• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran kiri dalam novel jejak sang pembangkang karya Frigidanto Agung : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pemikiran kiri dalam novel jejak sang pembangkang karya Frigidanto Agung : tinjauan sosiologi sastra - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

i

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Paulus Yesaya Jati NIM: 034114013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

kapal tenggelam, hanya tertinggal barang-barangnya yang mengapung di lautan. Terombang-ambing sendirian. Berteriak teriak sendirian, tapi hanya kesunyian yang terus menjawab. Yang selalu ada hanya langkahnya yang pasti dicetuskan sendiri untuk selalu dipaksakan. Cetusan yang tak pernah berasal dari orang lain. Hanya diri dan dari sendiri. Terus terlempar.

(5)

v

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana karya ilmiah.

Yogyakarta, ……… Penulis

(6)

vi

Penelitian ini mengkaji pemikiran kiri antara tokoh utama dan tokoh tambahan dalam novel Jejak Sang Pembangkang dengan pendekatan sosiologi sastra. Analisis struktur penceritaan dibatasi pada tokoh dan penokohan, serta latar yang terkait dengan kehidupan para tokoh. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Langkah-langkah yang ditempuh adalah menganalisis unsur tokoh, penokohan serta latar dan kemudian analisis itu digunakan untuk menganalisis pemikiran kiri dalam novelJejak Sang Pembangkang.

Hasil penelitian ini berupa pembagian tokoh menurut peran dalam perkembangan plot menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan; pembagian latar menjadi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial; serta analisis pemikiran kiri dalam novelJejak Sang Pembangkang.

Tokoh utama adalah tokoh Joni dan tokoh tambahan adalah tokoh Andi, tokoh Rahma, tokoh Ali, tokoh Jabar, tokoh Farid, tokoh Soni, dan tokoh Para Demonstran.

Latar tempat adalah Ibukota Jakarta, rumah di gang 12 A, Universitas Trisakti, Jalan S. Parman, gedung perwakilan rakyat: DPR/MPR.Latar waktu adalah siang, sore, malam dan tahun 1998. Latar sosial berupa kehidupan para mahasiswa yang merangkap aktivis Para aktivis memiliki komunitas bernama Kelompok Rumah 12 A. Kehidupan mereka hanya dipenuhi oleh pengetahuan-pengetahuan mengenai keotoriteran penguasanya sehingga aktivitasnya selain berkuliah adalah berdemonstrasi.

(7)

vii

This research studies the left thought in the novel: Jejak Sang Pembangkang by using the literary sociological approach. The novel structure analysis is limited in the character, the characterization, and also the setting which is related to the character’s life. This research uses descriptive method. The steps to analyze the novel adopted here are analyzethe elements of the characters, characterization as well as the setting, and next, the analyze it was used to analyze the left thought in the novel,Jejak Sang Pembangkang..

The conclusion of this research is in the form of classification of the characters based on the character’s role in the plot development to be the main character and the peripheral ones; the classification of the settings comprising the setting of place, setting of time and setting of social; and also the left thought analysis in the novel.

The main character is Joni and the peripherals are Andi, Rahma, Ali, Jabar, Farid, Soni, and all the demonstrators. The setting of place is the capital City of Jakarta, the house in block 12 A, Trisakti University, located on S. Parman Street, and the House Representative building.

The setting of time is in the daylight, in the evening and night in the year of 1998. The social setting is the life of the students who are also become activists. They have a community in the house 12 A. Their live are full of the knowledge of authoritarian on the rulers’ authoritarian so their activities not only attending lectures but also having demonstrations.

(8)

viii Nama : Paulus Yesaya Jati Nomor Mahasiswa : 034114013

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Pemikiran Kiri Dalam Novel Jejak Sang Pembangkang Karya Frigidanto Agung Tinjauan Sosiologi Sastra”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 13 September 2008 Yang menyatakan

(9)

ix

Putranya, Yesus Kristus, atas berkat rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyusun skripsi ini dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu ( S1 ) pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan mempunyai beberapa kekurangan karena keterbatasan dan kemampuan serta pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini.

Dalam menyusun skripsi ini penulis telah banyak memperoleh bimbingan, pengarahan, saran, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung penyelesaian skripsi ini. Pada lembar ini penulis ingin mengucapkan kepada:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M. Hum. Selaku pembimbing I yang telah memberikan waktu untuk perhatian, pengarahan dan membimbing dengan sabar dan teliti sehingga penulis akhirnya dapat menyelesikan skripsi ini. 2. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M. Hum. Selaku pembimbing II yang telah

memberikan pengarahan dan membimbing dengan sabar sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

(10)

x

Bapak Heri Antono, Bapak Yoseph Yapi Taum, Bapak I. Praptomo Baryadi, Bapak Ari Subagyo, dan Bapak F.X Santoso.

5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia. Terima kasih untuk keramahtamahannya kepada semua angkatannya “ Jaya di sastra…Jaya di bahasa…!”

6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra untuk pelayanannya selama ini.

7. Bapak, Ibu, kakak, dan adik. Terima kasih atas dukungan doa, semangat, cinta, dan memotivasi untuk penulis segera menyelesaikan skripsi.

8. Luchya Deashey P.S. Terima kasih atas waktu berupa kasih sayangnya, perhatiannya selama ini, dan semoga Tuhan selalu membuat langkah kita selalu bersama. Amin

(11)

xi Terima kasih atas semangatnya…yeaaa!

11. Seluruh pemuda-pemudi Pedukuhan Dukuh Tridadi Sleman. Terima kasih untuk semangatnya.

12. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih yang mendalam.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Kesempurnaan dan kekurangan skripsi ini semata-mata merupakan tanggung jawab penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

(12)

xii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

MOTO ………. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. v

ABSTRAK ……….. vi

ABSTRACT..………. vii

KATA PENGANTAR ……… viii

DAFTAR ISI ……… xi

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Rumusan Masalah ……… 7

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 7

1.4 Manfaat Penelitian ……….... 8

1.5 Landasan Teori ……….. 9

1.5.1 Teori Pemikiran Kiri ……… 9

1.5.2 Teori Struktural….………... 22

1.5.3 Teori Sosiologi Sastra...……… 23

(13)

xiii

1.6.3.1 Tahap Pengumpulan Data ……….. 26

1.6.3.1.1 Wujud Data Penelitian ……….. 26

1.6.3.1.2 Sumber Data Penelitian ………. 26

1.6.3.1.3 Pembatasan Data Penelitian ….. 27

1.6.3.2 Tahap Analisis Data ……… 27

1.7 Sistematika Penyajian ………. 28

BAB II ANALISIS STRUKTUR PENCERITAAN 2.1 Pendahuluan ……… 29

2.1.1 SinopsisJejak Sang Pembangkang……… 31

2.2 Tokoh dan Penokohan ……… 36

2.2.1 Tokoh Utama ………. 37

2.2.1.1 Tokoh Joni ……… 38

2.2.2 Tokoh Tambahan ………... 41

2.2.2.1 Tokoh Andi ………... 41

2.2.2.2 Tokoh Rahma ………. 43

2.2.2.3 Tokoh Ali ……… 44

2.2.2.4 Tokoh Jabar ………. 45

2.2.2.5 Tokoh Farid ………. 46

2.2.2.6 Tokoh Soni ……….. 47

(14)

xiv

2.3.2 Latar Waktu ………. 51

2.3.3 Latar Sosial ……….. 51

2.3.4 Kesimpulan Analisis Latar ……….. 52

2.4 Kesimpulan Analisis Struktur Penceritaan………. 53

BAB III ANALISIS PEMIKIRAN KIRI ………...……. 55

3.1 Pendahuluan ……….... 55

3.2 Pemikiran Kiri Mengklaim Bahwa Penguasa Otoriter ...……….. 58

3.2.1 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Pemikiran ………. . 60

3.2.2 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Gerakan Sosial ………….. 79

3.3 Pemikiran Kiri Mengadakan Acara Jumpa Pers ……… 88

3.3.1 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Pemikiran ……….. .. 90

3.3.2 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Gerakan Sosial ………... 93

3.4 Pemikiran Kiri Mengadakan Demonstrasi Terbesar di Jakarta… 107 3.4.1 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Pemikiran ……… ... 111

3.4.2 Pemikiran Kiri dalam Bentuk Gerakan Sosial ………….... 119

3.5 Kesimpulan Analisis Pemikiran Kiri ………... 130

BAB IV KESIMPULAN ………... 131

DAFTAR PUSTAKA ……….. 138

(15)

BAB I

1.1 Latar Belakang

Kesusastraan adalah kumpulan tulisan yang indah, baik lisan maupun tulisan, dengan hakikat imajinasi dan kreativitas ( Ratna, 2005: 613). Bagi penyair Toeti Herati, fiksi atau puisi adalah “Sebuah moment yang unik dan khas”, bukan hanya karena peristiwanya, tapi juga pemaknaan yang terjadi padanya (Dahana, 2001:59). Kemampuan menciptakan makna yang unik ini datang dari usaha pengarang yang terus-menerus dalam mengambil “jarak” dengan pengalaman yang ia dapatkan. Akibatnya, peristiwa yang bagi orang biasa umum adanya, tetapi di tangan pengarang menjadi ” lain ” hasilnya. “Jarak” dari kenyataan inilah yang disebut oleh, misalnya Simone De Beauvoir, filsuf dan pejuang emansipasi wanita modern, sebagai transedensi, sedangkan sikap atau kemampuan seseorang yang menerima begitu saja kenyataan hidupnya, disebut imanensi (Dahana, 2001: 60).

Makna yang unik ini juga terdapat dalam novel Jejak Sang Pembangkang karya Frigidanto Agung. Novel tersebut menceritakan jejak-jejak pembangkangan mahasiswa kepada kekuasaan otoriter di Jakarta sekitar tahun 1998. Penghilangan dan pembungkaman suara-suara kritik mahasiswa pun terjadi. Terbukti dengan hilangnya para aktivis di ibukota maupun di daerah. Namun, karena dituntut dan didesak melalui aksi demonstrasi, akhirnya rezim itu turun. Aksi perlawanan itu memuncak di Kampus Trisakti sehingga terjadi bentrokan dengan aparat. Bentrokkan itu menyebabkan beberapa mahasiswa terkena tembakan dari aparat.

(16)

Perlawanan terhadap rezim otoriter hanya dapat ditempuh melalui jalan pembangkangan dan perjuangan. Pembangkangan dan perjuangan ini menyebabkan kita berada di sebelah kiri. Istilah ‘kiri’ seharusnya menjadi biasa dalam perbincangan kita. Dalam kehidupan sehari-hari, ‘kiri’ digunakan untuk membedakan dengan yang kanan. Namun, akan menjadi berbeda jika istilah itu diendapkan pada dimensi pemikiran. Hal ini karena ia menyimpan sejumlah gagasan yang besar: menantang, melawan sekaligus merusak setiap tradisi yang dianggapnya kemapanan (establishment), tetapi karena ia juga memainkan peran signifikan atas munculnya ide-ide besar yang mengubah keadaan (Santoso, 2003: 15).

Dalam perspektif sejarah, terminologi “kiri” acapkali ditimpakan pada segala hal (pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Menariknya terminologi ini kemudian menjadi “hantu” ketika ia dilabelkan pada setiap pemikiran dan gerakan sosial yang mengusung simbol-simbol revolusi sebagaimana, Marxisme, Komunisme, dan Sosialisme (Santosa, 2003: 15).

(17)

ideologi resmi komunisme. Istilah “komunisme” dipakai oleh Lenin untuk cita-cita utopis masyarakat, di mana segala hak milik pribadi dihapus dan semuanya dimiliki bersama (Suseno, 2001: 5).

Sedangkan, istilah “Marxisme” sendiri adalah sebutan bagi pembakuan ajaran resmi Karl Marx yang terutama dilakukan oleh temannya Friederich Engels (1820-1895) dan oleh tokoh teori Marxis, Karl Kautsky (1854-1938). Dalam pembakuan ini ajaran Marx yang ruwet dan sulit dimengerti disederhanakan agar cocok sebagai ideologi perjuangan kaum buruh. Jadi, Marxisme menjadi salah satu komponen dalam sistem ideologis komunis. (Suseno, 2001: 5).

(18)

Bahkan, dalam ruang kesadaran manusia sekarang ini telah terlanjur melembaga stigmatisasi atas terminologi “kiri” sebagai sosialis dan yang bersentuhan dengannya (Santoso, 2003: 15). Apalagi ketika ia dikontekskan pada suatu keadaan yang terdapat luka sejarah akibat komunisme, semisal Indonesia. Parahnya, “kiri” selalu diidentikkan dengan komunis(me). Dampaknya menjadi wajar bila kesadaran masyarakat kita pernah disesaki oleh ide-ide ‘pembumi-hangusan’ segala hal yang berbau kiri. Masih segar dalam ingatan ketika tanggal 19 April 2001 lalu di negeri ini telah terjadi pembakaran dan aksi sweeping atas buku-buku yang dianggap kekiri-kirian. Ironisnya aksi tersebut lebih difokuskan pada beberapa jenis buku yang berintikan sejumlah besar gagasan Marxis(me) atau (parahnya) yang dianggap ‘mengganggu’ kemapanan kekuasaan pengetahuan dominan (Santoso, 2003: 16).

Menurut Magnis-Suseno, fenomena membakar buku adalah tindakan fisik untuk membungkam pikiran yang tidak mampu dilawan secara pikiran. Fenomena tersebut, menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat atas minimnya pemahaman masyarakat atas berbagai bentuk (model) pemikiran, juga menjadi fakta bahwa ada kesalahan (fatal) dalam pemahaman masyarakat atas terminologi “kiri” (Santoso, 2003: 16).

(19)

hukum sosial bukanlah perwujudan akal manusia secara murni, melainkan merupakan manifestasi kepentingan kelas dominan dalam periode bersejarah tertentu (Ratna, 2005: 158). Kaitannya dalam novel JSP bahwa para aktivis/mahasiswa dalam Kelompok Rumah 12 A menyakini bahwa rezim pemerintahan yang berkuasa telah menjadi kelas dominan sehingga sering bertindak otoriter atau sewenang-wenang terhadap kritikan dan dianggap subversif karena menganggu stabilitas nasional. Dalam data sejarah, disebutkan berbagai aksi penculikan menjelang detik-detik gerakan reformasi berhasil menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenan, juga merupakan kisah buram lain yang tergores dalam sejarah bangsa Indonesia (Adam, 2006: 270).

Padahal, wacana pemikiran kiri adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang “nakal” untuk menghancurkan segala hal yang berbau establishment (kemapanan), terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme modern. Pembongkaran atas situasi ‘mapan’ dari sebuah kekuasaan inilah yang menjadi spirit ilmiah gerakan ‘kiri’, terutama pembongkaran atas berbagai kekuasaan yang berlindung di balik jubah ideologi-ideologi (Santoso, 2003: 17). Melihat kerangka dasar yang digunakan oleh pemikiran dan gerakan ‘kiri’ tampak jelas jika ia memperoleh inspirasi dari beberapa filsuf kontemporer yang fenomenal, semisal Karl Marx dan filsuf yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt (Santoso, 2003: 18).

(20)

perkembangan evolusi sosial masyarakat dapat terbentuk dari proses pembelajaran masyarakat. Hal ini karena Habermas mengajukan kriteria proses belajar masyarakat yang rasional. Proses belajar masyarakat tersebut memiliki unsur pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan menghancurkan kekuasaan otoriter.

Pemikiran kiri dalam teori rasionalitas Jurgen Habermas terletak pada proses belajar masyarakat atau Rasionalisasi terutama pada Perbincangan Rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan yang menghasilkan komunikasi yang emansipatoris kemudian tercipta konsensus untuk menginginkan perubahan dalam masyarakat (evolusi sosial). Dalam perbincangan rasional tersebut terdapat pemikiran kiri (pemikiran dan gerakan sosial) yang senantiasa, melawan, mengkritik, dan memang terkadang ”nakal” untuk menghancurkan sesuatu yang mapan (establish). Salah satunya, berbentuk kekuasaan otoriter. Maka, peneliti menegaskan bahwa pemikiran kiri dalam penelitian ini bukan pemikiran kiri yang komunis atau yang sosialis, melainkan kiri yang rasional. Selain itu, pemikiran kiri ini tidak bertujuan mendirikan negara komunis atau negara sosialis.

(21)

argumen-argumen rasional, dan pernyataan rasional senantiasa dikemukakan untuk melawan, mengkritik, dan merencanakan solusi terbaik yang nakal untuk segera menghancurkan kemapanan (establishment) kekuasaan yang otoriteristik itu.

Di samping itu, penelitian ini akan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Peneliti memilih tinjauan sosiologi sastra ini karena sangat tepat untuk menganalisis bagaimana pemikiran kiri dapat terlahir dari masyarakat di dalam novelJSP. Selain itu, untuk mendukung penelitian ini, peneliti akan menyisipkan fakta sejarah. Di satu pihak, hal tersebut dilakukan untuk membuktikan adanya keterkaitan antara fakta fiksi novel JSP dengan fakta sejarah sehingga kualitas sosiologis maupun historis novelJSPakan terbukti.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimanakah tokoh, penokohan, dan latar dalam novel Jejak Sang Pembangkangkarya Frigidanto Agung?

1.2.2 Bagaimanakah pemikiran kiri dalam novel Jejak Sang Pembangkang karya Frigidanto Agung?

1.3 Tujuan Penelitian

(22)

1.3.1 Mendeskripasikan tokoh dan penokohan, dan latar dalam novel Jejak Sang Pembangkang karya Frigidanto Agung.

1.3.2 Mendeskripsikan pemikiran kiri dalam novel Jejak Sang Pembangkang karya Frigidanto Agung.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di dunia sastra mengenai pemikiran kiri yang digunakan untuk mengapresiasi suatu karya sastra. Di samping itu, sebagai aktivitas kultural, novel sejarah memiliki kaitan dengan sejarah umum (Ratna, 2005:351). Akibatnya, penelitian ini akan menggunakan tinjauan sosiologi sastra sehingga harus mencari relevansinya dengan fakta sejarah. Hal ini untuk membuktikan kualitas nilai-nilai sejarah maupun sosiologi yang ada dalam novel tersebut. Maka, pembaca akan mendapatkan gambaran keterkaitan antara dunia fiksi dengan dunia fakta.

(23)

fakta dalam novel sejarah sebagai kebenaran sejarah umum. Hal itu disebabkan karena setiap pengarang mempunyai kepentingan-kepentingan subjektif yang fiktif sehingga bisa menjerumuskan pembaca yang kurang berwawasan luas.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Teori Pemikiran Kiri

Setiap tekanan (represi) dalam bidang apa pun akan selalu memunculkan perlawanan (resistensi). Sebuah (dominasi) kekuasaan yang represif dalam realitas sejarah selalu saja berimplikasi bagi munculnya perlawanan atas tipologi kekuasaan tersebut. Artinya, sejarah selalu menjadi bukti betapa kekuasaan yang melakukan prosesi dominasi atas yang dikuasai, terutama melalui tindakan represif, akan menghadirkan pula berbagai bentuk resistensi yang dilakukan seorang atau komunitas yang mendapat perlakuan represif dan hegemonik kekuasaan (Santoso, 2003: 29).

(24)

yang melakukan resistensi terhadap segala hal yang berbau kanan (Santoso, 2003: 31).

Pemikiran kiri adalah pemikiran dan gerakan sosial yang senantiasa melawan, mengkritik, dan memang terkadang “nakal” untuk menghancurkan segala hal yang berbau establishment (kemapanan), terutama kemapanan kekuasaan otoriter dan juga kapitalisme modern (Santoso, 2003: 16-17). Penelitian ini hanya akan menelaah pemikiran kiri melawan kekuasaan otoriter bukan kapitalisme modern. Pemikiran kiri dalam penelitian ini terletak di dalam rasionalisasi atau proses belajar masyarakat sehingga terjadi evolusi sosial dari Jurgen Habermas. Hal ini karena Habermas memiliki kriteria proses belajar masyarakat yang rasional.

Teori evolusi sosial, menurut Habermas, terbentuk melalui proses belajar masyarakat (social learning process) atau proses rasionalisasi menuju terbentuk masyarakat komunikatif (Santoso, 2003: 236). Habermas mengungkapkan bahwa evolusi sosial berlangsung melalui proses belajar masyarakat (social learning process) yang memungkinkan terjadi transformasi sosial. Ketika menggunakan

(25)

Proses belajar masyarakat terjadi dalam dua dimensi: pertama, dimensi kognitif-teknis; dan kedua, dimensi moral praktis. Dimensi kognitif-teknis akan membawakan penguasaan alam yang lebih besar dan peningkatan produktivitas kerja, sedangkan dimensi moral-teknis membawakan proses-proses belajar komunikatif yang menghasilkan perbaikan-perbaikan kualitas komunikatif dari relasi-relasi di antara manusia (Santoso, 2003: 249). Menurut Habermas, kedua macam proses belajar ini ditandai oleh logika tersendiri, artinya kemajuan dalam penguasaan alam tidak secara otomatis membawakan kemajuan di bidang relasi-relasi komunikatif, dan sebaliknya (Bertens, 2002: 249). Kedua dimensi tersebut harus mendapatkan perhatian seimbang, tidak dapat direduksikan satu sama lain (Hardiman, 1993: 115).

Proses-proses belajar masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan berjalan bila prasyarat-prasyarat yang diperlukan dapat terpenuhi. Prasayarat tersebut adalah tersedianya kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan manusia untuk berbincang secara komunikatif. Menurut Habermas, mengacu pada terciptanya suatu suasana berbincang yang membuka peluang bagi masing-masing individu yang terlibat di dalamnya untuk mengajukan pendapat, kepentingan, dan kekhawatirannya tanpa ada tekanan (Ankersmit, 1987:34).

(26)

Proses belajar atau rasionalisasi merupakan faktor utama yang menjadi pendorong bagi berlangsungnya evolusi sosial. Peran individu-individu dalam proses belajar masyarakat mempunyai arti yang sangat penting. Karena justru proses belajar masyarakat tergantung pada kompetensi individu-individulah yang mempunyai peran penting dalam perubahan masyarakat. Tanpa kemauan individu untuk berubah, maka masyarakat tidak akan berubah (Santoso, 2003: 237).

Teori evolusi sosial Habermas mengurai sistem sosial atas paradigma ganda, yaitu paradigma ‘dunia kehidupan’ dan paradigma ‘sistem’. Sistem sosial sebagai dunia kehidupan dipahami sebagai sebuah dunia yang dihayati oleh para anggotanya yang terstruktur secara simbolis. Unsur-unsur itu meliputi struktur-struktur normatif dalam bentuk nilai-nilai dan institusi-institusi sebuah masyarakat. Adapun sistem sosial sebagai sebuah sistem lebih berkaitan dengan pengendalian sistem sosial tersebut. Caranya adalah dengan mengatasi berbagai masalah dari lingkungan yang berubah-ubah. Unsur-unsur sistem meliputi mekanisme pengendalian dan perluasan kemungkinan-kemungkinan perkembangan. Berkaitan dengan teori evolusi sosialnya ini, Habermas memandang bahwa kekuatan-kekuatan perubahan masyarakat secara historis terletak pada relasi-relasi yang berkembang antara perubahan-perubahan dalam dunia kehidupan dan perubahan dalam sistem (Ankersmit, 1987:117).

(27)

Implikasinya adalah praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif akan menghasilkan pencerahan (Hardiman, 1993:83).

Proses rasionalisasi sebagai motor evolusi sosial ini dapat terjadi jika terdapat keadaan yang disebut oleh Habermas adalah perbincangan rasional dalam komunikasi tanpa penguasaan. Perbincangan rasional dalam komunikasi tanpa

penguasaan adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia untuk berbincang secara komunikatif, yang menurut Habermas mengacu pada terciptanya suatu suasana berbincang yang membuka peluang bagi masing-masing individu yang terlibat di dalamnya untuk mengajukan pendapat, kepentingan, dan kekhawatirannya tanpa ada tekanan. Hubungan yang terjadi di sini adalah hubungan antara pihak-pihak yang mempunyai kedudukan sama dan bukan kedudukan kekuasaan. Hal ini dapat terjadi apabila masing-masing pihak saling mengakui kebebasan lawan dialognya dan saling percaya (Santoso, 2003:237).

Strategi Habermas untuk menjalankan proses belajar masyarakat atau rasionalisasi dalam dimensi moral-teknis, yaitu dengan mengajukan konsep tindakan komunikatif. Rasionalitas yang melekat pada praktik komunikatif menjangkau spektrum yang lebih luas. Rasionalitas ini mengacu berbagai bentuk argumentasi sebagai kemungkinan untuk meneruskan tindakan komunikatif dengan cara-cara reflektif (Habermas, 1981: 12).

(28)

rasionalitas ekspresi pada kemungkinannya untuk dikritik dan punya dasar: suatu ekspresi dapat dikatakan memenuhi prasyarat rasionalitas jika dan selama dia mengandung pengetahuan bisa salah dan punya kaitan dengan dunia objektif (hubungan dengan fakta) serta terbuka terhadap penilaian objektif. Suatu penilaian dapat bersifat objektif jika dilakukan berdasarkan klaim validitas yang trans-subjektif yang memiliki arti sama bagi pengamat atau nonpartisipan (pihak luar yang tidak terlibat) sebagaimana bagi subjek yang bertindak itu sendiri. Kebenaran adalah contoh klaim yang valid ini (Habermas, 1981: 12).

Sementara konsep tindakan komunikatif mengacu pada interaksi dari paling tidak dua orang subjek yang mampu berbicara dan bertindak membangun hubungan antarpersonal (apakah dengan cara verbal ataukah ekstra verbal). Aktor berusaha mencapai pemahaman tentang situasi tindakan dan rencana bertindak untuk mengkoordinasikan tindakan mereka melalui kesepakatan. Konsep interpretasi merujuk pada tawar-menawar tentang definisi situasi yang memungkinkan terjadi konsensus. Bahasa sangat penting dalam model ini (Habermas, 1981: 110).

(29)

kasus, gerak badaniah menyebabkan suatu perubahan fisik di dunia; dalam kasus pertama dia memiliki relevansi secara kausal, dan pada kasus kedua, dia memiliki relevansi semantik. Contoh yang berasal dari gerak badaniah yang relevan secara semantik adalah gerak kerongkongan, lidah, bibir, dan lainnya dalam pembentukan bunyi fonetik (Habermas, 1981: 125).

Bagi model tindakan komunikatif, bahasa hanya relevan dari sudut pandang pragmatis bahwa pembicara dalam menggunakan kalimat yang dimaksudkan untuk mencapai pemahaman, menciptakan hubungan dengan dunia, namun juga secara reflektif (Habermas, 1981: 128-129).

Pencapaian pemahaman hanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengkoordinasikan tindakan ketika partisipan interaksi mencapai suatu kesepakatan terkait dengan klaim validitas terhadap tuturan yang mereka lakukan, yaitu dengan cara mengenali secara intersubjektif klaim validitas yang mereka ajukan secara timbal-balik. Seorang pembicara dapat mengajukan klaim yang dapat dikritik ketika mengaitkan ujaran ini paling tidak dengan satu “dunia”; dengan demikian dia menggunakan fakta bahwa relasi antara aktor dengan dunia pada dasarnya terbuka bagi pemahaman objektif dalam rangka mengajak orang-orang yang berseberangan dengannya untuk mengambil posisi yang didasarkan secara rasional (Habermas, 1981 : 129).

(30)

Dengan model tindakan ini, kita mengandaikan bahwa partisipan dalam interaksi ini dapat memobilisasi potensi rasionalitas-yang menurut analisis kita sebelumnya terdapat di dalam tiga bentuk relasi aktor dengan dunia yang diakukan secara ekspresif dengan mencapai pemahaman secara kooperatif. Jika kita menerapkan kesempurnaan bentuk eskpresi simbolis yang digunakan kepada satu sisi, maka dalam hal ini seorang aktor yang diorientasikan ke arah pemahaman paling tidak harus mengemukakan tiga klaim validitas dengan tuturannya, antara lain :

1. Bahwa pernyataan yang dikemukakan benar (atau bahwa pengandaian-pengandaian ekstensial kandungan proporsional tersebut telah memadai),

2. Bahwa tindak-wicara (speech-act) benar, berdasarkan konteks normatif yang ada (atau bahwa konteks normatif yang dipenuhi sudah legitim dengan sendirinya),

3. Bahwa maksud yang manifes dari pembicara sama dengan yang diungkapkan (Habermas, 1981: 129-130).

(31)

yang berusaha mencapai konsensus dan mengukurnya berdasarkan kebenaran, ketepatan, dan ketulusan, yakni berdasarkan “kesesuaian” dan “ketidakkesesuaian” antara tindak wicara (speech-act) , di satu sisi, dengan tiga dunia yang kepadanya aktor mengaitkan tuturannya, di sisi lain. Relasi semacam itu terjadi antara tuturan dengan :

1. Dunia objektif (sebagai totalitas entitas yang memungkinkan adanya pernyataan yang benar),

2. Dunia sosial (sebagai totalitas seluruh relasi antarpribadi yang diatur secara legitim),

3. Dunia subjektif (sebagai totalitas pengalaman pembicara yang hanya dapat diakses olehnya) (Habermas, 1981: 130).

(32)

Stok pengetahuan memberi latar belakang keyakinan-keyakinan yang tak problematik, umum, dan terjamin; dari stok pengetahuan inilah konteks proses pencapaian pemahaman dapat terbentuk, proses di mana mereka yang terlibat menggunakan definisi situasi yang telah teruji ataupun menawarkan definisi situasi yang baru (Habermas, 1981: 171).

Definisi-situasi membentuk suatu tatanan. Melalui tatanan ini, partisipan dalam komunikasi memadatkan elemen situasi tindakan kepada salah satu dari tiga dunia tersebut, kemudian melibatkan situasi tindakan aktual ke dalam dunia kehidupan yang belum ditafsirkan. Definisi–situasi pihak yang sepintas lalu berbeda dari definisinya sendiri, muncul sebagai masalah yang khas; karena di dalam proses penafsiran kooperatif tidak ada partisipan yang memonopoli penafsiran yang benar. Bagi kedua belah pihak, tugas interpretatif terletak pada proses melibatkan tafsiran orang lain tentang situasi ke dalam interpretasinya sendiri sedemikian rupa sehingga versi revisi dunia eksternal ”nya” dan dunia eksternal “saya” dapat-berdasarkan latar belakang dunia-kehidupan “kita” direlatifkan dalam kaitan dengan dunia “tersebut,” dan definisi-situasi yang berlainan dapat dipersatukan (Habermas, 1981: 130-131).

(33)

elemen-elemen situasi yang dapat ditematisasi, dan dia juga diaksentuasi oleh rencana yang dibuat para partisipan berdasarkan interpretasi atas situasi tersebut dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan mereka (Habermas, 1981:174).

Untuk menghindari kesalahpahaman, Habermas mengulangi bahwa model tindakan komunikatif tidak menyamakan tindakan dengan komunikasi. Bahasa adalah sarana komunikasi dalam mencapai pemahaman timbal balik, sementara aktor yang berusaha mencapai pemahaman satu sama lain agar bisa menata tindakan-tindakan mereka, mengejar tujuan-tujuan tertentu (Habermas, 1981: 131).

Dalam kasus tindakan komunikatif, upaya interpretif menjadi dasar proses interpretasi kooperatif yang merepresentasikan mekanisme pengoordinasian tindakan; tindakan komunikatif tidak diluluhkan oleh upaya mencapai pemahaman secara interpretatif. Namun, tindakan komunikatif mengacu pada tipe interaksi yang dikoordinasikan melalui tindak-berwicara (speech-act) dan tidak berlangsung serentak dengannya (Habermas, 1981: 132). Akhirnya, tindakan komunikatif tergantung pada konteks situasional, yang pada gilirannya mempresentasikan segmen dunia-kehidupan partisipan di dalam interaksi (Habermas, 1981:342). Hal ini berarti dunia-kehidupan sebagai konteks tindakan komunikatif dan kesadaran kolektif (Habermas, 1981: 173).

(34)

klaim tersebut, mengemukakan ketidaksetujuan, dan mencapai kesepakatan (Habermas, 1981: 172).

Dunia-kehidupan membentuk konteks tidak langsung dari apa yang dikatakan, dibahas, dan dibicarakan dalam situasi yang ada; tentu saja, secara prinsipil hal ini dapat diakses dan dimasuki, namun dia tidak menjadi bagian dari wilayah relevansi situasi tindakan yang ditentukan secara tematis. Dunia-kehidupan adalah sesuatu yang hadir secara intuitif, yakni sesuatu yang hadir secara intuitif, yakni dalam pengertian sesuatu yang familiar dan transparan, dan pada saat yang sama juga merupakan jejaring pengandaian yang begitu luas dan tidak dapat diperhitungkan yang harus dipenuhi jika ucapan aktual ingin mengandung makna, artinya dapat dinilai valid atau tidak valid. Dunia-kehidupan diterima sebagai sesuatu apa adanya yang mengukuhkan diri pada keyakinan yang pada dasarnya dapat dikritik (Habermas, 1981:179).

Dalam perbincangan rasional terdapat argumen-argumen rasional yang berperan sebagai unsur emansipatoris (Hardiman, 1993:83). Argumen adalah cara di mana pengakuan intersubjektif atas klaim validitas seseorang pendukung yang dikemukakan secara hipotesis dapat dimunculkan dan opini yang timbul darinya kemudian berubah menjadi pengetahuan (Habermas, 1981:32).

(35)

dikemukakan pembicara. Konsensus tidak akan tercipta manakala, misalnya, pendengar menerima kebenaran penyataan namun pada saat yang sama meragukan kejujuran pembicara atau kesesuaian ucapannya dengan norma (Habermas, 1981:165).

Jadi, aturan yang berlaku dalam tindakan komunikatif adalah bahwa ketika pendengar menyetujui satu klaim validitas, secara implisit dia juga mengakui dua klaim validitas yang lain, karena kalau tidak demikian, berarti dia mengungkapkan ketidaksetujuannya (Habermas, 1981: 164-165). Maka, konsensus adalah penerimaan pendengar terhadap kebenaran pernyataan, kejujuran pembicara, dan kesesuaian dengan norma. Akibatnya, konsensus itu sebagai langkah untuk transformasi atau evolusi sosial.

Konsep tindakan komunikatif memilih dua aspek dari sekian banyak aspek perihal penataan situasi : aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat pada interpretasi atas situasi dan tercapainya kesepakatan (Habermas, 1981: 173). Aspek teleologis menyakini adanya relasi antara aktor dengan dunia keadaan yang terjadi. Dunia objektif didefinisikan sebagai totalitas keadaan yang terjadi dapat diciptakan atau terjadi atau diusahakan untuk terjadi lewat intervensi bertujuan (Habermas, 1981:111). Intervensi bertujuan atau aspek telelologis dapat dilakukan melalui sebuah gerakan sosial.

(36)

yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam suatu masyarakat. Keyakinan dan tindakan-tindakan (perilaku) yang tidak terlembaga mengandung arti bahwa mereka tidak diakui sebagai sesuatu yang berlaku dan diterima umum secara luas dan sah di dalam sebuah masyarakat (Mirsel, 2004: 6-7).

1.5.2 Teori Struktural

Analisis struktural adalah pendekatan melalui teori struktural terhadap karya sastra merupakan struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang bermakna. Struktur karya sastra menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 1995:36). Di dalam penelitian ini, peneliti akan lebih memfokuskan kepada tokoh (tokoh utama dan tambahan), penokohan, dan latar. Hal ini karena tokoh utama dan tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang menghasilkan pemikiran kiri.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 1995: 176). Tokoh Tambahan adalah tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek (Nurgiyantoro, 1995: 176). Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995 : 165).

(37)

1995: 227). Kedua, latar waktu berhubungan dengan masalah “ kapan ” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995 : 230). Terakhir, latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995 : 233).

1.5.3 Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek kemasyarakatan, pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya, atau pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakanginya (Ratna, 2003: 2-3).

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara, yaitu 1.6.1 Jenis Penelitian, 1.6.2 Pendekatan atau sudut pandang penelitian, 1.6.3 Prosedur penelitian, yaitu 1.6.3.1 Tahap pengumpulan data dan 1.6.3.2 Tahap analisis data. Pada tahap prosedur penelitian menggunakan metode dan teknik tertentu.

1.6.1 Jenis Penelitian

(38)

analisis (Ratna, 2004:530). Metode deskripif analisis bukan hanya semata-mata menguraikan, tetapi juga memberi pemahaman.

Di samping itu, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menghimpun dari berbagai literatur baik perpustakaan atau tempat lain. Teknik pustaka dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Dalam studi tersebut dicari sumber-sumber tertulis yang digunakan dan dipilih sesuai dengan masalah dalam tujuan penelitian (Ratna, 2004: 39). Oleh sebab itu, penelitian ini berdasar tujuan disebut juga penelitian perpustakaan. Penelitian perpustakaan dilakukan dalam kaitannya mencari fakta-fakta dalam bentuk karya tertentu untuk mendukung penelitian ini.

1.6.2 Pendekatan

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi sastra, dan pendekatan struktural. Peneliti menyakini bahwa kedua pendekatan tersebut dapat memecahkan masalah penelitian yang ada dalam rumusan masalah.

(39)

aspek masyarakat dalam memahami sebuah karya sastra. Grebstein membuat kesimpulan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang telah menghasilkannya (Damono, 1978:4). Dalam hal ini masyarakat yang melatarbelakangi karya sastra bisa menjadi dua, yaitu masyarakat dalam karya sastra dan masyarakat yang nyata di kehidupan tempat karya sastra itu dilahirkan. Sosiologi sastra juga termasuk pemahaman interdisipliner tidak hanya melibatkan sosiologi dan sastra, tetapi juga sejarah, psikologi, dan kebudayaan (Ratna, 2003:26). Maka penelitian ini juga mencoba mencari relevansi fiksi dalam novel JSP dengan fakta sejarah. Artinya, Peneliti akan mendeskripsikan fakta sejarah umum yang memiliki relevansi dengan fakta fiksi dalam novel JSP sehingga adanya keterkaitan sosiologis dan historis dapat terbukti.

(40)

dalam rumusan masalahnya. Unsur struktural seperti tokoh dan penokohan: tokoh utama dan tambahan dan latar akan dianalisis dalam penelitian ini.

1.6.3. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah atau tahap-tahap penelitian, yaitu 1.6.3.1 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap pengumpulan data, peneliti melakukan penyelidikan, pencatatan, analisis, penafsiran data yang mempunyai unsur-unsur pemikiran kiri yang terdapat dalam novel JSP. Analisis data tersebut dapat berupa kutipan sebuah paragraf, kutipan percakapan, kalimat, dan angka tahun yang tertera dalam novel JSP. Penyediaan dan pengklasifikasian data disesuaikan dengan rumusan masalah

penelitian. Tahap pengumpulan data juga meliputi, 1.6.3.1.1 Wujud Data Penelitian, 1.6.3.1.2 Sumber Data Penelitian, 1.6.3.1.3 Pembatasan Data Penelitian.

1.6.3.1.1 Wujud Data Penelitian

Wujud data dalam penelitian ini adalah data-data berupa kutipan paragraf, kutipan kalimat, dan kutipan penggalan percakapan dari novel JSP yang sesuai dengan rumusan masalah penelitian ini.

1.6.3.1.2 Sumber Data Penelitian

(41)

Karya : Frigidanto Agung

Judul buku :Jejak Sang Pembangkang

Penerbit : Buku Baik

Kota terbit : Yogyakarta

Tahun terbit : 2004

Cetakan : 1 (pertama)

Halaman : 306+ x

1.6.3.1.3 Pembatasan Data Penelitian

Pembatasan data penelitian ini adalah peneliti hanya mengambil dan menggunakan data-data berupa kutipan paragraf, kalimat, dan percakapan dalam novel Jejak Sang Pembangkang karya Frigidanto Agung yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian ini.

1.6.3.2 Tahap Analisis Data

(42)

menguraikan, tetapi juga memberi pemahaman. Dalam hal ini, peneliti meneliti dengan metode deskriptif analisis pada data-data dari novel JSP karya Frigidanto Agung.

1.7 Sistematika Penyajian

(43)

BAB II

ANALISIS STRUKTUR PENCERITAAN

2.1 Pendahuluan

Pada hakikatnya, karya sastra adalah refleksi dari kehidupan masyarakat. Sebagai refleksi, karya sastra memang tidak sepenuhnya meniru secara riil kehidupan masyarakat, akan tetapi memberikan pelajaran dan kemungkinan dari sudut pandang estetis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di dalam masyarakat (Djojosuroto, 2006: 58). Melalui karya sastra, para pembaca akan menikmati realitas imajinasi pengarang melalui tokoh, peristiwa, dan latar yang disajikan.

Untuk menikmati realitas imajinasi pengarang, hal pertama yang ditanyakan pembaca jika menghadapi karya sastra adalah siapa tokohnya? Atau ini cerita tentang siapa? Pertanyaan ini akan selalu hadir atau muncul. Hal ini pun akan terus bertambah dengan pertanyaan-pertanyaan lain, misalnya “Bagaimana watak tokohnya?” atau “Protagonis ataukah antagonis?”. Cerita berkisah tentang seseorang atau tentang beberapa orang (Sudjiman, 1988 : 16). Maka, tokoh cerita adalah salah satu bagian fundamental yang mendukung sebuah cerita atau membentuk keutuhan artistik cerita.

Apakah definisi tokoh? Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988 : 16). Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Semua unsur cerita rekaan, termasuk tokohnya, bersifat rekaan semata-mata. Bagaimanakah tokoh dapat diterima oleh

(44)

pembaca? Hal ini dikarenakan tokoh memiliki kemiripan dengan individu tertentu dalam hidup ini; artinya, tokoh memiliki sifat (-sifat) yang dikenal, tidak asing, bahkan ada pada diri pembaca. Semua cerita rekaan ada kemiripan dengan sesuatu dalam hidup ini karena bahannya diambilkan dari pengalaman hidup (Sudjiman, 1988 : 12). Hal tersebutlah yang membuat tokoh dapat diterima oleh pembaca.

Penyebutan nama tokoh dan penokohan merupakan suatu kepaduan yang utuh. Tak jarang menyebut tokoh tertentu, langsung mengisyaratkan perwatakan/ penokohan yang dimilikinya. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995 : 165). Tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan, atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang (Nurgiyantoro, 1995 : 167).

Peristiwa-peristiwa dalam cerita tentulah terjadi pada suatu waktu atau dalam rentang suatu waktu tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun latar cerita (Sudjiman, 1988 : 44). Fungsi latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya (Sudjiman, 1988: 46).

(45)

berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 1995 : 233).

Analisis struktural ini bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, sedetil, sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur, dan aspek karya sastra yang nantinya akan menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:135). Dalam penelitian ini tentunya, peneliti akan membongkar unsur yang hanya mendukung penelitian ini, yaitu latar, dan tokoh/penokohan.

Sedangkan dalam novel JSP, peneliti akan mengelompokkan tokoh-tokohnya menjadi dua tokoh, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dan tokoh tambahan itu merupakan para mahasiswa yang merangkap aktivis yang menginginkan perubahan atau reformasi terhadap pemerintahannya yang otoriter. Mereka tergabung dalam Kelompok Rumah 12 A. Perlawanan Kelompok Rumah 12 A pun tersalur melalui aksi unjukrasa atau demonstrasi. Penokohannya pun menampilkan tokoh-tokoh yang selalu melawan dan kritis terhadap kekuasaan otoriter di negaranya. Dan usaha perlawanan para tokoh-tokoh itu pun berhasil menumbangkan rezim otoriter tersebut.

Untuk memudahkan dalam meneliti unsur tokoh / penokohan, dan latar. Peneliti akan menceritakan novel Jejak Sang Pembangkang karya Frigidanto Agung secara ringkas :

2.1.1 SinopsisJejak Sang Pembangkang

(46)

sebuah rezim otoriter. Mereka adalah sekumpulan para aktivis atau orang-orang yang paling kritis terhadap lingkungan pemerintahnya. Hal itu karena rezim telah merepresi yang dikuasainya. Akhirnya, gerakan sosial pun datang dari yang dikuasainya, yaitu mahasiswa yang merangkap aktivis sebagai ujung tombaknya. Berbagai macam aksi unjuk rasa atau demonstrasinya berulangkali telah meramaikan Jakarta.

Ketika telah marak aksi perlawanan dari mahasiswa, keruntuhan rezim otoriter tersebut hanya menunggu waktu. Keruntuhan untuk rezim itu berembrio dan dilahirkan dari orang-orang kritis yang melihat realitasnya kurang begitu bersahabat dan manusiawi, yaitu Kelompok Rumah 12 A. Hal ini dibuktikan dengan hilangnya beberapa hak asasi manusia yang dirampas dari tangan si otoriter, yaitu hilangnya tokoh Kemal dan beberapa aktivis di daerah.

Kelompok Rumah 12 A merupakan salah satu gerakan yang vokal terhadap rezim otoriter itu. Protes dan perlawanan itu dilakukan dengan aksi demonstrasi. Tujuan arahnya terutama gedung perwakilan rakyat. Hal ini agar aspirasi Kelompok Rumah 12 A-nya dapat terdengar. Saat itu pula Kelompok Rumah 12 A telah kehilangan salah satu aktivis senior secara misterius, yaitu Kemal. Hal ini terjadi saat berunjuk rasa di depan gedung perwakilan rakyat setelah berorasi. Kejadian itu membuat api perlawanan semakin mendidih. Akibatnya, semangat atau gelora untuk melawan rezim otoriter itu semakin hebat.

(47)

adalah ruang atau media tempat mereka merapatkan dan merencanakan gerakan perlawanan. Di samping itu, Rumah 12 A juga sebagai tempat berkumpulnya para aktivis. Untuk itu, kesempatan berdiskusi tentang perjuangan dan perlawanan terhadap rezim otoriter bisa dilaksanakan dengan sangat mudah. Hal itu karena orang-orang yang datang adalah sesama anggota dari kelompok para demonstran. Mereka yang berkunjung di Rumah 12 A adalah orang-orang yang akrab dengan aktivitas unjuk rasa dan sikap penguasa otoriter.

Joni merupakan penggerak aktivis Kelompok Rumah 12 A tersebut, atau orang yang senior selain Kemal. Anggota Kelompok Rumah 12 A lainnya adalah Andi, Rahma, Ali, Jabar, Soni (pemimpin kelompok aksi kota), Farid (kelompok demonstran selatan), dan berbagai kesatuan aksi mahasiswa. Mereka semua yang menyebarkan bahwa rezim yang berkuasa telah menjadi otoriter dan bertangan besi.

Hilangnya Kemal merupakan salah satu upaya dari rezim otoriter untuk menumpas setiap bentuk perlawanan atau resistensi. Hal ini karena dianggap menganggu stabilitas kekuasaan rezim itu.

(48)

Kegiatannya selain rapat dengan kelompoknya, Joni hanya membaca, menulis, dan menonton tv. Rahasia tempat tinggalnya ini hanya diketahui Rahma.

Sebuah rapat telah dilaksanakan Kelompok Rumah 12 A untuk membicarakan strategi demonstrasi besar-besaran yang akan digelar di Jakarta. Peserta rapat sekitar lima belas orang. Mereka semua adalah kelompok aktivis yang telah berani membuat aksi di tengah kota untuk melawan rezim otoriteristik itu. Rapat Kelompok Rumah 12 A, pada dasarnya untuk mengatur bagaimana strategi aksi tidak terlalu mencolok. Caranya, yaitu dengan mengumpulkan massa dari kampus ke kampus. Sedangkan, pemberangkatannya dilakukan secara bergelombang untuk menuju gedung dewan perwakilan. Ketika rapat selesai terjadi pengrebekan yang dilakukan polisi tetapi Joni berhasil melarikan diri bersama Rahma. Namun, Ali dan Jabar dipaksa ikut ke kantor, beberapa hari kemudian dibebaskan. Aksi demonstrasi pertama telah dilakukan oleh Kelompok Rumah 12 A mengarah ke bawah Semanggi menuju gedung DPR/MPR, tetapi jalan yang akan dilewati telah ditutup sehingga tidak berhasil.

(49)

makan Andi pamit pergi untuk ke Rumah 12 A, tetapi justru ke kantor Sumbogo untuk menerima dana itu.

Riwayat Kelompok Rumah 12 A menjadi kacau setelah pengrebekan itu sehingga memutuskan untuk berhenti menggunakan Rumah 12 A lagi. Hal itu dilakukan demi keamanan para aktivis Kelompok Rumah 12 A. Ternyata Andi adalah orang yang membocorkan adanya rapat itu kepada Sumbogo. Rahma memutuskan untuk mengarahkan aksi turun ke jalanan karena sudah tidak ada tempat lagi yang aman. Jabar pun juga memutuskan untuk menutup rangkaian program Kelompok Rumah 12 A. Mereka pun menyetujuinya, tetapi pergerakan perjuangan melawan rezim terus diperjuangkan. Gerakan Kelompok Rumah 12 A kini sulit untuk terdeteksi. Jadi, tidak ada saksi atas gerak teman lainnya. Mereka bertemu jika terjadi demonstrasi besar di kampus-kampus ibukota. Kelompok Rumah 12 A kini menerapkan strategi penyusupan terhadap sebuah aksi demonstrasi.

(50)

kontrakan yang ditempati Joni bahwa pagi-pagi ada dua orang intel menjemput Joni.

Joni ternyata memang diculik oleh dua orang intel. Joni merasa telah berpindah tiga kali hingga terakhir berada di Surabaya. Dua minggu berikutnya, Joni telah berada di kantor polisi, ia tidak mengetahui mengapa dititipkan di situ. Orang yang membawa pulang Joni ke Jakarta adalah Pak Dewabrata. Joni pun tidak mengetahui hubungan antara penculikan dengan Pak Dewabrata. Pak Dewabrata adalah Ayah Onik dan pemilik rumah di Gang 12 A. Ia juga paman Rahma. Pak Dewabrata menyembunyikan Joni di rumahnya. Ia menyarankan Joni pergi ke luar negeri, yaitu Australia, untuk dititipkan kepada rekannya di sana. Hal ini dikarenakan masih adanya gerakan yang masih membahayakan jiwa Joni. Akhirnya, Joni pun menyetujuinya.

Onik pun akhirnya mengetahui bahwa Joni telah berada di rumah ayahnya, Pak Dewabrata. Hal ini diketahui melalui pesan tulisan dari buku yang diletakkan seseorang di depan rumah kontrakannya. Rumah itu terletak bersebelahan dengan kontrakannnya Joni. Onik merupakan sepupu Rahma karena Ayah Rahma adalah adiknya Pak Dewabrata.

(51)

asal sejumlah uang yang ada di rekeningnya. Sewa rumah di Lenteng Agung itu ternyata biayanya berasal dari uang yang diberikan Sumbogo sebagai perantara seseorang yang juga ingin menggulingkan penguasa otoriter itu. Ketiganya merahasiakan agar tak diceritakan kepada siapa pun. Sebelumnya, Joni juga telah bersaksi atas penculikan terhadap dirinya kepada Sumbogo, wartawan surat kabar Berita Kota.Hal ini agar semuanya menjadi jelas, terbuka, dan apa adanya tentang kebusukan penguasa otoriter itu. Akhirnya, Joni pergi ke Australia.

2.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh dan penokohan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu toh utama dan tokoh tambahan. Berikut ini pembahasannya:

2.2.1 Tokoh Utama

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Tokoh itu disebut tokoh utama cerita (central character, main character) (Nurgiyantoro, 1995 : 176).

(52)

pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting yang mempengaruhi perkembangan plot (Nurgiyantoro, 1995: 177).

2.2.1.1 Tokoh Joni

Tokoh Joni adalah tokoh utama dalam novel JSP. Hal ini karena tokoh Joni adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel. Tokoh Joni, tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh ini yang mempengaruhi alur cerita. Tokoh Joni adalah mahasiswa. Dia seorang aktivis juga sekaligus demonstran sejati. Ia mengkritik, memprotes, dan melawan kelakuan penguasa negaranya yang semakin otoriter dan berbuat sewenang-sewenang. Baginya kehidupan adalah protes, apapun bisa dijadikan alasan. Selain itu, dia juga sebagai motivator kelompoknya sesama aktivis yang sering berkunjung di rumah 12 A. Dia juga merupakan anggota Kelompok Rumah 12 A. Ia digambarkan oleh pengarangnya, orangnya tinggi, berbadan tipis, dan penuh optimisme.

Penggalan kutipan berikut ini, penggambaran sikap tokoh Joni sebagai seorang demonstran dan aktivis.

( 1 ) Joni berteriak-teriak. Mengobarkan semangat para demonstran. Orasi yang dilakukannya cukup membuat emosi orang terbakar. Seperti gelombang laut, suara itu menggema. Mencari sela untuk masuk pada telinga orang yang mendengarkan. Joni tidak menyadari orasinya menghanyutkan pendengarnya. Cukup lama Joni berdiri di atas mobil yang dijadikan sebagai panggung untuk berdiri di depan para demonstran (Agung, 2004 : 9).

(53)

( 3 ) Joni juga bertambah sibuk. Melupakan statusnya sebagai mahasiswa. Meninggalkan bangku kuliah, meskipun dia masih sering berkunjung ke universitas. Apa yang dilakukannya? Berkumpul dengan teman-temannya sesama aktivis, membuat rencana demonstrasi dan mencari dana atau orang yang siap membiayai aksi (Agung, 2004 : 10 - 11). ( 4 ) Demikian Joni mengisi hari-harinya. Seorang demonstran, hidup di

tengah aksi. Seringkali, memimpin aksi di mana pun tempatnya. Bahkan, beberapa wartawan surat kabar mengenalnya, juga menggunakan dirinya sebagai sumber berita. Kehidupan adalah protes baginya, apapun bisa dijadikan alasan. Walaupun masalahnya sekecil atom, tinggal bagaimana menggunakan kipas untuk membuat masalah membesar, membengkak, dan menjadi simbol yang bisa dijadikan protes.” (Agung, 2004 : 10).

( 5 ) Ketidakpastian yang harus menuntut mereka waspada. Joni menjadi ujung tombak bagi kelompok rumah 12 A itu. Sikapnya harus benar-benar tenang dan membawa ke arah jalur yang pasti atas arah kelompok (Agung, 2004 : 22).

Penggambaran ciri-ciri fisik tokoh Joni yang dituliskan oleh Frigidanto Agung dalam novel JSP cukup jelas. Selain itu, tokoh Joni suka hal-hal yang terlihat bersih. Ditunjukkan oleh penggalan kutipan berikut ini.

( 6 ) Joni seorang demonstrans sejati, orangnya tinggi, berbadan tipis. Jadi kelihatan jangkung. Wajahnya penuh optimisme. Rambutnya hitam tidak pernah disisir. Pada punggungnya selalu tertempel tas ransel warna hitam. Joni selalu memakai kaos oblong. Celana jeans yang sedikit kumal.sepatu ket. Teman-temannya menganggap itulah identitas Joni (Agung, 2004 : 11).

( 7 ) Pemandangan yang kurang enak dilihat. Joni sangat sensitif terhadap kenyataan seperti itu. Kotor harus hilang, bersih harus terlihat. Salah satu semboyan yang seringkali diterapkannya untuk memelihara rumah kontrakannya. Jadi, tidak jarang ketika orang masuk ke dalam rumahnya menjadi sadar bahwa Joni adalah orang yang menyukai hidup bersih. (Agung, 2004 : 42).

(54)

yang selalu berjuang, melawan, dan membangkang rezim tersebut. Keinginannya sangat besar untuk menggulingkan rezim itu. Hal ini dibuktikan ketika tokoh Joni berdemonstrasi. Hal ini dibuktikan dengan penggalan kutipan di bawah ini.

( 8 ) “ Bukan berarti kita harus mengalah terus. Sudah lama kita diam. Tetapi apa yang kita dapatkan? semakin tidak dihargai diri kita. Segala kehidupan adalah haknya untuk menjadi ketetapannya juga. Suara kita tidak dianggap, suara kita hanya omong kosong. Kita seperti benda mati.” (Agung, 2004: 1).

Tokoh Joni memberikan bukti jika penguasanya otoriter. Hal ini dibuktikan oleh tokoh Joni saat jumpa pers. Tokoh Joni mengucapkan pernyataan mengenai aktivis yang hilang, yaitu tokoh Kemal. Selain itu, dia juga menjelaskan mengenai gaya gerakan dan cita-cita dari Kelompok Rumah 12 A. Berikut ini penggalan kutipannya:

( 9 ) “ Apa yang tidak diinginkan oleh semua orang terjadi di sini. Satu rekan kita dijadikan tumbal untuk membuat sejarah peradapan negeri ini terlihat mulus, tidak ada benjolan yang tumbuh sebagai bangkai yang membusuk atas kejadian yang tidak menyenangkan atas rezim otoriter. Hilangnya Kemal sebagai aktivis pro demokrasi adalah satu bukti demokrasi masih menjadi bau mulut yang tak enak. Sedangkan, demokrasi yang sesungguhnya menuntut sikap otoriter untuk lebih disadari sebagai sikap yang tidak pantas dibesar-besarkan.” (Agung, 2004: 25).

(55)

Perlawanan tokoh Joni tidak akan berhenti sebelum penguasa otoriter turun. Hal ini dapat dibuktikan ketika tokoh Joni menanggapi pertanyaan dari seorang wartawan saat jumpa pers mengenai hilangnya, Kemal, sahabatnya satu kontrakan Joni, sesama aktivis.

(11) “Suatu pernyataan yang mungkin harus dijawab, dilihat perkembangannya apa yang ada dalam kehidupan yang serba sama ini. Tapi untuk pertanyaan yang nomor satu, perjuangan kami tidak berhenti hanya dengan kehilangan satu pejuang. Kaum otoriter harus berhenti sendiri, sesuai zaman yang telah berubah. Kami tidak mengubah zaman, tetapi otoriter sebagai sikap untuk waktu yang bergerak begitu cepat sudah tak sesuai lagi. Hak kami untuk menghentikan itu.” (Agung, 2004: 29).

2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh Tambahan adalah tokoh (-tokoh) yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Di pihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung maupun tak langsung (peripheral character) (Nurgiyantoro, 1995:176-177).

2.2.2.1 Tokoh Andi

(56)

(12) Seperti juga Andi aktivis bertubuh tambun dan rambutnya bergelombang, sulit untuk disisir. Hingga sehari-harinya terlihat kusut wajahnya oleh karena rambutnya (Agung, 2004: 13).

Tokoh Andi juga merupakan aktivis lapangan yang sering pergi ke daerah. Hal ini untuk mencari bukti jika di daerah juga sedang terjadi pergolakan menentang rezim otoriter yang sedang berkuasa. Hal ini dibuktikan saat tokoh Andi menjawab pertanyaan dari seorang wartawan ibukota, yaitu Sumbogo. Berikut ini penggalan kutipannya:

(13) “ Keliling daerah. Melanjutkan pekerjaan kemarin. Orang hilang di daerah tertentu juga ada ternyata. Tidak saja di ibukota, setelah diamati ternyata ada sesuatu yang menjadi benang merahnya,” jawab Andi (Agung, 2004: 111).

Tokoh Andi seorang aktivis yang realistis dan cerdik dalam membuat suatu isyu untuk melawan rezim otoriter yang sedang berkuasa. Hal ini dibuktikan ketika mengomentari omongan Joni mengenai hilangnya Kemal. Selain itu, kecerdikannya juga dapat terlihat ketika menjawab pertanyaan tokoh Jabar mengenai kepergiannya ke daerah-daerah. Berikut ini penggalan kutipannya:

(14) “ Lebih baik itu dijadikan isyu utama dalam rapat nanti. Jadi tidak usah mencari yang tidak nyata. Penghilangan paksa dengan cara culik tentu korbannya mendapatkan perlakuan yang tidak sewajarnya. Siksa, tahan, mungkin juga dibunuh atau dibuang pada suatu tempat yang orang lain tidak mengenalnya (Agung, 2004: 116).

(15) “ Justru pergi ke daerah menjadi tahu seperti apa gerakan demonstrasi yang bisa dikembangkan di sini. Selain isyu, kesempatan memilih waktu untuk mengumpulkan massa juga perlu menjadi perhatian. Ini bukan bahasa buku, tetapi lapangan yang harus dikuasai (Agung, 2004: 126 -127).

(57)

(16) Ketika pergi ke daerah memang tempat tujuan Andi belajar tentang perilaku di daerah itu, bagaimana demonstrasi menjadi besar. Serta memberi pengaruh pada pendukung gerakan isyu yang diangkat oleh penggerak demonstrasi (Agung, 2004: 127).

2.2.2.2 Tokoh Rahma

Tokoh Rahma adalah tokoh perempuan dalam Kelompok Rumah 12 A. Ia adalah aktivis, mahasiswa, sekaligus sekretaris Kelompok Rumah 12 A. Hal ini terlihat ketika Kelompok Rumah 12 A mengadakan jumpa pers untuk membuka hilangnya salah satu aktivis senior mereka, Kemal. Berikut ini penggalan kutipannya:

(17) Setelah memasuki pintu gerbang, perempuan itu duduk di serambi depan. Sesekali pandangannya menuju jalan gang. Seperti ada yang ditunggu, agak lama dia duduk. Wajahnya terlihat resah. Mendadak muncul Andi dari pintu gerbang.

“Andi! Di mana teman-teman?” Tanya perempuan itu.

“Rahma!” sahut Andi. “Aku tidak tahu,” lanjutnya (Agung, 2004: 15). (18) Joni mulai berbicara di depan. Duduk di samping kanan Rahma yang

bertindak sebagai pencatat (Agung, 2004: 25).

(19) Selesai Joni berbicara beberapa saat, Rahma mengambil kendali pertanyaan.

“Lima pertanyaan untuk mengawali acara.”

Tujuh orang mengacungkan tangan. Rahma menunjuk lima orang yang mengacungkan tangan (Agung, 2004: 26).

(20) Sedangkan, Rahma masih mengumpulkan kertas catatan yang dibuatnya tadi. Begitu hadirin sudah agak berkurang dalam ruangan, Joni menghampiri Rahma (Agung, 2004: 30).

(58)

ini terlihat ketika acara jumpa pers, tokoh Rahma berbicara tentang hilangnya salah satu aktivis, Kemal. Berikut ini penggalan kutipannya:

(21) Perjuangan kami adalah tulus, menganggap kebobrokan, sikap otoriter dan homogenitas menjadi barang usang yang harus siap ditinggalkan.” (Agung, 2004: 28).

2.2.2.3 Tokoh Ali

Tokoh Ali merupakan anggota Kelompok Rumah 12 A. Dia juga aktivis dan mahasiswa. Tokoh Ali adalah tokoh yang pintar, selalu penuh pertimbangan atau perhitungan dan waspada. Hal ini terlihat ketika Joni, Rahma, dan Andi sedang mempersiapkan jumpa pers untuk membuka berita tentang hilangnya, Kemal, demonstran senior dalam Kelompok Rumah 12 A. Dibuktikan dalam kutipan penggalan paragraf berikut ini.

(22) “ Selain itu, kita tetap waspada terhadap kondisi sekitar. Sebab banyak orang yang berkunjung ke sini. Sulit identitasnya diketahui. Jadi setiap rapat kita harus saring benar, mana aktivis mana bukan. Atau kita pilih dari setiap kampus yang berada di sekitar kota.” (Agung, 2004: 19). (23) “ Keyakinan! Hanya satu itu yang bisa mengoyang kursi kekuasaan.

Sebab tanpa keyakinan tidak ada semangat untuk bergerak,” kata Ali (Agung, 2004: 147).

Tokoh Ali merupakan tokoh yang cerdik dalam mengatur strategi, yaitu ketika Kelompok Rumah 12 A akan dibubarkan oleh anggotanya sendiri, dia memberikan ide agar menggunakan kampus. Selain itu, tokoh ini memiliki sifat kritis terhadap penguasanya yang otoriter. Berikut ini penggalan kutipannya:

(24) “ Jalan termudah untuk menyelesaikannya : kampus. Tidak kentara jika mengadakan pergerakan semacam ini. Selain itu kekuatan yang melindungi juga ada. Mencari massa juga mudah.” (Agung, 2004: 141). (25) “ Strategi demonstrasi tidak ubahnya seperti strategi perang. Lapangan di

(59)

Apalagi menyangkut semangat juang anggota aksi. Kekuatan di lapangan menunjukkan keberanian mental mereka. Tempat di mana orang saling berhadapan secara nyata. Pada tempat itu pula ada diplomasi dan adu fisik, jika perlawanan terjadi.” (Agung, 2004: 142). (26) “ Begitu juga kesempatan, kebebasan yang kita dapat saat ini hanya

sebatas bagaimana mengangkat hegemoni kekuasaan menjadi lebih lama. Tidak adil. Bagi belahan kehidupan tertentu menjadi adil karena ada hasil yang bisa membuatnya berdiri tegak dalam kehidupan hegemoni yang atraktif.” (Agung, 2004: 144).

(27) “ Apa yang dihadapi bangsa ini, adalah mengambil kembali kekuasaan sebagai hakekat untuk memunculkan sikap, bahwa hidup harus mengalirkan kesan, otoritas kekuasaan juga harus menghormati yang dikuasai.” (Agung, 2004: 145).

Tokoh Ali suka merokok dan mempunyai kebiasaan merenung. Berikut ini penggalan kutipannya:

(28) Ali duduk di beranda depan Rumah 12 A. Rokok yang menemaninya berkhayal tak putus-putus asapnya mengepul. Sambil bersila di kursi, serta memandang keluar halaman. Pikirannya mengembara tidak tahu ke mana, satu kesempatan untuk membebaskan khayalannya. Sebab tidak ada seorang pun yang menjadi penghalang untuk menyendiri. Ali memang mempunyai kebiasaan merenung, di antara penghuni rumah (Agung, 2004: 140).

2.2.2.4 Tokoh Jabar

Tokoh Jabar merupakan anggota aktivis Kelompok Rumah 12 A. Hal ini dibuktikan melalui penggalan kutipan berikut ini:

(60)

Tokoh Jabar seorang tokoh yang kritis. Hal ini dibuktikan ketika menanggapi jawaban Tokoh Ali mengenai hegemoni rezim otoriter yang sedang bercokol. Berikut ini penggalan kutipannya:

(30) “ Kalau melihat dari sisi adil dari semacam apa yang kamu ungkapkan pasti terjadi pemberontakan yang tak habis-habisnya. Serta ada masyarakat tertentu yang sulit untuk dikendalikan. Oleh sebab jalan hidup yang mereka jalani. Mencari kemerdekaan memang realita yang harus dihadapi. Tapi kebebasan? Adalah sikap untuk berjuang menunjuk pada jati diri tiap manusia. Hanya orang yang bisa mempergunakan kemerdekaannya yang bisa menikmati kebebasan itu. ” (Agung, 2004 : 144 – 145).

(31) “ Tapi kekuasaan di sini adalah fenomena. Kekuatan di atas adalah hegemoni, penguasa adalah perangkai kehidupan politis dapat berbuat segalanya. Jadi, bentuk apa pun kelakuannya dianggap sah. Karena untuk mengamankan kursi kekuasaannya. Bahayanya di sini. Rakyat yang hidupnya paling bawah hanya korban, dalam sikap hidup bentuk apapun.” (Agung, 2004 : 145).

2.2.2.5 Tokoh Farid

Tokoh Farid merupakan anggota Kelompok Rumah 12 A. Tokoh ini juga ikut merencanakan penggulingan penguasa otoriter dalam negaranya. Tokoh Farid menjadi pemimpin kelompok para demonstran. Berikut ini penggalan kutipannya:

(32) Farid, pemimpin kelompok demonstran selatan (Agung, 2004: 60 ).

Selain itu, dari kesaksian tokoh Ali saat bertemu dengan Joni dan Rahma di warung kampus membuktikan jika tokoh Farid memang pemimpin kelompok demonstran selatan. Berikut penggalan kutipannya:

(61)

Tokoh Farid termasuk tokoh yang sangat pertimbangan dalam merencanakan aksi. Hal ini terbukti saat mengikuti rapat Kelompok Rumah 12 A. Berikut ini penggalan kutipannya:

(34) “ Sebaiknya dibuat rencana yang detil untuk gerak selanjutnya,” kata Farid mengajukan usul. “Karena kondisi sudah tidak menguntungkan lagi. Mungkin orang hilang akan bertambah lagi di antara kita. Cara menghadapi culik semacam itu tidak ada. Bahkan aktivis menjadi takut kalau tidak ada perlawanan yang bersifat massal. Atau, aksi besar, sekalian saja mengundang reaksi. Supaya keterdesakan aktivis tidak memudarkan mental mereka untuk berjuang (Agung, 2004 : 61).

2.2.2.6 Tokoh Soni

Tokoh Soni juga merupakan anggota Kelompok Rumah 12 A. Ia juga memimpin sebuah kelompok demonstran. Berikut ini penggalan kutipannya:

(35) Di antara mereka ada Soni, pemimpin kelompok aksi kota. (Agung, 2004: 60)

Tokoh Soni juga cerdik dan cerdas. Hal ini dibuktikan ketika berbicara dalam rapat Kelompok Rumah 12 A. Berikut ini penggalan kutipannya:

(36) “ Perlu juga membuat sikap untuk kegiatan semacam itu. Tetapi apakah perlu membuat gerakan pendahuluan, seperti sebuah leaflet atau lainnya yang bisa menghangatkan suasana.” (Agung, 2004 : 63).

2.2.2.7 Tokoh Para Demonstran

(62)

(37) Joni berteriak-teriak. Mengobarkan semangat para demonstran. Orasi yang dilakukannya cukup membuat emosi orang terbakar. Seperti gelombang laut, suara itu menggema. Mencari sela untuk masuk pada telinga orang yang mendengarkan. Joni tidak menyadari orasinya menghanyutkan pendengarnya. Cukup lama Joni berdiri di atas mobil yang dijadikan panggung untuk berdiri di depan para demonstran. Jalan yang semula dipakai untuk lalu lalang kendaraan menjadi macet. Penuh orang tidak bisa dilewati lagi.

“ Bukan berarti kita harus mengalah terus. Sudah lama kita diam. Tetapi apa yang kita dapatkan? Semakin tidak dihargai diri kita. Segala kehidupan adalah haknya untuk menjadi ketetapannya juga. Suara kita tidak dianggap, suara kita hanya omong kosong. Kita seperti benda mati.” Joni tambah panjang dalam orasinya. Tidak merasakan bagaimana matahari siang itu menyengat wajahnya.

Rumah itu adalah tempat mereka bersatu, membuat pekerjaan tambah mudah untuk dilakukan. Kesempatan yang mereka dapatkan sangat mudah karena pergaulan dalam rumah rapat. Sebab, mereka yang datang adalah juga anggota kelompok aksi. Demikian juga dengan aksi Joni di depan gedung perwakilan rakyat waktu itu (Agung, 2004: 9-13).

2.2.3 Kesimpulan Analisis Tokoh dan Penokohan

Dalam penelitian ini tokoh berdasarkan peran dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Dalam novel JSP, tokoh utama adalah tokoh Joni dan tokoh tambahan adalah tokoh Andi, tokoh Rahma, tokoh Ali, tokoh Jabar, tokoh Farid, tokoh Soni, dan tokoh Para Demonstran.

Tokoh Joni adalah mahasiswa. Dia seorang aktivis dan seorang demonstran. Ia memiliki sifat pengkritik, suka protes, dan selalu melawan keadaan penguasa negaranya yang semakin otoriter. Baginya kehidupan adalah protes, apapun bisa dijadikan alasan. Selain itu, dia juga sebagai motivator kelompoknya sesama aktivis yang sering berkunjung di Rumah 12 A, yaitu Kelompok Rumah 12 A.

(63)

yang sering pergi ke daerah. Hal itu untuk mencari bukti-bukti jika di daerah juga terjadi pergolakan menentang rezim otoriter.

Tokoh Rahma adalah tokoh perempuan dalam Kelompok Rumah 12 A. Ia adalah aktivis, mahasiswa, sekaligus sekretaris Kelompok Rumah 12 A. Selain itu, tokoh wanita ini termasuk juga sebagai aktivis dan demonstran. Dia juga mempunyai sifat pengkritik dan pembangkang. Untuk itu, tokoh Rahma ingin segera mengakhiri rezim otoriter yang sedang berkuasa.

Tokoh Ali merupakan anggota Kelompok Rumah 12 A. Dia juga aktivis dan mahasiswa. Tokoh Ali adalah tokoh yang pintar, selalu penuh pertimbangan atau perhitungan. Hal ini terlihat ketika Joni, Rahma, dan Andi sedang mempersiapkan jumpa pers untuk membuka berita tentang hilangnya, Kemal, demonstran senior dalam Kelompok Rumah 12 A. Tokoh ini suka merokok dan mempunyai kebiasaan merenung.

Tokoh Jabar seorang tokoh yang kritis. Hal ini dibuktikan ketika menanggapi jawaban Tokoh Ali mengenai hegemoni rezim otoriter yang sedang berkuasa. Tokoh ini juga merupakan aktivis Kelompok Rumah 12 A.

Tokoh Farid merupakan anggota Kelompok Rumah 12 A. Tokoh ini juga ikut merencanakan penggulingan rezim otoriter. Tokoh Farid menjadi pemimpin kelompok demonstran, yaitu pemimpin kelompok demonstran selatan. Ia juga sering mengadakan aksi demonstrasi bersama kelompoknya.

(64)

Tokoh ini juga cerdik dan cerdas. Hal ini dibuktikan ketika berbicara dalam rapat Kelompok Rumah 12 A.

Tokoh Para Demonstran adalah tokoh-tokoh yang oleh pengarang dikumpulkan menjadi satu diberi nama para demonstran. Namun, dapat dipastikan jika kelompok ini adalah juga Kelompok Rumah 12 A. Salah satu buktinya, tokoh ini menjadi pendukung aksi demonstrasi tokoh Joni saat melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung lembaga perwakilan rakyat.

Tokoh utama dan tokoh tambahan adalah mahasiswa yang merangkap aktivis. Untuk itu, mereka mengetahui jika penguasanya telah menjadi otoriter. Aksi demonstrasi pun dilancarkan tokoh utama dan tokoh tambahan untuk mengkritik dan melawan penguasa tersebut. Akibatnya, penokohan tokoh utama dan tokoh tambahan memiliki penokohan yang selalu mengkritik, melawan, dan menghancurkan penguasa otoriter.

2.3 Latar

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Panitia Pengadaan Jasa Konsultansi Dinas Pekerjaan Umum Bandar Lampung mengumumkan Pemenang Seleksi untuk pekerjaan tersebut di atas adalah

Penggunaan Media Pembelajaran Berbasis Laboratorium Virtual Dalam Model Kooperatif Tipe Teams Games Tournaments (Tgt) Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Pada Mata

didik pada kelas yang akan menjadi obyek penelitian. 2) Menyusun waktu yang tepat untuk melakukan pelaksanaan tindakan. 3) Menentukan materi yang akan dibantu dengan media

Ade Nurulita Dewi. DESCRIPTIVE STUDY ON TEACHING ENGLISH TO CHILDREN BY USING SONGS AND GAMES TO THE FIFTH YEAR STUDENTS OF SD NEGERI KARANGJOMPO PEKALONGAN.

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, penulis dalam penelitian ini akan membatasi ruang lingkup permasalahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi

Program ini mencoba menerapkan paradigm baru dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang bersifat problem solving, menghasilkan luaran yang terukur, komprehensif,

Gambar 3.96 Rancangan Layar Transaksi Laporan Absensi Siswa per Term...456. Gambar 3.97 Rancangan Layar Transaksi Laporan Absensi Siswa

In conclusion, the present study has demonstrated that the use of grass clover-pellets and whole plant maize-pellets, along with concentrate and about 10% unchopped grass hay, based