• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Minyak bumi merupakan senyawa yang bersifat rekalsitran sehingga tidak mudah terdegradasi secara alami dalam jangka waktu yang relatif pendek (Nugroho 2006). Pada umumnya pencemaran minyak bumi dapat ditanggulangi dengan menggunakan teknik fisika dan kimia. Cara penanggulangan tersebut masih menyisakan cemaran minyak bumi di perairan maupun sedimen di sekitarnya sehingga masih berpotensi mencemari lingkungan. Penanganan sisa bahan-bahan cemaran ini biasanya menggunakan teknik-teknik bioremediasi. Prince et al. (2003) menyatakan bahwa metode bioremediasi merupakan cara penanggulangan tumpahan minyak yang paling aman bagi lingkungan. Menurut Sudrajat (1996) teknik bioremediasi yaitu pemanfaatan mikroorganisme perombak polutan untuk membersihkan lingkungan yang tercemar. Kemampuan merombak tersebut berkaitan dengan gen-gen penyandi berbagai enzim perombak polutan.

Bioremediasi dapat dilakukan melalui dua metode yaitu biostimulasi dan bioaugmentasi. Biostimulasi adalah penggunaan nutrien untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas bakteri indigenous, sedangkan bioaugmentasi adalah penambahan bakteri eksogenous ke lingkungan yang tercemar (Barnum 2005). Dalam aplikasi biostimulasi maupun bioaugmentasi, perlu dipelajari ketersediaan bakteri indigenous dan struktur komunitas mikroba pada perairan tersebut, agar upaya bioremediasi dapat dilakukan secara lebih optimal dan berdaya guna.

Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya di perairan Teluk Jakarta, diperoleh beberapa strain bakteri yang mampu mendegradasi minyak dan

Poly-aromatics Hydrocarbon (PAH). Di antara strain-strain tersebut adalah: strain

RCO/B/08_006, RCO/B/08_008, RCO/B/8_009, strain 68 MRa, dan RCO/B/08_013. Strain RCO/B/08_008 mampu mendegradasi senyawa-senyawa

PAH yaitu fluoranthene, fenanthrene, naphtalene, pyrene, phenotiazene, dibenzothiophene, fluorene dan campuran PAH, serta menguraikan arabian light

crude oil (ALCO) yang ditambahkan pada substrat agar (Hatmanti dan Darmayati 2009, Darmayati 2009). Darmayati (2009) menyatakan strain RCO/B/08_009 mampu mendegradasi dibenzothiophene, fluorene, fenanthrene, pyrene,

fluoranthene, dan campuran PAH serta ALCO. Darmayati et al. (2008) juga

(2)

dijadikan agen bioremediasi di laut maupun pantai karena mampu mendegradasi dan/atau mengemulsifikasi minyak dengan baik dalam kondisi salinitas 10 – 34 ppt dan pH 6 – 8. Walaupun dipilih secara random, strain 68 MRa dan RCO/B/08_013 mempunyai kemampuan mendegradasi setidaknya 4-5 jenis PAH dari 7 yang diujikan (Hatmanti dan Darmayati 2009). Kelima jenis bakteri potensial ini telah ditapis lebih lanjut untuk agen bioaugmentasi skala laboratorium dalam kultur tunggal oleh Kusuma (2009) serta dalam kultur campuran oleh Arifah (2010). Berdasarkan kedua penelitian tersebut diketahui bahwa setiap bakteri yang diintroduksikan ke dalam substrat, baik secara individu maupun konsorsium, memberikan hasil yang bervariasi dalam menguraikan minyak dan PAH. Hasil dari penelitian Kusuma (2009) menunjukkan strain RCO/B/08_008 memiliki persentase degradasi minyak tertinggi yaitu 89% selama 28 hari, sedangkan penelitian Arifah (2010) menunjukkan konsorsium A (Strain RCO/B/08_006, RCO/B/08_008, dan RCO/B/08_013) mampu menurunkan konsentrasi minyak dan total PAH paling tinggi yaitu secara berturut-turut 71% dan 84%.

Untuk melengkapi informasi tentang komunitas mikroba di perairan yang tercemar, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan teknik-teknik molekuler. Salah satu teknik-teknik molekuler yang dapat digunakan adalah

Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE). Teknik DGGE dapat

digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang berukuran sama tetapi sekuen nukleotidanya berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui struktur komunitas bakteri indigenous, serta dominansi bakteri eksogenous terhadap komunitas bakteri indigenous yang terdapat di dalam substrat dari perairan Pulau Pari Teluk Jakarta yang tercemar minyak.

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

Komposisi Minyak

Minyak bumi tersusun atas berbagai jenis senyawa hidrokarbon. Komposisi spesifiknya tergantung dari bentuknya, apakah masih berupa minyak bumi atau telah mengalami destilasi. Proses destilasi dilakukan untuk memisahkan komponen-komponen minyak bumi berdasarkan berat molekul yang berbeda menjadi bermacam-macam produk seperti bensin, solar dan minyak tanah. Tumpahan minyak bumi dari kapal tanker dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius dan mempengaruhi kehidupan satwa yang ada di lingkungan yang tercemar (Barnum 2005).

Budhiarto (2009) menyatakan minyak bumi memiliki campuran senyawa hidrokarbon sebanyak 50-98% berat, sisanya terdiri atas zat-zat organik yang mengandung belerang, oksigen, dan nitrogen serta senyawa-senyawa anorganik seperti vanadium, nikel, natrium, besi, aluminium, kalsium, dan magnesium. Secara umum, komposisi minyak bumi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1 Komposisi Elemental Minyak Bumi Komposisi Persentase Karbon (C) 84-87 Hydrogen (H) 11-14 Sulfur (S) 0-3 Nitrogen (N) 0-1 Oksigen (O) 0-2

Berdasarkan kandungan senyawanya, minyak bumi dapat dibagi menjadi golongan hidrokarbon dan non-hidrokarbon serta senyawa-senyawa logam. Golongan hidrokarbon-hidrokarbon yang utama adalah parafin, olefin, naften, dan aromatik.

1. Parafin

Parafin adalah kelompok senyawa hidrokarbon jenuh berantai lurus (alkana), CnH2n+2. Contohnya adalah metana (CH4), etana (C2H6), n-butana (C4H10), isobutana (2-metil propana, C4H10), isopentana (2-metilbutana, C5H12), dan isooktana (2,2,4-trimetil pentana, C8H18). Jumlah senyawa yang tergolong ke dalam senyawa isoparafin jauh lebih banyak daripada senyawa yang tergolong n-parafin. Tetapi, di dalam minyak bumi, kadar senyawa isoparafin biasanya lebih kecil daripada n-parafin.

(4)

2. Olefin

Olefin adalah kelompok senyawa hidrokarbon tidak jenuh, CnH2n. Contohnya etilena (C2H4), propena (C3H6), dan butena (C4H8).

3. Naftena

Naftena adalah senyawa hidrokarbon jenuh yang membentuk struktur cincin dengan rumus molekul CnH2n. Senyawa-senyawa kelompok naftena yang banyak ditemukan adalah senyawa yang struktur cincinnya tersusun dari lima atau enam atom karbon. Contohnya adalah siklopentana (C5H10), metilsiklopentana (C6H12) dan sikloheksana (C6H12). Umumnya, di dalam minyak bumi, naftena merupakan kelompok senyawa hidrokarbon yang memiliki kadar terbanyak kedua setelah n-parafin.

4. Aromatik

Aromatik adalah hidrokarbon-hidrokarbon tak jenuh yang berintikan atom-atom karbon yang membentuk cincin benzen (C6H6). Contohnya benzen (C6H6), metilbenzen (C7H8), dan naftalena (C10H8). Minyak bumi dari Sumatera dan Kalimantan umumnya memiliki kadar aromatik yang relatif besar.

Selain senyawa-senyawa yang tersusun dari atom-atom karbon dan hidrogen, di dalam minyak bumi ditemukan juga senyawa non hidrokarbon seperti belerang, nitrogen, oksigen, vanadium, nikel dan natrium yang terikat pada rantai atau cincin hidrokarbon. Unsur-unsur tersebut umumnya tidak dikehendaki berada di dalam produk-produk pengilangan minyak bumi, sehingga keberadaannya akan sangat mempengaruhi langkah-langkah pengolahan yang dilakukan terhadap suatu minyak bumi.

Pencemaran Minyak

Petroleum hidrokarbon merupakan polutan utama pada lingkungan laut yang merupakan hasil dari kegiatan di daratan dan buangan dari sungai-sungai di sekitarnya, seperti kegiatan di kilang minyak di pantai, produksi minyak di lepas pantai, kegiatan pelayaran, dan kecelakaan tanker serta tumpahnya minyak dan produk bahan bakar petroleum lainnya (Yakimov 1998).

Pencemaran minyak di perairan paling sering terjadi dibandingkan di darat. Pencemaran minyak di laut bukan hanya akibat dari kecelakaan kapal, tetapi juga bersumber dari kegiatan pengeboran, produksi minyak dan turunannya, pengilangan, transportasi minyak, perembesan minyak bumi dari reservoirnya,

(5)

serta kegiatan pemuatan dan pembongkaran muatan kapal tanker di pelabuhan. Meningkatnya frekuensi pencemaran akan mengancam kebersihan lingkungan perairan. Bila hal ini tidak segera ditanggulangi, dalam waktu singkat laju pencemaran laut akan menjadi tidak terkendali (Fahruddin 2004).

Minyak bumi merupakan salah satu jenis polutan yang masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian dari polutan tersebut larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi di sedimen dan sebagian masuk ke dalam jaringan tubuh organisme laut, termasuk fitoplankton, ikan, udang, cumi-cumi, kerang, rumput laut dan lain-lain. Polutan di dalam tubuh organisme tingkat rendah termakan oleh jenjang organisme di atasnya sehingga terikut dalam rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya terakumulasi di dalam tubuh manusia. Bila dalam jaringan tubuh organisme laut terdapat polutan dengan konsentrasi tinggi, kemudian organisme tersebut dijadikan bahan makanan, maka akan berbahaya bagi kesehatan manusia (Nurhariyati 2006).

Sesaat setelah terlepas ke lingkungan laut, minyak akan mengalami perubahan sifat-sifat fisik, kimia dan biologis. Perubahan sifat ini terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor fisika di laut, diantaranya :

1) Evaporasi. Evaporasi alkana (C15) dan aromatik berlangsung antara 1 – 10 hari (Yakimov 1998, Zhu et al. 2001). Faktor lingkungan yang mempengaruh evaporasi adalah angin, gelombang air dan temperatur.

2) Pelarutan. Komponen minyak aromatik dengan berat molekul kecil dan paling toksik bersifat paling larut air dibanding senyawa minyak lainnya, maka proses ini juga penting dalam degradasi. Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh proses foto-oksidasi dan proses biologis (NAS, 1985).

3) Foto-oksidasi. Dalam kondisi aerobik dan terpapar sinar matahari, minyak aromatik dapat ditransformasi menjadi senyawa lebih sederhana. Senyawa lebih sederhana ini (hydroperoxides, aldehydes, ketones, phenols, dan carboxylic acids) bersifat lebih larut air sehingga meningkatkan laju biodegradasi tetapi lebih toksik (Nicodem et al. 1997, Yakimov 1998).

4) Dispersi. Proses ini terjadi karena gradien konsentrasi yang membentuk formasi emulsi minyak-air (butiran minyak dalam kolom air) sehingga memperluas permukaan butir minyak. Emulsi minyak-air dapat terjadi karena adanya agitasi (angin dan gelombang adalah contoh agitasi alamiah), atau dengan penambahan dispersan (Fahruddin 2004).

(6)

5) Emulsifikasi. Emulsifikasi adalah proses perubahan bentuk dari butiran minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak (disebut juga chocolate

mousse). Bahan asphaltik dapat meningkatkan emulsifikasi, tetapi akan

mempersulit pembersihan minyak (Kusuma 2009).

6) Biodegradasi oleh mikroflora laut terutama bakteri (Yakimov 1998).

7) Lain-lain. Termasuk adsorpsi minyak pada zat padat air, sedimentasi dan formasi butir tar (Fahruddin 2004)

Efek Pencemaran Minyak

Menurut Syakti (2008), pencemaran minyak bumi di laut memberikan pengaruh terhadap beberapa hal yang meliputi (1) pengaruh langsung terhadap organisme; (2) pengaruh langsung terhadap kegiatan perikanan; (3) pengaruh terhadap ekosistem. Pengaruh langsung terhadap organisme meliputi efek letal (kematian) dan subletal. Pengaruh langsung terhadap kegiatan perikanan dapat berupa tainting (bau lantung) terhadap ikan-ikan yang dibudidayakan di dalam karamba, sehingga ikan mempunyai bau dan cita rasa yang tidak enak. Pada kegiatan budidaya, pencemaran minyak bumi dapat mematikan biota budidaya dan merusak peralatan. Pengaruh terhadap ekosistem dapat berupa rusaknya daerah perkembangbiakan dan daerah penyedia makanan, serta terganggunya ketersediaan makanan dalam rantai makanan.

Senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa

benzena, toluena, ethylbenzena, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX,

merupakan komponen utama dalam minyak bumi, bersifat mutagenik dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun di darat, sehingga hal ini dapat mengalami proses biomagnition pada ikan ataupun pada biota laut yang lain. Bila senyawa aromatik tersebut masuk ke dalam darah, akan diserap oleh jaringan lemak dan mengalami oksidasi dalam hati membentuk fenol, kemudian pada proses berikutnya terjadi reaksi konjugasi membentuk senyawa glucuride yang larut dalam air, kemudian masuk ke ginjal. Senyawa antara yang terbentuk adalah epoksida benzena yang beracun dan dapat menyebabkan gangguan serta kerusakan pada tulang sumsum. Keracunan yang kronis menimbulkan kelainan pada darah, termasuk menurunnya sel darah putih, zat beku darah, dan sel darah merah yang menyebabkan anemia. Kejadian ini akan merangsang

(7)

timbulnya preleukemia, yang pada akhirnya menyebabkan leukemia. Dampak lain adalah menyebabkan iritasi pada kulit (Fahruddin 2004).

Selain itu Fahruddin (2004) juga menyatakan bahwa komponen minyak tidak larut di dalam air akan mengapung di permukaan air laut sehingga menyebabkan air laut berwarna hitam. Hal ini mengakibatkan penetrasi cahaya menurun di bawah oil slick atau lapisan minyak. Proses fotosintesis akan terhalang pada zona eufotik sehingga rantai makanan yang berawal pada fitoplankton akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Kondisi ini menyebabkan kematian hewan dan tumbuh–tumbuhan yang hidup di batu-batuan dan pasir di wilayah pantai, juga merusak area mangrove serta daerah air payau secara luas. Hutan mangrove merupakan sumber nutrien dan tempat pemijah bagi ikan. Pencemaran minyak dapat menyebabkan sistem perakaran dari tanaman hutan mangrove dapat tertutup minyak sehingga pertukaran CO2 dan O2 terhambat. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh terhadap reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, dan perilaku biota laut, terutama pada plankton dan dapat mematikan ikan. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini biota sangat rentan pada lingkungan tercemar.

Definisi Bioremediasi

Meskipun evaporasi dan fotooksidasi berperan utama dalam detoksifikasi minyak namun pada akhirnya degradasi sempurna komponen-komponen minyak dilakukan oleh mikroflora laut dan bakteri mendominasi fungsi ini. Sayangnya degradasi oleh mikroba secara alami berjalan relatif lambat dalam lingkungan laut, karena suhu yang rendah, keterbatasan nitrogen dan fosfor serta besarnya jumlah residu minyak yang merubah bentuk minyak dari emulsi menjadi tarballs yang akan mengendap dalam sedimen (Yakimov 1998).

Metode bioremediasi merupakan cara penanggulangan tumpahan minyak yang paling aman bagi lingkungan (Prince et al. 2003). Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik maupun anorganik polutan secara biologis dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengontrol atau bahkan

(8)

mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Kelebihan teknologi ini ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel. Penanganan bioremediasi dapat dilakukan secara in situ maupun ex situ (Syakti 2008). Fahruddin (2004) mengartikan bioremediasi hidrokarbon sebagai suatu proses penguraian senyawa-senyawa hidrokarbon kompleks menjadi air, karbondioksida dan senyawa organik sederhana secara biologis. Dalam proses tersebut terjadi oksidasi senyawa organik kompleks menjadi senyawa anorganik. Substrat hidrokarbon dari minyak bumi digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon dan nutrien untuk pertumbuhan dan perolehan energi. Senyawa organik diubah menjadi CO2, komponen sel dan produk lain sesuai jalur metabolisme yang ditempuh. Menurut Glick dan Pasternak (2003) bioremediasi adalah proses penggunaan agen biologi untuk menghilangkan limbah atau buangan yang bersifat toksik dari lingkungan.

Proses bioremediasi dapat dilakukan secara bioaugmentasi yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisme baik yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat (improved/genetically

engineered strains), dan biostimulasi yaitu suatu proses yang dilakukan melalui

penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa (misalnya pemberian aerasi) agar mikroorganisme tumbuh dan beraktivitas lebih baik (Irianto 2007). Dua pendekatan yang dapat digunakan dalam bioremediasi tumpahan minyak: (1) bioaugmentasi, di mana mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada, dan (2) biostimulasi, di mana pertumbuhan pengurai hidrokarbon asli lingkungan tersebut dirangsang dengan cara menambahkan nutrien dan/atau mengubah habitat (Venosa dan Zhu 2003).

Bioaugmentasi

Bioaugmentasi didefinisikan sebagai penambahan kultur mikroba untuk melakukan tugas resubstratsi spesifik di dalam lingkungan tercemar. Mikroba dalam kultur tersebut diisolasi secara khusus, pada umumnya dari lingkungan yang sama, ditapis untuk aktivitas biologi yang diinginkan, dan ditumbuhkan dalam jumlah yang besar dalam suatu reaktor (United-tech 2009).

Ractliffe (2002) menyatakan bioremediasi hidrokarbon baik dilakukan menggunakan suatu proses yang disebut bioaugmentasi. Proses ini dilakukan

(9)

dengan menambahkan sejumlah besar mikroorganisme yang telah diisolasi, diseleksi dan ditumbuhkan di laboratorium pada lingkungan yang terkontaminasi. Mikroba tersebut mampu mendegradasi komponen-komponen dalam hidrokarbon menjadi CO2 dan air. Mikroba tersebut akan bertahan hidup dengan mengkonsumsi hidrokarbon sampai polutan tersebut teresubstratsi. Agar proses bioaugmentasi berhasil dengan baik, maka dibutuhkan beberapa kriteria diantaranya : kemampuan mikroba untuk mencapai kontaminan, keberadaan oksigen untuk metabolisme mikroba, suhu antara 5 – 45 oC (28 oC merupakan suhu optimum), pH antara 6,5 – 8,5 dan penambahan nutrien. Selama mikroba dapat mencapai kontaminan, tersedia oksigen serta suhu dan pH yang sesuai, maka proses remediasi akan berlangsung dengan sempurna.

Bakteri yang digunakan dalam bioaugmentasi

Bakteri dianggap sebagai salah satu mikroorganisme yang bertanggung jawab terhadap degradasi hidrokarbon di lingkungan (Leahy et al. 1990) dan bakteri hidrokarbonoklastik bersifat kosmopolitan, dapat ditemukan di berbagai jenis lingkungan. Lebih dari 20 genera bakteri pendegradasi hidrokarbon terdistribusi dalam beberapa subphylum (α−, β−, γ−proteobacteria; gram positif;

Flexibacter-Cytophaga-Bacteroides) telah dilaporkan (Bruns and Corti 1999;

Macnaughton et al. 1999; Yakimov et al. 1998).

Sejumlah bakteri pendegradasi hidrokarbon telah diisolasi dari lingkungan laut dan telah dikarakterisasi (Kasai et al. 2002, Ozaki et al. 2006, Teramoto et al. 2010), meskipun informasi mengenai bakteri tersebut pada lingkungan tropis masih langka (Zhuang et al. 2003). Harwati et al. (2007, 2009) telah mengisolasi sejumlah bakteri laut dari air laut Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, dan beberapa diantaranya mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon.

Zhu et al. (2001) melaporkan beberapa bakteri yang mempunyai kemampuan mendegradasi hidrokarbon di daerah subtropis, diantaranya

Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Arthrobacter, Bacillus, Brevibacterium, Corynebacterium, Flavobacterium, Nocardia, Pseudomonas dan Vibrio, sedangkan Darmayati (2003) dalam penelitiannya telah menemukan

beberapa bakteri pendegradasi minyak dari perairan tropis, diantaranya

Pseudomonas cepacia dan P. gladioli yang diisolasi dari perairan Kalimantan

Timur, demikian juga Achromobacter putrefasciens, Acinetobacter haemolyticus, dan Vibrio algynolyticus yang berhasil diisolasi dari perairan laut Jawa. Feliatra

(10)

(1998) mengisolasi Acinetobacter, Arthrobacter, Micrococcus dan Bacillus dari perairan Dumai dan Selat Malaka. Genus Alcanivorax, Marinobacter, Bacillus dan Achromobacter merupakan genera yang umum ditemukan di lokasi penelitian. Menurut Teramoto et al. (2009) Marinobacter dan Alcanivorax terdapat di mana-mana di perairan laut tropis, namun Oceanobacter-related menjadi dominan di perairan tropis yang diperkaya dengan pupuk. Diperkirakan bakteri ini merupakan bakteri pemakan n-alkana di perairan tropis. Darmayati (2008) serta Hatmanti dan Darmayati (2009) menyatakan bahwa Alcanivorax merupakan genus yang umum ditemukan di semua lokasi penelitian di Teluk Jakarta, sehingga dianggap mempunyai penyebaran yang kosmopolitan. Genus ini meliputi Alcanivorax dieselolei, Alcanivorax sp TE-9, Alcanivorax sp. EPR 6 dan Alcanivorax sp B 1084. Alcanivorax sebagai genus yang kosmopolitan telah dilaporkan di beberapa tempat diantaranya di perairan Indonesia (Thontowi 2008; Darmayati 2009), Jerman (Bruns dan Berthe-Corti 1999), Inggris (Rolling et al. 2002), Italia (Yakimov et al. 2005), dan Jepang (Kasai et al. 2002). Lebih dari 250 spesies dari genus afiliasi Alcanivorax telah diisolasi dan dideteksi menggunakan sekuens 16S rRNA. Bakteri ini dapat berada di beberapa tipe lingkungan laut, baik dalam komunitas bakteri maupun kultur tunggal bakteri yang diisolasi dari lingkungan subtropis (Darmayati 2008).

Hubungan pencemaran minyak dan komunitas bakteri

Bakteri sebagai kultur tunggal yang spesifik, hanya mampu mengurai sejumlah kecil komponen yang terdapat dalam minyak, namun biodegradasi minyak pada umumnya dilakukan oleh konsorsium yang terdiri atas bermacam-macam spesies bakteri (Roling et al. 2002).

Penguraian minyak biasanya dilakukan oleh suatu komunitas bakteri. Setiap jenis bakteri memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengurai minyak. Ada yang mampu menguraikan senyawa aromatik, senyawa hidrokarbon bercabang, maupun senyawa hidrokarbon sederhana, namun ada pula yang mampu mendegradasi beberapa jenis senyawa dalam hidrokarbon, seperti

Alcanivorax borkumensis yang dikenal mampu mengurai ikatan jenuh dan

aromatik. Bakteri tertentu yang dinyatakan dominan dan relatif memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi minyak adalah Marinobacter,

Oceanobacter, Alcanivorax, Thalassospira, Stappia, Bacillus, Novospingobium, Pseudomonas, Spingobium, dan Rhodobacter. Pseudomonas sp biasanya

(11)

banyak dikenal sebagai bakteri pendegradasi hidrokarbon di Indonesia (Hariyadi 2009).

DGGE : definisi dan hubungannya dengan komunitas bakteri

Selama dekade terakhir ini banyak perubahan metode yang digunakan dalam menganalisis komposisi komunitas mikroba. Teknik klasik yang digunakan seperti kultivasi dan identifikasi secara mikroskopik tidak cukup untuk menganalisis kelimpahan jenis bakteri dalam sampel dari alam (lingkungan). Di satu sisi, kurangnya perbedaan yang mencolok pada identifikasi secara morfologi dan ukuran sel yang sangat kecil tidak memungkinkan penggunaan identifikasi mikroskopis pada sebagian besar bakteri yang diisolasi dari sampel alam, di sisi lain substrat yang digunakan untuk mengkultivasi galur mikroba adalah substrat selektif sehingga menjadi bias ketika mendeskripsikan komposisi komunitas. Selain itu, isolasi sebagian besar bakteri dari alam terhambat oleh kurangnya pengetahuan kita tentang kondisi kultur yang spesifik dan terdapatnya interaksi dalam komunitas (quorum sensing). Perbandingan antara sel yang dapat dikulturkan dan jumlah sel total dalam habitat yang berbeda menunjukkan kekurangan pendekatan culture-dependent untuk menganalisis komposisi komunitas mikroba (Amann et al. 1995).

Studi mengenai komunitas bakteri memunculkan pertanyaan mengenai komposisi komunitas tersebut, struktur, stabilitas, aktivitas dan fungsinya baik dalam komunitas tersebut maupun secara individu. Teknik mikrobiologi tradisional dan observasi menggunakan mikroskop konvensional tidak cukup untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sebagian besar bakteri dalam sampel dari lingkungan tidak dapat dideteksi menggunakan mikroskop konvensional, karena melekat pada tanah dan partikel sedimen dan tetap tidak terlihat. Pewarna fluorescence, seperti DAPI dan acridine orange, telah meningkatkan penggunaan teknik ini, namun tetap tidak diperoleh informasi mengenai identitas spesies. Selain itu hanya sebagian kecil dari bakteri alam yang dapat diisolasi dan dikarakterisasi sampai saat ini. Kultur substrat selektif pengayaan masih belum bisa digunakan untuk menggambarkan kondisi khusus yang dibutuhkan oleh bakteri untuk berkembangbiak di habitat alam mereka, sehingga pemahaman mengenai keragaman bakteri di alam sangat terbatas. Bagaimanapun aplikasi teknik biologi molekuler menawarkan peluang baru untuk menganalisis komunitas mikroba, diantaranya Teknik Denaturing Gradient Gel Electrophoresis

(12)

(DGGE). Pada DGGE, fragmen DNA yang mempunyai panjang sama, namun dengan sekuens pasangan basa yang berbeda dapat dipisahkan. Pemisahan ini didasarkan kepada pengurangan mobilitas elektroporesis dari molekul DNA yang terdenaturasi secara parsial dalam gel poliakrilamid yang mengandung gradien DNA denaturant yang bertambah secara linear (Muyzer et al. 2004).

Schafer dan Muyzer (2001) menyatakan bahwa komposisi komunitas bakteri yang berperan dalam proses bioremediasi minyak bumi dapat diketahui dengan menggunakan teknik molekuler yang disebut DGGE. PCR-DGGE

fingerprinting adalah suatu teknik untuk memonitor variasi keragaman genetik

mikroba, yang menyediakan estimasi minimum kekayaan atau dominansi suatu bakteri di dalam komunitas tersebut. Lebih lanjut DGGE memudahkan identifikasi populasi individu dengan analisis hibridisasi pola pita dengan probe spesifik atau dengan melakukan analisis sekuensing terhadap pita individual. PCR-DGGE telah digunakan untuk menginvestigasi keragaman komunitas mikroba, mendeterminasi variabilitas spasial dan temporal suatu populasi bakteri, dan memonitor perilaku komunitas setelah tercemarnya suatu lingkungan baik secara alami ataupun induksi secara buatan.

Perkembangan teknologi molekuler dalam menganalisis ekologi mikroba, termasuk penggunaan sekuens gen rRNA sebagai marker molekular untuk mengidentifikasi mikroorganisme telah mengubah persepsi tentang keragaman komunitas mikroba. Gen yang menyandikan subunit kecil rRNA merefleksikan hubungan evolusi mikroorganisme (Woese 1987).

Teknik penyidikan secara molekuler merupakan teknik yang unggul untuk membandingkan sejumlah besar sampel. Genetic fingerprinting komunitas mikroba memberikan profil yang merefleksikan kelimpahan genetik dari komunitas tersebut. DGGE dari fragmen gen yang diamplifikasi dengan PCR adalah salah satu dari teknik penyidikan secara genetik dalam ekologi mikroba (Muyzer 2000).

Prinsip DGGE

Sekumpulan DNA diekstrak dari konsorsium komunitas mikroba dalam suatu substrat, kemudian diamplifikasi dengan primer yang spesifik untuk fragmen gen 16S rRNA sehingga menghasilkan campuran produk PCR. Produk PCR ini mempunyai ukuran yang sama, sehingga tidak dapat dipisahkan dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa. Variasi sekuen di antara gen 16S rRNA

(13)

dari bakteri yang berbeda-beda memberikan sifat ”melting” yang berbeda, sehingga molekul-molekul DNA yang bervariasi sekuennya tersebut dapat dipisahkan dengan menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid yang mengandung gradien denaturan DNA. Contoh gradien denaturan DNA yang dapat digunakan adalah campuran urea dan formamida. Produk PCR memasuki gel sebagai molekul DNA utas ganda (double strands) dan bergerak (bermigrasi) di dalam gel yang konsentrasi denaturannya meningkat secara bertahap. Produk PCR dengan sekuens yang berbeda mulai terdenaturasi pada posisi yang berbeda (pada konsentrasi denaturant yang berbeda) di dalam gel. Melting

proceeds sering juga disebut sebagai melting domain, yaitu daerah di mana

suatu DNA mengalami denaturasi. Bila suatu DNA mencapai melting domain pada gradien denaturan, akan terjadi transisi molekul DNA dari utas ganda menjadi utas tunggal secara parsial. Utas tunggal yang mencuat menyebabkan berhentinya pergerakan molekul DNA pada posisi tersebut. Untuk mencegah penguraian komplet dua utas DNA, maka suatu sekuens 40 nukleotida yang kaya akan GC (GC clamp) dilekatkan pada 5’-end pada satu primer PCR (Schafer and Muyzer 2001).

Gambar 1 Prinsip Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE)

DNA yang diisolasi dari campuran spesies mikroba yang berbeda diamplifikasi menggunakan primer universal untuk suatu kelompok organisme yang disisipi dengan susunan GC berulang (sepanjang 40 bp, yang disebut

GC-clamp). GC-clamp ini berfungsi sebagai penjepit rantai ganda DNA sehingga

 

(14)

tidak terpisah menjadi rantai tunggal pada saat dielektroforesis pada gel yang mengandung zat pendenaturasi. Ketahanan rantai ganda DNA terhadap zat pendenaturasi berbeda-beda tergantung dari komposisi (urutan) nukleotida yang ada. Perbedaan urutan nukleotida ini menyebabkan DNA terdenaturasi pada konsentrasi zat pendenaturasi tertentu. Perenggangan rantai ganda DNA menyebabkan pergerakan DNA berhenti dalam matrik gel pada saat dielektroforesis (Gambar 1). Dengan demikian, sekuen DNA yang berbeda, bahkan perbedaan hanya satu pasang basa nukleotida, akan muncul sebagai pita pada posisi yang berbeda di dalam gel akrilamid (Muyzer et al. 1993).

Gambar

Gambar 1  Prinsip Denaturing Gradient Gel Electrophoresis (DGGE)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

[r]

Kebijakan penyusutan aset tetap didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.06/TA 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PMK.06/2013

langsung menggambarkan elastisitas produksi dari setiap input yang digunakan dan dipertimbangkan untuk dikaji dalam fungsi produksi Cobb-Douglas itu.  Koefisien intersep

Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya diadakan penelitian tentang profil kompetensi instruktur senam aerobik sebagai acuan dalam menetapkan kriteria seorang instruktur senam

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang

Independent Samples Test t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference Lower Rerata kekuatan otot kanan post latihan Equal variances assumed

Adapun data kosa kata dialek-dialek tersebut diambil dari peneliti-peneliti lain yang sebelumnya telah meneliti bahasa tersebut, diantaranya dialek Luwu dari Wahyu (2014),