• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN 1"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN

1

Eddy O.S Hiariej

Abstrak

Sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi yang rendah, negara pihak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, dan peserta aktif dalam inisiatif pengembalian aset yang dicuri, Indonesia perlu melakukan lebih banyak upaya dalam mengembalikan aset-asetnya yang dicuri sebagai suatu bagian dari kebijakan nasional untuk memerangi korupsi. Artikel ini membahas tiga hal yang diperlukan untuk dipertimbangkan oleh Indonesia dalam pengembalian aset yang dicuri, yaitu prasyarat pengembalian aset yang dicuri, urgensi untuk membentuk hukum tentang pengembalian aset yang dicuri dan rezim pengembalian aset yang dicuri. Dalam prasyarat pengembalian aset yang dicuri, terdapat enam elemen yang dapat mendukung pengembalian aset tersebut. Artikel ini juga memaparkan urgensi pembentukan undang-undang tentang pengembalian aset yang dicuri. Sementara dalam rezim pengembalian aset yang dicuri, dijelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mendukung pengembalian aset yang dicuri.

Kata Kunci: Piagam ASEAN, organisasi internasional, pengembalian asset, korupsi.

Abstract

As a country with a low rating in corruption perception index, a State Party to the United Nations Convention Against Corruption, and an active participant in the Stolen Asset Recovery Initiative, Indonesia needs to take more efforts in recovering its stolen asset as a part of national measure to fight against corruption.

(2)

This paper will discuss three things that need to be considered by Indonesia in recovering its stolen asset, i.e. the stolen asset recovery prerequisites, the urgency of having stolen asset recovery laws, and the regime of asset recovery.

In the stolen asset recovery prerequisites, there are six items that will support stolen asset recovery. This paper will elaborate the urgency of having stolen asset recovery laws. While in the stolen asset recovery law regime, it is explained which measures that must be taken to succeed stolen asset recovery.

Keywords: ASEAN Charter, international organization, asset recovery, corruption.

Pengantar

Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery) melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsi.

Permasalahan menjadi semakin sulit karena tempat penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut melampaui lintas batas wilayah negara. Bagi negara-negara berkembang, menembus berbagai permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan hukum negara-negara besar akan terasa sulit. Terlebih jika negara berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja sama yang baik dengan negara tempat aset curian disimpan. Belum lagi kemampuan teknologi negara berkembang yang sangat terbatas. Padahal salah satu sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan pelakunya memanfaatkan

(3)

kemajuan teknologi di bidang perbankan karena transaksinya yang bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal2.

Di Indonesia, korupsi menyebabkan kerugian besar keuangan negara. Dicurigai, setidaknya ada empat negara maju – Singapura, Australia, Amerika dan Swiss – sebagai tempat menyembunyikan ‘harta curian.’ Bahkan, harta tersebut seakan-akan dilindungi oleh aturan legal procedure negara setempat yang mengaturnya sebagai bagian dari kerahasiaan bank (bank secrecy act). Dengan demikian, akan mustahil untuk mengembalikan aset kejahatan tersebut apabila negara-negara maju tidak berperan aktif dan sungguh-sungguh membantu pengembalian aset tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, makalah ini akan mengulas tiga hal penting dalam rangka pengembalian aset negara, yakni prasyarat pengembalian aset, urgensi undang-undang pengembalian aset, dan rezim hukum pengembalian aset.

Prasyarat Pengembalian Aset

Pengembalian aset suatu negara yang telah dicuri, kendatipun tidak selamanya terkait erat dengan hasil kejahatan, yang paling dominan biasanya berhubungan dengan berbagai kejahatan ekonomi yang meliputi korupsi, kejahatan perpajakan, kejahatan perbankan, perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang serta kejahatan pencucian uang. Pencurian aset juga sering kali bertalian dengan suatu rezim otoriter yang korup.

Oleh karena itu, untuk mengembalikan aset-aset yang telah dicuri, salah satu prasyarat yang dibutuhkan adalah kemauan politik negara3.

(4)

Tidak hanya kemauan politik pemerintah semata sebagai eksekutif, tetapi juga kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif.

Kemauan politik dari parlemen terkait dengan seperangkat aturan hukum yang harus disiapkan mulai dari pelacakan aset, pembekuan aset, penyitaan aset, perampasan aset, pengelolaan aset, penyerahan aset sampai pada pemanfaatan dan pengawasan aset yang telah diserahkan. Demikian pula yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hubungan kerja sama timbal balik antarnegara. Dalam konteks yang demikian, peranan parlemen untuk membentuk undang-undang sangat dominan. Sudah barang tentu undang-undang yang dibentuk seyogyanya memudahkan kinerja aparat penegak hukum dalam rangka pengembalian aset tersebut. Sementara kemauan politik dari lembaga yudikatif terkait dengan sistem peradilan yang transparan, akuntabel dan dapat dipercaya.

Apabila kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif tersebut telah ada, barulah kemudian yang dibutuhkan adalah kemauan politik pemerintah yang biasanya ditindaklanjuti dengan langkah hukum. Kemauan politik negara yang sungguh-sungguh dalam rangka pengembalian aset merupakan jaminan utama bagi para aparat penegak hukum untuk bertindak secara leluasa berdasarkan seperangkat aturan yang ada tanpa tekanan atau beban psikologis apapun.

Pengalaman beberapa negara yang berhasil mengembalikan aset-aset yang telah dicuri oleh rezim yang korup dan otoriter menunjukan bahwa kemauan politik negara sangat menentukan. Di Filipina, beberapa hari setelah runtuhnya rezim Ferdinand Marcos, Pemerintah Filipina di 3 Negara di sini meliputi tiga kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif,

sebagaimana sistem separation of power atau pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu. Lihat selanjutnya dalam Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws, diterjemahkan oleh M. Khoril Anam, Nusamedia, Bandung, hlm. 106.

(5)

bawah kepemimpinan Corazon Aquino membentuk The Presidential Commission on Good Government (PCGG) yang bertugas mengembalikan aset yang telah dicuri Marcos. Langkah pertama yang dilakukan PCGG adalah membuka perwakilan informal di pengadilan Amerika dan Swiss untuk mendapatkan informasi dan kemudian meminta membekukan aset Marcos. Syarat yang diajukan oleh kedua negara tersebut adalah agar pengadilan di Filipina mengajukan gugatan yang intinya untuk mengambil alih simpanan Marcos. Selanjutnya, PCGG mengajukan gugatan perdata ke Sandiganbayan4 dan setelah itu asetnya

dapat dikembalikan dalam kurun waktu kurang lebih 17 tahun.

Demikian pula yang terjadi di Nigeria setelah berakhirnya rezim Sani Abacha. Presiden Obasanjo membentuk Special Police Investigation (SPI) untuk mengembalikan aset yang dicuri Abacha. Lebih sederhana dari apa yang pernah ditempuh Filipina, SPI meminta bantuan Swiss Law Firm, Mofrini And Partners.

Begitu juga yang terjadi di Peru, Presiden Alberto Fujimori membentuk Special Prosecutor untuk menyelidiki kasus Vladimiro Montesinos yang mencuri aset negara sekitar US$ 2 miliar. Jauh lebih mudah dari apa yang terjadi di Filipina dan Nigeria, pengembalian aset di Peru dengan cepat dilakukan karena Vladimiro Montesinos sebagai pelaku utama masih hidup5.

Selain masalah political will, harmonisasi peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan adalah hal penting dalam rangka pengembalian aset. Seperti yang telah diutarakan di atas, bahwa pengembalian aset tidak selalu berkaitan dengan kejahatan korupsi tetapi

(6)

juga dengan kejahatan lainnya. Bahkan tidak selamanya pengembalian aset terkait perkara pidana, namun dapat juga perkara perdata. Oleh karena itu, masalah pengembalian aset membutuhkan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan yang tepat.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah agar tidak terjadi tumpang tindih antara ketentuan undang-undang yang satu dengan ketentuan undang-undang yang lain. Dalam konteks Indonesia, kejahatan-kejahatan yang berpotensi menimbulkan pencurian aset negara, seharusnya memiliki rezim hukum tersendiri. Sebagai konsekuensi lebih lanjut, penegakan hukum untuk memproses kejahatan-kejahatan tersebut secara prosedural dapat berbeda dengan yang telah ada.

Selanjutnya yang akan diulas adalah sistem peradilan. Berkaitan dengan sistem peradilan, tidak mungkin dipisahkan dari sistem hukum yang berlaku di sebuah negara. Hal ini adalah suatu kewajaran sebab sistem peradilan adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan, yang meskipun secara garis besar hampir sama, namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya dan politik yang dianut6.

Secara sederhana, sistem peradilan, dalam hal ini adalah sistem peradilan pidana, adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan. Sebagaimana yang diungkapkan Carvadino dan Dignan bahwa sistem peradilan pidana

6

Eddy, O.S Hiariej, 2005, Criminal Justice System In Indonesia, Between Theory and Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research Institute, hlm. 25.

(7)

adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the court”7. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya

mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak hukum yang lain8.

Dalam perkembangan selanjutnya, sistem peradilan pidana dengan model due process mendominasi sistem peradilan pidana di berbagai belahan dunia karena dianggap lebih menjamin hak asasi manusia, lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan suatu kejahatan juga mulai menggunakan due process of law dalam sistem beracaranya.

Mengingat proses pengembalian aset akan berhadapan dengan lebih dari satu sistem hukum, Indonesia sebaiknya menggunakan sistem peradilan dengan model yang diterima secara universal, yakni due process of law.

Sementara dalam sistem peradilan perdata, pada hakekatnya memiliki karakteristik yang sama hampir di seluruh dunia, yaitu inisiatif beracara datang dari para pihak, hakim bersifat pasif dan kebenaran yang dicari adalah kebenaran formal yang terikat pada alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Prasyarat pengembalian aset berikutnya adalah kerja sama kelembagaan, yakni kerja sama antarlembaga yudisial dan

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 3 berikut menunjukkan hasil pendugaan fungsi produksi stochastic frontier usahatani kedelai yang menggunakan 5 variabel independen, yang menunjukkan bahwa lahan dan

triage, hal ini karena sebagian besar perawat yang bertugas di IGD memiliki keyakinan yang dimiliki responden akan kemampuannya dalam pelaksanaan triage dimana

Konačno, kada se kontroliraju efekti dobi i spola, kao značajni prediktori depresivnosti pokazali su se majčino odbacivanje i nisko prihvaćanje oca, slično kao i

Untuk pembandingan Taman Hutan Raya Bung Hatta rata-rata informan mengatakan hal yang menjadi pembanding pengelola Taman Hutan Raya Bung Hatta yaitu tingkat kunjangan dalam

Kemudian, penambahan komite audit sebagai alat untuk memoderasi pengaruh antara profitabilitas terhadap corporate environmental disclosure dari rapat yang diadakan

Salah satu dasar bagi Pemerintah Indonesia dalam upaya untuk melaksanakan kewajiban negara adalah dengan melaksanakan ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perbedaan gambaran histopatologi anatomi luka iris pada kulit dan otot punggung Tikus Wistar pada periode intravital, perimortem

Adanya sistem skoring yang valid akan sangat membantu klinisi dalam menghadapi infeksi bakteri ESBL. Keputusan dalam bagaimana menghadapi bakteri ESBL ini semestinya tidak