• Tidak ada hasil yang ditemukan

ZAKAT DAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ZAKAT DAN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Ahmad Munir

Universitas Muhammadiyah Ponorogo Ketua Pimpinan Derah Muhammadiyah Ponorogo Pendahuluan

Secara bahasa, kata zakât berarti tumbuh, berkembang, produktif (barakah), suci, sehat atau baik, dan terpuji. Kata tersebut jika dikaitkan dengan seseorang, berarti orang itu baik (ṣâlih), jika dikaitkan sengan sesuatu, berarti tumbuh. Dan sesuatu yang tumbuh biasanya akan berkembang.1 Menurut istilah syara‘, zakât adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.2 ‘Abd al-Rahmân al-Jâzirî mendefinisikan zakât dengan memberikan hak milik harta tertentu kepada orang yang berhak dengan syarat-syarat tertentu.3

1. Jamâluddîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr Al-Ifrîqî, Lisân al-‘Arab,

(Beirut, Dâr al-Fikr, tt), Juz. 13, h. 279. Lihat jugaAbi al-Husain Ahmad bin Fâris Ibn Zakaria, Mu‘jam al-Maqâyis fî al-Lughah, (Beirut, Dâr al-Fikr, 1994), h. 246.

2. Yusuf Qardlawî, Fiqh al-Zakât (Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1973), Juz. 1, h. 58. Lihat juga Nazîh Hammâd, Mu‘jam al-Mushthalahât al-Iqtishâdiyyah fî lughah al-Fuqahâ’, (Riyâdl, Al-Dâr al-‘Âlamiyyah, 1995), h. 185.

(2)

Di dalam al-Quran, kata zakât disebut 32 kali, 30 kali dalam bentuk ma’rifah (definit) dan tiga kali dalam bentuk nakirah (indefinit). Dalam bentuk nakirah, kata zakât dua kali digunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk pada makna kesucian perilaku (al-Kahfi/18: 81, Maryam/19: 13), dan satu kali menunjuk pada makna pemberian (shadaqah) (al-Rûm/30: 39). Dari bentuk ma‘rifah tersebut, 27 kali disebut bersama dengan kata shalât dalam ayat yang sama, satu kali disebut setelah kata shalât tetapi di lain ayat (al-Mukminûn/23: 2, 4), dan selebihnya disebut secara mandiri (al-A‘râf/7: 156, Fushshilat/41: 7).

Filosofi Syari’at Zakat

Zakât merupakan salah satu komponen pokok kesempurnaan keislaman seseorang. Zakat menjadi kunci keshalihan seseorang, baik terhadap Tuhannya maupun terhadap sesamanya. Zakât dikategorikan ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu dimensi rûhiyyah dan dimensi mâliyyah. Dimensi rûhiyyah, zakat diharapkan dapat membersihkan jiwa pelakunya (muzakki) dari sifat bakhil, kikir, loba, tamak dan lain sebagiannya, agar tumbuh rasa solidaritas terhadap golongan lemah. Solidaritas tersebut dibangun dalam bingkai kemanusiaan untuk membersihkan jiwa penerimanya (mustahiqq) dari perasaan iri hati dan benci terhadap orang kaya. Dimensi mâliyyah, zakat diharapkan dapat memisahkan kekayaan orang kaya yang

menjadi hak orang miskin serta dapat meratakan fungsi kekayaan dalam kehidupan, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki modal.4

Berkaitan dengan penyaluran dan pemanfaatan kekayaan, zakât selazimnya tidak hanya dimaknai sebagai kewajiban memberikan materi. Akan tetapi harus diposisikan sebagai proses, yaitu memperoleh harta secara bersih dan membersihkan harta yang telah diperoleh dengan cara yang bersih juga. Orang yang telah berusaha memperoleh kekayaan yang digunakan dalam kehidupan secara bersih, bebas dari cara yang dlalim, mereka berarti telah menunaikan zakat.

Dari aspek filosofis, kelima rukun Islam menunjukkan bahwa; nilai yang dicakup oleh kelima rukun Islam tersebut selalu mengacu pada epistemologi penggunaan katanya. Dari penggunaan kata tersebut tidak ada yang menunjukkan pengkhususan pelaksanaan ibadah yang hanya berlaku pada seseorang dan tidak pada orang lain. Pengkhususan tersebut disesuaikan dengan kemampuan seseorang dalam menjalankan prosesnya. Dalam hal ini, kemampuan manusia dalam melaksanakan zakât harus diukur berdasarkan kemampuan usahanya, kemudian baru diukur pada hasilnya (nishâb). Demikian juga syahâdat dan shalât juga harus diukur berdasarkan kesadaran jiwanya, kemudian baru

4. Sjechul Hadi Permono, Sumber-Sumber Penggalian Zakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 35.

(3)

didasarkan pada gerakan yang dibangun di atas kekuatan fisik. Oleh karena itu, kedua rukun Islam tersebut (syahâdah dan ṣalât) tidak pernah diberikan kelonggaran untuk menangguhkannya. Sementara ibadah puasa penilaiannya akan dilihat sejauh mana kekuatan fisik untuk melakukan hal tersebut. Krena puasa berkaitan dengan penahanan energi fisik, maka penangguhan kewajiban tersebut juga harus diukur sejauh mana kemampuan fisik untuk menerima tuntutan energi tersebut. Adapun haji penangguhannya akan diukur dengan kemampuan finansial dan fisik untuk menjelajahi jarak tempuhnya. Dari asumsi di atas, epistemologi zakât secara konseptual bukan terletak pada pemberian sebagian kekayaan, melainkan pada pensucian dalam mencari kekayaan, kemudian baru pensucian kekayaan yang dihasilkan.

Usaha memperoleh kekayaan bisa jadi berhasil dan juga gagal. Jika berhasil, maka hasil yang diperoleh secara bersih harus dikeluarkan sebagian yang menjadi hak orang lain. Dengan demikian, zakât pada hakikatnya hanyalah menyerahkan hak orang lain yang bersemayam dalam harta seseorang. Dengan demikian, harta yang didapat benar-benar bersih, baik dari aspek proses maupun dari aspek perolehannya.

Apabila makna dasar kata zakât difahami secara utuh, maka “kesucian” yang menjadi unsur dasar utamanya, harus lebih dahulu berlaku pada proses (pencarian), kemudian

baru diterapkan pada hasil (kekayaan). Dalam hal ini yang dianggap “zakat” oleh koruptor pada hakikatnya adalah baru dalam tataran pengembalian atau cicilan pengembalian secara malu malu oleh yang bersangkutan. Cicilan tersebut jika dibandingkan dengan prosentase kekayaan yang dikorup, belum memadahi jumlah nominal yang sesungguhnya yang harus dikembalikan. Zakat dan Solidaritas

Kemanusiaan

Di dalam realitas kehidupan, kekayaan dapat membedakan antara dua kelompok yang saling bertolak belakang, yaitu kelompok miskin dan kelompok kaya. Menyamakan, meratakan kedua kelompok tersebut secara materi adalah merupakan usaha yang naif. Karena perbedaan antara kelompok miskin dan kaya, tidak semata-mata disebabkan faktor materi, tetapi juga faktor psikologis. Oleh karena itu, yang dapat menghubungkan dan mensejajarkan antara kedua kelompok tersebut adalah keadilan, dan yang memisahkannya adalah kedlaliman yang dialami oleh mereka dalam kehidupan. Pitutur al-Qur’an berada di antara kedua kelompok yang bertolak belakang kepentingannya. Terhadap kelompok kaya, al-Qur’an mempengaruhi mentalnya agar mau memandang ketimpangan antara dirinya dan orang lain yang menderita dengan kacamata “kesamaan dan kesetaraan” sebagai makhluk Tuhan. Dengan demikian, kesengsaraan dan penderitaan orang

(4)

lain akan segera diatasi agar dapat menikmati kehidupan sebagaimana yang ia rasaakan. Terhadap kelompok miskin, al-Qur’an memberikan dorongan agar keluar dari belenggu kemiskinan dengan mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya untuk mendapatkan hak-hak kelayakan sebagai makhluk.

Ketika al-Qur’an dihadapkan pada kepentingan dua kelompok yang berbeda, wahyu Tuhan ini harus diklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan kelompok masing-masing. Kepada kelompok mana wahyu tersebut harus dibacakan dan disampaikan, dan kepada kelompok mana wahyu tersebut harus diprioritaskan. Ayat-ayat yang bernada kecaman terhadap kelompok kaya (al-Taubah/9: 34-35) jika direnungkan oleh kelompok miskin, akan membentuk sikap miskin yang hanya menunggu dan menggantungkan kehidupannya pada orang lain. Lebih dari itu, orang miskin akan menjadikan ayat tersebut sebagai senjata untuk menodong orang kaya dan sebaliknya.

Dalam perspektif teologis, hubungan antara manusia dan alam adalah hubungan kemitraan yang berada dalam bingkai kemakhlukan. Dalam hal ini, hubungan tersebut terformat dalam “pengelola- pemanfaat” yang didasarkan atas tanggung jawab (amânah) terhadap fungsi dasar kekayaan dan kebutuhan dasar manusia. Al-Qur’an memandang bahwa manusia dan kekayaan berada dalam posisi yang setara dalam kemakhlukan. Keduanya sama-sama makhluk ciptaan Allah, dan

setiap ciptaan berada pada kekuasaan penciptanya.

َلَع َوُهَو َّىنِيهيِيف اَمَو ِيضْرَلاَو ِيتاَوَم َّىسلا ُكْلُم ِيهَّىلِيل

.ٌريِيدَق ٍءْ َش ِّلُك

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

(al-Mâ›idah/5: 17, 120)

Kepemilikan manusia hanyalah kekuasaan dan kewenangan dalam pemanfaatan dan pengembangan, bukan kepemilikan dan kekuasaan mutlak.5 Fungsi dasar kekayaan adalah sebagai jaminan Tuhan terhadap kehidupan makhluk. Perbedaan geografis, akan berpengaruh pada perbedaan selera, jenis konsumsi sekaligus kualitas dan kuantitas kebutuhan hidup manusia. Perbedaan kebutuhan menyebabkan perbedaan kekayaan yang disisihkan. Perbedaan tersebut akan membedakan dalam pemilikan, perbedaan pemilikan menyebabkan perbedaan dalam memenuhi kebutuhan pokok.

Kelompok miskin adalah penderita yang harus mendapatkan penanganan. Akan tetapi, al-Qur’an tidak mengajak kelompok miskin secara langsung untuk menyelesaikan permasalahannya dengan mengadakan perhitungan dengan kelompok kaya. Al-Qur’an membicarakan penyelesaian masalah orang miskin kepada kelompok kaya dengan mengetuk kesadarannya agar memikirkan nasib saudaranya.

5. ‘Alâ’ al-Dîn Za‘tarî, Ma‘âlim Iqtishâdiyyah fi Hayâh al-Muslim, (Damaskus: Bait al-Hikmah, 2001), h. 16.

(5)

Untuk mencarikan solusi problem tersebut, al-Qur’an menetapkan sebuah instrumen yang formal berkaitan dengan penyaluran dan pemerataan kekayaan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan orang miskin. Istrumen tersebut lazim disebut dengan zakât.

Dalam perspektif ekonomi, zakat adalah suatu gerakan untuk mentransformasikan kehidupan ekonomi sehingga tercipta kesetabilan. Dari ekonomi yang yang individualistik, meterialistik, kapitalistik, liberalistik yang didorong oleh keserakahan dalam mengejar kenikmatan, menjadi suatu peri kehidupan kebersamaan dan kesejahteraan. Zakat adalah melindungi sumber daya, menghormati harkat dan martabat manusia, serta mampu mencegah berbagai konflik dalam masyarakat. Dalam mentransformasikan sebuah kehidupan, zakat bukan sekadar penyerahan kekayaan kepada kelompok miskin untuk menyehatkan kehidupannya, melainkan harus tercakup di dalamnya pendidikan jiwa manusia, baik si pemberi maupun penerima.6

Terhadap si pemberi (muzakki), Zakat diharapkan dapat memunculkan perasaan kemanusiaan yang didasarkan atas kesamaan dalam keyakinan tentang Tuhan, kemakhlukan, serta keberlangsungan hidup. Sementara terhadap si penerima zakat, jangan dipahami bahwa Islam seolah-olah

6. Ali Syari‘ati, Membangun Masa Depan Islamm: Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), h. 27.

mengajarkan kepada mereka untuk menjadi orang yang menyandarkan tangannya sambil meminta-minta dan mengharap belas kasihan dari orang lain. Islam mengajarkan agar setiap muslim dapat menjadi pelaku amal kebajikan. Untuk menjadi pelaku tersebut orang Islam harus kaya, dan agar bisa kaya, ia harus bekerja dan berkarya dengan gigih dan baik. Jika tidak demikian, maka orang kaya hanya akan merasa diperas dan dirampas tenaga dan kekayaannya. Sementara orang miskin hanya akan menambah kemalasan dengan menggantungkan kebutuhannya pada jerih payah orang lain.7

Yusuf Qardlawi dalam karyanya yang monumental tentang zakat menjelaskan pengaruh zakat, baik terhadap si pemberi (muzakkî) maupun si penerima (mustahiqq). Terhadap si pemberi zakat diharapkan dapat mensucikan jiwa orang kaya dari sifat kikir, mendidik untuk berinfak, sebagai manifestasi rasa syukur atas karunia Tuhannya, mengendalikan kecintaan terhadap kekayaan agar ia tidak menjadi budak kekayaan, dan sebagai mediator rasa simpatik dengan kelompok miskin. Sementara pengaruh zakat terhadap si penerima, diharapkan dapat membantu untuk membebaskan kebutuhan orang yang membutuhkan dan menghilangkan rasa kebencian terhadap orang kaya

7. A. Qodri Azizy, Membangun Fondasi Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 140.

(6)

yang disebabkan karena kecemburuan terhadap kepemilikan kekayaan.

Zakât vs Infâq

Kajian tentang term-term ayat, ada tesa beberapa tokoh bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada tarâduf (sinonim) secara mutlak. Hal ini karena kata yang sama, ketika digunakan pada tempat yang berbeda, dapat mengindikasikan penekanan makna yang berbeda. Perbedaan tersebut adakalanya masih dalam tataran makna generiknya, tetapi makna tersebut kadang-kadang juga ikut mengalami perubahan, padahal ini hanya terhadap kata yang sama, tapi dalam tempat yang berbeda. Oleh karena itu, anggapan bahwa antara satu kata dengan kata yang lain memiliki kesamaan makna dan penunjukan yang hanya disebabkan hubungan sinonim, perlu dipertimbangkan. 8

Ulama membedakan antara infâq dan zakât, hanya dalam perspektif fiqih, yaitu antara wajib atau sunnah. Perspektif ini dilihat dari aspek konteks penunjukkan kedua kata tersebut yaitu. 1. Kata infâq kadang-kadang disebut

setelah kata îmân dan taqwâ yang masih dalam tataran ideologis, belum praktis, dan sistematis.9

8. Muhammad Rasyîd Ridlâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, (Beirut, Dâr al-Fikr, tt), juz. 1, h. 168. Lihat juga ‘isyah ‘Abd al-Rahmân bint al-Syâthi’, Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1990), juz. 1, h. 25.

9. Lihat QS. Âlu ‘Imrân/3: 134, dan al-Anfâl/8: 3

2. Kata infâq hanya dipandang dari aspek ekonomi murni yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan kehidupan secara biologis.10

3. Kata infâq hanya dipandang sebagai nilai etis yang ideal dan hanya dijadikan sebagai permisalan, belum berupa nilai yang operasional.11 4. Legalitas keberadaan infâq, berasal

dari pertanyaan orang-orang yang telah memiliki kesadaran tinggi yang ingin meningkatkan keshalihannya. Wajar, jika infâq dianggap sebagai sesuatu yang bersifat sosial dan sukarela.12

Dilihat dari konteks penunjukan, kata zakât sering disebut bersama dengan perintah shalât, sehingga hukumnya digeneralisasikan. Jika dicermati, sebagian kata infâq juga disebut setelah kata shalât (al-Anfâl/8: 3). Untuk menguatkan paradigma bahwa infâq adalah sunnah dan zakât adalah wajib, ulama’ banyak yang memaksakan teori makkî dan madanî hanya untuk menguatkan paradigma tersebut. Dalam perspektif periodesasi tasyrî‘, zakât disampaikan pada periode Madinah, sedangkan infâq disampaikan pada periode Makkah. Pendapat yang paling moderat dari dalih teori tersebut bahwa infâq pada periode Makkah masih bersifat umum yang mencakup

10. Lihat QS. al-Taubah/9: 91-92

11. Lihat QS. al-Baqarah/2: 261, 262, 265, 274, dan Âlu ‘Imrân/3: 117

12. Lihat QS. al-Baqarah/2: 215, 219

(7)

pemberian secara suka rela dan yang wajib (zakât).13 Dilihat dari struktur ini, persepsi bahwa zakât suatu yang wajib, sementara infâq suatu yang sunnah atau sukarela dapat dimaklumi. Karena persepsi tersebut dibangun pada struktur kedua terminologi tersebut, bukan pada tujuan akhirnya. Kalau persepsi tersebut difokuskan pada tujuan, maka struktur kedua kata tersebut tidak menjadi fokus pembahasan. Struktur tersebut hanya menunjukkan bahwa melalui jalan dan cara itu, tujuan zakât dan infâq dapat dicapai.

Tujuan yang hendak dicapai dari infâq maupun zakât adalah mengatasi kebutuhan dasar hidup kelompok lemah, untuk mencapai tatanan kehidupan yang berdasarkan pada keadilan dan kemanusiaan. Infâq adalah term yang bersifat umum (abstract noun), sementara zakât adalah instrumen yang bersifat partikular (proper noun). Di dalam filsafat, penentuan antara yang “konkret” dan “abstrak” mendapat posisi penting, karena manusia tidak dapat menghindari adanya pluralitas bahasa, baik dari segi penggunaan maupun dari substansi bahasa itu sendiri.14 Keduanya memiliki peran dan posisi yang sama dalam pencapaian tujuan. Perbedaan posisi dan peran tidak membedakan nilai dan kedudukan, karena posisi hanya bagian dari strategi.

13. Rasyid Ridlâ, Tafsîr,… juz. 1, h. 235.

14. M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 24.

Dengan demikian, membedakan antara infâq dan zakât yang hanya didasarkan pada kedudukan (hukum), menjadikan keduanya terputus dari titik temunya. Pencerahan Visi Zakat

Ulama klasik ketika mendefi-nisikan zakat, mereka masih menganggap bahwa zakat adalah kewajiban yang dialamatkan dan diatasnamakan Tuhan. Dalam hal ini, zakât yang dipandang secara imperatif akan memberikan kesan, bahwa perasaan bermurah hati dan belas kasihan akan membeku karena sudah dimekanisasikan oleh hukum. Orang bertindak terhadap sesuatu tidak lagi didasarkan pada kesadaran diri secara utuh, melainkan didasarkan pada bayang-bayang ancaman yang menghantui kebebasan jiwanya.15 Yusuf Qardlâwî, salah seorang ahli fikih kontemporer yang telah menghasilkan penelitian yang monumental tentang zakât, beliau masih memahami bahwa zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak.16 Dalam hal ini, al-Jâzirî lebih menunjukkan kemoderatannya, beliau telah berani mendefinisikan zakât sebagai pemindahan hak milik (tamlîk mâlin) kekayaan tertentu kepada orang yang berhak dengan syarat-syarat

15. Sjechul Hadi, Sumber-Sumber,…

h. 36.

16. Yusuf Qardlawî, Fiqh,… juz. 1, h. 34.

(8)

tertentu.17 Menurut definisi Al-Jâzirî, zakât bukan lagi dikesankan suatu kewajiban yang diatas anamakan Tuhan, melainkan dianggap sebagai pemindahan hak kepemilikan kepada orang lain yang berhak menerimanya. Hal ini karena alam dan kekayaan yang ada, kepemilikannya adalah di tangan Tuhan secara mutlak. Manusia hanya sebagai pengguna dan pemanfaat serta pengatur (mustakhlif) agar kekayaan bermanfaat dan tersalurkan dengan baik untuk memenuhi hajat dasar kehidupan.

Pada masa awal, zakat diberikan secara suka rela. Jika asumsi ini dipandang positif, maka kata infâq yang dimaknai sebagai kewajiban sebagaimana dijelaskan di atas dapat diterima. Redaksi surat-surat Makiyyah awal (610-615 M) difokuskan pada kritik dan dominasi kekayaan serta ketidak pedulian terhadap orang-orang yang menderita (baca surat: al-Lahab/111, Humazah/104, Mâ‘ûn/107, al-Takâs|ur/102 dan al-Laîl/92). Dalam konteks tersebut penyaluran kekayaan serta kepedulian kaum lemah bukan lagi menjadi kewajiban yang harus menunggu perintah, melainkan menjadi kelaziman, baik secara personal maupun kelompok.18

17. Al-Jâzirî, ‘Abd Al-Rahmân,

Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah,

(Beirut, Dâr al-Fikr, 1994), h. 590.

18. Budi Munawar, (Ed.),

Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,

(Jakarta, Paramadina, 1994) h. 56. Lihat Said Sa‘ad Marthon, Ekonomi Islam (Jakarta:

Zakat menjadi wajib dengan timbulnya negara Islam untuk menolong orang-orang mukmin, fakir yang bertambah-tambah jumlahnya, serta untuk membantu keluarga-keluarga yang ditinggalkan oleh pejuang-pejuang penegak Islam yang meninggal dalam peperangan. Dalam posisi ini, zakat menjadi semacam pajak walaupun penggunaannya tetap untuk tujuan-tujuan humaniter tertentu. Semakin lama zakat mempunyai konotasi legal yang kuat, tetapi tetap memiliki sifat kewajiban religius, tindakan ketaqwaan, dan tindakan belas kasihan.

Keadilan sosial adalah bagian isu penting yang diusung oleh misi ajaran samawi. Keadilan yang diusung tersebut adalah keadilan sosial dari lapisan tingkat yang paling bawah. Dalam hal ini zakât bukanlah misi yang khas bagi ajaran Muhammad, tetapi juga telah dicanangkan oleh ajaran Ilahi sebelumnya.

)

30( اًّيِيبَن يِينَلَعَجَو َباَتِيكْلا َ ِينياَتآ ِيهَّىللا ُدْبَع ِّنيِيإ َلاَق

ِية َل َّىصلاِيب ِينيا َصْوَأَو ُتْنُك اَم َنْيَأ اًكَراَبُم يِينَلَعَجَو

ْمَلَو ِيتَدِيلاَوِيب اًّرَبَو )31( اًّيَح ُتْمُد اَم ِيةاَكَّىزلاَو

اًّيِيقَش اًراَّىبَج يِينْلَعْجَي

.اًّيِيبَن يِينَلَعَجَو َباَتِيكْلا َ ِينياَتاَء ِيهَّىللا ُدْبَع ِّنيِيإ َلاَق

ِيةَل َّىصلاِيب ِينيا َصْوَأَو

ُتْنُك اَم َنْيَأ اًكَراَبُم يِينَلَعَجَو

يِينْلَعْجَي ْمَلَو ِيتَدِيلاَوِيب اًّرَبَو.اًّيَح ُتْمُد اَم ِيةاَكَّىزلاَو

.اًّيِيقَش اًراَّىبَج

Berkata Isa: «Sesungguhnya aku ini hamba

Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Zikrul, 2004), h. 105.

(9)

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia

memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku

hidup, dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong

lagi celaka. (Maryam/30: 30-32)

Visi zakât yang diusung oleh ajaran suci, sebagai terapi budaya penindasan oleh kelompok penguasa terhadap kelompok tidak berdaya. Pemerasan yang dilakukan penguasa terhadap rakyat jelata melalui lembaga “upeti”. Lembaga tersebut akhirnya dilegalkan dan tidak jarang juga diatas namakan ajaran sici. Upeti yang awalnya difungsikan sebagai pemerasan terhadap kelompok lemah, tatanannya dirobah oleh Islam. Upeti tidak diperuntukkan bagi penguasa, tetapi justeru dikumpulkan dari para penguasa dan ditujukan kepada kelompok yang tidak berdaya sesuai dengan misi keadilan sosial yang dicanagkan oleh ajaran suci tersebut.

اَهْيَلَع َيِيلِيماَعْلاَو ِييِيكا َسَمْلاَو ِيءاَرَقُفْلِيل ُتاَقَد َّىصلا اَ َّىنِيإ

ِيفَو َيِيمِيراَغْلاَو ِيباَقِّرلا ِيفَو ْمُهُبوُلُق ِيةَفَّىلَؤُمْلاَو

ُهَّىللاَو ِيهَّىللا َنِيم ًة َضيِيرَف ِيليِيب َّىسلا ِينْبِياَو ِيهَّىللا ِيليِيب َس

.ٌميِيكَح ٌميِيلَع

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu›allaf yang

dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)

budak, orang-orang yang berhutang, untuk

jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

(Al-Taubah: 60)

َّىل َص َّىيِيبَّىنلا َّىنَأ َمُهْنَع ُهَّىللا َ ِيضَر ٍساَّىبَع ِينْبا ْنَع

َلِيإ ُهْنَع ُهَّىللا َ ِيضَر اًذاَعُم َثَعَب َمَّىل َسَو ِيهْيَلَع ُهَّىللا

ُهَّىللا لِيإ َهَلِيإ ل ْنَأ ِيةَداَهَش َلِيإ ْمُهُعْدا َلاَقَف ِينَمَيْلا

ْمُهْمِيلْعَأَف َكِيلَذِيل اوُعاَطَأ ْمُه ْنِيإَف ِيهَّىللا ُلو ُسَر ِّنيَأَو

ِّلُك ِيف ٍتاَوَل َص َسْمَخ ْمِيهْيَلَع َضََترْفا ْدَق َهَّىللا َّىنَأ

َّىنَأ ْمُهْمِيلْعَأَف َكِيلَذِيل اوُعاَطَأ ْمُه ْنِيإَف ٍةَلْيَلَو ٍمْوَي

ْنِيم ُذَخْؤُت ْمِيهِيلاَوْمَأ ِيف ًةَقَد َص ْمِيهْيَلَع َضََترْفا َهَّىللا

ْمِيهِيئاَرَقُف َلَع ُّدَرُتَو ْمِيهِيئاَيِينْغَأ

Dari Ibnu ‹Abbas menuturkan bahwa

ketika Rasulullah SAW mengutus Mu݉dz

ke Yaman beliau memesankan; Serulah

mereka itu untuk mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Jika mereka mentaati

itu, ajarilah mereka bahwa Allah telah mewajibkan bagi mereka shalat lima waktu

dalam sehari semalam. Jika mereka telah

mau mentaati itu, ajarilah mereka itu bahwa Allah telah mewajibkan kepada

mereka mengeluarkan zakat dari sebagian kekayaan mereka yang dipungut dari orang yang kaya dan dibagikan kepada orang faqir di kalangan mereka. (H.R. Bukhari)

Zakat dan Agenda Nilai Kemanusiaan

Sifat zakat yang nampak legalis tidak membatasi rasa murah hati seseorang. Orang yang telah mengeluarkan zakat, tidak boleh merasa suci dan merasa bahwa segala tindakannya telah tersucikan lewat zakat. Satu sisi al-Qur’an menilai bahwa pembayar zakat adalah perbuatan yang baik, tapi di sisi lain al-Qur’an juga menegaskan bahwa; perkataan yang baik dan pengampunan adalah lebih baik daripada zakat (shadaqah) yang

(10)

diikuti dengan omelan.

ىًذَأ اَهُعَبْتَي ٍةَقَد َص ْنِيم ٌ ْيَخ ٌةَرِيفْغَمَو ٌفوُرْعَم ٌلْوَق

.ٌميِيلَح ٌّيِينَغ ُهَّىللاَو

Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (Al-Baqarah/2: 263)

Dari sini nampak visi dari syari’at zakat. Dalam pelaksanaan syari’at tersebut sarat dengan nilai nilai kemanusiaan dari pada nilai kekudusan. Pemberian zakat yang didasarkan pada kecintaan kepada Tuhan, tidak serta merta meniadakan kecintaan manusia terhadap sesamanya dengan melakukan tindakan yang bertolak belakang dari visi zakat itu sendiri, yaitu sebagai latihan spiritual jiwa. Al-Qur’an menganjurkan agar setiap muslim mengangkat derajat dirinya lebih tinggi dari sekadar memikirkan hajat material. Egoisme yang ada pada diri manusia hendaknya dipindahkan kepada altruisme, dari jiwa individual kepada jiwa kolektif.19

Dengan demikian, ketika orang mukmin memberikan zakatnya, ia tidak merasa kehilangan sebagian dari hartanya. Akan tetapi sebaliknya, mereka merasa bahwa ia telah dapat mengembalikan sebagian yang sangat kecil dari anugerah Tuhannya. Niat untuk bersyukur kepada Pencipta segala yang ada, memberikan sifat

19. Marcel A Boisard, Humanisme Dalam Islam, penerjemah, HM. Rasyidi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1980), h. 135.

ketaqwaan dan kesucian terhadap muzakkinya serta memberi legalitas kepada kekayaan yang dizakati. ( al-Taubah: 103) Dari kesadaran tersebut, sifat murah hati tidak kehilangan spontanitasnya. Kesadaran orang kaya berzakat, menjadikan orang fakir ketika meminta tetap dapat mempertahankan kehormatannya. Karena hakikat kekayaan yang diminta adalah “kekayaan Tuhan dan keutamaan-Nya (al-fadlal) terhadap orang yang tidak punya”.

Belas kasihan yang dilegalkan di atas, tidak lagi memiliki aspek yang merendahkan jiwa si penerima ketika bertemu dengan si pemberi. Hal ini karena zakât bukanlah suatu pemberian menurut kemauan si kaya, akan tetapi lebih dari itu, kekayaan yang diserahkan adalah “hak si miskin” yang dapat diminta secara legal.

. ِيموُرْحَمْلاَو ِيلِيئا َّىسلِيل ٌموُلْعَم ٌّقَح ْمِيهِيلاَوْمَأ ِيف َنيِيذَّىلاَو

Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia

bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).

(Al-Ma’ârij/70: 24-25)

Gerakan zakat jangan dipahami sebagai gerakan pengumpulan dana secara paksa dari kelompok kaya untuk dibagi-bagikan kepada kelompok miskin sebagai upaya pencapaian pemerataan. Gerakan ini lebih mencerminkan gerakan kekerasan daripada gerakan keag amaan dan kemanusiaan. Kesadaran manusia dalam berbuat, diawali dari kesadarannya dalam menerima ajaran (agama) (al-Baqarah/2:

(11)

256). Dengan demikian, gerakan yang bersifat pemaksaan bukanlah gerakan yang bijak. Gerakan tersebut berada di luar agama yang menjadi fitrah manusia. Gerakan zakat adalah gerakan kemanusiaan yang bersifat memberi penghargaan, pengharapan, dan menciptakan keadilan serta untuk menjunjung tinggi harkat, martabat manusia, baik si pemberi maupun penerima. Bila perasaan keadilan, kepedulian, dan kebersamaan telah tumbuh dalam diri seseorang, maka pelaksanaan zakat bukanlah suatu keterpaksaan.

Penutup

1. Secara konseptual, syari’at zakat bukan sekadar pengumpulan dana yang bersifat sosial yang dibagi-bagikan kepada kelompok lemah. Akan tetapi tujuan idealnya di samping menyelesaikan problematika yang bersifat empiris, juga untuk menempatkan posisi manusia pada derajat yang lebih tinggi daripada posisi kekayaan dan alam secara umum. Keberadaan manusia sebagai khlifah, tidak diperbudak oleh kekayaan, baik akibat kekurangan maupun kelebihan. Dalam hal ini, posisi zakat terhadap kepentingan si pemberi dan penerima adalah sama, yaitu untuk mensucikan ( that-hîr) jiwa dan segala kekayaan yang dimiliki .(Baca: Al-Taubah/9: 103) 2. Tatanan ekonomi yang diilhami

oleh konsep tazkiyah adalah tatanan ekonomi yang didasarkan pada

kebersihan dari hak-hak orang lain yang harus diserahkan. Di samping itu, tatanan tersebut juga har us didasarkan pada kejujuran, keadilan, pertumbuhan, perkembangan, penghargaan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Kaum fakir, miskin dan orang-orang yang tidak berpihak kepadanya keuntungan dalam transaksi ekonomi, harus diperhitungkan nasibnya. Karena ketidakberuntungan bagi suatu kelompok, akan menjadi salah satu sebab tambahnya keuntungan bagi kelompok lain. Jika orang yang berhasil tidak mempedulikan kelompok yang gagal, maka keuntungan akan menggali jurang ketimpangan bagi kelompok lain. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi

Ekonomi Umat: Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Boisard, Marcel A, Humanisme Dalam Islam, penerjemah, HM. Rasyidi, Jakarta, Bulan Bintang, 1980. Hammâd, Nazîh, Mu‘jam al-Mushthalahât

al-Iqtishâdiyyah fî lughah al-Fuqahâ’, Riyâdl, Al-Dâr al-‘Âlamiyyah, 1995. Ifrîqî, Jamâluddîn Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzhûr Al-, Lisân

(12)

al-‘Arab, Beirut, Dâr al-Fikr, tt. Jâzirî, ‘Abd Al-Rahmân, Kitâb al-Fiqh

‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.

Jâzirî, ‘Abd Al-Rahmân, Kitâb al-Fiqh ‘alâ Madzâhib al-Arba‘ah, Beirut, Dâr al-Fikr, 1994.

Marthon, Said Sa‘ad, Ekonomi Islam, Jakarta: Zikrul, 2004.

Munawar, Budi, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina, 1994.

Permono, Sjechul Hadi, Sumber-Sumber Penggalian Zakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Qardlawî, Yusuf, Fiqh al-Zakât, Beirût: Muassasah al-Risâlah, 1973.

Ridlâ, Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Beirut, Dâr al-Fikr, tt.

Syari‘ati, Ali, Membangun Masa Depan Islamm: Pesan Untuk Para Intelektual Muslim, Bandung: Mizan, 1994. Syâthi’, ‘isyah ‘Abd al-Rahmân bint,

Al-Tafsîr Bayânî li Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1990. Za‘tarî,‘Alâ’ al-Dîn, Ma‘âlim Iqtishâdiyyah fi Hayâh al-Muslim, Damaskus: Bait al-Hikmah, 2001.

Zakaria, Abi al-Husain Ahmad bin Fâris Ibn, Mu‘jam al-Maqâyis fî al-Lughah, Beirut, Dâr al-Fikr, 1994.

Referensi

Dokumen terkait

5 describes the comparison between the simulation results obtained with the Solid works Motion Study software, which shows the approximate value when the actuator is

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang ayam memberikan pengaruh nyata pada tinggi tanaman 20 dan 30 HST, jumlah daun umur 20 dan 30 HST, berat segar per

Hasil percobaan menunjukan bahwa waktu yang dibutuhkan bola untuk melewati setiap tanda pada tabung semakin besar atau kecepatannya semakin kecil, jika fluida yang

Adapun Skripsi yang dipilih, diambil dari mata kuliah Metalurgi Serbuk, yaitu “Studi Temperatur Optimal Terhadap Kekuatan Tarik dan Makrostruktur pada Komposisi Campuran

Penelitian ini berjudul Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dan Komensasi terhadap Disiplin Kerja dan Dampaknya terhadap Kinerja Pegawai Pada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Asset

Siantar adalah kota yang paling toleran secara nasional, oleh karenanya patut diapreasiasi bahwa keberagaman etnis, suku dan budaya sudah membaur dan terjalin dengan baik

Obyek Retribusi adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan tidak