• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATERI MUATAN HAM DALAM PEMBENTUKAN DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MATERI MUATAN HAM DALAM PEMBENTUKAN DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL BEST PRACTICE

MATERI MUATAN HAM DALAM

PEMBENTUKAN DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Teknis Substantif Bidang Instrumen HAM

Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan

Berperspektif HAM

Hidayat Yasin

Wiharyani

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

MATERI MUATAN HAM DALAM

PEMBENTUKAN DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Teknis Substantif Bidang Instrumen HAM

Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan

Berperspektif HAM

Dalam masa transparansi dan era keterbukaan di mana sumber informasi terbuka sangat luas dan era di mana masyarakat diberi ruang luas untuk menyampaikan pendapatnya, peran serta masyarakat dalam rangka pembangunan hukum akan sangat penting. Dengan berkembangnya tingkat kesadaran hukum sebagai bagian dari budaya masyarakat diharapkan masyarakat tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Di samping itu masyarakat dapat ikut berperan dalam rangka melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Informasi dari masyarakat akan sangat membantu bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Namun demikian kualitas laporan masyarakat akan sangat memengaruhi tingkat kegunaan laporan tersebut.

Melalui upaya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap hukum diharapkan akan dapat menumbuhkan budaya hukum yang baik. Masyarakat tidak hanya ikut berperan dalam mengurangi adanya pelanggaran hukum akan tetapi juga ikut berpartisipasi dalam proses pengawasan penegakan hukum.

ISBN 978-623-6869-12-3

(2)
(3)

MATERI MUATAN HAM DALAM

PEMBENTUKAN DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Teknis Substantif Bidang Instrumen HAM

Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan

Berperspektif HAM

(4)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014

TENTANG HAK CIPTA Pasal 1

(1) Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta

atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(5)

MATERI MUATAN HAM DALAM

PEMBENTUKAN DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Teknis Substantif Bidang Instrumen HAM

Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan

Berperspektif HAM

PENULIS:

Hidayat Yasin

Wiharyani

BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA

(6)

MODUL BEST PRACTICE

MATERI MUATAN HAM DALAM

PEMBENTUKAN DAN ANALISIS

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Teknis Substantif Bidang Instrumen HAM

Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan

Berperspektif HAM

Hidayat Yasin Wiharyani

BPSDM KUMHAM Press

Jalan Raya Gandul No. 4 Cinere – Depok 16512

Telepon (021) 7540077, 754124 Faksimili (021) 7543709, 7546120 Laman : http://bpsdm.kemenkumham.go.id

Cetakan ke-1 : Oktober 2020 Perancang Sampul : M. Ari Penata Letak : M. Ari

Ilustrasi sampul : https://www.pikist.com/free-photo-ionpe

xii+56 hlm.; 18 × 25 cm ISBN: 978-623-6869-12-3

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang mengutip dan memublikasikan

sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin dari Penerbit Dicetak oleh:

PERCETAKAN POHON CAHAYA isi di luar tanggung jawab percetakan

(7)

SAMBUTAN

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya Modul Best Practice berjudul “Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan” telah terselesaikan. Modul ini disusun untuk membekali para pembaca agar mengetahui dan memahami salah satu tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Modul Best Practice merupakan strategi pendokumentasian pengetahuan tacit yang masih tersembunyi dan tersebar di banyak pihak, untuk menjadi bagian dari aset intelektual organisasi. Langkah ini dilakukan untuk memberikan sumber-sumber pengetahuan yang dapat disebarluaskan sekaligus dipindahtempatkan atau replikasi guna peningkatan kinerja individu maupun organisasi. Keberadaan Modul Best Practice dapat mendukung proses pembelajaran mandiri, pengayaan materi pelatihan, dan peningkatan kemampuan organisasi dalam konteks pengembangan kompetensi yang terintegrasi (Corporate University) dengan pengembangan karier.

Modul Best Practice pada artinya dapat menjadi sumber belajar guna memenuhi hak dan kewajiban pengembangan kompetensi paling sedikit 20 jam pelajaran (JP) bagi setiap pegawai. Hal ini sebagai implementasi amanat Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).

Dalam kesempatan ini, kami atas nama Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas dukungan dan kontribusinya dalam penyelesaian modul ini. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas publikasi ini. Semoga modul ini dapat berkontribusi positif bagi para pembacanya dan para pegawai di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM.

(8)

Selamat Membaca.... Salam Pembelajar....

Jakarta, Agustus 2020

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia

(9)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa, karena atas kehendak dan perkenanan-Nya, kita masih diberi kesempatan dan kesehatan dalam rangka penyusunan Modul Best Practice berjudul “Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan”.

Modul Best Practice “Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan” menjadi sumber pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman dan pengetahuan terhadap keberagaman bidang tugas dan fungsi serta kinerja organisasi Kemenkumham. Selain itu modul ini juga menjadi upaya untuk memperkuat dan mengoptimalkan kegiatan pengabadian aset intelektual dari pengetahuan tacit individu menjadi pengetahuan organisasi. Pengetahuan tacit yang berhasil didokumentasikan akan sangat membantu sebuah organisasi dalam merumuskan rencana strategis pengembangan kompetensi baik melalui pelatihan maupun belajar mandiri, serta implementasi Kemenkumham Corporate University (CorpU).

Demikian Modul Best Practice “Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan” ini disusun, dengan harapan modul ini dapat bermanfaat dalam meningkatkan kompetensi para pembaca khususnya pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Depok, 26 Oktober 2020 Kepala Pusat Pengembangan Diklat Teknis dan Kepemimpinan,

Hantor Situmorang

(10)
(11)

DAFTAR ISI

Sambutan ... v

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... ix Daftar Tabel ... xi Daftar Lampiran ... xi BAB 1 Pendahuluan... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Deskripsi Singkat ... 3 C. Manfaat ... 4 D. Tujuan Pembelajaran ... 4 E. Materi Pokok ... 5 F. Petunjuk Belajar ... 5

BAB 2 Konsep Dasar HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 6

A. Pengertian dan Prinsip Dasar HAM ... 6

B. Instrumen Hak Asasi Manusia ... 16

C. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dalam P5 HAM ... 20

BAB 3 Integrasi Materi Muatan HAM Wujud Implementasi Tanggung Jawab Negara di Bidang Hukum ... 25

A. Indonesia Sebagai Negara Hukum ... 25

B. Integrasi Materi Muatan HAM ... 33

Bab 4 Strategi Mewujudkan Peraturan Perundang-undangan Berperspektif HAM ... 39

A. Proses dan Mekanisme Penyiapan Pembentukan Instrumen HAM ... 39

(12)

B. Analisis Peraturan Perundang-undangan

Berperspektif HAM ... 42

C. Materi Muatan HAM dalam Peraturan Perundang-undangan sebagai Laporan Implementasi Instrumen HAM Internasional ... 45

BAB 5 Keberhasilan Pengintegrasian Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan ... 47

A. Pelaksanaan dan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Analisis Regulasi Bernuansa HAM di Tingkat Pusat dan Daerah ... 47

B. Tantangan Pengintegrasian Materi Muatan HAM dalam Peraturan Perundang-undangan ... 48

BAB 6 Penutup ... 50

A. Simpulan ... 50

B. Saran dan Rekomendasi ... 50

Daftar Pustaka ... 51

(13)

Daftar Tabel

1. Instrumen HAM Internasional ... 17

Daftar Lampiran

1. Forum Group Discussion (FGD) Analisis Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kabupaten Lampung Pelindungan dan Pemenuhan Hak Bagi Penyandang

Disabilitas, di Kantor Wilayah Hukum dan HAM Lampung ... 54 2. Forum Group Discussion (FGD) Analisis Rancangan

Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Jawa Barat

tentang Perlindungan Anak, di Kantor Wilayah Hukum dan HAM

Jawa Barat ... 55 3. Forum Group Discussion (FGD) Sosialisasi dan Pengenalan

Rancangan Panduan Teknis Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Pedoman Materi Muatan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(14)
(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

Salam Para Pembelajar.

Pada kesempatan ini akan disajikan sebuah materi yang menguraikan dan mengupas tentang bagaimana penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakkan, dan pemajuan nilai dan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam materi muatan HAM dapat diintegrasikan dalam pembentukan maupun analisis sebuah peraturan perundang-undangan sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam bidang regulasi yang berperspektif HAM.

A. Latar Belakang

Pengakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan salah satu ciri dari negara hukum. Negara Indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas hukum sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UUD 1945 “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hak Asasi manusia adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang melekat pada individu sejak ia lahir secara kodrat yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan dicabut keberadaannya dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia.

Dasar perlindungan hukum atas HAM di Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang Dasar 1945 alinea IV, Bab XA Undang Dasar 1945 (Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.1 Pasal 28 I

ayat (4) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Demikian pula dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang kewajiban dan

1 Titon Slamet Kurnia, Reparasi terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 23.

(16)

tanggung jawab pemerintah dalam menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur melalui peraturan perundang-undangan serta hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

Instrumen HAM adalah setiap sumber hukum HAM internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang memuat ketentuan-ketentuan tentang HAM dalam kerangka hukum dan kebijakan.

Salah satu masalah penting yang saat ini menjadi agenda Pemerintah adalah penataan peraturan perundang-undangan, yaitu tidak hanya dengan permasalahan peraturan yang tumpang tindih dan proses pembuatannya yang tidak mengikuti sistem yang baku namun juga permasalahan substansinya yang tidak berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Peraturan perundang-undangan merupakan sub sistem hukum yang berfungsi menciptakan hukum sesuai dengan ruang lingkupnya yaitu mengatur, menetapkan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa asas materi muatan peraturan perundang-undangan salah satunya harus mencerminkan kemanusiaan. Hal ini menegaskan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus menjamin penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan (P5 HAM) setiap hak yang dimiliki warga negara sebagai salah satu subjek hukum. Nilai dan prinsip HAM harus tertuang dalam materi muatan peraturan perundang-undangan dan dipahami oleh setiap pihak yang berwenang dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.

(17)

Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Direktorat Jenderal HAM mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan, memberikan bimbingan teknis dan supervisi serta melaksanakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan di bidang HAM di Indonesia. Tugas tersebut dilaksanakan dengan menyiapkan perumusan instrumen HAM, bimbingan teknis dan supervisi instrumen HAM dan pelaksanaan pemantauan evaluasi dan pelaporan instrumen HAM.

Hal tersebut menjadi dasar bagi Menteri Hukum dan HAM menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Pedoman Materi Muatan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Permenkumham Nomor 24 Tahun 2017). Pasal 1 ayat (1) Permenkumham Nomor 24 Tahun 2017 menjelaskan bahwa pedoman materi muatan HAM dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dimaksudkan sebagai acuan bagi lembaga atau pejabat yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan penghormatan, pelindungan, pemenuhan, penegakkan, dan pemajuan hak asasi manusia untuk setiap orang khususnya bagi warga negaranya. Sebagai sebuah negara hukum yang berlandaskan konstitusi dan Pancasila, salah satu wujud tanggung jawab Indonesia dalam perlindungan HAM adalah dengan membentuk regulasi yang dapat mengimplementasikan hal tersebut.

B. Deskripsi Singkat

Para Pembelajar, materi ini membekali pembaca agar memahami dan mampu menjelaskan Konsep Dasar HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Instrumen HAM Sebagai Wujud Tanggung Jawab Negara di Bidang Regulasi, Implementasi Perlindungan HAM Melalui Peraturan Perundang-undangan, dan Keberhasilan Pengintegrasian Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Sebuah Peraturan Perundang-undangan. Kemampuan ini untuk membekali pemanfaatan

(18)

model pembelajaran alternatif sesuai kebutuhan individu, organisasi, dan lingkup Kemenkumham.

C. Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dengan mempelajari materi ini adalah: 1. Peserta dapat memahami Konsep Dasar HAM dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan

2. Peserta dapat memahami Implementasi Perlindungan HAM Melalui Peraturan Perundang-undangan

3. Peserta dapat memahami Keberhasilan Pengintegrasian Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Sebuah Peraturan Perundang-undangan

D. Tujuan Pembelajaran

1. Hasil Belajar

Setelah mengikuti materi ini, para pembelajar diharapkan dapat menjelaskan konsep, proses, dan mekanisme integrasi materi muatan HAM dalam pembentukan dan analisis sebuah peraturan perundang-undangan, sebagai wujud implementasi tanggung jawab negara atas perlindungan HAM di bidang hukum.

2. Indikator Hasil Belajar

Setelah mempelajari materi ini, para pembelajar diharapkan dapat:

a. Menjelaskan konsep dasar HAM dalam pembentukan peraturan perundang-undangan;

b. Menjelaskan pentingnya integrasi materi muatan HAM dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud implementasi tanggung jawab negara di bidang hukum;

c. Menjelaskan strategi dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berperspektif HAM; dan

(19)

d. Menjelaskan keberhasilan pengintegrasian materi muatan HAM dalam pembentukan dan analisis sebuah peraturan perundang-undangan

E. Materi Pokok

Materi pokok yang dibahas dalam materi ini adalah:

1. Konsep dasar HAM dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

2. Integrasi materi muatan HAM dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud implementasi tanggung jawab negara di bidang hukum Model pembelajaran mandiri berbasis komunitas di luar kelas.

3. Strategi mewujudkan peraturan perundang-undangan berperspektif HAM.

4. Keberhasilan pengintegrasian materi muatan HAM dalam pembentukan dan analisis sebuah peraturan perundang-undangan.

F.

Petunjuk Belajar

Anda sebagai pembelajar, dan agar dalam proses pembelajaran maupun internalisasi pemahaman “Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis Peraturan Perundang-undangan” dapat berjalan lebih lancar, dan indikator hasil belajar tercapai secara baik, Anda kami sarankan untuk mempelajari secara urut, menambah referensi lain yang terkait, serta berdiskusi dengan beberapa pihak untuk mendapatkan gambaran pemahaman lain sekaligus penguatan tentang Konsep dasar HAM dengan pendekatan strategi mewujudkan Peraturan perundang-undangan berperspektif HAM.

(20)

BAB 2

KONSEP DASAR HAM DALAM PEMBENTUKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Setelah membaca bab ini, para pembelajar diharapkan dapat memahami dan menjelaskan konsep dasar HAM dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Salam Para Pembelajar.

Hak Asasi Manusia, dalam pengertian yang sederhana, merupakan hak yang secara alamiah dan kodrati melekat pada makhluk hidup yang bernama manusia semata-mata karena ia merupakan manusia (human being), bukan makhluk lain selain manusia. Begitu maujud seorang manusia, maka melekat dalam dirinya hak tersebut. Hak-hak asasi tersebut sangat berkaitan erat dengan harkat dan martabat manusia (human dignity). Tanpa hak-hak dasar tersebut manusia tidak dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya itu. Pemenuhan dan penghormatan terhadap HAM memungkinkan perseorangan dan masyarakat untuk berkembang secara utuh.2

A. Pengertian dan Prinsip-prinsip HAM

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa pengertian Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat

dan martabat manusia. 3 Hakekat HAM merupakan upaya menjaga

2 (Lihat juga Jack Donnely, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, (Cornell University

Press, Ithaca and London), hlm. 7-21. Bandingkan dengan Eko Riyadi (ed.), 2008, Hukum Hak Asasi Manusia (PusHAM UII, Yogyakarta) Hlm. 11. Lihat juga Maurice Cranston. 1973, What are Human Rights?, (Taplinger, New York), hlm. 70.)

(21)

keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah baik sipil maupun militer) dan Negara. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, memenuhi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam peraturan perundang-undangan meliputi langkah implementasi yang efektif di bidang hukum, sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan negara.4

Kemudian kita juga perlu memahami mengenai konsep generasi Hak Asasi Manusia yang berkembang di dunia, Max Boli Sabon membagi menjadi 3 generasi, yaitu:5

1. Generasi pertama: Hak Sipil dan Politik (“Hak Sipol”).

a. Hak sipil contohnya adalah:

1) hak untuk menentukan nasib sendiri; 2) hak untuk hidup;

3) hak untuk tidak dihukum mati; 4) hak untuk tidak disiksa;

5) hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang;

6) hak atas peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak. b. Hak politik contohnya adalah:

1) hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat; 2) hak untuk berkumpul dan berserikat;

3) hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum;

4) hak untuk memilih dan dipilih;

5) hak untuk duduk dalam pemerintahan.

4 Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, (1999). Hak Asasi Manusia: Tanggung Jawab Negara Peran

Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta: KOMNAS HAM, hlm.8.

(22)

Hak Sipol ini dituangkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) atau (“UU Sipol”).

2. Generasi kedua: Hak Ekonomi, sosial, dan kebudayaan (“Hak

Ekosob”)

a. Hak ekonomi contohnya adalah: 1) hak untuk bekerja;

2) hak untuk mendapatkan upah yang sama atas pekerjaan yang sama;

3) hak untuk tidak dipaksa bekerja; 4) hak untuk cuti;

5) hak atas makanan dan perumahan; 6) hak atas kesehatan.

b. Hak sosial contohnya adalah: 1) hak atas jaminan sosial; 2) hal atas tunjangan keluarga; 3) hak atas pelayanan sosial;

4) hak atas jaminan saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjanda, mencapai usia lanjut;

5) hak ibu dan anak untuk mendapat perawatan dan bantuan istimewa;

6) hak perlindungan sosial bagi anak-anak di luar perkawinan. 7) Hak kebudayaan contohnya adalah:

a) hak atas pendidikan;

b) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan; c) hak untuk menikmati kemajuam ilmu pengetahuan;

d) hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta.

(23)

Hak Ekosob ini dituangkan dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) atau (“UU Ekosob”).

3. Generasi ketiga: mencakup enam macam hak, yaitu:

a. hak atas penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan;

b. hak atas pembangunan ekonomi dan sosial;

c. hak untuk berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind), serta informasi-informasi dan kemajuan lain;

d. hak atas perdamaian;

e. hak atas lingkungan yang sehat; f. hak atas bantuan kemanusiaan.

4. Generasi keempat

Satu generasi ini diusung oleh Jimly Ashiddique, di mana menurutnya dalam bukunya Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, HAM generasi pertama sampai ketiga hanya konsep HAM yang dilihat dari perspektif vertikal yaitu hubungan antara rakyat dengan penguasa. Sedangkan hak generasi keempat adalah konsepsi hak asasi manusia yang dilihat dari perspektif yang bersifat horizontal. Menurutnya, melihat perkembangan zaman ini muncul tiga kelompok kekuasaan horizontal, yaitu kekuasaan negara di satu pihak, kekuasaan ekonomi (kapitalisme global/perusahaan multinasional di lain pihak, dan kekuasaan masyarakat madani di lain pihak lagi. Singkatnya ada tiga kelompok kekuasaan yang saling berpengaruh yaitu state, market, dan civil society, termasuk

(24)

non-governmental organization (NGO/LSM). Dengan demikian, hak

generasi keempat adalah hak kelompok yang satu untuk tidak ditindas oleh yang lain, baik antar kelompok maupun intrakelompok, dalam pola hubungan horizontal.6

Sebelum meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipol dan Kovenan Internasional Hak Ekosob, Indonesia juga telah membentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia atau (“UU HAM”). Menurut praktisi hak-hak perempuan dari Lembaga Samahita, Annisa Yovani, UU HAM juga telah memasukkan hak-hak terkait sipol dan ekosob seperti pasal-pasal berikut ini:7

1. Hak Sipil:

a. Pasal 9 UU HAM

1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.

3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

b. Pasal 20 UU HAM:

1) Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhamba. 2) Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak,

perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apa pun yang tujuannya serupa, dilarang.

2. Hak Politik:

a. Pasal 23 UU HAM:

1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.

2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya,

6 Jimly Asshiddiqie, (2005). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Kompress, hlm. 209-288.

7 Teguh Presetyo. (2017). Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang

(25)

secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

b. Pasal 24 UU HAM:

1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.

2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Hak Ekonomi:

a. Pasal 38 UU HAM:

1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. 2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan

yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

3) Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.

4) Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

(26)

4. Hak Sosial:

a. Pasal 41 UU HAM:

1) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.

2) Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

5. Hak Kebudayaan: a. Pasal 6 UU HAM:

1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Lebih lanjut menurut Annisa,8 dalam UU HAM, UU Sipol, maupun UU

Ekosob, dan regulasi-regulasi lainnya adalah implementasi dari bentuk konsep HAM yang digunakan di Indonesia. Ia berpendapat bahwa unsur-unsur HAM yang memiliki ciri khas untuk kepentingan diri sendiri (seperti hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu) adalah konsep HAM individualistis. Sedangkan unsur-unsur HAM yang memiliki ciri khas antar individu atau suatu kelompok atau berkaitan dengan keadilan (hak untuk mendapat upah yang sama, mendapat jaminan sosial, hak untuk berkumpul) adalah konsep HAM aliran paham marxisme.

Selain itu Jimly Ashiddiqie berpendapat bahwa ketika terjadi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) secara konstitusional, dengan menambah Bab XA berjudul Hak Asasi Manusia (Pasal 28 A sampai dengan 28 J), secara

(27)

konstitusional seluruh masyarakat bangsa Indonesia menerima konsep HAM sebagai konsep yang sejalan dengan ideologi Pancasila. Dengan demikian, semua perdebatan tentang konsep HAM yang terjadi sepanjang masa perjuangan kemerdekaan telah sirna, dan kini sudah tidak ada lagi silang selisih pendapat tentang HAM untuk dimasukkan dalam UUD 1945.9

Sebagai informasi, sebelumnya menurut Max Boli Sabon pada era perjuangan kemerdekaan Indonesia, muncul beberapa perdebatan mengenai masuk atau tidaknya konsep HAM antar tokoh pendiri bangsa di antaranya:10

1) Ir. Soekarno menentang HAM dimasukkan dalam UUD 1945 karena konsep HAM berdasarkan individualistis dalam ideologi liberalisme sehingga harus dikikis habis dari muka bumi Indonesia.

2) Soepomo berpendapat bahwa HAM bersifat individualistis sehingga bertentangan dengan paham negara kekeluargaan (negara integralistis) yang sedang dibangun.

3) Mohammad Hatta berpendapat bahwa Ham perlu dimasukkan dalam UUD 1945 untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh negara terhadap warga negara manakala suatu saat negara hukum (rechtsstaat) berubah menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). 4) Mohammad Yamin berpendapat bahwa HAM perlu dimasukkan dalam

UUD 1945 sebagai perlindungan kemerdekaan terhadap warga negara yang harus diakui oleh UUD 1945.

Prinsip HAM adalah hal-hal yang menjadi dasar dari teori dan konsep HAM yang harus diaplikasikan dalam setiap kebijakan. Prinsip HAM antara lain:11

9 Op. cit. Jimly Asshiddiqie, hlm. 229. 10 Op. cit. Max Boli Sabon, hlm. 89.

11 Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Parameter Hak Asasi Manusia

Terhadap Rancangan Peraturan Perundang-undangan”, (Jakarta: Balitbang Hukum dan HAM, 2016), hlm. 9.

(28)

1. Bersifat Universal (universality)

Beberapa moral dan nilai-nilai etik tersebar di seluruh dunia. Negara dan masyarakat di seluruh dunia seharusnya memahami dan menjunjung tinggi hal ini. Universalitas hak berarti bahwa hak tidak dapat berubah atau hak tidak dialami dengan cara yang sama oleh semua orang. Prinsip ini menekankan bahwa semua orang di dunia memiliki hak yang sama, tidak dibedakan karena setiap manusia lahir dengan kemerdekaan dan martabat yang sama dalam hak. Universalitas dari hak bukan berarti bahwa hak-hak tersebut tidak dapat berubah ataupun harus dialami dengan cara yang sama oleh semua orang.

2. Martabat Manusia (Human Dignity)

Prinsip-prinsip ham didasarkan atas pandangan bahwa setiap individu memiliki hak yang melekat sehingga patut untuk dihargai dan dijunjung tinggi tanpa memandang usia, budaya, kepercayaan, etnis, ras, gender, orientasi seksual, bahasa, ketidakmampuan atau kelas sosial, Oleh karenanya, harus dihormati dan dihargai hak asasinya. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hierarkis.

3. Kesetaraan dan Diskriminasi (Equality and Non-discrimination)

Kesetaraan menekankan penghargaan terhadap martabat seluruh insan manusia. Kesetaraan bukan berarti memberlakukan orang secara sama, tetapi lebih kepada mengambil langkah-langkah yang di perlukan untuk lebih memajukan keadilan sosial bagi semua. Konsep kesetaraan mengekspresikan gagasan menghormati martabat yang melekat pada setiap manusia. Secara spesifik pasal 1 DUHAM menyatakan bahwa: setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya. Non-diskriminasi terintegrasi dalam kesetaraan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak

(29)

seorang pun dapat meniadakan hak asasi orang lain karena faktor-faktor luar, seperti misalnya ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, status kelahiran atau lainnya

4. Tidak Dapat Dicabut (inalienability)

Prinsip ini menekankan bahwa hak-hak setiap individu adalah melekat dan tidak dapat direnggut, dilepaskan dan dipindahkan.

5. Tidak Dapat Dibagi, Saling Berkaitan, dan Bergantung (Indivisibility, Interrelated, and Interdependence)

HAM-baik hak sipil, politik, sosial, budaya, ekonomi-semuanya bersifat inheren, yaitu menyatu dalam harkat martabat manusia. Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi: hak tersebut merupakan modal dasar bagi setiap orang agar mereka bisa menikmati hak-hak lainnya seperti hak atas kesehatan atau hak atas pendidikan.

Pemenuhan dari satu hak sering kali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contohnya, dalam situasi tertentu, hak atas pendidikan atau hak atas informasi adalah saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu pelanggaran HAM saling bertalian; hilangnya satu hak mengurangi hak lainnya.

6. Tanggung Jawab Negara (State Responsibility)

Hak asasi manusia adalah pengakuan sah atas kewajiban negara untuk menjamin bahwa hak-hak tersebut dihormati (to respect), dilindungi (to protect) dan dipenuhi (to fullfill) bagi semua warga negara.

(30)

B. Instrumen Hak Asasi Manusia

Instrumen HAM adalah keseluruhan perangkat hukum yang mengatur atau memberikan pedoman bagi pelaksanaan HAM. Instrumen HAM berupa standar-standar pembatasan pelaksanaan serta mekanisme kontrol terkait HAM yang menjadi acuan bagi seluruh penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan tugasnya.

Instrumen HAM Internasional terbagi dalam dua jenis:

1. Instrumen HAM yang mengikat secara yuridis setelah dilakukan ratifikasi, antara lain: konvenan, konvensi, dan protokol.

2. Instrumen HAM yang tidak mengikat secara yuridis, antara lain: deklarasi, bodies of principles, code of ethics, dan guidelines.

Jenis-jenis dari instrumen HAM adalah sebagai berikut:

1. Instrumen HAM Nasional. Instrumen HAM Nasional adalah keseluruhan perangkat hukum dan dokumen nasional yang mengatur atau memberikan pedoman implementasi HAM secara nasional.

2. Instrumen HAM Internasional. Instrumen HAM Internasional merupakan kesepakatan global atas pengakuan terhadap harkat dan martabat serta hak-hak dasar manusia yang setara dan tidak dapat dipisahkan dan merupakan landasan bagi kebebasan, kedamaian, dan keadilan di dunia.

Instrumen HAM Internasional berperan dalam:

a. Menetapkan kewajiban negara untuk memastikan pemenuhan HAM, yang merupakan dasar bagi perkembangan manusia.

b. Memberikan kerangka teoritis dan yuridis bagi tindakan praktis di tingkat nasional dan internasional.

c. Menetapkan kriteria obyektif bagi good governance dan implementasi kerja sama bilateral dan multilateral.

d. Memberikan landasan yang kokoh bagi kemitraan dan partisipasi dalam pembangunan dunia.

(31)

Instrumen HAM Internasional di mana Indonesia merupakan Negara Pihak yang telah meratifikasinya ke dalam hukum nasional antara lain:12

Tabel 1. Instrumen HAM Internasional

Instrumen HAM Internasional Singkatan Aksesi

1. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik) 1966

ICCPR UU No. 12 Tahun

2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Mengenai Hak-hak Sipil dan Politik 2. International Covenant on

Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) 1966

ICESCR UU No. 11 Tahun2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 3. International Convention on The

Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial) 1965.

ICERD UU No. 29 Tahun

1999 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965)

(32)

Instrumen HAM Internasional Singkatan Aksesi

4. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) 1979

CEDAW UU No. 7 Tahun

1984 Mengenai Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita 5. Convention against Torture and

Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or

Punishment (Konvensi

Menentang Penyiksaan, dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat) 1984

CAT UU No. 5 Tahun

1998 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penyiksaan dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia 6. Convention on the Rights of the

Child (Konvensi Tentang Hak-hak Anak) 1989 CRC Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Anak 7. International Convention on the

Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi

Internasional tentang Perlindungan Hak Para Buruh

Migran dan Keluarganya) 1990

ICMW UU No. 6 Tahun

2012 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-hak Seluruh

(33)

Instrumen HAM Internasional Singkatan Aksesi

Pekerja Migran dan Anggota

Keluarganya 8. Convention on the Rights of

Persons with Disabilities (Konvensi Tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas) 2006 CRPD UU No. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas 9. Optional protocol to the

Convention on the Rights of the Child on the involvement of children in armed conflict (Protokol Tambahan pada Konvensi tentang Pelibatan Anak pada konflik bersenjata) 2000 OP-CRC-AC UU No. 9 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata 10. Optional protocol to the

Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child

pornography (Protokol

Tambahan pada Konvensi Hak Anak tentang Anak yang Diperdagangkan, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak) 2000 OP-CRC-SC UU No. 10 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak

Selain itu, Indonesia juga memiliki instrumen HAM nasional yang menjadi landasan atau payung hukum di bidang HAM dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu Undang-Undang

(34)

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Pada UUD 1945 ketentuan yang khusus mengatur tentang HAM terdapat dalam Bab XA Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J.

C.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dalam P5 HAM

Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen HAM. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak, sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah pengadilan yang kompeten atau adjudikator (penuntut) lain yang sesuai dengan aturan dan prosedur hukum yang berlaku.13

Berdasarkan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia internasional, telah diterima bahwa pihak yang terikat secara hukum dalam pelaksanaan HAM adalah negara. Dalam konteks ini, negara berjanji untuk mengakui, menghormati, melindungi, memenuhi, dan menegakkan HAM. Ketentuan hukum HAM tersebut memberi penegasan pada hal-hal berikut ini:14

1. Negara sebagai pemangku tanggung jawab (duty holder), yang harus memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam pelaksanaan HAM baik secara nasional maupun internasional, sedangkan individu dan kelompok-kelompok masyarakat adalah pihak pemegang hak (right

holder).

2. Negara tidak memiliki hak, negara hanya memikul kewajiban dan tanggung jawab (obligation and responsibility) untuk memenuhi hak warga negaranya (baik individu maupun kelompok) yang dijamin dalam instrumen-instrumen HAM internasional.

13 Ifdhal Kasim (Ed), (2001). Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, Buku I, Jakarta: Elsam, hlm. 14-15. Baca Juga Jack Donnely, Universal Human Rights, hlm. 7.

(35)

3. Jika negara tidak mau atau tidak punya keinginan untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, pada saat itulah negara tersebut bisa dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum internasional. Jika pelanggaran tersebut tidak mau dipertanggung-jawabkan oleh negara, maka tanggung jawab itu akan diambil alih oleh masyarakat internasional.

Kewajiban dan tanggung jawab negara dalam kerangka pendekatan berbasis HAM bisa dilihat dalam 5 bentuk:15

1. Menghormati:

Merupakan tanggung jawab negara untuk tidak ikut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Negara berkewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi.

Contoh dari jenis ini adalah tindakan seperti:

a. pembunuhan di luar hukum (artinya pelanggaran atas kewajiban menghormati hak-hak individu untuk hidup);

b. penahanan serampangan (artinya pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak individu untuk bebas);

c. pelarangan serikat buruh (artinya pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati kebebasan kelompok untuk berserikat);

d. pembatasan atas praktik dari satu agama tertentu (artinya pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak kebebasan beragama individu).

2. Melindungi:

Merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan aparatnya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok, termasuk pencegahan atau pelanggaran atas kebebasan mereka, Negara berkewajiban mengambil

15 Mansour Fakih dkk., (2003). Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan, Pegangan untuk

(36)

tindakan untuk mencegah pelanggaran semua HAM oleh pihak ketiga. 3. Memenuhi:

Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh HAM. Kewajiban untuk memenuhi ini menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap orang di dalam yurisdiksinya untuk memberikan kepuasan kepada mereka yang memerlukan yang telah dikenal di dalam instrumen HAM dan tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi.

4. Menegakkan:

Penegakan HAM adalah melakukan berbagai tindakan dalam rangka membuat HAM lebih diakui serta dihormati oleh pemerintah dan masyarakat. Penegakan HAM dilakukan karena pada dasarnya HAM adalah ukuran tertinggi bagi keberhasilan pembangunan suatu negara.

Selain itu kondisi HAM suatu negara merupakan salah satu tolok ukur untuk menentukan kehormatan suatu bangsa.

5. Memajukan:

Pemajuan HAM berarti bahwa aparat pemerintah kita, baik di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun aparat militer serta masyarakat pada umumnya perlu melakukan upaya aktif yang inovatif agar semua kalangan dapat mengerti, paham, dan menerima serta melindungi HAM seperti yang tertuang dalam Instrumen HAM Nasional dan Internasional.

Kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi masing-masing mengandung unsur kewajiban untuk bertindak (obligation to

conduct), yaitu negara disyaratkan melakukan langkah-langkah tertentu

untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak, dan kewajiban untuk berdampak (obligation to result), yaitu mengharuskan negara untuk mencapai sasaran tertentu memenuhi standar substantif yang terukur. Sebagai pihak yang memangku tanggung jawab, negara dituntut harus

(37)

melaksanakan dan memenuhi semua kewajiban yang dikenakan kepadanya secara sekaligus dan segera. Jika kewajiban-kewajiban tersebut gagal untuk dilaksanakan maka negara akan dikatakan telah melakukan pelanggaran.16

Ada dua jenis pelanggaran yang bisa terjadi berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab negara, yaitu:17

1. Pelanggaran karena tindakan (acts by commission) terjadi karena negara justru malah melakukan tindakan langsung untuk turut campur dalam mengatur hak-hak warga negara yang semestinya dihormati. Contoh dari jenis ini adalah:

a. Adanya pengerahan aparat penegak hukum yang bertindak represif ketika terjadi demonstrasi oleh masyarakat sipil;

b. Membuat peraturan yang membatasi kebebasan warga negara untuk memeluk dan beribadah terhadap suatu agama atau kepercayaan tertentu.

2. Pelanggaran karena pembiaran (acts by omission) terjadi ketika negara tidak melakukan sesuatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum (pembiaran, ada kewajiban untuk berbuat tetapi tidak dilakukan) Contoh dari jenis pelanggaran ini adalah:

a. Kegagalan untuk bertindak, ketika satu kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis, menyerang kelompok etnis lain;

b. Kegagalan untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang tepat.

Upaya untuk melakukan penegakan HAM ada dua pendekatan yang pertama adalah Pencegahan. 18 Upaya pencegahan berfokus untuk

menciptakan kondisi yang semakin kondusif bagi penghormatan HAM dengan cara persuasif. Berikut adalah contohnya:

16 Satya Arinanto, (2003). Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, cetakan Pertama, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 37.

17 Ibid., hlm. 39. 18 Ibid., hlm. 42.

(38)

1. Penciptaan perundang-undangan HAM yang lengkap.

2. Penciptaan lembaga, organisasi, dan pengawas pelaksanaan HAM. 3. Penciptaan perundang-undangan dengan pembentukan lembaga

peradilan HAM.

4. Pelaksanaan pendidikan HAM.

Upaya yang kedua adalah penindakan. Upaya ini berfokus untuk menangan kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Berikut contoh upaya penindakan:

1. Penerimaan pengaduan dari korban pelanggaran HAM.

2. penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat melalui peradilan HAM. 3. Penyelesaian permasalahan melalui perdamaian, negosiasi, dan

mediasi.

4. Investigasi dengan pencarian dara, informasi, serta fakta-fakta yang terkait dengan peristiwa di dalam masyarakat.

(39)

BAB 3

INTEGRASI MATERI MUATAN HAM DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SEBAGAI WUJUD IMPLEMENTASI TANGGUNG JAWAB

NEGARA DALAM BIDANG HUKUM

Setelah membaca bab ini, para pembelajar diharapkan dapat menjelaskan pentingnya integrasi materi muatan HAM dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud implementasi tanggung jawab negara di bidang hukum.

Negara hukum ialah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri-sendiri menurut semuanya yang bertentangan dengan hukum. Negara hukum itu ialah negara yang diperintahi bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang (state the not governed by men, but by laws). Karena itu, di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan terhadap negara, sebaliknya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan pemerintah dan undang-undang negara.19

A.

Indonesia Sebagai Negara Hukum

Di sini, pengertian negara hukum dihubungkan dengan organisasi intern dan struktur negara yang diatur menurut hukum. Setiap tindak atau tingkah laku penguasa maupun rakyatnya harus berdasarkan hukum dan sekaligus dicantumkan tujuan negara hukum, yaitu menjamin hak-hak asasi rakyatnya. Hukum sebagai alat merupakan suatu peraturan yang dapat menghalang-halangi penguasa untuk bertindak sewenang-wenang. Dia merupakan batas-batas kebebasan antara individu dan penguasa

(40)

dalam setiap interaksi kemasyarakatan hingga hukum tadi merupakan perlindungan bagi ketenteraman umum. Tanpa berlakunya hukum di dalam masyarakat, akan timbul kekacauan dan kesewenang-wenangan. Hukum itu menghendaki keadilan untuk menciptakan perdamaian dan ketenteraman dalam musyarakat. Hukum adalah hanya apa yang berarti untuk menjadikan keadilan. Sebab, hukum yang tidak adil menentang eksistensinya sendiri.20

Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The

Rule of Law”.21 Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang

disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia, 2. Pembagian kekuasaan,

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang, 4. Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:

1. Supremasi hukum (Supremacy of Law),

2. Persamaan di hadapan hukum (Equality before the law), 3. Asas legalitas (Due Process of Law)

Keempat prinsip “rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut pada pokoknya dapat digabungkan dengan Ketiga prinsip “Rule

of Law” yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri

Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The

20 Ibid, hlm. 24.

21 Mokhammad Najih, (2014). Politik Hukum Pidana Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam

(41)

International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu

ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary), yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The

International Commission of Jurists” itu adalah:

1. Negara harus tunduk pada hukum,

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu, dan 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiil atau Negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya.22

Selanjutnya Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa adanya dua belas prinsip pokok negara hukum (Rechsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum (The Rule of Law), ataupun adanya (Rechsstaat) dalam arti yang sebenarnya. Kedua belas prinsip pokok tersebut adalah:23

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law), yaitu adanya pengakuan

normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi, dan pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara sesungguhnya adalah konstitusi, bukan manusia.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law), yaitu adanya

persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam

22 Ibid., hlm. 6. 23 Ibid., hlm. 7-13.

(42)

rangka prinsip ini segala sikap dadn tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara dinamakan “affirmative actions” guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law), yaitu segala tindakan

pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan yang dilakukan.

4. Pembatasan Kekuasaan, yaitu setiap kekuasaan pasti memiliki

kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, karena itu kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks

and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling

mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.

5. Organ-organ Eksekutif Independen, yaitu dalam rangka membatasi

kekuasaan eksekutif, maka lembaga dan organ-organ yang sebelumnya berada dalam kekuasaan eksekutif sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak kepala eksekutif untuk menentukan pengangkatan dan pemberhentian pimpinannya.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, yaitu berkaitan dengan

adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and

impatial judiciary) yang mutlak harus ada dalam setiap Negara

Hukum. Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapa pun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang, tidak boleh adanya intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa, dan dalam menjalankan

(43)

tugasnya hakim tidak boleh memihak kepada siapa pun kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan, menjalankan proses pemeriksaan secara terbuka dan dalam menjatuhkan putusannya wajib menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7. Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai pilar utama negara

hukum karena keberadaannya harus menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa ketika warga negara mengajukan gugatan keputusan pejabat administrasi negara.

8. Peradilan Tata Negara, yaitu gagasan pembentukan Mahkamah

Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan sangat penting dalam upaya memperkuat sistem checks and balances. Keberadaan Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas undang-undang yang merupakan produk lembaga legislatif, dan memutus berkenan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang dipisah-pisahkan.

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia, yaitu merupakan jaminan hukum

bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut di masyarakat secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.

10. Bersifat Demokratis, yaitu dianut dan dipraktikkannya prinsip

demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Setiap negara hukum yang bersifat nomokratis harus

(44)

dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap negara demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasarkan hukum. 11. Berfungsi Sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara, yaitu

hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial, yaitu adanya transparansi dan

kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengadilan (hakim), lembaga pemasyarakatan, dan pengacara, semua memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

Dalam perkembangan teori dan konsep negara hukum di Indonesia sering kali terdapat 2 (dua) istilah yang saling berlawanan yaitu, istilah negara hukum (rechstaat) dan istilah negara kekuasaan (machstaat). Hal ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstaat) dan bukan atas kekuasaan belaka (machstaat).”

Negara hukum (rechstaat) bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum mencita-citakan untuk menjaga ketertiban hukum agar jangan terganggu sehingga semuanya dapat

(45)

berjalan menurut hukum. Sedangkan negara kekuasaan (machstaat) bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kekuasaan semata-mata. Gumplowics, antara lain mengajarkan bahwa negara itu tidak lain adalah “Eine Organization der Herrsdifl ciner Minoritar uber eine

Majotaritat” yang artinya adalah Organisasi dari kekuasaan kecil atas

golongan besar. Menurut pendapatnya, hukum berdasarkan ketaatan golongan yang lemah kepada golongan kuat. 24 Setelah melalui

amandemen ketiga prinsip negara hukum di Indonesia dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu pada Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”.

Negara hukum Indonesia dapat diibaratkan sebagai sebuah proyek rumah, di mana dia harus dibangun, kemudian dirawat, lalu diwariskan pada penerusnya. Diperlukan penemuan jati diri atau identitas dalam pembentukannya. Dilihat dari sisi sejarah Indonesia mengikuti langkah

Rechtsstaat atau civil law, karena Indonesia cukup lama dijajah oleh

Belanda. Namun, jika konsep civil law ini diterapkan secara murni, kemungkinan besar tidak mendatangkan kebahagiaan bagi bangsa Indonesia. Hukum akan bergerak jauh lebih lambat daripada dinamika masyarakat Indonesia.

Bahkan yang lebih buruk lagi, pelaksanaan pemerintahan akan bergerak kaku dan cenderung represif. Demikian juga dengan penerapan konsep Rule of Law secara murni, pengendalian negara pada masyarakat akan sangat lemah, sebab masyarakat Indonesia yang sangat plural dan tersebar. Jika dibandingkan dengan Rule of Law yang berlaku di Inggris, masyarakat Inggris merupakan ‘satu keturunan’ sehingga tidak terlalu tampak adanya perbedaan budaya, dan juga terdapat sosok raja sebagai simbol pemersatu bangsa. Bahkan jika diterapkan secara apa adanya dengan mengedepankan liberalisme akan membawa perpecahan di Indonesia.

(46)

Indonesia memerlukan sebuah konsep negara hukum (khas dan khusus) Indonesia. Sebuah konsep yang berasal dari nilai-nilai luhur yang ada dari Indonesia, bukan nilai-nilai yang ditransplantasikan oleh negara lain. Seperti dikemukakan oleh Carl Freiderich von Savigny, bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat sebagai

volkgeist (jiwa bangsa).25 Undang-undang sebagai produk hukum, harus

digali dan bersumber pada kemajemukan bangsa Indonesia, budaya, juga kepercayaan dan nilai yang dianut bangsa Indonesia. Karakteristik tersebut merupakan wujud dari negara hukum Pancasila.

Pancasila sebagai dasar ideologi negara, sekiranya tepat untuk negara hukum Indonesia yang multi ras, multi kultur, multi etnis, multi agama, dan daerahnya sangat luas. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila. Sistem hukum Pancasila merupakan sistem hukum yang jumbuh dengan kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Satjipto Rahardjo termasuk akademisi hukum yang menyebut Sistem Hukum Pancasila sebagai sistem yang berakar dari budaya bangsa yang khas. Hukum tidak berada dalam vakum melainkan ada pada masyarakat dengan kekhasan akar budayanya masing-masing. Karena hukum bertugas melayani masyarakat maka sistem hukum juga harus sama khasnya dengan akar budaya masyarakat yang dilayaninya. Sistem Hukum Pancasila adalah sistem hukum yang khas untuk masyarakat Indonesia.26

Merujuk pendapat Fred W. Ringga seperti dikutip Moh. Mahfud MD27,

Pancasila merupakan konsep prismatik yang menyerap unsur-unsur terbaik dari konsep-konsep yang beberapa elemen pokoknya saling bertentangan. Pancasila mengayomi semua unsur bangsa yang majemuk

25 Bernard .L. Tanya. dkk. (2010). Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 103.

26 Satjipto Rahardjo. (2003). Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 23.

27 Moh Mahfud MD. (2007). “Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari’ah”, dalam Jurnal Hukum, Volume 14, Nomor 1, hlm. 10

(47)

yang kemudian di dalam sistem hukum melahirkan kaidah-kaidah penuntun yang jelas.

Sebagai konsepsi prismatik, Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang sudah hidup di kalangan masyarakat selama berabad-abad. Konsepsi prismatik ini minimal dapat dilihat dari empat hal; Pertama, Pancasila memuat unsur

yang baik dari pandangan individualisme dan kolektivisme. Diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk sosial. Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsep

negara hukum “Rechtstaats” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum dan konsepsi negara hukum “the Rule of Law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila

menerima hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of

social engineering) sekaligus sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di

masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham religious nation state, bukan negara agama, tetapi juga tidak hampa agama

(negara sekuler). Negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agama.28

B. Integrasi Materi Muatan HAM dalam Pembentukan dan Analisis

Peraturan Perundang-undangan

Sebagai sebuah negara yang menganut prinsip negara hukum (rechstaat), mewajibkan asas legalitas dengan menjamin setiap kebijakan yang dibuat baik itu yang bersifat ketetapan (beschicking) dan peraturan (regeling) diwujudkan dalam suatu norma tertulis yang memiliki landasan hukum positif dan konstitusional, termasuk dalam mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip HAM sebagai ciri utama serta bentuk tanggung jawab negara.

(48)

Salah satu dasar bagi Pemerintah Indonesia dalam upaya untuk melaksanakan kewajiban negara adalah dengan melaksanakan ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu melakukan langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Pemenuhan hak asasi manusia yang dilandasi atas kewajiban negara yang dalam hal ini adalah Pemerintah, perlu dituangkan dalam kebijakan negara khususnya di tingkat nasional. Namun dalam pelaksanaannya, tidak berarti pula bahwa pemenuhan hak asasi manusia dilakukan secara absolut.

Pemenuhan hak asasi manusia yang terjamin dalam sebuah kebijakan nasional perlu dibatasi mengingat adanya hak orang lain yang sekiranya menjadi batasan dalam penikmatan hak asasi manusia. Dalam Pasal 73 Undang-Undang tersebut juga memuat ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia yang menyatakan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang. Hal ini didasari untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Pembatasan hak asasi manusia tentunya perlu ditentukan dengan peraturan perundang-undangan dengan melihat pada prinsip proporsionalitas sebagai faktor yang relevan dalam menentukan pembatasan bersifat proporsional atau layak yaitu meliputi:

1. Sifat hak asasi manusia yang terdampak; 2. Pentingnya tujuan yang sah dari pembatasan; 3. Sifat dan jangkauan pembatasan;

4. Hubungan antara pembatasan dan tujuannya; dan

5. Cara atau metode lainnya yang tersedia yang kurang membatasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

(49)

Pembatasan terhadap pemenuhan hak wajib ditetapkan dengan peraturan undang-undangan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan demikian, khususnya pada tahapan pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan perundang-undangan dibutuhkan pedoman materi muatan hak asasi manusia yang menjadi acuan dalam rangka pengaturan dan pembatasan hak asasi manusia.

Sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab negara tersebut, khususnya implementasi yang efektif di bidang hukum, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, khususnya Direktorat Jenderal HAM telah membentuk Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Pedoman Materi Muatan HAM dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Permenkumham 24/2017). Dengan adanya Permenkumham 24/2017 tersebut diharapkan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengacu pada pedoman materi muatan hak asasi manusia khususnya pada tahap perencanaan, penyusunan, pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi, penetapan, dan pengundangan peraturan perundang-undangan.

Pedoman materi muatan hak asasi manusia yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2017 adalah sebuah kebijakan yang dibuat untuk mengintegrasikan materi muatan hak asasi manusia dan pembatasannya dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya peraturan perundang-undangan yang belum berperspektif hak asasi manusia, sehingga perlu diatur secara komprehensif dan khusus. Pedoman materi muatan hak asasi manusia ini dalam penerapannya disesuaikan dengan berbagai instrumen yang mengatur hak asasi manusia, baik nasional maupun internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengelolaan Unit Rawat Inap ( URI ), salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan tempat tidur pasien. Pengelolaan tempat tidur pasien perlu mendapat

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan karakteristik konsumen distro di kota Pekanbaru dengan objek penelitian adalah konsumen Distro Pestaphoria Neverending

Imam syafi`i berpendapat mengenai kedudukan sunnah: pertama, yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur`an sebagai sesuatu nash, maka Rasulullah SAW melaksanakannya sebagaiman

Standar dan ukuran jalur sirkulasi yang akan dirancang adalah jalur pedestrian dengan lebar 1,8 meter yang ditujukan untuk dua orang pengguna kursi roda dari dua arah (Lampiran

Tanaman lain yang dimanfaatkan dalam pengobatan asam urat adalah meniran, di Amerika selatan meniran digunakan untuk mengatasi udema, kelebihan asam urat, pengobatan batu ginjal,

Penelitian lain tentang pemberian klonidin melalui intratekal sebagai adjuvan analgetika pada persalinan dengan teknik anestesia spinal didapatkan bahwa penambahan klonidin 30 µg

Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi dan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, Juncto Pasal