• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG DEKOK KULIT Persea americana Mill. TERHADAP KADAR ALKALIN FOSFATASE PADA

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Brigita Wina Rosari Putri NIM : 118114039

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG DEKOK KULIT Persea americana Mill. TERHADAP KADAR ALKALIN FOSFATASE PADA

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Brigita Wina Rosari Putri NIM : 118114039

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG DEKOK KULIT Persea americana Mill. TERHADAP KADAR ALKALIN FOSFATASE PADA

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Brigita Wina Rosari Putri NIM : 118114039

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG DEKOK KULIT Persea americana Mill. TERHADAP KADAR ALKALIN FOSFATASE PADA

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Brigita Wina Rosari Putri NIM : 118114039

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh

kepercayaan, kamu akan menerimanya.

(Matius 21:22)

“Kunci untuk mewujudkan mimpi adalah dengan berfokus tidak hanya pada kesuksesan tapi juga maknanya. Maka kemudian,

bahkan langkah-langkah kecil dan kemenangan kecil di sepanjang jalan yang Anda jalani akan bermakna besar.”

(Oprah Winfrey)

“Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan, tapi dengan

ketekunan dan kegigihan”

(Samuel Jhonson)

Kupersembahkan karya ini untuk Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria sumber kekuatan dan harapanku..

Bapak, Ibu, Adik-adikku dan Kakakku tercinta atas dukungan, doa dan motivasinya.. Almamaterku tercinta Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur dihaturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, kasih dan rahmat karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGARUH PEMBERIAN JANGKA PANJANG DEKOK KULIT

Persea americana Mill. TERHADAP KADAR ALKALIN FOSFATASE PADA

TIKUS JANTAN GALUR WISTAR TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S. Farm) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa ada banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat, pada kesempatan ini penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji pada skripsi ini, atas segala bimbingan, bantuan, motivasi, dan saran yang diberikan kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi tersebut. 3. Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. selaku Dosen Penguji pada

skripsi ini yang telah memberikan saran kepada penulis.

4. Ibu Damiana Sapta Candarasari, M.Sc. selaku Dosen Penguji pada skripsi ini, atas saran dan dukungannya kepada penulis.

(9)

5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan izin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan dan keberlangsungan skripsi tersebut.

6. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si., yang telah memberikan bantuan dalam determinasi Persea americana Mill.

7. Bapak Heru, Bapak Parjiman, Bapak Kayat, Bapak Kunto, dan Bapak

Suparlan selaku laboran Laboratorium Fakultas Farmasi atas bantuan dan dukungannya kepada penulis selama proses pengerjaan skripsi tersebut. 8. Keluargaku Bapak Taricicius Suwondo, Ibu Ermina Nursanti, Adikku Erik

dan Albet, atas segala cinta, nasihat, dukungan, dan doa yang selalu mengiringiku.

9. Kakakku tercinta Paskalis Bogi Prasetyo Hardani buat semua doa, dukungan, semangat, bantuan yang diberikan demi tersusunnya skripsi ini.

10. Rekan-rekan Tim Persea americana : Lusia Drikti N.G., Maria Desita Putri, Angeline Syahputri F., Jolinna Michelia Bitti, MM. Risa Puspitasari, Gemah Restuti Pendongane, Vivo Puspitasari, Ester Rina Dwi A., Bemadet Brigita P.W., Fransisca Andriani, Theresia Eviani, Asih Putriati, Paramita Liong, dan Margareta Trinova P.T.M. atas segala kerja sama, dukungan, dan bantuannya. 11. Sahabat dan partner segala tugas kuliah maupun praktikum serta diskusi Lusia Drikti N.G., Lisa Sudaryanto, Maria Desita Putri, Jolinna Michelia Bitti, Angela Irena S., dan MM. Risa Puspitasari.

(10)

12. Para sahabat tercinta Lusia Shinta Dewi, Gemah Restuti Pendongane, Lusia Drikti N.G., Prasetyo Hendy Kurniawan, dan Paramita Liong atas doa, motivasi, dan sarannya.

13. Keluarga besar Kos Tastiti atas semua dukungan dan doa yang mengiringiku. 14. Teman-teman FKK A 2011 dan teman-teman Fakultas Farmasi USD 2011

atas kebersaamaan dan dukungannya.

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis yang telah ikut membantu selama proses penyusunan skripsi tersebut.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan mengingat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis juga berharap semoga skripsi tersebut dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama pada bidang farmasi, dan bagi masyarakat.

Yogyakarta, 10 November 2014

Penulis

(11)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSERTUJUAN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ...xiv

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvi

INTISARI ...xvii

ABSTRACT ...xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

1. Perumusan Masalah ... 4 2. Keaslian Penulisan ...5 3. Manfaat Penelitian ... 6 B. Tujuan Penelitian ... 6 1. Tujuan Umum ... 6 2. Tujuan Khusus ... 6

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...vi

(12)

xi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Hati ... 7

1. Anatomi dan Fisiologi Hati ... 7

2. Kerusakan Hati ... 10

3. Hepatotoksin ... 14

B. Karbon Tetraklorida ... 15

C. Evaluasi Kerusakan Hati ...17

D. Alkalin Fosfatase ... 19

E. Antioksidan ... 21

F. Persea americana Mill. ... 22

1. Sinonim ... 22

2. Nama Daerah ... 22

3. Taksonomi ... 22

4. Kandungan Kimia ... 22

5. Khasiat dan Kegunaan ... 23

G. Landasan Teori ... 24

H. Hipotesis ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN ... 27

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 27

1. Variabel Utama ... 27

2. Variabel Pengacau ... 27

(13)

xii

C. Bahan Penelitian ... 29

1. Bahan Utama ... 29

2. Bahan Kimia ... 29

D. Alat Penelitian ... 30

1. Alat Pembuatan Serbuk Kering Kulit P. americana Mill. ... 30

2. Alat Pembuatan Dekok Kulit P. americana Mill. ... 30

3. Alat Uji Sediaan Dekok ... 31

E. Tata Cara Penelitian ... 31

1. Determinasi P. americana Mill. ... 31

2. Pengumpulan Bahan Uji ... 31

3. Pembuatan Serbuk Kulit P. americana Mill. ... 31

4. Penetapan Kadar Air pada Serbuk Kulit P. americana Mill. ... 32

5. Pembuatan Dekok Serbuk Kulit P.americana Mill. ... 32

6. Pembuatan Larutan Karbon Tetraklorida Konsentrasi 50 % ... 32

7. Uji Pendahuluan ... 33

8. Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji ... 35

9. Pembuatan Serum ... 36

10. Pengukuran Kadar ALT pada Uji Pendahuluan ... 36

11. Pengukuran Kadar ALP ... 37

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 37

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

(14)

xiii

1. Hasil Determinasi Serbuk Kulit Persea americana Mill. ... 39

2. Penetapan Kadar Air Serbuk Kering Kulit P. americana Mill. ... 39

B. Uji Pendahuluan ... 40

1. Penentuan Dosis Hepatotoksik Karbon Tetraklorida ... 40

2. Penentuan Waktu Pencuplikan Darah ... 41

C. Hasil Uji Pengaruh Pemberian Pemberian Jangka Panjang Dekok Kulit P. americana Mill. pada Tikus Terinduksi Karbon Tetraklorida ... 44

1. Kontrol Negatif (olive oil 2 ml/kgBB) ... 47

2. Kontrol Hepatotoksin (Karbon Tetraklorida 2 ml/kgBB) ... 48

3. Kontrol Sediaan (Dekok Kulit P. americana Mill. Dosis 1600 mg/kgBB) ... 49

4. Kelompok Perlakuan Dekok Kulit P. americana Mill. Dosis 363 mg/kgBB; 762 mg/kgBB dan 1600 mg/kgBB pada Tikus Jantan Galur Wistar Terinduksi Karbon Tetraklorida 2 ml/kgBB ... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 61

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel. I. Rata-Rata Kadar SGPT Tikus Jantan setelah

Induksi Karbon Tetraklorida dengan Dosis 2 ml/kgBB

saat Pencuplikan Darah pada Jam ke-0, 24, dan 48 ... 42 Tabel II. Hasil Uji Scheffe Kadar SGPT Tikus Terinduksi Karbon

Tetraklorida Dosis 2 ml/kgBB pada Pencuplikan Darah

Jam ke-0, 24, dan 48 ... 43 Tabel III. Pengaruh Pemberian Jangka Panjang Dekok

Kulit P. americana Mill. terhadap Kadar Serum ALP

pada Tikus Terinduksi Karbon Tetraklorida 2 ml/kgBB ... 45 Tabel IV. Hasil Uji Scheffe Kadar ALP Tikus antar Kelompok

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Komponen Histologis Hati ... 8 Gambar 2. Mekanisme Oksidasi dan Biotransformasi

Karbon Tetraklorida ... 16 Gambar 3. Diagram Batang Orientasi Kadar SGPT

Tikus setelah Diinduksi Karbon Tetraklorida

Dosis 2 ml/kgBB pada Jam ke-0, 24, dan 48 ... 42 Gambar 4. Diagram Batang Rata-Rata Kadar Serum ALP

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Foto Buah P. americana Mill. ... 62

Lampiran 2. Foto Kulit P. americana Mill. ... 62

Lampiran 3. Foto Serbuk Kulit P. americana Mill. ... 63

Lampiran 4. Foto Dekok Kulit P. americana Mill. ... 63

Lampiran 5. Foto Pembuatan Dekok Kulit P. americana Mill. ... 64

Lampiran 6. Ciri-ciri Buah P. americana Mill. jenis Endranol dan Hass ... 65

Lampiran 7. Surat Determinasi Tanaman P. americana Mill. ... 67

Lampiran 8. Surat Pengesahan Medical and Health Research Ethics Commitee (MHREC) ... 68

Lampiran 9. Surat Hasil Penetapan Kadar Air Kulit P. americana Mill. ... 69

Lampiran 10. Analisis Statistik Kadar ALT pada Uji Pendahuluan Waktu Pencuplikan Darah Hewan Uji setelah Induksi Karbon Tetraklorida 2 ml/kgBB ... 70

Lampiran 11. Analisis Statistik Kadar ALP Kelompok Perlakuan Jangka Panjang Dekok Kulit P. americana Mill. Terinduksi Karbon Tetraklorida 2 ml/kgBB ... 73

Lampiran 12. Perhitungan Konversi Dosis Dekok Kulit P. americana Mill. dari Tikus ke Manusia ... 77

(18)

xvii INTISARI

Penyakit hati terutama perlemakan hati menjadi penyebab kematian paling umum kelima setelah penyakit jantung, stroke, penyakit paru-paru dan kanker. Karbon tetraklorida merupakan salah satu senyawa model yang dapat menginduksi kerusakan hati berupa perlemakan hati. Kerusakan hati ini menyebabkan peningkatan enzim di hati, salah satunya adalah alkalin fosfatase (ALP). Kulit Persea americana Mill. diketahui memiliki antioksidan yang dapat melindungi hati dari senyawa hepatotoksin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang dekok kulit Persea americana Mill. pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida dengan melihat penurunan kadar ALP dan untuk mengetahui kekerabatan antara peringkat dosis dengan penurunan kadar ALP.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Tiga puluh ekor tikus dibagi secara acak dalam 6 kelompok perlakuan masing-masing sejumlah lima ekor tikus. Kelompok I (kontrol positif) diberikan karbon tetraklorida 2 mL/kgBB secara intraperitonial. Kelompok II (kontrol negatif) diberikan olive oil 2 mL/kgBB sebagai pelarut dari karbon tetraklorida. Kelompok III (kontrol sediaan dekok) diberikan dekok kulit

Persea americana Mill. dosis tinggi (1600 mg/kgBB) selama 6 hari berturut-turut

secara per oral kemudian setelah hari ke-6 diambil darahnya. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) diberikan dekok kulit Persea americana masing-masing dengan dosis 363, 762 dan 1600 mg/kgBB secara oral sekali sehari selama enam hari berturut-turut, kemudian pada hari ketujuh diberi induksi karbon tetraklorida dosis 2 ml/kgBB secara intraperitonial. Dua puluh empat jam setelah induksi karbon tetraklorida, tikus diambil darahnya untuk pengukuran kadar enzim ALP. Data pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode ANOVA satu arah.

Dari penelitian diperoleh bahwa pemberian jangka panjang dekok kulit

Persea americana Mill. dosis rendah (363 mg/kgBB) maupun dosis sedang (762

mg/kgBB) mampu menurunkan kadar ALP sementara dosis tinggi (1600 mg/kgBB) tidak cukup mampu menurunkan kadar ALP pada tikus galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida untuk mendekati nilai normalnya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak ada kekerabatan antara peringkat dosis dekok kulit Persea americana Mill. dengan efek penurunan kadar ALP yang ditimbulkan.

(19)

xviii ABSTRACT

Liver disease especially fatty liver become the fifth most common cause of death after cardiovascular disease, stroke, lung disease and cancer. Carbon tetrachloride is a model compound that can induce liver damage such as fatty liver. Liver damage causes increasing of liver enzymes, one of these is alkaline phosphatase (ALP). Persea americana Mill. peel is known to have antioxidant that can protect liver from hepatotoxins compound.

This research study aimed to determine the influence of long term administration Persea americana Mill. peel decoction on male Wistar rats induced by carbon tetrachloride with see the decreasing of ALP level and to know the kinship between doses ranked with decreasing of alkaline phosphatase (ALP) level.

This research is purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total of 30 male Wistar rats were divided randomly into 6 treatment groups, each group consisted of 5 rats. Group I (hepatotoxin control) was given carbon tetrachloride 2 mL/kgB intraperitonially. Group II (negative control) was given olive oil 2 mL/kgBW as a solvent of carbon tetrachloride. Group III (decoction control) was given decoction of Persea americana Mill. peel with high dose (1600 mg/kgBB) orally for six consecutive days and after sixth day the blood was taken. Group IV, V and VI (treatment group) was given decoction of Persea americana Mill. peel at a doses of 363, 762, and 1600 mg/kgBW orally once daily for six consecutive days, and then in the seventh day all treatment groups were given induction of carbon tetrachloride of 2 mL/kgBW intraperitonially. Twenty four hours after the induction of carbon tetrachloride, the blood of rat were taken to measure the levels of ALP enzyme. Data of this research were analyzed by using one way ANOVA.

From the research study showed that administration of long term Persea

americana Mill. peel decoction with low doses (363 mg/kgBB) and moderate

doses (762 mg/kgBB) can decrease ALP level while high doses (1600 mg/kgBB) was not enough to decrease the ALP level on Wistar rats induced by carbon tetrachloride to approach normal values. The results also showed that there was no kinship between doses ranked Persea americana Mill. peel decoction and the effect of decreasing ALP level.

(20)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Hati merupakan kelenjar metabolik terbesar yang penting bagi tubuh dan merupakan tempat terjadinya metabolisme xenobiotik tertentu. Ini berarti bahwa hepatosit memiliki resiko paparan metabolit toksik yang dihasilkan dari metabolisme beberapa agen toksik (Stine dan Brown, 1996). Paparan metabolit toksik ini menyebabkan hati rentan mengalami kerusakan. Ada beberapa jenis kerusakan hati, salah satunya adalah perlemakan hati (steatosis). Perlemakan hati adalah penyakit hati kronis yang paling umum di dunia, yang mempengaruhi semua ras, etnis, dan kelompok umur serta jenis kelamin. Perlemakan hati telah menjadi masalah umum baik negara maju maupun berkembang (Zhou, et al., 2007).

Menurut Kantor Statistik Nasional di Inggris, penyakit hati terutama perlemakan hati menjadi penyebab kematian paling umum kelima setelah penyakit jantung, stroke, penyakit paru-paru dan kanker. Perlemakan hati diakui sebagai penyakit hati yang paling umum terjadi di negara-negara Barat. Data yang diperoleh dari uji klinis dan studi otopsi menunjukkan bahwa 20% -30% orang di negara Barat memiliki perlemakan hati. Dalam populasi umum, prevalensi perlemakan hati yang bukan disebabkan oleh alkohol berkisar 3% -24% di dunia,

(21)

20% -25% di Italia, 30% di Israel, 16% di Korea, 14% di Jepang dan 15% di Shanghai, Cina (Zhou, et al., 2007). Berdasarkan jumlah prevalensi penyakit hati tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap sumber daya hayati sebagai alternatif obat baru.

Kerusakan hati (hepatotoksisitas) dapat terjadi akibat paparan racun berbagai bahan kimia buatan termasuk senyawa kimia industri, pestisida, dan obat-obatan. Beberapa senyawa kimia model yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas antara lain karbon tetraklorida (CCl4) dan parasetamol (Hodgson,

2010). Pada penelitian ini menggunakan senyawa model yaitu karbon tetraklorida. Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan hepatotoksin yang menghasilkan

senyawa radikal dan menginduksi terjadinya peroksidasi lipid, merusak membran sel-sel hati serta organel. Karbon tetraklorida dapat menginduksi kerusakan hati melalui pembentukan radikal bebas reaktif yang dapat berikatan kovalen dengan makromolekul seluler seperti asam nukleat, protein dan lipid membentuk adisi melalui induksi hypomethylated RNA ribosom (Lin, Tseng, Wang, Lin, Lo, dan Chou, cit., Al-Dbass, Al-Daihan, dan Bhat, 2012). Hasil dari reaksi ini adalah radikal lipid yang akan mengaktifkan senyawa oksigen reaktif dan selanjutnya akan mengakibatkan peroksidasi lipid dan terjadi steatosis (Timbrell, 2009).

Kerusakan hati menyebabkan peningkatan serum seperti Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Piruvic Transaminase

(SGPT), Alkaline Phosphatase (ALP) dan Total Bilirubin (TB). Hal ini mengindikasikan adanya kerusakan seluler dan hilangnya fungsi integritas membran sel pada hati (Kiran, Raju, dan Rao, 2012). Salah satu enzim yang dapat

(22)

digunakan sebagai penanda adanya kerusakan hati adalah alkaline phospatase (ALP). Enzim ALP ini mengindikasikan kerusakan pada epitelium saluran empedu (Hodgson, 2010). Peningkatan kadar serum ALP dari hati adalah indikator yang sensitif terhadap kolestasis (penghentian aliran empedu) (Talwar and Srivastava, 2003).

Pemberian karbon tetraklorida dapat menyebabkan peningkatan kadar serum ALP. Hal ini disebabkan karena karbon tetraklorida menghasilkan radikal bebas dan dapat mempengaruhi permeabilitas selular hepatosit (Kumar, Sivaraj, Elumalai, dan Kumar, 2009). Pengukuran kadar enzim ALP dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kerusakan hati yang terjadi. Kadar ALP akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar ALT dalam darah jika terjadi kerusakan hati. Penginduksian hati dengan karbon tetraklorida akan menyebabkan kenaikan kadar ALT sebesar dua kali dari normal yang diikuti dengan kenaikan ALP sebesar satu setengah kali dari normal (Arhoghro, Ekpo, and Ibeh, 2009).

Alpukat (Persea americana Mill.) merupakan jenis tanaman yang dikenal berfungsi sebagai antioksidan dan memiliki zat gizi berupa lemak yaitu 9,8 g/100 g daging buah (Malangngi, Meiske, dan Jessy, 2012). Sebagian besar masyarakat memanfaatkan alpukat pada daging buahnya saja sedangkan bagian lain seperti kulit buah kurang dimanfaatkan padahal menurut Vinha, Moreira, dan Barreira (2013), kulit alpukat juga memiliki kandungan antioksidan yang berguna untuk pengobatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vinha, et al. (2013), kandungan yang terdapat dalam kulit alpukat (P. americana Mill.) antara lain flavonoid dan

(23)

senyawa fenolik lainnya, karotenoid, vitamin C dan vitamin E. Kulit alpukat (P.

americana Mill.) Algravian jenis Hass mengandung 59% karotenoid. Baik kulit

maupun biji alpukat sangat kaya akan antioksidan. Biji memiliki kandungan flavonoid dan senyawa fenolik yang lebih besar dari kulit sementara kulit lebih kaya akan karotenoid dibanding biji. Adanya kadar antioksidan dari kulit alpukat juga ditunjukkan terhadap DPPH yaitu sebesar 35%. Hal ini didukung pula oleh penelitian sebelumnya oleh Kumalasari (2013) yang membuktikan bahwa pemberian jangka panjang dekok biji P. americana Mill. memiliki efek hepatoprotektif terhadap kadar ALT-AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang dekok kulit P. americana Mill. terhadap kadar ALP pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Bentuk sediaan yang digunakan adalah dekok karena pembuatan sediaan tersebut mendekati cara perebusan yang banyak digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu cara untuk memperoleh khasiat dari suatu tanaman. Penelitian ini dilakukan dalam jangka panjang untuk mengetahui pengaruh pemberian dekok kulit P.

americana Mill. terhadap sintesis ALP pada hati hewan uji.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

(24)

a. Apakah pemberian jangka panjang dekok kulit P. americana Mill. dapat memberikan pengaruh terhadap kadar ALP pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida ?

b. Apakah ada kekerabatan antara dosis dengan penurunan kadar ALP ? 2. Keaslian penulisan

Penelitian mengenai kulit P. americana Mill. pernah dilakukan oleh Vinha, et al. (2013). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kandungan yang terdapat dalam kulit alpukat (P. americana Mill.) antara lain flavonoid dan senyawa fenolik lainnya, karotenoid, vitamin C dan vitamin E. Baik kulit maupun biji alpukat sangat kaya akan antioksidan. Biji memiliki kandungan flavonoid dan senyawa fenolik yang lebih besar dari kulit sementara kulit lebih kaya akan karotenoid dibanding biji. Penelitian kulit P. americana Mill. juga pernah dilakukan oleh Carpena, Morcuende, Andrade, Kylli, dan Estevez (2011). Hasil penelitian mereka menemukan bahwa kulit alpukat kaya akan katekin, procyanidin, dan asam hidroksisinamat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kumalasari (2013) tentang biji P. americana Mill. membuktikan bahwa pemberian jangka panjang dekok biji P. americana Mill. memiliki efek hepatoprotektif terhadap kadar ALT-AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida.

Sepanjang penelusuran pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian terkait dengan pengaruh pemberian jangka panjang dekok kulit P. americana Mill. terhadap penurunan kadar ALP pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida belum pernah dilakukan.

(25)

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kefarmasian dalam penggunaan dekok kulit P. americana Mill. untuk menurunkan kadar ALP dalam serum darah.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini mampu memberikan informasi kepada masyarakat mengenai dosis efektif pemberian dekok kulit P. americana Mill. yang memiliki pengaruh terhadap penurunan kadar ALP.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jangka panjang dekok kulit P. americana Mill. terhadap kadar ALP pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

2. Tujuan khusus

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerabatan antara peringkat dosis dengan penurunan kadar ALP.

(26)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hati 1. Anatomi dan fisiologi hati

Hati merupakan organ terbesar pada tubuh, menyumbang sekitar 2 persen berat tubuh total atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa (Guyton and Hall, 2006). Hati memiliki berat sekitar 1400 g pada orang dewasa dan dibungkus oleh suatu simpai fibrosa. Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di ruang peritonium tepat di bawah sisi kanan diafragma dan di bawah rongga dada. (McPhee and Ganong, 2010).

Hati dibagi menjadi empat lobus :

1. Lobus sinistra, terletak sebelah kiri dari bidang median 2. Lobus dekstra, di sebelah kanan dari bidang median 3. Lobus kaudatus, sebelah bawah bagian ekor

4. Lobus kuadratus, di belakang berbatas dengan pars pilorika, ventrikula dan duodenum superior (Syaifuddin, 2010).

Hati tersusun dari unit fungsional dasar yaitu lobulus hati yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus sendiri terbentuk dari banyak lempeng sel hati (Gambar. 1) yang menyebar dari vena sentralis (Guyton and Hall, 2006). Lempeng hepatosit umumnya hanya memiliki

(27)

ketebalan satu sel, dan setiap lempeng dipisahkan satu sama lain oleh ruang vaskular yang dinamai sinusoid. Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa jaringan sel retikuloendotel tempat hepatosit berada terdiri atas beragam jenis sel. Beberapa sel yang penting antara lain sel endotel yang membentuk dinding sinusoid, makrofag khusus yang disebut sel Kupffer (melekat pada ruang sinusoid), dan sel stelata atau liposit (sel penyimpan lemak yang berperan dalam metabolisme vitamin A) yang terletak antara hepatosit dan sel endotel (McPhee and Ganong, 2010).

Gambar 1. Komponen histologis hati (Tortora and Derrickson, 2008)

Lapisan endotel sinusoid vena mempunyai pori-pori yang sangat besar, beberapa di antaranya berdiameter hampir 1 mikrometer. Pada bagian bawah lapisan ini, terdapat ruang jaringan yang sangat sempit disebut ruang disse (dikenal sebagai ruang perisinusidal). Ruang disse ini terletak di antara sel endotel

(28)

dan sel hati. Jutaan disse menghubungkan pembuluh limfe di dalam pembuluh septum interlobularis (Guyton and Hall, 2006).

Hati menerima hampir 25 % curah jantung, yaitu sekitar 1500 mL darah per menit, melalui dua sumber yaitu aliran vena dari vena portal dan darah arteri dari arteri hepatik (McPhee and Ganong, 2010). Arteri hepatik membawa darah dari sirkulasi sitemik dan vena portal membawa darah secara langsung dari saluran pencernaan. Darah keluar dari hati melalui vena hepatik dan empedu keluar melalui saluran hepatik (Stine and Brown, 1996).

Peran hati dalam sistem pencernaan adalah sekresi garam empedu yang membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Hati juga melakukan berbagai fungsi yang tidak berkaitan dengan pencernaan, antara lain :

1. Memetabolisme nutrien utama yaitu karbohidrat, protein dan lemak setelah zat-zat ini diserap dari saluran cerna.

2. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh, hormon, obat serta senyawa asing lainnya.

3. Membentuk protein plasma.

4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan vitamin. 5. Mengaktifkan vitamin D bersama-sama dengan ginjal.

6. Mengeluarkan bakteri maupun sel darah merah yang sudah tua dengan adanya makrofag.

7. Mengekskresikan kolesterol dan bilirubin.

(29)

Hati merupakan kelenjar metabolik terbesar yang penting dalam tubuh dan merupakan tempat di mana terjadi metabolisme xenobiotik tertentu. Hal ini menandakan bahwa hepatosit memiliki resiko terkena paparan metabolit toksik yang dihasilkan dari metabolisme beberapa zat toksik. Perjalanan darah langsung ke hati yang berasal dari saluran pencernaan di mana xenobiotik diabsorpsi akan meningkatkan kerentanan sel hati untuk terserang agen toksik (Stine and Brown, 1996).

Hati mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk mengembalikan dirinya sendiri setelah kehilangan jaringan hati yang bermakna. Regenerasi ini berlangsung sangat cepat dan membutuhkan waktu hanya 5 sampai 7 hari pada tikus. Selama regenerasi hati, hepatosit diperkirakan mengalami replikasi sebanyak satu atau dua kali, dan setelah tercapai ukuran dan volume hati sebelumnya, hepatosit kembali kepada keadaan semula. Pengaturan regenerasi hati ini mungkin dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan hepatosit (hepatocyte

growth factor, HGF) yang dapat menyebabkan pembelahan dan pertumbuhan sel

hati (Guyton and Hall, 2006).

2. Kerusakan hati

Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati. Macam-macam jenis kerusakan hati yang dihasilkan oleh toksikan, antara lain :

a. Perlemakan hati (Steatosis)

(30)

lipid yang abnormal, terutama sebagai trigliserida pada hepatosit karena adanya ketidakseimbangan antara uptake trigliserida ekstrahepatik dan sekresi trigliserida yang mengandung lipoprotein dengan katabolisme asam lemak (Hodgson, 2010). Paparan akut senyawa seperti karbon tetraklorida, etionin, dan tetrasiklin (antibiotik) atau paparan kronis etanol dapat menghambat sekresi trigliserida yang mengarah pada perkembangan perlemakan hati di mana 5% sampai 50% dari berat hati adalah lemak (Stine and Brown, 1996). b. Nekrosis hati

Nekrosis hati adalah kematian hepatosit (Lu, 1995). Nekrosis merujuk pada hilangnya viabilitas (kelangsungan hidup) sel secara irreversibel yang terjadi akibat sel tidak berfungsi secara normal (Hodgson, 2010). Nekrosis hepatosit ditandai dengan akumulasi vakuola di sitoplasma, kerusakan retikulum endoplasma, pembengkakan mitokondria, kerusakan nukleus, dan gangguan pada membran plasma (Stine and Brown, 1996). Nekrosis dapat bersifat focal (terbatas pada kawasan tertentu), zonal, difus, atau masif, dan lokasinya sering digambarkan dengan menggunakan istilah centrilobular, midzonal, atau periportal (Stine and Brown, 1996). Pada area nekrosis, terdapat peningkatan warna eosinofil pada sitoplasma dan adanya respon imun yang ditandai dengan infiltrasi neutrofil ke area yang rusak (Hodgson, 2010).

c. Kolestasis

Kolestasis merupakan penekanan atau penghentian aliran empedu yang disebabkan oleh faktor dalam ataupun faktor luar dari hati. Peradangan atau

(31)

penyumbatan pada saluran empedu mengakibatkan akumulasi retensi garam empedu, akumulasi bilirubin, dan peristiwa yang mengarah jaundice (Hodgson, 2010). Jaundice merupakan kondisi yang ditandai dengan perubahan warna kekuningan pada mata dan kulit (akibat penumpukan pigmen empedu seperti bilirubin). Kolestasis biasanya terjadi setelah pemberian obat-obatan seperti steroid, fenotiazin, dan anti depresi trisiklik (Stine and Brown, 1996).

d. Fibrosis

Bahan kimia yang termasuk hepatotoksin menyebabkan kerusakan hepatosit yang mengakibatkan fibrosis hati sebagai bagian dari respon penyembuhan luka. Fibrosis ditandai dengan adanya deposisi kolagen, proteoglikan, dan glikoprotein. Hasil dari fibrosis kronis pada pembentukan matriks ekstraseluler dapat diamati secara histopatologi. Setelah paparan toksikan, sel-sel stellata hati berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel-sel seperti fibroblast yang mengeluarkan komponen matriks ekstraseluler. Fibrosis yang luas dapat mengganggu struktur hati dan aliran darah yang mengakibatkan kerusakan hati secara ireversibel (Hodgson, 2010).

e. Sirosis

Sirosis merupakan hepatotoksisitas yang ditandai dengan adanya penumpukan kolagen di seluruh hati dan mengakibatkan terbentuknya jaringan parut. Pada banyak kasus, sirosis terjadi karena adanya paparan senyawa kimia secara kronis yang mengakibatkan terjadinya akumulasi pada matriks ekstraseluler dan menyebabkan restriksi pada aliran darah,

(32)

menghambat metabolisme normal hati, dan proses detoksifikasi (Hodgson, 2010).

f. Apoptosis

Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang dikendalikan yang berfungsi sebagai regulasi untuk proses biologis dan dapat dianggap sebagai proses kebalikan dari pembelahan sel secara mitosis. Mekanisme kematian sel dari apoptosis tidak seperti nekrosis karena apoptosis sangat aktif selama masa perkembangan dan proses penuaan. Meskipun apoptosis adalah proses fisiologis normal namun juga dapat disebabkan oleh sejumlah faktor eksogen seperti xenobiotik kimia, stres oksidatif, anoksia dan radiasi. Apoptosis dapat dibedakan dari nekrosis dilihat dari kriteria morfologi, baik menggunakan mikroskop cahaya ataupun mikroskop elektron. Tanda dari apoptosis adalah tidak ada infiltrasi inflamasi. Namun, racun tidak selalu bertindak secara jelas, beberapa toksikan dapat menginduksi terjadinya apoptosis dan nekrosis baik secara bersamaan atau berurutan (Hodgson, 2010).

g. Hepatitis

Hepatitis adalah peradangan hati dan biasanya disebabkan oleh virus. Namun senyawa kimia tertentu seperti obat dapat menginduksi hepatitis yang mirip seperti yang dihasilkan oleh infeksi virus. Hal ini ditandai dengan peningkatan sel imun dan jenis kerusakan hati ini kadang-kadang dikaitkan dengan hepatotoksin tertentu seperti diklofenak. Respon hepatitis ini biasanya tidak terbukti pada hewan laboratorium namun hanya terjadi pada individu

(33)

yang rentan. Kejadian penyakit hepatitis karena hepatotoksin ini tergolong sangat rendah (Hodgson, 2010).

h. Karsinogenesis

Karsinoma hepatoseluler dan kolangiokarsinoma adalah jenis neoplasma ganas yang paling umum pada hati. Jenis karsinoma lainnya antara lain angiosarkoma, karsinoma kelenjar, karsinoma trabekular, dan karsinoma sel hati yang tidak berdiferensiasi (Lu, 1995). Karsinogen hepatik yang potensial antara lain aflatoxin dan vynil chloride. Aflatoxin merupakan toksin yang diproduksi oleh jamur yang tumbuh di gandum dan makanan lainnya sementara vynil chloride merupakan senyawa kimia yang digunakan pada pembuatan polyvinyl chloride (PVC) yang dapat menyebabkan kanker hati (disebut angiosarcoma) (Stine and Brown, 1996).

3. Hepatotoksin

Hepatotoksin diklasifikasi menjadi dua, yaitu: a) Hepatotoksin teramalkan (Tipe A)

Hepatotoksin ini merupakan senyawa yang dapat merusak hati jika diberikan dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan efek toksik. Jadi jenis hepatotoksin ini bergantung dari jumlah dosis pemberian senyawa. Parasetamol dan karbon tetraklorida merupakan contoh hepatotoksin teramalkan (Forrest, 2006).

(34)

b) Hepatotoksin tak teramalkan (Tipe B)

Hepatotoksin tersebut tidak bersifat toksik, dan hanya memberikan efek toksik pada orang-orang tertentu, sehingga hepatotoksin jenis ini tidak bergantung pada dosis pemberian. Contoh senyawa yang termasuk jenis ini adalah isoniazid dan clorpromazine (Forrest, 2006).

B. Karbon Tetraklorida

Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan molekul sederhana yang sangat

larut dalam lemak sehingga dapat terdistribusi dengan baik di dalam tubuh namun efek utamanya adalah toksik pada hati. Karbon tetraklorida dimetabolisme oleh enzim CYP2E1. Hal inilah yang menyebabkan hati menjadi target utama dari toksisitas CCl4 (Timbrell, 2009). Karbon tetraklorida adalah hepatotoksin yang

dimetabolisme menjadi radikal bebas yang dapat menginduksi terjadinya peroksidasi lipid, merusak membran sel-sel hati dan organel. Karbon tetraklorida juga dapat menyebabkan pembengkakan dan nekrosis hepatosit. Karbon tetraklorida dapat menginduksi kerusakan hati melalui pembentukan radikal bebas reaktif yang dapat berikatan kovalen dengan makromolekul seluler seperti asam nukleat, protein dan lipid membentuk adisi melalui induksi hypomethylated RNA ribosom (Lin, Tseng, Wang, Lin, Lo, dan Chou, cit., Al-Dbass, et al., 2012).

Karbon tetraklorida (Gambar. 2) akan dikonversi oleh enzim di hati menjadi radikal triklorometil (CCl3•) dan kemudian diubah menjadi radikal

triklorometilperoksi (CC3O2•) yang bersifat lebih reaktif (Hodgson, 2010).

(35)

reaksi. Senyawa reaktif tersebut merusak sitokrom P-450, termasuk enzim CYP2E1 itu sendiri, dan retikulum endoplasma (Timbrell, 2009).

Radikal bebas triklorometil dapat berikatan secara kovalen dengan mikrosomal lipid dan protein, serta akan bereaksi secara langsung dengan membran fosfolipid dan kolesterol sehingga menyebabkan toksisitas pada hati. Reaksi radikal bebas triklorometil (Gambar. 2) juga akan menghasilkan kloroform yang merupakan salah satu metabolit dari karbon tetraklorida. Hasil lain dari reaksi ini adalah radikal lipid yang akan mengaktifkan senyawa oksigen reaktif yang selanjutnya mengakibatkan peroksidasi lipid dan menyebabkan toksisitas. Radikal triklorometilperoksi dapat menghasilkan phosgene dan klorin elektrofilik yang juga akan menyebabkan toksisitas pada hati (Timbrell, 2009).

Gambar 2. Mekanisme oksidasi dan biotransformasi karbon tetraklorida (Timbrell, 2009)

(36)

Pemberian karbon tetraklorida dapat mengakibatkan trigliserida menumpuk di hepatosit dan tampak sebagai droplet lipid. Lipid dalam hepatosit ini menghambat sintesis protein dan mengakibatkan berkurangnya produksi lipoprotein kompleks. Lipoprotein kompleks bertanggung jawab terhadap transport lipid keluar dari hepatosit. Gangguan ini mengakibatkan lipid terakumulasi dalam hepatosit dan terjadi steatosis (Timbrell, 2009). Selain itu, terjadi pula kerusakan pada mitokondria, penurunan jumlah ATP sebagai hasil kegagalan transport ion dan pembengkakan sel yang progresif, serta kerusakan membran plasma akibat produksi aldehid lemak dari peroksidasi lipid di retikulum endoplasma. Pada akhirnya, toksisitas karbon tetraklorida akan menyebabkan terjadinya influks kalsium dan kematian sel. Penyakit hepatoseluler ini menyebabkan peningkatan aktivitas ALP di darah akibat kebocoran plasma membran sel (Sacher and McPherson, 2002).

C. Evaluasi kerusakan hati

Ada beberapa metode baik klinis maupun eksperimental yang digunakan untuk menguji kerusakan hati. Uji serum enzim digunakan untuk mencari kadar enzim dalam darah yang secara normal ditemukan pada sel hepatosit. Peningkatan kadar serum beberapa enzim mungkin mengindikasikan kerusakan hepatosit yang selanjutnya mengindikasikan kebocoran enzim. Enzim-enzim yang biasanya digunakan untuk menguji kerusakan hati antara lain AST, ALT, ALP, serum

(37)

terhadap kerusakan hati dibandingkan dengan yang lain (yang mungkin dapat meningkat ketika terjadi kerusakan pada jaringan lain) (Stine and Brown, 1996).

Enzim ALT dan AST merupakan enzim penanda yang sangat sensitif terhadap kerusakan hati. Enzim-enzim ini digunakan untuk menilai dan memonitoring tingkat peradangan hati dan nekrosis. Enzim ALT lebih spesifik untuk uji kerusakan hati dibanding AST. Hal ini disebabkan karena enzim AST dapat meningkat jika terjadi kerusakan jaringan lain seperti infark miokard, nekrosis otot, gangguan ginjal, gangguan otak dan hemolisis intravaskular (Talwar and Srivastava, 2003).

Enzim lain yang dapat digunakan untuk menguji kerusakan hati adalah ALP. Enzim ALP ini mengindikasikan kerusakan pada epitelium saluran empedu di hati sehingga menjadi indikator terjadinya kolestasis (Hodgson, 2010). Jumlah ALP akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar ALT dalam darah jika terjadi kerusakan hati. Penginduksian hati dengan salah satu hepatotoksin yaitu karbon tetraklorida akan menyebabkan kenaikan kadar ALT sebesar dua kali dari normal yang diikuti dengan kenaikan ALP sebesar satu setengah kali dari normal (Arhoghro, et al., 2009).

Enzim LDH dapat digunakan pula untuk menguji kerusakan hati. Kadar LDH akan meningkat jika terjadi kerusakan pada sel hati. LDH memang dapat digunakan untuk menguji kerusakan hati namun tidak spesifik bila dibandingkan dengan enzim yang lain. Hal ini disebabkan peningkatan kadar LDH juga dipengaruhi oleh penyakit ekstrahepatik (Talwar and Srivastava, 2003).

(38)

D. Alkalin Fosfatase

Alkaline phosphatase (ALP) merupakan kelompok isoenzim yang

menghidrolisis sejumlah ester fosfat sehingga menghasilkan fosfat anorganik pada pH basa untuk penyerapan oleh jaringan (Gines and Kamath, 2011). ALP memiliki kadar maksimum pada pH 9,0-10,0. ALP adalah anggota famili enzim metaloprotein yang melepaskan fosfat dari ester fosfat organik (Weatherby and Ferguson, 2002). Enzim ini paling banyak terdapat di hati yaitu di membran kanalikuli dan membran sinusoid. Selain di hati, enzim ini juga berada di jaringan lain seperti tulang, ginjal, plasenta dan usus (Talwar and Srivastava, 2003).

Total ALP terdiri dari 5 isoenzim ALP. Peningkatan satu atau lebih dari isoenzim tersebut merupakan indikasi dari masalah dalam jaringan tertentu yang berhubungan dengan peningkatan isoenzim. Lima isoenzim ALP tersebut yaitu : 1. Isoenzim hati A2

- Isoenzim utama pada hati

- Paling sering meningkat seiring dengan peningkatan total serum ALP - Terjadi peningkatan pada penyakit hati

2. Isoenzim hati A1

- Dikenal sebagai “fast liver isoenzym”

- Berhubungan kuat dengan adanya metastasis kanker hati 3. Isoenzim tulang

- Peningkatan isoenzim tulang ini berkaitan dengan peningkatan kadar osteoblastik pada tulang

(39)

- Akan meningkat seiring dengan pertumbuhan tulang dan penyembuhan fraktur tulang

4. Isoenzim usus

- Pada seseorang dengan golongan darah O dan B, akan terjadi peningkatan isoenzim ALP usus 2 - 4 jam setelah makan makanan yang berlemak. ALP usus terlibat dalam pemecahan makanan yang mengandung kolesterol dan terhadap penyerapan kalsium.

- Seseorang dengan golongan darah O memiliki kadar ALP usus paling besar - Seseorang dengan golongan darah A memiliki kadar ALP usus paling kecil 5. Isoenzim plasenta

- Fraksi ini secara normal meningkat pada masa kehamilan dan dapat menyebabkan peningkatan total serum ALP

(Weatherby and Ferguson, 2002). Secara normal, ALP dari darah diambil oleh sel-sel parenkim hati dan diekskresikan ke dalam empedu. Jika terdapat obstruksi pada saluran empedu, maka akan terjadi aliran balik enzim ini ke dalam darah sehingga kadar ALP dalam darah akan meningkat (Talwar and Srivastava, 2003). Obstruksi saluran empedu intrahepatik biasanya disebabkan oleh kerusakan akut pada sel-sel hati (hepatitis virus, sirosis aktif) serta adanya tumor di hati sementara pada perlemakan hati terjadi sedikit peningkatan ALP (Weatherby and Ferguson, 2002). Peningkatan kadar ALP dari hati adalah indikator yang sensitif terhadap kolestasis (penekanan atau penghentian aliran empedu). Peningkatan kadar ALP pada kolestasis dikaitkan dengan dua faktor. Pertama, adanya pengeluaran ALP

(40)

dari empedu ke dalam darah. Kedua, adanya peningkatan sintesis ALP pada membran kanalikuli. Enzim ALP mungkin terlarut oleh asam empedu yang tersimpan kemudian dikeluarkan ke dalam aliran darah (Talwar and Srivastava, 2003).

E. Antioksidan

Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi, 2007).

Antioksidan dapat menghambat pembentukan radikal bebas dan mengganggu penyebaran radikal bebas melalui salah satu (atau lebih) dari beberapa mekanisme berikut ini : (1) menghilangkan zat yang memulai peroksidasi, (2) mengkelat ion logam sehingga tidak dapat menghasilkan zat reaktif atau menyebabkan peroksidasi lipid, (3) berikatan dengan •O2- untuk

mencegah pembentukan peroksida, (4) memutuskan reaksi berantai autooksidatif, dan (5) mengurangi konsentrasi O2 yang terlokalisasi (Brewer, 2011).

(41)

F. Persea americana. Mill 1. Sinonim

Laurus persea L., Persea americana var. drymifolia (Schldtl & Cham.)

S. F. Blake, Persea gratissima C. F. Gaertn., Persea americana var. nubigena (L. O. Williams) L.E. Kopp, Persea persea (L.) Cockerell

2. Nama daerah

avokat, advokat, apokat, adpokat, apuket 3. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Magnoliidae Ordo : Laurales Famili : Lauraceae Genus : Persea

Spesies : Persea americana Mill.

(Yasir, Das dan Kharya, 2010). 4. Kandungan kimia

Dalam penelitian Arukwe, et al. (2012), komponen fitokimia yang terdapat pada biji P. americana Mill. adalah saponin, tannin, flavonoid, glikosida

(42)

sianogenik, alkaloid, fenol dan steroid. Sementara pada daun dan buah memiliki komponen fitokimia seperti saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, fenol dan steroid. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Vinha, et al. (2013), kandungan yang terdapat dalam kulit alpukat (P. americana Mill.) antara lain flavonoid dan senyawa fenolik lainnya, karotenoid, vitamin C dan vitamin E. Kulit alpukat memiliki senyawa fenolik yang tinggi dan merupakan antioksidan potensial secara

in vitro dibanding dengan daging buahnya. Menurut penelitian Carpena, et al.

(2011), kulit alpukat juga mengandung katekin, procyanidin, dan asam hidroksisinamat (Carpena, et al., 2011).

5. Khasiat dan kegunaan

Dalam dunia pengobatan, alpukat telah banyak digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit. Daging buahnya bisa mengurangi rasa sakit dan mengobati sariawan (Marlinda, Sangi, dan Wuntu, 2012). Daun buah alpukat memiliki kadar anti-inflamasi dan analgesik (Idris, Ndukwe, dan Gimba, 2009). Selain buah dan daunnya, biji alpukat (P. americana Mill.) juga banyak diaplikasikan dalam pengobatan, mulai dari pengobatan diare, disentri, sakit gigi, parasit usus hingga pengobatan pada daerah kulit (Malangngi,

et al., 2012).

Biji alpukat memiliki kandungan antioksidan yang berguna untuk pengobatan (Malangngi, et al., 2012). Berdasarkan penelitian Kumalasari (2013), dibuktikan bahwa pemberian jangka panjang dekok biji P. americana Mill. memiliki efek hepatoprotektif terhadap kadar ALT-AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida. Bukan hanya biji alpukat saja yang memiliki

(43)

antioksidan, kulit alpukat pun juga memiliki antioksidan (Vinha, et al., 2013). Antioksidan bermanfaat sebagai senyawa yang berperan untuk melindungi tubuh dari hepatotoksin (AlWasel and Bashandy, 2011).

G. Landasan Teori

Hati merupakan organ terbesar pada tubuh, menyumbang sekitar 2 % berat tubuh total atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa (Guyton and Hall, 2006). Hati merupakan kelenjar metabolik terbesar yang penting dalam tubuh dan merupakan tempat terjadinya metabolisme xenobiotik tertentu. Hal ini menyebabkan hepatosit memiliki resiko terpapar metabolit toksik sehingga rentan mengalami kerusakan (Stine dan Brown, 1996). Ada beberapa jenis kerusakan hati, antara lain perlemakan hati (steatosis), nekrosis, kolestasis, fibrosis, sirosis, apoptosis, hepatitis, dan karsinogenesis (Hodgson, 2010; Stine and Brown, 1996).

Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan hepatotoksin yang dapat

menginduksi terjadinya peroksidasi lipid, merusak membran sel-sel hati dan organel. Karbon tetraklorida ini menginduksi kerusakan hati melalui pembentukan radikal bebas reaktif yang dapat berikatan kovalen dengan makromolekul seluler seperti asam nukleat, protein dan lipid (Lin, Tseng, Wang, Lin, Lo, dan Chou, cit., Al-Dbass, et al., 2012). Reaksi tersebut menghasilkan radikal lipid yang akan mengaktifkan senyawa oksigen reaktif dan selanjutnya akan mengakibatkan peroksidasi lipid dan terjadi steatosis (Timbrell, 2009). Toksisitas karbon tetraklorida ini juga akan menyebabkan terjadinya influks kalsium dan kematian

(44)

sel. Penyakit hepatoseluler ini menyebabkan peningkatan aktivitas ALP di darah akibat kebocoran plasma membran sel (Sacher and McPherson, 2002).

Ada beberapa metode baik klinis maupun eksperimental yang digunakan untuk menguji kerusakan hati. Uji enzim digunakan untuk mencari kadar enzim dalam darah yang secara normal ditemukan pada sel hepatosit. Salah satu enzim yang digunakan untuk menguji kerusakan hati adalah ALP. Peningkatan kadar serum ALP dari hati adalah indikator yang sensitif terhadap kolestasis (penekanan atau penghentian aliran empedu) (Talwar and Srivastava, 2003). Jumlah ALP akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar ALT dalam darah jika terjadi kerusakan hati. Penginduksian hati dengan salah satu hepatotoksin yaitu karbon tetraklorida akan menyebabkan kenaikan kadar ALT sebesar dua kali dari normal yang diikuti dengan kenaikan ALP sebesar satu setengah kali dari normal (Arhoghro, et al., 2009).

Biji P. americana Mill. (alpukat) memiliki kandungan antioksidan yang berguna untuk pengobatan (Malangngi, et al., 2012). Pemberian jangka panjang dekok biji P. americana Mill. memiliki efek hepatoprotektif terhadap kadar ALT-AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida (Kumalasari, 2013). Bukan hanya biji P. americana Mill. saja yang memiliki antioksidan, kulit P. americana Mill. pun juga memiliki antioksidan. Kulit P. americana Mill. memiliki senyawa fenolik yang tinggi dan merupakan antioksidan potensial secara in vitro (Vinha, et

al., 2013). Antioksidan bermanfaat sebagai senyawa yang berperan untuk

melindungi tubuh dari hepatotoksin (AlWasel and Bashandy, 2011). Antioksidan ini bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang

(45)

bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi, 2007).

Melalui penelitian ini akan diketahui apakah pemberian jangka panjang dekok kulit P.americana Mill. dapat memberikan pengaruh penurunan ALP pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida dan apakah ada hubungan kekerabatan antara peringkat dosis dengan penurunan kadar ALP.

1. Pemberian jangka panjang dekok kulit P. americana Mill. dapat menurunkan kadar ALP pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida. 2. Ada kekerabatan antara peringkat dosis dengan penurunan kadar ALP.

(46)

27 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan lengkap acak pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel – variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Variabel utama

a. Variabel bebas

Variasi dosis pemberian dekok kulit P. americana Mill. pada tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida.

b. Variabel tergantung

Penurunan kadar ALP tikus jantan galur Wistar yang terinduksi karbon tetraklorida setelah pemberian jangka panjang dekok kulit P.

americana Mill. secara per oral.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Kondisi hewan uji yaitu tikus jantan galur Wistar, berat badan 150 – 250 gram dan berumur 2 – 3 bulan, frekuensi pemberian dekok kulit

P. americana Mill. satu kali sehari selama enam hari berturut-turut

(47)

tikus dilakukan secara intraperitonial dan cara pemberian dekok kulit

P. americana Mill. secara per oral, bahan uji yang digunakan berupa

kulit P. americana Mill. yang diperoleh dari depot es di Yogyakarta. b. Variabel pengacau tak terkendali

Kondisi patologis hewan uji. 3. Definisi operasional

a. Dekok kulit P.americana Mill.

Dekok kulit P. americana Mill. diperoleh dengan menginfundasi 8,0 g serbuk kering kulit P. americana Mill. dalam air sebanyak 16,0 mL, kemudian dipanaskan dalam 100,0 mL air pada suhu 90oC selama 30 menit sehingga diperoleh dekok kulit P. americana Mill..

b. Penurunan ALP

Penurunan ALP adalah menurunnya nilai kadar ALP yang menandakan adanya perbaikan kondisi hati yang dimungkinkan karena kemampuan dekok kulit P. americana Mill. pada dosis tertentu untuk melindungi hati dari hepatotoksin.

c. Pemberian jangka panjang

Pemberian jangka panjang adalah pemberian dekok kulit P. americana Mill. secara per oral pada hewan uji satu kali sehari selama enam hari berturut- turut dalam waktu pemberian yang sama.

(48)

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

a. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan galur Wistar dengan berat badan 150 – 250 gram dan berumur 2 – 3 bulan yang diperoleh dari Laboratorium Imono Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Bahan uji yang digunakan adalah kulit P. americana Mill. yang dikumpulkan dari bulan Juni – Juli 2014 dan diperoleh dari depot es di Yogyakarta.

2. Bahan kimia

a. Senyawa hepatotoksin yang digunakan adalah karbon tetraklorida yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Pelarut senyawa hepatotoksin yang digunakan adalah larutan olive oil (Bertolli®).

c. Kontrol negatif yang digunakan adalah larutan olive oil (Bertolli®). d. Pelarut untuk dekok digunakan aquadest yang diperoleh dari

Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

e. Reagen ALT

Komposisi dan konsentrasi dari reagen ALT Dyasis yang digunakan adalah sebagai berikut.

(49)

Komposisi Konsentrasi R1 : TRIS L-alanin LDH (Lactat Dehydrogenase) 140 mmol/L 700 mmol/L ≥2300 mmol/L R2 : 2-oxogultarate NADH Pyridoxal-5-phosphate FS : Good’s buffer Pyridoxal-5-phosphate 85 mmol/L 1 mmol/L 100 mmol/L 13 mmol/L f. Reagen ALP

Komposisi dan konsentrasi dari reagen ALP Abbott yang digunakan adalah sebagai berikut.

Komposisi Konsentrasi R1 : 2-Amino-2-methylpropanol Magnesium Zinc Sulfate HEDTA > 1,2 mol/L > 7,2 mmol/L > 3,6 mmol/L > 7,2 mmol/L R2 : 4-Nitrophenyl Phosphate > 171,6 mmol/L

D. Alat Penelitian

1. Alat pembuatan serbuk kering kulit P. americana Mill.

Alat – alat yang digunakan antara lain oven, mesin penyerbuk dan ayakan.

2. Alat pembuatan dekok kulit P. americana Mill.

Seperangkat alat gelas berupa panci infundasi, termometer, stopwatch, beaker glass, gelas ukur, cawan porselen, penangas air, kain flanel.

(50)

3. Alat uji sediaan dekok

Seperangkat alat gelas berupa beaker glass, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, pipet tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass®), timbangan analitik Mettler Toledo®, sentrifuge Centurion Scientific®, vortex Genie Wilten®, spuit injeksi per oral dan syringe 3 cc Terumo®, spuit i.p. dan syringe 1 cc Terumo®, pipa kapiler, tabung merk Eppendorf, Microlab 200 Merck®, Architect c8000, stopwatch dan

moisture balance.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi buah P. americana Mill.

Determinasi yang dilakukan adalah dengan mencocokkan ciri-ciri makroskopis buah P. americana Mill. yang diperoleh dari salah satu depot es di Yogyakarta dengan literatur berjudul “Suplement to Avocado Information

Kit” (Agrilink, 2001).

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah kulit P. americana Mill. yang masih segar dan tidak busuk yang diperoleh dari salah satu depot es di Yogyakarta pada bulan Juni-Juli 2014.

3. Pembuatan serbuk kulit P. americana Mill.

Kulit P. americana Mill. dicuci bersih dan dipisahkan dari daging buahnya. Setelah itu, kulit dipatah-patahkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Setelah kulit benar-benar kering, kulit

(51)

dihaluskan dengan blender dan alat penyerbuk lalu diayak dengan ayakan nomor 40.

4. Penetapan kadar air pada serbuk kulit P. americana Mill.

Penetapan kadar air serbuk kulit P. americana Mill. dilakukan dengan menggunakan alat moisture balance menggunakan metode susut bobot pengeringan. Serbuk dipanaskan pada suhu 105˚C sampai didapat bobot konstan. Serbuk ditimbang ulang dan dihitung sebagai bobot sesudah pemanasan. Selisih bobot sebelum pemanasan dan sesudah pemanasan merupakan kadar air dari sampel yang diteliti.

5. Pembuatan dekok serbuk kulit P. americana Mill.

Sebanyak 8,0 g serbuk kering kulit P. americana Mill. dimasukkan ke dalam 16,0 mL pelarut aquadest, kemudian ditambahkan lagi aquadest sebanyak 100,0 mL. Campuran dipanaskan pada suhu 90oC dan suhu dijaga agar tetap konstan selama 30 menit. Waktu 30 menit tersebut dihitung ketika suhu campuran mencapai 90oC. Setelah itu campuran tersebut diambil, diperas dengan kain flanel dan ditambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga didapatkan volume dekok kulit P. americana Mill. yang diinginkan yaitu 100 mL.

6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50 %

Larutan karbon tetraklorida dibuat dengan perbandingan karbon tetraklorida : pelarut adalah 1 : 1, sehingga konsentrasi larutan karbon tetraklorida yang digunakan adalah 50% (Janakat dan Al-Merie, 2002). Pelarut yang digunakan dalam pembuatan larutan ini adalah olive oil.

(52)

7. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis hepatotoksik karbon tetraklorida

Dosis karbon tetraklorida yang digunakan untuk menginduksi kerusakan hati pada tikus jantan galur Wistar adalah 2 mL/kg BB yang diberikan secara intraperitonial satu kali sehari (lama perlakuan satu hari). Dosis karbon tetraklorida ini dipilih berdasarkan dosis hepatotoksiknya terhadap tikus yaitu 2 mL/kg BB. Dosis ini mampu merusak sel-sel hati pada tikus jantan yang ditunjukkan melalui peningkatan kadar ALT-AST tetapi tidak menimbulkan kematian pada hewan uji (Janakat dan Al-Merie, 2002).

b. Penetapan dosis dekok kulit Persea americana Mill.

Peringkat dosis didasarkan pada pengobatan yang biasa digunakan pada masyarakat, yaitu ± 2 sendok makan (4 g) serbuk biji P. americana Mill. yang direbus dengan 250 mL air. Maka dosis perlakuan yang digunakan adalah 4 g/70 kgBB manusia. Konversi dosis tikus (manusia 70 kg ke tikus 200g) = 0,018. Dosis untuk 200 g tikus = 0,018 x 4g = 0,072 g/200 g BB = 360 mg/kgBB. Dosis tersebut digunakan sebagai acuan dosis rendah (Yoseph, 2013).

Dosis tinggi perlakuan yang digunakan yaitu 1600 mg/KgBB yang ditentukan berdasarkan dosis maksimal dekok P. americana Mill. yang dapat dibuat yaitu 8 g/100 mL, dengan asumsi berat badan hewan uji adalah 200 g, dan volume maksimal pemberian dekok secara per oral yaitu 4 mL. Dosis maksimal dekok P. americana Mill. ini didapatkan

(53)

dari hasil orientasi sebelumnya dari penelitian Yoseph (2013) yang memperoleh konsentrasi maksimal serbuk biji P. americana Mill. yang mampu menghasilkan infusa adalah 8 gram dalam 100 mL aquadest. Dosis maksimal infusa biji alpukat ini kemudian digunakan sebagai acuan untuk menentukan dosis maksimal dekok kulit alpukat.

Perhitungan dosis tinggi perlakuan, D x 200 g = 8 g / 100 mL x 4 mL D x 0,200 kg = 80 mg / mL x 4 mL

D = 1600 mg/kgBB

Untuk mendapatkan dosis tengah perlakuan, terlebih dahulu dihitung faktor kelipatan dari dosis rendah dan dosis tinggi yang sudah diperoleh. Perhitungan faktor kelipatan adalah sebagai berikut :

N = Jumlah peringkat dosis yang digunakan. Penelitian ini menggunakan 3 peringkat dosis maka n = 3, sehingga perhitungannya sebagai berikut :

= 2,1 (faktor kelipatan)

Berdasarkan faktor kelipatan yang diperoleh maka dosis tengah dan dosis rendah perlakuan ditentukan sebagai berikut, D = 1600 mg/kg BB : 2,1 = 761,90 ≈ 762 mg/kg BB (dosis tengah) dan D = 762 mg/kg BB : 2,1 = 362,86 ≈ 363 mg/kg BB (dosis rendah).

(54)

c. Penetapan waktu pencuplikan darah

Penetapan waktu pencuplikan darah ditentukan melalui orientasi pada tiga kelompok perlakuan waktu, yaitu pada jam ke – 0, 24 dan 48 setelah pemejanan karbon tetraklorida. Setiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 hewan uji yang pengambilan darahnya dilakukan melalui pembuluh sinus orbitalis mata. Setelah itu diukur kadar serum ALT/SGPT.

8. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji

Hewan uji yang dibutuhkan sebanyak 30 ekor tikus jantan galur Wistar yang dibagi secara acak dalam 6 kelompok masing-masing sejumlah lima ekor tikus.

a. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida yang dilarutkan dalam olive oil dengan dosis 2 mL/kg BB secara intraperitonial satu kali sehari (lama perlakuan satu hari).

b. Kelompok II (kelompok kontrol negatif) diberi olive oil dosis 2 mL/kg BB secara intraperitonial satu kali sehari (lama perlakuan satu hari).

c. Kelompok III (kelompok kontrol dekok) diberi larutan dekok kulit P.

americana Mill. dosis tinggi (1600 mg/kgBB) selama 6 hari berturut-turut

secara per oral.

d. Kelompok IV (dosis 363 mg/kgBB) diberi dekok kulit P. americana Mill. satu kali sehari selama 6 hari berturut-turut secara per oral.

e. Kelompok V (dosis 762 mg/kgBB) diberi dekok kulit P. americana Mill. satu kali sehari selama 6 hari berturut-turut secara per oral.

(55)

f. Kelompok VI (dosis 1600 mg/kgBB) diberi dekok kulit P. americana Mill. satu kali sehari selama 6 hari berturut-turut secara per oral.

Pada hari ke tujuh, kelompok perlakuan (IV-VI) diberi larutan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kg BB secara intraperitonial setelah pemberian dekok 6 hari berturut-turut. Dua puluh empat jam setelah induksi karbon tetraklorida, tikus diambil darahnya melalui sinus orbitalis mata untuk pengukuran kadar enzim ALP.

9. Pembuatan serum

Darah diambil melalui sinus orbitalis mata hewan uji, ditampung dalam tabung dan didiamkan selama 15 menit. Darah hewan uji yang ditampung pada tabung kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit, lalu diambil bagian supernatannya.

10. Pengukuran kadar ALT pada uji pendahuluan

Pengukuran kadar ALT serum hewan uji pada uji pendahuluan ini dilakukan dengan menggunakan alat Microlab 200 Merck®. Pengukuran kadar ALT ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Kadar ALT dinyatakan dalam U/L yang diukur pada panjang gelombang 340 nm, suhu 37oC.

Pengukuran kadar ALT dilakukan dengan mencampur 100 μL serum dengan 1000 μL reagen 1, kemudian divortex selama 5 detik dan didiamkan selama 2 menit. Campuran tadi kemudian ditambahkan dengan 250 μL reagen 2 dan divortex selama 5 detik selanjutnya didapatkan hasil kadar ALT setelah 1 menit.

(56)

11. Pengukuran kadar ALP

Pengukuran kadar ALP serum hewan uji dilakukan dengan menggunakan alat Architect c8000. Pengukuran kadar ALP ini dilakukan di Parahita Diagnostic Center Yogyakarta. Reagen yang digunakan adalah Reagen Kit yang terdiri dari reagen 1 dan reagen 2. Kadar ALP dinyatakan dalam U/L yang diukur pada panjang gelombang 405 nm, suhu 37oC.

Prosedur pengukuran kadar ALP ini menggunakan sistem Architect dan

Aeroset. Prosedur dilusi atau pengenceran dengan sistem ini secara otomatis

memperbaiki nilai aktivitas enzim dengan mengalikan hasilnya dengan faktor pengenceran yang tepat. Semua prosedur baik pengenceran, penambahan reagen maupun pencampuran bahan dilakukan secara otomatis oleh alat.

Langkah-langkah pengukuran kadar ALP ini adalah sebagai berikut, pertama serum dari sampel diambil sebanyak 100 μL kemudian dilakukan pengenceran secara otomatis oleh alat. Serum 100 μL yang telah diencerkan kemudian ditambah dengan 1000 μL reagen 1. Campuran tadi kemudian ditambahkan dengan 250 μL reagen 2. Hasil kadar yang didapatkan akan terbaca pada komputer yang terhubung dengan alat Architect c8000.

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data kadar ALP diuji dengan Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui distribusi data tiap kelompok hewan uji. Apabila didapat distribusi data yang normal maka analisis dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan masing-masing kelompok. Tahap selanjutnya dilakukan uji Scheffe untuk melihat perbedaan

(57)

bermakna (signifikan) (p<0,05) atau tidak bermakna (tidak signifikan) (p>0,05) dari masing-masing kelompok, namun bila didapatkan distribusi tidak normal, maka dilakukan analisis dengan uji Kruskal Wallis untuk mengetahui perbedaan kadar ALP antar kelompok. Setelah itu dilanjutkkan dengan uji Mann Whitney

Gambar

Gambar 1. Komponen histologis hati (Tortora and Derrickson, 2008)
Gambar 2. Mekanisme oksidasi dan biotransformasi karbon tetraklorida  (Timbrell, 2009)
Gambar 3. Diagram batang orientasi kadar SGPT tikus setelah diinduksi karbon  tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada jam ke-0, 24, dan 48
Tabel II. Hasil uji Scheffe kadar SGPT tikus terinduksi karbon tetraklorida dosis  2 mL/kgBB pada pencuplikan darah jam ke-0, 24, dan 48
+3

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat-suatu proses yang dinamakannya pengambilan peranan (role

visualisasi RAM pada lukisan, akan dijadikan simbol yang membentuk garis sebagai penggambaran bagaimana hubungan yang saling terkait antara pengguna media sosial yang

Dari hasil analisis dilihat dari segi waktu dan biaya, untuk perbedaan antara sheet pile baja dan sheet pile beton dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :.

Hiperbola adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang sengaja dibesar- besarkan dan dibuat berlebihan. Contohnya pada kutipan cerpen Rumah Bambu karya Mangun Wijaya

(12) Faktor penghambat tidak ditemukannya hubungan yang bermakna antara lama kerja menggunakan keyboard dengan keluhan CTS berdasarkan pengamatan yang dilakukan

Ono što sadrži kvalitativna analiza rizika – ulazi su : registar rizika, plan upravljanja rizicima, specifikacija opsega projekta, organizacijska procesna sredstva

Berdasarkan hasil analisis dengan menerapkan model Linear Programming dengan metode Simpleks, keuntungan maksimal yang dapat diperoleh Home Industry Sri Bayu yaitu sebesar

Komponen yang dibandingkan dalam analisis regresi logistik biner yang dilakukan adalah ada tidaknya perubahan yang terjadi pada penutup lahan tahun 2000 dengan tahun 2003 dan luas