ANALISIS TINDAK KEKERASAN DALAM
DONGENG LE PETIT POUCET
KARYA CHARLES PERRAULT
skripsi
diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sastra jurusan Bahasa dan Sastra Asing
program studi Sastra Prancis
oleh
Titah Furi Hadiyanti 2350403035
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan sidang panitia ujian skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Program Studi Sastra Prancis S1, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Hari : Tanggal : Panitia Ujian
Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dra. Dyah Vitri Widayanti, DEA NIP. 195801271983031003 NIP. 196508271989012001
Penguji I
Dra. Anastasia Pudjitriherwanti, M. Hum NIP. 196407121989012001
Penguji II/ Pembimbing I Penguji III/ Pembimbing II
Dra.Conny Handayani Dr. B. Wahyudi Joko S, M. Hum NIP. 194704261971062001 NIP. 1961102619911031001
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya:
Nama : Titah Furi Hadiyanti
NIM : 2350403035
Prodi/ Jurusan : Sastra Prancis/ Bahasa dan Sastra Asing Fakultas : Bahasa dan Seni
Skripsi berjudul “Analisis Tindak Kekerasan dalam Dongeng Le Petit Poucet Karya Charles Perrault” yang saya tulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan setelah melalui penelitian, pembimbingan, diskusi, dan pemaparan atau ujian. Semua kutipan baik langsung dan tidak langsung, maupun sumber lainnya telah disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang lazim dalam penulisan karya ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing telah membubuhkan tanda tangan sebagai tanda keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini tetap menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika kemudian ditemukan ketidakberesan, saya bersedia menerima akibatnya.
Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.
Semarang, Februari 2010
Titah Furi Hadiyanti NIM: 2350403035
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Tiga dasar penting untuk mencapai segala sesuatu yang berharga adalah pertama, kerja keras, kedua, tetap berpegang pada kepastian, ketiga, berpikiran sehat.
(Thomas Edison)
Je dédie ce mémoire pour:
1. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu mendoakan keberhasilanku.
2. Untuk adikku, Tyas, yang sudah memberikan semangat dan doanya.
3. Untuk diri sendiri, tetap semangat. 4. Almamaterku.
v PRAKATA
Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Tindak Kekerasan dalam Dongeng Le Petit Poucet karya Charles Perrault”.
Skripsi ini adalah perwujudan kemurahan hati puluhan orang karena penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan serta saran-saran dari berbagai pihak, baik yang berbentuk moral maupun material sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dari lubuk hati yang terdalam, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum., Dekan FBS yang telah memberikan kesempatan untuk menulis skripsi ini,
2. Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA., Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini kepada penulis,
3. Dra. Conny Handayani, M.Hum., pembimbing I dan Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum., pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik,
4. Dra. Anastasia Pudjitriherwanti, M.Hum., dosen penguji skripsi,
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi penulis, 6. Orang tuaku tercinta yang selalu mendoakan kesuksesanku di setiap sujud
panjangnya,
7. Kakak-kakak dan adikku yang aku sayangi. Perhatian dan senyum penuh kasih kalian telah menghangatkan hati dan menjadi sumber cinta dan inspirasiku. Je vous aime bien,
8. Sahabat-sahabatku tersayang di Angel Hoss Community dan Wisma Priyangan yang tak akan pernah kulupakan. Terima kasih atas warna-warna indah yang telah kalian torehkan di dalam hatiku sehingga melengkapi perjalanan hidupku,
vi
9. Sahabat-sahabat terkasih Sastra Prancis angkatan ‘03, ‘04, dan ‘05 yang akan selalu kurindukan,
10. Semua orang-orang terdekatku yang selalu ada saat aku memerlukannya. Senyum kalian telah membesarkan hati dan membangkitkan semangatku, dan
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Semarang, Februari 2010
vii
ABSTRAK
Hadiyanti, Titah Furi. Analisis Tindak Kekerasan Dalam Dongeng Le Petit
Poucet Karya Charles Perrault. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: I. Dra. Conny Handayani, M.Hum. II. Dr. B. Wahyudi Santoso, M.Hum.
Kata Kunci: Tindak Kekerasan, Dongeng Le Petit Poucet, Charles Perrault
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak mempunyai latar tempat serta waktu yang pasti.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan tindak kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet dan penyebabnya.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan strukturalisme dan psikologi sastra. Sumber data yang diambil adalah dongeng Le Petit Poucet, karya Charles Perrault yang terdapat dalam kumpulan dongeng berjudul Contes Édition de Jean-Pierre Collinet. Metode dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu metode simak dan teknik catat.
Tindak kekerasan yang terdapat dalam dongeng Le Petit Poucet dilakukan hampir oleh semua tokoh. Hanya satu tokoh yang tidak melakukan kekerasan yaitu istri raksasa. Tindak kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng ini adalah kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.
Tindak kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet mempunyai bentuk serta penyebab yang berbeda-beda. Melalui analisis tersebut dapat ditemukan makna dari kekerasan itu sendiri yaitu tindakan melukai suatu pihak, baik secara fisik maupun psikologis, dengan penyebab yang bermacam-macam, baik itu kebiasaan maupun keterpaksaan untuk mempertahankan hidup. Segala bentuk kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng ini menunjukkan bahwa semua hal dapat terjadi dan segala sesuatu dapat dihadapi.
Pesan moral yang dapat diambil dari tindakan para tokoh antara lain untuk tidak meremehkan orang yang terlihat lemah dan ringkih namun ternyata kecerdasannya melebihi orang lain, semua hal dapat diatasi dengan kecerdikan dan keberanian, serta untuk tidak mempunyai niat buruk karena nantinya sesuatu yang buruk akan menimpa kita.
viii
RÉSUMÉ
Hadiyanti, Titah Furi. 2010. L’analyse de la Violence dans le Conte de « Le Petit Poucet » de Charles Perrault. Mémoire. Département de Langues et de Littératures Étrangères. Faculté des Langues et des Arts. Université d’État de Semarang. Directeurs: I. Dra. Conny Handayani, M.Hum, II. Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum.
Mots Clés: violence physique, violence psychologique, conte.
A. L’INTRODUCTION
Selon Danandjaya (2002: 83), le conte est l’histoire de personnes et d’animaux qui est considérée comme une prose, ne se passe pas dans la vie réelle et n'a pas de place et de temps précis. Habituellement, il raconte l’histoire des aventures d'animaux ou bien d'hommes. Dans le conte toutes choses peuvent se produire, il est aussi considéré comme une imagination.
Les éléments intrinsèques dans le conte sont différents des choses qui se passent dans la vie réelle. Le conte présente une des valeurs morales positives et en général finit avec la joie ou le bonheur. On a l’impression que le conte est présenté pour les enfants. En réalité, ce qui se passe est le contraire parce que ce conte présente souvent la violence, le meurtre, la lutte et la souffrance.
Selon Anti Aarne et Stith Thompson (en Danandjaja 2002: 86) le genre d'histoires se divise en quatre groupes principaux, ce sont: 1) conte d’animaux (animal tales), 2) contes ordinaire (ordinary folktales), 3) blagues et des anecdotes (jokes et anecdotes), et 4) contes formule (formula tales).
Il ya beaucoup d’auteurs de conte en France, l’un des auteurs du conte est Charles Perrault. Il ne réécrit que les contes qui sont connus dans la société, mais il a changé des contes et adapté d’abord en voyant la situation sociale culturelle à l'époque là, par exemple, il a décrit la famine en 1693 dans le conte de « Le Petit Poucet ». Après avoir lu ses œuvres, on a trouvé plusieurs violences physiques (le loup a mangé la petite fille dans Le Petit Chaperon Rouge et la négligence des
ix
enfants dans Le Petit Poucet) et les violences psychologiques (le bûcheron a menacé de battre sa femme).
Dans http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan.html, la violence est un acte d'agression et des violations (torture, sévices, viols, etc.) qui provoquent des souffrances ou blessent d’autres personnes. Les causes de la violence dans une famille sont très variées, par exemple la pauvreté et la pression de la vie qui augmente.
Pour savoir la violence dans le conte de « Le Petit Poucet », je raconte l'histoire suivante : Le Petit Poucet et ses frères sont des garçons du bûcheron qui ont été abandonnés dans la forêt par leurs parents à cause des raisons économiques. Grace à son intelligence, ils peuvent s’enfuir et rentrer chez eux sain et sauf.
Basé sur l’explication ci-dessus, les problèmes de cette recherche peuvent être formulés suivants:
1. Quelles sont les violences qui se trouvent dans le conte de « Le Petit Poucet » de Charles Perrault?
2. Quelles sont les causes de la violence dans le conte de « Le Petit Poucet » de Charles Perrault?
Les buts de cette recherche sont de trouver:
1. les violences dans le conte de « Le Petit Poucet » de Charles Perrault. 2. les causes de la violence qui se trouvent dans le conte de « Le Petit
Poucet » de Charles Perrault.
J’espère que les résultats de cette recherche peuvent:
1. donner aux lecteurs les connaissances sur les violences pour qu’ils ne les imitent pas.
2. donner une modèle d’analyser les œuvres littéraires aux apprenants.
3. donner une inspiration de recherche aux apprenants qui vont faire leurs mémoires.
x B. LE CONTE
En général, le conte possède les fonctions récréatives, projectives, évaluatives, donne le contrôle de la communauté. (Danandjaya 2002: 140-141).
D’après Blask (1951) la violence est l'utilisation de la force qui n'est pas équitable et n’est pas justifiée, accompagnée d'une grande émotion ou d’une colère dé contrôlée.
(http://www.oaseonline.org/oaseintim/doku2007/ngantung_kekerasan.htm). Dans le KUHP à l'article 89, ce la se dit que faire la violence est d’utilisation de la force physique illégalement.
Souvent, le problème de la violence implique des enfants. Leurs positions sont si vulnérables en raison de la faiblesse physique, sociale et culturelle. À cause de cela, les adultes peuvent exploiter leur faiblesse facilement. Étant victimes, ils n’ont pas de force de résister contre les adultes.
Les facteurs de la pauvreté et les pressions de la vie qui ont augmenté, et qui sont accompagnés de colère ou de déception des adultes influencent les gens à faire la violence physiquement ou psychologiquement. Les enfants, comme des êtres humains faibles et vulnérables sont des victimes de leurs parents.
Les formes de violence contenues dans la loi no. 23 en 2004 (www.kowani.or.id) sur l'élimination de la violence domestique (PKDRT), comprennent le mari, la femme, et les enfants. D’après cette loi ci-dessus, les formes de la violence sont : dans lequel le ménage dans la présente loi comprend mari, femme et enfants, à savoir:
1. la violence physique est un acte qui provoque la douleur, la maladie, la peine, ou de graves blessures, par exemple: l’assassiner, le massacre, etc. 2. la violence psychologique est un acte qui fait naître la peur, la perte de
confiance, perte de la capacité d'agir, de sentiment d'impuissance, des souffrances psychologiques, par exemple: l’humiliation, la menace etc. Roland Barthes, dans Nurgiyantoro (2005 : 47), dit qu’il y a 2 types d’analyse : l’analyse syntagmatique et paradigmatique.
xi C. L’ANALYSE SYNTAGMATIQUE
Barthes dit qu’une séquence de récit est réglée d’une façon linéaire, si bien qu’elle forme une relation horizontale.
Les autres théories des séquences sont également soulevées par Schmitt et A. Viala dans Handayani (1994: 35). D’après eux :
a. la séquence doit être centrée sur un point, par exemple, le même événement, le même chiffre, la même idée, ou la même pensée.
b. la séquence doit confiner une période de temps et d'espace cohérente. Cela veut dire que quelque chose est arrivé en même lieu ou en même temps.
c. en outre, les séquences qui ont une restriction comme mentionné ci-dessus, peuvent être des éléments d'une plus grande séquence.
D. L’ANALYSE PARADIGMATIQUE
L’analyse paradigmatique étudie les éléments qui se relient à la signification de l'histoire. Nurgiyantoro (2005: 47) a affirmé que l'étude de l'analyse paradigmatique dans les œuvres littéraires est d’étudier les personnages, les caractères des personnages, et la relation entre l’histoire (du conte) et le fond.
E. MÉTHODOLOGIE DE LA RECHERCHE
La méthodologie de la recherche se divise en trois étapes. Ce sont la méthode et la technique de collecter des données, d’analyser des données, et de présenter le résultat de l’analyse.
La méthode de collecter des données est « simak » ou « lire attentivement ». La technique utilisée est « catat » ou « noter » des données trouvées directement dans le conte de « Le Petit Poucet » de Charles Perrault.
La méthode d’analyser est « padan » ou « faire correspondre ». La technique de la base est PUP « Triage de Constituant Déterminant ». La méthode de présenter le résultat de cette recherche est la méthode informelle.
xii F. L’ANALYSE
Dans l'analyse syntagmatique, j’ai fait les séquences pour chercher et trouver l’intrigue de ce conte, et les fonctions principales pour chercher et trouver une relation de cause et de conséquence dans ce conte. Il y a 76 séquences et 23 fonctions principales dans ce conte.
Les séquencés sont :
1. la description de la famille de « Le Petit Poucet » qui était fort pauvre (p.191).
2. la description de la condition sociale et la condition économique qui étaient fâcheuses (p.191).
3. l’incompétence du bûcheron de nourrir ses enfants et de laisser leurs enfants dans le bois (p.191).
4. la tristesse de la bûcheronne qui ne pouvait rien faire sauf obéir son mari (p.192).
5. la conversation du bûcheron et sa femme qui a été entendu par le petit Poucet (p.192).
Les séquences au-dessus sont basées de leurs ordres dans le texte du conte. Voici sera présenté les fonctions principales des séquences pour déterminer un lien de causalité et de conséquence du conte. Ce sont :
1. la condition économique de la famille du petit Poucet qui était mauvaise (p.191).
2. la conversation du bûcheron avec sa femme sur le plan d’abandonner leurs sept enfants au bois (p.191).
3. le plan du bûcheron et sa femme qui a été entendu par Le Petit Poucet (p.192).
4. le ramasse des petits cailloux blancs par Le Petit Poucet (p.192).
5. l’abandonne de « Le Petit Poucet » et ses frères au bois par les parents (p.192).
Dans l'analyse paradigmatique, j’ai fait une analyse des personnages pour trouver leurs comportements de sorte que je puisse trouver les violences qui s’est passé dans ce conte. Il y a 7 personnages, ce sont Le Petit Poucet, le bûcheron, la
xiii
bûcheronne, l’Ogre, l’Ogresse, les frères de « Le Petit Poucet », et les filles de l’Ogre. Mais je n’analyse que 2 personnages, ce sont Le Petit Poucet et l’Ogre comme les personnages principaux.
(1) Le petit Poucet
Le petit Poucet est le personnage principal dans ce conte. Il avait sept ans. Il était petit, faible, et calme. Il s’appelait Le Petit Poucet parce que juste après l’accouchement de sa mère, elle a trouvé Le Petit Poucet était si petit comme la pouce. En fait, Le Petit Poucet était le plus intelligent de ses frères, mais il était toujours sous-estimé par ses six frères.
Il a fait la violence psychologique quand il est allé à la maison de l’Ogre pour tromper l’Ogresse.
(1) Ce qui les chagrinait encore, c'est que le plus jeune était fort délicat et ne disait mot : prenant pour bêtise ce qui était une marque de la bonté de son esprit.
Il était fort petit, et, quand il vint au monde, il n'était guère plus gros que le pouce, ce qui fit qu'on l'appela le petit Poucet. Ce pauvre enfant était le souffre-douleur de la maison, et on lui donnait toujours tort. (p.191)
(2) Cependant il était le plus fin et le plus avisé de tous ses frères, et, s'il parlait peu, il écoutait beaucoup. (p.191)
(3) Il alla droit à la maison de l'Ogre, où il trouva sa femme qui pleurait auprès de ses filles égorgées. " Votre mari, lui dit le petit Poucet, est en grand danger; car il a été pris par une troupe de voleurs, qui ont juré de le tuer s'il ne leur donne tout son or et tout son argent. (p.199)
(2) L’Ogre
Dans ce conte, l’Ogre est un personnage qui aime avaler les petits enfants. Il sait la présence des petits enfants à leur insu. Le caractère de l’Ogre était de traiter maladroitement.
L’action de violence psychologique qu’il a faite est de menacer à tuer Le Petit Poucet et insulter à sa femme. Ses traitements peuvent être catégorises
xiv
comme des mesures de violence psychologique qui torturent complètement sa femme.
(4) Le mouton était encore tout sanglant, mais il ne lui en sembla que meilleur. Il flairait à droite et à gauche, disant qu'il sentait la chair fraîche.
(5) " Ah! dit-il, voilà donc comme tu veux me tromper, maudite femme! Je ne sais à quoi il tient que je ne te mange aussi : bien t'en prend d'être une vieille bête. Voilà du gibier qui me vient bien à propos pour traiter trois ogres de mes amis, qui doivent me venir voir ces jours-ci. " (p.196)
Par l’analyse des caractères des personnages, je conclus que presque tous les personnages ont fait la violence. Un seul personnage qui ne l’a pas fait est femme de l’Ogre. Au contraire, elle est devenue la victime de la violence faite par Le Petit Poucet.
Les actions de violences se sont produites dans la maison de « Le Petit Poucet », la maison de l’Ogre, et la forêt. La maison de « Le Petit Poucet » est le lieu où s’est passé souvent la violence psychologique. Cela se révèle par les mauvais traitements de ses frères, plus encore Le Petit Poucet a éprouvé un sentiment injuste de sa mère. Mais la plupart des actions de violence se sont passées à la maison de l’Ogre. Surtout dans la salle à manger où il a déposé ses petits animaux et dans la chambre de ses filles où l’Ogre a décapité leur tête. D’un autre côté, il s’est passé aussi la violence physique dans la salle à manger de l’Ogre, indiquée par son action de menacer Le Petit Poucet et ses frères, ainsi les insultes dites par l’Ogre à sa femme.
G. LA CONCLUSION
Les actions de violence trouvée dans ce conte sont très divers, soit physiquement soit psychologiquement. Par exemple, à cause de les impuissances
xv
des parents à nourrir leurs enfants, ils les flanquent dans une forêt (la violence psychologique). Des autres exemples de violence physique que je trouve dans ce conte sont : l’Ogre aimait manger les petits enfants et des animaux. Il a coupé la gorge de ses sept filles. Il a pensé qu’elles étaient Le Petit Poucet et ses frères. Le Petit Poucet a échangé les bonnets des ses frères et le sien avec les couronnes de sept filles de l’Ogre de sorte qu’elles soient tuées par l’Ogre, et sept filles de l’Ogre aimait aussi manger des enfants et des animaux comme son père.
Par cette analyse, je trouve aussi les violences psychologiques. Ce sont : l’Ogre a menacé Le Petit Poucet et ses frères de les tuer, l’Ogre a crié des insultes à sa femme, le bûcheron a menacé sa femme de la battre si elle ne se taisait pas, quand il a abandonné ses propres enfants dans la forêt qui était très dangereuse, la bûcheronne était injuste à ses enfants parce qu’elle aimait l’aîné plus que les autres, les frères de « Le Petit Poucet » sous-estimaient Le Petit Poucet parce qu’il était petit, fable, et calme. Le Petit Poucet a fait aussi la violence psychologique quand il a trompé l’Ogresse pour acquérir la richesse de l’Ogre.
En général, la cause principale des violences qui est faite par les personnages dans ce conte est la pauvreté, par exemple le bûcheron et sa femme ont abandonnés ses enfants et Le Petit Poucet a trompé l’Ogresse à cause de leur pauvreté. Une autre cause de la violence est l’habitude de l’Ogre et ses filles qui aimaient manger des animaux et des petits enfants.
Enfin, je constate que le conte écrit et destine aux enfants contient l’histoire sur la violence. En conséquence, cela permet aux enfants d’imiter ces actions et ces caractères négatifs des personnages ci-dessus. Il sera possible que ce conte puisse leur donner des mauvais effets.
xvi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
PRAKATA ... v
ABSTRAK ... ... vii
RÉSUMÉ ... viii
DAFTAR ISI ... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Permasalahan ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 1.5 Sistematika Skripsi ... 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dongeng ... 8
2.2 Fungsi Dongeng ... 11
2.3 Pengertian Kekerasan ... 12
2.4 Faktor Terjadinya Kekerasan ... 13
2.5 Bentuk-Bentuk Kekerasan ... 15
2.6 Biografi Charles Perrault ... 16
2.7 Relasi Sintagmatik dan Relasi Paradigmatik ... 17
2.7.1 Relasi Sintagmatik ... 17
2.7.2 Relasi Paradigmatik ... 19
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ... 21
3.2 Sumber Data Penelitian ... 22
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 22
xvii
3.5 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 23
BAB 4 BERBAGAI TINDAK KEKERASAN DAN PENYEBABNYA 4.1 Analisis Sintagmatik ... 24
4.2 Analisis Paradigmatik ... 42
4.2.1 Analisis Latar Waktu ... 42
4.2.2 Analisis Latar Ruang ... 43
4.2.2.1 Latar Ruang Tertutup ... 43
4.2.2.1.1 Rumah Keluarga Penebang Kayu .... 43
4.2.2.1.2 Rumah Raksasa ... 44
4.2.2.2 Latar Ruang Terbuka ... 46
4.2.2.2.1 Hutan ... 46
4.2.2.2.2 Jalan Dekat Rumah Le Petit Poucet 47
4.2.3 Analisis Tokoh ... 49
4.2.3.1 Le Petit Poucet ... 49
4.2.3.2 Raksasa ... 56
4.2.3.3 Ayah Le Petit Poucet ... 58
4.2.3.4 Ibu Le Petit Poucet ... 61
4.2.3.5 Istri Raksasa ... 63
4.2.3.6 Saudara-saudara Le Petit Poucet ... 64
4.2.3.7 Anak-anak Perempuan Sang Raksasa ... 65
4.3 Analisis Tindak Kekerasan ... 67
4.3.1 Kekerasan Fisik ... 69
4.3.1.1 Raksasa ... 68
4.3.1.2 Ayah Le Petit Poucet ... 70
4.3.1.3 Le Petit Poucet ... 71
4.3.1.4 Ibu Le Petit Poucet ... 72
4.3.1.5 Anak-anak Perempuan Sang Raksasa ... 72
4.3.2 Kekerasan Psikis ... 72
4.3.2.1 Sang Raksasa ... 73
4.3.2.2 Ayah Le Petit Poucet ... 74
xviii
4.3.2.4 Saudara-saudara Le Petit Poucet ... 76 4.3.2.5 Le Petit Poucet ... 76 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 78 5.2 Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak mempunyai latar tempat serta waktu yang pasti (Danandjaja 2002: 83). Hal ini ditandai dengan digunakan kalimat pembuka seperti ‘il était une fois’ atau ‘pada suatu ketika’. Gaya penulisan seperti itu memberi kesan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam dongeng tidak benar-benar terjadi dalam dunia nyata. Dongeng biasanya menceritakan petualangan binatang/manusia dan dalam dongeng semua hal dapat terjadi, sehingga dongeng dianggap tidak realistis.
Unsur-unsur yang terdapat dalam dunia dongeng berbeda dengan yang berlaku dalam dunia nyata. Dongeng hampir selalu berakhir dengan bahagia dan menyajikan nilai moral yang positif sehingga memberi kesan diperuntukkan bagi anak-anak. Pada kenyataannya, dongeng tidak selalu ditujukan bagi anak-anak tetapi juga orang dewasa karena sering menampilkan kekerasan, pembunuhan, perkelahian, serta penderitaan.
Charles Perrault menuliskan dongeng-dongeng yang dikenal dalam masyarakat ketika dongeng masih ditujukan untuk orang dewasa. Dalam penyajiannya, dongeng tidak secara langsung menampilkan nilai-nilai moral
2
dengan penggunaan metafora sehingga membiarkan para pembacanya mengembangkan kreativitas mereka dalam berimajinasi.
Gaya penulisan dongeng biasanya berbentuk narasi yang terkesan sederhana, naif, dan lembut. (http://www.anthologie.free..fr/anthologie/ perrault/perrault.htm). Perrault tidak hanya menuliskan kembali dongeng-dongeng yang sudah dikenal masyarakat secara langsung, tetapi mengubah dongeng-dongeng tersebut dan mengadaptasinya terlebih dahulu sesuai dengan konteks jaman yang sedang berlaku pada masa itu, misalnya melukiskan kembali bencana kelaparan di tahun 1693 seperti dalam cerita Le Petit Poucet. (http://www.Hattemer.fr/Nöel_contes/Bio_Perrault.htm).
Setelah membaca beberapa karya Perrault, ternyata terlihat suatu bentuk kekerasan dalam beberapa karyanya, yaitu antara lain perlakuan jahat ibu tiri dalam Cendrillon, dimangsanya seorang anak perempuan kecil dalam Le Petit Chaperon Rouge, keinginan seorang penyihir untuk membunuh seorang gadis dalam La Belle Au Bois Dormant, dan tindakan menelantarkan anak dalam Le Petit Poucet.
Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang. Istilah "kekerasan" juga mengandung kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak (http://republikdamai.blogspot.com/2007/06/kekerasan.html).
Penyebab terjadinya kekerasan dalam sebuah keluarga bermacam-macam, antara lain faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, seperti kebutuhan keluarga yang tidak dapat terpenuhi, disertai kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan, kekecewaan, dan ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya.
Untuk mengetahui tindak kekerasan yang terdapat dalam dongeng Le Petit Poucet, selanjutnya akan dipaparkan kisahnya berikut ini.
Dongeng Le Petit Poucet menceritakan tentang tujuh anak laki-laki yang ditinggalkan dengan sengaja di dalam hutan oleh kedua orang tua mereka karena alasan ekonomi. Le Petit Poucet adalah julukan untuk anak bungsu dari tujuh bersaudara tersebut karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil seperti jari jempol. Berkat kecerdikannya, ia dan kakak-kakaknya dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat walaupun mereka nyaris dimangsa oleh raksasa. Le Petit Poucet berhasil mengecoh raksasa dan istri raksasa sehingga ia dan keluarganya menjadi hidup berkecukupan dengan uang milik raksasa.
Dalam dongeng-dongengnya, Perrault selalu menuangkan nilai moral serta menggambarkan situasi dengan realita hidup secara metaforis. Metaforis yaitu membandingkan dua hal atau benda yang berbeda untuk menciptakan suatu kesan yang hidup walaupun tidak dinyatakan dengan penggunaan kata-kata bak, seperti, laksana, ibarat, umpama, sebagai seperti pada perumpamaan (Dale dalam Tarigan 1995: 121).
4
Dalam dongeng Le Petit Poucet terdapat nilai moral yang sesuai dengan realita masyarakat saat ini terutama di bidang ekonomi. Kemiskinan membuat para orang tua menempuh segala cara untuk mendapatkan uang, tak terkecuali memanfaatkan anak-anak mereka atau bahkan menelantarkan anak-anak mereka. Le Petit Poucet merupakan tokoh yang mewakili sosok anak yang diremehkan, namun pada akhirnya ia dapat membuktikan bahwa dirinya bermanfaat bagi keluarganya. Le Petit Poucet merupakan salah satu dongeng yang berbeda dari dongeng-dongeng lainnya karena menampilkan anak sebagai tokoh utama yang menjadi korban sekaligus pelaku kekerasan. Le Petit Poucet melakukan penipuan tidak hanya kepada sosok yang jahat (raksasa), tetapi juga terhadap sosok yang baik (istri raksasa). Ia membalas perlakuan istri raksasa yang melindunginya dan kakak-kakaknya dari raksasa dengan kematian ketujuh anak perempuan raksasa. Walaupun bukan Le Petit Poucet sendiri yang membunuh mereka, tetap saja ia menjadi penyebab secara tidak langsung dari kematian anak-anak perempuan itu.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas tentang kekerasan dalam salah satu dongeng karya Charles Perrault. Penulis memilih untuk membahas dongeng karena tertarik alur cerita dongeng yang sederhana namun mempunyai makna serta nilai moral yang penting bagi pembacanya. Dongeng karya Perrault yang berjudul Le Petit Poucet ini merupakan dongeng yang menampilkan kekerasan dengan jelas. Kekerasan yang terkandung dalam dongeng tersebut cukup mengejutkan penulis, mengingat terdapat anggapan bahwa dongeng akrab dengan dunia anak dan selalu menampilkan kebaikan. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk membahas dongeng ini secara lebih lanjut.
Untuk menemukan tindak kekerasan dalam dongeng Le Petit Poucet dan penyebab terjadinya kekerasan tersebut, penulis menggunakan analisis sintagmatik dan paradigmatik. Analisis sintagmatik dipergunakan untuk mengetahui jalannya alur cerita dan hubungan sebab akibat dalam dongeng Le Petit Poucet. Dalam karya fiksi wujud hubungan itu dapat berupa hubungan kata, peristiwa, atau tokoh.
Adapun dalam analisis paradigmatik, unsur-unsur yang dibahas adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan makna cerita, tentang tokoh, perwatakan tokoh, dan latar.
1.2
Permasalahan
Bertolak pada latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Apa sajakah kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng Le Petit Poucet, karya Charles Perrault?
2. Apa sajakah penyebab kekerasan yang ada dalam dongeng Le Petit Poucet, karya Charles Perrault?
6
1.3
Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menemukan:
1. Kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng Le Petit Poucet karya Charles Perrault.
2. Penyebab kekerasan yang ditampilkan dalam dongeng Le Petit Poucet karya Charles Perrault.
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian tentang tindak kekerasan pada dongeng Le Petit Poucet karya Charles Perrault diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan masukan yang berguna bagi pembaca untuk mengetahui tindak kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet sehingga pembaca bisa mengambil pelajaran dengan tidak meniru dan mencontoh perbuatan yang tidak terpuji tersebut.
2. Memberi pengetahuan kepada mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, yakni dalam mata kuliah Apresiasi Sastra dan Théorie de Prose et de Poésie, khususnya tentang analisis strukturalisme karya sastra.
1.5
Sistematika Skripsi
Agar deskripsi kajian tentang skripsi ini dapat dipahami dengan baik oleh pembaca, maka penulis mengetengahkan skripsi ini dalam suatu susunan yang sistematis. Penelitian ini tersusun dalam lima bab, yaitu:
Bab 1 merupakan bab Pendahuluan yang memaparkan Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Skripsi.
Bab 2 merupakan Tinjauan Pustaka yang berisi tentang kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini khususnya teori kekerasan dan faktor-faktor penyebabnya.
Bab 3 mengutarakan Metode Penelitian yang mencakup Pendekatan Penelitian, Sumber Data Penelitian, Metode dan Teknik Pengumpulan Data, Metode dan Teknik Analisis Data, dan Metode Penyajian Hasil Analisis.
Bab 4 merupakan Hasil Analisis Penelitian dan Pembahasan.
Bab 5 merupakan Penutup yang di dalamnya memuat Simpulan dari hasil penelitian dan Saran. Bagian akhir skripsi berisi Daftar Pustaka dan Lampiran.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab 2 ini akan diuraikan tentang beberapa landasan teori yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu mengenai tindak kekerasan dalam dongeng Le Petit Poucet karya Charles Perrault. Pada bagian awal pembahasan ini, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai dongeng, kekerasan, dan analisis sintagmatik dan paradigmatik yang akan digunakan untuk menemukan tindak kekerasan yang terkandung dalam dongeng tersebut serta penyebabnya.
2.1
Pengertian Dongeng
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap tidak benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran (Danandjaja 2002: 83).
Dilihat dari jenis-jenis dongeng, sebenarnya tidak ada klasifikasi yang dikatakan paling tepat karena beberapa cerita dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi yang ada. Klasifikasi dongeng yang bersifat internasional pertama kali dikemukakan oleh Anti Aarne pada tahun 1910, setelah diterbitkannya koleksi dongeng Grimm Bersaudara untuk pertama kalinya. Pada tahun 1920-an, Stith Thompson membuat revisi dari klasifikasi tersebut sebanyak dua kali. Pada
akhirnya klasifikasi itu dipublikasikan pada tahun 1961 dan menjadi salah satu klasifikasi dongeng yang dikenal secara internasional.
2.2
Jenis-jenis Dongeng
Menurut Anti Aarne dan Stith Thompson (dalam Danandjaja 2002: 86) jenis-jenis dongeng dibagi dalam empat golongan besar, yakni:
3. Dongeng binatang (animal tales)
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang, baik binatang peliharaan maupun binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan, dan serangga. Binatang-binatang dalam cerita jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Contoh: dongeng Si Kancil. 4. Dongeng biasa (ordinary folktales)
Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Contohnya adalah dongeng Upik Abu dan Ande-Ande Lumut.
5. Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes)
Pada dasarnya lelucon dan anekdot adalah jenis dongeng yang dapat menimbulkan rasa geli sehingga menimbulkan tawa bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya.
Lelucon adalah kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku bangsa, golongan, bangsa, dan ras. Contohnya adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari, sebuah kapal berisi penumpang dari berbagai bangsa karam di tengah lautan yang sangat luas. Ada tiga orang yang selamat. Masing-masing dari Prancis, Amerika, dan Indonesia. Mereka
10
terapung-apung di tengah laut hanya dengan mengandalkan sekeping papan.
Tiba-tiba muncul jin yang baik hati. Dia bersimpati pada nasib ketiga bangsa manusia itu dan menawarkan jasa. “Aku akan memenuhi semua permintaan kalian.”, kata sang jin. Yang pertama ditanya adalah si orang Prancis.
“Saya ini petugas lembaga sosial di Paris. Banyak orang yang memerlukan tenaga saya. Jadi, tolonglah saya dikembalikan ke negara saya.”, katanya. Dalam sekejap orang itu lenyap, kembali ke negaranya.
“Kamu, orang Amerika, apa permintaanmu?”, tanya sang jin. “Saya ini pejabat pemerintah. Banyak tugas saya yang terlantar karena kecelakaan ini. Tolonglah saya dikembalikan ke Washington.”, jawab si orang Amerika. “Oke.”, kata jin sambil menjentikkan jarinya. Dan orang Amerika lenyap seketika, kembali ke negaranya. “Nah, sekarang tinggal kamu, orang Indonesia. Sebut saja apa maumu?”. Duh, Pak Jin. Sepi banget di sini.”, keluh si orang Indonesia. “Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.” Zutt, orang Prancis dan pria Amerika itu muncul lagi.
Anekdot adalah kisah lucu fiktif pribadi seorang tokoh atau beberapa tokoh yang benar-benar ada. Contoh anekdot adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari Mbak Tutut, putri Presiden Soeharto pada masa itu, lewat jalan tol di Jakarta.
Penjaga Tol : “3000 rupiah.”
Mbak Tutut yang memang tidak memiliki uang seribuan, mengeluarkan uang 50 ribuan dan langsung menyodorkan uang tersebut kepada penjaga tol.
Penjaga tol : “Ini Bu, kembaliannya.”
Mbak Tutut : “Sudah, simpan saja untuk keluarga anda!”
Penjaga tol merasa senang karena menerima 47 ribu rupiah dan langsung berterima kasih kepada Mbak Tutut.
Setelah beberapa jam kemudian, Mas Tommy melewati jalan tol tersebut. Karena dia juga merupakan putra Presiden Soeharto, dia juga tidak mempunyai uang receh. Mas Tommy mengeluarkan uang 20 ribuan.
Penjaga Tol : “Ini Pak, kembaliannya 17 ribu.”
Mas Tommy : “Sudahlah, simpan saja untuk anak anda!”
Penjaga langsung memasukkan kembalian itu ke kantongnya dan berterima kasih banyak kepada Mas Tommy.
Beberapa jam kemudian Pak Presiden Soeharto dengan mobilnya melewati jalan tol yan sama. Pak Harto mengeluarkan uang 5 ribuan dan menyodorkannya ke penjaga tol. Pak Harto menunggu uang kembaliannya itu. Setelah menunggu beberapa menit, Pak Harto bertanya kepada penjaga tol.
Pak Harto : “Lho, mana uang kembalian saya?”
Penjaga Tol : “Ah Bapak, masa uang 2000 saja diminta? Tadi Mbak Tutut dan Mas Tommy lewat, kembaliannya 47 ribu dan 17 ribu saja diberikan kepada saya. Masa Bapak yang 2000 saja minta kembalian?”
Pak Harto : “Tunggu dulu, Mas. Anda tahu siapa Mbak Tutut dan Mas Tommy?”
Penjaga Tol : (dengan cekatan) “Ya tahu Pak. Pertanyaan gampang, jelas Mbak Tutut dan Mas Tommy anak Presiden.”
Pak Harto : “Pintar kamu, tahu mereka anak Presiden. Nah, sedangkan saya hanya anak petani. Sekarang mana kembalian saya?”
12
Penjaga Tol : “@$@!$!%!^$@^…”
6. Dongeng berumus (formula tales)
Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari pengulangan. Contohnya yaitu:
“Alkisah pada suatu hari di sebuah lorong sepi terlihat seorang nyonya lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor tikus kecil. Si Tikus lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor kucing. Si Kucing lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seekor anjing. Si Anjing lari terbirit-birit ketakutan karena diburu seorang Batak. Si orang Batak lari terbirit-birit ketakutan karena diburu polisi. Polisi lari terbirit-birit ketakutan karena diburu OPSTIB (Operasi Tertib).
Cerita dalam dongeng di atas mengulang kata lari terbirit-birit ketakutan karena diburu… yang membedakan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain adalah subjek dan objeknya.
2.3
Fungsi Dongeng
Dalam lingkungan masyarakat tradisional, dongeng biasanya ditujukan untuk orang dewasa. Baru sejak abad ke-17 dongeng diperuntukkan bagi anak-anak. Menurut Grimm Bersaudara, dongeng sebenarnya tidak diperuntukkan bagi anak jika dilihat dari cara penyampaiannya, namun mereka menerbitkan cetakan pertama kumpulan dongeng rakyat untuk anak agar anak-anak dapat belajar sesuatu dari dongeng tersebut.
Dongeng pada umumnya diceritakan terutama untuk menghibur namun selain itu ternyata dongeng mempunyai fungsi lain, yaitu sebagai proyeksi, sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak, penyalur ketegangan yang ada dalam masyarakat, dan sebagai kendali masyarakat (Danandjaya 2002: 140-141).
2.4
Pengertian Kekerasan
Definisi kekerasan atau violence menurut Blask (1951), adalah pemakaian kekuatan (force) yang tidak adil dan tidak dapat dibenarkan, disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan menghina. Kekuatan itu biasanya kekuatan fisik yang disalahgunakan terhadap hak-hak umum, aturan hukum, dan kebebasan umum sehingga bertentangan dengan hukum. Menurut Webster, kekerasan adalah rough or injurious physical force, action, or treatment, or an unjust or unwarranted exertion of force or power, as against rights, laws, etc.
(http://www.oaseonline.org/oaseintim/doku2007/ngantung_kekerasan.htm). Ada dua jenis kekerasan menurut bentuknya, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikologis.
(http://www.commondreams.org/archive/org/2007/04/23/701/)
Menurut KUHP pasal 89, melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,
14
menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa kesakitan.
Seringkali masalah kekerasan melibatkan anak-anak. Posisi anak yang begitu rentan karena lemah fisik, sosial dan budaya membuatnya mudah dimanfaatkan atau menjadi sasaran tindakan kekerasan, pengabaian, eksploitasi, dan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada saat menjadi korban, anak tidak memiliki kekuatan untuk melawan karena dilihat dari segi fisik, jelaslah bahwa kemampuan atau kekuatannya lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa.
2.5
Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Faktor kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat, disertai kemarahan atau kekecewaan pada pasangan karena ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi, menyebabkan orang tua mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan, kekecewaan, dan ketidakmampuannya kepada orang terdekatnya. Anak, sebagai makhluk lemah, rentan, dan dianggap sebagai “milik” orang tua, paling mudah menjadi sasaran.
(http:/72.14.235.104/search?q=cache:Hhv_v7IVVNoJ:www.kontras.org/baru/Ko vensi%2520Hak%2520Anak.pdf+anak+konvensi+internasional&hl=id&ct=clnk &cd=2&gl=id)
Tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi pelaku kekerasan, terkadang anak dapat menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Hal itu dapat saja terjadi akibat pengaruh dari media atau lingkungan sekitar anak. Terkadang tindakan kekerasan dilakukan tanpa unsur kesengajaan karena mereka belum paham betul bahwa perbuatan mereka dapat berakibat fatal. Hal ini terlihat dari perilaku seorang anak
yang masih duduk di bangku sekolah dasar yang memukuli temannya sampai meninggal. Pada awalnya, ia dan temannya itu hanya sekedar meniru acara smackdown yang sering diputar di televisi. Tak disangka niat bermain-main berujung pada kematian. Kekerasan juga dapat tertanam dalam anak secara psikologis jika lingkungan di sekitarnya turut berperan mendidik anak tersebut ke arah yang tidak baik, seperti misalnya dalam komunitas anak jalanan, pencurian atau berkelahi merupakan hal wajar karena mereka terbiasa melihat teman-temannya melakukan hal tersebut. Terlepas dari kesadaran pada mereka bahwa kekerasan adalah hal yang tidak baik, mereka tetap melakukan hal itu.
Cara anak memandang kekerasan dalam media, khususnya karya fiksi tentunya berbeda dengan cara pandang orang dewasa. Jika orang dewasa menganggap pemukulan yang terjadi dalam suatu cerita adalah salah satu bentuk kekerasan, anak-anak hanya melihat hal itu sebagai sesuatu yang lucu, seperti misalnya dalam film-film kartun yang menampilkan adegan saat tokoh tertentu memukul tokoh lawannya dengan palu atau menabraknya hingga terlindas. Tokoh yang mengalami kekerasan tersebut tidak mati, tubuhnya menjadi pipih tapi dengan cepat ia pulih kembali. Bagi anak, peristiwa ini merupakan suatu hal lucu, bukanlah kekerasan. Pada akhirnya anak akan menganggap bahwa peristiwa-peristiwa yang menunjukkan kekerasan merupakan sesuatu yang wajar.
Menurut anak, apa yang mereka lihat di televisi adalah orang hebat dan terkenal. Lalu, anak meniru perilaku smack down di televisi agar dianggap sebagai orang hebat. Anak-anak belum bisa berpikir jernih, apakah perilakunya berbahaya bagi dirinya dan juga orang lain. Anak mencoba menirukan apa yang mereka
16
saksikan. Anak hanya memikirkan kesenangan dan bagaimana memamerkan kekuatannya ke orang lain. Anak-anak sangat senang memamerkan kekuatannya di depan orang tua, teman, dan orang lain yang mereka temui. Dunia anak-anak penuh sensasi, mereka senang mencoba hal-hal baru. Perilaku memicu anak mencoba meniru tayangan smack down dari televisi, membuat anak sering melakukan perilaku smack down di dunia nyata untuk memamerkan kekuatannya ke orang lain. Smack down anak-anak telah menuai korban, seperti anak menderita sakit patah tulang, terkilir, terluka, bahkan meninggal dunia.
(http://najlah.blogspot.com/2006/12/smack-down-dan-kekerasan-anak.html) Menurut Leonard Irwin, seorang dosen psikologi dari Universitas Illionis, Amerika Serikat, saat anak-anak berusia 8 tahun dan pernah menyaksikan tayangan tindak kekerasan melalui televisi, ketika mencapai usia dewasa, mereka cenderung tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat dan kejam, tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap anak-anak kecil lainnya.
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Tanpa disadari dan disengaja, orang tua sering melakukan kekerasan psikologis terhadap anak-anaknya. Kita mungkin sering melihat seorang anak yang melakukan kesalahan mendapatkan bentakan atau hukuman kemarahan yang tidak perlu. Melihat, rapor anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, si
anak malang langsung dicubiti dan dibanding-bandingkan dengan anak tetangga yang jadi bintang kelas.
Anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
(http://duniapsikologi.dagdigdug.com/tag/kekerasan-anak/)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terdiri atas:
1. Kekerasan dalam rumah tangga, yaitu dalam keluarga terjadi kekerasan yang melibatkan baik pihak ayah, ibu dan saudara yang lainnya. Kondisi menyebabkan tidak terelakkannya kekerasan terjadi juga pada anak. Anak seringkali menjadi sasaran kemarahan orang tua,
2. Disfungsi keluarga, yaitu peran orang tua tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Adanya disfungsi peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok yang membimbing dan menyayangi,
18
kondisi keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi adalah faktor yang banyak terjadi,
4. Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga. Orang tua menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak tahu apa-apa. Dengan demikian pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua.
5.
2.6
Bentuk-bentuk Kekerasan
Bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam Undang-undang no. 23 tahun 2004 (www.kowani.or.id) mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), di mana lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi suami, isteri, dan anak, yaitu:
1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Contoh: pembunuhan, pembantaian, dsb.
2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Contoh: pengancaman, penghinaan, dsb.
(http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/11/27/bentuk-bentuk-kekerasan-anak-child-abuse/
2.7
Biografi Charles Perrault
Selanjutnya, akan dijelaskan tentang biografi Charles Perrault. Charles Perrault lahir pada tanggal 12 Januari 1628. Ayahnya bernama Pierre Perrault, advokat Paris kelahiran Touraine, dan ibunya bernama Pâquette Leclerc. Ia
berasal dari kalangan atas sehingga bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik di Perancis.
Sejak kecil kejeniusan, Perrault terutama pada bidang kesusastraan, mulai tampak. Tahun 1636, ia masuk collège de Beauvais dan segera menjadi salah satu siswa terbaik. Pada usia sembilan tahun Perrault telah menciptakan sajak-sajak yang indah untuk ukuran anak seusianya. Sekitar tahun 1643, Perrault meninggalkan collège setelah berselisih dengan salah seorang pengawas. Charles mengambil jurusan hukum sebagai mata pelajarannya sebelum terjun menjadi pegawai pemerintahan. Saat berumur 62 tahun, dia berhenti bekerja di pemerintahan dan memutuskan untuk mendedikasikan dirinya pada anak-anaknya dan saat itulah dia menerbitkan buku Tales and Stories of the Past with Morals (Histoires ou Contes du Temps Passé), dengan subtitle Tales of Mother Goose (Les Contes de ma Mère l'Oye) yang memuat cerita-cerita dongeng yang kita kenal sekarang.
Charles Perrault adalah pengarang dari Prancis yang meletakkan dasar-dasar bagi literatur cerita dongeng dan terkenal dengan cerita dongeng seperti Le Petit Chaperon Rouge (Gadis Kecil dengan Kerudung Merah), La Belle au Bois Dormant (Putri Tidur), Le Maître Chat ou Le Chat Botté (Kucing Bersepatu Boot), Cendrillon ou Le Petit Pantoufle de Verre (Cinderella), La Barbe Bleue (Janggut Biru), Le Petit Poucet, Les Fées (Katak dan Permata), La Marquise de Salhsses ou la Patience de Griselidis (Griselda yang Sabar), dan banyak cerita terkenal lainnya. Cerita dongeng tersebut kemudian dikumpulkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Grimm Bersaudara bersama-sama
20
dengan koleksi cerita rakyat dari seluruh dunia. Perrault meninggal di Paris pada 1703 pada usia 75 tahun.
2.8
Relasi Sintagmatik dan Relasi Paradigmatik
Bahasa sebagai suatu sistem memiliki satuan-satuan. Satuan-satuan dalam bahasa memiliki hubungan (relasi) dengan satuan yang lainnya. Setiap satuan, bagi terbentuknya satuan yang lebih besar, merupakan unsur (constituent). Jadi, dalam setiap bahasa terjadi relasi antarunsur.
Relasi antarunsur dapat dilihat dari dua dimensi, yakni dimensi horisontal dan dimensi vertikal. Relasi antarunsur yang berdimensi horisontal dikenal dengan relasi sintagmatik dan relasi antarunsur yang berdimensi vertikal disebut relasi paradigmatik (Oka 1994: 75).
2.8.1 Relasi Sintagmatik
Relasi sintagmatik merupakan relasi antarunsur bahasa yang hadir dalam suatu tuturan. Dalam tuturan itu, unsur-unsur yang berelasi itu diucapkan. Dalam bahasa tulis, unsur-unsur itu dituliskan. Relasi antarunsur yang bersifat linear itu terjadi atau terdapat pada berbagai tataran, misal dalam tataran fonologis, misalnya, terdapat bunyi-bunyi /b/, /a/, /t/, dan /u/. Dalam bahasa Indonesia, relasi sintagmatiknya bermacam-macam dan memungkinkan terbentuknya kata batu, buta, buat, baut, tuba, dan tabu. Dalam tataran morfologis, tampak adanya relasi antarunsur pembentuk kata. Dalam konteks ini, imbuhan dan bentuk dasar atau bentuk akar tidak dapat bertukar tempat. Ada kata nonaktif tetapi tidak ada kata aktifnon. Dalam tataran frase, urutan unsur membentuk relasi yang berdampak
pada status unsur itu dalam frase. Frase tetangga adik teman saya memiliki makna yang berbeda dengan adik teman tetangga saya, tetangga teman adik saya, teman adik tetangga saya, atau teman tetangga adik saya karena urutan unsur pembentuknya (Oka 1994: 75-77).
Analisis sintagmatik dipergunakan untuk mengetahui jalannya alur cerita serta fungsi utama untuk mengetahui hubungan sebab akibat dalam suatu karya sastra. Dalam karya fiksi wujud hubungan itu dapat berupa hubungan kata, peristiwa, atau tokoh. Jadi, bagaimana peristiwa yang satu diikuti oleh peristiwa-peristiwa yang lain yang bersebab akibat, kata-kata saling berhubungan dengan makna penuh, dan tokoh-tokoh membentuk antitese dan gradasi. Untuk menelaah struktur teks, yang pertama dilakukan adalah menentukan satuan-satuan cerita dan fungsinya dengan mendasarkan diri pada kriteria makna (Barthes dalam Nurgiyantoro 2005: 46).
Satuan cerita atau sekuen disusun secara berurutan dan linear sehingga menunjukkan hubungan yang horisontal. Menurut Barthes (dalam Nurgiyantoro 2005: 46) satuan cerita atau sekuen mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi utama dan katalisator. Fungsi utama adalah sekuen yang memiliki hubungan sebab akibat yang mengarahkan jalan cerita (plot). Katalisator berfungsi untuk melengkapi dan mendukung fungsi utama serta mempunyai hubungan kronologis dengan satuan cerita lainnya.
Contoh sekuen:
1. Deskripsi keluarga le petit Poucet yang miskin. (fungsi utama)
22
3. Ketidaksanggupan penebang kayu memberi nafkah anak-anaknya sehingga ia membuang mereka di hutan. (fungsi utama)
4. Kesedihan istri penebang kayu yang tidak dapat berbuat apapun kecuali menerima keputusan suami. (katalisator)
Teori mengenai sekuen lainnya juga dikemukakan oleh M.P. Schmitt dan A. Viala dalam Handayani (1994: 35) melalui gagasan sebagai berikut:
1. Sekuen harus terpusat pada satu titik tertentu, misalnya peristiwa yang sama, tokoh yang sama, gagasan yang sama, ide atau pikiran yang sama.
2. Sekuen harus mengurung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren: sesuatu terjadi pada tempat atau waktu yang sama. Hal itu dapat juga merupakan gabungan beberapa tempat namun dalam waktu yang tercakup dalam satu tahapan, misalnya suatu periode dalam kurun waktu yang tercakup dalam kehidupan seorang tokoh, serangkaian contoh dan bukti-bukti untuk mendukung suatu gagasan.
3. Selain itu, sekuen yang diberi batasan seperti tersebut di atas, masing-masing dapat menjadi elemen dari sekuen yang lebih besar, sehingga seluruh teks membentuk teks yang maksimal.
2.8.2 Relasi Paradigmatik
Relasi paradigmatik yakni relasi yang berdimensi vertikal dan merupakan relasi antarunsur yang tidak hadir dalam tuturan. Unsur yang tidak hadir adalah unsur yang diasosiasikan. Kata-kata kekerabatan, misalnya, memiliki hubungan asosiatif. Begitu kata saudara dituturkan atau didengarkan, kata itu memiliki
asosiasi atau berparadigma dengan kata-kata adik, kakak, keponakan, paman, tante, dll.
Dalam analisis paradigmatik, unsur yang dibahas adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan makna cerita. Nurgiyantoro (2005: 47) menyatakan bahwa kajian analisis paradigmatik dalam karya sastra berupa kajian tentang tokoh, perwatakan tokoh, dan latar. Lebih jelasnya, kajian ini dibedakan menjadi dua, yakni indeks dan informan.
2.8.2.1 Indeks
Indeks menerangkan tentang sifat tokoh atau biasa dikenal dengan penokohan. Tokoh dalam suatu teks karya sastra sangatlah penting karena dapat menjelaskan bagaimana jalan cerita. Menurut Nurgiyantoro (2005: 165) istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, watak, perwatakan dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Dalam setiap cerita narasi terdapat beberapa tokoh sentral yang memegang peranan penting dalam cerita.
Contoh: Le Petit Poucet merupakan anak yang paling cerdas di antara kakak-kakaknya. Ia anak yang pendiam namun pendengar yang baik.
2.8.2.2 Informan
Pembahasan mengenai informan berkisar pada masalah ruang dan waktu, yaitu keterangan mengenai tempat terjadinya peristiwa dan keterangan mengenai kapan waktu peristiwa cerita berlangsung dalam sebuah karya fiksi. Nurgiyantoro (2005: 229) menyatakan bahwa latar tempat dalam sebuah karya fiksi berupa
24
lokasi yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan perkembangan plot dan tokoh.
Contoh: Rumah keluarga penebang kayu. Terdapat tiga ruang yang menjadi latar tempat dari peristiwa yang terjadi. Yang pertama adalah ruang keluarga tempat penebang kayu dan istrinya merencanakan untuk menelantarkan anak-anaknya.
25
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1
Pendekatan Penelitian
Dalam melakukan analisis sintagmatik dan paradigmatik, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra itu, yaitu memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan unsur instrinsik. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Pemahaman dipusatkan pada analisis terhadap unsur-unsur dalam dengan mempertimbangkan keterjalinan antarunsur-unsur di satu pihak, dan unsur-unsur dengan totalitas di pihak lain. Pendekatan objektif seringkali disebut juga dengan pendekatan struktural karena menelaah karya sastra terlepas dari alam sekitar pembaca (Ratna 2008:73).
Namun selain menggunakan pendekatan struktural, penelitian ini juga menggunakan pendekatan psikologi sastra. Psikologi sastra digunakan untuk menentukan tindak kekerasan yang terdapat dalam dongeng yang akan dianalisis.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing (Endraswara 2003: 96).
26
3.2
Sumber Data Penelitian
Sumber data skripsi ini adalah dongeng Le Petit Poucet, karya Charles Perrault yang terdapat dalam kumpulan dongeng berjudul Contes Édition de Jean-Pierre Collinet, yang diterbitkan oleh Éditions Gallimard pada tahun 1981.
3.3
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode simak dan teknik catat. Menurut Sudaryanto (1993: 133), metode simak yaitu metode penyimakan terhadap sumber data yang digunakan. Teknik catat yaitu teknik pencatatan dengan menyusun sekuen-sekuen dan fungsi utama dongeng Le Petit Poucet dan terhadap kalimat atau tuturan yang mengandung tindak kekerasan.
3.4
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna 2008: 53). Penelitian ini tidak berkaitan dengan data berupa angka namun lebih mengutamakan pendalaman tentang struktur yang terdapat di dalamnya. Data pada penelitian skripsi ini diambil dengan cara melakukan analisis sintagmatik dan paradigmatik yang dilanjutkan dengan menentukan tindakan-tindakan kekerasan yang terdapat dalam dongeng Le Petit Poucet. Data dianalisis menggunakan teknik Pilah Unsur Penentu.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah:
1. Membaca keseluruhan cerita dongeng Le Petit Poucet secara berulang-ulang untuk memperoleh pemahaman isi.
2. Menyusun sekuen dan fungsi utama dongeng Le Petit Poucet.
3. Menyusun hubungan sebab akibat yang terjadi dari fungsi utama yang telah ada.
4. Membuat analisis tokoh. latar waktu, dan latar tempat.
5. Menentukan tindak kekerasan yang terjadi dalam dongeng Le Petit Poucet dari analisis latar dan tokoh yang telah dibuat.
6. Membuat kesimpulan dari pembahasan yang telah dilakukan.
3.5
Metode Penyajian Hasil Analisis
Metode penyajian hasil analisis yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode informal. Metode penyajian informal yaitu perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto 1993: 145).
28
BAB 4
ANALISIS BERBAGAI TINDAK KEKERASAN
DAN PENYEBABNYA
Dalam bab ini akan dilakukan analisis sintagmatik untuk mengetahui jalannya alur cerita dan hubungan sebab akibat dalam dongeng Le Petit Poucet dan analisis paradigmatik untuk mengetahui perilaku tokoh-tokoh yang ada untuk mengetahui karakter tokoh tersebut sehingga dapat menemukan tindak kekerasan yang terkandung dalam karya ini.
4.1
Analisis Sintagmatik
Dalam subbab ini akan dilakukan analisis sintagmatik dengan membuat sekuen-sekuen untuk mengetahui jalannya alur cerita serta fungsi utama untuk mengetahui hubungan sebab akibat dalam dongeng ini. Katalisator tidak akan dibuat karena hanya berfungsi untuk melengkapi dan mendukung fungsi utama, serta tidak diperlukan dalam analisis tindak kekerasan.
Berikut ini satuan isi cerita berdasarkan satuannya:
5. La déscription de la famille de « Le Petit Poucet » qui était fort pauvre (p.191).
6. La déscription de la condition sociale et la condition économique qui étaient fâcheuses (p.191).
‘Deskripsi kondisi sosial ekonomi pada masa itu yang buruk.’
7. L’incompétence du bûcheron de nourir ses enfants et de laisser leurs enfants dans le bois (p.191).
‘Ketidaksanggupan penebang kayu memberi nafkah anak-anaknya sehingga ia membuang mereka di hutan.’
8. La tristesse de la bûcheronne qui ne pouvait rien faire sauf obéir son mari (p.192).
‘Kesedihan istri penebang kayu yang tidak dapat berbuat apapun kecuali menerima keputusan suami.’
9. La conversation du bûcheron et sa femme qui a été entendu par Le Petit Poucet (p.192).
‘Pembicaraan penebang kayu dan istrinya yang terdengar oleh Le Petit Poucet.’
10. L’idée de « Le Petit Poucet » pour dépasser ses problèmes (p.192). ‘Gagasan Le Petit Poucet untuk mengatasi masalah yang dihadapinya.’
11. Le départ de « Le Petit Poucet » au bord d’un ruisseau pour emplir ses poches des petits cailloux blancs (p.192).
‘Kepergian Le Petit Poucet di pagi hari ke tepi sungai untuk mengumpulkan batu-batu kerikil putih di kantongnya.’
12. Le retour de « Le Petit Poucet » chez lui (p.192). ‘Kepulangan Le Petit Poucet ke rumahnya.’
30
13. La déscription du voyage de la famille du bûcheron au bois: ‘Deskripsi perjalanan keluarga penebang kayu ke hutan.’
a. Le Petit Poucet n’ébruite rien tout ce qu’il savait à ses frères (p.192). ‘Le Petit Poucet tidak menceritakan apa yang diketahuinya kepada kakak-kakaknya.’
b. Pendant le voyage vers sa maison, il avait laissé tomber les petits cailloux blancs qu’il avait ramassés (p.192).
‘Selama perjalanan dari rumahnya ia sengaja menjatuhkan satu persatu batu-batu kerikil yang telah dikumpulkannya.’
14. Le Petit Poucet et ses frères ont été abandonnés au bois par ses parents quand ils étaient indifférents par ses parents (p.192).
‘Ditinggalkannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya oleh orang tua mereka di dalam hutan ketika anak-anak itu sedang lengah.’
15. La panique de ces garçons quand ils savaient que ses parents n’étaient pas là (p.192).
‘Kepanikan anak-anak penebang kayu ketika mengetahui bahwa orang tua mereka tidak ada.’
16. L’idée de « Le Petit Poucet » pour suivre les petits cailloux blancs (p.192). ‘Saran Le Petit Poucet untuk mengikuti batu-batu kerikil putih.’
17. La lâcheté de « Le Petit Poucet » et ses frères pour entrer chez eux (p.192). ‘Ketidakberanian Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya masuk ke dalam rumah mereka.’
18. 10 écus du Seigneur du village au bûcheron et sa femme (p193).
‘Uang 10 écus dari tuan tanah desa kepada penebang kayu dan istrinya.’ 19. L’acquisition de trois fois plus de viande à la Bucherie par la bûcheronne
(p.193).
‘Pembelian tiga porsi daging oleh istri penebang kayu di toko daging.’
20. La colère du bûcheron à sa femme car elle redit plus de vingt fois qu’ils s’en repentiraient (p.193).
‘Kemarahan penebang kayu terhadap istrinya yang terus menerus menyalahkannya.’
21. Les voix des garçons à la porte (p.193). ‘Suara anak dari balik pintu.’
22. La porte a été ouverte par la bûcheronne (p.193). ‘Dibukanya pintu oleh istri penebang kayu.’
23. La joie de « Le Petit Poucet » et ses frères quand ils ont rentrée chez eux (p.193).
‘Kegembiraan Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya ketika mereka pulang ke rumah mereka.’
24. La racontée du petit Poucet et ses frères sur leur expériences au bois quand ils avaient pris le dîner (p.194).
‘Cerita Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya saat makan malam bersama mengenai pengalaman mereka di dalam hutan.’
32
25. L’argent de la famille du petit Poucet a diminué jusqu’à ce que le bûcheron et sa femme décident de reprendre ses enfants dans l’endroit plus loin qu’avant (p194).
‘Persediaan uang keluarga penebang kayu menipis sehingga ia dan istrinya memutuskan untuk membawa kembali anak-anak mereka ke tempat yang lebih jauh daripada sebelumnya.’
26. Le plan de ses parents a été su par Le Petit Poucet (p194).
‘Rencana kedua orang tua mereka diketahui oleh Le Petit Poucet.’ 27. Son échec au parti chez lui pour ramasser des petits cailloux (p.194).
‘Ketidakberhasilan Le Petit Poucet ke luar dari rumahnya untuk mengumpulkan batu-batu kerikil.’
28. L’idée de « Le Petit Poucet » pour utiliser les morceaux du pain comme le guide (p.194).
‘Gagasan Le Petit Poucet untuk menggunakan serpihan roti sebagai penunjuk jalan.’
29. Le départ de la famille du bûcheron au bois qui était plus épaisse et obscur (p.194).
‘Kepergian keluarga penebang kayu ke bagian hutan yang lebih lebat dan gelap.’
30. Le Petit Poucet et ses frères ont été laissés par ses parents (p194).
‘Ditinggalkannya Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya oleh orang tua mereka.’
31. La surprise du petit Poucet quand il savait que les morceaux du pain comme le guide était mangé par les oiseaux (p194).
‘Keterkejutan Le Petit Poucet ketika mengetahui bahwa serpihan roti yang digunakannya untuk penunjuk jalan telah dimakan oleh burung-burung.’ 32. La description autour de l’endroit de « Le Petit Poucet » et ses frères étaient
là, la nuit vint, il s’éleva un grand vent, il survint une grosse pluie et ils ont entendu les hurlements de loups (p.194).
‘Deskripsi alam di sekitar tempat Le Petit Poucet dan kakak-kakaknya berada, hari sudah gelap, angin berembus kencang, hujan deras, dan terdengar lolongan serigala.’
33. La description de la condition de « Le Petit Poucet » et ses frères au bois: ‘Deskripsi keadaan Le Petit Poucet dan saudara-saudaranya di dalam hutan.’ a. Ils étaient saisi de la peur et par le froid (p.194).
‘Mereka ketakutan dan kedinginan.’
b. Ils glissaient à chaque pas et tombaient dans la boue (p.194).
‘Mereka terpeleset setiap kali melangkah dan jatuh ke dalam lumpur.’ 34. Une petite lueur qui était vu par Le Petit Poucet sur de l’arbre (p.194).
‘Terlihatnya secercah cahaya di kejauhan oleh Le Petit Poucet dari atas batang pohon.’
35. La déception de « Le Petit Poucet » qui n’a plus vu la petite lueur quand il descendit de l’arbre (p.194).
‘Kekecewaan Le Petit Poucet yang tidak lagi melihat cahaya yang tadi dilihatnya ketika turun dari pohon.’