• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Teknologi Dalam Pembangunan di Sektor Pertanian Indonesia Komisi Teknologi PPI Dunia, PPI Brief No. 15 / 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Teknologi Dalam Pembangunan di Sektor Pertanian Indonesia Komisi Teknologi PPI Dunia, PPI Brief No. 15 / 2020"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

0

Peran Teknologi Dalam Pembangunan

di Sektor Pertanian Indonesia

Komisi Teknologi PPI Dunia, PPI Brief No. 15 / 2020

Penulis: Yoga Adi Pradipta

(2)

1

RINGKASAN EKSEKUTIF

• Berkaca pada sejarah Indonesia, anggapan bahwa intervensi teknologi dapat menyelesaikan permasalahan di sektor pertanian Indonesia terbukti berimbas sebaliknya. Hanya pemilik lahan yang lebih besar yang bisa mendapatkan surplus hasil pertanian dari intervensi teknologi pada Revolusi Hijau Indonesia. Mayoritas petani di Indonesia, yaitu petani skala kecil maupun buruh tani, tetap hidup dalam kemiskinan dan hanya menjadi pekerja upahan di pertanian yang lebih besar

• Berhasilnya suatu intervensi teknologi erat kaitannya dengan konteks dan keadaan sosial pada suatu wilayah. Agar intervensi teknologi dapat berfungsi optimal diperlukan serangkaian kebijakan dan prasyarat untuk menciptakan prakondisi yang mendukung implementasi teknologi tersebut. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa akar permasalahan sosial maupun politis pada suatu wilayah yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan teknologi.

• Pembangunan yang relevan yang didasarkan pada pemahaman konteks dan situasi keadaan di Indonesia perlu dilakukan. Pada saat ini, berdasarkan kondisi dan konteks sosial di Indonesia pemerintah harus melakukan Reformasi Agraria dengan fundamental framework yang jelas sebagai prasyarat agar ke depannya suatu intervensi teknologi di sektor pertanian dapat berfungsi optimal dan efektif.

Pendahuluan

Setelah berakhirnya rezim orde lama, Indonesia memasuki rezim pemerintahan orde baru pada tahun 1966. Pada rezim ini Indonesia berkomitmen untuk mengikuti model pembangunan kapitalis dan berupaya mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem kapitalis dunia sebagai landasan pembangunannya (Rachman, 2011). Melalui model pembangunan kapitalis ini, pembangunan suatu negara pada umumnya didasarkan pada diskursus pembangunan yang bersumber dari realitas negara-negara maju, dimana pembangunan itu selalu diasosiasikan dengan industrialisasi, modernisasi pertanian, dan urbanisasi (Escobar, 1995). Pembangunan dimaknai hanya sebatas suatu peningkatan laju pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan tentang perbedaan realita dan kompleksitas keadaan di negara berkembang yang tentu saja berbeda dengan negara maju (Chambers, 1995). Diskursus pembangunan tersebut menyebabkan kita melupakan apa makna sebenarnya dari pembangunan, dan kita harus mempertanyakan siapa pihak yang sebenarnya telah benar-benar

(3)

2

diuntungkan dari pengertian pembangunan semacam ini. Misalnya, jika kita melihat kembali ke Indonesia pada awal 1980-an, negara ini mencapai periode swasembada beras yang singkat melalui penerapan teknologi modern dalam program akselarasi pertanian yang disebut dengan "Revolusi Hijau." Tetapi kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa mayoritas petani Indonesia, yang merupakan petani skala kecil dan buruh tani, masih hidup dalam kemiskinan (White, 2018). Fenomena ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang salah ketika pembangunan dilakukan menggunakan lensa pembangunan negara maju tanpa mempertimbangkan konteks maupun keadaan sosial negara berkembang. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memahami model pembangunan yang dipraktikkan pada sektor pertanian Indonesia dan bagaimana pembangunan yang didasarkan pada transfer teknologi yang sarat modal tersebut berdampak pada kesejahteraan petani Indonesia.

Diskursus Peran Teknologi dalam Pembangunan

Ketika kita berbicara tentang pembangunan, kita tidak dapat menyangkal peran besar dari kemajuan teknologi maupun infrastruktur. Baik kita adalah pendukung ide-ide pembangunan oleh Karl Marx ataupun Adam Smith, kedua aliran pemikiran percaya bahwa kunci untuk perbaikan masyarakat tertanam dalam inovasi teknologi akan tetapi dengan alasan yang berbeda. Perbedaan keduanya adalah tujuan pemanfaatan teknologi; ada yang menekankan penggunaan kemampuan produktifitas teknologi untuk pemenuhan kebutuhan dasar demi kebermanfaatan masyarakat banyak, adapula yang berfokus pada peningkatan laba entitas privat yang kemudian akan mengarah pada pengembangan masyarakat (Thomas, 2000). Namun permasalahan yang timbul dalam situasi saat ini khususnya di negara-negara dunia ketiga adalah gagasan tentang peran teknologi atau infrastruktur sebagai aktor penting pembangunan tidak berasal dari hubungan sebab akibat ataupun pemahaman mengenai konteks sosial di negara berkembang sebagai penerima intervensi teknologi. Melainkan pembangunan hanya disasarkan dari diskursus yang dibentuk oleh beberapa pihak yang merepresentasikan pembangungan (Escobar, 1995). Hal tersebut dapat menjadi suatu permasalahan tersendiri karena definisi pembangunan yang didefinisikan oleh beberapa pihak tersebut akan menentukan tujuan dan makna dari penerapan suatu teknologi, yang tentu kemudian akan menentukan nasib suatu negara yang menerapkan anjuran pembangunan tersebut. Dalam hal ini, organisasi pembangunan internasional dan para profesional dari negara maju, dengan persepsi pribadi mereka mengenai pembangunan, merupakan beberapa aktor utama yang bertanggung jawab atas konstruksi definisi pembangunan yang mereduksi dan

(4)

3

menstandardisasi pembangunan di negara dunia ketiga (Chambers, 1995). Dalam hal ini dunia barat, sebagai pihak dominan yang menguasai diskursus mengenai pembangunan, memiliki prakonsepsi dan agenda mereka sendiri mengenai peran teknologi sebagai sarana untuk mencapai gagasan mereka akan pembangunan. Akibat pandangan bias mereka tentang definisi pembangunan tersebut, secara historis banyak masyarakat di dunia ketiga yang harus tereksploitasi dengan sistem yang mereka bentuk.

Dalam diskursus tersebut, cetak biru pembangunan didasarkan pada asumsi dalam teori modernisasi. Teori ini berasal dari W.W. Rostow, seorang ekonom Amerika yang pada tahun 1960 mempresentasikan "Tahapan Pertumbuhan Ekonomi." Rostow berpendapat bahwa setiap negara memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang tanpa harus mengkhawatirkan tentang perbedaan konteks ataupun perbedaan situasi yang ada pada setiap negara (Rostow, 1960). Menurut teorinya setiap negara akan melalui lima tahap proses pembangunan sebagai berikut: tahap masyarakat tradisional, tahap prasyarat untuk lepas landas, tahap lepas landas, tahap menuju kematangan, dan tahap konsumsi massa yang tinggi (Rostow, 1960). Dia percaya bahwa perubahan yang radikal terkait produktivitas pertanian sangat penting sebagai prasyarat untuk lepas landas (lepas landas menuju masayarakat modern) (Rostow, 1960). Dia menekankan bahwa pembangunan adalah masalah solusi teknologi untuk meningkatkan produktivitas di sektor pertanian maupun industri, yang dapat dicapai dengan adanya intervensi eksternal oleh bantuan negara yang lebih maju. Selain itu, intervensi ini harus melibatkan pemerintah nasional di negara berkembang untuk mendukung program bantuan dari negara yang lebih kaya atau organisasi internasional, contohnya seperti organisasi PBB dan Bank Dunia (Gore, 2000). Dalam hal ini kita dapat melihat penerapan teori ini dalam praktik Revolusi Hijau dimana modernisasi dilakukan dengan transfer teknologi top-down, dan praktik ini diterima secara luas di antara negara-negara dunia ketiga karena sejalan dengan masalah krisis pangan pada saat itu termasuk di Indonesia.

Revolusi Hijau Indonesia dan Pentingnya Peran Reformasi Agraria

Pada awal tahun 1970-an, diskursus pembangunan yang dibangun pada saat itu adalah mengenai bagaimana cara mengatasi masalah kelaparan dan kemiskinan akibat krisis pangan yang berkaitan dengan meningkatnya populasi penduduk dunia (Hart, 2006). Fokus pembangunan kembali bergeser untuk mencapai swasembada pangan nasional. Revolusi Hijau yang merupakan transfer kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengembangbiakan tanaman secara modern, peningkatan irigasi, pengembangan pupuk anorganik, dan pestisida

(5)

4

modern dipandang sebagai jawaban atas krisis pangan di negara-negara berkembang (Hazell, 2009). Revolusi Hijau menyebar dengan cepat ke seluruh Asia yang saat itu sedang berkembang sehingga menyebabkan peningkatan hasil panen yang dramatis, terutama untuk tanaman beras dan gandum, yang merupakan dua tanaman pangan paling penting bagi negara-negara berkembang (Hazell, 2009). Program intervensi teknologi pertanian berskala besar ini melibatkan beberapa aktor seperti lembaga donor internasional, pemerintah, perusahaan, dan pusat penelitian pertanian, dimana mereka menjanjikan pengurangan kemiskinan dan keamanan pangan (Bergius & Buseth, 2019). Lebih lanjut, aktor-aktor ini akan membantu memenuhi prasyarat yang dibutuhkan untuk Revolusi Hijau. Menurut Hazell, Revolusi Hijau lebih dari sekedar transfer tunggal teknologi. Lebih dari itu, diperlukan serangkaian kebijakan dan prasyarat untuk memastikan program akselerasi pertanian ini dapat berfungsi optimal dan efektif pada satu wilayah (Hazell, 2009). Jika petani ingin mengadopsi program Revolusi Hijau, mereka membutuhkan akses ke seperangkat input seperti pupuk, benih unggul, pestisida, irigasi air, kredit musiman, pengetahuan untuk menggunakannya, dan akses ke pasar dengan harga yang menguntungkan dan stabil (Hazell, 2009). Dan untuk mencapai prasyarat-prasyarat ini dibutuhkan tingkat akumulasi investasi yang tinggi pada biaya penelitian dan pengembangan pertanian, pembangunan jalan-jalan, irigasi, listrik, dan infrastruktur lainnya, serta perlu adanya lembaga-lembaga privat dan publik yang efektif dalam membantu proses pertanian (Hazell, 2009). Hanya dengan kondisi-kondisi seperti itulah Revolusi Hijau memungkinkan untuk membuat keuntungan produktivitas yang signifikan.

Jika kita melihat kembali Revolusi Hijau Indonesia, program tersebut dimulai pada awal tahun 1970-an, dan negara Indonesia mencapai periode swasembada beras yang singkat pada tahun 1980-an melalui program ini (White, 2018). Program Revolusi Hijau mewajibkan petani untuk membeli paket modernisasi pertanian berupa benih jenis baru, pupuk, pestisida, fasilitas irigasi, dan teknik pertanian baru untuk meningkatkan tingkat produksi mereka. Program ini dibuat, didanai, dan diimplementasikan melalui lembaga pembangunan internasional dengan perusahaan transnasional sebagai pemegang proyek yang memberikan layanan teknologi dan input pertanian (Rachman, 2011). Pada saat itu tampaknya transfer teknologi tersebut telah berhasil mencapai tujuan pembangunan yang diinginkan. Namun, pada nyatanya ada berbagai masalah yang timbul karena program ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Revolusi Hijau lebih dari sekadar intervensi teknologi; diperlukan serangkaian kebijakan untuk menciptakan prasyarat Revolusi Hijau. Indonesia, khususnya di pulau Jawa, diskursus yang dibangun melalui program Revolusi Hijau pada waktu itu adalah bahwa ketika peningkatan

(6)

5

produktivitas pertanian meningkat, petani dapat berinvestasi untuk memperluas kegiatan non-pertanian dan mendapatkan penghasilan dari usaha non-non-pertanian tersebut. Tetapi tampaknya mereka melupakan tentang kondisi sosial kepemilikan tanah di Indonesia yang tentunya berbeda dengan negara maju.

Hak kepemilikan tanah adalah faktor penting dalam keberhasilan Revolusi Hijau. Hal ini akan menentukan siapa yang akan mendapatkan manfaat terbesar dari intervensi teknologi dalam Revolusi Hijau yang sarat modal tersebut. Masalah yang seringkali harus dihadapi di negara berkembang adalah bahwa hak atas properti didefinisikan oleh hukum informal dan belum diformalkan (De Soto, 1993). Hak kepemilikan tanah secara informal yang seringkali terjadi di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa negara-negara dunia ketiga pada dasarnya masih menghadapi tantangan yang dihadapi para politisi negara-negara barat 100-200 tahun yang lalu (De Soto, 1993). Menurut studi Agro-Economic Survei (AES) di Indonesia, khususnya di pulau Jawa pada tahun 1970-an, mayoritas pemilik tanah umumnya bukan merupakan petani. Banyak dari mereka adalah pejabat desa dan pemilik usaha di sisi hulu dan hilir pertanian; kepemilikan tanah mereka adalah sumber pendapatan melalui sewa tanah (White, 2018). Selain itu, Sinaga dan White mengidentifikasi kelas agraria di pedesaan Jawa menjadi empat kategori, yakni: petani kaya dengan kepemilikan tanah lebih dari 2 ha; petani menengah yang memiliki 40,5–2,0 ha; petani kecil yang menguasai kurang dari 0,5 ha; dan buruh tani yang tidak memiliki tanah (Sinaga & White, 1980). Semua kelas terlibat dalam kegiatan non-pertanian, tetapi perbedaan kontrol mereka atas tanah memengaruhi kemampuan mereka untuk berkembang, dan mengakumulasi modal dari hasil pertanian, ke kegiatan non-pertanian. Dalam kasus di pulau Jawa ini, proporsi kepemilikan tanah mayoritas penduduk pedesaan adalah 60-70 persen tidak memiliki tanah atau memiliki kurang dari 0,5 ha (Rachman, Savitri, & Shohibuddin, 2009). Di bawah kondisi distribusi tanah yang tidak merata, mereka hanya menjadi buruh atau pekerja upahan di pertanian yang lebih besar dan hanya pemilik lahan yang lebih besar yang bisa mendapatkan surplus dari kegiatan pertanian dari Revolusi Hijau dan kemudian diinvestasikan dalam kegiatan non-pertanian dengan pengembalian keuntungan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya meskipun ada surplus akibat implementasi Revolusi Hijau, namun petani skala kecil dan buruh tani tak bertanah masih hidup dalam kemiskinan.

Jika kita belajar dari kisah sukses Revolusi Hijau Jepang pada periode 1950 hingga 1980, kita dapat melihat perbedaan distribusi kepemilikan tanah di Jepang dimana telah lebih dahulu

(7)

6

terstruktur dan terbagi secara merata apabila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia. Sebelum menerapkan Revolusi Hijau, pemerintah Jepang telah melakukan reformasi agraria. Reformasi agraria Jepang telah berhasil merombak konsentrasi kepemilikan tanah, dan

landlessness tidak ada lagi. Selain itu, seluruh lapisan masyarakat agraria dapat mengakumulasi pendapatan mereka dari sektor pertanian dan kemudian berinvestasi lebih lanjut dalam membangun pertanian mereka maupun pada kegiatan non-pertanian (Rachman, Savitri, & Shohibuddin, 2009). Dalam hal ini, Jepang menunjukkan tahapan modernisasi oleh Rostow secara akurat dimana surplus dari sektor pertanian melalui intervensi teknologi dalam Revolusi Hijau dapat diinvestasikan dalam kegiatan non-pertanian, dan ketika pendapatan non-pertanian meningkat, surplus tersebut diinvestasikan untuk lebih memperluas kegiatan non-pertanian yang akan mengarah pada pembentukan masyarakat modern. Reformasi agrarian telah menjadi titik awal yang penting bagi Jepang dalam penguatan sistem produksi pertanian yang didominasi oleh petani skala kecil (Djurfeldt, Holmén, Jirström, & Larsson, 2005). Sebenarnya, di Indonesia sendiri khususnya di pulau Jawa, pernah merencanakan program reformasi agraria pada tahun 1960-an, yaitu beberapa tahun sebelum terjadinya pelaksanaan Revolusi Hijau, tetapi program ini dihentikan pada awal rezim Suharto (1966-1998) karena reformasi agraria dianggap sebagai pergerakan komunis dan merupakan visi sosialis Soekarno dimana hal tersebut dianggap tidak selaras dengan model pembangunan kapitalis (Rachman, 2011). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa intervensi teknologi pada sektor pertanian yang sarat modal tanpa adanya distribusi tanah yang adil melalui proses reformasi agraria dapat memperburuk situasi yang ada.

Redefinisi Reformasi Agraria di Indonesia

Ketika berakhirnya era Orde Baru Soeharto pada tahun 1998, manuver ruang politik baru menjadi lebih dimungkinkan. Gagasan reformasi agrarian dihidupkan kembali oleh kolaborasi aktivis gerakan agraria dan Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Pada tahun 2007, Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan implementasi program redistribusi tanah, yang merupakan bagian dari kebijakan reformasi agraria. Program ini adalah strategi pemerintah untuk mengurangi kemiskinan, yang terdiri dari redistribusi tanah negara untuk masyarakat miskin pedesaan dan program pendaftaran tanah (Rachman, 2011). Ironisnya, karena beberapa tantangan politik, program reformasi agraria yang ambisius ini direduksi maknanya dan diredefinisikan menjadi program sertifikasi kepemilikan tanah, yang pada dasarnya memiliki esensi yang berbeda dengan reformasi agraria yang genuine. Lebih lanjut,

(8)

7

pembingkaian ulang reformasi agrarian menjadi hanya sebatas sertifikasi kepemilikan tanah ini menimbulkan konflik antara BPN dengan aktivis agraria karena program tersebut dianggap hanya mendukung kepentingan model pertumbuhan ekonomi neoliberal saat ini (Rachman, 2011). Mereka menekankan bahaya karakter predator dan serakah dari ekonomi kapitalis, sertifikasi tanah yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dianggap hanyalah sebagai alat sistematis yang memaksa petani kecil untuk menjual tanah mereka dengan cepat kepada pemilik modal besar karena beratnya tekanan kondisi sosial ekonomi saat ini (Rachman, 2011).

Aktivis agraria Indonesia, Gunawan Wiradi, mengkritik sertifikasi tanah oleh pemerintah yang dilakukan tanpa fundamental framework yang jelas, karena reformasi agraria tidak hanya sekedar membagikan sertifikat tanah, dan menurutnya tidak ada negara yang melakukan reformasi agraria seperti itu (Wiradi, 2016). Dia berpendapat bahwa reformasi agraria yang

genuine harus didasarkan pada fundamental framework, apakah itu model kapitalis seperti Amerika Serikat, model neopopulis seperti Jepang, dan Korea Selatan, atau bahkan model sosialis, semua itu harus didasarkan pada basis penelitian yang kuat tentang konteks kondisi sosial, struktur kepemilikan, dan ekologi tanah (Wiradi, 2016). Sayangnya, Indonesia tidak memiliki satu peta tematik yang dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kebijakan reformasi agrarianya. Inisiatif Kebijakan Satu Peta baru diambil pada tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo, dengan penyelesaiannya yang ditargetkan pada akhir tahun 2020 (OPEN GOV, 2020). Sistem yang tidak adil pada sektor pertanian di Indonesia ini juga berdampak pada generasi muda Indonesia yang memandang petani sebagai pekerjaan buruh kelas bawah, yang hidupnya penuh dengan eksploitasi (Aji, 2019). Meskipun para pemuda tersebut tidak mengerti bagaimana sebenarnya mekanisme eksploitasi itu berakar, namun citra buruk petani sudah cukup mempengaruhi sikap apatisme mereka terhadap dunia pertanian. Saat ini banyak generasi petani yang lebih tua mencapai usia yang tidak produktif, namun generasi yang lebih muda lebih memilih bekerja pada pekerjaan berbasis karir di daerah perkotaan (Aji, 2019). Ironisnya pemerintah melihat hal ini sebagai permasalahan baru dan melupakan fakta bahwa sistem pertanian yang mereka ciptakan juga berperan dalam pembentukan citra petani saat ini (Aji, 2019).

(9)

8

Kesimpulan

Kita dapat melihat bahwa diskursus mengenai pembangunan yang menekankan transfer teknologi dari negara yang lebih maju akan mampu membawa pembangunan dan memperbaiki masalah di negara-negara berkembang, kadang tidak relevan dengan realitas negara berkembang. Ada beberapa masalah sosial yang perlu diperbaiki secara sosial atau bahkan secara politis. Dari kasus Indonesia, kita dapat melihat bagaimana implementasi Revolusi Hijau tidak didasarkan pada pemahaman tentang kondisi sosial dan konteks kepemilikan tanah Indonesia. Di bawah kondisi distribusi tanah yang tidak merata, petani yang tidak memiliki tanah hanya menjadi pekerja upahan di pertanian yang lebih besar dan hanya pemilik lahan yang lebih besar yang bisa mendapatkan surplus dari kegiatan pertanian dari Revolusi Hijau dan kemudian dapat berinvestasi dalam bisnis non-pertanian dengan pengembalian keuntungan yang lebih tinggi. Jika kita melihat Revolusi Hijau Jepang, reformasi agraria adalah salah satu elemen penting untuk memodernisasi masyarakat melalui pertanian. Reformasi agraria Jepang telah berhasil menghilangkan konsentrasi kepemilikan tanah, dan landlessness tidak ada lagi, sehingga semua lapisan populasi pertanian dapat mengakumulasikan pendapatan dari lahan mereka dan berinvestasi dalam membangun pertanian mereka maupun bisnis non-pertanian. Sistem yang tidak adil ini juga membuat masalah regenerasi petani. Ke depan, pembangunan yang relevan yang didasarkan pada pemahaman konteks dan situasi keadaan di Indonesia perlu dilakukan.

(10)

9

Daftar Pustaka

Aji, G. B. (2019). Setengah Abad Ketergantungan Catatan Untuk Generasi Milenial. Insist Press. Anderson., B. R. (2002). Bung Karno and the Fossilization of Soekarno's Thought. Indonesia, (74),

1-19. doi:10.2307/3351522.

Bergius, M., & Buseth, J. T. (2019). Towards a green modernization development discourse: the new green revolution in Africa. Norwegian University of Life Sciences (NMBU), Norway.

Bornstein, D. (2007). “The Light in my Head Went On.”. In How to Change the World: Social Entrepreneurs and the Power of New Ideas, 21-40. Oxford University Press.

Chambers, R. (1995). “Poverty and Livelihoods: Whose reality counts?”. Environment and Urbanization, Vol. 7, No. 1:173-204.

De Soto, H. (1993). “The missing ingredient.” . The Economist 328, no. 7828: 8-10.

Djurfeldt, G., Holmén, H., Jirström, M., & Larsson, R. (2005). The African Food Crisis: Lessons from the Asian Green Revolution. CABI Publishing.

Escobar, A. (1995). “Imagining a Post-Development Era.” In Power of Development edited by J. Crush. . London: Routledge.

Escobar, A. (1995). Encountering development: The making and unmaking of the Third World.

Princeton, N.J: Princeton University Press.

Frank, A. G. (1966). “The Development of Underdevelopment.” . Monthly Review (18), 17-31. Gore, C. (2000). “The Rise and Fall of the Washington Consensus as a Paradigm for Developing

Countries.” . World Development 28(5): 789-804.

Hart, G. (2006). “Beyond Neoliberalism? Post-Apartheid Developments in Historical and Comparative Perspective.”. In The Development Decade? edited by V. Padayachee, 13–32. Pretoria, South Africa: HSRC Press,.

Hazell, P. B. (2009). The Asian Green Revolution . INTERNATIONAL FOOD POLICY RESEARCH INSTITUTE .

Hirschman, A. (1981). “The Rise and Decline of Development Economics.” In Essays in Trespassing: Economics to Politics and Beyond. Cambridge University Press., 1-24.

(11)

10

Moon, S. (1998). Takeoff or Self-Sufficiency? Ideologies of Development in Indonesia, 1957-1961.

Technology and Culture, 39(2), 187-212.

Rachman, :. N., Savitri, L. A., & Shohibuddin, M. (2009). Questioning pathways out of poverty: Indonesia as an illustrative case for the World Bank's transforming countries. The Journal of Peasant Studies, 36:3, 621-627.

Rachman, N. F. (2011). The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia.

Berkeley: University of California.

Rostow, W. W. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press.

Sinaga, R., & White., B. (1980). Beberapa Aspek Kelembagaan di Pedesaan Jawa dalam Hubungannya dengan Kemiskinan Struktural in Alfian et al., eds. Kemiskinan struktural:suatu bunga rampai. Jakarta: Pulsar.

Thomas, A. (2000). “Meanings and Views of Development” In Poverty and Development: Into the 21st century. Oxford University Press., 23-48.

White, B. (2018). Marx and Chayanov at the margins: understanding agrarian change in Java. The Journal of Peasant Studies.

Wiradi, G. (2016). Agrarian Reform General Concept. This writing is a concise note of the speech given by Gunawan Wiradi on the event of "Temu Tani Se-Jawa, YTKI, Jakarta, May 1st 2003.

Tentang Penulis

Yoga Adi Pradipta adalah Anggota Komisi Teknologi PPI Dunia 2019/2020 dan Mahasiswa Master of Science dalam bidang Digital Society di International Institute of Information Technology Bangalore, India.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, remaja perempuan dipilih karena makeup sangat identik dengan perempuan meskipun pengguna makeup tidak menutup kemungkinan adalah laki-laki dan diyakini

(Hauptbahnhof). Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang singkatan. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis pembentukan kata dalam

Hasil percobaan menunjukkan tingkat naungan dan cekaman air berpengaruh nyata pada beberapa variabel pengamatan, yaitu Laju Pertumbuhan Relatif, bobot segar, bobot kering, dan

peserta didik dalam proses belajarnya yang berhubungan dengan kehidupan nyata.. dan memberikan kebebasan pada peserta didik dalam aktivitas

Puji syukur penulis panjatkan semata-mata hanya untuk Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat

Pada skenario ini akan diuji pengaruh perubahan waktu simulasi untuk mengetahui pola kedatangan paket pada algoritma antrian M/M/N yang telah dirancang... Rumani M,

Sedangkan kalau tidak signifikan variabel dummy yang digunakan bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut sama dengan pertumbuhan ekonomi wilayah yang dijadikan basis yaitu

Ulayat land borders were also indicated by natural boundaries available in each kaum , suku, and Nagari , following the pepatah : karimbo balanjuang, kasawah balantak