Hubungan Antara Self Efficacy Dengan Communication Apprehension Pada Mahasiswa
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Ineke Yuliana Bureni
NIM : 119114028
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
1 Petrus 5 : 7
Serahkanlah segala kekhawatiranmu
kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu
Amsal 19: 20
“
Dengarkanlah nasihat dan terimalah
didikan, supaya engkau menjadi bijak di
masa depan
”
Albert Einstein
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kepada :
Tuhan Yesus sebagai sumber kehidupan dan kekuatan untuk menjalani kehidupan didunia fana ini
Mama, dan papa sebagai alasan saya untuk menyelesaikan skripsi ini
Sahabat di tanah perantauan yang selalu ingin aku cepat lulus ; Anggi, Monik Rintan, Monik Susi, Tia, dan Elsa
Pacar yang tidak bisa saya sebutkan namanya karena mungkin ini akan dibaca banyak orang, terimakasih banyak sudah menolong dan memaksaku untuk menyelesaikan karya ilmiah ini
vii
Hubungan Antara Self Efficacy dengan
Communication
Apprehension
Pada Mahasiswa
Ineke Yuliana Bureni
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan communication apprehension pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini menggunakan subjek 40 mahasiswa perempuan. Instrumen untuk mengukur self efficacy yaitu skala general self efficacy yang dikembangkan oleh Matthias Jerusalem dan Ralf Schwarzer terdiri 10 item dan adaptasi skala PRCA-24 untuk mengukur communication apprehension terdiri 24 item. Metode statistik yang digunakan untuk menganalisis data penelitian ini adalah Person Product Moment karena distribusi data normal. Nilai koefisien korelasi (-0,178 dengan p = 0,136) menunjukkan tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self efficacy dengan communication apprehension. Hal tersebut membuat hipotesis pada penelitian ini ditolak.
viii
THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF EFFICACY AND
COMMUNICATION APPREHENSION FOR COLLEGE
STUDENT
Ineke yuliana Bureni
ABSTRACT
The purpose of this research is to know the relationship between self efficacy and communication apprehension for Psychology students in Sanata Dharma University. This research use 40 female students as subject. The instrument that used to measure self efficacy of a general self efficacy scale that contents 10 items from Mathias Jerusalem and Ralf Schwarzer also using an adaptation of PRCA-24 scale that consists of 24 items to measuring communication apprehension. Statistics method that used to analyz this research data is Person Product Moment, because of the data distribution is a normal data. The coefficient correlation value (-0,178 with p =0,136) show that there was no correlation negative significant between self efficacy with communication apprehension. It meant that the hypothesis of this research was rejected.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas semua yang telah diberikan
kepada penulis sehingga atas bimbingan dan pertolongan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara self Efficacy dengan
Communication Apprehension pada Mahasiswa” dapat diselesaikan dengan baik.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung dan tidak langsung sehingga,
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr. Titik Kristiyani M.Psi.Psi selaku Dekan Fakultas Psikologi Program
Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma
2. Monica Eviandaru Madyaningrum Ph.D selaku Kepala Program Studi
Psikologi Universitas Sanata Dharma
3. Monica Eviandaru Madyaningrum Ph.D selaku Dosen Pembimbing
Akademik
4. Bapak Paulus Eddy Suhartanto,M.si selaku Dosen pembimbing Skripsi
yang telah memberikan dukungan dan kesabarannya selama penulis
menyelesaikan tugas akhir.
5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik dan memberikan
xi
6. Apnel Bureni dan Anastasia Albina Anny, selaku orang tua yang
menyayangi, selalu mendoakan, dan mendorong penulis agar segera
menyelesaikan skripsi
7. Antonius Mighael Bureni dan Jonathan Kelvin selaku adik laki – laki dan
sepupu laki – laki yang selalu menjadi tempat curhat yang baik bagi
penulis
8. Christina Poline Wisanggeni selaku tante yang selalu menyayangi dan
mengurus penulis ketika sehat dan sakit
9. Tante dan om dan seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu
persatu yang selalu menanyakan kapan selesai kuliah, penulis ucapkan
terimakasih
10. Sahabat – sahabat tersayang, Eleonora Anggi, Yanti Mada, Gabriela Yosi,
Agnes Tya, Ivana Astuti, Elisabeth Christi, Claudia Sandy dan teman –
teman lain yang selalu mendengarkan curhatan penulis. I love you guys
11.Sahabat – Sahabat Kos majus, Monik, Elsa, Tya, Icha, Ruth, Anggun,
Priska, Reta, Anggi ,dan beberapa anak lain yang sudah lupa namanya,
terimakasih sudah menjadi teman yang paling baik dan mau mencoba
mengertiku. I love you guys
12.Pundak teman untuk menangis pada saat proses akhir mengerjakan skripsi;
Eleonora Anggi dan Ruth Intan, terimakasih banyak sudah mendengarkan
keluhku dan selalu membuatku menghilangkan pikiran negatif ketika
xii
13.Pacar yang selalu menemani, menolong dan memaksa saya untuk
mengerjakan skripsi, terimakasih sudah peduli dan menyayangi saya.
14.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang sudah selalu
menanyakan KAPAN LULUS ketika bertemu dan yang sudah hadir di
dalam mewarnai kehidupan penulis. Semoga Tuhan selalu memberkati.
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN ...iii
HALAMAN MOTTO...iv
HALAMAN PERSEMBAHAN...v
PERNYATAAN KEASLIANKARYA...vi
ABSTRAK...vii
ABSTRACT...viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN...ix
KATA PENGATAR ...x
DAFTAR ISI ...xiii
DAFTAR TABEL...xvii
DAFTAR LAMPIRAN...xviii
BAB I PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang Masalah...1
xiv
C. Tujuan Penelitian...10
D. Manfaat Penelitian ...10
1. Manfaat Teoritis...10
2. Manfaat Praktis...11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...12
A. Communication Apprehesion...12
1. Pengertian ...12
2. Tipe – Tipe ...13
3. Karakteristik...16
4. Efek Communication Apprehesion...17
5. Personal Report Communication Apprehesion-24...17
6. Perhitungan Personal Report Communication Apprehesion-24...20
7. Interpretasi Personal Report Communication Apprehesion-24...22
8. Penelitian Sebelumnya ...23
B. Self Efficacy...24
1. Pengertian Self Efficacy.........24
2. Sumber Self Efficacy...25
3. Dimensi Self Efficacy...28
4. Fungsi Self Efficacy ...29
5. General Self-EfficacyScale...30
6. Penelitian Sebelumnya...32
C. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma ...33
xv
2. Wanita...33
3. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma...34
D. Dinamika Variabel...35
E. Skema Penelitian...37
F. Hipotesis Penelitian ...37
BAB III METODE PENELITIAN...38
A. Jenis Penelitian ...38
B. Variabel Penelitian...38
1. Self Efficacy ...38
2. Communication Apprehension...39
C. Populasi dan Sampel Penelitian...40
D. Waktu dan Tempat Penelitian...40
E. Instrumen Penelitian ...40
1. Personal Report Communication Apprehesion-24 (PRCA-24)...40
2. General Self Efficacy (GSE)...42
F. Proses Adaptasi Skala...43
G. Metode Pengumpulan Data...44
H. Validitas, Reliabilitas, Seleksi Item dan Kategorisasi...44
1. Validitas...44
2. Reliabilitas...45
3. Seleksi Item...46
4. Kategorisasi...47
xvi
1. Uji Asumsi ...48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...50
A. Pelaksanaan Penelitian...50
B. Deskripsi Subjek Penelitian...50
C. Deskripsi data Penelitian...55
D. Analisis Data Penelitian ...55
a. Uji Normalitas...56
b. Uji Linearitas...57
c. Uji Hipotesis...57
BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN PENELITIAN DAN SARAN...61
A. Kesimpulan ...61
B. Keterbatasan Penelitian...61
C. Saran ...62
xvii
DAFTAR TABEL
TABEL 1: Blue Print Kuesioner PRCA-24 ...41
TABEL2: Skor kuesioner PRCA -24 ...42
TABEL 3 : Pemberian Skor Item Skala self efficacy...42
TABEL 4 : Deskripsi Statistik Data Penelitian...51
TABEL 5 : Uji t Mean Empirik dan Hipotetik Self efficacy......52
TABEL6: Uji t Mean Empirik dan Hipotetik Communication Apprehension...53
TABEL 7 : Rumus Kategorisasi ...53
TABEL 8 : Kategorisasi self efficacy......54
TABEL 9 : Kategorisasi communication apprehension...54
TABEL10: Uji Normalitas ...55
TABEL 11: Uji Linearitas...56
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. Skala Penelitian...70
LAMPIRAN 2. Hasil Uji reliabilitas Skala Communication Apprehension...80
LAMPIRAN 3. Hasil Uji Reliabilitas Skala Self Efficacy...82
LAMPIRAN 4. Uji T dan Uji Kategorisasi...85
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi selalu diperlukan oleh setiap manusia untuk menjalankan
perannya sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan manusia lain untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Komunikasi digunakan sebagai alat untuk
mempermudah manusia dalam berinteraksi dengan sesama (Inah, 2013).
Komunikasi menggambarkan bagaimana seseorang melihat, merasakan,
mendengar, dan memahami sekeliling baik lingkungan ataupun orang lain
(Anwar, 2009). Pentingnya komunikasi terbukti dari penelitian Berlo yang
menjelaskan bahwa manusia mengalokasikan waktunya sebesar 70 persen untuk
berkomunikasi (dalam Morrisan, 2010). Hal ini berarti bahwa hampir seluruh
kegiatan manusia selalu berkaitan dengan komunikasi.
Komunikasi menyentuh seluruh bidang kehidupan manusia tidak
terkecuali dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak akan berjalan tanpa adanya
dukungan komunikasi karena komunikasi memegang peranan dalam proses
pembelajaran yang di dalamnya terdapat proses bertanya, memuji dan pemberian
feedback selain itu, adanya hubungan interpersonal yang terjadi antara pengajar
dalam Anwar, 2009). Proses pembelajaran dilakukan seperti bebicara dan
mendengarkan secara bergantian seperti halnya dosen menjelaskan dan
mahasiswa bertanya, atau mahasiswa mempresentasikan dan dosen memberikan
feeedback, proses tersebutlah yang menjadi bagian penting dari pendidikan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan mahasiswa
sebagai orang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mahasiswa
memiliki tanggung jawab untuk dapat menjadi media participant yang
berkompeten dalam berbagai setting lingkungan sehingga dapat menggunakan
ilmu yang dimilikinya secara efektif. Selain itu, dalam surat kabar digital yaitu
harian kompas mengungkapkan bahwa mahasiswa sebagai intelektual muda
dituntut untuk memiliki soft skill yaitu ketrampilan dalam berkomunikasi (Tak
Hanya Cerdas Generasi Muda Butuh Soft Skill untuk jadi pemimpin masa depan.
diakses pada 26 November 2018 ). Rachmi, & Khotimah (dalam Reyhan, 2014)
mengungkapkan bahwa metode pembelajaran dalam dunia pendidikan dirancang
untuk memfasilitasi individu sehingga menjadi pribadi yang mandiri, memiliki
kemampuan berbicara, dan berfikir kritis hal tersebut dilakukan dengan cara
berinisiatif dalam mencari informasi, melakukan presentasi, mengembangkan
keterampilan komunikasi seperti melakukan diskusi kelompok, diskusi kelas dan
rapat organisasi. Universitas Sanata Dharma mengembangkan Soft skill
mahasiswanya dengan cara, metode pengajaran dua arah, mewajibkan mahasiswa
untuk memiliki sertifikat bukti dari keterlibatannya dalam suatu organisasi baik
dalam ataupun diluar universitas, melakukan kuliah kerja nyata dan hal – hal
Komunikasi dibutuhkan oleh semua jurusan pendidikan tidak terkecuali
Psikologi yang bergerak dalam bidang sosial. Mahasiswa Psikologi dituntut untuk
terampil dalam berkomunikasi di berbagai setting lingkungan sehingga
kemampuan dalam berkomunikasi menjadi nilai jual yang ditawarkan oleh lulusan
psikologi untuk mampu berhadapan langsung dengan orang lain. Menghasilkan
lulusan Sarjana Psikologi dan professional helper yang berkompeten,
bersemangat, mampu berkomunikasi baik intra, antar pribadi maupun dengan
khalayak luas merupakan misi Universitas Sanata Dharma (Buku Pedoman
Program Studi Psikologi, 2011). Namun, tidak semua mahasiswa psikologi
memiliki kemampuan dalam berkomunikasi. Beberapa mahasiswa Fakultas
Psikologi mengaku bahwa mereka mengalami kecemasan pada saat melakukan
komunikasi dengan orang lain misalnya; pada saat presentasi, bertanya pada
dosen, komunitas atau bahkan organisasi (Hasil wawancara, NN, 2018).
Morrissan (2010) mendefinisikan kecemasan komunikasi sebagai
kecemasan yang cenderung dialami oleh individu dalam berbagai situasi yang
berbeda dan waktu yang relatif lama. Menurut Rahmat (dalam Wahyuni, 2014)
kecemasan berkomunikasi dengan orang lain dikenal dengan istilah
communication apprehension. Lukmantoro menyatakan bahwa di dalam
kehidupan akademis pada dasarnya setiap individu berpotensi untuk mengalami
communication apprehension. Hal ini bisa terjadi baik pada pengajar maupun
pada mahasiswa. Menurut Rachmi & Khotimah (dalam Reyhan, 2014)
menyatakan bahwa penelitian yang dilakukan disebuah universitas Indonesia
kecemasan komunikasi yang tinggi. Di Amerika diperkirakan 20 persen
populasinya mengalami communication apprehension yang tergolong cukup
tinggi (McCroskey, 1976).
Richmond dan McCroskey (dalam Hassal, et al. 2013) menyatakan bahwa
individu yang memiliki komunikasi dengan kategori tinggi akan takut untuk
berkomunikasi dengan orang lain sehingga, individu tersebut berfikir bahwa
komunikasi merupakan sesuatu yang harus dihindari. Muslimin (2013) juga
menambahkan mengenai karakteristik orang yang memiliki communication
apprehension akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk
berkomunikasi dan jika terpaksa untuk melakukan komunikasi biasanya
pembicaraannya menjadi tidak relevan. Beberapa karakteristik juga ditambahkan
oleh McCroskey (1976) yaitu tidak komunikatif, tidak memiliki ketertarikan
sosial, dan tidak dapat dipercaya.
Lee (2015) perubahan fisik dan psikologis akan terjadi ketika seorang
individu mengalami kecemasan komunikasi. Respon fisik seperti telapak tangan
berkeringat, nafas pendek, jantung berdebar, dan berbicara dengan terbata – bata
sedangkan respon psikologis yang timbul meliputi; perasaan negatif, pikiran
kosong dan kebingungan. Javis (2002) menambahkan respon psikologis yang
muncul yaitu kekhawatiran tentang kinerja, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, dan tidak fokus (dalam Suhartono & Herdiana, 2017). Hasil
wawancara dengan mahasiwa fakultas Psikologi mengungkapkan bahwa respon
seperti jantung berderak cepat, banyak mengeluarkan keringat, mempercepat
tempo bicara, merasa gugup, tidak nyaman dengan diri sendiri
Devito (2011) mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
communication apprehension yaitu situasi atau konteks komunikasi yang
tergolong baru bagi individu, pengalaman negatif di masa lalu, serta berbicara
dengan orang yang dianggap lebih superior (dalam Suhartono dan Herdiana,
2017). Selain itu, jenis kelamin juga menjadi faktor yang mempengaruhi
communication apprehension. Micolay (2018) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa perempuan memiliki tingkat communication
apprehension lebih tinggi dibandingkan dengan laki- laki. Hal ini karena,
perempuan memiliki perasaan lebih sensitif dan rentan terhadap perasaan negatif
yang nantinya akan mempengaruhi keadaan psikologisnya (Clark, dalam Djayati
dan Rahmatika, 2015).
Penelitian communication apprehension di Indonesia lebih banyak
meneliti comunication apprehension pada satu konteks komunikasi yaitu public
speaking seperti penelitian yang dilakukan Suhartono, dan Herdina (2017)
meneliti mengenai hubungan antara self esteem dengan kecemasan komunikasi
public speaking pada mahasiswa baru, selain itu wahyuni (2014) megenai
hubungan antara kepercayaan diri dengan kecemasan berbicara di depan umum
pada mahasiswa psikologi. Penelitian lainnya Anwar (2009) melakukan penelitian
dengan judul hubungan antara self efficacy dengan kecemasan berbicara di depan
Responden yang menjadi sampel dalam penelitian mereka mengalami kecemasan
komunikasi di depan umum.
Post Report of Communication Apprehension-24 (PRCA-24) merupakan
alat ukur yang paling banyak digunakan untuk mengukur Communication
apprehension. PRCA-24 merupakan skala milik McCroskey yang memiliki 24
item pernyataan yang dibagi ke dalam 4 konteks komunikasi. PRCA-24 memiliki
validitas prediktif yang sangat tinggi dan reliabilitas skala dikatakan reliabel
dengan reliabitas 0,75 sampai 0,90. PRCA-24 ini telah banyak digunakan oleh
penelitian – penelitian sebelumnya untuk mengukur kecemasan komunikasi
namun hanya pada public speaking. Hal sangat disayangkan karena McCroskey
menyarankan instrumen lain yang dianggap lebih handal untuk mengukur public
speaking yaitu Personal Report of Public Speaking Anxiety (PRPSA)
dibandingkan dengan PRCA-24. PRCA-24 memberikan informasi pada setiap
konteks komunikasi yaitu; group discussion, meetings, interpersonal, public
speaking (http://www.jamescmccroskey.com/measures/prca24.htm).
Kecemasan yang terjadi pada masing-masing individu sangat beragam
tergantung pada penilaian individu terhadap kemampuan yang dimilikinya disebut
self efficacy (Sarifino, dalam Suhartono & Herdiana, 2017). Self efficacy akan
mempengaruhi individu dalam bereaksi terhadap sesuatu yang menekan. Menurut
Bandura (1997) self efficacy merupakan keyakinan yang dimiliki seorang terhadap
kemampuannya untuk mengelola perilakunya dalam melakukan tugas, mengatasi
rintangan, dan mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Self efficacy memiliki
diinginkan, menyelesaikan tugas, dan mengatasi rintangan. Salah satu fungsi self
efficacy yaitu untuk melatih kontrol seseorang dalam menghadapi tekanan atau
tantangan yang hadir di kehidupannya (Bandura, 1997).
Keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh mahasiswa untuk
mengelola perilakunya dalam mengambil tindakan, mengoptimalkan usaha dan
bersikap ulet (Prakoso, dalam Anwar, 2009). Self efficacy secara efektif dapat
berkontribusi dalam pengurangan kecemasan yang dialami seorang individu
(Dwyer, Kangas & Fus.A, 1999). Santrock (2008) menyatakan bahwa individu
yang memiliki self efficacy yang tinggi biasanya bersikap tekun dan tidak mudah
menyerah ketika harus berhadapan dengan kesulitan atau tantangan bahkan pada
kegagalan.
General Self Efficacy merupakan salah satu skala milik Matthias
Jerusalem dan Ralf Schwarzer yang fungsinya untuk mengukur self efficacy yang
dimiliki oleh individu. Instrumen ini memiliki 10 item pernyataan dengan
koefisien reliabilitas skala self efficacy milik Ralf Schwarzer 0,78 sampai 0,91
sehingga dapat dikatakan reliabel. Penelitian yang dilakukan di Indonesia
menggunakan skala ini yaitu Istifa (2011) mengenai pengaruh self efficacy dan
kecemasan akademis terhadap self –regulated Learning Mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri Jakarta, Setiani (2015) sumber coping dan
strategi coping pada remaja, Rahmawati (2017) yang menggunakan skala tersebut
untuk subjek lansia berjumlah 119 orang dan Syifa (2018) yang mengkaitkan self
efficacy dengan perilaku mencontek. Responden yang menjadi sampel dalam
Penelitian mengenai self efficacy dengan communication telah dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Dwyer
Kangas & Dennis (2002)dengan judul perceptions of communication competence
,Self –efficacy, and trait communication apprehension : Is there an impact on
basic course success? Menggunakan skala PRCA-24, skala adaptasi self efficacy dari Pintrich dan DeGroot’s dan perceptions of communication competence diukur
dengan menggunakan Self-Perceived Public Speaking Competency Scale (SPPSC)
yang dikembangkan oleh Ellis. Hasil penelitian bahwa hubungan signifikan
dengan korelasi paling kuat yaitu antara self efficacy dengan communication
apprehension pada mahasiswa kursus public speaking. Penelitian tersebut juga
mengungkapkan bahwa tingginya tingkat communication diikuti oleh rendahnya
self efficacy. Penelitian Micolay (2018) yang memfokuskan penelitiannya kepada
communication apprehension, namun hanya pada meetings dan komunikasi
interpersonal dari penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat
communication lebih tinggi dibandingkan laki – laki selain itu, communication
apprehension dan self efficacy tidak memiliki perbedaan pada penggunaan
layanan di kampus.
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan (2017) mengenai
hubungan usia, jenis kelamin, dan etnis terhadap kecemasan komunikasi
(communication apprehension) pada mahasiswa di Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung memberikan hasil bahwa kecemasan komunikasi yang
dialami oleh dewasa muda lebih tinggi dibandingkan dengan usia remaja pada
hubungan usia dan jenis kelamin terhadap communication apprehension, namun
tidak ada hubungan communication apprehension terhadap etnis.
Dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan sebelumnya penulis
ingin mengetahui hubungan antara self efficacy dengan communication
apprehension pada mahasiswa Fakultas Psikologi dengan menggunakan skala
adaptasi PRCA-24 dan General Self Efficacy. Peneliti menggunakan skala
PRCA-24 milik McCroskey karena skala ini merupakan instrumen yang lebih baik
dibandingkan dengan instrumen sebelumnya dan PRCA-24 ini memberikan
informasi pada setiap konteks komunikasi yaitu group discussion, meetings,
interpersonal, dan public speaking. Peneliti juga menggunakan skala General
Self Efficacy milik Matthias Jerusalem and Ralf Schwarzer karena memiliki
koefisien reliabilitas yang tergolong reliabel. Menurut Ralf Schwarzer (dalam,
Ishtifa 2011) skala ini dapat dibuktikan melalui validitas diskriminan dan validitas
konvergen sehingga skala dapat dipergunakan pada masa dan jangka waktu yang
berbeda serta dengan karakteristik responden yang berbeda. Penggunaan
responden yaitu mahasiswa Fakultas Psikologi karena sebagai calon sarjana
Psikologi yang nantinya dapat bekerja sebagai ilmuan atau praktisi yang terampil
berkomunikasi diberbagai lembaga atau instansi kerja (Website resmi Universitas
Sanata Dharma, diakses pada 13 desember 2018). Selain itu, misi Universitas
dalam buku Pedoman Program Studi Psikologi (2011) yang ingin menghasilkan
lulusan sebagai Sarjana Psikologi dan professional helper yang berkompeten,
bersemangat, mampu berkomunikasi baik intra, antar pribadi maupun dengan
efficacy akan sangat berguna bagi mahasiswa. Oleh karena itu, peneliti ingin
melihat hubungan antara Self Efficacy dengan communication apprehension pada
mahasiwa.
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah
1. Apakah ada hubungan antara self efficacy dengan communication
apprehension pada mahasiswa
C. Tujuan Penelitian
Tujuan di dalam penelitian ini yaitu
1. Mengetahui hubungan antara self efficacy dengan communication
apprehension pada mahasiswa
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis maupun manfaat teoritis.
1. Manfaat teoritis
- Penelitian ini berharap dapat memberikan sumbangan pengetahuan pada bidang psikologi, khususnya yang berkaitan dengan self efficacy
2. Manfaat Praktis
- Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada mahasiswa terkait dengan pentingnya self efficacy pada seorang individu dan
12 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Communication Apprehension
1. Pengertian Communication Apprehension
Konsep awal dari communication apprehension melihat
communication apprehension sebagai kecemasan yang berkaitan
dengan komunikasi oral. Secara teoritik, Communication apprehension
dibagi menjadi dua perspektif yaitu trait-like prodisposition dan
state-like response. Trait-like predisposition yaitu kecemasan
berkomunikasi yang muncul dalam diri seseorang dalam semua
konteks komunikasi sedangkan state-like response yaitu kecemasan
yang timbul karena situasi tertentu yang menyebabkan seseorang
mengalami kecemasan komunikasi (McCroskey & Beatty, 1986)
Menurut Morrissan (2010) kecemasan berkomunikasi ialah
kecemasan yang cenderung dialami oleh individu dalam berbagai
situasi yang bebeda dan waktu yang relatif lama. Communication
Apprehension merupakan reaksi kecemasan atau ketakutan yang
terjadi pada individu dalam melakukan komunikasi nyata atau
diantisipasi baik dalam melakukan komunikasi di public maupun
komunikasi antar pribadi (McCroskey, 1976). Individu yang memiliki
menghindari komunikasi dengan orang lain, jika terpaksa melakukan
komunikasi individu akan merasa tidak nyaman, tegang, dan malu.
Kecemasan komunikasi atau Communication Apprehension,
menurut Burgoon dan Ruffner (dalam Dewi & andrianto, 2006)
sebagai suatu reaksi negatif berupa kecemasan yang dialami seseorang
ketika berkomunikasi antar pribadi, komunikasi di depan umum
maupun komunikasi massa.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa
Communication Apprehension yang dimaksudkan adalah reaksi negatif
yang timbul pada individu berupa perasaan kecemasan, ketakutan,
kekhawatiran, gugup dan tegang pada saat berbicara dengan orang
lain.
2. Tipe -Tipe Communication Apprehension
Mc Croskey (1984) menyebutkan kecemasan berkomunikasi dalam
4 (empat) tipe yaitu :
a. Traitlike Communication Apprehension
Tipe ini digunakan melihat kesemasan komunikasi sebagai
sifat sejati yang sulit diubah. Kecemasan tipe ini dipandang sebagai
kecemasan komunikasi yang relatif panjang. Tipe ini dipandang
b. Context-Based Communication Apprehension
Kecemasan komunikasi dalam sudut pandang ini
menunjukkan orientasi terhadap komunikasi dalam konteks yang
digeneralisasikan. Individu dengan tipe ini merasa sangat cemas
dalam berkomunikasi di satu konteks tetapi tidak cemas dalam
konteks komunikasi yang lain.
c. Person- Group Communication Apprehension
Tipe ini menggambarkan reaksi dari individu dalam
berkomunikasi dengan individu atau kelompok dalam waktu
tertentu. Orang dengan kecemasan komunikasi tipe ini
memperlihatkan bahwa beberapa orang atau kelompok membuat
orang tersebut merasa sangat cemas. Hal ini tidak dipandang
sebagai respon terhadap kendala situasi yang dihasilkan oleh orang
atau kelompok lain. Dalam tipe ini, CA muncul karena
ketidakfamiliaran/ tidak dikenal dengan orang yang diajak
komunikasi.
d. Situasional Communication Apprehension
Reaksi yang dimunculkan oleh individu dalam
berkomunikasi dengan individu atau kelompok tertentu dalam
jangka waktu yang telah ditentukan. CA terjadi lebih pada situasi
yang khusus bukan pada situasi seperti kehidupan sehari – hari.
Kecemasan komunikasi akan muncul ketika seseorang
lebih pada sebagai respon dari keadaan situasional yang dihasilkan
oleh orang ataupun kelompok lain dan bukan berdasarkan
kepribadian.
Menurut Horwits (2001) communication apprehension memiliki empat
tipe:
a. Aspek kognitif
Dalam hal ini individu memberikan perhatian yang berlebihan
terhadap diri sendiri dan juga pandangan atau penilaian orang lain.
b. Aspek Motorik
Timbulnya perasaan malu, gelisah, dan bingung, jika harus
berbicara di depan umum.
c. Perubahan Fisiologis
Ditandai dengan meningkatnya detak jantung dan nadi, keringat
berlebihan, tangan dan kaki dingin serta perut yang mulas atau
sakit.
d. Perilaku motorik
Ditandai dengan berbicara yang terpatah – patah, lebih memilih
untuk tidak berbicara, gemetaran, selalu merunduk atau berusaha
untuk mengindari tatap mata dengan lawan jenis
Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh beberapa
Apprehension yang dikemukakan oleh McCroskey sesuai dengan
kebutuhan penelitian ini.
3. Karakteristik Communication Apprehension
McCroskey (1984) menyatakan Communication Apprehension
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Internal Discomfort
Individu yang memiliki kecemasan komunikasi akan
mengalami perasaan yang tidak nyaman terhadap dirinya
sendiri. Hal ini menimbulkan respon negatif seperti ketakutan
atau kekhawatiran sehingga individu akan terlihat panik, malu
dan gugup.
b. Avoidance of communication
Individu yang mengalami kecemasan komunikasi akan
cenderung mencoba untuk menghindar dari situasi komunikasi.
Mereka biasanya merespon pertanyaan dengan singkat atau
berbicara seperlunya.
c. Communication Disruption
Individu yang mengalami kecemasan dalam berkomunikasi
akan mencoba untuk menarik diri dalam situasi komunikasi.
Individu akan mengurangi keterlibatannya dalam melakukan
komunikasi dengan orang lain. Hal yang sama diungkapkan
oleh Hassal et. al (2013) mengungkapkan bahwa individu akan
diujung, dan memilih rumah yang lingkungannya tidak banyak
interaksi komunikasi.
d. Overcommunication
Individu yang memiliki kecemasan komunikasi yang tinggi
akan menampilkan respon yang berlebihan untuk menutupi
kekurangan yang dimilikinya dalam hal berkomunikasi.
Misalnya, pada saat presentasi di depan kelas individu
mengucapkan kalimat – kalimat yang tidak sesuai dengan tema
yang sedang dibawakan.
4. Efek Communication Apprehension
McCroskey (1976) menyatakan bahwa individu yang memiliki Communication Apprehension biasanya tidak dianggap secara positif
oleh orang lain, tidak dianggap responsif, tidak komunikatif, tidak
memiliki ketertarikan sosial, tidak kompeten, tidak dapat dipercaya,
dan sulit untuk dimengerti. Selain itu Hassal, et al.(2013)
mengungkapkan seseorang yang memiliki kecemasan komunikasi akan
memilih untuk menghindari komunikasi karena dianggap sesuatu yang
tidak menyenangkan.
5. Personal Report Communication Apprehension-24
Personal Report Communication Apprehension-24 merupakan
communication apprehension yang dikembangkan oleh McCroskey
(http://www.jamescmccroskey.com).
Instrumen ini memiliki empat konteks komunikasi yang di
perkirakan paling relevan dengan communication apprehension.
Konteks komunikasi tersebut yaitu :
1. Group Discussion
Tingkat kecemasan komunikasi yang terjadi ketika individu
berkomunikasi dengan beberapa orang dalam seuatu kelompok
kecil. Group discussion diukur dengan enam item pernyataan milik
McCroskey sebagai berikut:
a.Saya tidak suka berpartisipasi dalam diskusi kelompok
b.Biasanya saya merasa nyaman saat berpartisipasi dalam
diskusi kelompok
c. Saya merasa tegang dan gugup saat berpartisipasi dalam
diskusi kelompok
d. Saya ingin terlibat dalam diskusi kelompok
e. Terlibat dalam diskusi kelompok dengan orang – orang baru
membuat saya tegang dan gugup
f. Saya merasa tenang dan rileks saat berpartisipasi dalam
diskusi kelompok
2. Meeting
Kecemasan dalam konteks meeting adalah tingkat kecemasan
berada dalam pertemuan ataupun rapat. Konteks Meeting diukur
dengan enam pernyataan milik McCroskey sebagai berikut;
a. Biasanya, saya gugup saat harus berpartisipasi dalam
pertemuan atau rapat.
b. Biasanya saya merasa nyaman ketika harus berpartisipasi
dalam sebuah rapat atau pertemuan.
c. Saya sangat tenang dan bersikap santai ketika saya
dipanggil untuk mengungkapkan pendapat saya pada saat
rapat atau pertemuan.
d. Saya takut mengekpresikan diri saya di dalam pertemuan
atau rapat.
e. Melakukan komunikasi dalam pertemuan atau rapat
biasanya membuat saya tidak nyaman.
f. Saya sangat santai ketika menjawab pertayaan saat rapat/
pertemuan.
3. Interpersonal
Kecemasan dengan individu lain (interpersonal) adalah
tingkat kecemasan komunikasi ketika berkomunikasi dengan
individu dalam interaksi dengan satu orang. Interpersonal diukur
dengan enam item penyataan milik McCroskey sebagai berikut :
a. Saat berpartisipasi dalam percakapan dengan kenalan baru
saya merasa gugup.
c. Biasanya saya sangat tegang dan gugup dalam percakapan.
d. Saya biasanya sangat tenang dan santai dalam percakapan
e. Saat berbicara dengan orang yang baru saya kenal, saya merasa
sangat santai.
f. Saya takut untuk berbicara dalam pembicaraan.
4. Public Speaking (komunikasi yang dilakukan di muka umum)
Kecemasan dalam konteks public speaking adalah tingkat
kecemasan komunikasi dengan banyak orang dalam situasi formal.
Public Speaking diukur dengan menggunakan enam item
pernyataan McCroskey:
a. Saya tidak merasa takut untuk berbicara di depan umum.
b. Bagian tertentu dari tubuh saya sangat tegang dan kaku ketika
berbicara di depan umum.
c. Saya merasa santai saat berbicara di depan umum.
d. Pikiran saya menjadi bingung dan campur aduk ketika saya
berbicara di depan umum.
e. Saya berbicara di depan umum dengan penuh percaya diri.
f. Saat saya berbicara di depan umum, saya sangat gugup
sehingga saya lupa dengan apa yang akan saya sampaikan.
6. Perhitungan Personal Report Communication Apprehension-24 Skor yang di dapatkan pada Personal Report Communication
of Communication Apprehension (PRCA-24) dapat diperoleh dengan
cara sebagai berikut
(http://www.jamescmccroskey.com/measures/prca24.htm) :
a. Perhitungan Group Discussion
Perhitungan dalam Group Discussion sebagai berikut :
18 – (Skor jawaban item 2, 4, & 6) + (Skor jawaban item 1, 3, & 5)
b. Perhitungan Meetings
Perhitungan dalam Meetings sebagai berikut :
18 – (Skor jawaban item 8, 9, & 12 ) + (Skor jawaban item 7, 10,
& 11)
c. Perhitungan Interpersonal
Perhitungan dalam Interpersonal sebagai berikut :
18 – (Skor jawaban item 14, 16 & 17 ) + (Skor jawaban item 13,
15, & 18)
d. Perhitungan Public Speaking
Perhitungan dalam Public Speaking sebagai berikut :
18 – (Skor jawaban item 19, 21 & 23 ) + (Skor jawaban item 20,
22, & 24)
e. Total Skor Keseluruhan
Perhitungan total PRCA- 24 secara keseluruhan dihitung sebagai
Jumlah dari perhitungan group discussion + jumlah dari
perhitungan meetings + jumlah dari perhitungan interpersonal +
jumlah dari perhitungan public Speaking
7. Interpretasi Skor Personal Report Communication Apprehension-24
Interpretasi yang dapat ditarik dari skor yang diperoleh pada
Personal Report Communication Apprehension (PRCA-24) sebagai
berikut :
Konteks High Low
Group >20 <11
Meeting >20 <13
Interpersonal >18 <11
Public Speaking >24 <14
Total >80 <51
Sumber : http://www.jamescmccroskey.com
a. Pada konteks Group, skor CA lebih dari 20 dapat diartikan
bahwa subjek masuk dalam kategori tinggi sedangkan subjek
yang memiliki skor kurang dari 11 masuk dalam kategori rendah.
b. Skor CA pada konteks Meeting tergolong tinggi jika subjek
mendapatkan skor lebih dari 20 dan tergolong rendah jika
mendapatkan skor kurang dari 13.
c. Subjek yang memiliki CA dalam kategori tinggi pada konteks
interpersonal jika skor yang diperoleh lebih dari 18 dan kategori
d. Pada Public Speaking, subjek memiliki CA kategori tinggi jika
mendapatkan skor lebih dari 24 dan masuk dalam kategori rendah
jika mendapatkan skor kurang dari 14.
e. Skor total dari empat konteks dapat diinterpretasikan bahwa
subjek yang mendapatkan skor CA kurang dari 51 tergolong
dalam kategori rendah, sedangkan subjek yang mendapatkan skor
CA lebih dari 80 tergolong dalam kategori tinggi.
8. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan oleh Witjaksono (2016) menggunakan
skala PRCA-24 milik McCroskey diberikan kepada subjek penelitian
yaitu mahasiswa semester 3 atau semester 5 dan belum pernah
mengikuti kerja Praktik atau Praktik Lapangan dengan total sampel
yang digunakan sebanyak 100 orang. Penelitian ini tidak menggunakan
seluruh item pernyataan yang ada di skala tersebut karena satu item
dinyatakan gugur. Penelitian ini mengungkapkan bahwa tingkat
kecemasan komunikasi mahasiswa cenderung pada kategori sedang
dan sumbangan efektif konsep diri pada kecemasan komunikasi
sebesar 25,7% sedangkan 74% dipengaruhi oleh faktor – faktor lain.
Penelitian lain yang ada di Indonesia yang dilakukan oleh Pradita
(2017) mengenai evaluasi communication apprehension mahasiswa
Akutansi Universitas Sanata Dharma dengan menggunakan skala
angkatan 2013, 2014, dan 2015. Hasil penelitiannya menyatakan
bahwa mahasiswa akutansi dapat berkomunikasi secra lisan namun
cenderung lebih pasif untuk berkomunikasi dalam bentuk komunikasi
kelompok, individu dan di depan umum.
Suhartono dan Herdiana (2017) melakukan penelitian dengan judul
hubungan antara self esteem dengan kecemasan komunikasi public
speaking mahasiswa baru dengan menggunakan skala PRCA-24. Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa adanya hubungan signifikan dengan
tingkat sedang antara self esteem dengan kecemasan komunikasi
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga 2015-1016 dan
ada faktor lain diluar self esteem sebesar 54,3 persen.
B. Self Efficacy
1. Pengertian Self efficacy
Menurut Bandura (1997) Self Efficacy, yaitu keyakinan yang
dimiliki seseorang terhadap kompetensi atau kemampuannya untuk
mengelola perilakunya dalam melakukan suatu tugas, mengatasi
rintangan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Individu yang
memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki akan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan secara efektif untuk
mengatasi setiap hambatan yang sedang dialami. Perasaan yang kuat
dan kemampuan untuk mengatasi kecemasan dan depresi (dalam
Baron & Byrne, 2004).
Robbins (2007) Self efficacy dikenal dengan teori kognitif sosial
atau penalaran sosial yang mengarah pada keyakinan seorang individu
pada dirinya dalam menjalankan suatu tugas. Individu yang memiliki
self efficacy yang tinggi sangat yakin dengan kemampuan kinerja yang
dimilikinya (dalam Ivancevich, konopaske, & Matteson, 2007)
Berdasarkan pendapat di atas penelitian ini menggunakan definisi
dari Bandura bahwa self efficacy sebagai keyakinan yang dimiliki
seseorang terhadap kompetensi atau kemampuannya untuk mengelola
perilakunya dalam melakukan suatu tugas, mengatasi hambatan, dan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Sumber Self Efficacy
Self efficacy yang dimiliki seseorang individu dapat diperoleh,
diubah, ditingkatkan atau bahkan diturunkan melalui empat sumber
utama. Keempat sumber tersebut akan mempengaruhi perkembangan
self efficacy di dalam diri seorang individu. Bandura (1997)
mengungkapkan empat sumber tersebut yaitu :
a. Enactive mastery experience (Pencapaian Hasil)
Sumber self efficacy ini merupakan sumber yang paling
penting karena pengalaman – pengalaman masa lalu yang secara
efficacy yang dimilikinya. Perkembangan self efficacy yang terjadi
pada individu ditentukan oleh pengalaman berhasil atau kegagalan
pada pengalaman sebelumnya. Individu yang memiliki
pengalaman berhasil dalam menyelesaikan suatu masalah, hal ini
dapat meningkatkan penilaian akan self efficacy yang dimilikinya.
Pengalaman berhasil yang dicapai individu juga dapat mengurangi
kegagalan, khususnya jika kegagalan tersebut timbul disaat awal
individu melakukan suatu tugas.
b. Vicarious experience (Pengalaman orang lain)
Self efficacy dapat dipengaruhi oleh pengamatan yang
dilakukan individu terhadap pengalaman orang lain. Seorang
individu mengamati tingkah laku, pola pikir dan strategi dalam
menghadapi masalah melalui figur seorang model. Perkembangan
self efficacy dipengaruhi oleh keberhasilan model yang diamati.
Pada saat melihat model dengan kemampuan yang sama dapat
berhasil dalam suatu tugas maka, individu juga akan merasa yakin
bahwa dirinya mampu untuk berhasil. Sebaliknya, self efficacy
dapat turun apabila, model yang dijadikan sebagai panutan
mengalami kegagalan dalam melakukan suatu tugas walaupun
telah berusaha keras. Peran vicarious experience terhadap self
efficacy seseorang individu sangat dipengaruhi oleh persepsi
mengenai persamaan individu dengan figur model yang diamati.
dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self efficacy
individu tersebut.
c. Verbal Persuaion (Persuasi Verbal)
Verbal Persuation berkaitan dengan pemberian informasi
seperti nasehat, saran dan bimbingan dari orang lain sehingga
mampu meningkatkan self efficacy yang dimiliki individu untuk
mencapai target yang diinginkan. Dorongan semangat yang
diberikan kepada seorang individu diharapkan dapat mengarahkan
individu agar berusaha lebih keras untuk mencapai kesuksesan.
Tinggi rendahnya self efficacy seorang individu dipengaruhi oleh
kemampuan persuasi verbal yang dilakukan oleh orang lain.
d. Pshysiological states (Kondisi Fisiologis)
Keadaan Fisiologis seorang individu dijadikan sumber
informasi untuk memberikan penilaian terhadap kemampuan
dirinya. Individu merasa bahwa ketegangan yang terjadi pada
dirinya berupa gejala – gejala somatik di saat situasi menekan
merupakan suatu tanda bahwa dirinya tidak mampu menguasai
suatu keadaan. Emosi seorang individu juga mempengaruhi self
efficacy yang dimiliki. Ketika individu merasa sedih, memiliki
tingkat setres yang tinggi, dan kecemasan yang berlebihan maka
penilaian terhadap diri cenderung rendah. Ada empat cara dalam
merubah self efficacy pada diri seseorang yaitu meningkatkan
memperbaiki kesalahan mengartikan terhadap keadaan tubuh
(dalam Buletin Psikologi, 2012)
3. Dimensi Self Efficacy
Self efficacy memiliki dampak penting terhadap perilaku individu.
Bandura (1997) mengungkapkan ada tiga aspek dalam self efficacy,
yaitu:
a. Magnitude / Level (Tingkat Kesulitan Tugas)
Aspek dalam Magnitude atau level berkaitan dengan tingkat
kesulitan tugas yang diyakini dapat diselesaikan oleh seorang
individu dalam suatu tugas. Persepsi setiap individu akan berbeda
dalam memandang suatu tugas dari yang paling sederhana,
menengah hingga tinggi. Seorang individu akan mencoba perilaku
yang dianggap mampu dilakukan namun akan menghindari situasi
dan perilaku yang dianggap diluar batas kemampuan yang
dimiliki. Penilaian self efficacy akan berbeda – beda pada setiap
individu. Ada individu yang memiliki self efficacy yang tinggi
hanya pada tugas yang bersifat mudah dan sederhana, namun
adapula yang memiliki self efficacy tinggi pada tugas yang
bersifat sulit dan rumit.
b. Generality (Luas Bidang Perlaku)
Aspek dalam Generality berkaitan dengan keyakinan seorang
suatu aktivitas yang tidak terbatas hanya pada satu situasi tertentu
atau satu aktivitas tertentu namun dapat melakukan serangkaian
tugas yang bervariasi.
c. Strength (Kemantapan Keyakinan)
Aspek dalam Strength berkaitan dengan kuat atau lemahnya
self efficacy yang dimiliki oleh seorang individu. Individu dengan
self efficacy yang rendah akan mudah menyerah apabila
menghadapi tantangan dalam menyelesaikan tugas sebaliknya
individu dengan self efficacy yang tinggi akan mendorong individu
untuk bertahan dalam usahanya menyelesaikan tugas walaupun
mendapatkan rintangan yang tidak menyenangkan. Pengalaman
memiliki peran yang besar dalam aspek strength. Pengalaman yang
buruk atau kurang menyenangkan akan membuat self efficacy yang
dimiliki melemah sebaliknya pengalaman yang menyenangkan
akan membuat self efficacy yang dimiliki menguat sehingga
mendorong individu untuk tetap berusaha menyelesaikan kesulitan
yang dihadapi.
4. Fungsi Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) fungsi dari self efficacy yaitu melatih
kontrol terhadap stressor, mempengaruhi kepercayaan individu, dan
membantu untuk bertindak secara tepat dan terarah sehingga tujuan
menumbuhkan dan mengembangkan daya psikologis mahasiswa
misalnya, motivasi, minat dan perhatian untuk mengoptimalkan usaha
yang dikerahkan individu dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Hartono,2012)
5. General Self-Efficacy Scale
General Self-Efficacy Scale merupakan alat ukur yang dirancang
untuk menilai keyakinan yang dimiliki oleh seseorang yang berguna
dalam mengatasi masalah yang ada di dalam kehidupan. Skala telah
digunakan oleh banyak penelitian dan awalnya dikembangkan dalam
bahasa Jerman oleh Matthias Jerusalem dan Ralf Schwarzer. Skala ini
didesain untuk usia diatas 12 tahun. Instrumen pada skala ini awalnya
berjumlah 20 item pernyataan, kemudian berkurang menjadi 10 item
pernyataan. Pada skala ini tidak terdapat keterangan mengenai item
favorabel dan unfavorabel. Skala ini telah diadaptasi ke dalam 32
bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Informasi mengenai skala General
Self efficacy, beserta panduan penggunaannya dapat diakses melalui
situs yang telah di sediakan yaitu
(http://userpage.fu-berlin.de/~health/selfscal.htm).
Instrumen ini memiliki empat pilihan jawaban yaitu tidak setuju,
agak setuju, hampir setuju, dan sangat setuju. General Self – Efficacy
No Item Pernyataan
1 Pemecahan soal – soal yang sulit selalu berhasil bagi saya, kalau saya berusaha
2 Jika seseorang menghambat tujuan saya, saya akan mencari cara dan jalan untuk meneruskannya
3 Saya tidak mempunyai kesulitan untuk melaksanakan niat dan tujuan saya
4 Dalam situasi yang tidak terduga saya selalu tahu bagaimana saya harus bertingkah laku
5 Kalau saya akan berkonfrontasi dengan sesuatu yang baru, saya tahu bagaimana saya dapat menanggulanginya
6 Untuk setiap problem saya mempunyai pemecahan
7 Saya dapat menghadapi kesulitan dengan tenang, karena saya selalu dapat mengandalkan kemampuan saya
8 Kalau saya menghadapi kesulitan, biasanya saya mempunyai banyak ide untuk mengatasinya
9 Juga dalam kejadian yang tidak terduga saya kira, bahwa saya akan dapat menanganinya dengan baik
10 Apapun yang terjadi, saya akan siap menanganinya Sumber : (http://userpage.fu-berlin.de/~health/selfscal.htm)
General Self efficacy Scale memiliki skor yang berkisar antara 10 –
40. Perhitungan dalam skala ini dengan cara menjumlahkan setiap skor
yang di dapatkan oleh subjek pada setiap item pernyataan. Selain itu,
koefisien reliabilitas skala self efficacy ini yaitu 0,75 sampai 0,90.
Validitas pada skala ini teruji secara Internasional dan di Indonesia
dengan nilai 0,373 – 0,573 (dalam Rahmawati, 2017). General Self
efficacy scale ini berkorelasi positif dengan optimisme dan kepuasan
bekerja sedangkan berkorelasi negatif dengan kecemasan, depresi,
setres, kelelahan, dan keluhan kesehatan (Romppel dalam
6. Penelitian Sebelumnya
Penelitian yang dilakukan oleh Ishtifa (2011) dengan judul
pengaruh self efficacy dan kecemasan Akademis terhadap self –
regulated Learning Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri Jakarta dengan menggunakan skala General Self Efficacy
diberikan kepada subjek berjumlah 200 orang mahasiswa fakultas
Psikologi UIN yang masih aktif dan berusia 18-21 tahun. Hasil dari
penelitian ini menyatakan bahwa self efficacy secara positif signifikan
mempengaruhi self regulated learning pada mahasiswa Fakultas
Psikologi UIN.
Penelitian dilakukan oleh Setiani (2015) yang ingin melihat
mengenai korelasi sumber coping dan strategi coping pada remaja.
Peneliti ini menggunakan beberapa skala adaptasi untuk mengukur
sumber coping salah satunya yaitu self efficacy yang di ukur dengan
skala General Self Efficacy milik Matthias Jerusalem dan Ralf
Schwarzer. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa self efficacy
berkorelasi negatif dengan strategi coping maladaptif.
Rahmawati (2017) menggunakan skala General Self Efficacy
dengan judul hubungan antara self efficacy dengan tingkat setres pada
lansia pensiunan di Paguyuban Wredatama Universitas Diponegoro.
Peneliti menggunakan skala general self efficacy dan skala Depresion
Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42). Hasil dari penelitian tersebut yang
efficacy dengan tingkat setres pada pensiunan lansia. Penelitian lain
yang dilakukan oleh Syifa 2018 menggunakan 175 subjek mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah dengan hasil yang
menunjukkan variabel self efficacy yang diukur dengan skala general
self efficacy memberikan sumbangan efektif terhadap variabel perilaku
mencontek sebesar 1,14%.
C. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 1. Pengertian Mahasiswa
Mahasiswa adalah seorang yang terdaftar dan menempuh
pendidikan di perguruan tinggi baik dari akademik, politeknik,
institute, dan universitas degan rentang usia dari 18 sampai 25
tahun (Nurnaini, 2014). Selain itu, Kartono (Ulfah, 2010)
menyatakan bahwa mahasiswa ialah orang-orang yang mempunyai
kemampuan dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal
di perguruan tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum
intelektual.
2. Wanita
Wikipedia menyatakan wanita merupakan kata umum yang
digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa dan memiliki
alat reproduksi berupa Vagina. Penelitian ini menggunakan subjek
mengungkapkan hasil bahwa perempuan memiliki communication
apprehension yang tergolong tinggi. Selain itu, Clark (dalam
Djayati dan Rahmatika, 2015) mengungkapkan bahwa perempuan
lebih sensitif dan rentan terhadap perasaan negatif akibatnya akan
mempengaruhi terhadap keadaan psikologisnya.
3. Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Angkatan 2015
Individu yang terdaftar dan belajar di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma angkatan 2015 merupakan
mahasiswa/mahasiswi yang telah menempuh pendidikan sampai
pada semester 7 (tujuh) di Fakultas Psikologi. Peneliti
menggunakan subjek angkatan 2015 karena mahasiswa tersebut
telah menempuh minimal 152 satuan kredit semester (sks) yang
didalamnya terdapat praktek alat tes Psikologi sehingga memiliki
pengalaman yang cukup dalam berbagai setting komunikasi. Selain
itu, mahasiswa semester tujuh saat ini sedang menempuh mata
kuliah seminar yang didalamnya mahasiswa dituntut untuk
menjelaskan idenya baik secara lisan maupun tulisan yang
menimbulkan kecemasan ketika tuntutan tersebut tidak dapat
D. Dinamika Variabel
Mahasiswa merupakan intelektual muda yang memiliki softskill
komunikasi sehingga dapat menjadi media partisipant yang berkompeten
dalam berbagai setting lingkungan yang dapat menyalurkan ilmu yang
dimiliki untuk masyarakat. Namun, tidak semua mahasiswa memiliki
softskill tersebut karena adanya kecemasan komunikasi yang dialami.
Morrissan (2010) mendefinisikan kecemasan komunikasi sebagai
kecemasan yang cenderung dialami oleh individu dalam berbagai situasi
yang berbeda dan waktu yang relatif lama. Menurut Rahmat (dalam
Wahyuni, 2014) kecemasan berkomunikasi dengan orang lain dikenal
dengan istilah communication apprehension.
Lukmantoro menyatakan bahwa di dalam kehidupan akademis
pada dasarnya setiap individu berpotensi untuk mengalami communication
apprehension. Hal ini bisa terjadi baik pada pengajar maupun pada
mahasiswa. Richmond dan McCroskey (dalam Hassal, et al. 2013)
menyatakan bahwa individu yang memiliki komunikasi dengan kategori
tinggi akan takut untuk berkomunikasi dengan orang lain sehingga,
individu tersebut berfikir bahwa komunikasi merupakan sesuatu yang
harus dihindari. Muslimin (2013) juga menambahkan mengenai
karakteristik orang yang memiliki communication apprehension akan
menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk
berkomunikasi dan jika terpaksa untuk melakukan komunikasi biasanya
ditambahkan oleh McCroskey (1976) yaitu tidak komunikatif, tidak
memiliki ketertarikan sosial, dan tidak dapat dipercaya.
Kecemasan yang terjadi pada masing-masing individu sangat
beragam tergantung pada penilaian individu terhadap kemampuan yang
dimilikinya disebut self efficacy (Sarifino, dalam Suhartono & Herdiana,
2017). Self efficacy akan mempengaruhi individu dalam bereaksi terhadap
sesuatu yang menekan. Menurut Bandura (1997) self efficacy merupakan
keyakinan yang dimiliki seorang terhadap kemampuannya untuk
mengelola perilakunya dalam melakukan tugas, mengatasi rintangan, dan
mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Self efficacy memiliki pengaruh
yang besar bagaimana seseorang berusaha mencapai sasaran yang
diinginkan, menyelesaikan tugas, dan mengatasi rintangan.
Keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh mahasiswa
untuk mengelola perilakunya dalam mengambil tindakan, mengoptimalkan
usaha dan bersikap ulet (Prakoso, dalam Anwar, 2009). Self efficacy secara
efektif dapat berkontribusi dalam pengurangan kecemasan yang dialami
seorang individu (Dwyer, Kangas & Fus.A, 1999). Santrock (2008)
menyatakan bahwa individu yang memiliki self efficacy yang tinggi
biasanya bersikap tekun dan tidak mudah menyerah ketika harus
E. Skema Penelitian
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian tersebut, ditemukan hipotesis berupa adanya
hubungan negatif signifikan antara self efficacy dengan communication
apprehension pada mahasiswa X (Variabel Bebas)
Self Efficacy
Y (Variabel Tergantung)
38 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif korelasional.
Penelitian korelasional bertujuan untuk menyelidiki variasi pada suatu
variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain
berdasarkan koefisien korelasi (Azwar, 2009). Peneliti ingin melihat
hubungan antara dua variabel, yaitu variabel self efficacy dan variabel
communication apprehension.
B. Variabel Penelitian
Variabel Independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu self
efficacy dan yang menjadi variabel dependen adalah communication
apprehension.
1. Self efficacy
Self efficacy yang dimaksud dalam penelitian ini menggunakan
definisi milik Bandura (1997), yaitu keyakinan yang dimiliki seseorang
terhadap kompetensi atau kemampuannya untuk mengelola perilakunya
dalam melakukan suatu tugas, mengatasi hambatan, dan mencapai tujuan
Self efficacy yang diukur dengan menggunakan skala General Self
Efficacy scale (GSE) dikembangkan oleh Matthias Jerusalem and Ralf
Schwarzer. Instrumen ini memiliki 10 item pernyataan dan memiliki
empat pilihan jawaban. Tinggi rendahnya self efficacy yang ada di dalam
diri subjek dilihat dari jumlah skor yang di dapatkan.
2. Communication apprehension
Communication Apprehension merupakan reaksi kecemasan atau
ketakutan yang terjadi pada individu dalam melakukan komunikasi nyata
atau diantisipasi baik dalam melakukan komunikasi di publik maupun
komunikasi antar pribadi.
Communication apprehension diukur dengan menggunakan skala
PRCA-24 (Post report of Communication Apprehension) yang disusun
oleh McCroskey. Instrumen ini paling banyak digunakan untuk mengukur
communication apprehension dan tergolong dapat diandalkan karena
memiliki validitas prediktif yang sangat tinggi
(http://www.jamescmccroskey.com/measures/prca24.htm). Instrumen ini
memiliki 24 item pernyataan dengan lima alternatif jawaban. Tinggi
rendahnya communication apprehension dilihat pada jawaban subjek
dalam skala dengan menggunakan perhitungan yang telah ditetapkan oleh
McCroskey pada setiap konteks komunikasi maupun semua konteks
C. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini merupakan mahasiswa Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma angkatan 2015 yang masih aktif
dengan populasi 155 orang terbagi dalam 122 perempuan dan 33 orang
laki – laki. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 40
perempuan Fakultas Psikologi angkatan 2015. Penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling, yaitu pemilihan subjek berdasarkan kriteria
tertentu yang berkaitan dengan populasi yang diketahui sebelumnya.
D. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2018 selama 2 hari.
Tempat penelitian dilakukan di Fakultas Psikologi Kampus III Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
E. Instrumen Penelitian 1. PRCA-24
Communication apprehension diukur dengan menggunakan skala
PRCA-24 (Post report of Communication Apprehension) yang
disusun oleh McCroskey. Instrumen tersebut yang paling banyak
digunakan untuk mengukur communication apprehension dan
instrumen ini lebih baik di atas instrumen versi sebelumnya (seperti;
PRCA10,PRCA-24B). Skala ini memiliki mean total sebesar 65,6 dan
diandalkan dan memiliki validitas prediktif yang sangat tinggi (alfa
regularly > .90). Skala ini dapat diakses dalam website yang telah
disediakan untuk memudahkan peneliti selanjutnya mendapatkan
informasi mengenai PRCA-24
(http://www.jamescmccroskey.com/measures/prca24.htm). Peneliti
mendapatkan skala tersebut dalam bentuk bahasa inggris sehingga
harus melakukan proses adaptasi skala untuk mengubah ke bahasa
indonesia.
Personal Report Communication Apprehension terdiri dari dua
kelompok pernyataan, yaitu 12 pernyataan Favorable (mendukung
pernyataan) dan 12 unfavorable (tidak mendukung pernyataan), dapat
dilihat dari tabel di bawah ini :
Tabel 1. Blue Print Kuesioner PRCA
Konteks Nomor Item Jumlah
Favorable Unfavorable
Group Discussion 1, 3, 5 2, 4, 6 6
Meetings 7, 10, 11 8, 9, 12 6
Interpersonal 13, 15 18 14, 16, 17 6 Public Speaking 20, 22, 24 19, 21, 23 6
Pada setiap jawaban item istrumen dengan menggunakan skala
Likert lima poin mempunyai gradasi dari sangat positif sampai yang
sangat negatif sehingga setiap item yang diukur memuat lima pilihan
Tabel 2. Skor Kuesioner Personal Report of Communication Apprehension (PRCA-24)
Pernyataan STS TS R S SS
Favorable 1 2 3 4 5
Unfavorable 5 4 3 2 1
2. General Self Efficacy (GSE)
Self efficacy yang diukur dengan menggunakan skala yang
diadaptasi dari General Self Efficacy scale (GSE) disusun oleh
Matthias Jerusalem and Ralf Schwarzer. Instrumen ini memiliki 10
item pernyataan dan memiliki empat pilihan jawaban yaitu sangat
sesuai, sesuai, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai. General self
Efficacy scale telah diadaptasi ke dalam 32 bahasa termasuk bahasa
indonesia dengan koefisien internal berkisar antara 0,78 sampai 0,91.
Peneliti mendapatkan skala tersebut dari website resmi yaitu
(http://userpage.fu-berlin.de/health/selfscal.htm).
Berikut ini merupakan tabel pemberia skor item pada skala self
efficacy:
Tabel 3. Pemberian Skor Item Skala self efficacy
Jawaban Skor
Sangat sesuai 4
Sesuai 3
Tidak sesuai 2 Sangat tidak