• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... ii PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Tujuan ... 4 C. Ruang Lingkup ... 5 D. Manfaat ... 5 LANDASAN TEORI ... 6

A. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar ... 6

1. Kedudukan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. ... 6

2. Kemampuan Bahasa Indonesia di sekolah dasar ... 7

3. Bahan Ajar Bahasa Indonesia di sekolah dasar... 9

B. LITERASI ... 10

1. Pengertian Literasi ... 10

2. Prinsip Pendidikan Literasi ... 11

3. Tingkatan Literasi ... 12

4. Ciri Pembelajaran Literasi ... 13

C. Teori Respons Butir ... 14

1. Teori Respons Butir pada Data Dikotomi ... 14

2. Teori Respons Butir pada Data Politomi ... 15

3. Kecocokan Model ... 19

D. Analisis Instrumen Penilaian ... 21

E. Karakteristik Butir Soal ... 22

1. Tingkat Kesukaran ... 22

2. Daya Beda ... 24

F. Ragam Bentuk Soal ... 25

1. Soal Bentuk Uraian ... 26

2. Soal Bentuk Objektif ... 29

G. Variabel yang Diukur ... 32

1. Pengetahuan dan Keterampilan ... 32

(3)

iii

H. Materi Bahasa Indonesia SD ... 33

I. Strategi Asesmen ... 34 J. Siklus Asesmen ... 35 METODOLOGI PENELITIAN ... 36 A. Target Populasi ... 36 B. Sampel ... 36 C. Instrumen Penelitian ... 36

D. Strategi Pengumpulan Data ... 38

E. Kerangka Kerja Pengembangan Instrumen ... 38

F. Pelaksanaan Kegiatan Survei ... 40

KEMAMPUAN IPA SISWA DAN KARAKTER BUTIR ... 45

A. Kemampuan Pemahaman Bacaan Siswa ... 45

B. Siswa DIY dan Kaltim Terhadap Benchmark Internasional ... 49

C. Karakter butir soal INAP nasional dibandingkan dengan soal internasional ... 51

D. Contoh butir-butir soal INAP yang setara dengan soal internasional .... 62

LATAR BELAKANG SISWA DAN NILAI MEMBACA ... 68

a. Faktor diri siswa dan keluarga ... 68

b. Faktor kegiatan belajar dan fasilitas belajar ... 80

c. Faktor kegiatan di waktu luang/libur ... 85

d. Persepsi siswa mengenai sekolah ... 88

E. Persepsi siswa mengenai mata pelajaran ... 89

LATAR BELAKANG GURU DAN NILAI MEMBACA ... 104

A. Karakteristik guru sampel ... 104

B. Faktor pengalaman mengajar ... 116

C. Penggunaan komputer dalam pembelajaran membaca... 127

D. Faktor keadaan sekolah ... 131

E. Faktor siswa dan pembelajaran ... 142

KESIMPULAN DAN SARAN ... 152

A. Kesimpulan ... 152

B. Saran ... 153

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mutu sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa. Pengalaman di banyak negara menunjukkan, mutu sumber daya manusia yang baik lebih penting daripada sumber daya alam yang melimpah. Mutu sumber daya manusia yang baik hanya dapat diwujudkan dengan pendidikan yang baik dan bermutu. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan hal yang tidak dapat ditawar dalam rangka meningkatkan mutu SDM bangsa Indonesia yang siap dan mampu bersaing dalam pergaulan dan pasar kerja global saat ini.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa permasalahan pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan memperlihatkan berbagai kendala yang menghambat tercapainya tujuan pendidikan seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Rendahnya mutu pendidikan ini dapat terlihat dari berbagai indikator mikro, seperti: hasil studi Trends in International Mathematic and Science Study

(TIMSS), yang bertujuan mengetahui perkembangan matematika dan sains peserta

didik usia 13 tahun (SMP/MTs kelas VIII) belum menunjukkan prestasi yang memuaskan. Peserta didik Indonesia dalam kemampuan matematika pada tahun 1999 hanya mampu menempati peringkat 34 dari 38 negara, kemampuan dalam bidang sains berada di urutan ke 32. Pada tahun 2003 kemampuan matematika peserta didik Indonesia berada pada peringkat 35 dari 46 negara, sedangkan untuk kemampuan dalam bidang sains berada di urutan ke 37. Selanjutnya, pada tahun 2007 prestasi Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, yaitu kemampuan matematika berada pada peringkat 36 dari 48 negara dan kemampuan sains berada pada peringkat 35.

Keprihatinan yang sama dapat dilihat dalam laporan studi Programme for

International Student Assessment (PISA). Pada tahun 2000 prestasi literasi

(5)

2 pada peringkat 39 dari 41 negara, prestasi literasi matematika (mathematical

literacy) berada pada peringkat 39, dan prestasi literasi sains (scientific literacy)

berada pada peringkat 38. Pada tahun 2003, untuk literasi membaca peserta didik Indonesia berada di peringkat 39 dari 40 negara peserta, literasi matematika berada di peringkat 38, dan untuk literasi sains berada pada peringkat 38. Pada tahun 2006 prestasi literasi membaca peserta didik Indonesia berada pada peringkat 48 dari 56 negara, literasi matematika berada pada peringkat 50 dari 57 negara, dan literasi sains berada pada peringkat 50 dari 57 negara.

Hasil studi PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) tahun 2006 dalam bidang membaca pada anak-anak kelas IV sekolah dasar di seluruh dunia di bawah koordinasi The International Association for the

Evaluation of Educational Achievement (IEA) yang diikuti 45 negara/negara

bagian, baik berasal dari negara maju maupun dari negara berkembang, memperlihatkan bahwa peserta didik Indonesia berada pada peringkat ke 41.

Secara nasional, mutu prestasi peserta didik kelas IX SMP/MTs, kelas XII SMA/MA berdasarkan ujian nasional (UN) masih sangat bervariasi dilihat dari rata-rata nasional setiap mata pelajaran. Hasil UN baik pada tahun 2006, 2007, maupun 2008 menunjukkan rentang nilai terendah dan tertinggi masih di atas 9 dari skala 10; yang menunjukkan bahwa perbedaan peserta didik kemampuan terendah dan kemampuan tertinggi masih terlampau jauh.

Standar deviasi hasil UN dari tahun ke tahun pun menunjukkan peningkatan yang berarti keragaman nilai semakin bervariasi. Sebagai contoh mata pelajaran matematika; pada tahun 2006 untuk jenjang SMP/MTs standar deviasi meningkat dari 1,10 menjadi 1,61 di tahun 2008, dan untuk jenjang SMA/MA, standar deviasi meningkat dari 0,90 di tahun 2006 menjadi 1,58 di tahun 2008. Keberagaman ini menunjukkan lebarnya penyebaran kemampuan matematika peserta didik di tahun 2008 dibandingkan tahun 2006. Rerata nilai matematika dan bahasa Indonesia di tingkat SMP/MTs-pun menunjukkan trend penurunan.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan perlu dilakukan pemantauan mutu pendidikan secara periodik dan sistematik agar diperoleh hasil yang lebih

(6)

3 menyeluruh dari permasalahan yang dihadapi, sehingga kebijakan yang diambil dapat sinkron dengan permasalahan yang ada dan dapat menjawab pertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia. Hasil pemantauan mutu yang dilakukan secara periodik dan sistematik ini juga dapat mendiagnosa sehat tidaknya sistem pendidikan yang sedang berlaku, baik di tingkat nasional maupun provinsi/kabupaten/ kota. Selama ini di Indonesia belum ada mekanisme yang terlembaga yang memantau mutu secara periodik dan sistematik.

Di negara maju sistem pemantauan mutu sudah berjalan dengan baik dan terlembaga, seperti di Amerika (NAEP), juga di negara berkembang telah terbukti bahwa asesmen yang terlembaga dan dilaksanakan secara profesional sangat berguna untuk menyusun kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu, seperti di Chili. Berdasarkan kenyataan ini, mengembangkan sistem pemantauan melalui asesmen secara nasional yang terlembaga bagi Indonesia sangatlah penting, mengingat Indonesia sangat besar dan heterogen dilihat dari berbagai aspek.

Dengan adanya sistem pemantauan terlembaga yang dilakukan secara periodik dan sistematik, dapat dikembangkan kebijakan yang tepat sesuai hasil diagnosa pemantauan ini, kemudian dapat dibuat laporan secara berkala, mana yang berhasil dan mana yang tidak berhasil sebagai akuntabilitas kepada publik. Dalam arti pendidikan diarahkan kepada sistem yang transparan, akuntabel, dan demokratis.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemdikbud membentuk sistem pemantauan mutu yang terlembaga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemantauan mutu dilakukan melalui survei yang disebut Indonesian National Assessment Program (INAP). Survei ini bersifat “longitudinal” untuk memantau mutu pendidikan secara nasional pada satuan pendidikan SD/MI (kelas I – VI), SMP/MTs (kelas VII – IX), dan SMA/MA (kelas X – XII). Berdasarkan survei longitudinal ini diperoleh data tentang mutu pendidikan yang valid, tidak hanya menggambarkan pencapaian kemampuan peserta didik, tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada

(7)

4 implementasinya, survei INAP dilakukan bertahap dengan membidik target kelas yang berbeda di setiap tahunnya hingga satu kurun siklus pelaksanaan.

Diharapkan melalui INAP, berbagai pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai pendidikan, antara lain Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Bappenas, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, DPR/DPRD, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat akan memperoleh informasi secara berkala, sistematis, dan ilmiah.

Permasalahan yang dapat dirumuskan dari uraian tersebut adalah: (1) belum adanya sistem pemantauan yang terlembaga di Indonesia. Kalaupun ada, sifatnya adalah adhoc; (2) kurangnya kemampuan Provinsi, Kabupaten/Kota untuk melakukan survei dalam rangka memantau mutu pendidikan, (3) belum adanya informasi secara berkala dan terbuka kepada masyarakat luas mengenai perkembangan mutu pendidikan, baik di tingkat Provinsi, maupun Kabupaten/ Kota, terlebih lagi dalam hubungannya dengan kebijakan yang sudah diambil (transparansi dan akuntabilitas), dan (4) belum disusunnya pengambilan kebijakan yang berdasarkan hasil analisis terhadap data atau informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan mutu.

B. Tujuan

Tujuan INAP adalah melakukan pemantauan mutu pendidikan untuk: 1. Membentuk sistem pemantauan mutu pendidikan di tingkat Provinsi dan

Kabupaten/Kota yang terlembaga.

2. Meningkatkan kemampuan provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan survei dalam rangka memantau mutu pendidikan.

3. Membandingkan tingkat keberhasilan program pendidikan (prestasi) di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota

4. Mengidentifikasi domain konten dan kognitif yang belum dikuasai/lemah. 5. Mengidentifikasi variabel latar belakang peserta didik, guru, dan sekolah yang

(8)

5 6. Memantau tingkat ketercapaian pembelajaran dari waktu ke waktu secara

periodik dan sistematik.

7. Menyusun laporan tingkat ketercapaian pembelajaran pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup survei ini meliputi:

1. Objek survei ini adalah peserta didik kelas V SD/MI Negeri dan Swasta di 5 Provinsi pilot project INAP (Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah)

2. Kemampuan yang diukur adalah kemampuan matematika, membaca, dan IPA. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan peserta didik baik dari latar

belakang peserta didik, guru, maupun sekolah dijaring melalui angket yang diberikan kepada peserta didik, guru, dan kepala sekolah.

D. Manfaat

Manfaat dari hasil analisis terhadap data atau informasi INAP adalah: 1. Orang tua dapat mengetahui ketercapaian prestasi peserta didik serta

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

2. Guru dapat memanfaatkan informasi untuk perbaikan proses pembelajaran. 3. Kepala sekolah dapat memanfaatkan informasi untuk merencanakan dan

memperbaiki program manajemen sekolah, termasuk kegiatan pembelajaran. 4. Pemerintah (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota), Kemdiknas (Dikdasmen,

PMPTK, LPMP), Kementerian Agama, Bappenas, Kementerian Keuangan, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Parlemen, Perguruan Tinggi, Pengembang Kurikulum, dan lain-lain akan dapat memanfaatkan informasi dari INAP yang tersedia secara berkala, sistematis, dan ilmiah.

5. Masyarakat secara luas dapat memperoleh informasi secara berkala dan terbuka mengenai perkembangan mutu pendidikan baik di tingkat Nasional maupun Provinsi, atau Kabupaten/Kota, terlebih lagi dalam hubungannya dengan kebijakan yang sudah diambil (transparansi dan akuntabilitas).

(9)

6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar

1. Kedudukan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu peserta didik mengenal dirinya sendiri, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analisis dan imajinatif yang ada dalam dirinya.

Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia (Depdiknas,2006). Empat kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah membaca, menulis, menyimak dan berbicara.

Pembelajaran bahasa Indonesia diartikan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan masyarakat Indonesia. Standar Kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar Kompetensi ini merupakan dasar bagi

(10)

7 peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional dan global.

Peran pembelajaran bahasa sangat penting karena bahasa adalah alat berfikir sekaligus alat pendidikan. Bila pembelajaran bahasa tidak ditangani secara professional maka akan mempengaruhi hasil pembelajaran lainnya. Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional siswa dan merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dalam mempelajari semua bidang ilmu.

Fungsi pembelajaran bahasa Inggris bukan hanya sebagai suatu bidang kajian oleh karenanya fungsi pelajaran bahasa harus mampu membantu siswa untuk merefleksikan pengalamannya sendiri dan pengalaman orang lain, mengungkapkan gagasan dan perasaan, dan memahami beragam nuansa makna. Bahasa diharapkan membantu siswa mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang mengunakan bahasa tersebut, membuat keputusan yang bertanggung jawab pada tingkat pribadi dan sosial, menemukan serta menggunakan kemampuan-kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam diri siswa. Pernyataan di atas diperkuat oleh Brown (2000:5) yang mengatakan bahwa “language is a system of arbitrary conventionalized

vocal, written or gestural symbols that enable members of a given community to communicate intelligibly with one another”.

2. Kemampuan Bahasa Indonesia di sekolah dasar

Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan modal utama sebagai penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran adalah suatu proses belajar yang merupakan suatu bentuk pengalaman belajar untuk menguasai sesuatu materi pembelajaran. Dalam pembelajarannya menggunakan keterampilan proses untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sehingga pada akhirnya, pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan

(11)

8 gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya.

Kemampuan Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar mengarahkan siswa agar dapat berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Hal ini merujuk kepada fungsi dari bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara yang merupakan suatu hasil karya cipta intelektual produk budaya pada fungsi bahasa sebagai:

a) Sarana pembinaan dan persatuan bangsa.

b) Sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan masalah.

c) Sarana pengembangan penalaran.

d) Sarana pemahaman berbagai budaa Indonesia melalui khazanah kesusastraan Indonesia.

e) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya.

f) Sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dijelaskan tentang tujuan adanya pembelajaran Bahasa Indonesia, yakni bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.

1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis

2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara

3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan

4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial

(12)

9 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa

6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

3. Bahan Ajar Bahasa Indonesia di sekolah dasar

Bahan ajar bahasa Indonesia di sekolah dasar mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

1. Mendengarkan

Materi pokok keterampilan menyimak: menyimak berita, menyimak petunjuk, menyimak dialog, menyimak pantun, menyimak drama, menyimak cerita anak, dan menyimak cerita rakyat.

2. Berbicara

Materi pokok keterampilan berbicara: bercerita, berdialog, berpidato, berpuisi, menjelaskan sesuatu, menanggapi (memuji/mengkritik), berpantun, dan wawancara.

3. Membaca

Materi pokok keterampilan membaca: membaca nyaring, membaca intensif, membaca memindai, membaca dongeng, membaca kamus, membaca puisi, dan membaca pantun.

4. Menulis.

Materi pokok keterampilan menulis: menulis paragraf, menulis puisi, mengarang, menulis cerita, menulis drama, menulis pidato, menulis pantun, menulis pengumuman, menulis laporan, parafrase, meringkas, mengisi formulir, dan menulis surat.

(13)

10 B. LITERASI

1. Pengertian Literasi

Literasi yang dalam bahasa Inggrisnya Literacy berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang pengertiannya melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya. Kendatipun demikian, literasi utamanya berhubungan dengan bahasa dan bagaimana bahasa itu digunakan. Adapun sistem bahasa tulis itu sifatnya sekunder. Manakala berbicara mengenai bahasa, tentunya tidak lepas dari pembicaraan mengenai budaya karena bahasa itu sendiri merupakan bagian dari budaya. Sehingga, pendefinisian istilah literasi tentunya harus mencakup unsur yang melingkupi bahasa itu sendiri, yakni situasi sosial budayanya. Berkenaan dengan ini Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif sebagai berikut:

“Literacy is the use of socially-, and historically-, and

culturally-situated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic –not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge.”

Yang dimaksud dengan teks adalah mencakup teks tulis dan teks lisan. Adapun pengetahuan tentang genre adalah pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku/digunakan dalam komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur yang membentuk definisi tersebut, yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural, pemecahan masalah, refleksi, dan penggunaan bahasa. Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari literasi.

(14)

11 2. Prinsip Pendidikan Literasi

Terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi yang diambil dari definisi Kern (2000) di atas, yaitu:

a. Literasi melibatkan interpretasi

Penulis/pembicara dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni: penulis/pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/pendengar kemudian mengiterpretasikan interpretasi penulis/pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.

b. Literasi melibatkan kolaborasi

Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama. Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap pembaca/pendengarnya. Sementara pembaca/pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat membuat teks penulis bermakna.

c. Literasi melibatkan konvensi

Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/kesepakatan kultural (tidak universal) yang berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.

d. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.

Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan/beresiko salah/keliru dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.

(15)

12 e. Literasi melibatkan pemecahan masalah.

Karena kata-kata selalu melekat pada konteks linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara kata, frase, kalimat, unit-unit makna, dan teks. Upaya membayangkan/memikirkan/mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.

f. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.

Pembaca/pendengar dan penulis/pembicara memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam Situasi komunikasi mereka memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.

g. Literasi melibatkan penggunaan bahasa.

Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/tertulis) melaikan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/diskursus.

3. Tingkatan Literasi

Literasi tidaklah seragam karena literasi memiliki tingkatan-tingkatan yang menanjak. Jika seseorang sudah menguasai satu tahapan literasi maka ia memiliki pijakan untuk naik ke tingkatan literasi berikutnya. Wells (1987) menyebutkan bahwa terdapat empat tingkatan literasi, yaitu: performative, functional, informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, orang mampu membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan. Pada tingkat

functional, orang mampu menggunakan bahasa untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari seperti membaca surat kabar, manual atau petunjuk. Pada tingkat informational, orang mampu mengakses pengetahuan dengan kemampuan berbahasa, sedangkan pada tingkat

(16)

13

epistemic orang mampu mengungkapkan pengetahuan ke dalam

bahasa sasaran.

4. Ciri Pembelajaran Literasi

Pembelajaran literasi dicirikan dengan tiga R, yakni Responding, Revising, dan Reflecting (Kern, 2000). Responding disini melibatkan kedua belah pihak, baik guru maupun siswa. Para siswa memberi respon pada tugas-tugas yang diberikan guru atau pada teks-teks yang mereka baca. Demikian pula guru memberi respon pada jawaban-jawaban siswa agar mereka dapat mencapai tingkat ’kebenaran’ yang diharapkan. Pemberian respon atas hasil pekerjaan siswa juga cukup penting agar mereka tahu apakah mereka sudah mencapai hal yang dirahapkan atau belum. Revision yang dimaksud disini mencakup berbagai aktivitas berbahasa. Misalnya, dalam menyusun sebuah laporan kegiatan, revisi dapat dilaksanakan pada tataran perumusan gagasan, proses penyusunan, dan laporan yang tersusun. Reflecting berkenaan dengan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan, apa yang dilihat, dan apa yang dirasakan ketika pembelajaran dilaksanakan. Secara spesifik lagi, refleksi dapat dibagi ke dalam dua, yaitu: dari sudut pandang bahasa reseptif (mendengarkan dan membaca) dan sudut pandang bahasa ekspresif (berbicara dan menulis). Dari sudut pandang bahasa reseptif beberapa pertanyaan dapat diajukan, yaitu: apa tujuan/maksud pembicara/penulis ini? Apakah hal-hal tertentu yang menyiratkan keyakinan dan sikap pembicara/penulis mengenai topik pembicaraan?

Dari sudut pandang bahasa ekspresif, pertanyaan-pertanyaan berikut ini cukup bermanfaat, yaitu: bagaimana orang lain menginterpretasikan apa yang saya katakan? Dari mana saya tahu pendengar/pembaca memahami atau meyakini apa yang saya kemukakan? dan sebagainya.

(17)

14 C. Teori Respons Butir

1. Teori Respons Butir pada Data Dikotomi

Pada analisis butir dengan teori respons butir ada asumsi yang harus dipenuhi untuk analisis ini yakni independensi lokal dan unidimensi. Pada teori ini, pendekatan probabilistik untuk menyatakan hubungan antara kemampuan peserta dengan harapan menjawab benar. Hubungan ini dinyatakan dengan model logistik dengan parameter indeks kesukaran, indeks daya beda butir dan indeks tebakan semu (pseudoguessing).

Pada model logistik tiga parameter dapat dinyatakan sebagai berikut (Hambleton, & Swaminathan, 1985 : 49; Hambleton, Swaminathan, & Rogers, 1991: 17; Baker, 2001 ). ) ( i P = ci + (1-ci) ( ) ) ( 1 i i i i b Da b Da e e      ……...…… (1) dengan tingkat kemampuan peserta tes, Pi() probabilitas peserta tes yang

memiliki kemampuan  dapat menjawab butir i dengan benar, ai indeks daya

pembeda, biindeks kesukaran butir ke-i,ci indeks tebakan semu butir ke-i, e

bilangan natural yang nilainya mendekati 2,718, n banyaknya butir dalam tes, dan

D faktor penskalaan yang harganya 1,7.

Model 2 parameter dan model 3 parameter merupakan kasus khusus dari persamaan 1. Model 2 parameter merupakan kasus khusus dari model 3 parameter, yakni ketika c=0. Model 1 parameter merupakan kasus khusus model 1 parameter, yakni ketika a=1.

Fungsi informasi butir (item information functions) merupakan suatu metode untuk menjelaskan kekuatan suatu butir pada perangkat soal dan menyatakan kekuatan atau sumbangan butir soal dalam mengungkap kemampuan laten (latent trait) yang diukur dengan tes tersebut (Hulin, C.L., Drasgow, F. & Parsons, C.K. ,1983). Secara matematis, fungsi informasi butir didefinisikan sebagai berikut.

(18)

15 Ii () =

) ( ) ( ) ( 2 '    i i i Q P P ………...… (2) dengan i merupakan 1,2,3,…,n, Ii () fungsi informasi butir ke-i, Pi () peluang peserta dengan kemampuan  menjawab benar butir i, P'i () turunan fungsi Pi () terhadap , Qi () peluang peserta dengan kemampuan  menjawab salah butir i.

Fungsi informasi tes merupakan jumlah dari fungsi informasi butir-butir tes tersebut (Hambleton & Swaminathan, 1985: 94; De Gruijter, D.M. & van der Kamp, L.J.T., 2005). Berkaitan dengan hal ini, nilai fungsi informasi perangkat tes akan tinggi jika butir-butir penyusun tes mempunyai fungsi informasi yang tinggi pula. Fungsi informasi perangkat tes (I()) secara matematis dapat didefinisikan sebagai berikut.

I () =

n i i I 1 ) ( ………...…….. (3)

2. Teori Respons Butir pada Data Politomi

Selain model respons butir dikotomi, ada model lain yang dapat digunakan untuk menskor respons peserta terhadap suatu butir tes, yakni model politomi. Model-model politomi pada teori respons butir antara lain nominal respons model (NRM), rating scale model (RSM), partial credit model (PCM), graded respons model (GRM) dan generalized partial credit model (GPCM) (Van der Linden & Hambleton, 1997).

Model respons butir politomous dapat dikategorikan menjadi model respons butir nominal dan ordinal, tergantung pada asumsi karakteristik tentang data. Model respons butir nominal dapat diterapkan pada butir yang mempunyai alternatif jawaan yang tidak terurut (ordered) dan adanya berbagai tingkat kemampuan yang diukur. Pada model respons ordinal terjadi pada butir yang dapat diskor ke dalam banyaknya kategori tertentu yang tersusun dalam jawaban. Skala Likert diskor berdasarkan pedoman penskoran kategori respons terurut, yang merupakan penskoran ordinal. Butir-butir tes matematika dapat diskor

(19)

16 menggunakan sistem parsial kredit, langkah-langkah menuju jawaban benar dihargai sebagai penskoran ordinal. Model penskoran yang paling sering dipakai ahli yakni GRM, PCM, dan GPCM.

a. Graded Respons Model (GRM)

Respons peserta terhadap butir j dengan model GRM dikategorikan menjadi m+1 skor kategori terurut, k=0,1,2,...,m dengan m merupakan banyaknya langkah dalam menyelesaikan dengan benar butir j, dan indeks kesukaran dalam setiap langkah juga terurut. Hubungan parameter butir dan kemampuan peserta dalam GRM untuk kasus homogen (aj sama dalam setiap langkah) dapat dinyatakan oleh Muraki & Bock (1997:7) sebagai berikut.

) ( ) ( ) ( * 1 *     jkjk jk P P P ...(4) )] ( exp[ 1 )] ( exp[ ) ( jk j jk j jk b Da b Da P        ...(5) Dengan ( ) 1 * 0   j P dan ( ) * 1 m  j P =0 aj : indeks daya beda butir j

: kemampuan peserta,

bjk : indeks kesukaran kategori k butir j )

(

jk

P : probabilitas peserta berkemampuan  yang memperoleh skor kategori k pada butir j ) ( *  jk P

: probabilitas peserta berkemampuan  yang memperoleh skor kategori k atau lebih pada butir j

(20)

17 b. Partial Credit Model (PCM)

PCM merupakan perluasan dari model Rasch, dengan asumsi setiap butir mempunyai daya beda yang sama. PCM mempunyai kemiripan dengan GRM pada butir yang diskor dalam kategori berjenjang, namun indeks kesukaran dalam setiap langkah tidak perlu terurut, suatu langkah dapat lebih sukar dibandingkan langkah berikutnya.

Bentuk umum PCM menurut Muraki & Bock (1997:16) sebagai berikut.

      k v jv m h k v jv jk b b P 0 0 0 ) ( exp ) ( exp ) (    , k=0,1,2,...,m Dengan ) ( jk P

: probabilitas peserta berkemampuan  memperoleh skor kategori k pada butir j,

: kemampuan peserta,

m+1 : banyaknya kategori butir j,

bjk : indeks kesukaran kategori k butir j

0 ) ( 0  

k h jh b  dan

    h h jh h h jh b b 1 0 ) ( ) (  ……….(6)

Skor kategori pada PCM menunjukkan banyaknya langkah untuk menyelesaikan dengan benar butir tersebut. Skor kategori yang lebih tinggi menunjukkan kemampuan yang lebih besar daripada skor kategori yang lebih rendah.

Pada PCM, jika suatu butir memiliki dua kategori, maka persamaan 5 menjadi persamaan model Rasch. Sebagai akibat dari hal ini, PCM dapat diterapkan pada butir politomus dan dikotomus.

(21)

18 c. Generalized Partial Credit Model (GPCM)

GPCM menurut Muraki (1997) merupakan bentuk umum dari PCM, yang dinyatakan dalam bentuk matematis, yang disebut sebagai fungsi respons kategori butir sebagai berikut.

      

   e v jr m e h v jr jh Z Z P i 0 0 0 ) ( exp ) ( exp ) (    , k=0,1,2,...,mj ...(7) dan Zjh()=Daj(-bjh)=Daj(-bj+dh), bj0=0 ...(8) Dengan,

Pjk() : probabilitas peserta berkemampuan  memperoleh skor kategori k pada butir j,

: kemampuan peserta,

aj : indeks daya beda butir j,

bjh : indeks kesukaran kategori k butir j,

bj : indeks kesukaran lokasi butir j (parameter butir lokasi) dk : parameter kategori k,

mj+1 : banyaknya kategori butir j, dan D : faktor skala (D=1.7)

Parameter bjh oleh Master dinamai dengan parameter tahap butir. Parameter ini merupakan titik potong antara kurva Pjk() dengan Pjk-1(). Kedua kurva hanya berpotongan di satu titik pada skala .

Jika  = bjk, maka Pjk() = Pjk-1() Jika > bjk, maka Pjk() > Pjk-1()

(22)

19 3. Kecocokan Model

Kemampuan peserta tes sebanyak N dinyatakan dengan  yang merupakan skala kontinu. Metode expected a posteriori (EAP) digunakan sebagai estimator untuk setiap kemampuan peserta. Menurut Du Toit (2003) estimasi EAP merupakan rerata dari distribusi posterior dari  dengan diberikan pola respons terobservasi xi. Skor EAP didekati dengan titik quadrature (quadrature point) Xf dan bobot A(Xf) yakni

 

F f l f f F f f l f f l

X

A

X

L

X

A

X

L

X

1 1

)

(

)

(

)

(

)

(

...(9)

Dengan Ll(Xf) merupakan probabilitas dari pola respons xi. Standar deviasi

posterior dari skor EAP didekati dengan

PSD(l) =

   F f l f f F f f l l f f X A X L X A X L X 1 1 2 ) ( ) ( ) ( ) ( ) (  ...(10)

Setelah semua skor EAP peserta tes dikelompokkan pada suatu interval yang telah di perdeterminasikan H interval pada skala  kontinu, frekuensi terobservasi dari respons kategori ke-k pada butir j dalam interval h yakni rhjk dan banyaknya peserta tes yang mengerjakan butir j dalam h interval yakni Nhj dihitung. Skala kemampan yang telah diestimasi diskalakan sehingga varians dari distribusi sampel sama pada distribusi laten dari estimasi MML parameter butir yang selalu diset berdistribusi normal N(0,1). H dengan mj+1 tabel kontingensi untuk setiap butir ke-j. Untuk setiap interval, dihitung rerata interval h dan nilai

fungsi respons yang cocok Pjk(h). Statistik

2

perbandingan likelihood untuk

setiap butir dihitung dengan



   j j H h hj jk h hjk m k hjk j P N r r G 1 0 2 ) ( ln 2  ...(11)

(23)

20 Dengan Hj merupakan banyaknya interval setelah interval dengan nilai frekuensi kurang dari 5 digabung dengan interval terdekat. Derajat kebebasan sama dengan banyaknya interval Hj dikalikan dengan mj. Statistik uji

2

perbandingan likelihood untuk tes keseluruhan merupakan jumlahan dari statistik uji 2 secara terpisah. Derajat kebebasan ini juga merupakan jumlahan dari derajat kebebasan dari tiap butir. Uji kecocokan ini digunakan untuk mengevaluasi kecocokan model pada data respons yang sama ketika model tersarang pada parameter-parameternya.

Untuk mengetahui perbandingan model, menurut Thissen et. al. (1993: 72) dan Camilli dan Shepard (1994 : 76) dapat digunakan dengan metode perbandingan likelihood dalam teori respons butir (IRT-LR). Langkah-langkah untuk melakukan perbandingan likelihood sebagai berikut.

Misalkan L* merupakan nilai fungsi likelihood L. Ada dua model yang akan diperbandingkan, model C, yaitu model kompak (compact) dan model A, yaitu model yang ditingkatkan (augmented). Model C merupakan model yang lebih sederhana. Kemudian dirumuskan hipotesis :

Ho :  = SetC ( SetC memuat N parameter) …...…..……….. (12) Ha :  = SetA ( SetA memuat N+M parameter) ……...…… (13)

 dianggap memiliki set parameter yang benar. Model C memiliki M parameter lebih sedikit dibandingkan dengan model A. Perbandingan likekihood (Likelihood Ratio, LR) untuk dua model dinyatakan dengan persamaan :

LR = ( ) * ) ( A C L L ………...…………. (14) dengan: * ) (C L

: nilai fungsi likelihood model C *

) ( A L

] : nilai fungsi likelihood model A.

Kemudian ditransformasikan dengan logaritma natural : 2

) ( M

(24)

21 =[-2 ln * ) (C L ]-[-2ln * ) ( A L ] ………...………(15) dengan: * ) (C L

: nilai fungsi likelihood model C *

) ( A L

] : nilai fungsi likelihood model A. Agar lebih mudah, G(C) = [-2 ln

* ) (C L ] dan G(A) =[-2ln * ) ( A L ], sehingga rasio/perbandingan logaritma likelihood menjadi

2 ) ( M

= -2ln(LR) = G( C) – G(A) ………..……(16) Persamaan 16 tersebut berdistribusi khi-kuadrat dengan M derajat kebebasan.

D. Analisis Instrumen Penilaian

Instrumen penilaian hasil belajar dapat berupa soal, non-soal, atau tugas-tugas. Soal ada dua bentuk, yaitu soal bentuk objektif dan soal bentuk uraian. Non-soal dapat berbentuk pedoman observasi, daftar cek, dan skala lajuan; pedoman wawancara; lembar angket dan skala sikap; penugasan dapat berupa tugas menyusun portofolio, mengembangkan suatu produk, melaksanakan suatu proyek, atau melakukan suatu unjuk kerja.

Syarat utama soal yang baik ialah valid, reliabel, dan objektif. Suatu soal selalu tersusun atas sejumlah butir soal. Soal bersifat baik apabila butir-butir penyusunnya bersifat baik. Validitas teoretis juga reliabilitas soal dipenuhi apabila butir soal dikonstruksi atas dasar kisi-kisi soal. Di samping memenuhi validitas, butir soal harus benar dari segi materi, konstruksi, dan kebahasaan.

Analisis soal meliputi analisis butir soal dan analisis soal (perangkat soal), baik soal objektif maupun soal uraian. Pendekatan yang digunakan dapat pendekatan cara klasik atau pendekatan cara modern (teori respons butir). Analisis butir soal secara klasik mudah dilakukan oleh guru oleh karena statistik yang dipergunakan adalah statistik sederhana, yaitu berkaitan dengan analisis korelasi.

Analisis butir soal sangat bermanfaat untuk mengetahui secara empiris: a) kekuatan dan kelemahan butir soal;

(25)

22 c) masalah yang ada dalam butir soal;

d) butir soal yang baik sebagai bahan pembuatan bank soal.

E. Karakteristik Butir Soal

Karakteristik butir soal merupakan parameter kuantitatif butir soal, yang dinyatakan sebagai aspek tingkat kesukaran (difficulty value), aspek daya pembeda (discrimi-nation value), dan aspek berfungsi tidaknya pilihan jawaban (answer distribution) untuk soal pilihan ganda.

1. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran suatu soal yang biasa disimbolkan P merupakan salah satu parameter butir soal yang sangat berguna dalam analisis suatu tes. Hal ini disebabkan dengan melihat parameter tingkat kesukaran, akan diketahui seberapa baiknya kualitas suatu butir soal.

Allen & Yen (1979: 122) menyatakan bahwa secara umum indeks kesukaran suatu butir soal sebaiknya terletak pada interval 0,3 – 0,7. Pada interval ini informasi tentang kemampuan peserta didik akan diperoleh secara maksimal. Dalam merancang indeks kesukaran suatu perangkat tesperlu dipertimbangkan tujuan penyusunan perangkat tes tersebut. Pada tes seleksi, diperlukan suatu perangkat tes yang memiliki indeks kesukaran yang tidak terlalu tinggi, agar diperoleh hasil seleksi yang memuaskan.

Tingkat kesukaran suatu butir soal objektif (misal pilihan ganda) adalah proporsi peserta didik yang menjawab benar butir soal tersebut. Untuk menentukan indeks kesukaran dari suatu butir soal pada perangkat tes pilihan ganda digunakan persamaan:

P =

N B

dengan:

P = proporsi menjawab benar pada butir soal tertentu

B = banyaknya peserta tes yang menjawab benar pada butir soal tertentu N = banyaknya peserta tes yang menjawab

(26)

23 Bila jumlah peserta didik sangat banyak, skor peserta didik dibuat peringkatnya lebih dahulu, kemudian diambil 27% kelompok atas (RH) dan 27% kelompok bawah (RL), peserta didik sebanyak 46% tidak diperhitungkan dan tingkat kesukaran dihitung dengan rumus sebagai berikut:

P =

bawah atas bawah atas N N B B     dengan:

Batas = jumlah peserta didik yang menjawab benar kelompok atas

Bbawah = jumlah peserta didik yang menjawab benar kelompok bawah Natas = jumlah peserta didik kelompok atas (27%)

Nbawah = jumlah peserta didik kelompok bawah (27%)

Secara umum kriteria tingkat kesukaran yang biasa digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesukaran

No. Harga P Kriteria

1. 0,00 - 0,25 Sukar

2. 0,25 - 0,75 Sedang

3. 0,75 - 1,00 Mudah

Pada penelitian ini kriteria pengklasifikasian tingkat kesukaran butir soal ditetapkan berdasarkan data hasil analisis yang diintervalkan sendiri, karena banyak data yang menghasilkan harga P di luar kriteria yang umum digunakan. Adapun kriteria yang dimaksud disajikan pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Kriteria Tingkat Kesukaran Berdasarkan Data Hasil Analisis

No. P Kriteria

1. 1,25 - 2,75 Sukar

2. (-1,25) - 1,25 Sedang 3. (- 2,75) – (-1,25) Mudah

(27)

24 Berdasarkan analisis menunjukkan adanya beberapa butir soal yang memiliki harga P lebih besar dari 2,75 (> 2,75) atau lebih kecil dari -2,75 (< - 2,75), sehingga butir soal tersebut berada di luar kriteria yang ditetapkan. Oleh karena itu butir soal yang demikian dikategorikan sebagai keadaan ekstrim. Dalam hal ini berarti ada dua keadaan ekstrim, yaitu ekstrim 1 bagi butir soal yang memiliki harga P < -2,75 dan ekstrim 2 bagi butir soal yang memiliki harga P > 2,75.

Perangkat soal yang baik memiliki tingkat kesukaran soal merata, yaitu mudah, sedang, maupun sukar dengan proporsi seperti terlihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Proporsi Tingkat Kesukaran Soal dalam Satu Perangkat Soal

No. Mudah Sedang Sukar

1. 25% 50% 25%

2. 20% 60% 20%

3. 15% 70% 15%

2. Daya Beda

Daya beda soal yang biasa disimbolkan D merupakan parameter tes yang memberikan informasi seberapa besar daya soal itu untuk dapat membedakan peserta tes yang skornya tinggi dan peserta tes yang skornya rendah (Allen & Yen, 1979: 122). Dengan demikian besaran ini akan dapat digunakan untuk melihat kemampuan butir soal dalam membedakan peserta didik yang mampu dan peserta didik yang tidak mampu memahami materi yang ditanyakan dalam butir tes tersebut. Semakin besar indeks daya beda butir soal, maka semakin besar kemampuan butir soal dalam membedakan peserta didik yang mampu dan peserta didik yang tidak mampu.

Untuk menentukan daya beda, dapat digunakan indeks diskriminasi, indeks korelasi biserial, indeks korelasi point biserial, dan indeks keselarasan.

(28)

25 Pada analisis daya beda hanya akan digunakan indeks korelasi point biserial yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

rp bis

= p 1 p S B t X p X tot   dengan:

rp bis = koefisien korelasi point biserial

Xp = rerata skor total peserta didik untuk peserta didik dengan X = 1 Xt = rerata skor total seluruh peserta didik.

SBtotal = standar deviasi

p = proporsi peserta didik dengan X = 1

Harga D butir soal objektif berkisar dari –1 sampai dengan +1, butir soal objektif baik bila daya beda  25% dan tidak baik jika butir soal memiliki daya beda kurang dari (< 0,25). Butir soal yang memiliki harga daya beda negatif dikategorikan tidak baik, sebab kelompok bawah (peserta didik kurang pandai) dapat menjawab butir soal objektif tersebut lebih baik daripada kelompok atas (peserta didik pandai), yang seharusnya adalah sebaliknya.

F. Ragam Bentuk Soal

Soal adalah serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau dijawab oleh peserta didik, suatu soal terdiri atas sejumlah butir soal. Ciri khusus soal ialah selalu mempunyai jawaban benar atau salah. Pekerjaan atau jawaban peserta didik tersebut setelah diperiksa benar-salahnya akan menghasilkan skor yang selanjutnya dengan cara tertentu diubah menjadi nilai. Soal dibagi menjadi dua bentuk, yaitu soal bentuk uraian dan soal bentuk objektif. Kedua bentuk soal memiliki kelebihan disamping kekurangan.

Pemilihan bentuk soal yang tepat ditentukan oleh tujuan ujian, jumlah peserta ujian, waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban, cakupan materi, dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan (Djemari Mardapi, 2008: 91).

(29)

26 1. Soal Bentuk Uraian

Instrumen penilaian hasil belajar bentuk soal adalah instrumen untuk merekam hasil belajar peserta didik. Hasil belajar merupakan manifestasi tujuan belajar dalam bentuk kompetensi belajar. Oleh karenanya hasil belajar peserta didik berupa kompetensi hasil belajar, yang berisi dua hal:

a. kompetensi aspek kognitif, afektif, dan/atau psikomotor;

b. materi kimia dalam bentuk pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan/atau meta kognitif.

Pada soal bentuk uraian, butir soal berbentuk kalimat dan peserta didik harus menjawab dalam bentuk kalimat pula. Atas dasar hal ini, peserta didik harus memiliki kemampuan menulis kalimat dengan cara dan bahasa ilmiah yang benar. Pada soal bentuk objektif, butir soal berupa pertanyaan atau pernyataan dan diikuti dengan sejumlah alternatif jawaban. Peserta didik menjawab butir soal dengan memilih alternatif jawaban yang sudah disediakan

Soal bentuk uraian terdiri atas butir-butir soal uraian. Butir soal uraian yang dimaksud di sini adalah butir soal yang mengandung pertanyaan yang jawabannya harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta didik. Pada butir soal bentuk uraian tidak tersedia alternatif jawaban. Dalam menjawab butir soal uraian peserta didik dituntut untuk menguraikan jawabannya dengan kata-kata sendiri dan cara sendiri. Jawaban dari peserta didik selalu berbeda dalam hal bentuk, cara, dan gaya bahasanya.

Soal uraian disebut soal non objektif, karena penilaian yang dilakukan terhadap hasil ujian dengan soal bentuk ini cenderung dipengaruhi subjektivitas dari penilai (unsur pribadi penilai). Bentuk soal ini menuntut kemampuan peserta didik untuk menyampaikan, memilih, menyusun, dan memadukan gagasan atau ide yang telah dimilikinya dengan menggunakan kata-katanya sendiri.

Soal bentuk uraian memiliki kelebihan dibandingkan soal bentuk objektif, baik dalam cara penyusunannya maupun pelaksanaannya. Keunggulan bentuk soal ini dapat mengukur tingkat berpikir dari yang rendah sampai yang tinggi,

(30)

27 yaitu mulai dari aspek kognitif mengingat sampai mengevaluasi. Kelebihan lainnya adalah:

a. cara menyusunnya lebih mudah daripada soal objektif,

b. mengukur hasil belajar kompleks, yang tidak dapat diukur dengan soal objektif,

c. peserta didik tidak dapat menebak jawaban.

Namun disamping kelebihan yang dimilikinya, soal uraian juga memiliki berbagai kekurangan, diantaranya:

a. untuk koreksi diperlukan waktu lama, b. materi yang dicakup sangat terbatas, c. subjektivitas tinggi,

d. reliabilitas rendah

Untuk mengurangi subjektivitas yang tinggi, ada beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu:

a. jawaban tiap soal tidak dituntut terlalu panjang, sehingga dapat mencakup materi yang banyak,

b. tidak melihat nama peserta ujian,

c. memeriksa tiap butir soal dalam waktu bersamaan atau sesuai nomor soal, sehingga jika penilai kelelahan dalam mengoreksi dapat berhenti di nomor soal yang sama. Hal ini dilakukan karena suasana hati penilai sangat berpengaruh dalam menilai, dan

d. menyiapkan pedoman penskoran dalam bentuk “tabel penskoran” atau “marking scheme” untuk setiap butir soal uraian yang berupa tahap-tahap perhitungan, sedangkan jika jawaban soal bersifat argumentatif, maka harus ditetapkan kata kunci yang harus ada dalam jawaban.

Soal uraian dibagi menjadi tipe uraian terbatas dan uraian bebas. Pada tipe soal uraian terbatas, jawaban peserta didik dibatasi rambu-rambu yang ditentukan dalam butir soal uraian tersebut. Jawaban peserta didik bersifat memusat

(31)

28 (konvergen). Ragam soal ini ada tiga yaitu ragam soal uraian melengkapi (isian), ragam soal uraian jawaban singkat, dan ragam soal uraian terbatas sederhana.

Contoh soal uraian melengkapi (isian), jawaban singkat, dan terbatas sederhana berturut-turut sebagai berikut:

a. Ketika Mita merayakan ulang tahun banyak balon yang dipasang untuk menghias rumah. Di dalam balon terdapat udara. Udara termasuk benda gas yang mempunyai sifat ….

b. Sebutkan penyebab terjadinya perubahan wujud benda!

c. Setiap hari Ibu Anita memasak untuk keluarganya. Oleh karena itu bumbu dapur di rumahnya tersedia lengkap. Sebutkan 4 (empat) bumbu dapur yang dimiliki Ibu Anita yang bisa larut dalam air!

Pada tipe soal uraian bebas, peserta didik bebas menjawab soal dengan cara dan sistematika sendiri. Jawaban peserta didik terhadap soal tersebut bersifat menyebar (divergen). Ragam butir soal ini ada dua, yaitu ragam soal uraian bebas sederhana dan ragam soal uraian bebas ekspresif.

Contoh soal uraian bebas sederhana dan uraian bebas ekspresif berturut-turut sebagai berikut:

a. Ketika terjadi gerhana bulan total, maka sebagian permukaan bumi menjadi tampak gelap. Jelaskan mengapa hal ini terjadi!

b. Sebutkan dua cara untuk mencegah agar tidak terjadi banjir!

Pemberian skor soal uraian melengkapi dan jawaban singkat, cara menskornya sederhana. Skor tiap butir soal untuk jawaban benar adalah 1 (satu) dan skor tiap butir soal untuk jawaban salah adalah 0 (nol). Pemberian skor soal uraian terbatas sederhana, soal uraian bebas sederhana dan uraian bebas ekspresif, perlu dibuat cara penskorannya dengan suatu tabel penskoran atau marking

scheme.Setiap langkah yang dijawab benar diberi skor, sehingga penskoran

menjadi lebih objektif.

Dalam menyusun soal bentuk uraian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

(32)

29 a. Materi soal uraian merupakan materi yang tidak cocok diukur dengan soal

objektif.

b. Setiap butir soal menggunakan petunjuk dan rumusan yang jelas dan mudah dipahami sehingga tidak menimbulkan kebimbangan pada peserta didik.

c. Jangan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih beberapa butir soal dari soal yang diberikan.

d. Butir soal uraian mengarah pada aspek kognitif yang tinggi (C2 ke atas).

2. Soal Bentuk Objektif

Soal bentuk objektif terdiri atas sejumlah butir soal. Butir soal objektif adalah butir soal yang mengandung pertanyaan atau pernyataan yang alternatif jawabannya telah disediakan. Peserta didik diminta memilih salah satu alternatif jawaban yang benar.

Bentuk soal objektif yang sering digunakan adalah bentuk pilihan ganda, benar salah, menjodohkan, dan uraian objektif. Soal uraian objektif sering digunakan pada bidang sains (IPA) dan teknologi atau bidang sosial yang jawabannya sudah pasti dan hanya satu jawaban yang benar. Sedangkan soal uraian non objektif (esai) sering digunakan pada bidang ilmu sosial, yaitu jika jawabannya luas dan tidak hanya satu jawaban yang benar, tergantung argumen-tasi peserta ujian. Bentuk soal objektif pilihan ganda dan benar salah sangat tepat digunakan bila jumlah peserta ujian banyak, waktu koreksi singkat, dan cakupan materi yang diujikan banyak.

Bentuk soal uraian objektif sering digunakan pada mata pelajaran yang batasnya jelas, seperti mata pelajaran fisika, kimia, biologi, atau IPA terpadu, matematika, dan teknik. Soal pada ujian bentuk ini jawabannya hanya satu, mulai dari memilih rumus yang tepat, memasukkan angka dalam rumus, menghitung hasil, dan menafsirkan hasilnya. Soal uraian objektif penskorannya juga jelas dan rinci.

Secara umum soal berbentuk objektif memiliki beberapa kelebihan, yaitu: a. cara mengoreksi jawaban mudah, cepat, dan dapat dilakukan oleh siapapun, b. materi pokok kimia yang dicakup luas,

(33)

30 c. objektivitas tinggi.

Sedangkan kekurangan soal objektif antara lain: a. cara menyusunnya sukar dan lama,

b. hanya sesuai untuk mengukur hasil belajar pada aspek kognitif tingkat rendah (mengingat),

c. ada kemungkinan peserta didik menebak jawaban.

Soal objektif dibagi menjadi tipe objektif benar-salah, objektif menjodohkan, dan objektif pilihan ganda. Jawaban soal objektif dapat diskor dengan mudah dan bersifat objektif. Umumnya dipakai dasar, bila jawaban butir soal benar skor adalah 1, sedangkan bila jawaban butir soal salah, skor adalah 0.

Soal objektif bentuk pilihan ganda dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar dari dimensi proses kognitif sederhana sampai dengan yang kompleks dan berkenaan dengan aspek mengingat, mengerti, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Butir soal objektif bentuk plihan ganda terdiri atas pokok soal dan alternatif pilihan jawaban. Pokok soal disebut juga stem, yang dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan yang belum sempurna. Pilihan jawaban dapat berbentuk perkataan, bilangan, atau kalimat, dan disebut juga

option.

Kelebihan soal bentuk pilihan ganda adalah lembar jawaban dapat diperiksa dengan komputer, sehingga objektivitas penskoran dapat dijamin. Namun membuat soal pilihan ganda yang baik tidak mudah, perlu tahapan validasi kualitatif dan kuantitatif yang harus ditempuh agar benar-benar diperoleh soal dengan kualitas yang baik, valid, dan reliabel.

Soal berbentuk pilihan ganda memiliki kelebihan, diantaranya: a. cara penilaian dapat dilakukan dengan mudah, cepat, objektif,

b. kemungkinan peserta didik menjawab dengan menebak dapat dikurangi, untuk

option sebanyak 5 kemungkinan menebak adalah 20% dan option sebanyak 4

(34)

31 c. dapat digunakan untuk meneliti kemampuan peserta didik dalam

menginter-pretasi, memilih, dan menemukan pendapat, d. dapat digunakan berulang-ulang, dan

e. sangat cocok untuk menilai kemampuan peserta didik dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip.

Disamping kelebihan, soal berbentuk pilihan ganda memiliki kekurangan, yaitu:

a. kebanyakan hanya digunakan untuk menilai ingatan, b. sukar menyusun soal yang benar-benar baik,

c. memerlukan waktu dan tenaga yang banyak untuk menyusunnya.

Dalam menyusun soal pilihan ganda,, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

a. Berilah petunjuk mengerjakan soal yang jelas.

b. Jangan memasukkan materi yang`tidak relevan dengan apa yang sudah dipelajari peserta didik.

c. Pernyataan pada pokok soal (stem) seharusnya merumuskan persoalan yang jelas dan berarti.

d. Pernyataan dan alternatif jawaban (option) hendaknya merupakan kesatuan kalimat yang tidak terputus.

e. Option hendaknya homogen dalam hal materi dan panjangnya, urutan bilangan dari besar ke kecil atau sebaliknya.

f. Panjang option pada suatu soal hendaknya lebih pendek daripada stem-nya. g. Usahakan agar stem dan option tidak mudah diasosiasikan.

h. Dalam penyusunannya, pola kemungkinan jawaban yang benar hendaknya jangan sistematis.

(35)

32 G. Variabel yang Diukur

Variabel yang diukur dalam survei INAP terdiri dari pengetahuan

(knowledge), keterampilan (skill), serta latar belakang peserta didik, guru, dan

sekolah.

1. Pengetahuan dan Keterampilan

Pengetahuan yang diukur berupa materi yang terdapat dalam kurikulum

(curriculum focused) dan materi yang bersifat lintas kurikulum(cross-curricular elements) dengan penekanan pada pemahaman konsep dan kemampuan untuk

menggu-nakannya dalam kehidupan pada berbagai situasi. Pengetahuan dan keterampilan yang diukur meliputi:

a. Literasi membaca (reading literacy), meliputi: (1) kemampuan membaca (perfor-mative), (2) kemampuan menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (functional), (3) kemampuan mengakses pengetahuan dengan bahasanya (informational), dan (4) kemampuan mentransformasi pengetahuan serta mengeva-luasi (epistemic).

a. Literasi matematika (mathematical literacy), meliputi: (1) kemampuan mengetahui fakta dan prosedur matematika (knowing), (2) kemampuan menggunakan konsep matematika untuk menjawab permasalahan matematis sederhana (using), (3) dan kemampuan bernalar untuk memecahkan masalah yang membutuhkan pemikiran matematis (reasoning).

b. Literasi sains (scientific literacy), mencakup kemampuan: 1) menggunakan pengeta-huan atau konsep-konsep sains secara bermakna, 2) mengidentifikasi masalah, 3) menganalisis dan mengevaluasi data atau peristiwa; 4) merancang penyelidikan; 5) menggunakan dan memanipulasi alat, bahan atau prosedur; serta 6) memecahkan masalah dalam rangka memahami fakta-fakta tentang alam dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan.

(36)

33 2. 2Latar Belakang Peserta Didik, Guru, dan Sekolah

a. Latar Belakang Peserta Didik

Berdasarkan penggalian latar belakang peserta didik akan dicari informasi mengenai: demografi peserta didik, latar belakang status sosial dan ekonomi, tingkat motivasi dan minat peserta didik, partisipasi lingkungan peserta didik terhadap pendidikan, kebiasaan belajar peserta didik, persepsi peserta didik terhadap bidang studi yang diujikan, serta ekspektasi (harapan) peserta didik terhadap hasil pembelajaran.

b. Latar Belakang Guru

Setiap guru yang mengajar peserta didik yang menjadi sampel pada INAP akan diberikan angket yang mengukur aspek-aspek: demografi guru, pengalaman mengajar, latar belakang pendidikan dan pelatihan, alokasi waktu guru dalam mengajar, opini dan persepsi guru terhadap sekolah dan peserta didik, serta kesiapan guru mengajarkan materi yang diujikan.

c. Latar Belakang Sekolah

Aspek yang diukur yang berkaitan dengan latar belakang sekolah meliputi: demografi sekolah, jumlah peserta didik dan guru, latar belakang pendidikan semua guru, status semua guru (tetap atau honorer), kebijakan sekolah dalam penerimaan peserta didik, sumber dana sekolah dan pengalokasiannya, kebijakan pembelajaran di sekolah (penentuan mata pelajaran, buku yang digunakan), dan variabel-variabel lain yang berhubungan dengan pengelolaan sekolah.

H. Materi Bahasa Indonesia SD

Survei INAP 2011 mengukur kemampuan peserta didik terhadap pengua-saan materi kelas IV SD/MI. Literasi membaca, metematika dan sains yang diukur pada tingkatan kelas tersebut tidak hanya meliputi penguasaan standar isi dan kompetensi dasar di kurikulum, tetapi juga memotret kecakapan peserta didik untuk hidup mandiri dalam lingkungan sosialnya (life skill).

(37)

34 Materi Bahasa Indonesia kelas IV SD/MI meliputi materi semester 1 dan 2, dengan jumlah Standar Kompetensi (SK) sebanyak 8 dengan perincian di semester 1 dan 2 berturut-turut masing-masing sebanyak 4. Setiap SK dijabarkan dalam bentuk Kompetensi Dasar (KD) dengan perincian di semester 1 dan 2 berturut-turut 11 dan 10 KD. Adapun perincian tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dan selengkapnya pada Lampiran 6.

Tabel 4. SK dan KD Bahasa Indonesi Kelas IV SD/MI Berdasarkan Standar Isi Semester Jumlah SK Nomor

SK Perincian KD Jumlah KD 1 4 1 2 11 2 2 3 3 4 4 2 4 1 2 10 2 2 3 3 4 3 I. Strategi Asesmen

Strategi asesmen yang ditempuh dalam INAP adalah dengan cara survei yang menggunakan metodologi, prosedur, dan mekanisme yang diadaptasi dari beberapa survei Internasional yang telah dilakukan, antara lain Programme for

International Students Assessment (PISA) oleh Organization for Economics Cooperation Development (OECD), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Programme for International Reading Literacy Study (PIRLS) oleh International Evaluation Assessment (IEA), National Assessment of Educational Progress (NAEP).

Setiap rangkaian survei INAP diawali dengan pengembangan kerangka kerja, pengembangan instrumen yang dilaksanakan dengan memenuhi kaidah psikometrik, pemilihan sampel sekolah, pengumpulan data, pengolahan data, serta

(38)

35 pelaporan. Di setiap tahapan, pelaksanaan dilaksanakan dengan mematuhi rambu-rambu yang diadaptasi dari prosedur kerja survei internasional.

Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) adalah institusi yang mengkoor-dinir semua kegiatan INAP. Dalam pelaksanaannya Puspendik dibantu oleh Dinas Pendidikan terkait dan juga bekerjasama dengan Institusi Perguruan Tinggi di Indonesia.

J. Siklus Asesmen

Survei INAP merupakan survei tahunan yang target keseluruhannya adalah memantau pencapaian hasil pendidikan dari kelas I hingga kelas XII. Tahun 2012, kemampuan yang diukur dalam survei INAP adalah penguasaan domain konten dan kognitif kelas IV, serta latar belakang peserta didik, guru, dan sekolah yang menentukan keberhasilan peserta didik. Diharapkan dalam jangka waktu enam tahun, survei INAP telah mencapai satu siklus penuh dari kelas I hingga kelas XII.

(39)

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Target Populasi

Populasi dari survei INAP adalah seluruh peserta didik kelas IV SD/MI di Provinsi Kalimantan Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di setiap jenjang sekolah, target populasi INAP mencakup sekolah Negeri dan Swasta; sekolah baik, sedang dan kurang berdasar hasil UN SD.

B. Sampel

Teknik sampling yang digunakan adalah multi-stages stratified probability

proportional to size sampling. Di setiap provinsi sekolah yang menjadi target

populasi diklasifikasikan berdasar tiga jenis strata (stratified): (1) jenis sekolah (SD/MI), (2) status sekolah (Negeri dan Swasta), dan (3) mutu sekolah (baik, sedang, kurang). Kriteria sekolah berdasarkan nilai rata-rata sekolah pada soal-soal linking Nasional UN SD.

Di setiap Provinsi, ditentukan sekolah-sekolah yang memenuhi kriteria, yaitu lokasi terjangkau, jumlah peserta didik terdaftar memadai untuk pengam-bilan data (>7 peserta didik per sekolah), serta mencakup minimal 95% total populasi peserta didik di Provinsi tersebut. Sekolah dikelompokkan berdasarkan setiap strata dan diurutkan berdasarkan jumlah peserta didik terdaftar di masing-masing sekolah. Sebanyak 100 sekolah Provinsi terpilih sebagai sampel utama studi INAP 2012 dan setiap sekolah sampel utama disiapkan 2 sekolah cadangan.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam survei ini terdiri atas tes dan angket. Tes digunakan untuk mengukur prestasi peserta didik dan angket digunakan untuk mendapatkan informasi tentang variabel-variabel yang mempengaruhi prestasi peserta didik, yang meliputi variabel peserta didik, guru, sekolah, dan proses belajar-mengajar. Setiap peserta didik akan menempuh tes Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA.

(40)

37 Berdasarkan jenis mata pelajaran yang diujikan, terdapat dua macam buku tes, yaitu: (1) buku tes Matematika dan membaca, dan (2) buku tes Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Masing-masing buku tes terdiri atas 8 buku tes, sehingga jumlah buku tes keseluruhan adalah 16 buku tes. Antarbuku tes tersebut terdapat soal yang sama (anchor item) yang bertujuan untuk menyetarakan kemampuan peserta didik dalam satu skala, meskipun menempuh buku tes yang berbeda.

Buku tes INAP didesain dengan mengikuti matriks pemetaan soal. Untuk setiap jenjang sekolah, soal-soal dari setiap mata pelajaran dikelompokkan dalam 8 cluster soal. Setiap buku tes terdiri atas 4 cluster soal yang berasal dari mata pelajaran yang berbeda. Pengaturan cluster dalam setiap buku tes dapat dilihat dalam Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5.

Pemetaan Cluster Soal dalam Setiap Buku Tes Matematika dan Membaca BUKU 1 BIN INT 1

(1-13) BIN CLUSTER 1 (14-27) MAT INT 1 (28-37) MAT CLUSTER 1 (38-52)

BUKU 2 MAT CLUSTER 2 (1-14) MAT INT 2 (15-25) BIN CLUSTER 2 (26-38) BIN INT 2 (39-49)

BUKU 3 BIN CLUSTER 3 (1-13) BIN CLUSTER 2 (14-26) MAT CLUSTER 3 (27-40) MAT CLUSTER 2 (41-54)

BUKU 4 MAT INT 1 (1-10) MAT CLUSTER 3 (11-24) BIN INT 1 (25-37) BIN CLUSTER 3 (38-50)

BUKU 5 BIN INT 2 (1-11) BIN CLUSTER 4 (12-25) MAT INT 2 (26-36) MAT CLUSTER 4 (37-50)

BUKU 6 MAT CLUSTER 4 (1-14) MAT CLUSTER 5 (15-28) BIN CLUSTER 4 (29-42) BIN CLUSTER 5 (43-54)

BUKU 7 BIN CLUSTER 5 (1-12) BIN INT 1 (13-25) MAT CLUSTER 5 (26-39) MAT INT 1 (40-49)

BUKU 8 MAT CLUSTER 6 (1-13) MAT INT 2 (14-24) BIN CLUSTER 6 (25-37) BIN INT 2 (38-48)

BUKU 9 BIN CLUSTER 1 (1-14) BIN CLUSTER 6 (15-27) MAT CLUSTER 1 (28-42) MAT CLUSTER 6 (43-55)

Gambar

Tabel 4. SK dan KD Bahasa Indonesi Kelas IV SD/MI Berdasarkan Standar Isi  Semester  Jumlah SK  Nomor
Gambar  4.  3.  Perbandingan  Persentase  Rerata  Skor  Membaca  INAP  2012  terhadap Benchmark Internasional
Tabel 4.2. Soal INAP 2012 dengan Daya Beda dan Tingkat Kesukaran Baik  No
Gambar  4.  5.  Grafik  Persentase  Tingkat  Kesukaran  Item  dari  35  item yang tergolong Baik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsepsi penciptaan alam yang dilemparkan para filsuf Neo-Platonisme seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina adalah konsep filosofis yang ada dan lahir

menggabungkan potensi alam dan potensi budaya masyarakat sekitar, diharapkan dapat meningkatkan derajat kualitas kehidupan kawasan Benteng Kuto Besak dengan penampakan fisik

• Dengan kondisi isolasi mandiri selama 10 hari, persiapkan bahan makanan yang cukup untuk dua minggu pertama di UK, atau dapat juga meminta tolong teman-teman PPI UK

Bentuk terumbu karang terus mengalami modifikasi guna mendapatkan kesesuaian dan efisiensinya sebagai pemecah gelombang, Performa artificial reef dalam perlindungan

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

4.18 Perbandingan perubahan suhu permukaan bahan terhadap tekanan Pengeringan Beku Pembekuan Vakum Pemanas Atas dan Bawah dengan diagram fasa air...44. 4.19 Perbandingan

Dari latar belakang masalah dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu apakah ekstrak etanol daun kemuning dalam bentuk sediaan sirup dapat mempotensiasi efek sedasi natrium

Tujuan dari isi paper ini adalah untuk menganalisa unjuk kerja sistem kompresi citra grayscale asli, apakah informasi data citra hasil rekonstruksi benar-benar dapat