• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tangis Budak dari negeri Seribu Jembatan; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 INDRAGIRI HILIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tangis Budak dari negeri Seribu Jembatan; Riset Ethnografi Kesehatan 2014 INDRAGIRI HILIR"

Copied!
321
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Tangis Budak

dari Negeri Seribu Jembatan

Syarifah Nurani

Andra Syahputra

Fani Saputra

Made Asri Budisuari

(3)

dan Pemberdayaan Masyarakat Penulis

Syarifah Nurani Andra Syahputra

Fani Saputra Made Asri Budisuari

Editor

Made Asri Budisuari

Desain Cover

Agung Dwi Laksono

Cetakan 1, November 2014 Buku ini diterbitkan atas kerjasama

PUSAT HUMANIORA, KEBIJAKAN KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Badan Penelitan dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Jl. Indrapura 17 Surabaya Telp. 031-3528748, Fax. 031-3528749

dan

LEMBAGA PENERBITAN BALITBANGKES (Anggota IKAPI)

Jl. Percetakan Negara 20 Jakarta Telepon: 021-4261088; Fax: 021-4243933

e mail: penerbit@litbang.depkes.go.id ISBN 978-602-1099-10-0

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis

(4)

dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor HK.02.04/1/45/2014, tanggal 3 Januari 2014, dengan susunan tim sebagai berikut:

Pembina : Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari H., MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Ketua Tim Teknis : dra. Suharmiati, M.Si

Anggota Tim Teknis : drs. Setia Pranata, M.Si

Agung Dwi Laksono, SKM., M.Kes drg. Made Asri Budisuari, M.Kes Sugeng Rahanto, MPH., MPHM dra.Rachmalina S.,MSc. PH drs. Kasno Dihardjo

Aan Kurniawan, S.Ant

Yunita Fitrianti, S.Ant

Syarifah Nuraini, S.Sos Sri Handayani, S.Sos

(5)

1. dra. Rachmalina Soerachman, MSc. PH : Kab. Boven Digoel dan Kab. Asmat

2. dr. Tri Juni Angkasawati, MSc : Kab. Kaimana dan Kab. Teluk Wondama

3. Sugeng Rahanto, MPH., MPHM : Kab. Aceh Barat, Kab. Kep. Mentawai

4. drs. Kasno Dihardjo : Kab. Lebak, Kab. Musi Banyuasin 5. Gurendro Putro : Kab. Kapuas, Kab. Landak

6. Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) : Kab. Kolaka Utara, Kab. Boalemo

7. Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, M.Kes : Kab. Jeneponto, Kab. Mamuju Utara

8. drg. Made Asri Budisuari, M.Kes : Kab. Sarolangun, Kab. Indragiri Hilir

9. dr. Betty Roosihermiatie, MSPH., Ph.D : Kab. Sumba Timur. Kab. Rote Ndao

(6)

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan 2014 perlu dilakukan ?

Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indonesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, maka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Untuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap berbagai fakta kehidupan sosial masyarakat terkait kesehatan.

Dengan mempertemukan pandangan rasional dan

indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan

menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat. Simbiose ini juga dapat menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah untuk meningkatkan status kesehatan di Indonesia.

Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 20 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan 2014 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan upaya pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kearifan lokal.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

(7)

Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan 2014, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini.

Surabaya, Nopember 2014 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbang Kementerian Kesehatan RI.

(8)

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian 1.2. Pemilihan Lokasi Penelitian

1.3. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 1.4. Analisis Data

BAB 2 KEBUDAYAAN ETNIK LAUT DI DESA TANJUNG PASIR 2.1. Profil Kabupaten Indragiri Hilir

2.1.1 Penyebaran Etnik Laut Berdasarkan Pola Hidup 2.1.2. Sejarah Etnik Laut

2.1.3. Etnik Laut Di Desa Tanjung Pasir 2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi

2.2.2. Kependudukan

2.2.3. Keadaan Pola Pemukiman 2.3. Mata Pencarian

2.3.1. Hasil Laut Sumber Utama Kehidupan 2.3.2. Pembagian Peran dalam Mata Pencaharian 2.3.3. Kelompok Waria

2.4. Agama dan Sistem Kepercayaan

2.5. Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial 2.5.1. Organisasi Sosial 2.5.2. Kelompok Sosial v vii xi xii 1 1 5 7 10 13 13 17 18 20 27 27 31 31 36 36 40 42 43 46 46 48

(9)

2.6. Bahasa 2.7. Kesenian

2.8. Pengetahuan Tentang Kesehatan

2.8.1. Pengetahuan Mengenai Sehat dan Sakit Masyarakat Etnik Laut

2.8.2. Pengobatan Tradisonal dan Teknik Penyembuhan Pengobatan Tradisional

2.8.3. Pengetahuan Makanan dan Minuman

2.8.4. Pelayanan Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan 2.9. Sistem Peralatan dan Teknologi

BAB 3 POTRET KESEHATAN MASYARAKAT DESA TANJUNG PASIR

3.1. Kesehatan Ibu dan Anak 3.1.1. Remaja

3.1.2. Pasangan Suami Istri 3.1.3. Hamil

3.1.4. Proses Menjelang Persalinan 3.1.5. Proses Persalinan Tradisional 3.1.6. Masa Nifas

3.1.7. Neonatus dan Bayi 3.1.8. Anak dan Balita 3.2. Penyakit Menular 3.2.1. ISPA 3.2.2. Diare 3.2.3. Tubercolosis (TBC) 3.2.4. Kusta 3.2.5. Cacar 3.2.6 Scabies

3.3. Penyakit Tidak Menular

55 57 58 61 61 72 76 83 87 88 88 92 97 111 114 118 123 138 143 144 149 154 162 167 171 175

(10)

3.3.3. Kanker 3.3.4. Stroke

3.3.5. Penyakit Jiwa berat

3.4. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 3.4.1. Perilaku Cuci Tangan

3.4.2 Pemakaian Jamban

3.4.3. Perilaku Membuang Sampah 3.4.4. Aktifitas Fisik Setiap Hari 3.4.5. Konsumsi Buah dan Sayur 3.4.6. Perilaku Merokok

3.4.7. Penggunaan Air Bersih 3.4.8. Memberantas jentik nyamuk

BAB 4 TANGIS BUDAK DARI NEGERI SERIBU JEMBATAN (Kasus Kematian Bayi di Desa Tanjung Pasir)

4.1. Studi Kasus Kematian Bayi di Desa Tanjung Pasir 4.2. Keteguran, Kelintasan dan Tekene’ sebagai Penyebab Kematian pada Bayi

4.3. Perilaku Pencegahan dan Pengobatan untuk Bayi oleh Masyarakat

4.3.1. Pencegahan Penyakit untuk Bayi 4.3.2. Pengobatan Penyakit untuk Bayi

4.4. Kasus Kematian Bayi dilihat dari Kacamata Kesehatan 4.5. Bidan Kampung, Peri Penolong atau Pencabut Nyawa? 4.6. Peran Kader dalam KIA

4.7. Peran Tenaga Kesehatan dan Keberadaan Fasilitas Kesehatan dalam KIA di Mata Masyarakat

4.8. Potensi dan Kendala

BAB 5 SIMPULAN DAN REKOMENDASI

184 189 192 197 198 200 201 203 204 205 208 210 213 215 230 238 238 245 248 259 264 268 275 283

(11)

5.2.1. Rekomendasi untuk Kesehatan Umum 5.2.2. Rekomendasi untuk Kesehatan Ibu dan Anak I N D E K S GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA 286 287 291 297 303

(12)

Tabel 1.1. Data Kesehatan Ibu dan Anak Kab. Indragiri Hilir Tahun 2011-2013

Tabel 1.2. Data Kesehatan Ibu dan Anak Desa Tanjung Pasir Tahun 2013

Tabel 2.1. Penyebaran Suku Laut di Kab. Indragiri Hilir Tabel 4.1. Teori Dunn: Model Alternatif Perilaku Kesehatan

Tabel 4.2. Perilaku KIA

3 7 16 276 277

(13)

Gambar 2.1. Peta wilayah dan Luas Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir

Gambar 2.2. Akses Jalan Papan Jerambah Gambar 2.3. Kantin Desa

Gambar 2.4. Pelabuhan Ketika Air Surut Gambar 2.5. Air untuk Kebutuhan Sehari-hari Gambar 2.6. Rumah Khas Masyarakat Suku Laut Gambar 2.7. Jimat di Pintu Rumah

Gambar 2.8. Tempat Pembuangan Hajat Gambar 2.9. Aktivitas Nelayan Menjaring Ikan Gambar 2.10. Penjualan Ikan Asin

Gambar 2.11. Salah Satu Waria di Desa Tanjung Pasir Gambar 2.12. Acara Pesta Perkawinan Masyarakat Suku Laut

Gambar 2.13. Kegiatan Menongkah

Gambar 2.14. Proses Pengobatan Ritual Ancak di Darat Gambar 2.15. Proses Pengobatan Ritual Ancak di Laut Gambar 2.16. Proses Penguncian Penyakit

Gambar 2.17. Ingu (kiri) dan Limau Mentimun (kanan) Gambar 2.18. “Ambulans” Puskesmas Kuala Enok Gambar 2.19. Pelabuhan “Darurat” Dekat Pukesmas Gambar 2.20. Pukesmas Pembantu Desa Tanjung Pasir Gambar 2.21. Kompor Tradisional Anglo

Gambar 3.1. Daun Sedingin untuk Bentan

Gambar 3.2. Ramuan untuk Perut Ibu Paska Persalinan Gambar 3.3. Ikatan di Kaki Ibu untuk Menghindari Bentan

14 23 24 25 30 33 34 36 37 39 43 55 58 68 69 71 72 77 78 81 85 120 121 122

(14)

Gambar 3.6. Bayi di Atas Nampan dan Kain Berlapis Gambar 3.7. Pokong Bayi

Gambar 3.8. Kegiatan Posyandu

Gambar 3.9. Salah Seorang Balita Yang Sedang di Temas Gambar 3.10. Pucuk Daun Jambu Untuk Pengobatan Tadisional Diare

Gambar 3.11. Seorang Informan Penderita TBC

Gambar 3.12. Salah Seorang Informan Penderita Kusta Gambar 3.13. Olesan Campuran Daun Priah dan Beras pada Salah Satu Penderita Cacar

Gambar 3.14. Pohon Api-api Untuk Penyembuhan Penyakit Scabies

Gambar 3.15. Aktifitas Salah Seorang Informan Sedang Memasak Udang Beresiko Hipertensi

Gambar 3.16. Daun Sop Dipercaya Bisa Mengurangi Tekanan Darah Tinggi

Gambar 3.17. Kunyit Untuk Bahan Dasar Pengobatan Kanker

Gambar 3.18. Salah Seorang Informan Penderita Penyakit Jiwa Berat

Gambar 3.19. Anak-Anak Makan Bersama Tanpa Memperhatikan Kebersihan Tangannya

Gambar 3.20. WC Cemplung yang Biasa Ditemui Di Rumah Masyarakat

Gambar 3.21. Kondisi Sampah Yang Bertumpuk di Sekitar Rumah

Gambar 3.22. Seorang Ibu Sedang Merokok di Samping Anaknya 129 131 140 148 152 155 164 170 174 178 179 187 193 199 200 202 207

(15)

Gambar 4.1. Tangkal di Perut Ibu Hamil Gambar 4.2. Tangkal yang Dipasang di Rumah Gambar 4.3. Tangkal Bayi di Tangan

Gambar 4.4. Tangkal Rumah

Gambar 4.5. Bayi ditemas oleh Bidan kampung

Gambar 4.6. Bayi Prematur diberikan Ramuan untuk Tali Pusat 240 242 243 245 246 254

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan Negara ASEAN lainnya. Survei Demografi Indonesia (SDKI) 2012 memberikan data bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan kesepakatan global MDGs (Millenium Development Goal) tahun 2000 diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup.

Berdasarkan data kesehatan berbasis komunitas yang mencakup Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Survei Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Potensi Desa (Podes) maka dirumuskanlah suatu indikator komposit yang dapat menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan di masing-masing kabupaten yang ada di seluruh Indonesia untuk mendapatkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM sendiri memiliki 24 indikator yang dianggap berkontribusi langsung dengan Human Development Index (HDI) atau dalam Bahasa Indonesianya disebut dengan Indeks Pembangunan Manusia. Dari IPKM ini akhirnya didapatkan peringkat kabupaten/kota berdasarkan kemajuan pembangunan

(17)

kesehatan guna mempermudah perumusan program intervensi yang lebih tepat.

Kabupaten yang menjadi fokus dalam buku ini adalah Kabupaten Indragiri Hilir yang berada di Provinsi Riau. Hasil IPKM 2010 menunjukkan bahwa kabupaten ini berada di urutan 413 dari total 440 kabupaten yang ada di seluruh Indonesia. Kabupaten ini termasuk kabupaten yang berkategori wilayah KaB, yaitu wilayah Non Miskin Bermasalah Kesehatan.

Dari rangkuman Profil Kesehatan Riau Tahun 2012 maka ada beberapa point dimana Kabupaten Indragiri Hilir ini memiliki rangking terendah jika dibandingkan dengan kabupaten lain yang ada di Provinsi Riau, yaitu antara lain:

1. Cakupan kunjungan bayi 2. Pencapaian imunisasi 3. Kepemilikan sanitasi dasar

4. Kepemilikan tempat sampah keluarga 5. Tempat pengelolaan air limbah

6. Rasio tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi, bidan dan ahli gizi)

Melihat 6 point yang ada di atas tersebut maka dapat dilihat bahwa 2 point terkait dengan kesehatan ibu dan anak, khususnya bayi, 3 point terkait dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan ketiga mengenai keberadaan tenaga kesehatan.

Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada masalah Kesehatan Ibu dan Anak. Pemilihan topik ini berdasarkan temuan di lapangan dan juga data sekunder yang menunjukkan bahwa masalah KIA masih menjadi masalah di Kabupaten Indragiri Hilir secara keseluruhan. Data Laporan Bagian Kesehatan Ibu dan Anak menunjukkan bahwa beberapa indikator KIA terjadi penurunan atau bisa dikatakan tidak membaik malah semakin jauh dari target, seperti yang coba dirangkum oleh peneliti berikut ini:

(18)

Tabel 1.1. Data Kesehatan Ibu dan Anak Kab. Indragiri Hilir Tahun 2011-2013 INDIKATOR 2011 2012 2013 Ket K1 105,72% 106,27% 82.01% Turun (-) K4 89,62% 93,86% 73.26% Turun (-) PN 74,85% 84,22% 68.94% Turun (-) KF 52,11% 77% 58% Turun (-) KN Lengkap 75,48% 83% 66% Turun (-) Kunjungan Bayi 20,25% 17,20% 17.2% Tetap Pemberian FE 76,6% 76% 62% Turun (-) Kematian Bayi 188 143 160 Naik (-) Kematian Balita 1 4 2 Turun (+) Kematian Ibu 37 40 27 Turun (+) ASI Eksklusif 55,9% 30,5% 32.4% Turun (-) D/S 38.35% 44.43% 43% Turun (-)

Sumber: Laporan Pertemuan Evaluasi Program KIA Tahun 2013 Dinas

Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir dan diolah kembali oleh peneliti

Melihat angka-angka pada tabel 1 di atas maka diperlukan penelitian untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan masih rendahnya pencapaian program KIA dan tingginya kematian ibu dan anak. Peneliti dalam buku ini mencoba menggambarkan perilaku kesehatan secara keseluruhan dan hal yang mendasari pola perilaku masyarakat di daerah tersebut.

Tim kerja dari WHO (dalam Notoatmodjo, 2003: 167-170) menganalisis bahwa ada empat hal pokok yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu, Keempat alasan pokok tersebut adalah:

(19)

Pemikiran dan perasaan ini dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaan-kepercayaan dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek, dalam hal ini adalah objek kesehatan.

2. Personal reference (adanya orang lain yang dijadikan referensi) Perilaku orang akan lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang-orang itu penting untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh. Contohnya adalah guru, alim ulama, kepala adat (Etnik), kepala desa dan sebagainya.

3. Resources (sumber atau fasilitas yang mendukung)

Sumber daya disini mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif. 4. Culture (kebudayaan masyarakat)

Perilaku, normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat bersama.

Penelitian ini sendiri dimulai dari salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan sebagaimana disebutkan WHO, yaitu faktor kebudayaan masyarakat. Kebudayaan adalah perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber dalam suatu masyarakat yang menghasilkan suatu pola hidup yang pada umumnya disebut kebudayaan (Notoatmodjo, 2003: 169).

Memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan, karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005:16). Koentjaraningrat (1996)

(20)

menyatakan, “Hubungan antara ilmu kesehatan masyarakat dan antropologi selain yang disebutkan di atas (hubungan antara ilmu anatomi dan antropologi), yaitu data mengenai konsepsi dan sikap penduduk desa tentang kesehatan, sakit, dukun, obat-obatan tradisional, kebiasaan serta pantangan makan dan lain-lain, bagi seorang dokter kesehatan masyarakat yang akan bekerja dan tinggal di suatu kebudayaan yang asing, antropologi juga memiliki metode-metode dan cara-cara untuk dapat memahami serta menyesuaikan diri dengan kebudayaan serta adat istiadat setempat.

Masalah kesehatan berkaitan erat dengan faktor sosial budaya tempat masyarakat ini tinggal. Faktor inilah yang membentuk perilaku masyarakatnya, termasuk perilaku kesehatan mereka. Perilaku kesehatan yang dimaksud disini adalah memahami sehat dan sakit menurut masyarakat, bagaimana mereka menjaga kesehatan dan menghindarkan diri dari penyakit serta bagaimana mereka mencari pencarian pengobatan ketika sakit.

Faktor budaya setempat, seperti yang sudah dijelaskan, akan menjadi fokus dalam penelitian. Penelitian ini dilakukan di salah satu desa terpilih dimana peneliti akan tinggal dengan masyarakatnya untuk melihat perilaku kesehatan secara langsung dan apa yang mendasari mereka melakukan perilaku tersebut.

1.2. Pemilihan Lokasi Penelitian

Dalam pemilihan lokasi penelitian, pada awalnya peneliti cukup mengalami kesulitan. Berdasarkan tujuan penelitian ini, sebenarnya lebih difokuskan kepada salah satu etnis yang merupakan etnis lokal dan merupakan etnis asli yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir, tetapi setelah tim peneliti melakukan

(21)

persiapan lapangan, ternyata kabupaten Indragiri Hilir lebih banyak dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Etnik lain, dan bukan Etnik asli Indragiri Hilir. Indragiri Hilir bahkan mendapat julukan “Miniatur Indonesia” karena terdiri dari berbagai macam Etnik, seperti Bugis (Sulawesi), Banjar (Kalimantan), Melayu, Padang (Sumatera Barat), Cina dan juga Jawa; sedangkan Etnik asli dari Indragiri Hilir sendiri adalah Etnik Laut atau bisa juga disebut dengan Etnik Duano atau sebutan Etnik Nelayan.

Pemilihan Etnik Laut akhirnya diambil karena merupakan Etnik asli yang ada di wilayah kabupaten ini. Etnik ini juga menjadi satu-satunya Etnik yang oleh Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir masih dikategorikan sebagai Komunitas Adat Tertinggal. Selain itu pemilihan Etnik Laut dikarenakan sampai dilakukan penelitian peneliti belum menemukan studi yang pernah membahas Etnik ini dari segi kesehatannya.

Setelah berkonsultasi dengan pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir maka dipilihlah Desa Tanjung Pasir yang ada di Kecamatan Kuala Enok. Etnik Laut yang ada di desa ini dianggap dapat mewakili Etnik Laut di seluruh Indragiri Hilir yang seluruhnya terletak di 13 desa. Meskipun hampir seluruh desa di antara ke-13-nya sudah terjadi pembauran dengan Etnik lainnya namun menurut keterangan dan wawancara kami dengan beberapa tokoh baik dari pihak Dinkes maupun Dinsos, maka Etnik Laut di desa ini masih tertinggal dibandingkan dengan Etnik Laut di desa lainnya.

Terkait data kesehatan, Kecamatan Kuala Enok bukan kecamatan yang menjadi sorotan utama dari Dinas Kesehatan. Menurut mereka masih ada kecamatan yang memiliki catatan kesehatan yang lebih buruk, namun di satu sisi kecamatan ini juga masih tidak terlepas dari masalah-masalah kesehatan yang terjadi hampir di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir. Masih banyak angka kesakitan dari

(22)

beberapa penyakit di kecamatan ini yang belum tuntas. Angka-angka indikator Kesehatan Ibu dan Anak, yang menjadi topik penelitian, pun capaiannya masih rendah. Berikut merupakan data KIA Desa Tanjung Pasir Tahun 2013.

Tabel 1.2. Data Kesehatan Ibu dan Anak Desa Tanjung Pasir Tahun 2013 INDIKATOR 2011 K1 62% K4 66% PN 48% KF 48% KN Lengkap 44% Kunjungan Bayi 55% ASI Eksklusif 50% D/S 57%

Sumber: PPT Lokakarya Mini Puskesmas Kuala Enok Tahun 2013

Angka tersebut menunjukkan bahwa angka indikator terkait kesehatan ibu dan anak masih rendah, bahkan masih ada angka di bawah 50%. Oleh karena itu topik yang berkaitan dengan Kesehatan Ibu dan Anak akan menjadi fokus penelitian. Diharapkan dengan fokus terhadap topik ini akan menjadi sumbangan bagi pemerintah daerah agar adanya perbaikan kesehatan bagi ibu dan anak sehingga dapat menekan AKI dan AKB di wilayah ini.

1.3. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode etnografi, dimana cara ini merupakan cara yang tepat untuk mendapatkan gambaran yang kholistik tentang bagaimana masyarakat dalam

(23)

suatu komunitas itu berperilaku. Menurut Ahimsa, dengan metode ini peneliti akan dapat menyajikan informasi rinci tentang keadaan di lokasi penelitian, mulai dari lingkungan fisik, praktek-praktek sosial yang ada, hingga pandangan dan pendapat mereka yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal-hal tersebutlah yang memiliki pengaruh tertentu dan memberikan sumbangan terhadap tingkat kesehatan yang telah dicapai.

Dalam metode ini diperlukan instrument dan cara pengumpulan data agar data yang ada tidak terlewat oleh si peneliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa cara atau teknik agar data yang didapatkan lebih akurat. Teknik yang digunakan antara lain adalah:

1. Participant Observation (Partisipasi Observatif)

Cara ini merupakan cara utama yang digunakan dalam penelitian ini karena dianggap dapat mendapatkan gambaran umum mengenai suatu subyek penelitian. Observasi partisipasi dilakukan dengan terlibat langsung dengan segala kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sehari-hari di Desa Tanjung Pasir, khususnya yang terkait dengan perilaku kesehatan.

Untuk melakukan observasi tersebut maka tim peneliti tinggal bersama dengan masyarakat Desa Tanjung Pasir tersebut kurang lebih selama 50 hari. Observasi-partisipasi dilakukan dengan mengikuti semua aktivitas-aktivitas keseharian masyarakat, baik itu aktivitas sehari-hari di rumah, aktivitas pekerjaan, aktivitas yang berkaitan dengan kesehatan. Dengan melakukan pengamatan, peneliti yakin terhadap realitas yang ada di lapangan dan data yang diperoleh (Moleong, 2005: 174-175).

(24)

2. Wawancara

Dalam penelitian ini untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, penulis menerapkan model wawancara tak berstruktur (unstructured

interview) dan berfokus (focused interview). Wawancara

dilakukan untuk menegaskan apa saja yang sudah didapatkan pada saat dilakukan observasi partisipasi.

Untuk menggali informasi lebih dalam dari informan, pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan metode indepth interviewing, yaitu proses tanya jawab dengan bertatap muka antara peneliti dengan informan sehingga mendapatkan informasi dan juga pengertian tentang kehidupan informan, pengalaman atau keadaan seperti yang dikatakan sendiri oleh para informan (Bogdan and Taylor, 1984:74). Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang dianggap bisa memberikan gambaran yang jelas dan mendalam atas kejadian atau peristiwa tertentu terkait dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar data yang didapatkan dapat lebih valid. Pemilihan informan disesuaikan dengan apa yang menjadi pertanyaan peneliti.

Data wawancara kemudian harus diuji kebenarannya agar data tersebut bisa dipertanggung jawabkan, peneliti melakukan

cross check data awal pada informan lain dengan menggunakan

pertanyaan yang sama atau disebut triangulasi. Data yang telah diperoleh segera diproses karena jika menunda proses pencatatan dikhawatirkan akan terjadi perubahan data yang diperoleh karena peneliti lupa.

3. Data Sekunder

Selain mengumpulkan data primer, peneliti juga mengambil data sekunder, data sekunder didapatkan dari lokasi penelitian yang telah ditetapkan. Data sekunder tersebut berupa profil kabupaten, data-data kesehatan secara umum dan data

(25)

kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir, data kesehatan yang berasal dari Puskesmas Kuala Enok (Kecamatan Tanah Merah), data Puskesmas Pembantu Desa Tanjung Pasir, data Demografi dari BPS Kabupaten Indragiri Hilir dan data monografi Desa Tanjung Pasir. Selain itu dilakukan juga penelusuran informasi dari buku-buku, literatur ataupun informasi yang dipublikasikan dalam media elektronik maupun cetak. Data di media ini lebih berkaitan dengan sosial budaya Etnik Laut dan juga mengenai kesehatan yang menjadi topik dalam penelitian ini.

4. Data visual

Data ini merupakan data berupa foto dan juga video. Data dari keduanya menjadi penunjang bagi data-data yang sudah disebutkan di atas, sehingga data lebih akurat lagi. Dengan adanya data berupa foto dan juga video sangat membantu peneliti mengingat ada gambaran kejadian tertentu yang mungkin luput dan lupa tercatat oleh si peneliti. Dalam laporan adanya foto diharapkan dapat memperjelas gambaran fenomena atau peristiwa tertentu sesuai dengan tujuan penelitian, yang tidak cukup jika hanya digambarkan dengan deskripsi berupa tulisan.

5. Studi Kepustakaan

Teknik pengambilan data berikutnya adalah dengan cara studi kepustakaan. Studi pustaka yang dimaksud adalah cara untuk memperoleh informasi atau data mengenai topik permasalahan yang dibahas dari buku-buku dan juga internet. 1.4. Analisis Data

Analisa yang dimaksud merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara,

(26)

dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang persoalan yang diteliti dan menyajikan sebagai temuan bagi orang lain.

Dalam penelitian ini teknik analisis data dengan metode kualitatif dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: membaca data yang diperoleh peneliti melalui kegiatan observasi, wawancara, data hasil catatan lapangan, fieldnote dan juga hasil transkrip wawancara dengan informan yang telah ditentukan oleh peneliti. Kemudian peneliti membuat resume atau catatan inti dari hasil wawancara dengan informan, setelah semua dipahami oleh peneliti kemudian peneliti memilah-milah data yang diperoleh dan mengambil hal yang pokok terkait dengan topik penelitian yaitu mengenai perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat desa Tanjung Pasir. Peneliti melakukan koreksi kembali dari kegiatan observasi dan wawancara tentang pokok-pokok penelitian.

Tahap berikutnya peneliti menyusun data yang telah diperoleh dari informan-informan melalui wawancara dan observasi kemudian mengklasifikasikan data tersebut, sehingga nantinya akan mempermudah peneliti dalam mengidentifikasi data yang diperoleh selama penelitian berlangsung. Peneliti juga membaca literatur yang sesuai dengan topik penelitian.

Studi kepustakaan bisa dilakukan dengan mengakses internet dimana berbagai informasi dapat diperoleh dengan mudah dari internet. Data yang diperoleh dari hasil lapangan akan dianalisis dengan metode kualitatif. Analisis dilakukan untuk memperoleh keselarasan dan menata hasil catatan dari lapangan untuk memperoleh suatu pemahaman. Data hasil wawancara dengan informan tersebut memerlukan interpretasi dari peneliti. Interpretasi tersebut dapat dilakukan ketika semua data mengenai topik permasalah telah terkumpul. Peneliti juga melakukan kroscek ulang dengan semua informan apabila

(27)

menurut peneliti data yang didapat mempunyai kekurangan atau kesalahan. Hal ini mendukung suatu keaslian dari data yang berhubungan dengan topik penelitian.

(28)

BAB 2

KEBUDAYAAN ETNIK LAUT

DI DESA TANJUNG PASIR

2.1. Profil Kabupaten Indragiri Hilir1

Kabupaten Indragiri Hilir terletak di pantai Timur pulau Sumatera yang merupakan gerbang selatan Propinsi Riau dengan luas daratan 11.605,97 km² dan perairan 7.207 km², berpenduduk kurang lebih 683.354 jiwa yang terdiri dari berbagai etnis. Kabupaten Indragiri Hilir yang sebelumnya dijuluki ”Negeri Seribu Parit” sekarang terkenal dengan julukan “Negeri Seribu Jembatan”. Julukan ini didapatkan karena daerah Indragiri Hilir dikelilingi perairan berupa sungai-sungai besar dan kecil, parit, rawa-rawa dan laut sehingga di sana terdapat banyak jembatan yang berfungsi untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya.

Sebagian besar dari luas wilayah Kabupaten Indragiri Hilir yaitu sebanyak 93,31% merupakan daerah dataran rendah yaitu daerah endapan sungai, daerah rawa dengan tanah gambut

(peat), daerah hutan payau (mangrove) dan terdiri atas

pulau-pulau besar dan kecil dengan luas lebih kurang 1.082.953,06 hektar dengan rata-rata ketinggian lebih kurang 0-3 meter dari permukaan laut. Sebagian kecil daerahnya yaitu sebesar 6,69%

1

Data diambil dari Profil Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir yang diakses dari www.inhil.kab.go.id, diolah lagi oleh peneliti sesuai kebutuhan penelitian.

(29)

berupa daerah berbukit-bukit dengan ketinggian rata-rata 6-35 meter dari permukaan laut yang terdapat dibagian selatan Sungai Reteh di Kecamatan Keritang yang berbatasan dengan Provinsi Jambi.

Gambar 2.1.

Peta wilayah dan Luas Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Sumber : http://www.inhilkab.go.id

Secara fisiografis Kabupaten Indragiri Hilir beriklim tropis dan merupakan sebuah daerah dataran rendah yang terletak di ketinggian 0-4 meter di atas permukaan laut dan dipengaruhi oleh pasang surut. Bila diperhatikan dari segi fisiografisnya, tanah-tanah di daerah tersebut terbelah-belah oleh beberapa sungai terusan, sehingga membentuk gugusan pulau-pulau. Sungai yang terbesar di daerah ini adalah Sungai Indragiri Hilir. Sungai Indragiri Hilir mempunyai tiga muara ke Selat Berhala yaitu Desa Sungai Belah, Desa Perigi Raja dan Kuala Enok. Sedangkan sungai-sungai lainnya adalah: Sungai Guntung, Sungai

(30)

Kateman, Sungai Danai, Sungai Gaung Anak Serka, Sungai Batang Tuaka, Sungai Enok, Sungai Batang, Sungai Gangsal, Sungai Keritang, Sungai Reteh, Sungai Terap, Sungai Mandah, Sungai Igal, Sungai Pelanduk, Sungai Bantaian, dan sungai Batang Tumu.

Pada umumnya struktur tanah di Kabupaten Indragiri Hilir terdiri atas tanah organosol (histosil) yaitu tanah gambut yang banyak mengandung bahan organik. Tanah ini dominan di wilayah Indragiri Hilir terutama daratan rendah di antara aliran sungai. Sedangkan di sepanjang aliran sungai umumnya terdapat formasi tanggul alam natural river leves yang terdiri dari tanah-tanah alluvial (entisol) dan gleihumus (inceptisol).

Pada musim kemarau kadang-kadang hujan tidak turun selama 3 (tiga) bulan lamanya sehingga menimbulkan kesulitan air bersih, pengairan dan sebagainya. Angin yang bertiup sepanjang tahun adalah angin utara dan angin selatan. Pada waktu musim angin utara, terjadi musim gelombang serta air pasang yang cukup tinggi yang membawa air laut berkadar garam ke hulu sungai sehingga membawa pengaruh terhadap tingkat kesuburan bagi tanam-tanaman tertentu yang tidak tahan terhadap kadar air dengan tingkat keasinan yang tinggi.

Secara geografis wilayah Kabupaten Indragiri Hilir memiliki potensi perairan laut yang cukup luas serta daratan dimana pada daerah tersebut dapat dikembangkan usaha budidaya perikanan. Di samping sungai-sungai dan selat, di Kabupaten Indragiri Hilir banyak terdapat parit-parit.2.

Kabupaten Indragiri Hilir terdiri dari berbagai macam Etnik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Kabupaten Indragiri Hilir merupakan “Miniatur Indonesia”, hal ini dikarenakan masyarakat

2

( http://www.riaudailyphoto.com/2013/03/profil-kabupaten-indragiri-hilir.html, diakses pada 23 Juli 2014, 11.00 WIB

(31)

yang tinggal di Indragiri Hilir merupakan berbagai Etnik yang berasal dari berbagai pulau di Indonesia.

Dalam penelitian kali ini, subjek penelitian yang akan dibahas adalah masyarakat Etnik Laut. Kelompok ini masih dikategorikan sebagai Komunitas Adat Tertinggal berdasarkan Kementerian Sosial. Penyebaran masyarakat Etnik Laut yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir menyebar ke beberapa kecamatan dan desa. Penyebaran di beberapa kecamatan dan di desa dapat digambarkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1. Penyebaran Etnik Laut di Kab. Indragiri Hilir

No Kecamatan Desa 1. Kateman Kuala Selat 2. Mandah Bekawan

Belaras 3. Tanah Merah Tanah Merah

Sungai Laut Tanjung Pasir 4. Kuala Indragiri Perigi Raja

Sungai Bela 5. Reteh Pulau Ruku 6. Concong Concong Luar

Panglima Raja 7. Sungai Batang Kuala Patah Parang

Sumber: Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir 2014

Masyarakat Etnik Laut memilih suatu tempat persinggahan biasanya karena letaknya yang teduh dan terlindung dari ombak dan badai, seperti teluk, kuala, atau muara sungai. Di tempat itu jugalah biasanya terjadi pertemuan dan interaksi orang Etnik Laut dari beberapa desa.

(32)

2.1.1 Penyebaran Etnik Laut Berdasarkan Pola Hidup

Pada sub-bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa Etnik Laut berada di beberapa kecamatan yang ada di kabupaten Indragiri Hilir, salah satunya yaitu Kecamatan Tanah Merah. Kecamatan Tanah Merah merupakan salah satu kecamatan yang banyak dikelilingi sungai-sungai kecil dan menjorok sampai ke lautan. Kecamatan ini juga merupakan daerah yang dikelilingi oleh hutan-hutan bakau.

Kecamatan Tanah Merah merupakan salah satu kecamatan dengan Ibukota Kuala Enok, luas wilayah kecamatan 721,56 km². Kecamatan Tanah Merah memiliki kelurahan atau desa seperti: Desa Kuala Enok, Desa Selat Nama, Desa Sungai Laut, Desa Sungai Nyiur, Desa Tanah Merah, Desa Tanjung Baru, Desa Tanjung Pasir, Desa Tekulai Bugis, Desa Tekulai Hilir dan Desa Tekulai Hulu.

Sebelum tahun 1907 Kecamatan Tanah Merah menjadi tempat pemukiman atau tempat tinggal persinggahan Etnik Laut. Kecamatan Tanah Merah adalah kecamatan dengan urutan kedua terbanyak yang dihuni oleh masyarakat Etnik Laut, setelah Kecamatan Concong.

Kemajuan kehidupan ekonomi dan berkembangnya zaman membuat masyarakat Etnik Laut tidak bisa lama bertahan hidup di Kecamatan Tanah Merah dan pada akhirnya melakukan perpindahan tempat tinggal, dikarenakan persaingan ekonomi yang tidak bisa mereka jangkau dengan masyarakat Etnik lainnya. Masyarakat Etnik Laut memiliki pola hidup selalu berkelompok dan berkumpul sesama masyarakat Etnik Laut lainnya. Hal ini karena mereka memiliki pola pikir dan pemahaman yang sama dalam menjalani hidup mereka.

(33)

2.1.2. Sejarah Etnik Laut

Nama masyarakat Etnik Laut belum terlalu lama dipakai masyarakat umum untuk menyebut kelompok-kelompok masyarakat yang dahulu memiliki cara hidup dengan berpindah-pindah, bertempat tinggal dalam sampan atau perahu kecil dan mengembara di kawasan perairan yang hampir meliputi seluruh wilayah Kabupaten Indragiri Hilir dan kecamatan yang dikelilingi oleh perairan. Kebiasaan mengembara di laut sudah merupakan warisan nenek moyang masyarakat Etnik Laut yang telah berlangsung selama pada beberapa generasi. Pengembara-pengembara laut, menurut catatan sejarah dan etnografi telah dikenal pada masa akhir zaman Kerajaan Sriwijaya yaitu pada abad ke-14.

Seiring dengan kemajuan jaman, Etnik Laut pun mengalami perubahan nama menjadi istilah Etnik Duanu. Perubahan nama dari Etnik Laut menjadi Duanu ini diberikan oleh sekumpulan tokoh masyarakat Etnik Laut muda. Menurut salah satu tokoh muda ungkapan ini berasal dari bahasa Belanda dari kata duane yang artinya upeti, pajak dan cukai. Karena di masa Kerajaan Lingga masyarakat Kerajaan Lingga sering memungut pajak (duane) kepada setiap kapal yang datang berlabuh. Ketika itu setiap kapten kapal yang datang berlabuh di kuala masyarakat setempat selalu menyapa dengan kata-kata “hei duane” yang

artinya adalah hei, bayar pajak. istilah duane ini pada akhirnya

menjadi ejekan dan melekat terus (Amin, 2012: 118).

Pemberian nama Duanu ini bertentangan dengan para sesepuh masyarakat Etnik Laut karena mereka tidak suka ketika disebut dengan nama Etnik Duanu. Pada masyarakat Etnik Laut, Etnik Duanu hanya perubahan nama saja dan tidak ada sejarahnya. Tokoh masyarakat tua dari Etnik ini menyatakan bahwa perubahan nama dari masyarakat Etnik Laut menjadi Etnik Duanu ini dilakukan oleh pihak yang berkepentingan saja

(34)

khususnya masyarakat Etnik Laut yang sudah berpendidikan tinggi, mereka menganggap dengan perubahan nama ini akan nantinya membawa perubahan kepada masyarakat Etnik laut lainnya, tetapi masyarakat Etnik Laut sendiri sebenarnya tidak pernah malu apabila masyarakat Etnik lain menyebut mereka dengan sebutan orang laut.

Cerita tetua masyarakat setempat seperti tok kik (kakek) Nr dan tok kik Hs mengatakan riwayat masyarakat Etnik Laut berasal dari daerah Desa Sungai Rumah dan bukannya dari Desa Tanah Merah. Pada awalnya masyarakat Etnik Laut selalu bersama untuk menjalani hidupnya dengan masyarakat Etnik Laut lainnya dan bertempat tinggal di atas perahu atau sampan kecil. Masyarakat Etnik Laut dulunya tidak pernah mau bertempat tinggal dan menjalani hidupnya di daratan. Mereka memilih untuk melakukan segala aktivitasnya di dalam perahu atau sampan yang kecil yang atapnya ditutupi dengan daun nipah, yang disebut dengan perahu kajang. Aktivitas yang dilakukan dalam perahu kajang ini seperti memasak, makan, mandi, istirahat dan bahkan proses persalinan dan perkembangan anak pun dilakukan semuanya di atas kapal tersebut.

Masyarakat Etnik Laut mulai berpindah ke daratan pada saat Negara Indonesia mau merdeka. Tahun 1945 mereka sedikit demi sedikit sudah mulai menganut agama Islam namun di satu sisi masih ada juga yang mempercayai hal ghaib. Perkembangan agama Islam yang pesat pada masyarakat Etnik Laut tidak lepas dari peran Tuanku Guru Sapat Datuk Ibrahim, dengan dibantu oleh anak-anak muridnya beliau mengembangkan agama Islam pada masyarakat Etnik laut ini.

Ketergantungan masyarakat Etnik Laut pada laut sangat tinggi, terlebih masyarakat Etnik Laut yang berdomisili di laut, dimana mereka menganggap laut dan sungai-sungai kecil adalah

(35)

surga bagi kehidupan mereka sampai tua nanti. Masyarakat Etnik Laut menyatakan dirinya sebagai manusia yang pernah dilahirkan oleh gelombang laut lewat dan secara alami telah menyatukan diri dengan kehidupan laut dan menjadikan lingkungan di sekitar laut sebagai sumber daya alam mereka.

Masyarakat Etnik Laut untuk saat ini mulai menetap dan membangun rumah di tepi pantai dari gugusan pulau-pulau di jalur pelayaran yang pernah mereka lalui dalam pengembaraannya. Setiap kelompok masyarakat Etnik laut mempunyai bahasa kelompok sendiri, namun mereka mengerti bahasa yang digunakan kelompok-kelompok lain.

Karateristik masyarakat Etnik laut adalah dengan bentuk tubuh yang kekar, warna kulit lebih hitam, rambut dan gigi yang ke kuning-kuningan, serta tutur bahasa yang lebih kasar dan nada bicara yang keras. Seperti ungkapan tok kik Ak, “Duanu pialap

madolak (Orang laut tidak lepas dari laut).”

2.1.3. Etnik Laut Di Desa Tanjung Pasir

Berdasarkan cerita tetua di Desa Tanjung Pasir yang telah hidup berpuluh-puluh tahun disana, yaitu tok kik Pd mengatakan bahwa masyarakat Desa Tanjung Pasir pada awalnya tinggal di Desa Tanjung Baru. Ketika pada saat itu terjadi sebuah permasalahan yang sangat signifikan yang dihadapi oleh masyarakatnya yaitu masalah ekonomi dan sulitnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal tersebut mengakibatkan Desa Tanjung Baru tidak layak huni lagi, sehingga pada akhirnya terjadilah perpindahan penduduk ke Desa Tanjung Pasir. Dengan terjadinya perpindahan tempat tinggal ini membuat suatu perubahan pada Desa Tanjung Pasir dimana desa ini dihuni dengan berbagai kalangan Etnik seperti Etnik Laut, Banjar, Melayu, Bugis, Jawa, Minang, dan Batak.

(36)

Menurut sejarah, asal muasal nama Desa Tanjung Pasir ini karena daerah tanjungnya berbentuk bundar dan pada daerah tanjung ini banyak terdapat pasir, sehingga daerah tersebut dinamakan Desa Tanjung Pasir. Pemberian nama ini berdasarkan musyawarah bersama masyarakat yang dahulu pertama kali tinggal di Desa Tanjung Pasir.

Desa Tanjung Pasir memiliki 3 dusun yaitu Dusun Tanjung Harapan dan Dusun Sungai Rumah dan dipimpin oleh wak ka’ MA

disein donu (Bapak MA orang Etnik laut duanu) sedangkan Dusun

Sungai Bandung dipimpin oleh Bapak P orang Etnik Banjar. Dusun Sungai Bandung merupakan dusun yang paling tertua di antara dusun yang lainnya. Pemberian nama Dusun Sungai Bandung ini dikarenakan bentuk sungainya membendung maka masyarakat yang hidup pada masa tersebut memberikan nama dengan sebutan Dusun Sungai Bandung. Dusun Sungai Bandung merupakan desa dataran rendah yang mengakibatkan masyarakatnya banyak bertempat tinggal dan membuat rumah di daratan, dan mata pencaharian utama mereka hanya mengandalkan hasil kebun kelapa. Oleh karena itu di Dusun Sungai Bandung ini tidak ditemukan masyarakat Etnik Laut yang tinggal disana, hal tersebut disebabkan karakteristik geografis yang berupa daerah daratan, sehingga tidak cocok untuk pola hidup masyarakat Etnik Laut yang biasa hidup di tepi pesisir pantai atau lautan.

Kampung tertua kedua di Desa Tanjung Pasir adalah Dusun Sungai Rumah. Pemberian nama ini karena pada awalnya di sungai ini ada satu rumah yang dibuat oleh masyarakat Etnik Laut yang kemudian diikuti terus dengan beberapa pembuatan rumah berikutnya. Sungai ini juga merupakan salah satu akses penting sebagai sarana jalan laut. Letaknya di tepi sungai dan banyak orang sering melintas.

(37)

Tahapan perkembangan desa dari waktu ke waktu sudah mengalami perubahan yang signifikan dan dirasakan oleh masyarakat Etnik Laut dan masyarakat Etnik lainnya. Perubahan ini disebabkan cara pola pikir mereka yang sudah maju dan adanya pembangunan fisik maupun non fisik. Masyarakat pun sudah bisa mengelola konflik yang dulunya kerap terjadi dan menjadi masalah baik itu di dalam kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok Etnik lainnya. Seiring dengan perubahan tersebut maka terjadi perubahan nilai dan norma yang ada di masyarakat Desa Tanjung Pasir, termasuk Etnik Laut yang ada di dalamnya.

Sebagai akses untuk dapat berinteraksi atau berkomunikasi sehari-hari dari satu tempat ke tempat lainnya masyarakat desa harus melintasi jalan jerambah yang terbuat dari papan. Jalan jerambah ini tidak bisa bertahan lama penyebabnya adalah kekuatan papan yang mudah lapuk dan harus dilakukan pergantian papan tiap bulan dan tiap tahunnya.

Dengan menggunakan anggaran APBD dan bantuan dari Program Mandiri pada tahun 2009, perubahan akses jalan pun mengalami perubahan yang signifikan. Jalan tersebut sudah berbentuk jalan semen atau jalan beton yang masih dibatasi areanya seperti jalan yang ada di pemukiman tempat tinggal penduduk yang berada di sepanjang area pelabuhan.

Di sepanjang jalan beton pada area pelabuhan ini dipergunakan juga oleh masyarakat Etnik Laut dan masyarakat Etnik lainnya untuk menjemur ikan yang di asinkan, meletakkan jaring, meletakkan kayu sungkur dan juga sebagai tempat sandaran kapal mereka ketika pulang dari melaut. Mereka beranggapan dengan adanya jalan beton di sepanjang area pelabuhan ini banyak manfaat yang mereka dapatkan bagi kehidupan, termasuk menghindari longsor.

(38)

Gambar 2.2. Akses Jalan Papan Jerambah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Desa Tanjung Pasir memiliki satu jembatan yang panjangnya sekitar 30 meter yang lantai dasarnya terbuat dari papan resak dan pondasi jembatan terbuat dari kayu bakau dan kayu ulin. Jembatan ini merupakan salah satu sarana penghubung antara Dusun Tanjung Harapan ke Dusun Sungai Rumah yang berfungsi sebagai wadah untuk menjalankan perekonomian dalam aktivitas jual beli. Bagi masyarakat Desa Tanjung Pasir jembatan ini juga sering dipergunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan bersantai pada waktu sore hari saat para nelayan pulang dari melaut. Jembatan tersebut terkadang digunakan juga sebagai tempat untuk memancing.

Desa Tanjung Pasir juga memiliki kantin pasar yang letaknya di Dusun Tanjung Harapan. Kantin pasar yang dimiliki oleh desa tidak jauh dari pinggir sungai. Masyarakat yang

(39)

berjualan di kantin pasar mayoritas adalah masyarakat Etnik Laut, jumlahnya pun tidak banyak. Setiap harinya hanya sekitar 2 atau 3 orang yang berjualan dan biasanya mereka menjual hasil tangkapan dan sayuran yang sebelumnya diambil dari pasar yang ada di Kecamatan Kuala Enok.

Gambar 2.3. Kantin Desa

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Desa Tanjung Pasir memiliki pelabuhan sendiri di salah satu bagian desa, adanya pelabuhan kecil ini diperuntukkan untuk mempermudah akses masyarakat yang datang dan keluar dari desa ini. Di pelabuhan tersebut sudah disediakan tangga dari kayu agar memudahkan mereka untuk naik atau turun ke kapal yang diparkir di pelabuhan tersebut. Dahulu, pelabuhan yang terdapat di desa ini keadaannya lebih baik, karena pelabuhan kecil tersebut dilengkapi dengan atap pelindung di atasnya sehingga masyarakat yang naik atau turun dari kapal terlindungi dari hujan dan terik matahari serta udara yang panas.

(40)

Gambar 2.4. Pelabuhan Ketika Air Surut

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Namun sekarang ini pelabuhan yang lama sudah dibongkar termasuk atapnya karena keberadaannya disalahgunakan oleh beberapa masyarakat untuk tempat mereka berkumpul sambil meminum tuak dan pada akhirnya berujung pada seringnya terjadi keributan antar sesama warga. Sekarang yang tersisa hanyalah pelabuhan sederhana dengan tangga kayu. Tangga kayu itu memang relatif memudahkan masyarakat untuk turun ke kapal, namun keadaan pasang surut juga menentukan sulit atau tidaknya mereka turun. Ketika air sedang sangat surut derajat kemiringan tangga akan semakin tinggi sehingga memanjat tangga pun akan lebih sulit, sedangkan ketika air pasang masyarakat sangat mudah untuk masuk kapal karena tangga akan menjadi datar, hanya beberapa centimeter saja di atas air.

(41)

Dalam hal sarana pendidikan, Desa Tanjung Pasir memiliki 1 PAUD, 2 Sekolah Dasar (SD) dan SMP Satu Atap. Meskipun di Desa Tanjung Pasir sudah memiliki fasilitas pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, tetapi masyarakat di desa tersebut merasa masih belum cukup, karena apabila anak-anak ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu ke Sekolah Menengah Atas (SMA), mereka harus pergi ke kecamatan lain, karena fasilitas pendidkan tingkat SMA hanya ada di Kecamatan Tanah Merah.

Pendidikan bagi anak-anak di desa Tanjung Pasir sepertinya bukan merupakan prioritas utama, jadi meskipun anak-anak di Desa Tanjung Pasir pada umumnya sudah banyak yang bersekolah tetapi sebagian dari mereka berhenti dan tidak tuntas menyelesaikan pendidikan mereka. Hal ini disebabkan karena kurangnya dukungan dari orang tua mereka terhadap pendidikan. Sebagian orang tua Etnik Laut cenderung menyuruh anaknya untuk turut serta bekerja atau membantu mereka bekerja, daripada mendukung anak-anak untuk terus melanjutkan pendidkannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan ungkapan salah satu guru Bapak Sf berikut ini:

“Ketika orang tua Etnik Laut ini sudah punya anak mereka sebagai orang tua sangat jarang memberikan pendidikan sampai selesai paling tinggi pendidikan anak-anak mereka tamat SD dan SMP, para orang tua hanya lebih cenderung sang anak disuruh untuk bekerja dengan dapat uang setiap harinya. para orang tua lebih senang ketimbang anaknya belajar, sebenarnya untuk biaya kemiskinan dari sekolah sudah disediakan ketika uang yang seharusnya dipakai untuk pendidikan malahan dibelikan beras dan sembako.”

(42)

2.2. Geografi dan Kependudukan 2.2.1. Geografi

Koordinat geografis desa ini berada pada 0 derajat 24” Lintang Selatan dan 103 derajat 18” Bujur Timur. Batas-batas wilayah Desa Tanjung Pasir adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tanah Merah dan Desa Tanjung Baru; sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sungai Laut; sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kuala Enok; dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tanjung Lajau.

Jarak dari Desa Tanjung Pasir menuju ke ibukota kecamatan sekitar 2 km, sedangkan jarak dari desa Tanjung Pasir ke ibukota kabupaten sekitar 50 km, apabila masyarakat akan bepergian menuju ke Ibukota Provinsi Riau jaraknya sekitar 485 km.

Desa Tanjung Pasir dikelilingi sungai-sungai kecil yang mengakibatkan tidak adanya jalan darat untuk akses dari dan ke kecamatan ataupun kabupaten. Transportasi laut menjadi satu-satunya sarana yang dapat dipakai. Untuk menuju ke Kecamatan Tanah Merah masyarakat Etnik Laut harus menggunakan

pompong atau kapal motor sebagai transportasi untuk

menyeberang. Biaya untuk sekali menyebrang sekitar Rp. 2.000,- per-orangnya. Masyarakat yang cukup mampu memiliki kapal motor atau pompong sendiri juga dipergunakan untuk berbagai kepentingan, seperti menjaring ikan selain digunakan untuk menyeberang.

Apabila masyarakat Desa Tanjung Pasir ingin bepergian ke Ibukota Kabupaten Indragiri Hilir (Tembilahan) mereka menggunakan speed boat. Perjalanan ke Tembilahan memerlukan waktu satu jam saja dengan biaya Rp. 45.000,- per-orangnya. Bisa juga menggunakan kapal motor milik pribadi

(43)

namun waktunya sedikit lama untuk sampai ke Kabupaten Indragiri Hilir.

Secara topografi, flora yang terdapat di Desa Tanjung Pasir adalah pohon kayu bakau dan pohon letup api yang terhampar luas. Penanaman pohon kayu bakau ini sangat dilestarikan masyarakat karena berfungsi sebagai penahan ketika terjadi longsor. Lain halnya dengan pohon letup api yang biasanya digunakan masyarakat sebagai bahan pengobatan untuk mengobati sakit kulit. Selain itu sejak adanya bantuan dari Dinas Kehutanan tentang Program Reboisasi Hutan Bakau, maka hutan bakau lebih tertata rapi dan menjadi pemandangan indah di sepanjang aliran sungai desa.

Kondisi alam Desa Tanjung Pasir dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut menyebabkan desa tersebut tidak memiliki sawah atau ladang karena masalah pengairan tersebut. Masyarakat setempat juga tidak memelihara hewan atau ternak, beberapa beberapa keluarga ada yang memelihara ayam tapi bukan untuk diternakkan tapi untuk disimpan untuk keperluan hajatan. Di desa ini pun terdapat hewan liar yang berkeliaran sekitar payau di bawah rumah panggung tempat masyarakat membuang sampah, hewan liar tersebut adalah babi, macan, anjing, biawak dan monyet.

Masyarakat Desa Tanjung Pasir menjalani hidup menyesuaikan dengan keadaan alam yang ada di sekitar aliran sungai, seperti yang dijelaskan Bapak Ks berikut ini:

“Tanaman dan sayuran disini tidak ada karena merupakan daerah perairan. apabila ada pasti akan hanyut terkena dengan air pasang begitu juga dengan hewan ternak seperti kambing dan sapi disini tidak ada juga karena untuk pemberian makannya tidak ada seperti rumput dan ilalang.”

(44)

Berkaitan dengan keberadaan sungai, menurut masyarakat Etnik Laut, sungai dan air adalah satu keterkaitan dalam hidup mereka. Masyarakat Etnik Laut menganggap air laut yang asin merupakan suatu kekuatan atau obat bagi mereka. Hal ini seperti yang dialami oleh tok kik Ed pada cerita berikut ini:

“Laut dan sungai adalah surganya kita karena kebutuhan sehari-hari bergantung pada hasil laut dan hasil sungai, dan saya selalu berendam ke air laut yang asin ketika melaut, makanya saya sangat jarang terkena sakit kulit apalagi kalau pekerjaan saya mencari kerang di lumpur yang kotor, masyarakat Etnik laut beranggapan air laut yang asin ini berfungsi sebagai mengebalkan kulit dan bisa juga mengeraskan tubuh kita “.

Dalam hal sumber air, masyarakat menggunakan air hujan dan juga air sumur bor. Air hujan biasa digunakan untuk minum, memasak dan mandi. Pipa-pipa panjang diatur sedemikian rupa di atas rumah sehingga air hujan akhirnya dapat dialirkan di tempat penampungan sebelum nantinya dipindahkan ke wadah-wadah penyimpanan air hujan yang lebih kecil seperti dirigen kecil atau bekas botol air mineral. Tempat penyimpanan air hujan ini jarang dibersihkan sehingga membuat kualitas air hujan jadi keruh. Masyarakat juga jarang menyaring air hujan yang mengalir dari kotoran atap rumah mereka.

Air minum yang berasal dari air hujan biasanya dimasak terlebih dahulu, namun masih ada sebagian yang tidak memasak dan lebih memilih untuk mengkonsumsinya langsung karena dianggap lebih sejuk jika dibandingkan dimasak terlebih dahulu yang rasanya dianggap mereka hambar.

Ketika musim kemarau dan tidak ada persediaan air hujan maka masyarakat biasanya membeli air ke kecamatan dimana harga satu dirigen kecil sebesar Rp 5.000.-. Namun ada juga yang akhirnya menggunakan sumber air bor sebagai air minum. Terkait

(45)

sumber air minum menurut penuturan informan tok kik Aj sebagai berikut.

“Untuk minum di rumah ini saya dan keluarga menggunakan air hujan dan air sumur bor. yang penting ada dua fakta jangan asin dan yang penting bersih. kadang langsung di minum saja, kalau air hujan dan air sumur bor ini di masak rasanya hambar kalau di minum langsung rasanya manis dan segar karena dia dingin, apabila air hujan dan air sumur bor di masak sama saja mengeluarkan biaya lagi.”

Untuk aktivitas seperti mandi, mencuci, buang air, masyarakat menggunakan air sumur bor. Desa ini memiliki dua unit mesin untuk sumur air bor yang bertempat di Dusun Tanjung Harapan dan Dusun Sungai Rumah. Apabila terjadi musim kemarau masyarakat tetap menggunakan air sumur bor sebagai kebutuhan dan keperluan sehari-harinya. Mereka beranggapan bahwa air sumur bor yang mereka miliki ini tidak akan pernah habis.

Gambar 2.5.

Air untuk Kebutuhan Sehari-hari Sumber: Dokumentasi Peneliti

(46)

2.2.2. Kependudukan

Berdasarkan data kependudukan yang terdapat di Kantor Kepala Desa tahun 2013, desa yang terdiri atas ± 625 KK dengan jumlah laki-laki 1.354 orang dan perempuan 1.224 orang. Dilihat dari Etnik yang bertempat tinggal di Desa Tanjung Pasir, masyarakat Etnik Laut yang paling banyak penghuninya yaitu sekitar 35% dan diikuti oleh Etnik Banjar 25%, Etnik Melayu 20%, Etnik Bugis 12%, Etnik Jawa 6%, Etnik Minang 1% dan Etnik batak 1%. Masyarakat Etnik Laut ini merupakan masyarakat yang pertama kali menetap di Desa Tanjung Pasir kemudian diikuti dengan Etnik-Etnik lainnya. Karena bertempat tinggal di pesisir pantai lautan makanya mereka sering dibilang masyarakat Etnik lain dengan sebutan Orang Laut.

2.2.3. Keadaan Pola Pemukiman

Pada komunitas masyarakat Etnik Laut terdapat perbedaan antara pola pemukiman pada masa lalu dan saat ini. Jika pada masa lalu mereka hidup di laut dan tinggal di atas perahu, maka masyarakat Etnik Laut yang tinggal di desa saat ini hampir tidak ada lagi yang tinggal di laut dan sudah naik ke darat. Dalam pembuatan rumah, rata-rata masyarakat di sini membuat rumah dengan menghadap ke arah laut. Bagi masyarakat Etnik Laut dengan membuat rumah menghadap ke arah laut, mereka dapat menjaga alat transportasi mereka seperti sampan dan kapal motor agar lebih aman. Apabila mereka membuat rumah di dalam sungai-sungai kecil yang menjorok ke daratan akan menyulitkan mereka pergi ke laut mencari nafkah pada saat air sedang saat surut.

Pada umumnya rumah penduduk masyarakat Etnik Laut Desa Tanjung Pasir terbuat dari kayu yang berdindingkan papan. Bahan yang digunakan untuk pembuatan dinding dan juga alas

(47)

rumah masyarakat Etnik Laut masih menggunakan papan resak karena kuat dan bisa bertahan lama. Harga papan resak dengan panjangnya 6 meter bisa mencapai harga Rp. 10.000,-. Biasanya papan resak ini sering juga digunakan sebagai lantai dasar rumah. Untuk atap ada yang menggunakan seng sebagai atap rumah, tetapi ada juga yang masih menggunakan rangkaian daun nipah. Daun nipah tersebut kemudian tersebut dilapisi lagi dengan terpal, fungsinya agar bisa menampung air hujan ketika ada kebocoran atau kerusakan dari daun nipah.

Pembelian kayu bakau sebagai pondasi rumah harganya berbeda-beda berdasarkan panjang kayunya. Panjang kayu bakau 8-10 meter harganya bisa mencapai Rp. 9.000,- per-batangnya, sedangkan panjang kayu bakau ukuran 4-6 meter harganya sekitar Rp. 5.000.- per-batangnya. Jika menggunakan pondasi kayu ulin yang panjangnya sekitar 12 meter harga per-batangnya bisa mencapai harga Rp. 150.000,-Harganya kayu ulin jauh lebih mahal, karena kayu ulin sangat kuat jika dibandingkan dengan kayu bakau.

Seluruh bahan pembuatan rumah ini biasanya dibeli di Kecamatan Tanah Merah, namun sebagian masyarakat juga bisa mencari sendiri di dalam hutan. Untuk memotong kayu ini masyarakat Etnik Laut sering menggunakan pemotong kayu yang biasa disebut oleh masyarakat Etnik Laut dengan sebutan sinso.

Pemerintah setempat, dalam hal ini Dinas Sosial Kabupaten Indragiri Hilir sampai saat ini masih melakukan perubahan tempat tinggal kepada masyarakat Etnik Laut yang ada di Desa Tanjung Pasir dengan memberikan bantuan berupa rumah yang biasa disebut masyarakat dengan rumah singgah. Pembangunan rumah singgah ini sudah dilakukan dengan dua tahap dan menggunakan dana APBD Kabupaten. Pemberian rumah singgah hanya terbatas dalam pemberiannya kepada masyarakat dengan kategori tidak mampu dan mempunyai

(48)

banyak anak. Pemberian rumah singgah ini bukan hanya untuk Etnik Laut saja namun juga Etnik lainnya dengan kategori yang sudah disebutkan di atas.

Gambar 2.6.

Rumah Khas Masyarakat Etnik Laut Sumber: Dokumentasi Peneliti

Rumah singgah yang ada sampai saat ini berjumlah 50 rumah. Rumah ini sifatnya hanya sementara dan tidak bisa menjadi rumah hak milik, apabila mereka menginginkan rumah singgah tersebut sebagai hak milik, caranya dengan membayar surat tanah kepada aparat pemerintah desa. Seperti ungkapan masyarakat Etnik Laut Bapak Sr yang menempati rumah singgah:

“Untuk mendapatkan rumah singgah ini sebagai hak milik rumah kita sendiri masyarakat yang menempatinya ya cukup dengan membayar uang surat tanah saja sebesar Rp. 1.300.000 sama kepala desa maka kita akan mendapatkan sertifikat tanahnya.”

Masyarakat Etnik Laut masih mempercayai sebuah jimat untuk dipasang di atas pintu rumah. Jimat ini berfungsi sebagai

(49)

pengusir orang halus yang menganggu. Jimat ini biasanya mereka dapatkan dari dukun kampung ataupun dengan membuatnya sendiri.

Jimat tidak hanya diletakkan di atas pintu rumah, masyarakat juga memakai jimat pada diri sendiri. Jimat bisa dipasang atau dililitkan pada perut, atau anggota tubuh lainnya. Fungsinyapun sama, yaitu sebagai pelindung agar orang halus tidak mengganggu mereka.

Gambar 2.7. Jimat di Pintu Rumah Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, bagi masyarakat Tanjung Pasir, membuang sampah bukanlah hal yang sulit dilakukan, karena untuk pembuangan sampah, masyarakat Desa Tanjung Pasir cenderung membuangnya ke aliran sungai yang ada di bawah rumah ataupun langsung ke laut. Anggapan kebanyakan masyarakat adalah dengan membuang sampah ke laut tersebut, ketika air laut sedang pasang, sampah akan hanyut

(50)

dan hilang terbawa oleh air laut dan tidak akan mengotori rumah mereka.

Hampir sama dengan pembuangan sampah, kebiasaan masyarakat yang tinggal di desa Tanjung Pasir ini untuk buang air juga dilakukan secara langsung di atas aliran sungai, dimana di atas sungai tersebut terdapat bilik kecil yang mereka sebut dengan WC. Anggapan yang sama seperti halnya dengan membuang sampah ke bawah rumah, membuang hajat ke bawah dipahami agar kotoran tersebut tidak mengotori rumah mereka. Dengan adanya pasang surut air laut akan mengakibatkan kotoran tersebut dibawa hanyut oleh air pasang dan ketika air surut kotoran tersebut akan hilang dan rumah mereka kembali bersih kembali.

WC yang ada di rumah masyarakat Tanjung Pasir masih sangat sederhana, karena rumah masyarakat di sana lantainya terbuat dari kayu, wc yang biasanya terletak di bagian belakang rumah adalah berupa lantai kayu yang diberi lubang sedikit untuk tempat buang air. Untuk menutupi sekitarnya digunakan papan, terpal ada juga yang menggunakan nipah. Atap WC menggunakan terpal atau ada juga yang dibiarkan terbuka. Ukurannya pun biasanya hanya kecil dan yaitu berukuran 1 m x 1 m.

Demikian juga keadaan MCK yang ada di rumah singgah. Meskipun rumah tersebut telah dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap termasuk kamar mandi dan WC dengan septitank, namun masyarakat desa tetap beranggapan adanya septitank di rumah sama saja dengan menyimpan kotoran di rumah mereka. Karena alasan tersebut akhirnya kebanyakan masyarakat tidak menggunakan kamar mandi tersebut dan akhirnya membuat MCK lagi di luar rumah. Selain itu beberapa di antara masyarakat menyatakan bahwa ukuran kamar mandi terlalu kecil sehingga semakin menimbulkan bau dan pengap.

(51)

Gambar 2.8. Tempat Pembuangan Hajat Sumber: Dokumentasi Peneliti 2.3. Mata Pencarian

2.3.1. Hasil Laut Sumber Utama Kehidupan

Masyarakat Etnik Laut mengandalkan hasil laut sebagai sumber mata pencaharian, yaitu dengan menangkap ikan, udang, kerang, ketam dan hewan laut yang lainnya. Pekerjaan sebagai nelayan ini dilakukan karena masyarakat Etnik Laut selalu hidup di tepi pantai. Mereka lebih senang pekerjaan yang berkaitan dengan laut atau air dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di darat. Masyarakat Etnik Laut beranggapan apabila mereka tinggal dan melakukan pekerjaan di daratan akan membuat sumber rejeki atau mata pencaharian mereka akan mati.

Banyak sedikitnya hasil tangkapan laut ini tidak terlepas dari cuaca dan iklim. Selain itu juga dipengaruhi oleh air pasang

(52)

dan air surut, bisa juga dipengaruhi oleh arah mata angin. Jika arah angin utara biasanya masyarakat tidak pergi melaut karenakan pada saat itu ada gelombang besar, jika musim angin selatan masyarakat tetap melaut tetapi hasil tangkapan mereka agak sedikit berkurang disebabkan oleh air laut yang tidak seberapa dalam. Angin yang ditunggu masyarakat Etnik Laut adalah arah angin barat karena faktor curah hujan yang tinggi dan air pasang mulai naik. Pada masa ini hasil tangkapan di laut pun sangat banyak. Sedangkan musim panas dan hujan tidak terlalu mempengaruhi aktivitas pekerjaan mereka.

Gambar 2.9.

Aktivitas Nelayan Menjaring Ikan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dari hasil tangkapan berbagai jenis ikan laut, sebagian masyarakat ada yang mengolahnya menjadi ikan asin. Biasanya ikan yang sering dibuat menjadi ikan asin adalah ikan yang

(53)

berukuran sedikit besar atau sesuai permintaan para pelanggan yang memesan kepada pemasok ikan asin. Proses pembuatan ikan asin ini dilakukan ketika ikan baru datang dari laut. Setelah langsung dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam air garam dan direndam selama satu hari lalu keesokan harinya di jemur selama beberapa hari hingga kering.

Selain menangkap ikan, masyarakat Etnik Laut juga menangkap udang di laut. Udang merupakan salah satu hewan laut yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Etnik Laut dan masyarakat yang hidup di desa Tanah Pasir. Untuk menangkap udang mereka menggunakan alat berupa kayu. Kayu yang digunakan adalah kayu sungkur sepanjang 20 meter. Fungsi kayu

sungkur ini sebagai penyangga togok (jaring) yang melekat di

kayu untuk di bawa ke dalam laut agar udang tersebut akan masuk ke dalam jaring. Nantinya mesin kapal motor akan dibawa ke lokasi dimana di lokasi tersebut di perkirakan terdapat banyak udang. Kayu sungkur dan togok ini akan berada dalam laut kurang lebih selama tiga jam, belum tentu pera nelayan tersebut pasti mendapatkan udang, terkadang bahkan mereka tidak mendapatkan hasil sama sekali, lalu jika dalam waktu tiga jam tersebut tidak mendapatkan udang sama sekali, barulah para nelayan akan mencari dan pindah ke lokasi lainnya.

Masyarakat Etnik Laut biasanya pergi melaut sekitar empat jam atau lima jam dalam satu hari. Dalam satu minggu masyarakat Etnik Laut pergi melaut hanya lima hari saja, sisa waktu dua hari lainnya dipergunakan untuk beristirahat untuk selanjutnya kembali melaut.

Uang atau pendapatan yang didapatkan masyarakat Etnik Laut dari hasil mencari ikan atau udang per-harinya tidak menentu. Hal tersebut tergantung dari hasil tangkapannya, apabila tangkapan hasil laut banyak, seorang nelayan dapat membawa uang Rp. 300.000,- per-harinya dan apabila hasil

(54)

tangkapannya sedikit hanya bisa membawa uang Rp. 100.000,- per harinya atau bahkan bisa juga nelayan pulang dengan tangan hampa, atau tidak membawa uang sama sekali bagi keluarganya. Hal tersebut terjadi apabila nelayan pada saat itu tidak mendapatkan hasil tangkapan sama sekali.

Gambar 2.10. Penjualan Ikan Asin Sumber: Dokumentasi Peneliti

Penghasilan masyarakat Etnik Laut untuk saat ini masih tergolong kurang, dengan mata pencaharian sebagai nelayan, hasil laut yang didapat setiap harinya tidak menentu, apabila hasil tangkapan ikan atau udang hanya sedikit, maka pendapatan mereka bisa langsung habis dalam waktu sehari. Hanya saja ketika hasil tangkapan ikan mereka berlimpah dan penghasilan mereka cukup banyak, seharusnya mereka tidak perlu kekurangan lagi, apabila masyarakat mampu mengelola pendapatan mereka. Namun sayangnya masyarakat Etnik Laut tidak mengelola keuangan mereka dengan baik. Apabila

Gambar

Tabel 1.1.   Data  Kesehatan  Ibu  dan  Anak  Kab.  Indragiri  Hilir  Tahun  2011-2013  INDIKATOR  2011  2012  2013  Ket  K1  105,72%  106,27%  82.01%  Turun (-)   K4  89,62%  93,86%  73.26%  Turun (-)  PN  74,85%  84,22%  68.94%  Turun (-)  KF  52,11%  77

Referensi

Dokumen terkait

(3) Hasil pengukuran berupa informasi tentang (1) nilai keselamatan tiap tahap penempatan sampai pembongkaran berupa penggunaan TC (faktor alat) dan faktor-faktor (faktor pekerja,

21 mengakibatkan kerusakan hutan meningkat sebesar 20% dari 58% pada Juli 2009 menjadi 78% keagamaan Dukungan terhadap pengurangan pengambilan kayu bakar di habitat

Hal ini dapat terjadi karena di desa ini belum memiliki sarana sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, masyarakat Desa Ciaruteun Ilir harus berjalan kaki sejauh

Tempa Tempa Tempa Klasifikasi Tungku Menurut pengisian Menurut pengisian Menurut pengisian Periodik Re-rolling (Batch / continuous pusher) P t K ti Periodik Re-rolling (Batch

Berdasarkan hasil percobaan diperoleh hasil bahwa selai cokelat yang diolah dari biji kakao tanpa fermentasi(pengeringan) yang disangrai lebih bagus mutunya dibanding

Evaluasi Kualitas Produk Pada Proses Pengolahan, Pengemasan, dan Pengiriman Coco Fiber (Studi Kasus Di Cv. Tiga Sehati Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember). Karya

android untuk siswa homeschooling kelas X, serta mengetahui kualitas produk media pembelajaran yang telah dikembangkan sehingga layak digunakan dalam kegiatan pembelajaran