SKRIPSI
FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI
Oleh:
ANWAR SANUSI F24101067
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANWAR SANUSI (F24101067). Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Tinggi Kalori. Dibawah bimbingan Nuri Andarwulan. 2006.
RINGKASAN
Sagu merupakan salah satu komoditi pangan lokal Indonesia yang tersebar luas terutama di bagian timur Indonesia seperti Maluku dan Irian Jaya. Sagu memiliki jumlah kalori yang cukup tinggi, sehingga pada awalnya sebagian masyarakat Indonesia menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Namun pemanfaatan sagu dewasa ini sudah mulai ditinggalkan karena masyarakat lebih memilih beras dari pada sagu, padahal bila dilihat dari kandungan kalorinya, sagu memiliki kandungan yang tidak jauh berbeda dengan beras. Sagu memiliki kandungan kalori sebesar 353 kkal per 100 g bahan, sedangkan beras mempunyai kandungan kalori sebesar 364 kkal per 100 g bahan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1990).
Selama ini produk-produk pangan yang dibuat dari sagu merupakan produk-produk pangan olahan tradisional. Sebagai salah satu upaya diversifikasi pangan dan peningkatan kembali konsumsi sagu sebagai pangan nasional, maka perlu dikembangkan suatu produk makanan berbasis sagu yang diolah dengan teknologi lebih modern. Salah satu produk yang mungkin dibuat adalah produk sagu instan tinggi kalori. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula sagu instan yang memiliki kandungan kalori yang tinggi dan diterima oleh konsumen. Formula dibuat dengan menambahkan beberapa bahan lain sehingga diperoleh bentuk pangan instan dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat sebagai pangan tinggi kalori.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : (1) Tahap persiapan, yang meliputi pencucian, pengayakan, dan penyangraian pati sagu, pembuatan tepung kedelai, dan analisis proksimat bahan baku; (2) Formulasi dan pembuatan produk; (3) Uji organoleptik; (4) Analisis sifat fisik, kimia, dan daya cerna; dan (4) Penentuan takaran saji dan Angka kecukupan Gizi berdasarkan kandungan gizi produk hasil analisis kimia dan daya cerna.
dengan tujuan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap produk. Komposisi pati sagu : tepung kedelai pada ketiga formula sagu instan tahap kedua adalah 50 :5, 45 : 10, dan 40 : 15, sisanya adalah bahan penyususn lain.
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap produk (uji hedonik) serta untuk menentukan formula terbaik (uji rangking hedonik). Parameter mutu sensori yang diuji pada uji organoleptik meliputi warna, aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan. Hasil uji organoleptik terhadap parameter warna menunjukkan tingkat kesukaan netral/biasa hingga suka, sedangkan hasil uji organoleptik terhadap parameter aroma, tekstur, rasa, dan kerenyahan menunjukkan tingkat kesukaan netral/biasa hingga agak suka. Berdasarkan data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa produk cukup diterima oleh konsumen. Hasil uji organoleptik dengan rangking hedonik menunjukkan bahwa formula dengan komposisi 45% pati sagu, 10% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati merupakan formula terbaik.
Analisis proksimat dilakukan terhadap tiga formula tahap kedua yang merupakan formula terpilih hasil uji organoleptik. Hasil analisis menunjukkan bahwa formula sagu instan mempunyai kadar air berkisar antara 2.76 – 3.36% (bb), kadar abu 2.96 – 3.11% (bk), protein 8.07 – 12.38% (bk), lemak 5.60 – 7.84% (bk), karbohidrat 76.68 – 83.37% (bk), dan serat makanan 5.54 – 9.48% (bk). Dari data tersebut diperoleh nilai kalori produk sebesar 389 – 395 kkal per 100 g bahan (% bk). Nilai kalori tersebut memenuhi standar pangan berkalori menurut BPOM (2004), yaitu minimal harus mempunyai 300 kkal per 100 g bahan.
Analisis daya serap air dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan produk dalam menyerap air, sehingga dapat berguna dalam proses rekonstitusi produk. Hasil pengukuran daya serap air formula sagu instan menunjukkan nilai 3.72 – 4.15 g/g. Dari data terlihat adanya penurunan daya serap air dengan peningkatan penambahan tepung kedelai dalam produk. Hal ini diduga disebabkan karena peningkatan kandungan protein dan lemak dapat menyebabkan penghambatab laju penyerapan air pada produk. Selain daya serap air, dilakukan juga penentuan rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rasio rehidrasi optimum antara bahan dan air adalah 1 : 4 dengan waktu optimum 2.9 – 3.6 menit.
Penentuan daya cerna protein dilakukan dengan metode in vitro
menggunakan teknik multi enzim. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya cerna protein formula sagu instan berkisar antara 81.07 – 82.16%. Formula dengan komposisi 40% pati sagu, 15% tepung kedelai, 25% skim, 15% gula, dan 5% minyak nabati memiliki nilai daya cerna protein paling tinggi yaitu 82.16%. Hal ini terjadi karena formula tersebut mempunyai kandungan protein paling tinggi.
Penentuan takaran saji dan Angka Kecukupan Gizi dilakukan terhadap tiga formula tahap kedua. Penentuan takaran sajididasarkan pada kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per hari. Pada penelitian ini jumlah takaran saji yang dianjurkan adalah 37 g. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang akan dipenuhi meliputi kalori, protein, lemak, dan karbohidrat. Sebelum dilakukan perhitungan AKG terlebih dahulu dilakukan perhitungan kandungan gizi per takaran saji. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa AKG kalori formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 7.20 – 7.30 %, AKG protein berkisar antara 5.98 – 8.33 %, AKG karbohidrat berkisar antara 8.73 – 9.49 %., AKG lemak formula sagu instan per takaran saji berkisar antara 3.76 – 5.27 %. AKG protein dan karbohidrat dapat memenuhi minimal 20% dari AKG yang dianjurkan sebagai syarat klaim tinggi apabila produk dikonsumsi tiga kali dalam sehari.
FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
ANWAR SANUSI F24101067
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
FORMULASI SAGU INSTAN SEBAGAI MAKANAN TINGGI KALORI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
ANWAR SANUSI F24101067
Dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1983
Di Garut
Tanggal lulus: Maret 2006
Menyetujui,
Bogor, Maret 2006
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi Dosen Pembimbing
Mengetahui
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut, Jawa Barat pada tanggal 15
Oktober 1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara, yang lahir dari pasangan Bapak Uyoh Saefuloh dan
Ibu Kokoy Rukoyah.
Pendidikan penulis dimulai di SDN Sindangreret
Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur pada tahun 1989. Pada tahun 1994
penulis pindah sekolah ke SDN Cirapuhan I Kecamatan Selaawi Kabupaten Garut
sampai tahun 1995. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Selaawi
Kabupaten Garut kemudian pindah sekolah ke SLTPN 2 Sukaluyu sampai tahun
1998. Selanjutnya penulis memasuki jenjang pendidikan menengah di SMUN 1
Ciranjang Kabupaten Cianjur sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di beberapa
organisasi, yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM
FATETA) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA).
Penulis juga pernah mengikuti kepanitiaan dari beberapa kegiatan yang
diselenggarakan oleh Departemen Teknologi Pangan dan Gizi maupun Fakultas
Teknologi Pertanian. Pada tahun 2004, penulis melakukan Praktek Lapangan (PL)
di PT Indofood Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung dengan tema:
“Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Mie Instan di PT Indofood
Sukses Makmur Tbk. cabang Bandung”.
Penulis menyelesaikan tugas akhir penelitian sebagai salah satu syarat
memperoleh gelah sarjana dengan skripsi berjudul “Formulasi Sagu Instan
Sebagai Makanan Tinggi Kalori” dibawah bimbingan Dr. Ir. Nuri Andarwulan,
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga
penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Skripsi yang
berjudul “Formulasi Sagu Instan Sebagai Makanan Padat Kalori” ini merupakan
laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar
sarjana di Instutut Pertanian Bogor.
Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas
dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak dan Ibu tercinta, adikku tersayang Sulton Arif, serta seluruh
keluargaku atas do’a dan dukungannya.
2. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. sebagai dosen pembimbing akademik
yang banyak memberikan arahan dan bimbingannya.
3. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. dan Bapak Ir. Sutrisno Koswara, Msi.
atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan masukan-masukannya untuk
perbaikan skripsi.
4. Irma Pratiwi atas cinta, kasih sayang, pengorbanan, perhatian, dan
dorongan moralnya kepada penulis sehingga menjadi kekuatan bagi
penulis untuk tetap semangat dalam melakukan penelitian. Kau terlahir
hanya untukku.
5. Teman-temanku Jalu, Este, Intan, dan Nandang. Jangan lupakan saat-saat
terindah sewaktu kita bersama.
6. Teman-temanku di kelompok C1 (Fajri, Kidik, dan Pahrudin) atas
kebersamaan dan kekompakannya selama praktikum.
7. Teman-teman satu bimbingan (Daniel, Martantri, dan Pahrudin) yang
selalu memberi masukan berarti kepada penulis
8. Teman-temanku Bro, Udin, Manong, Rahmat, Bangun, dan Pitoy. Kapan
tanding lagi
9. Teman-teman TPG 38, 39, dan 40 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
11.Semua teknisi dan laboran. Pak wahid, Pak Gatot, Pak sobirin, Pak Koko,
Pak Sidik, Pak Rojak, Pak Yahya, Pak Nur, Pak Iyas, Teh Ida, Bu
Rubiyah.Terima kasih atas bantuannya.
12.Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian
maupun penulisan skripsi.
Dalam penulisan skripsi ini tak lepas dari kekurangan dan kesalahan dan
penulis mohon maaf. Penulis berharap semoga Skripsi ini dapat berguna bagi
semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Maret 2006
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU ... 3
1. Botani Tanaman Sagu ... 3
2. Pati Sagu ... 4
3. Pemanfaatan Sagu ... 8
B. KEDELAI ... 9
1. Komposisi Kimia Kedelai ... 10
2. Tepung Kedelai ... 10
3. Protein Kedelai ... 12
4. Lesitin Kedelai ... 13
C. MAKANAN TINGGI KALORI ... 14
D. PANGAN INSTAN ... 15
E. PENGERINGAN ... 16
1. Teori Pengeringan ... 16
2. Alat Pengering Drum ... 17
III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT ... 19
B. METODE PENELITIAN ... 19
1. Tahap Persiapan ... 20
2. Formulasi dan Pembuatan Produk ... 22
Halaman
C. PENGAMATAN ... 24
1. Kadar Air ... 24
2. Kadar Abu ... 25
3. Kadar Protein ... 25
4. Kadar Lemak ... 26
5. Kadar Karbohidrat ... 26
6. Kadar Serat Makanan ... 27
7. Penentuan Kalori Makanan ... 28
8. Daya serap air ... 28
9. Rasio Rehidrasi dan Waktu Rehidrasi ... 29
10. Daya Cerna Protein ... 29
11. Daya Cerna Pati ... 30
12. Uji Organoleptik ... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. TAHAP PERSIAPAN ... 32
1. Pencucian dan Pengayakan Pati ... 32
2. Penyangraian Pati ... 32
3. Pembuatan Tepung Kedelai ... 33
B. FORMULASI DAN PEMBUATAN PRODUK ... 34
1. Penyusunan Formula ... 34
2. Pembuatan Produk Sagu Instan ... 36
C. UJI ORGANOLEPTIK ... 39
1. Nilai Warna ... 40
2. Nilai Aroma ... 41
3. Nilai Tekstur ... 42
4. Nilai Rasa ... 43
5. Nilai Kerenyahan ... 45
6. Penerimaan umum ... 46
D. MUTU KIMIA SAGU INSTAN ... 47
1. Kadar Air ... 48
Halaman
3. Kadar Protein ... 50
4. Kadar Lemak ... 51
5. Kadar Karbohidrat ... 52
6. Kadar Serat Makanan (Dietary Fiber) ... 52
7. Kandungan Kalori ... 54
E. MUTU FISIK SAGU INSTAN ... 55
1. Daya Serap Air ... 55
2. Rasio Rehidrasi dan Waktu Rehidrasi ... 56
F. DAYA CERNA SAGU INSTAN ... 57
1. Daya Cerna Protein ... 57
2. Daya Cerna Pati ... 59
3. Penentuan Kalori Berdasarkan Daya Cerna ... 61
G. PENENTUAN TAKARAN SAJI DAN ANGKA KECUKUPAN GIZI ... 65
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 69
B. SARAN ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain ... 5
Tabel 2. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan ... 6
Tabel 3. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3792-1995 ... 6
Tabel 4. Komposisi kimia kedelai per 100 g bahan ... 11
Tabel 5. Formula sagu instan (dalam 100 g bahan) ... 23
Tabel 6. Komposisi kimia bahan penyusun sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk) ... 35
Tabel 7. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap pertama per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis ... 35
Tabel 8. Formula sagu instan tahap kedua (dalam 100 g bahan) ... 39
Tabel 9. Perhitungan kandungan gizi formula sagu instan tahap kedua per 100 g bahan (% bk) berdasarkan data komposisi kimia bahan penyusun hasil analisis ... 39
Tabel 10. Komposisi kimia formula sagu instan hasil analisis proksimat per 100 g bahan (% bk) ... 48
Tabel 11. Kandungan gizi formula sagu instan berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ... 62
Tabel 12. Kandungan gizi formula flakes triple mixed ubi jalar-kecambah kedelai-wheat germ berdasarkan daya cerna protein per 100 g bahan (% bk) ... 62
Tabel 13. Kandungan gizi formula pangan semi basah (PSB) dan kue satu dari buah sukun berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ... 63
Tabel 14. Kandungan gizi formula bubur bayi dari tepung kecambah kacang tunggak berdasarkan daya cerna protein dan pati per 100 g bahan (% bk) ... 63
Tabel 15. Kandungan gizi brownies buah kering dan plain cake buah kering berdasarkan daya cerna protein per 100 g bahan (% bk) ... 64
Tabel 16. Angka Kecukupan Gizi untuk acuan pelabelan pangan umum .... 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagan alir pencucian dan pengayakan pati sagu ... 20
Gambar 2. Bagan alir pembuatan pati sangrai ... 21
Gambar 3. Bagan alir pembuatan tepung kedelai metode Illinois ... 22
Gambar 4. Bagan alir proses pembuatan formula sagu instan ... 24
Gambar 5. Formula sagu instan ... 38
Gambar 6. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan warna formula sagu instan... 40
Gambar 7. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan aroma formula sagu instan ... 42
Gambar 8. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan tekstur formula sagu instan ... 43
Gambar 9. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan rasa formula sagu instan ... 44
Gambar 10. Histogram pengaruh formulasi terhadap skor rata-rata kesukaan kerenyahan formula sagu instan ... 45
Gambar 11. Histogram uji hedonik rangking formula sagu instan ... 46
Gambar 12. Daya serap air formula sagu instan ... 55
Gambar 13. Histogram pengaruh formulasi terhadap daya cerna protein formula sagu instan ... 58
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data hasil analisis proksimat bahan baku sagu instan ... 78
Lampiran 2. Data hasil analisis proksimat formula sagu instan ... 80
Lampiran 3. Formulir uji hedonik dan rangking hedonik ... 82
Lampiran 4. Rekapitulasi data uji hedonik pertama ... 84
Lampiran 5. Rekapitulasi data uji hedonik kedua ... 87
Lampiran 6. Rekapitulasi data uji rangking hedonik. ... 89
Lampiran 7. Analisis ragam uji hedonik warna formula pertama ... 90
Lampiran 8. Analisis ragam uji hedonik aroma formula pertama ... 90
Lampiran 9. Analisis ragam uji hedonik tekstur formula pertama ... 91
Lampiran 10. Analisis ragam uji hedonik rasa formula pertama ... 92
Lampiran 11. Analisis ragam uji hedonik kerenyahan formula pertama ... 92
Lampiran 12. Analisis ragam uji hedonik warna formula kedua ... 93
Lampiran 13. Analisis ragam uji hedonik aroma formula kedua ... 94
Lampiran 14. Analisis ragam uji hedonik tekstur formula kedua ... 94
Lampiran 15. Analisis ragam uji hedonik rasa formula kedua ... 95
Lampiran 16. Analisis ragam uji hedonik kerenyahan formula kedua ... 96
Lampiran 17. Analisis ragam uji rangking hedonik formula kedua... 96
Lampiran 18. Rekapitulasi data daya cerna protein sagu instan ... 97
Lampiran 19. Rekapitulasi data daya cerna pati sagu instan ... 98
Lampiran 20. Rekapitulasi data daya serap air formula sagu instan ... 100
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat seringkali menimbulkan
permasalahan dalam hal ketahanan pangan. Hal ini terjadi bila pertambahan
penduduk tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan yang mencukupi. Pola
konsumsi yang hanya bertumpu pada satu jenis bahan pangan pokok menjadi
salah satu penyebab timbulnya masalah tersebut. Salah satu upaya yang harus
dilakukan untuk mencegah timbulnya masalah ketersediaan pangan adalah
upaya diversifikasi pangan. Upaya diversifikasi pangan adalah upaya
penganekaragaman bahan pangan agar tidak terjadi ketergantungan terhadap
salah satu jenis bahan pangan. Penyedianan bahan pangan alternatif
merupakan aspek penting dalam upaya diversifikasi pangan.
Sagu adalah salah satu bahan pangan lokal Indonesia yang mempunyai
potensi cukup tinggi untuk dijadikan bahan pangan alternatif makanan tinggi
kalori selain beras atau gandum. Sagu tersebar luas terutama di bagian timur
Indonesia seperti Maluku dan Irian Jaya.. Sagu memiliki jumlah kalori yang
cukup tinggi, sehingga sebagian masyarakat Indonesia menjadikan sagu
sebagai makanan pokok. Kandungan kalori sagu adalah sebesar 353 kkal per
100 g bahan (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1990). Angka ini
tidak jauh berbeda dengan jumlah kalori beras yaitu 364 kkal per 100 g bahan
yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.
Sebagai makanan dengan jumlah kalori tinggi, sagu berpotensi untuk
dijadikan makanan tinggi kalori seperti makanan darurat atau makanan
pendamping ASI. Makanan tinggi kalori adalah makanan yang mengandung
kalori diatas normal untuk memperoleh energi yang dibutuhkan dan
meningkatkan berat badan. Penambahan kalori dapat berkisar antara 30%
sampai 100% diatas kebutuhan pada umumnya (Lagua dan Cloudio, 1996).
Pemanfaatan sagu dewasa ini sudah mulai ditinggalkan karena
masyarakat Indonesia lebih memilih beras sebagai makanan pokok. Selain
sebagai makanan pokok, sagu juga diolah menjadi berbagai produk pangan
produk ekstrusi dan bubur sagu. Salah satu upaya pemanfaatan potensi sagu
adalah dengan membuat produk pangan instan berbasis sagu. Pangan instan
adalah produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah penggunaan
produk pangan yang sering dihadapi misalnya penyimpanan, transportasi, dan
tempat (Hartomo dan Widiatmoko, 1992). Produk pangan berbahan dasar
sagu yang bisa dibuat menjadi pangan instan adalah sagu instan.
Pengembangan produk sagu instan akan memberikan nilai tambah dalam hal
kemudahan dan kepraktisan penyajian disamping bisa digunakan sebagai
makanan darurat karena kandungan kalorinya yang cukup tinggi.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formula sagu instan yang
memiliki kandungan kalori yang tinggi dan diterima oleh konsumen. Formula
dibuat dengan menambahkan beberapa bahan lain sehingga diperoleh bentuk
pangan instan dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat sebagai pangan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU
1. Botani Tanaman Sagu
Tanaman sagu merupakan salah satu tanaman yang pertama kali
digunakan oleh penduduk asia tenggara dan oseania sebagai bahan pangan.
Tanaman ini tumbuh subur di berbagai daerah di Indonesia seperti Maluku,
Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan Barat, Riau dan sebagian kecil Jawa.
Diperkirakan sekitar 2 juta hektar lahan sagu yang tumbuh secara alami dan
dapat menghasilkan sekitar 2.5 – 5 ton tepung sagu kering dari setiap
hektarnya (Flach, 1983).
Sagu termasuk tumbuhan monokotil dari divisio Spermatophyta, klas
Angiospermae, Subklas Monocotyledae, Ordo Spadiciflorae, Famili Palmae, Subfamili Lepidocaryoideae dan Genus Metroxylon. Nama genus Metroxylon
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata “metra” yang berarti isi
batang (empulur) dan “xylon” yang berarti xylem (Flach, 1983).
Habitat sagu umumnya adalah daerah rawa air tawar, di sekitar
sumber air, dan di sekitar aliran sungai dataran rendah yang lembab. Daerah
berlumpur basah dan bereaksi agak asam adalah lingkungan yang baik untuk
pertumbuhan tanaman sagu (Flach, 1983). Menurut Cecil et al. (1982), potensi pengembangan sagu cukup besar mengingat sagu dapat tumbuh di tempat
dimana tanaman lainnya tidak dapat tumbuh, tidak memerlukan pupuk dan
sedikit sekali memerlukan perawatan.
Pohon sagu merupakan tumbuhan yang berkembang biak melalui
tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya. Pohon ini
termasuk jenis pohon yang berbunga sekali dan berdaun banyak dengan
ketinggian bisa mencapai lebih dari 10 meter dan berdiameter 40 cm
(Sumadiwangsa, 1995). Menurut McClatchey et. al. (2004), pohon sagu dapat tumbuh dengan cepat, dalam setahun tingginya bertambah lebih dari 1,5 meter
pada kondisi yang optimal.
Bagian terpenting dari tanaman sagu adalah batang sagu karena
menghasilkan pati sagu. Ukuran batang sagu serta kandungan pati yang
terkandung di dalamnya tergantung pada jenis sagu, umur dan habitat
pertumbuhannya. Pada umur panen sagu sekitar 11 tahun ke atas, empulur
sagu mengandung pati sekitar 15 - 20% (Rumalatu, 1981 yang dikutip oleh
Haryanto dan Pangloli, 1992).
2. Pati Sagu
a. Produksi Pati Sagu
Pati merupakan komponen kimia terbesar yang terdapat pada
batang sagu. Pati sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang
(empulur) tanaman sagu. Menurut Flach (1983), empulur batang sagu
mengandung 20.2 – 29% pati, 50 – 66% air dan 13.8 – 21.3% bahan lain
atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung
54 – 60% pati dan 40 – 46% ampas. Untuk membebaskan granula pati dari
jaringan pengikatnya dibutuhkan perombakan dinding sel dengan
pemarutan atau penggilingan dengan menggunakan air sebagai pelarut.
Kandungan pati dalam batang mencapai maksimal pada saat
sebelum pembungaan. Pada fase pembungaan atau pembuahan,
kandungan pati akan cepat menurun, penurunan tersebut terjadi
dikarenakan pati yang terdapat pada batang sagu akan diubah menjadi
gula (Haska, 1982 dikutip oleh Muwarni, 1989). Haryanto dan Pangloli
(1992) menyatakan bahwa penurunan kandungan pati biasanya ditandai
dengan mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase
primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi
untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan
pembentukan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu mati.
Keadaan tersebut dapat mempermudah petani dalam mengetahui
rendemen pati sagu maksimal.
b. Karakteristik dan Komposisi Kimia Pati Sagu
Menurut Flach (1983) pati sagu mengandung 27% amilosa dan
73% amilopektin. Wirakartakusumah et al. (1984) mengemukakan bahwa pati sagu mengandung 27.4% amilosa dan 72.6% amilopektin.
dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka
pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air.
Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang
lekat dan mudah menyerap air (higroskopis).
Cecil et al. (1982) menyatakan bahwa granula pati sagu berbentuk oval dengan ukuran yang cukup besar yaitu 20 – 60 mikron. Pati sagu juga
mempunyai suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69 oC.
Sedangkan menurut Knight (1989), pati sagu memiliki granula yang
berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20 – 60
mikron dan suhu gelatinisasinya berkisar antara 60 – 72 oC. Karakteristik
pati sagu dibandingkan dengan beberapa jenis pati lain dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain
Jenis pati Bentuk granula
Ukuran granula (μm)
Kandungan Kisaran suhu gelatinisasi
(0C) Amilosa Amilopektin
Sagu Ellips 20-60 27 73 60-72
Beras Poligonal 3-8 17 89 61-78
Jagung Poligonal 5-25 26 74 62-74
Kentang Bulat 15-100 24 76 56-69
Tapioka Oval 5-35 17 83 52-64
Gandum Ellips 2-35 25 75 52-64
Ubi jalar Poligonal 16-25 18 82 58-74
Sumber : Knight (1989)
Sebagaimana bahan pangan lain, pati sagu mempuyai kandungan
kimia yang tidak jauh berbeda yaitu terdiri dari karbohidrat, protein,
lemak dan mineral. Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI
(1990), pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit
protein. Kandungan kalori pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini
tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Komposisi
Tabel 2. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Komponen Jumlah
Kalori (kkal) 353
Protein (g) 0.7
Lemak (g) 0.2
Karbohidrat (g) 84.7
Air (g) 14.0
Fosfor (mg) 13
Kalsium (mg) 11
Besi (mg) 1.5
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)
Mutu pati sagu sangat ditentukan oleh banyak faktor seperti
ukuran, bentuk, warna, aroma, rasa, serta faktor lainnya. Penentuan
standar mutu pati sagu diperlukan agar dalam penggunaannya sebagai
bahan makanan dapat menjamin keselamatan konsumen. Badan
Standarisasi Nasional telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia
(SNI) mengenai standar mutu pati sagu seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Syarat mutu pati sagu menurut SNI 01-3792-1995
Karakteristik Kriteria
Kadar air % (b/b)
Kadar abu % (b/b)
Kadar serat kasar % (b/b)
Derajat asam (ml NaOH 1 N/100 g)
Kadar SO2 (mg/kg)
Jenis pati lain selain pati sagu
Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % (b/b)
Total Plate Count (koloni/g)
Maksimum 13
Maksimum 0.5
Maksimum 0.1
Maksimum 4
Maksimum 30
Tidak boleh ada
Minimum 95
Maksimum 106
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1995)
c. Fenomena Gelatinisasi Pati
Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengalami
pengembangan granula pati bersifat reversible tetapi jika pemanasan telah mencapai suhu tertentu penembangan granula pati menjadi irreversible
dan terjadi perubahan struktur granula. Proses ini disebut gelatinisasi dan
suhu terjadinya gelatinisasi disebut suhu gelatinisasi (Winarno, 1984).
Wirakartakusumah (1981) menyatakan bahwa gelatinisasi sangat
tergantung kepada jumlah air dan panas. Penetrasi air dan panas secara
bersamaan ke dalam granula pati menyebabkan pengembangan volume
dari granula. Pengembangan volume granula ini dimulai dari bagian
amorphus. Energi yang cukup akan memutuskan ikatan hidrogen intermolekul pada bagian ini menyebabkan granula mengembang tetapi
belum cukup untuk merusak susunan kristal pada bagian lain dari granula.
Menurut Grenwood (1970), pada kisaran suhu gelatinisasi, granula pati
akan kehilangan pola birefringence dan komponen pati akan berdifusi ke dalam air .
Badenhuizen (1955) menyatakan jika pemanasan terus
berlangsung maka pengembangan granula selanjutnya akan menyebabkan
hilangnya orientasi radial dari misella di dalam granula dan menyebabkan
hilangnya pola birefringence dari granula. Selanjutnya pemanasan akan lebih meregangkan misella, sehingga air akan lebih banyak terperangkap
dalam granula mengakibatkan granula makin membesar sampai pada
suatu keadaan dimana pati kehilangan struktur kristalnya sama sekali.
Pemanasan campuran granula pati dan air hingga diatas suhu kritis akan
melemahkan ikatan hidrogen struktur pati pada granulanya sehingga
melemahkan integritas strukturnya, dan air menjadi masuk sehingga
terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin (Wuzburg, 1989).
Kulp (1975) menyatakan bahwa selama proses gelatinisasi,
suspensi pati berubah menjadi pasta yang semakin kental dengan semakin
meningkatnya suhu. Granula pati dalam keadaan utuh tahan terhadap
reaksi dengan bahan kimia dan enzim, serta hanya sedikit mengandug air.
Tetapi setelah mengembang, granula menjadi rentan terhadap bahan
banyak dari beratnya sendiri. Perubahan ini terjadi pada selang suhu yang
sangat kecil yang disebut selang suhu gelatinisasi.
Proses pemasakan pada bahan yang mengandung pati
menyebabkan terjadinya gelatinisasi pati. Pati yang mengalami pemasakan
merupakan salah satu bentuk dari pati termodifikasi. Dengan pemasakan
didapatkan produk yang memiliki sifat lebih mudah menyerap dan
mengembang dalam air dingin (Vieira, 1997).
3. Pemanfaatan Sagu
Sagu telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok dan penyerta
ataupun nyamikan dengan beragam kue di kepulauan Maluku sejak ratusan
tahun yang lalu. Sebagai bahan pangan, sagu mempunyai keunggulan
komparatif terhadap bahan pangan lain, antara lain yaitu dapat disimpan
dalam jangka waktu yang lama, dapat dipanen dan diolah tanpa mengenal
musim serta resiko terkena penyakit tanaman kecil (Djoefrie, 1999).
Beberapa penelitian tentang diversifikasi pangan sagu oleh beberapa
instansi telah dilakukan, hasilnya mempunyai prospek untuk dikembangkan
lebih lanjut. Pembuatan empek-empek, bakso, mie, so’un dan makanan kecil
seperti kue kukus, kue bolu, kue lapis, onde-onde, dodol dan cendol dari sagu
telah dapat diterima masyarakat (Djoefrie, 1999).
Hasil penelitian Sidik (1990), menunjukkan bahwa peningkatan
jumlah tepung sagu yang ditambahkan pada selang 5-15% dapat
menurunkan kadar air, kadar urea serta kadar protein bakso ikan cucut
sebelum digoreng. Namun demikian, daya cerna protein dan derajat reaksi
pencoklatan enzimatis dari bakso goreng tidak dipengaruhi oleh peningkatan
jumlah tepung sagu yang digunakan.
Pembuatan roti tawar dan mie basah dengan mensubstitusi terigu
dengan sagu sebesar 10-50% dan 0-40% dilakukan oleh BPPT (Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Hasilnya substitusi pati sagu sampai
30% masih disukai panelis uji organoleptik (Pangloli dan Royaningsih, 1992
dikutip oleh Djoefrie, 1999). Pangloli dan Royaningsih sebelumnya telah
mencoba mensubstitusi terigu dengan sagu untuk pembuatan biskuit dan
pembuatan cracker ternyata masih disukai panelis terutama mengenai warna, rasa, dan kerenyahannya. Sebelumnya Clark et al. (1977) dikutip oleh Djoefrie (1999) menyatakan bahwa substitusi tepung gandum dengan tepung
terigu sebanyak 10% tidak mempengaruhi mutu roti terutama tekstur dan
rasanya.
Hasil penelitian Tasman (1981), menunjukkan bahwa penggunaan
tepung sagu dan tepung kedelai pada pembuatan biskuit berpengaruh terhadap
aroma, warna dan kerenyahan biskuit. Semakin banyak penggunaan tepung
sagu dan tepung kedelai, aroma dan warna biskuit semakin kurang disukai,
sedangkan tekstur biskuit menjadi semakin renyah. Penggunaan tepung sagu
dan tepung kedelai dengan perbandingan 7 : 3 menghasilkan biskuit dengan
rasa, aroma dan warna yang dapat diterima, serta mempunyai kerenyahan
yang lebih baik dari pada biskuit dengan bahan terigu dan susu. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa makin banyak tepung sagu dan tepung
kedelai yang ditambahkan menyebabkan kadar air rendah dan penyerapan air
tinggi, namun tidak berpengaruh terhadap kadar lemak dan kadar gula biskuit.
Ngadiwijaya dan Amos (1996) dikutip oleh Djoefrie (1999),
menyatakan bahwa pemanfaatan pati sagu untuk industri pangan telah
dilakukan untuk pembuatan glukosa, alkohol, dekstrin, sirup, kerupuk,
makanan ringan dan makanan bayi. Hasil penelitian Santosa (1989) tentang
formulasi makanan sapihan menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan
pati sagu, maka semakin besar pula kekambaan produk yang dihasilkan (pada
berat bahan yang sama volume produk lebih besar), viskositas semakin tinggi,
daya serap air juga semakin semakin tingi. Berdasarkan penelitian Harun
(1988), formula 75% pati sagu, 20% kedelai, dan 5% jagung memiliki
kerenyahan produk ekstrusi dan nilai gizi yang baik, sedangkan aroma, rasa
dan warna dapat diperbaiki dengan cara menambahkan zat flavor dan
pewarna.
B. KEDELAI
Kedelai sebagai bahan makanan mempunyai arti penting dalam
penyediaan sumber protein nabati murah. Di Indonesia, kedelai telah
kecap. Disamping itu kedelai juga dapat digunakan sebagai bahan penolong
dalam pembuatan roti, kue, donat, dan juga sebagai campuran dalam
pembuatan makanan bayi (Hubeis, 1984).
Koswara (1992) menyatakan bahwa produk olahan kedelai dapat
diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu makanan terfermentasi dan
makanan nonfermentasi. Makanan terfermentasi dapat berupa hasil
pengolahan tradisional yang terdapat dan berpotensi di pasaran dalam negeri
adalah tempe, kecap dan tauco, sedangkan produk nonfermentasi diperoleh
dari hasil industri tradisional yaitu tahu dan kembang tahu.
1. Komposisi Kimia Kedelai
Menurut Wolf dan Cowan (1975), bagian utama dari kacang kedelai
terdiri dari kulit (8%) dan kotiledon (90%), selain itu terdapat struktur minor
yaitu hipokotil dan plumul dengan persentase keduanya 2%. Kedelai
bervariasi dalam ukuran, warna, bentuk dan komposisi kimianya. Komposisi
kimia kedelai juga bervariasi menurut varietas, keadaan tumbuh, umur pada
saat dipanen dan budidaya penanamannya. Komponen utama yang paling
penting dari kedelai adalah protein (35%) dan lemak (18%).
Kedelai mengandung sekitar 18 – 20% lemak dan 85% dari jumlah
tersebut terdiri dari asam lemak tak jenuh yang bebas kolesterol. Selain itu, di
dalam lemak kedelai terdapat beberapa fosfolipida penting yaitu lesitin,
sepalin, dan lipositol. Kedelai mengandung karbohidrat sekitar 35% dan
hanya 12 – 14% saja yang dapat digunakan tubuh secara biologis. Secara
umum kedelai merupakan sumber vitamin B yang terdiri dari vitamin B1, B2,
niasin, piridoksin dan lainnya. Kedelai banyak mengandung kalsium dan
fosfor, sedangkan zat besi terdapat dalam jumlah relatif sedikit. Mineral lain
terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (kurang dari 9%) yaitu Boron.
Magnesium, Berilium dan Seng (Koswara, 1992). Komposisi kimia kedelai
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
2. Tepung Kedelai
Tepung kedelai adalah suatu produk yang digiling halus dan berasal
1978). Secara umum, tepung kedelai dapat dikelompokkan dalam tiga
kelompok berdasarkan pada kandungan lemaknya, yaitu : tepung kedelai
dengan lemak penuh (full fat), tepung kedelai kadar lemak rendah (low fat), dan tepung kedelai tanpa lemak (deffated flour).
Tabel 4. Komposisi kimia kedelai per 100 g bahan
Komposisi Jumlah
Kalori (kkal) 331.0
Protein (gram) 34.9
Lemak (gram) 18.1
Karbohidrat (gram) 34.8
Kalsium (mg) 227.0
Fosfor (mg) 585.0
Besi (mg) 8.0
Vitamin A (SI) 110.0
Vitamin B1 (mg) 1.07
Air (gram) 7.5
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990).
Tepung kedelai kadar lemak penuh dihasilkan dari biji kedelai utuh,
sedangkan tepung kedelai dengan kadar lemak rendah dapt dihasilkan dari
proses penepungan soy bean meal (bungkil kedelai) yang dihasilkan dari pengepresan biji kedelai (setelah diambil minyaknya). Bungkil kedelai yang
dihasilkan kemudian diberi perlakuan panas, dikeringkan, digiling dan diayak
seperti pada pembuatan kadar lemak penuh (Hariyadi, 1997).
Tepung kedelai lemak penuh dibuat dari kedelai tanpa kulit dan
mengandung 40% protein. Albrecth et al. (1967) telah mengembangkan suatu cara pembuatan tepung kedelai lemak penuh yang murah dan dapat dilakukan
di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Albrecth et al. (1967), ada tiga cara pemasakan kedelai yang mudah yaitu dengan cara penyangraian,
pengukusan dan perebusan. Pembuatan tepung kedelai lemak penuh meliputi
perendaman, perebusan, pengeringan, pemecahan, pelepasan kulit,
Perendaman dilakukan selama satu malam (± 16 jam) menyebabkan kedelai mengembang hingga mencapai 2 kali lipat dari volume asalnya dan
bobotnya 2,5 kali bobot semula (Albrecth et al. 1967). Perendaman bertujuan meningkatkan kadar air awal agar konduktivitas panas biji kedelai makin baik.
Sedangkan menurut Mustakas et al. (1967), perendaman bertujuan untuk mencapai pemasakan maksimum yang merata serta untuk melarutkan enzim
lipoksigenase. Tetapi menurut Tangenjaya (1976), perendaman yang terlalu
lama yaitu melebihi 8 jam akan menyebabkan banyak bahan padat yang
terlarut di dalam air perendaman. Perendaman selama 24 jam dan 72 jam akan
menurunkan kadar protein menjadi 38.4 dan 34.8%, serta menurunkan kadar
lemak dari 23.5% menjadi 18.85% (Sutantyo, 1976)
Albrecth et al. (1967) melakukan proses pengeringan tidak menggunakan panas, melainkan menggunakan kipas angin untuk
menggerakkan udara di sekitar kedelai, pengeringan dapat dicapai selama
kurang lebih 18 jam. Penjemuran merupakan cara yang paling praktis dan
paling mudah untuk menurunkan kadar air bahan pangan. Akan tetapi jika
penjemuran berjalan lambat akan menyebabkan tumbuhnya jamur pada
kedelai dan akan timbul lendir dan bau (Tangenjaya, 1976).
3. Protein Kedelai
Protein merupakan komponen terbesar dan utama pada kedelai.
Sekitar 90% protein kedelai adalah globulin yang terdapat sebagai protein
cadangan, sisanya terdiri atas enzim-enzim intraseluler (lipoksigenase, urease,
amilase), hemaglutinin, inhibitor protein, dan lipoprotein membran (Kinsella,
1979). Menurut Muchtadi (1989) protein kedelai kaya akan asam amino lisin
tetap kekurangan asam amino sulfur terutama metionin.
Selain merupakan komponen terbesar, protein juga berperan dalam
memberikan sifat-sifat fungsional yang khas pada berbagai produk pangan.
Sifat-sifat fungsional protein kedelai meliputi kemampuan protein mengikat
air dan menahan air, serta mengemulsi dan mengendalikan. Sifat-sifat ini yang
dapat menguntungkan dalam sistem pangan antara lain dalam pembuatan roti
Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam
air. Fungsi protein kedelai adalah menstabilkan emulsi bila emulsi ini telah
terbentuk. Hal tersebut disebabkan karena protein kedelai mempunyai sifat
mengadsorpsi air. Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), sifat
mengadsorpsi air disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik sehingga
cenderung menyerap air dan menahan dalam suatu sistem pangan.
4. Lesitin Kedelai
Lesitin merupakan senyawa kimia yang mempunyai struktur seperti
lemak yang mengandung gliserol, asam lemak, asam fosfat, dan kolin. Lesitin
tersebar luas di dalam sel tubuh. Selain itu, senyawa kimia ini juga dikenal
sebagai emulsifier yang berikatan antara air dan lemak. Lestin merupakan zat padat elastis hingga cairan berwarna kuning muda hingga coklat, tidak berbau
atau berbau khas mirip pala, dan rasanya lemah. Lesitin banyak terdapat pada
biji-bijian dan digunakan untuk jenis emulsi o/w (Hartomo dan Widiatmoko,
1992).
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), lesitin merupakan
emulsifier alami yang berasal dari kedelai. Lesitin kedelai mempunyai beberapa kelebihan, yaitu dapat mengikat permukaan dari asam lemak non
polar sehingga daya emulsifiernya tinggi, larut dalam asam lemak, memiliki
gugus polar dan non polar. Ujung bergugus polar bersifat suka air dan
cenderung larut dalam air, sedangkan ujung yang bergugus non polar bersifat
suka lemak dan cenderung larut dalam lemak atau minyak. Adapun kelemahan
lesitin adalah praktis tidak larut dalam minyak. Lesitin sebagai emulsifier
dapat diaplikasikan untuk pembuatan margarin, es krim, coklat, susu, roti, dan
lain-lain.
Lesitin pada kedelai berfungsi sebagai zat penginstan yang bekerja
pada permukaan padatan dan cairan, sebagai pengontrol interaksi
hidrofilik-hidrofobiknya. Adanya lesitin sebagai pengemulsi berfungsi untuk
memoptimumkan dispersi lemak pada fase cair. Lesitin dapat mengurangi
gesekan internal molekul lemak dan karbohidrat sehingga mencegah
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1993), lesitin diperoleh dari
kedelai dengan cara diekstrak, dihilangkan minyaknya, difraksionasi, dan
dimodifikasi sesuai keperluan. Proses pengolahan kedelai menjadi lesitin
mencakup tiga tahap utama, yaitu : 1) menginaktivasi rasa pahit/getir dan
enzimnya, membunuh bakteri, mengurangi kadar air, dan memberi rasa khas
kacang-kacang; 2) meningkatkan nilai gizi dan memperbesar daya cerna
protein; 3) mengaktivasi kompleks lesitin, meningkatkan sifat antioksidan,
memperbesar sifat mengikat serta emulsinya dengan konsistensi baik.
C. MAKANAN TINGGI KALORI
Menurut Lagua dan Cloudio (1996), makanan tinggi kalori adalah
makanan yang mengandung kalori diatas normal untuk memperoleh energi
yang dibutuhkan dan meningkatkan berat badan. Penambahan kalori dapat
berkisar antara 30% sampai 100% diatas kebutuhan pada umumnya.
Menurut NLEA (Nutrition Labelling Education And Act) dikutip oleh Wijaya (1997), persyaratan klaim tinggi (high) pada label produk pangan adalah lebih besar atau sama dengan 20% angka kecukupan gizi, Sedangkan
menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), klaim pangan
tinggi kalori (pangan berkalori) digunakan apabila pangan tersebut dapat
memberikan minimum 300 kkal per hari.
Menurut Eriyatno dan Tim Fateta (1998) dalam Shalehin (1999),
pangan darurat merupakan jenis produk pangan tinggi kalori, diproduksi
secara masal dengan biaya murah dan mudah dalam pendistribusiannya.
Produk pangan darurat didesain sedemikian rupa sebagai sumber makanan
pada situasi darurat tertentu seperti bencana alam, badai topan, dan gempa
bumi, yaitu saat asupan makanan sangat kurang.
Beberapa karakteristik penting yang menjadi syarat produk pangan
darurat yang baik adalah: 1) aman dikonsumsi; 2) enak (mutu sensori dapat
diterima konsumen); 3) mudah diperoleh/disalurkan; 4) mudah digunakan
(penyajiannya mudah); 5) nutrisi lengkap (kalori tinggi); 6) umur simpan
panjang (awet); 7) stabil terhadap kerusakan mikrobiologi, kimia dan fisik; 8)
(www.nap.edu). Adapun sifat-sifat pangan darurat dapat berupa pangan kering
siap santap, produk pangan kering siap hidang, produk pangan semi basah
berkalori tinggi, dan bahan pokok setempat yang awet atau tahan lama.
Salah satu aplikasi produk pangan tinggi kalori adalah pangan militer
(military rations). Produk pangan militer biasanya berbentuk pangan siap saji yang dikemas khusus sehingga mudah dibawa dalam tas atau kantong
pakaian. Kandungan gizi setiap jenis pangan militer menyediakan kurang
lebih 1250 kkal dengan 13% protein, 36% lemak, dan 51% karbohidrat
(www.olive-drab.com/od_rations.php).
Beberapa penelitian tentang makanan tinggi kalori (pangan darurat)
telah dilakukan, salah satunya adalah formulasi makanan tinggi kalori dari
buah sukun dengan produk kue satu dan pangan semi basah (dodol)
(Sukmaningrum, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk kue satu
memiliki nilai kalori sebesar 372 kkal/100 g, sedangkan produk pangan semi
basah (dodol) memiliki nilai kalori sebesar 324 kkal/100 g. Dari hasil uji
organoleptik diketahui bahwa formulasi dodol dengan komposisi 100% puree
sukun terhadap tepung ketan ternyata paling disukai konsumen, sedangkan
pada formulasi kue satu, penggunaan 100% tepung sukun sebagai bahan baku
utama cukup bisa diterima konsumen.
Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi makanan tinggi kalori
sekaligus sebagai makanan instan dengan bahan baku pati sagu. Formula
dibuat dengan penambahan beberapa bahan lain sehingga diperoleh jumlah
kalori minimal 300 kkal/100 g sebagai syarat makanan tinggi kalori.
Penyusunan formula didasarkan pada perbandingan antara pati sagu sebagai
sumber kalori utama dan tepung kedelai sebagai sumber protein utama.
Formula-formula yang telah dibuat selanjutnya diuji dengan uji organoleptik
untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen.
D. PANGAN INSTAN
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), pangan instan adalah
produk pangan yang dibuat untuk mengatasi masalah penggunaan produk
Pada dasarnya pembuatan produk pangan instan dilakukan dengan
menghilangkan kadar air sehingga mudah ditangani dan praktis dalam
penyediaan. Bentuk pangan instan biasanya mudah ditambah air
(dingin/panas) dan mudah larut sehingga mudah disantap.
Pembuatan produk pangan yang memiliki sifat instan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu perlakuan permukaan dengan modifikasi sifat kimia
bahan dan penambahan zat aditif. Perlakuan permukaan dibuat dengan
memberi perlakuan mekanis khusus pada permukaan partikel bahan yaitu
dengan panas dan pengadukan. Dengan perlakuan panas dan pengadukan akan
membuat partikel bubuk diperbesar menjadi aglomerat berstruktur pori.
Penggunaan zat aditif dilakukan dengan menambahkan zat tertentu untuk
membuat sifat produk lebih mudah dibasahi, aglomerat tidak terlalu keras,
partikel mudah mekar (Hartomo dan Widiatmoko, 1992).
Menurut Hartomo dan Widiatmoko (1992), sifat instan produk pangan
yang baik ditentukan oleh beberapa kriteria tertentu antara lain: 1) Sifat
hidrofilik; 2) Kandungan lapisan gel yang dapat menghambat proses
pembasahan; 3). Waktu pembasahan yang tepat, yaitu harus segera turun
(tenggelam tanpa menggumpal); dan 4). Mudah terdispersi yaitu tidak
membentuk endapan.
E. PENGERINGAN 1. Teori Pengeringan
Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara
simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengering akan digunakan
untuk menguapkan air yang terdapat didalam bahan. Uap air yang berasal dari
bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara kering (Pramono,
1993). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara
karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang
dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai
batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti agar bahan memiliki masa
Henderson et al. (1976), mengungkapkan bahwa proses pengeringan memberikan keuntungan: masa simpan produk kering lebih lama, untuk
biji-bijian hasil pertanian, viabilitas biji lebih terjamin, dan memperkecil serta
meringankan volume produk, sehingga memudahkan penanganan
penyimpanan dan transportasi. Namun disisi lain pengeringan memiliki
beberapa kerugian, yaitu rusak atau berkurangnya vitamin-vitamin dan zat
warna, hilangnya flavor yang mudah menguap dan menimbulkan bau gosong
jika kondisi pengeringan tidak terkendali (Desroiser, 1988).
2. Alat Pengering Drum
Pengering drum (drum dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan
dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain
(Brennan, 1974). Bahan yang akan dikeringkan disebarkan dalam bentuk
lapisan tipis pada permukaan drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum
berputar. Proses pengeringan dapat dilakukan dalam udara terbuka (tekanan 1
atmosfir) atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan
dari permukaan drum dengan menggunakan pisau pengikis pada saat
perputaran drum telah mencapai 2/3-3/4 sejak bahan pertama kali dimasukkan
ke dalam pertemuan dua permukaan drum. Produk kering tersebut kemudian
digiling menjadi bubuk yang halus (Desrosier, 1988).
Pengering drum sangat fleksibel dalam operasi dan mewakili satu tipe
peralatan proses dimana semua variabel dapat diubah secara mandiri.
Variabel yang terlibat dalam operasi pengering drum yaitu: 1) tekanan uap
atau suhu medium pemanas yang mengatur suhu permukaan drum, 2)
kecepatan putar yang menentukan waktu kontak antara film dan permukaan
drum yang panas, 3) jarak antara drum yang akan menentukan ketebalan film
yang terbentuk, dan 4) kondisi bahan misalnya konsentrasi, karakteristik fisik,
dan suhu larutan yang dikeringkan (Moore, 1995).
Secara umum alat pengering drum memiliki dua tipe, yaitu drum
tunggal dan drum ganda. Pada drum tunggal, pembentukan film atau lapisan
dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan, sedangkan
yang akan dikeringkan dimasukkan dari bagian atas pada daerah di antara dua
drum (APV Crepaco, 1992). Alat pengering drum ganda digunakan untuk mengeringkan bahan pangan, kimia, dan farmasi dengan berbagai variasi
bobot jenis dan viskositas. Karakteristik bahan yang dapat dikeringkan
dengan alat pengering drum ganda adalah berbentuk cairan atau pasta, sensitif terhadap panas, dan dipasarkan dalam bentuk bubuk yang mudah
direhidratasi. Bahan-bahan yang sensitif terhadap panas dapat dikeringkan
dengan baik karena kontak dengan permukaan drum bertemperatur tinggi berlangsung hanya dalam beberapa detik (Moore, 1995).
Untuk bahan organik yang berbentuk larutan kental (viscous solution), proses pengeringan dilakukan pada tekanan uap 3-5 bar dan kecepatan putar
drum 2 rpm. Konsentrasi bahan (larutan) yang masuk alat pengering sekitar 28% (Walas, 1988).
Keuntungan penggunaan alat pengering drum adalah kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Kelemahan
alat pengering ini adalah hanya dapat digunakan pada bahan yang berbentuk
bubur atau pasta dan bahan yang tahan terhadap suhu tinggi dalam waktu
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku utama yang digunakan dalam proses pembuatan formula
sagu instan ini adalah pati sagu yang diperoleh dari industri rumah tangga
pengolahan pati sagu di daerah Kedung Halang Bogor. Bahan-bahan lainnya
yang digunakan adalah tepung kedelai, susu bubuk skim, minyak nabati, gula
halus, dan air minum dalam kemasan.
Bahan-bahan yang digunakan dalam analisa produk adalah aquades,
K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, larutan NaOH-Na2S2O3, HCL 0.02 N, HCl 0.1
N, NaOH 0.1 N, larutan multi enzim (tripsin, kimotripsin, peptidase), larutan
buffer Na-fosfat, pereaksi DNS, larutan maltosa standar, larutan enzim α -amilase, kertas saring, indikator metil merah dan metil biru, dan heksan.
Alat-alat yang digunakan dalam proses pembuatan formula sagu instan
adalah neraca kasar, baskom, tampah bambu, sendok pengaduk, sendok
makan, kompor gas, panci ukuran besar, drum dryer, plastik ukuran 5 kg dan 1 kg, silica gel, pengayak 100 dan 80 mesh, mangkok, piring, cup-cup kecil, sendok-sendok kecil, dan gelas takar ukuran 1000 ml.
Alat-alat yang digunakan dalam analisa adalah pipet tetes, pipet
volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan
alumunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur 10 dan 100 ml, desikator,
alat destilasi, labu kjeldahl, erlenmeyer 100 ml dan 300 ml, neraca analitik,
magnetic stirer dan hot plate.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam lima tahap yaitu : (1) Tahap persiapan,
yang meliputi pencucian, pengayakan, dan penyangraian pati sagu, pembuatan
tepung kedelai, dan analisis proksimat bahan baku; (2) Formulasi dan
pembuatan produk; (3) Uji organoleptik; (4) Analisis sifat fisik, kimia, dan
daya cerna; dan (4) Penentuan takaran saji dan Angka kecukupan Gizi
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi pencucian, pengayakan dan penyangraian
pati, serta pembuatan tepung kedelai. Berikut akan diuraikan masing-masing
tahap:
a. Pencucian dan pengayakan pati
Tahap pencucian dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah
air ke dalam pati sampai semua pati terendam. Selanjutnya pati diaduk
sehingga semua pati kontak dengan air, lalu didiamkan selama dua jam.
Air rendaman kemudian dialirkan keluar wadah sehingga diperoleh
endapan pati. Perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali lalu endapan pati
dijemur dengan sinar matahari kering. Pati selanjutnya diayak dengan
ayakan 100 mesh. Bagan pencucian disertai pengayakan pati dapat
dilihat pada Gambar 1.
Pati sagu Air
Pengadukan sampai semua pati terendam
Pengendapan pati selama dua jam
Pembuangan air rendaman keluar wadah
Pengulangan sebanyak tiga kali
Penjemuran di bawah matahari hingga kering
Pengayakan dengan ayakan 100 mesh
[image:35.612.231.441.352.607.2]Pati sagu
Gambar 1. Bagan alir pencucian dan pengayakan pati sagu
b. Pembuatan Pati Sangrai
Pembuatan pati sangrai dilakukan dengan cara memanaskan pati
mulut (kira-kira lamanya 10 menit). Bagan pembuatan pati sangrai dapat
dilihat pada Gambar 2.
Pati sagu
Pemanasan disertai pengadukan sampai suhu 110°C
Pemanasan dilakukan sampai diperoleh pati sangrai yang sudah tidak berasa mentah dan mudah larut dalam mulut
Pati sangrai
Gambar 2. Bagan alir pembuatan pati sangrai
c. Pembuatan Tepung Kedelai
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan tepung kedelai dengan
metode Illinois (Samahita, 1980). Proses diawali dengan sortasi biji
berjamur, biji rusak, dan kotoran lain. Setelah itu dilakukan perendaman
di dalam ember plastik bereisi air kran dengan volume 2 kali volume
kedelai. Perendaman dilakukan selama 6 jam hingga mencapai kadar air
40-45%.
Proses selanjutnya adalah perebusan kedelai yang dilakukan di
dalam panci alumunium berisi air mendidih selama 30 menit kemudian
dilanjutkan dengan penirisan. Setelah cukup dingin, biji kedelai dikupas
kemudian dijemur. Penjemuran dilakukan dengan cara meratakan biji
kedelai di atas permukaan nampan dan disimpan di tempat terbuka.
Ketebalan lapisan biji kedelai permukaan nampan sekitar 1 cm.
Penjemuran dilakukan hingga kedelai mencapai kadar air 10-11%.
Bagian kulit yang tersisa waktu pengupasan dibersihkan untuk
memastikan bahwa semua kulit telah terkupas dari biji kedelai.
Proses terakhir adalah penepungan dengan alat Willey mill dan pengayakan dengan ayakan 60 mesh. Bagan alir proses pembuatan
Kedelai
Pemilihan (sortasi)
Perendaman selama 6 jam
Perebusan selama 30 menit
Pengupasan kulit
Penjemuran di bawah sinar matahari (pengeringan)
Penggilingan dengan Willey mill (penepungan)
Pengayakan dengan ayakan 60 mesh
[image:37.612.228.458.77.359.2]Tepung kedelai
Gambar 3. Bagan alir pembuatan tepung kedelai metode Illinois
2. Formulasi dan Pembuatan Produk a. Penyusunan Formula
Pada tahap ini dilakukan penyusunan formula dan dibuat lima
macam formula sagu instan. Penyusunan formula didasarkan pada
perhitungan jumlah kalori yang harus melebihi 300 kkal sebagai syarat
makanan tinggi kalori. Untuk menyusun formula tersebut diperlukan
data kandungan gizi bahan-bahan penyusun yang meliputi jumlah kalori,
protein, lemak, serta karbohidrat. Kandungan gizi bahan-bahan
penyusun dapat diketahui setelah dilakukan analisis proksimat bahan.
Kelima formula dan perkiraan kandungan gizi sagu instan dapat dilihat
pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Pengamatan yang dilakukan pada tahap formulasi ini adalah uji
organoleptik yang meliputi uji hedonik dan uji rangking hedonik. Uji
organoleptik dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama bertujuan
formula yang dibuat serta memilih tiga formula terbaik. Uji organoleptik
tahap kedua dilakukan terhadap tiga formula terpilih yang telah
mengalami sedikit perubahan komposisi. Uji organoleptik tahap kedua
bertujuan untuk menentukan formula terbaik atau yang paling disukai
konsumen. Selanjutnya dilakukan analisis proksimat, daya cerna pati,
[image:38.612.174.514.215.391.2]dan daya cerna protein.
Tabel 5. Formula sagu instan (dalam 100 g bahan)
Formula
Komposisi bahan penyusun
Pati sagu (g)
Tepung kedelai
(g)
Susu skim (g)
Gula halus (g)
Minyak nabati
(g)
A 60 0 25 10 5
B 55 5 25 10 5
C 50 10 25 10 5
D 45 15 25 10 5
E 40 20 25 10 5
b. Pembuatan Produk
Tahap pembuatan produk dimulai dengan penentuan jumlah air
untuk perebusan. Penentuan jumlah air penting untuk mendapatkan
karakteristik bubur yang baik, yaitu homogen, matang, dan tidak lengket
sewaktu pengeringan dengan drum dryer. Perbandingan jumlah air yang digunakan adalah antara pati sagu dan air yang terdiri dari empat
perbandingan yang berbeda, yaitu 1:3, 1:5, 1:7, dan 1:9. Penentuan
jumlah air hanya dilakukan pada satu formula yang dianggap mewakili,
yaitu formula C. Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah
penentuan produk yang paling baik karakteristiknya. Gambar 4
menunjukkan diagram alir proses pembuatan bubur sagu instan.
Proses selanjutnya adalah pembuatan produk sagu instan yang
dilakukan terhadap kelima formula yang telah disusun. Setelah
dilakukan perebusan dengan menambahkan sejumlah air yang telah
pengering drum dryer. Produk kering yang dihasilkan selanjutnya digiling halus menggunakan Hammer mill.
Pati sagu sangrai
Penambahan tepung kedelai, skim, dan gula halus
Penentuan jumlah air untuk perebusan (perbandingan pati dan air 1:3, 1:5, 1:7, dan 1:9)
Perebusan disertai pengadukan pada suhu 100 0C
Penambahan minyak nabati
Bubur sagu
Pengeringan dengan drum dryer
[image:39.612.214.443.119.383.2]Sagu instan
Gambar 4. Bagan alir proses pembuatan formula sagu instan
3. Penentuan Takaran Saji dan Angka Kecukupan Gizi
Penentuan takaran saji didasarkan pada zat gizi yang terkandung
pada produk yang dihasilkan. Penentuan tersebut berdasarkan pada gizi
yang dibutuhkan pada diet orang dewasa terutama kalorinya. Setelah
ditentukan jumlah takaran saji yang dianjurkan, maka dilakukan perhitungan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran saji. Kecukupan gizi yang akan
dipenuhi meliputi kalori, protein, karbohidrat, dan lemak. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui berapa persen produk dapat menyumbang asupan gizi
pada diet orang dewasa. C. PENGAMATAN
1. Kadar Air (AOAC, 1995)
Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan
ditimbang kurang lebih sebanyak 2 gram dalam cawan. Cawan beserta isi
dikeringkan dalam oven 1000C selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam
desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan
kembali sampai diperoleh berat konstan.
Perhitungan :
Kadar Air (% berat basah) = [W2 - (W3 – W1)] x 100%
W3 - W1
Berat cawan (gram) = W1
Berat sampel (gram) = W2
Berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (gram) = W3
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Cawan disiapkan untuk melakukan pengabuan, kemudian
dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Lalu cawan didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3 gram di dalam
cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan
asap lagi. Kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu
400 – 600 oC selama 4 – 6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau
memiliki berat yang tetap. Sampel beserta cawan didinginkan dalam
desikator kemudian ditimbang.
Perhitungan :
Kadar abu (%) = Berat abu (g) x 100%
Berat sampel kering (g)
3. Kadar Protein Metode Mikro Kjeldahl (Apriyantono et al., 1989)
Sampel sebanyak 100 mg ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu
Kjeldahl 30 ml. Sebanyak 1,9 + 0,1 g K2SO4, 40 + 10 mg HgO, dan 3,8 +
0,1 ml H2SO4 ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl. Batu didih ditambahkan
pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi
jernih. Labu beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Isi labu dan air
bekas pembilasnya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer
indikator, kemudian labu diletakkan di bawah kondensor dengan ujung
kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3
sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan
destilasi sampai didapat destilatnya + 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat
dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N
hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Perhitungan jumlah
nitrogen dilakukan setelah jumlah volume (ml) blanko diperoleh.
Perhitungan :
Jumlah N (%) = (ml HCl – ml blanko) x NHCl x 14.007 x 100 mg sampel kering
Kadar Protein (%) = jumlah N x faktor konversi (6.25)
4. Kadar Lemak (AOAC, 1995)
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi Soxhlet
yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 1050C - 1100C
dan kemudian dinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 gram
sampel ditimbang dalam kertas saring dan kemudian ditutup dengan kapas
bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi
Soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke
dalam labu Soxhlet secukupnya. Refluks dilakukan selama 5 jam sampai
pelarut yang turun menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak
didestilasi kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 0C.
Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator,
labu beserta lemak ditimbang, dan perhitungan kadar lemak dilakukan.
Perhitungan :
Kadar lemak (%) = Berat lemak (g) x 100% Berat sampel kering (g)
5. Kadar Karbohidrat (By Difference)
Perhitungan :
Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (kadar air + kadar abu +
6. Kadar Serat Makanan secara Enzimatis (Sulaeman et al. 1994)
Sampel basah dihomogenisasi dan diliofilisasi. Semua sampel
digiling menggunakan gilingan laboratorium dengan saringan 0.3 mm.
Ekstraksi lemak dilakukan dengan menggunakan petroleum eter pada suhu
kamar selama 15 menit (40 ml petroleum eter per gram). Sebanyak 1 g
sampel ditimbang dan dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian
ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl. Erlenmeyer ditutup dengan
alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air pada suhu 100 oC selama
15 menit.
Setelah sampel didinginkan, sebanyak 20 ml air destilata
ditambahkan dan diatur pHnya menjadi 1.5 menggunakan HCl. Kemudian
dilakukan penambahan 100 mg pepsin. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi
dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit.
Selanjutnya 20 ml air destilata ditambahkan dan diatur pHnya menjadi 6.8
menggunakan NaOH. Kemudian sampel ditambah dengan 100 mg
pankreatin, erlenmeyer ditutup dan diinkubasi dalam penangas air
bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit. Kemudian sampel diatur
pHnya menjadi 4.5 menggunakan HCl lalu disaring menggunakan crucible (porocity 2). Selanjutnya sampel dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu digunakan untuk mengukur kadar serat makanan tidak larut,
sedangkan filtratnya digunakan untuk mengukur kadar serat makanan larut.
Untuk mengetahui kadar serat makanan tidak larut, sampel dicuci
dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton kemudian dikeringkan
pada suhu 105 oC sampai mencapai berat konstan (semalam). Setelah
didinginkan dalam desikator, sampel ditimbang (DI). Selanjutnya sampel
diabukan pada suhu 550 oC selama 5 jam. Setelah didinginkan dalam
desikator sampel ditimbang kembali (I2).
Pada pengukuran serat makanan larut, volume filtrat diatur menjadi
100 ml kemudian ditmbahkan 400 ml etanol 95% hangat (60 oC) dan
dibiarkan mengendap selama 1 jam. Kemudian sampel disaring
78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Sampel kemudian
dikeringkan pada suhu 105 oC selama semalam. Setelah didinginkan dalam
desikator, sampel ditimbang (D2). Selanjutnya sampel diabukan pada suhu
550 oC selama 5 jam kemudian setelah didinginkan dalam desikator
ditimbang kembali (I2).
Blanko untuk serat makanan tidak larut dan serat makana larut
diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tersebut di atas tetapi
tanpa sampel (B1 dan B2).
% serat makanan tidak larut = D1 – I1 – B1 x 100%
W
% serat makanan larut = D2 – I2 – B2 x 100%
W
Total serat makanan dapat diendapkan langsung dengan cara
menambahkan 4 volume alkohol 95% ke dalam hasil digesi setelah tahap
pengaturan pH menjadi 4.5 menggunakan HCl. Selanjutnya sampel disaring
seperti tahap perlakuan filtrat pada pengukuran serat makanan larut.
7. Penentuan Nilai Kalori Makanan
Perhitungan nilai kalori makanan dapat dilakukan dengan
menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi faal makanan tersebut.
Perhitungan :
Nilai Energi = Faktor Atwater x Kandungan Gizi Bahan Pangan Energi = (4 kkal/g x Kand. Karbohidrat) + (9 kkal/g x Kand. Lemak)
+ (4 kkal/g x Kand. Protein)
8. Daya Serap Air (Sathe dan Salunkhe, 1981)
Sebanyak 1 gam sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
kemudian ditambahkan 10 ml aquades. Setelah itu, sampel diaduk dengan
menggunakan vorteks sampai semua bahan terdispersi kemudian didiamkan
selama 15 menit. Selanjutnya tabung disentrifugasi dengan kecepatan 5000
Supernatan yang diperoleh dituangkan secara hati-hati kedalam
wadah lain dan ditimbang beratnya, kemudian dilakukan perhitungan.
Perhitungan :
Daya Serap Air (g/g) = A – B
C
A = berat air mula-mula (g)
B = berat supernatan (g)
C = berat sampel (g)
9. Rasio Rehidrasi dan waktu rehidrasi (Lianawati, 1997)
Pengukuran rasio rehidrasi dilakukan dengan melarutkan bahan
dalam air dengan perbandingan 1 : 2, 1 : 4, 1 : 6, dan 1: 8, kemudian larutan
tersebut didiamkan selama 30 menit. Lalu diamati terjadinya pemisahan
antara air dengan bahan. Pengukuran waktu rehidrasi dilakukan secara
subyektif, yaitu dengan melarutkan bahan dan air dengan perbandingan
yang telah ditentukan sesuai pengukuran rasio rehidrasi. Waktu rehidrasi
adalah waktu yang dibutuhkan bahan untuk kembali menyerap air sehingga
diperoleh tekstur bubur yang homogen dan stabil.
10. Daya Cerna Protein (Muchtadi, 1989)
Sampel ditimbang sebanyak 2 gram kemudian disuspensikan dalam
60 ml air destilata. Sebanyak 50 ml suspensi sampel dimasukkan dalam
gelas piala kecil, kemudian diatur pHnya menjadi 8.0 dengan menambahkan
HCL atau NaOH 0.1 N. Sampel diinkubasi dalam penangas air bersuhu
37oC dan diaduk menggunakan magnetic stirer selama 5 menit. Larutan multi enzim sebanyak 5 ml ditambahkan pada suspensi sampel (saat
penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke-0) sambil tetap diaduk dalam
penangas air 37 oC. Kemudian pH suspensi dicatat pada menit ke-10. Daya
cerna protein dapat dihitung dengan menggunakan persamaan y = 210.464 –
18.103x, dimana y adalah daya cerna protein dalam persen dan x adalah
11. Daya Cerna Pati in vitro (Muchtadi, 1989)
Suspensi tepung (1% dalam air destilata) dipanaskan dalam
penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90 0C, kemudian
didinginkan. Sebanyak 2 ml larutan tepung dalam tabung reaksi ditambah 3
ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-fosfat 0.1 M, pH 7.0. kemudian
diinkubasi dalam penangas air 37 0C selama 15 meni