeriksaan Serologi

Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat

(10)

sampai 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat. Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif.

2.4.6 Polimerase Chain Reaction (PCR)

Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri.

2.5 Histopatologi

KNF merupakan kanker sel skuamus yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring. Menurut WHO KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu : Tipe 1.karsinoma sel skuamosa berkeratin,ditandai dengan:

1. Adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebaga sel mengalami keratinisasi (diskratosis).

2. Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yng terletak di permukaan atau suatu rongga kistik.

3. Adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin disebabkan arena sel mengalami pegerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat sediaan.

Tipe 2.karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, ditandai dengan :

1. Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun tertur/berjajar.

(11)

2. Sering terlihat bentuk plekiform yang mungkin terihat sebagai sel tumor yang jernih atau terang yang disebabkan adanya glikogen dalam

sitoplasma sel.

3. Tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar.

Tipe 3 karsinoma tidak berdifrensiasi,ditandai dengan: 1. Susunan sel tumor berbentuk sinsitial.

2. Batas sel atu dengan yang lain suit dibedakan.

3. Sel tumor berbentuk spindle dan beberapa sel mempunyai inti yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan.

4. Sel tumor tidak memproduksi musin. (Hidayat, 2008).

Tipe 2 dan 3 biasanya lebih radiosensitive dan memiliki hubungan yang kuat dengan VEB (Pahala, 2009).

2.6 Stadium

Dibeberapa daerah non-endemik menggunakan sistem stadium TNM berdasarkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer/ International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium KNF menurut AJCC/UICC edisi ke-7 tahun 2002, yaitu (Roezin,2007):

2.6.1 Tumor primer (T)

Tx : tumor primer tidak dapat ditemukan To : tidak ada bukti tumor primer

Tis : karsinoma in situ

2.6.2 Nasofaring

T1 : tumor terbatas di nasofaring

T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau kavum nasi • T2a : tanpa perluasan ke parafaring

(12)

T3 : tumor menginvasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 : tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbita, atau ruang mastikator

2.6.3 Kelenjar limfe regional (N)

Nx : pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditemukan N0 : tidak dijumpai metastasis kelenjar limfe regional

N1 : metastasis kelenjar limfe unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular

N2 : metastasis kelenjar limfe bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular

N3 : metastasis kelenjar limfe • N3a : ukuran > 6 cm

• N3b : meluas ke fossa supraklavikular 2.6.4 Metastasis Jauh (M)

Mx : metastasis jauh tidak dapat ditemukan Mo : tidak dijumpai metastasis jauh

M1 : dijumpai metastasis jauh

Table 2.6 insidensi kanker nasofaring berdasarkan stadium

Stadium KNF Stadium T N M I II A II B III IV A IV B IV C T 1 T 2a T 1-2a T 1-2b T 3 T 4 semua T semua T No No N 1 N 2 N 0 N 0-2 N 3 Semua N Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo M 1

(13)

Database 2007-2008 di Malaysia pada kasus baru KNF dijumpai 47 % stadium IV, 28 % stadium III, 21 % stadium II, dan hanya 4 % stadium I. (Pua et al, 2008). Di RSUP HAM periode Desember 2006 sampai September 2007 dari 24 penderita KNF dijumpai 41,1 % stadium III, stadium IV sebanyak 29,1 %, dan hanya 4,2 % dan 25 % dengan stadium I dan II (Zahara, 2007).

2.7 Diagnosis Banding

a. Angifibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto polos didapatkan gambaran massa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi.

b. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa.

c. Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid, mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal.

d. Rhabdomyosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar tengkorak ditemukan pada 1/3 penderita dan biasanya melibatkan sinus kavernosus.

2.8 Terapi

Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian datang dengan keadaan yang sudah jelek. Disamping itu KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastase regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium.

(14)

Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan.

2.8.1 Radioterapi

Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100%. Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka 40-80%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise- hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis. Brachytherapy (Radiasi Internal)

Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh.

Seiring dengan kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini dan didukung oleh hasil penelitian dari para ahli,sekarang telah ditemukan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada pasien KNF (Nasution,2008).

1. Radioterapi konvensional (2 DRT) dengan teknik fraksinasi yang dipercepat.

2. Peningkatan dosis,misalnya dengan stereotactic radiotherapy, intracavitary brachytherapy.

3. Three-dimensional radiation therapy (3 DRT),IMRT (Intensity Modulated

Radiation Therapy).

4. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi. 5. Pembedahan pada tumor yang rekuren. 6. Radiasi interna

(15)

Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pda region nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasi adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh ( Nasution, 2008).

2.8.2 Kemoterapi

Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi.

Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai terapi standar terapi KNF stadium lanjut. Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif.

Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan KNF. Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai.

Menurut Agulnik dan Siu (2005), dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan. (Munir,2007).

2.8.3 Imunoterapi

Imunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus Epstein-Barr pada populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein-Barr untuk mencegah terjadinya KNF.

2.8.4 Pembedahan a. Diseksi leher radikal

Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering

(16)

menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Munir,2007).

b. Nasofaringektomi

Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakit-penyakit terlokalisir. Berbagai pendekatan pernah digunakan untuk mencapai nasofaring. Posisi otak dan korda vertebralis membuat pendekatan secara posterior dan superior menjadi tidak dapat dilakukan. Pendekatan-pendekatan anterior seperti ini, meskipun mengikutsertakan pematahan palatum durum hanya dapat memperlihatkan dinding posterior nasofaring sedangkan dinding lateral tidak terlihat.

Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumor-tumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Munir,2007).

2.9Follow-Up

Tidak seperti keganasaan kepala leher yang lainnya,knf mempunyai resiko terjadinya rekurensi dan follow-up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjai kuran dari 5 tahun,5-15% kekambuhan seringkali terjadi antar 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow-up setidaknya 10 tahun setelah terapi (Roezin, dan Adam,2007).

Gambar

Table 2.6 insidensi kanker nasofaring berdasarkan stadium

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembelajaran di Taman RA yang dilakukan melalui permainan kartu kata bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran dengan menggunakan kartu kata dapat

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa metode Think Pair Share dengan media komik dapat meningkatkan hasil belajar IPS materi jenis usaha dan kegiatan ekonomi pada

Setelah melakukan pengolahan data terlihat model logika fuzzy bekerja dengan menggunakan derajat keanggotaan dari sebuah nilai, kemudian digunakan untuk menentukan

Salah satu jenis analisis multivariat adalah analisis faktor yaitu suatu analisis yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya dipergunakan untuk menemukan

Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan mempunyai tugas pokok : Membantu Kepala Dinas dalam bidang tugasnya, memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Dinas

Presiden Park Geun-hye berbicara dalam forum senior aides bahwa pemerintahannya tidak akan “mengubur kepala” dalam isu-isu sejarah yang berhubungan dengan

Komponen pengeluaran yang mengalami pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen Konsumsi Pemerintah yaitu sebesar 40,60 persen diikuti komponen PMTB yang tumbuh

Laporan Akhir ini berjudul “Aplikasi LCD Thin Film Transistor (TFT) Touchscreen pada Rancang Bangun Pintu Rumah Otomatis Berbasis Arduino Mega2560” yang merupakan salah satu