• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN INKULTURASI BUDAYA JAWA TERHADAP PENGHAYATAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERANAN INKULTURASI BUDAYA JAWA TERHADAP PENGHAYATAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN SKRIPSI"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Yohanes Agung Hari Prastowo

NIM: 071124015

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Yohanes Agung Hari Prastowo

NIM: 071124015

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada orang tuaku yang mengajari aku akan makna

hidup, sumber inspirasiku

Bapak J.A. Tukiman dan Ibu T.C Wuryanti,

Keluarga besar Eyang Rejosoemarto

Theresia Linata Adayu

Teman-teman angkatan 2007

Adik-adik angkatan

(6)

v MOTTO

“Kerjakanlah pekerjaan yang membawa berkah bagimu dan bagi orang yang kamu

cintai”

(7)
(8)
(9)

viii ABSTRAK

Judul skripsi PERANAN INKULTURASI BUDAYA JAWA

TERHADAP PENGHAYATAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN dipilih berdasarkan ketertarikan dan rasa keingintahuan penulis pada unsur-unsur kebudayaan Jawa dalam Gereja. Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah salah satu paroki di Yogyakarta yang menggunakan secara pokok unsur-unsur budaya Jawa.

Penulis ingin menguraikan inkulturasi sebagai sarana penghayatan iman umat terhadap Ekaristi. Penulisan skripsi ini menguraikan beberapa kajian pustaka mengenai inkulturasi dan Ekaristi. Inkulturasi adalah perpaduan budaya dengan iman Kristiani. Inkulturasi budaya Jawa membawa pengaruh positif bagi penghayatan iman umat dalam Perayaan Ekaristi. Melalui inkulturasi umat dapat memasuki suasana yang khidmat untuk mempersiapkan hati bertemu dengan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui pemahaman dan keterlibatan umat dalam menggereja juga pelestarian budaya Jawa. Penulis juga memiliki keprihatinan akan situasi kaum muda saat ini. Kaum muda di zaman yang modern ini kurang memperhatikan budayanya sendiri. Diperlukan pembinaan iman dan katekese yang dapat membantu kaum muda dalam memahami dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam pelestarian budaya Jawa. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu pengumpulan data-data umat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran telah dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh inkulturasi budaya Jawa terhadap penghayatan Ekaristi. Di samping itu, studi pustaka juga diperlukan untuk memperoleh pemikiran-pemikiran untuk direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan bagi umat.

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh kaum muda Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran untuk meningkatkan pemahaman mengenai inkulturasi dan keterlibatan mereka untuk terlibat aktif dalam perayaan Ekaristi adalah dengan katekese model Shared Christian Praxis. Katekese yang dimaksudkan adalah suatu gerakan aksi bersama untuk membantu mereka dalam penghayatan Ekaristi melalui inkulturasi budaya Jawa. Katekese model Shared Christian

Praxis merupakan suatu model katekese yang berdasar pada pengalaman hidup

(10)

ix ABSTRACT

The title of this writing,THE ROLE OF THEINCULTURATION OF

JAVANESE CULTURE FOR THE COMPREHENSION OF EUCHARIST AT HATI KUDUS TUHAN YESUS PARISH IN GANJURAN,is selected based on the interest and the curiosity of the writer on the elements of Javanese culture in the Church. Hati Kudus TuhanYesusParish in Ganjuran is one of churches in Yogyakarta which uses the elements of Javanese culture fundamentally in the Church.

The writer attempts to elaborate inculturation as means for the people’s faith comprehensionofEucharist. This writing elaborates some library studies about inculturation and Eucharist. Inculturation connects cultureand Christian faith. The inculturation of Javanese culture brings positive influence for people’s faith comprehension ofEucharist. Through the inculturation, people can have a solemn situation to prepare their heartsto meet God in Eucharist.

The main problem of this writing is to know the understanding and the involvement of the people who are active in Church activities and the conservation of Javanese culture. The writer also has a concern for youth condition. The youth in this modern era pay less attention to their cultures. It needs a faith formation and catechesis which can help the youth in comprehending and increasing their involvement in Javanese culture conservation. To study this problem requires the accurate data. Therefore, the data collected in Hati Kudus TuhanYesusParish in Ganjuran has been done to know the level of the inculturation influence of Javanese culture to Eucharist comprehension.Besides, the library study is needed to know the understanding of Eucharist which can be utilized as a contribution for the people.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas

rahmat cinta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul PERANAN INKULTURASI BUDAYA JAWA TERHADAP

PENGHAYATAN EKARISTI DI PAROKI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN.

Skripsi ini di susun setelah berefleksi dan ketertarikan penulis pada saat

mengikuti perayaan Ekaristi inkulturatif Jumat pertama di Paroki Hati Kudus

Tuhan Yesus Ganjuran. Skripsi ini diharapkan menjadi pengetahuan/wawasan

untuk dapat mengilhami umat dalam mengikuti Ekaristi inkulturatif, kemudian

membantu keterlibatan umat dalam hidup menggereja dan melestarikan budaya

Jawa di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran. Oleh karena itu, penyusunan

skripsi ini dimaksudkan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan

keterlibatan umat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dalam hidup

menggereja dan pelestarian budaya Jawa. Selain itu, skripsi ini disusun sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan

(12)

xi

1. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, selaku dosen pembimbing akademik dan dosen

pembimbing utama yang telah memberikan perhatian, meluangkan waktu dan

membimbing penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan

dan kritikan-kritikan sehingga penulis diteguhkan dari awal hingga akhir

penulisan skripsi ini.

2. Dra. Y. Supriyati, M.Pd selaku dosen penguji II yang telah memberikan

motivasi pada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J, selaku dosen penguji III yang telah bersedia

membaca, memberikan kritik dan masukan, serta mendampingi penulis dalam

mempertanggung-jawabkan skripsi ini.

4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan

membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Romo Antonius Jarot Kusno. P, Pr, selaku Pastor Paroki Hati Kudus Tuhan

Yesus Ganjuran yang telah mengizinkan penulis untuk mengadakan penelitian

di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

6. Bapak AG. Mujiya sekeluarga yang telah bersedia memberikan seluruh waktu,

tempat dan perhatiannya bagi penulis selama penelitian. Terima kasih atas

kerjasama, dukungan, saran dan cintanya yang begitu luar biasa bagi penulis

selama melaksanakan penelitian di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

7. Para ketua lingkungan di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang telah

menerima penulis di lingkungan dan mendukung pelaksanaan penelitian.

(13)

xii

8. Mas Indra dan kaka yang telah mengorbankan waktu dan tenaga membantu

penulis dalam pengumpulan data skripsi ini.

9. Seluruh umat Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran yang telah menerima dan

membantu penulis selama proses penelitian.

10.Bapak, Ibu, Eyang putri, kakak-kakak, adik dan semua keluarga yang

memberikan semangat dan dukungan moral, material, dan spiritual selama

penulis menempuh studi di IPPAK-USD Yogyakarta. Trimakasih atas cinta

dan kasih yang penulis rasakan selama ini.

11.Sahabat-sahabat mahasiswa khususnya angkatan 2007/2008 yang turut

berperan dalam menempa pribadi dan motivasi penulis. Trimakasih atas kasih,

kebersamaan dan persahabatan yang terjalin di IPPAK untuk bersama-sama

menjadi seorang pewarta Kabar Gembira di tengah zaman yang penuh

tantangan ini.

12.Theresia Linata Adayu yang telah memberikan kasih sayang, perhatian,

semangat dan dukungan yang senantiasa memacu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

13.Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga budi

baik yang telah diberikan kepada penulis membawa berkah dan rahmat.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga

penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat

menghargai dan memberi apresiasi bagi siapapun yang memberi masukan demi

(14)

xiii

(15)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

BAB II. INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HKTY GANJURAN ... 7

A. Inkulturasi ... 7

1. Pengertian Inkulturasi ... 7

2. Tujuan Inkulturasi ... 9

3. Dasar Teologis Inkulturasi ... 10

a. Azas-azas dan Norma untuk Inkulturasi Ritus Romawi ... 12

(16)

xv

4. Inkulturasi dalam Gereja ... 15

a. Tahapan-tahapan Inkulturasi dalam Gereja Katolik ... 16

b. Inkulturasi Budaya Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 17

c. Contoh Perayaan Ekaristi Memadukan unsur Inkulturatif Budaya Jawa di Paroki HKTY Ganjuran ... 20

B. Penghayatan Ekaristi ... 22

1. Pengertian Penghayatan Ekaristi ... 22

2. Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja ... 26

D. Gambaran Umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 32

1. Sejarah Singkat Gereja ... 32

2. Sejarah Singkat Candi Ganjuran ... 37

3. Bangunan Candi Katolik dan Misi Kristiani ... 39

4. Visi dan Misi Paroki HKTY Ganjuran ... 43

E. Situasi Umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ... 44

1. Letak Geografis dan Situasi Umat Paroki HKTY Ganjuran ... 44

2. Wilayah dan Lingkungan Umat Paroki HKTY Ganjuran ... 44

3. Perayaan Ekaristi secara Umum Paroki HKTY Ganjuran ... 46

BAB III. INKULTURASI DAN PENGHAYATAN EKARISTI ... 48

A. Tujuan Penelitian ... 48

B. Metode Penelitian ... 48

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49

(17)

xvi

E. Instrumen Penelitian ... 51

F. Variabel Penelitian ... 53

G. Gambaran Pelaksanaan Penelitian dan Hasil Penelitian ... 54

1. Inkulturasi di Paroki HKTY Ganjuran ... 54

2. Penghayatan Ekaristi di HKTY Ganjuran ... 57

3. Hasil Tanggapan Umat mengenai Inkulturasi ... 59

4. Hasil Tanggapan Umat mengenai Penghayatan Ekaristi ... 65

BAB IV. USULAN PROGRAM PEMBINAAN IMAN KAUM MUDA UNTUK MENINGKATKAN PENGHAYATAN EKARISTI

1. Tiga Komponen Pokok dalam Model Shared Christian Praxis ... 77

2. Langkah-langkah Shared Christian Praxis ... 79

E. Usulan Tema dan Tujuan ... 82

F. Penjabaran Program ... 84

G. Petunjuk Pelaksanaan Program ... 87

H. Contoh Persiapan Katekese (Shared Christian Praxis) ... 87

BAB V. PENUTUP ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109

LAMPIRAN ... 112

Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Pelaksanaan Penelitian ... (1)

Lampiran 2 : Bacaan Injil Markus 16: 9-20... (2)

Lampiran 3 : Koesioner Penelitian ... (3)

Lampiran 4 : Foto Penelitian ... (6)

(18)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

A. Daftar Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama

Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985,

hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA: Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang

Kerasulan Awam, 7 Desember 1965.

AG: Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner

Gereja, 7 Desember 1965.

CT: Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II

kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang

katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

DCG: Directorium Catechisticum Generale, Direktorium Kateketik

Umum yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci para Klerus, 11

April 1971.

EN: Evangelii Nuntiandi, Imbauan Apostolik Bapa Suci Paulus VI

(19)

xviii

GDC: General Directory for Catechesis, Pedoman Umum untuk

Katekese, dikeluarkan oleh Kongregasi Suci Para Klerus, 1997.

ITILR: Instruksi Tentang Inkulturasi Liturgi Romawi, Instruksi IV untuk

pelaksanaan Konstitusi Liturgi art. 37-40.

RM: Redemptoris Missio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang

Amanat Misioner Gereja, 7 Desember 1990.

C. Singkatan Lain

Art: Artikel

HKTY: Hati Kudus Tuhan Yesus

IPPAK: Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

KBG: Komunitas Basis Gerejani

KBP: Karya Bakti Paroki

KK: Kepala Keluarga

KU: Katekese Umat

KWI: Konferensi Waligereja Indonesia

MB: Madah Bakti

MAWI: Majelis Agung Waligereja

PKKI: Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia

Pr: Projo

Prodi: Program Studi

PUMR: Pedoman Umum Misale Romawi

(20)

xix

SCP: Shared Christian Praxis

SJ: Societas Jesus, Serikat Yesus

(21)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya kemajuan zaman yang dialami dunia saat ini menjadikan

inkulturasi sebagai suatu tuntutan zaman dimana kebudayaan yang harus

disesuaikan. Inkulturasi merupakan kenyataan yang bersifat kompleks yang

hakikatnya tidak akan dimengerti dengan baik apabila digali hanya berdasar

konsep yang semata-mata bersifat teoritis. Dengan kata lain inkulturasi tidak

beroreintasikan pada teori atau konsep melainkan lebih pada praksis, pengalaman

dan percobaan. Pada umumnya inkulturasi merupakan perjumpaan yang bersifan

berkelanjutan antara iman kristiani dengan kebudayaan. Yesus Kristus adalah

pusat iman kristiani, maka inkulturasi dapat juga dipahami sebagai perjumpaan

antara Yesus Kristus dengan umat manusia. Di dalam inkulturasi Yesus Kristus

menjadi yang utama, karena yang menjadi salah satu isi iman kristiani adalah

kabar gembira atau Injil. Dengan itu dapat dinyatakan bahwa yang utama dalam

inkulturasi yaitu bagaimana jemaat di dalam pergulatan hidupnya sehari-hari

mengimani Kristus dan menemukan kehadiran-Nya di dalam segalanya.

Iman tidak terpisahkan dari kebudayaan karena kenyataan hidup manusia

dan dunia bagi orang beriman tidak pernah lepas dari relasinya dengan Dia yang

menjadi sumber kehidupan sendiri. Manusia tidak dapat memahami dunia dan

kenyataan hidupnya, mencapai kepenuhan dan mengalami kebahagiaan hidupnya

tanpa menjawab pertanyaan tentang relasinya dengan yang ilahi. Pada intinya

(22)

itu, seperti telah disebut di muka kebudayaan, sebagai kenyataan hidup manusia,

menjadi tempat di mana Allah menyatakan diri dan mendatangi manusia.

Kebudayaan merupakan unsur yang sangat fundamental di dalam kehidupan

manusia. Oleh karena itu, iman tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Penting

juga disadari bahwa inti iman kristiani tidak pernah mengabaikan atau

menegasikan kebudayaan. Allah menyelamatkan manusia juga melalui dan di

dalam kebudayaannya. Demikian pula manusia menanggapi karya keselamatan

Allah melalui cara hidupnya dan dengan kebudayaannya. Iman hidup dan dihayati

di dalam kebudayaan. Iman membutuhkan kebudayaan. Dalam hal ini Paus

Yohanes Paulus II, seperti yang dikutip oleh Shorter (1992: 231), menyatakan

bahwa iman yang belum menjadi kebudayaan merupakan iman yang belum

sepenuhnya diterima dan dihidupi secara sepenuhnya. Usaha memahami hakikat

kebudayaan dan hubungannya yang tidak terpisahkan dengan iman membantu kita

untuk sampai pada pengertian yang benar tentang esensi inkulturasi.

Melihat Kebudayaam Jawa di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran,

sebagaimana halnya dengan berbagai kebudayaan lainnya di Indonesia, selama ini

telah menerima banyak pengaruh dari aneka ragam corak kebudayaan yang datang

dari luar. Dalam proses penerimaan unsur-unsur kebudayaan yang datang dari luar

tersebut, ternyata kebudayaan Jawa tetap mampu mempertahankan

kepribadiaannya. Salah satu aspek kebudayaan Jawa yang telah begitu luas dan

mendalam dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan dari luar ialah agama.

Agama-agama besar seperti agama Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Katolik,

(23)

bertemu dan mengalamai proses akulturasi dengan agama asli yang menjadi

kerohanian khas suku bangsa Jawa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu inkulturasi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran?

2. Seberapa besar Inkulturasi budaya Jawa membantu umat untuk menghayati

iman dalam Liturgi Ekaristi di Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran?

3. Usaha apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan penghayatan dalam

Ekaristi yang berkembang di Kebudayaan Jawa?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk membantu penulis dalam memperdalam pengetahuan tentang

Inkulturasi dan Ekaristi, teristimewa Inkulturasi Kejawen dalam liturgi

ekaristi.

2. Untuk mengetahui sejauh mana peran inkulturasi dalam membangun

kesadaran umat untuk terlibat mewujudkan iman di Paroki Hati Kudus Tuhan

Yesus Ganjuran.

3. Untuk mengetahui pentingnya pengembangan inkulturasi yang sesuai bagi

umat dalam membangun kesadaran mereka untuk terlibat dalam mewujudkan

iman di paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

4. Penulisan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan kelulusan sarjana Strata 1

(S1) Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma,

(24)

D. Manfaat Penulisan

1. Menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi penulis dan pembaca

mengenai inkulturasi dan manfaat inkulturasi untuk penghayatan iman umat

dalam ekaristi.

2. Sebagai upaya untuk menggali lebih mendalam inkulturasi sebagai salah satu

jalan dalam membantu membangun kesadaran umat untuk terlibat

mewujudkan iman di paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

3. Memberi sumbangan bagi siapa saja dalam rangka meningkatkan pengetahuan

dan pemahaman tentang pengembangan inkulturasi khususnya membantu

penghayatan iman umat sehingga dapat menerapkannya dalam tindakan

konkret terutama di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

E. Metode Penulisan

Metode penulisan dengan menggunakan metode dekriptif analisis yaitu,

memaparkan, menguraikan serta menganalisis permasalahan yang ada, sehingga

ditemukan jalan pemecahan yang tepat. Dalam tulisan ini penulis memaparkan

proses inkulturasi yang terdapat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

Data yang dibutuhkan, diperoleh dengan menggunakan kuesioner terhadap umat

mengenai perkembangan budaya Jawa, supaya dapat menganalisis seberapa besar

pengaruh inkulturasi budaya Jawa terhadap penghayatan iman umat di Paroki Hati

Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

(25)

Tulisan ini mengambil judul “Pengaruh Inkulturasi Budaya Jawa terhadap

Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran” yang dibagi

menjadi lima bab yaitu sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang penulisan,

identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan dan

sistematika penulisan.

BAB II Inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

Ganjuran.

Bab ini akan membahas tentang inkulturasi meliputi pengertian inkulturasi, tujuan

inkulturasi, dasar teologis inkulturasi, inkulturasi dalam Gereja, dan penghayatan

Ekaristi meliputi pengertian penghayatan Ekaristi, tata perayaan Ekaristi dalam

Gereja, kemudian mengenai budaya Jawa meliputi pengertian budaya Jawa,

agama yang tumbuh dari akar Jawa, dan inkulturasi dalam perayaan Ekaristi di

HKTY Ganjuran. Dilanjutkan dengan gambaran umum situasi penelitian di Paroki

Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran baik itu sejarah singkat Paroki, bangunan

candi Katolik dan misi kristiani, visi dan misi Paroki HKTY Ganjuran, letak

geografis, wilayah dan lingkungan yang terdapat di Paroki HKTY Ganjuran,

perayaan Ekaristi secara umum di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

Selain itu juga dalam bab ini terdapat contoh struktur perayan Ekaristi inkulturatif

di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

BAB III Inkulturasi dan Penghayatan Ekaristi

Bab ini membahas tentang metodologi penelitian dan pembahasan hasil penelitian

(26)

penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian, instrument

penelitian, variabel penelitian dan hasil penelitian.

BAB IV Usulan Program Pembinaan Kaum Muda dan Ekaristi Inkulturatif untuk

Meningkatkan Penghayatan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

Bab ini akan disajikan bentuk pembinaan iman kaum muda melalui katekese

meliputi: latar belakang pemilihan program, pengertian katekese, model katekese,

usulan tema dan tujuan, penjabaran program, petunjuk pelaksanaan program,

contoh persiapan katekese model Shared Christian Praxis di Paroki Hati Kudus

Tuhan Tesus Ganjuran.

BAB V Penutup

Bab ini berisi kesimpulan yang merangkum bab I sampai IV dan sarana untuk

romo Paroki, dewan Paroki serta umat di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus

(27)

7 BAB II

INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI DI PAROKI HKTY GANJURAN

A. Inkulturasi

1. Pengertian Inkulturasi

Inkulturasi adalah inkarnasi kehidupan dan warta keselamatan Kristen ke

dalam kebudayaan tertentu (konteks) sehingga pengalaman ini tidak hanya

menemui ungkapannya/ekspresinya lewat elemen/unsur-unsur kebudayaan

tertentu tersebut, melainkan menjadi dasar atau prinsip yang menjiwai,

mengarahkan/membimbing, menyatukan serta mengubahnya kepada satu ciptaan

baru. Dalam Intruksi IV De Liturgia Romana et Inculturatione yang diterbitkan

oleh Konggregasi Ibadat dan Tata Tertib sakramen diakui bahwa istilah

inkulturasi merupakan ungkapan yang lebih baik dibandingkan adaptasi atau

penyesuaian karena melukiskan gerak ganda, dimana Injil masuk menjelma ke

dalam budaya bangsa-bangsa dan sekaligus bangsa-bangsa dengan budayanya

masuk ke dalam persekutuan Gereja.

Dalam antropologi kebudayaan terdapat dua istilah teknis yang berakar kata

sama, yaitu ‘akulturasi’ dan ‘enkulturasi’. ‘Alkuturasi’ ialah pertemuan antara dua

budaya berbeda dan perubahan yang ditimbulkannya, sedangkan ‘enkulturasi’

menunjukkan proses inisiasi seorang individu ke dalam budayanya. Inkulturasi

sebagai proses pengintegrasian pengalaman iman Gereja ke dalam suatu budaya

tertentu, tentu saja berbeda dari ‘akulturasi’. Perbedaan itu pertama-tama terletak

(28)

dengan kontak antar-budaya. Sebab Gereja “berkaitan dengan misi dan

hakekatnya, tidak terikat pada suatu bentuk budaya tertentu”. Kecuali itu, proses

inkulturasi itu bukan sekedar suatu jenis ‘kontak’, melainkan sebuah penyisipan

mendalam, yang dengannya Gereja menjadi bagian dari sebuah masyarakat

tertentu. Demikian juga ‘inkulturasi’ berbeda dengan ‘enkulturasi’. Sebab yang

dimaksud dengan ‘inkulturasi’ ialah proses yang dengannya Gereja menjadi

bagian dari budaya tertentu, dan bukan sekedar inisiasi seorang individu ke dalam

budayanya. Istilah inkulturasi, indigenisasi, dan inkarnasi dapat kita terima

sebagai sinonim, sejauh di ungkapkan dengan jelas kedalaman atau kekuatan,

lewat mana warta keselamatan atau kabar gembira injil harus masuk dan

menyerap dalam hati dan jiwa pelbagai kebudayaan (Muda, 1992:31).

Kebudayaan berkaitan erat dengan kata kultur yang berasal dari bahasa

Latin cultura yang dalam kata kerja disebut corele yang berarti mengolah tanah.

Jadi kultur ialah “segala karya yang membantu kehidupan manusia” dengan kata

lain adalah “kebudayaan”, dari ‘budi daya’ dan ‘peradaban’ dari kata Arab

‘abada’ yang berarti mendidik “mendidik”. Kebudayaan diartikan sebagai semua

hasil karya manusia yang meliputi cara pengolahan tanah, cara berpikir, sastra,

kesenian, ilmu dan teknik, cara penghayatan serta nilai-nilai moral lainnya

(Koenjono, 1985: 9).

Konsili Vatikan II dalam konstitusi Gaudium et Spes artikel 53 memberikan

sesuatu deskripsi sebagai berikut:

(29)

menjadi sumber nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat.

Jadi budaya terdapat di mana manusia hidup bersama, kerja sama,

mengungkapkan diri dalam acara bersama. Ibadat adalah unsur dari budaya

itu.Dalam ibadat diungkapkan secara visi dan sikap inti yang menentukan hidup

manusia, asal-usul serta tujuannya.

Dalam kehidupan bersama, tak jarang ditemukan kebudayaan bertemu

dengan kebudayaan lain. Bentuk perjumpaan budaya satu dengan yang lain adalah

inkulturasi. Inkulturasi adalah suatu proses tranformasi antara budaya lama

dengan budaya yang baru sehingga menimbulkan suatu budaya yang baru tanpa

menghilangkan kepribadian kedua budaya sebelumnya. Inkulturasi bukan gagasan

tentang penghayatan yang berasal dari luar jemaat setempat tetapi merupakan

perjumpaan antara kebudayaan dan Injil yang saling mengisi, mempengaruhi dan

membentuk. Relasi antara Injil dan kebudayaan bersifat kreatif dan dinamis.

Relasi itu bersifat timbal balik dan bersifat dua arah(Prier, 2009: 7).

2. Tujuan Inkulturasi

Tujuan Inkulturasi adalah mengungkapkan/perayaan liturgi Gereja dalam

tatacara dan suasana yang serba selaras dengan citarasa budaya umat yang

beribadat atau dengan kata yang sangat sederhana: Tujuan Inkulturasi ialah agar

umat yang mengikuti ibadat terpesona oleh lagu, doa, lambang/hiasan, upacara

karena semuanya langsung dapat dimengerti; karena semuanya “bagus” menurut

penilaian yang dipakai dalam hidup kebudayaan setempat (Prier, 1999:13).

Inkulturasi bukan sekedar masalah musik, tari-tarian, ataupun bahasa yang

(30)

yang hidup dan nilainya telah diubah oleh Injil.Dari sini kita bisa mengatakan

bahwa makna misa inkulturasi jauh lebih luas dan mendalam, bukan hanya

menyangkut simbolisasinya tetapi terutama juga penghayatan dan kualitas hidup

imannya yang telah diubah dan diresapi oleh Injil Yesus Kristus.

3. Dasar Teologis Inkulturasi

Iman kristiani “mengkomunikasikan diri kepada kebudayaan-kebudayaan

lain, mengasimilasikannya, dan menyalurkan diri kepadanya”. Inkulturasi tidak

dapat hanya dipahami semata-mata secara sosiologis atau antropologis, tetapi juga

harus dimengerti secara teologis yaitu menyangkut relasi manusia dengan Allah

(Hardawiryana, 1993: 46).

Penerjemahan Kitab Suci, atau sekurang-kurangnya naskah kitabiah yang

dipakai dalam liturgi, merupakan langkah pertama yang sungguh perlu dalam

proses inkulturasi liturgi. Inkulturasi itu mengandaikan penerimaan Kitab Suci

dalam kebudayaan tertentu.

Dalam Sacrosanctum Concilium art. 26 dikatakan:

Upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat Kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup.Maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing-masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas serta keikutsertaan aktual mereka.

Misa kudus adalah perayaan iman seluruh Gereja yang dilakukan oleh

umat beriman yang konkret. Pada umat yang konkret, sederhana bahkan miskin

dan tersebar hadirlah Tuhan Yesus dan seluruh Gereja yang satu, kudus, katolik,

dan apostolik. Dengan kata lain, Gereja universal hadir dalam Gereja lokal dan

(31)

Dalam perayaan ekaristi kudus itulah terungkap misteri Kristus dan hakekat asli

Gereja.Dikatakan dalam Lumen Gentium art. 2:

...Bapa menetapkan untuk menghimpun mereka yang beriman akan Kristus dalam Gereja kudus. Gereja itu sejak awal dunia telah dipralambangkan serta dipersiapkan dalam sejarah bangsa Israel dan dalam Perjanjian Lama. Gereja didirikan pada zaman terakhir, ditampilkan berkat pencurahan Roh, dan akan disempurnakan pada akhir zaman. Dan pada saat itu, seperti tercantum dalam karya tulis para Bapa yang suci, semua orang yang benar sejak Adam, akan dipersatukan dalam Gereja semesta di hadirat Bapa.

Kita sadar bahwa Konsili Vatikan II telah memperlihatkan keterbukaan

para Bapa Gereja supaya Gereja universal berakar pada Gereja-gereja lokal, di

mana Gereja-gereja lokal itu sendiri tidak bisa terpisah dari adat budaya

setempat.Berkaitan dengan hal ini Perayaan Ekaristi di satu pihak tidak

melepaskan diri dari kesatuan kita dengan seluruh Gereja yang kudus (menurut

ritus Romawi). Di lain pihak kita harus benar-benar berorientasi pada jiwa

pastoral dan memilih apa yang paling bermanfaat bagi hidup iman dan rohani

seluruh umat. Dalam Sacrosanctum Concilium art. 21 dikatakan:

Supaya lebih terjaminlah bahwa umat Kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin mengusahakan dengan seksama pembaruan umum iturgi sendiri. Sebab dalam liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang di sepanjang masa dapat atau bahkan harus mengalami perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan inti hakikat liturgi sendiri atau sudah menjadi kurang cocok.

Setiap pembaruan liturgi, kita perlu sadar dan paham betul apa yang

menjadi intisari pokok dan apa yang hanya tambahan, apa yang batin dan apa

yang menjadi ungkapan lahiriahnya, apa yang hakiki dan apa yang bisa

(32)

a) Azas-azas dan Norma untuk Inkulturasi Ritus Romawi

Gereja-gereja lokal, terutama Gereja-gereja muda, dengan memperdalam

warisan liturgi yang mereka terima dari Gereja Romawi, sehingga akan mampu

untuk menemukan bentuk-bentuk dari warisan kebudayaan mereka sendiri yang

akan disesuaikan untuk diintegrasikan ke dalam ritus Romawi, bila ini dianggap

berfaedah dan perlu (ITILR art 33).

Tujuan yang membimbing inkulturasi ritus Romawi adalah sama dengan

tujuan dari Konsili Vatikan II yang dijadikan dasar pembaharuan liturgi pada

umumnya: “Adapun dalam pembaharuan naskah-naskah dan upacara-upacara

harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus

yang dilambangkan. Dengan demikian umat kristiani dapat menangkapnya dengan

mudah, dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif, dan dengan cara

yang khas bagi jemaat (ITILR art 35).

Penyesuaian ritus Romawi pun pula sebagai inkulturasi sepenuhnya adalah

wewenang Gereja. Wewenang Gereja ini adalah Tahta Suci yang dilaksanakan

melalui Kongregasi Ibadat dan Sakramen dalam batas yang ditentukan oleh

hukum Gereja.Ada pula dalam Konferensi Uskup dan para Uskup untuk

keuskupannya sendiri. “maka dari itu tidak seorangpun, meskipun imam, boleh

menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa

sendiri (ITILR art 37).

Gereja mendapat santapannya dalam sabda Allah, maka sabda itu penting

dalam liturgi, sehingga Kitab Suci sumber mutlak untuk bahasa liturgi,

tanda-tanda dan doa-doanya tidak boleh diganti dengan teks lain termasuk dalam situasi

(33)

b) Religiousitas Inkulturasi Jawa

Liturgi berhubungan erat dengan teologi, demikian juga unsur-unsur

budaya berkaitan erat dengan suatu “pandangan dunia” dan “teologi asli.”Untuk

itu dalam menerima unsur-unsur budaya dalam liturgi perlu dipertimbangkan

pandangan dunia yang melatarbelakangi unsur-unsur budaya tersebut.Menerima

suatu unsur budaya tentu saja tidak hanya “kulit luarnya” tetapi juga perlu

menerima unsur-unsur yang lebih inti.Jika tidak maka akan terjadi disharmoni

antara pengungkapan dan hal yang mau diungkapkan.

Pada dasarnya, pertemuan antara Injil dengan sebuah kebudayaan ini

hanya berhasil apabila terjadi komunikasi dua arah.Kenyataan adanya misa

inkukturasi budaya Jawa menunjukkan bahwa Injil berhasil memasukkan akarnya

ke dalam masyarakat Jawa.Dalam hal ini bukan hanya Injil yang memenuhi suatu

keterbukaan dalam masyarakat Jawa, melainkan penghayatan Injil jadi diperkaya

dalam pertemuan itu.

Salah satu ciri khas dan mendalam kebudayaan Jawa adalah penghayatan

Ketuhanan, dengan kata lain religiositasnya. Religiositas suatu masyarakat

mengungkapkan kerinduan masyarakat itu akan Tuhan. Kita melihat tentunya ada

unsur-unsur kebudayaan Jawa atau religiositas Jawa seperti mistik kebatinan Jawa

dan kesadaran akan yang ilahi sebagai pengayom (pelindung) yang cocok dengan

nilai-nilai Injil, sehingga bisa muncul dalam penghayatan praktis. Nilai-nilai dan

cita-cita masyarakat Jawa membuatnya peka terhadap nilai-nilai dalam Injil yang

(34)

Berkaitan dengan religiositas Jawa ini, pertama-tama perlu diketahui

bahwa orang Jawa tidak bisa terkesan oleh sekedar kata-kata indah atau

bukti-bukti teoretis. Orang Jawa baru terkesan oleh sebuah ajaran apabila ia dapat

“merasakannya.” Perasaan yang oleh orang Jawa disebut dengan istilah rasa

merupakan cara orang Jawa meresapkan realitas yang mendalam. Ia tidak

mempertanyakan keabsahan teori Injil melainkan yang menentukan baginya

adalah agar ia dapat mengalami Injil sebagai kekuatan yang hidup, yang terasa

baik, yang menolong, dan memberikan kekuatan batin yang baru. Dengan

demikian orang Jawa akan menerima Injil apabila ia merasakan bahwa mereka

yang hidup di bawah naungan Injil adalah kelompok orang yang positif, yang

menimbulkan kepercayaan, yang menularkan kekayaan batin, menyembuhkan,

mengayomi dan memberi semangat.

Berkaitan dengan hal ini Romo Franz-Magnis-Suseno mengatakan,

“perjamuan ekaristik dapat mengingatkan orang Jawa pada selamatan (kenduri),

sesudah diucapkan doa di atas nasi tumpeng (berbentuk kerucut), makan

sepotongan daripadanya, dan dengan demikian ikut menerima berkat, hal mana

mengembalikan keselarasan dan perdamaian antara para hadirin, tetangga, dan

(35)

4. Inkulturasi dalam Gereja

Gereja Katolik mengenal inkulturasi dalam pewartaan imannya. Istilah

inkulturasi pertama kali dalam dokumen resmi Gereja pada tahun 1977, yaitu oleh

sinode para uskup di Roma mengenai katekese dalam naskah “Pesan kepada umat

Allah” (Banawiratma, 1985: 19) yang disampaikan sebagai berikut:

Warta dan pesan Kristiani mesti berakar dalam kebudayaan-kebudayaan dan untuk itu menyampaikan pesan itu mesti sanggup tidak hanya memberi kepada melainkan juga menerima dari kebudayaan-kebudayaan yang mendengarkan Injil.

Heuken (1978: 370), semula ibadat Kristen (katolik) bersifat klerikal, yakni

sikap pengaruh dan campur tangan uskup secara berlebihan dengan menggunakan

wewenang keagamaan, atau dimana kebijakan yang terkait dengan ibadat di

Gereja diambil penuh oleh pimpinan ibadat.Kemudian sifat tersebut berubah

menjadi semakin aktif diikutsertakan partisipasi umat.

Partisipasi umat ini menjadikan adanya suatu proses timbal balik antara

budaya umat dengan budaya Gereja berupa pewartaan dan ungkapan iman dalam

ibadat atau sering diistilahkan dengan inkulturasi (Prier, 1999: 8).

Di Indonesia inkulturasi Gereja Katolik secara eksistensif dan intensif

dilakukan dengan berupa upacara tradisional yang berkenaan dengan daur hidup,

seperti membangun rumah dan aktivitas-aktivitas pertanian yang telah

dimodifikasi menjadi tatanan upacara keagamaan di lingkungan Gereja serta

lagu-lagu rohani yang diiringi dengan gamelan jawa (unsur kejawen) telah

dipergunakan dalam berbagai upacara keagamaan.Dalam inkulturasi antara

budaya lokal dengan budaya Gereja terdapat suatu proses tahapan dan menjadi

(36)

a. Tahapan-tahapan Inkulturasi dalam Gereja Katolik

Ada beberapa tahapan inkulturasi di dalam Gereja Katolik.

Tahapan-tahapan ini diuraikan menjadi empat tahap, yaitu:

1) Penerjemahan

Sebagai tahap awal yaitu mencoba menterjemahkan lagu-lagu dari bahasa

asing ke dalam bahasa daerah dengan tidak merubah makna lagu aslinya.Tetapi

terjemahan ini tidak hanya mengambil alih kata-kata aslinya melainkan

mengambil inti lagunya (Prier, 1995: 6).Dalam penerjemahan ini juga tidak hanya

dalam syair dan lagu saja melainkan berlaku dalam segi bahasa yang digunakan.

2)Perpindahan

Berusaha untuk mengambil alih saja hasil kesenian dan bahasa pada

umumnya dan hanya diganti syair dan bahasa setempat. Dalam tahap ini kurang

menguntungkan sebab syair atau bahasanya diganti dengan syair-syair pujian,

namun suasana penghayatan masih sama seperti mendengarkan atau melagukan

lagu aslinya walaupun dalam usaha ini dapat diterima, tetapi masih mendatangkan

kesulitan, dan hasilnya dapat menimbulkan asosiasi lain (Prier, 1995: 6).

3) Penyesuaian

Menyesuaikan unsur kebudayaan dengan tempat atau peranan baru dalam

ibadat, sehingga mengalami perubahan.Persiapan dengan tahap ini belum tentu

gampang, sebab sikap penyesuaian yang diadakan harus mempertimbangkan

(37)

4) Kreasi Baru

Menciptakan sesuatu yang baru yang disesuaikan dengan tradisi bukan

hanya mengambil alih atau menyesuaikan dengan budaya setempat, tetapi

betul-betul menciptakan hal yang baru, menciptakan suatu unsur-unsur khusus untuk

ibadat berdasarkan kebudayaan setempat (Prier, 1995: 7).

b. Inkulturasi Budaya Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

1) Bahasa

Bahasa yang digunakan selama perayaan Ekaristi adalah bahasa Jawa, baik

doa maupun bacaan Kitab Suci.

2) Musik

Dalam perayaan Ekaristi menggunakan alat musik Gamelan dan

menggunakan iringan Seni Karawitan.

3) Lagu

Lagu-lagu yang digunakan juga menggunakan syair Jawa dari buku Kidung

Adi.Bahasa Jawa digunakan untuk Ekaristi sebagai bentuk Inkulturasi.

4) Pakaian

Pakaian yang digunakan oleh imam dan petugas yang lain menggunakan

pakaian adat Jawa yaitu sorjan bagi laki-laki dan kebaya pakaian adat Jawa bagi

(38)

5) Anglo

Anglo adalah tungku dari tanah liat yang biasa digunakan untuk memasak

secara tradisional orang Jawa.Dalam Ekaristi anglo digunakan sebagai ganti wiruk

atau sebagai pendupaan.Anglo ini digunakan untuk membakar dupa yang

menghasilkan aroma harum.Aroma harum menghilangkan aroma yang tidak enak

sebagai lambang penolakan terhadap hal yang jahat.Asap yang dihasilkan dalam

pembakaran dupa melambangkan doa umat yang naik ke atas dipersembahkan

kepada Allah (Paroki HKTY Ganjuran, 2010: 4).

6) Persembahan

Dalam persembahan yang dipersembahkan adalah hasil-hasil bumi

umat.Hasil bumi dibentuk oleh umat dengan wujut gunungan.Bentuk gunungan

bagi orang Jawa berarti Allah yang maha Tunggal (Paroki HKTY Ganjuran, 2010:

4-5).

7) Payung

Payung atau songsong digunakan dalam Ekaristi saat perarakan sakramen

Maha Suci.Payung tersebut untuk memayungi sakramen Maha Suci.Penggunaan

songsong atau payung yang dalam kebudayaan Jawa berarti menunjuk pada Sang

Raja.Payung dalam Ekaristi melambangkan bahwa Yesus adalah Sang Raja

(Paroki HKTY Ganjuran, 2010: 6).

Selain songsong, terdapat baldegein yaitu payung yang berwujud rumah

dimana ada 4 (empat) kaki. Baldegein berfungsi sama dengan songsong, tetapi

(39)

gapura keluar masuknya Sakramen Mahasuci yang akan diarak (Paroki HKTY

Ganjuran, 2010: 7).

8) Tari-tarian

Tari-tarian digunakan saat perarakan.Tari-tarian sebagai wujud olah rasa

dan raga yang memberi lambang bahwa hanya peristiwa yang baik yang berasal

dari Tuhan dan dipersembahkan kembali pada Tuhan. Biasanya tari-tarian

dilaksanakan pada arak-arakan ritus pembuka untuk menghantar imam dan

petugas yang lain ke altar dan pada saat perarakan persembahan (Paroki HKTY

Ganjuran, 2010: 5-6).

9) Lesung

Lesung adalah alat penumbuk padi yang biasa digunakan orang jawa pada

jaman dahulu. Lesung apabila dipukul dari beberapa sisi secara tepat akan

menghasilkan suara yang bermacam-macam dan membentuk suatu irama yang

indah. Lesung dalam Ekaristi dipakai pada saat awal pra acara, berfungsi

membangun suasana desa di Jawa (Paroki HKTY Ganjuran, 2010: 8).

10)Pesta Rakyat

Pada akhir Ekaristi, umat mengadakan pesta rakyat.Pesta rakyat ini

melambangkan perjamuan umat paroki Ganjuran sebagai satu keluarga umat

HKTY Ganjuran yang menjadi berkat dalam kehidupan sehari-hari. Berkat

kehidupan tersebut dilambangkan dalam wujud makanan seperti: kue apem yang

(40)

kesalahan atau dosa maka memohon pengampunan terhadap Tuhan yang Maha

Esa dan sesama (Paroki HKTY Ganjuran, 2010: 4).

c. Contoh Perayaan Ekaristi memadukan unsur Inkulturasi Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

1) Pra Acara

a) Permainan gejog lesung

b) Pengumuman Paroki

c) Pembacaan ujub-ujub doa

d) Pengumuman tentang jalannya perayaan Ekaristi dan Prosesi

2) Ritus Pembuka a) Arak-arakan

b) Lagu pembukaan (menggunakan lagu Jawa dengan iringan gamelan)

c) Tanda salib, salam pembuka, seruan tobat

d) Tuhan Kasianilah Kami: “Gusti Nyuwun Kawelasan” (dengan aransemen

gending Jawa)

e) Kemuliaan “Minulyo” (dengan aransemen gending Jawa)

f) Doa pembuka

3) Liturgi Sabda a) Bacaan I

b) Antar Bacaan

c) Bacaan II

(41)

e) Injil

f) Homili

g) Doa umat

h) Doa umat Tyas Dalem

4) Liturgi Ekaristi

a) Persembahan roti, anggur, dan hasil bumi dengan diiringi tari-tarian

b) Doa persembahan

c) Kudus

d) Doa Syukur Agung

e) Bapa Kami

f) Anak Domba Allah

g) Komuni dengan lagu diiringan musik gamelan (karawitan)

h) Adorasi Sakramen Maha Suci

5) Ritus Penutup

a) Doa Pasrah Bumi Nusantara

b) Berkat Sakramen Maha Suci

c) Gending Kekidungan Penutup

(42)

B. Penghayatan Ekaristi

1. Pengertian Penghayatan Ekaristi

Penghayatan Ekaristi terdiri dari kata penghayatan dan Ekaristi.

Penghayatan berarti pengalaman batin. Sedangkan kata Ekaristi perayaan ibadat

mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah yang biasa disebut Misa Kudus.

Ekaristi dari kata Yunani yang berarti syukur. Kata yang dipakai untuk

menyebut seluruh upacara misa, khususnya bagian kedua (sesudah perayaan

Sabda), yang mencapai puncaknya pada konsekrasi roti dan anggur menjadi tubuh

dan darah Kristus dan berakhir dengan komuni. Ekaristi juga menunjukan

kehadiran nyata oleh Kristus dalam rupa roti dan anggur (Collins, 1999:67).

“Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allahyang tersusun secara hirarkis. Baik bagi Gereja universal dan Gereja partikular, maupun bagi setiap orang beriman, Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristen, sebab dalam perayaan Ekaristi terletak puncak karya Allah menguduskan dunia, dan puncak karya manusia memuliakan Bapa lewat Kristus, Putra Allah dalam Roh Kudus” (Pedoman Umum Misale Romawi [PUMR] 2000 no.16).

Ekaristi merupakan sakramen paling utama dalam Gereja kita, karena

dalam Ekaristi kita merayakan misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus

dalam rupa roti dan anggur. Gereja lahir, berpangkal, berpusat dan bersumber dari

misteri Paskah Kristus. Dalam Perayaan Ekaristi, Gereja merayakan Misteri

Paskah Kristus, misteri pembebasan dari belenggu dosa, misteri penyelamatan

umat manusia. Ajaran Konsili Vatikan II tentang Ekaristi secara ringkas dan padat

dapat diamati dalam SC artikel 47:

(43)

perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang.

Dalam artikel ini diungkapkan makna Ekaristi sebagai korban. Yesus

Kristus mengabadikan korban salib-Nya sekali untuk selamanya di dalam,

melalui, dan dengan Gereja (Ibr 7:27). Yesus mengorbankan diri-Nya bagi

manusia. Ekaristi merupakan sakramen cinta kasih Allah yang tuntas, pemberian

Allah yang sempurna yaitu hidup-Nya sendiri, hidup Allah diserahkan untuk

keselamatan manusia. “peristiwa yang membentuk atau menyusun Ekaristi adalah

peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus, penyerahan hidup-Nya untuk

diambilnya kembali (Raniero,1994:17).

Melalui Ekaristi hubungan Allah dan manusia, dan hubungan manusia

dengan sesamanya diikat dalam cinta kasih. Melalui Ekaristi, Kristus memenuhi

manusia dengan kurnia rahmat-Nya. Ekaristi bersemi dari cinta: “alasan dari

semuanya adalah bahwa Ia mencintai kita” (Raniero, 1994:18). Sementara itu

rasul Paulus (Ef 5:2) menegaskan bahwa: “Kristus Yesus juga telah mengasihi

kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita, sebagai persembahan dan

korban yang harum bagi Allah”.

Karya dan pewartaan Yesus diarahkan bagi keselamatan manusia. Allah

menyatukan diri dengan manusia, Allah mengambil peran dan inisiatif untuk

menyelamatkan manusia. Dalam diri Yesus kehendak Allah terlaksana, dalam Dia

manusia menemukan Allah yang rindu untuk menyelamatkan manusia. Karya

penyelamatan Allah terlaksana dalam diri Yesus, melalui sengsara, wafat, dan

kebangkitan-Nya. Allah rela mengorbankan hidup-Nya agar manusia memiliki

(44)

Kerajaan Allah, Kerajaan Kasih yang menyelamatkan sekaligus mengundang

manusia untuk terlibat dalam karya penyelamatan-Nya.

Sebagai umat yang beriman pada Kristus Gereja perdana, selalu

mengarahkan diri kepada Kristus dan mengungkapkannya dengan berdoa dan

memecahkan roti serta berbagi dengan sesama. Ekaristi menjadi sumber dan

puncak hidup. Dari Ekaristi mereka menimba kekuatan dan semangat baru untuk

melaksanakan kehendak Tuhan. Banyak orang yang tertarik dengan cara hidup

jemaat Gereja perdana, mereka kemudian bertobat dan menggabungkan diri dalam

persekutuan tersebut (Martos, 1997:10).

Melalui dan dalam Ekaristi, Allah berkehendak untuk menyatukan diri

dengan manusia, Allah ingin membagikan hidup-Nya, menyelamatkan dan

mengundang manusia untuk hidup dalam ikatan kesatuan yang bersumber dan

berpusat pada Allah. Melalui penelusuran dari Dokumen Konsili Vatikan II dan

KHK, diketahui bahwa Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup kristiani.

Yesus sendiri memberikan perintah: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan

Aku” (Luk 22:19). Dalam Ekaristi dikenangkan wafat dan kebangkitan Kristus

yang adalah jalan keselamatan manusia.

Hidup sejati ditemukan dalam kesatuan dengan Tuhan. Kesatuan ini harus

mewujud dalam kesatuan dengan sesama, maka jika manusia ingin hidup, harus

menimbanya dari Sang Sumber kehidupan yaitu Tuhan, secara terus menerus

dengan kesetiaan dan cinta yang semakin dalam. Dari Sang Sumber Hidup ini

manusia akan mengalami kepenuhan hidup yang akan memampukannya untuk

(45)

Tuhan, serta menghantar manusia untuk mampu mencintai sesama sebagaimana

Tuhan mencintainya.

Melalui Perayaan Ekaristi dapat ditemukan penyertaan Allah dalam Yesus

Kristus. Ekaristi merupakan tanda bahwa Allah bersama manusia, Allah tinggal

bersama dan ada dalam diri manusia. Membangun persatuan dengan Allah dan

saudara-saudari maupun dengan mereka yang dilayani perlu selalu diusahakan.

Setiap umat perlu menjadikan Ekaristi sebagai jiwa yang menghidupkan

kehidupan umat. Membangun kebersatuan yang erat dengan sesama, satu hati satu

jiwa merupakan salah satu usaha untuk menjawab panggilan Tuhan demi

terwujudnya kehendak Allah di dunia ini. Cara hidup jemaat Gereja Perdana dapat

dijadikan cermin bagaimana membangun persatuan: “Mereka bertekun dalam

pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul

untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42).

Ekaristi adalah liturgi simbolik yang kaya. Hanya dengan masuk atau

mengikuti secara penuh setiap Misa maka kita dapat menemukan nilai tambah

yang diberikan Ekaristi unugk hidup pribadi. Dalam setiap perayaan, kita dapat

menemukan sekurang-kurangnya satu elemen yang berbicara kepada kita dengan

cara yang sangat mendalam (Martos, 1997:10).

Presbyterorum Ordinis artikel 5 mengatakan perayaan Ekaristi akan

menjadi penuh dan murni bila mendorong orang untuk berbuat cinta dan berbuat

baik kepada sesama, mewartakan kebaikan Tuhan dan memberikan kesaksian

akan hidup yang ditebus. Menerima Ekaristi berarti menerima sesama dalam

kesatuan. Bersatu dalam pembagian, mengambil bagian dalam roti yang sama.

(46)

pemberian diri Allah yang utuh, Allah mau menjadi satu dengan kita. Persatuan

yang hidup dan hakiki, keakraban yang dibangun oleh kedua pihak, ikatan yang

disimpulkan dari keduanya. Persatuan dengan Yesus berarti menjadi seperti Dia.

Bersama Dia dipaku di salib, bersama Dia kita dibaringkan dalam kubur, bersama

Dia kita dibangkitkan untuk menemani peziarah-peziarah yang tersesat dalam

perjalanan mereka (Nouwen, 1996:66).

2. Tata Perayaan Ekaristi dalam Gereja

Perayaan Ekaristi terdiri dari dua bagian yakni Liturgi Sabda dan Liturgi

Ekaristi.Dalam Liturgi Sabda Allah dihadirkan melalui sabda-sabda-Nya dalam

Kitab Suci.Sedangkan di dalam Liturgi Ekaristi Allah dihadirkan dalam Roti dan

Anggur sebagai tubuh dan darah Kristus santapan rohani umat Kristiani. Dalam

Pedoman Umum Missale Romanum Perayaan Ekaristi dibagi menjadi empat

bagian ritus utama yang terdiri dari:

a. Ritus Pembuka

Ritus pembuka meliputi bagian-bagian yang mendahului Liturgi Sabda yaitu:

1) Perarakan masuk

Setelah umat berkumpul, imam bersama petugas liturgi yang lain bergerak

menuju altar diiringi lagu pembukaan. Tujuan dari lagu pembukaan ialah

membuka misa, membina kesatuan umat yang berkumpul, dan mengantar mesuk

(47)

2) Penghormatan Altar dan Salam kepada Umat

Setelah tiba di panti imam, imam, diakon, dan para petugas liturgi

menghormati altar dengan khidmat.sebagai tanda penghormatan, imam dan

diakon mencium altar, sesuai dengan tingkat perayaan. Setelah itu imam

memberikan salam kepada umat untuk menunjukkan bahwa Tuhan hadir di

tengah-tengah mereka (PUMR art 49 dan 50).

3) Pernyataan Tobat

Dalam pernyataan tobat imam mengajak umat untuk menyatakan

tobat.Dengan sikap hening sejenak, umat menyatakan tobat dengan rumus

pengakuan umum.Dengan ungkapan tobat umat disadarkan kembali pada Allah

Bapa yang baik (PUMR art 51 dan Lukasik, 1991:19).

4) Tuhan Kasihanilah

Tuhan Kasihanilah biasanya dilakukan oleh seluruh umat baik paduan

suara maupun solis.Tuhan Kasihanilah bermakna berseru kepada Tuhan dan

memoho atas belaskasih-Nya (PUMR art 52).

5) Kemuliaan

Kemuliaan dibuka oleh imam, atau lebih cocok, oleh solis atau oleh kor.Di

dalam Kemuliaan gereja yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Allah

Bapa dan Anak Domba Allah serta memohon belas kasih-Nya (PUMR art 53).

(48)

Imam membawakan doa pembuka dan mengajak umat untuk berdoa yang

diarahkan kepada Allah Bapa, dengan perantaraan Putra, dalam Roh Kudus, dan

diakhiri dengan penutup trinitaris (PUMR art 54).

b. Liturgi Sabda

Bagian-bagian pokok dari liturgi sabda adalah bacaan-bacaan dari Alkitab

dan nyanyian-nyanyian tanggapannya. Lewat sabda-Nya,Kristus hadir di

tengah-tengah umat beriman. Setelah itu umat memanjatkan permohona-permohonan

dalam doa umat untuk keperluan gereja dan keselamatan seluruh dunia.

1) Saat Hening

Saat hening merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda

Allah dengan bantuan Roh Kudus dan untuk menyiapkan jawabannya lewat doa

(PUMR art 56).

2) Bacaan-bacaan dari Alkitab

Bacaan-bacaan itu dibawakan oleh lektor yang dibacakan dari

mimbar.Umat haruslah menghormati sabda Allah yang telah mereka sambut

dengan penuh iman dan rasa syukur (PUMR art 58 dan 59).

3) Mazmur Tanggapan

Mazmur tanggapan merupakan unsur pokok dalam liturgi sabda, dan

(49)

bacaan yang bersangkutan, dan biasanya diambil dari buku bacaan misa (PUMR

art 61).

4) Bait pengantar Injil

Bait pengantar Injil harus sesuai dengan masa liturgi yang sedang

berlangsung. Ini merupakan kegiatan tersendiri dengan umat menyambut dan

menyapa Tuhan yang siap bersabda kepada mereka dalam Injil dan sekaligus

menyatakan iman (PUMR art 62).

5) Homili

Sangat penting karena untuk meningkatkan atau memupuk semangat hidup

umat kristiani.Homili berisi tentang penjelasan bacaan dari Alkitab dan diberikan

oleh imam pemimpin perayaan dan juga dapat menyerahkan tugas ini kepada

salah seorang imam konselebran serta diakon, tetapi tidak pernah seorang awam

(PUMR art 65 dan 66).

6) Pernyataan Iman

Dalam perayaan ekaristi maksud pernyataan iman atau syahadat mengajak

agar seluruh umat yang berhimpun dapat menanggapi sabda Allah yang

(50)

7) Doa Umat

Umat menanggapi sabda Allah yang telah mereka terima dengan penuh

iman. Lewat doa umat mereka memohon keselamatan untuk semua orang (PUMR

art 69).

c. Liturgi Ekaristi

Liturgi ekaristi mengenang perjamuan malam terakhir Kristus yang

menetapkan kurban dan perjamuan Paskah dan menghadirkan kurban salib dalam

Gereja (PUMR art 54).Liturgi ekaristi disusun oleh Gereja sedemikian rupa,

sehingga sesuai dengan kata-kata dan tindakan Kristus.

1) Persiapan persembahan

2) Doa Persiapan Persembahan

3) Doa Syukur Agung

4) Ritus Komuni

5) Bapa Kami

6) Ritus Damai

7) Pemecahan Roti

8) Komuni

d. Ritus Penutup

Terdiri atas amanat singkat, salam dan berkat imam, pengutusan jemaat

(51)

C. Budaya Jawa

d. Pengertian Budaya Jawa

Budaya Jawa merupakan salah satu kekayaan kebudayaan Indonesia yang

telah mengakar jauh ke masa lalu, yang sampai saat ini sudah banyak mengalami

pertumbuhan dan penyempurnaan.Budaya Jawa ini telah mengakar beratus-ratus

tahun dan telah mendarah-daging bagi masyarakat Jawa.Sikap masyarakat Jawa

memiliki identitas tersendiri yang dilandasi dengan nasihat-nasihat dari nenek

moyang sampai turun-temurun dan sampai sekarangpun masih tetap hidup di

tengah-tengah masyarakat yang serba modern.

Budaya masyarakat Jawa tidak dapat dipisahkan dengan sumber budaya

keraton atau kerajaan Yogyakarta Hadiningrat maupun Surakarta Hadiningrat.

Sumber budaya Jawa adalah berpusat pada pendidikan budi pekerti, budi luhur,

budi utama, sopan santun, lemah lembut, ramah tamah, sabar, menerima apa

adanya terhadap anak-anak mereka. Masyarakat Jawa menginginkan kedamaian,

keakrapan, dan kekeluargaan yang penuh kedamaian (Bratawijaya, 1997:75-76).

Sikap hidup masyarakat Jawa jelas tidak lepas pula dengan pandangan

hidup atau filsafat Jawa. Di dalam kehidupan rohani yang menjadi landasan dan

memberi makna kebudayaan Jawa, benar-benar berupaya agar dapat mencari

dasar awal segala sesuatu. Hal ini dapat direnungkan arti hidup manusia atau

sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawulo kalawan Gusti yaitu

hubungan antara manusia dengan Tuhan serta alam semesta (Bratawijaya,

(52)

e. Agama yang tumbuh dari akar Jawa

Akulturasi keagamaan dalam masyarakat dan kebudayaan Jawa telah

berlangsung sedemikian rupa sehingga agama asli sendiri dewasa ini tidak lagi

dapat ditemukan dalam keadaan murni kerena tercampur dengan konsep-konsep

Hindu, Budha, dan Islam melukiskan “agama di Jawa” sebagai satu agama

sinkretik di mana tiga varian yang berbeda dapat diamati, yakni varian animisme

(abangan), varian Hindu (priyayi), dan varian Islam (santri).

Jadi, satu varian agama disini dipahami sebagai satu penekanan pada satu

dari ketiga komponen sistem agama pada umumnya di Jawa. Akan tetapi mungkin

sekali bahwa yang terjadi sebenarnya bukanlah sinkretisme agama. Tidak

mustahil bahwa tidak dirasakan kebutuhan sintese atau perpaduan antara

konsep-konsep yang berbeda atau berlawanan. Jadi, konsep-konsep asli tetap dipegang, tetapi

yang asing tidak ditolak. Ajaran yang bersatu padu tidak dipentingkan, adanya

perbedaan azasi diterima dengan damai hari (Bachtiar, 1981:529).

D. Gambaran umum Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran 1. Sejarah Singkat Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

Sejak didirikan, Gereja ini telah membangun semangat Hati Kudus Tuhan

Yesus dalam tradisi Jawa dengan mengadopsi nilai-nilai budaya yang terus

tumbuh baik jasmani maupun rohani.

a. Tahun 1912

Dr. Joseph Schmutzer dan Ir. Julius Schmutzer, manager Pabrik Gula

Ganjuran Gondanglipuro Bantul, Yogyakarta melaksanakan ajaran social gereja

(53)

Kudus Tuhan Yesus. Para buruh diperlakukan sebagai rekan kerja (sahabat) dan

mereka menerima tak hanya gaji melainkan juga keuntungan perusahaan (sebagai

bagi hasil).

b. Tahun 1919

Tuju sekolah dasar didirikan di desa sekitar pabrik.Beberapa masih aktif

dansekarang dijalankan oleh Yayasan Kanisius.

c. Tahun 1920

Ir. Julius Schmutzer menikah dengan Caroline van Rijckevorsel, yang

bekerja sebagai perawat dan pekerja sosial.Kepeduliannya kepada perempuan

diwujudkan dengan dibentuknya sekolah dasar dan asrama untuk kaum

perempuan. Beliau juga membuka klinik kesehatan yang selanjutnya berdiri

dengan nama Rumah Sakit St. Elizabeth Ganjuran (yang selanjutnya oleh para

Suster Cinta Kasih Carolus Borromeus). Beliau juga mendirikan rumah sakit di

Yogyakarta yang pernah diberi nama Onder de Bogen, dimana sekarang dikenal

dengan nama rumah sakit Panti Rapih yang dibangun dari keuntungan pabriknya.

d. Tahun 1924

Schmutzer mendirikan gereja Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran pada

tanggal 16 April 1924. Pada tahun yang sama, Romo van Driesche, S.J menjabat

(54)

e. Tahun 1927

Candi Hati Kudus yang mengadopsi gaya Hindu-Jawa, mulai didirikan

sebagai ungkapan berkat Tuhan yang melimpah. Patung Hati Kudus dan sekaligus

Kristus Raja di pasang di dalam candi yang menggambarkan kedamaian dan

keadilan Tuhan atas tanah ini.Patung ini juga melambangkan Kebapakan dan

Keibuan Tuhan.

f. Tahun 1930

Uskup Jakarta, Mgr, van Velsen, S.J. memberkati / meresmikan candi

yang dihadiri oleh pemuka-pemuka Tarekat.Sebagai peristiwa syukur terbebas

krismon yang melanda seluruh dunia sekaligus penyerahan bumi Nusantara pada

Hati Kudus Tuhan Yesus.Pemberkatan diadakan pada tanggal 11 Februari, yang

bertepatan dengan hari penampakan Bunda Maria di Lourdes.Kerinduan umat

katolik untuk mengikuti Yesus melalui Bunda Maria terlengkapi sudah. Ditahun

yang sama, karena jasa-jasanya dibidang kerasulan sosial, Ir. Julius Schmutzer

menerima penghargaan bintang Gregorous Agung dari Tahta Suci.

g. Tahun 1934

Schmutzer kembali ke negri Belanda. Pada tahun ini Romo Alb.

Sugiyopranoto, S.J. menjabat sebagai pastor Ganjuran. (di tahun 1940 beliau

diangkat sebagai uskup Indonesia yang pertama). Beliau adalah yang mengajak

umat katolik seluruh Indonesia untuk menjadi Katolik 100% dan Indonesia 100%.

Disamping sebagai perintis gerakan petani, nelayan dan buruh Pancasila dalam

(55)

h. Tahun 1948

Selama perang militer kedua (antara Indonesia dan Belanda), pabrik gula

Ganjuran Gondanglipuro dibumi hangus dan dibumi angkut sampai habis.Akan

tetapi candi, rumah sakit, sekolah-sekolah didekatnya masih tersisa dan masih

tumbuh bersama dengan anggota jemaah gereja sampai sekarang.

i. Tahun 1947

Romo Justinus Darmojuwono, menjabat pastor Ganjuran sampai 1950

(yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang dan Kardinal Indonesia

pertama).

j. Tahun 1981

Romo Suryosudarmo, S.J. menjabat pastor Ganjuran. Kediaman pastoran

dirasakan tidak mencukupi, yang direnovasi menjadi bangunan bertingkat dua

untuk memperkuat pelayanan gereja.

k. Tahun 1988

Romo G. Utomo, mulai berkarya di Ganjuran, dan beliau menggali

kembali dan semakin menumbuh kembangkan nilai-nilai budaya yang telah lama

berakar dalam masyarakat.

l. Tahun 1990

Seminar petani se Asia diadakan di Ganjuran yang disponsori oleh

(56)

pertanian organic di Indonesia berawal dari deklarasi Ganjuran: Membangun

pertanian dan Pedesaan lestari.

m. Tahun 1995

Semangat Hati Kudus, yang berakar dalam tradisi budaya Jawa ditelusuri

secara lebih mendalam. Usaha ini didukung oleh keinginan untuk membangun

Mandala Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran yang suasananya khusuk untuk

para penziarah.

n. Tahun 1997

Jalan salib gaya Hindu-Jawa yang sudah lama diinginkan oleh Schmutzer

75

tahun yang lalu, dibangun dengan pendanaan yang berasal dari para anggota

jemaat dan donator.

o. Tahun 1998

Berkat yang dilambangkan Hati Kudus Tuhan Yesus dalam bentuk air

yang mengalir dari dasar Candi Hati Kudus Tuhan Yesus telah ditemukan dan

diberkati pada tanggal 1Mei 1998 oleh Romo Emmanuel Pranowo, Pr. Pastor

Paroki pada waktu itu. Air ini dinamai Tirta Perwitasari yang berasal dari nama

Bapak Perwita, orang pertama yang karena kepercayaan nya pada Hati Kudus

(57)

2. Sejarah Singkat Candi Ganjuran

Data historis tentang asal-usul komunitas Katolik di desa Ganjuran tidak

begitu banyak. Dari data yang terbatas itu ditemukan suatu nama keluarga

Belanda yang amat berjasa, yakni Schmutzer. Asal-usul komunitas Katolik di sana

memang tidak begitu jelas. Siapa warga di situ yang pertama kali menjadi

Katolik?Oleh siapa, kapan, dan mengapa dia/mereka dibabtis? Satu-satunya data

historis (yakni dokumen yang ditulis oleh keluarga Schmutzer dalam bahasa

Belanda) menyebutkan bahwa pada tahun 1919 untuk pertama kalinya diadakan

Misa Kudus di rumah keluarga Schmutzer, yang dirayakan oleh J. B. Van

Driessche, SJ bersama tujuh atau delapan umat.

Jadi keluarga Schmutzer inilah yang memang memainkan peran utama bagi

keberadaan Candi Ganjuran. Kehadiran keluarga ini di tanah Jawa dirintis oleh

Gottfried Josef Julius Schmutzer, tepatnya ia mendarat di Surabaya, Jawa Timus,

sebelum tahun 1880. Di kota Surabaya pada tahun 1880 Schmutzer menikahi

Elise Karthaus, janda dari stefanus Berends. Seluruh kekayaan Berends

diwariskan kepada Elise dan Ferdinand Berends, anak mereka.Diantara warisan

itu adalah kebun tebu dan pabrik gula di desa Ganjuran, Yogyakarta, yang secara

khusus diwariskan kepada Ferdinand Berends setelah ibunya menikah lagi dengan

J. J. Schmutzer.

Schmutzer meninggal pada tahun 1912, setelah sekitar dua tahun

mengalami hidup di Ganjuran. Keluarga Schmutzer, yang tinggal terdiri dari Elise

Noyons, Josef, dan Julius Schmutzer, membeli perkebunan tebu dan pabrik gula

dari Ferdinand Berends. Elise Noyons kemudian tinggal di antara negri Belanda

(58)

baru.Mereka mengelola pabrik itu dengan semangat kristiani yang banyak ditimba

dari Ensiklik rerum Novarum tulisan Paus Leo XIII (1891) yang mereka dengar

ketika belajar di Delft.Kira-kira setelah sepuluh tahun sejak pembanahan,

produksi dan sistem gaji di pabrik gula itu mencapai prestasi mengesankan.Pabrik

gula itu sendiri dinamai “Gondang Lipuro”, yang mengungkapkan makna khusus

berkaitan dengan misinya.

Satu per satu anggota Schmutzer meninggalkan Ganjuran. Setelah Elise,

Josef Schmutzer pun bersama keluarganya pindah ke Bogor, Jawa Barat (1919)

dan pada tahun 1929 pulang ke Belanda. Setelah menikah pada tahun 1920 Julius

Schmutzer bersama keluarganya sempat beberapa lama tinggal di Ganjuran.

Kerena sakit dan untuk menyembuhkan dirinya, Julius sekeluarganya terpaksa

juga meninggalkan Ganjuran menuju Arnhem, Belanda, pada tahun 1934.Julius

sempat kembali ke Ganjuran (1951) untuk membangun kembali reruntuhan pabrik

gula Gondang Lipuro yang telah dibumihanguskan selama revolusi Indonesia

tahun 1948. Namun sampai ia meninggal (1954) rencananya itu tidak pernah

terwujud. Hingga kini reruntuhan pabrik ittu masih terlihat di sebelah Candi

Ganjuran.

Kehadiran keluarga Schmutzer di Ganjuran memang telah berakhir, namun

upaya dan dedikasi mereka bagi masyarakat dan umat Katolik Ganjuran akan

selalu dikenang. Umat katolik Ganjuran Khususnya dan Gereja pada umumnya

berhutang budi pada keluarga ini. Perkebunan tebu dan pabrik gula juga sudah

tiada lagi, namun kenangan akan keluarga Schmutzer dapat dibangkitkan lagi

dengan melihat sebuah candi yang masih kokoh berdiri di Ganjuran. Kehadiran

Gambar

Table 2.1 : Sampel Penelitian
Tabel 2.2 Variabel Penelitian
Tabel 2.3.Inkulturasi di Paroki HKTY Ganjuran (N=60)
Tabel 2.4.Penghayatan Ekaristi (N=60)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan pokok dalam skrispi ini adalah bagaimana memberikan pendampingan bagi keluarga muda Katolik yang sesuai dengan kebutuhan dan selaras dengan ajaran Gereja di Paroki

Maka dari itu penulis menyusun skripsi ini dengan judul : USAHA PENGEMBANGAN KEHIDUPAN DEVOSI KEPADA KERAHIMAN ILLAHI MELALUI RENUNGAN BAGI UMAT PAROKI HATI KUDUS YESUS

Lantai Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran Bantul Lantai gereja memiliki tiga level yang berbeda yaitu level pertama untuk memasuki area gereja, level kedua area

Persoalan pokok dalam skrispi ini adalah bagaimana memberikan pendampingan bagi keluarga muda Katolik yang sesuai dengan kebutuhan dan selaras dengan ajaran Gereja di Paroki

2 Sistem Otorisasi dan Pencatatan Terjadi ketidaksesuaian pada unsur ini karena di Paroki Bunda Hati Kudus Yesus Woloan belum memadai, di mana Paroki tidak membuat dokumen

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan bermain biola para remaja pada kelompok Orang Muda Katholik di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran

Lagu-lagu yang digunakan dalam liturgi Misa Malam Jumat Pertama di Gereja HKTY Ganjuran digubah ke dalam bentuk iringan gamelan dengan menggunakan struktur gending tradisi yang

Diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus di Keuskupan Surabaya dalam menerapkan Good Corporate Governance, khususnya