• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN POWER DISTANCE DAN COUNTERPRODUCTIVE WORK BEHAVIOR (CWB) PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI YOGYAKARTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN POWER DISTANCE DAN COUNTERPRODUCTIVE WORK BEHAVIOR (CWB) PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI YOGYAKARTA SKRIPSI"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

BEHAVIOR (CWB) PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DI

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Antonius Dame Didiet Aditya Sandro 149114119

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya

pada Tuhan!

Yeremia 17:7

“Hadiah terbaik dari kerja seseorang bukanlah apa yang dia dapatkan tapi menjadi apa dia karenannya”

If you want something. Go get it. Period

(5)

v

Ku Ucapkan Terima Kasih Banyak dan Kupersembahkan Karya ini untuk Tuhan yang Maha kuasa, Maha kaya, dan Maha pemurah.

Kepada semua kerabat-kerabat dekat. Segala jerih payah, setiap dukungan, setiap semangat, setiap cerita dan setiap kebahagiaan maupun sedih bisa kubayar dengan

(6)
(7)

vii

WORK BEHAVIOR (CWB) PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)

DI YOGYAKARTA

Antonius Dame Didiet Aditya Sandro

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara power distance dan Counterproductive work behavior atau CWB pada pegawai negeri sipil yang bekerja di kantor walikota Yogyakarta. Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara power distance dan counterproductive work behavior. Metode pengambilan data dilakukan menggunakan skala Likert yang disebarkan kepada pegawai negeri sipil yang bekerja di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) serta Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPMP) yang bekerja di kantor walikota Yogyakarta. Skala Power distance dibuat sendiri dengan mengacu pada teori Hofstede (2010). Sedangkan skala Counterproductive work behavior diadaptasi dari Robinson dan Bennett (2000). Skala Power distance memiliki koefisien reliabilitas sebesar α = 0.814 dan skala counterproductive work behavior memiliki koefisien reliabilitas sebesar α = 0.932, interpersonal α = 874, organisasi α = 926. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi Rank Spearman’s Rho. Teknik analisis non-parametrik ini digunakan karena sebaran data yang tidak terdistribusi secara normal. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara power distance dan counterproductive work behavior (r = -0.114, p = 0.215).

(8)

viii

COUNTERPRODUCTIVE WORK BEHAVIOR (CWB) IN CIVIL

SERVICE OFFICER (PNS) IN YOGYAKARTA

Antonius Dame Didiet Aditya Sandro

Abstract

The current study was aimed to investigate the relationship between power distance and counterproductive work behavior or CWB on civil service officer who work in the mayor's office in Yogyakarta. The hypothesized in this study was that there was a negative relationship between power distance and counterproductive work behavior. Survey data were collected was Likert scale that was distributed to who worked in Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) and Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPMP) who worked in the mayor's office in Yogyakarta. The Power distance scale was developed by researcher based on Hofstede's theory (2010), while the counterproductive scale of work behavior was adapted from Robinson and Bennett (2000). The scale of power distance had a reliability coefficient of α = 0.814 and the scale of counterproductive work behavior had a reliability coefficient of α = 0.932. The author used Rank Spearman Rho correlation’s test to analyze the data. This study used non-parametric analysis technique because the unusual data distributed on both scale. The results of the current study showed that there was no significant relationship between power distance and counterproductive work behavior (r = -0.114, p = 0.215). The implication of the result was discussed

(9)
(10)

x

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa dan Bunda Maria atas penyertaan dan berkat yang berlimpah, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Kelancaran dan kesuksesan skripsi ini tidak terlepas dari campur tangan banyak pihak yang sudah mau membantu serta memberikan dukungan kepada saya dalam menghadapi setiap tantangan yang saya temui. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan rasa terima kasih banyak kepada :

1.Ibu Dr. Titik Kristiyani, M. Psi, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2.Ibu Monica Eviandaru M., M. App., Ph.D., selaku Pimpinan Prodi Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3.Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi, MA., selaku Wakaprodi Bidang Kemahasiswaan yang telah memfasilitasi program pengembangan karakter bagi mahasiswa di Fakultas Psikologi.

4.Bapak Dr. Yohannes Babtista Cahya Widiyanto, M.Si. dan Ibu Maria Laksmi Anantasari M.Si Selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5.Bapak Dr. Minto Istono, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selama ini telah membantu, memberikan ilmu dan saran untuk penulisan skripsi.

6.Seluruh Dosen Psikologi yang telah memberikan ilmu-ilmu akademik serta nilai-nilai kehidupan, sehingga menjadi pribadi yang lebih matang.

7.Seluruh Staff dan Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang dengan ramah dan profesional dalam memberikan pelayanannya selama saya berkuliah.

8.Kepada Agustinus Wagyat dan Renta Lumban Batu selaku orangtua saya yang sangat saya cintai. Terima kasih banyak atas, doa, dukungan, kesabaran, dan kasih sayang yang saya terima selama ini. Mohon maaf jika selama ini saya ada berbuat salah dan belum bisa memberikan yang terbaik. Semoga Tuhan selalu memberikan berkat dan cinta kasih-Nya kepada kalian.

(11)

xi

banyak telah menerima saya dengan ramah, memberikan izin serta membantu saya untuk mengambil data, sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi saya. Mohon maaf jika saya ada salah kata maupun tindakan.

11.Kepada Dra. Christy Dewayani, MM. selaku Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Pemkot Yogyakarta. Terima kasih banyak telah menerima saya dengan ramah, memberikan izin, dan membantu saya mengambil data.

12.Segenap Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di BKPP dan DPMP Pemerintah Kota Yogyakarta saya ucapkan terima kasih banyak yang sudah mau berpartisipasi dalam membantu mengisi skala penelitian saya, sehingga dapat terselesaikannya skripsi saya.

13.Kepada Nathasa Pravastha yang sudah bersedia menjadi support system saya. Terima kasih sudah banyak menyediakan waktu, tenaganya, perhatian dan memberikan semangatnya untuk menemani saya mengerjakan skripsi ini. Maaf selama ini merepotkan.

14.Kepada Dito, Galih, Valen, Adit, Edi, Efan, Daniel, Keket, Chesa, Asty, Eta, Ruth dan Dandy yang juga sudah banyak menyediakan waktu dan tenaganya untuk menemani mengerjakan skripsi serta banyak menghibur dan mengajak main dikala saya merasa kesusahan. Terima kasih banyak untuk kalian. 15.Tomo dan Arsiton, saya ucapkan terima kasih kepada kalian karena telah

banyak memberikan saran-saran dalam mengerjakan skripsi dan juga selalu mengajak saya bermain game untuk menghilangkan rasa kelelahan mengerjakan skripsi.

16.Huandy teman dari SD, SMP, hingga SMA saya yang sengaja memberikan waktu senggang untuk menelpon dan bukannya menyemangati mengerjakan skripsi malah nanya kapan pulang. Terima kasih banyak, karena telah menghiburku selalu.

(12)
(13)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

C. Tujuan Peneltian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2 LANDASAN TEORI... 12

A. Counterproductive Work Behavior... 12

1. Pengertian Counterproductive Work Behavior ... 12

2. Dimensi Counterproductive Work Behavior ... 14

3. Faktor-faktor Counterproductive Work Behavior ... 17

B. Power Distance ... 23

1. Pengertian Power Distance ... 23

(14)

xiv

D. Dinamika Hubungan ... 30

E. Skema ... 34

F. Hipotesis Penelitian ... 35

BAB 3 METODELOGI PENELITIAN ... 36

A. Jenis Penelitian ... 36

B. Identifikasi Variabel Penelitan ... 36

C. Definisi Operasional ... 37

1. Counterproductive Work Behavior ... 37

2. Power Distance ... 37

D. Subjek Penelitian ... 38

E. Instrumen Penelitian ... 38

1. Metode Pengumpulan Data ... 38

2. Alat Pengumpulan Data ... 39

a. Skala Counterproductive Work Behavior ... 39

b. Skala Power Distance ... 40

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 42

1. Validitas ... 42

2. Daya Diskrimininasi Item ... 43

3. Reliabilitas ... 44

G. Teknik Analisis Data ... 45

1. Uji Asumsi ... 45

a. Uji Normalitas ... 45

b. Uji Linearitas ... 46

(15)

xv

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 49

C. Uji Asumsi... 53

a. Uji Normalitas ... 53

b. Uji Lineritas ... 54

c. Uji Hipotesis ... 56

D. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan... 62

B. Keterbatasan Penelitian ... 62

C. Saran ... 63

1. Bagi PNS Pemkot Yogyakarta ... 63

2. Bagi Pemerintah ... 63

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(16)

xvi

Tabel 1 Perbedaan Power Distance Tinggi dan Rendah Di tempat Kerja ... 27

Tabel 2 Distribusi Skala Counterproductive Work Behavior Sebelum Try Out ... 40

Tabel 3 Distribusi Skala Power Distance Sebelum Try Out... 41

Tabel 4 Deskripsi Subjek ... 49

Tabel 5 Deskripsi statistic variabel Counterproductive Work Behavior dan Power Distance ... 51

Tabel 6 Uji Beda Mean Empiris Power Distance ... 51

Tabel 7 Uji Beda Mean Empiris Counterproductive Work Behavior ... 52

Tabel 8 Uji Normalitas Counterproductive Work Behavior dan Power Distance ... 53

Tabel 9 Uji Linearitas Counterproductive Work Behavior dan Power Distance... 54

(17)

xvii

(18)

xviii

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 74

Lampiran 2. Reliabilitas Skala ... 78

Lampiran 3. Deskripsi Subjek... 83

Lampiran 4. Uji Beda Mean ... 86

Lampiran 5. Uji Asumsi ... 89

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sepanjang tahun 2010

- 2015 ada 219 kasus korupsi yang melibatkan 519 pelaku. Berdasarkan kasus tersebut kerugian diperkirakan mencapai Rp 890,1 miliar. Dari 519 pelaku, keterlibatan paling banyak adalah pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 295 orang. Salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kasus tersebut adalah reformasi birokrasi yang tidak berjalan efektif (Adnan, 2017). Selain itu, berdasarkan berita yang bersumber dari kompas.com diketahui bahwa telah terjadi pemberhentian 22 PNS karena melakukan penyimpangan perilaku yang melanggar peraturan kedisiplinan. Dari 22 PNS diketahui bahwa 12 orang bolos kerja selama 46 hari, tujuh orang terlibat penyalahgunaan narkoba, dua orang terlibat kasus asusila, dan satu orang terlibat kasus penipuan disebabkan penyalahgunaan wewenang (Erdianto, 2017).

Kasus penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh PNS tersebut dapat dikategorikan sebagai perilaku kontraproduktif. Perilaku kontraproduktif atau Counterproductive Work Behavior (CWB) adalah perilaku pegawai yang

(20)

kontraproduktif akan memberikan dampak yang buruk dan merugikan sebuah organisasi serta pihak-pihak yang terkait (Spector & Fox, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Krings dan Bollmann (2011) mengungkapkan bahwa terdapat dua konsekuensi atau kerugian dari CWB. Pertama, CWB dapat mengancam kesejahteraan organisasi dan pihak-pihak yang terkait. Pegawai yang menjadi korban dari CWB akan menurunkan kepuasan dalam bekerja, rendahnya komitmen bekerja, tingginya absensi, dan meningkatkan intensitas turnover (Bennett & Robinson, 2000; Robbins & Judge, 2017). Selain itu, dampak dari CWB juga berkaitan dengan menurunnya kesehatan seperti, kelelahan emosi, tekanan psikologis, gejala depresi, dan kesejahteraan fisik yang rendah. Kedua, CWB dapat menyebabkan kerugian besar pada organisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung (Krings & Bollmann, 2011; Robbins & Judge, 2017). Secara langsung yaitu, terjadinya kerugian karena pencurian harta benda organisasi yang dilakukan oleh pegawai. Sedangkan secara tidak langsung yaitu, menurunkan reputasi organisasi dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja organisasi.

(21)

Begitu juga dengan kasus-kasus penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh PNS. Menurut Sina (2008) korupsi, bolos kerja, penyalahgunaan wewenang dan tindakan asusila merupakan tindakan yang didasarkan pada lemahnya pengawasan, sehingga memunculkan keinginan individu untuk melakukan CWB. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut tentunya memliki dampak yang negatif, seperti korupsi yang dapat merugikan negara, perekonomian serta norma-norma dalam masyarakat.

Peraturan pemerintahan nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil mengemukakan bahwa, seorang pegawai negeri sipil wajib menaati segala jenis peraturan dan menghindari larangan terkait perilaku penyimpangan yang dapat merugikan institusi maupun pihak lain seperti, pencurian, perbuatan tidak jujur, penyalahgunaan wewenang dan pengrusakan (Haryani, 2010). Pegawai yang ketahuan melakukan pelanggaran peraturan atau penyimpangan perilaku sesuai ketentuan yang sudah dibuat, akan dijatuhkan hukuman sesuai dengan tingkat dan jenis disiplin, seperti hukuman disiplin ringan, teguran lisan, hingga pemberhentian tidak terhormat (Republik Indonesia, 2010).

(22)

Bollmann (2011) juga mengungkapkan bahwa organisasi dapat mengendalikan CWB dengan membuat peraturan yang jelas dan membatasi tindakan-tindakan yang dapat membahayakan organisasi. Hal ini menjadi gap dalam penelitian ini karena dengan diberlakukannya peraturan kedisiplinan, seharunya PNS dapat terhindar dari segala jenis penyimpangan perilaku. Selain itu, dengan adanya sanksi pegawai yang ingin melakukan CWB seharusnya paham akan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan. Akan tetapi, CWB masih sering dilakukan oleh PNS.

Sackett dan DeVore (2001) mengungkapkan bahwa terjadinya CWB disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kepribadian seperti, perbedaan satu individu dengan yang lain dalam merespon setiap peristiwa yang dialami. Pada konteks pekerjaan, faktor internal menjelaskan bagaimana kepribadian pegawai yang berbeda-beda merespon setiap persitiwa yang terjadi di tempat kerja, seperti lingkungan pekerjaan, relasi dengan pegawai lain, peraturan dan norma di tempat kerja, dan hubungan dengan otoritas (Robbins & Judge, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Colbert, Mount, Harter, Witt, dan Barrick (2004) mengungkapkan bahwa kepribadian dapat mempengaruhi individu terhadap persepsi situasional. Pegawai yang terlibat CWB biasanya merespon sebuah situasi yang tidak menyenangkan di tempat kerja, seperti perlakuan atasan

(23)

Sedangkan untuk faktor ekternal menjelaskan karakteristik situasional sebagai pemicu munculnya CWB seperti, karakterisitk pekerjaan, karakteristik kelompok kerja, budaya organisasi, kontrol sistem dan ketidakadilan (Sackett & DeVore, 2001). Faktor eksternal atau karakterisitik situasional menjelaskan bagaimana organisasi mampu menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan mendukung pegawai dalam menjalankan tugas (Marcus dan Schuler, 2004). Robbins dan Judge (2017) mengungkapkan bahwa organisasi yang tidak bisa menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan baik dapat memicu munculnya CWB.

(24)

Robbins dan Judge (2017) menjelaskan bahwa agar dapat mengendalikan karakteristik situasional dengan baik dan terhindar dari CWB maka diperlukannya keterlibatan pihak otoritas. Hal ini dikarenakan pihak otoritas memiliki peran utama untuk bertanggung jawab menjaga lingkungan kerja yang baik dan menjaga hubungan interpersonal secara profesional dengan setiap pegawai. Penelitian yang dilakukan Krings dan Bollmann (2011) mengungkapkan model kepemimpinan adalah kunci pihak otoritas dalam mengendalikan CWB, akan tetapi sangat sulit untuk menentukan model pemimpin seperti apa yang sesuai, karena adanya budaya organisasi dan setiap organisasi memiliki budayanya masing-masing yang berbeda. Budaya organisasi menjelaskan tentang karakteristik dan persepsi pegawai terhadap nilai-nilai organisasi, hal ini berkaitan dengan cara kerja pegawai, interaksi dengan kelompok kerja, dan relasi dengan atasan.

Menurut Dickson, Hartog dan Mitchelson (2003 dalam Goolaup &

Ismayilov, 2011) jarak kekuasaan atau Power Distance merupakan salah satu

dimensi budaya yang paling berpengaruh dalam menganalisis secara

mendalam tentang penelitian kepemimpinan lintas budaya. Selain itu, power

distance sebagai dimensi budaya juga dapat menentukan gaya kepemimpinan

dan perilaku dalam suatu organisasi karena berkaitan langsung dengan harapan

dan distribusi kekuasaan, wewenang serta status. Defisini power distance

dalam konteks pekerjaan menurut Hofstede (2010) adalah sejauh mana

pegawai dapat menerima perbedaan pendistribusian kekuasaan dan status dari

(25)

Perbedaan tersebut telah menunjukkan pengaruh bagaimana seorang pegawai memandang dan bereaksi terhadap sistem otoritas (Lian, Ferris, & Brown, 2012). Penelitian-penelitian terdahulu menggunakan dimensi ini untuk

menganalisis hubungan antara atasan dan bawahan pada organisasi di setiap

negara yang berbeda (Bu, Craig dan Peng 2001 dalam Goolaup & Ismayilov,

2011). Misalnya hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kirkman,

Chen, Farh, Chen dan Lowe (2009) serta Lian, Ferris, dan Brown (2012)

mengungkapkan bahwa orientasi Power Distance yang tinggi seperti di Malaysia dan China, individu akan cenderung bersikap respek, melibatkan pengawasan dari atasan, adanya ketergantungan dari bawahan pada atasan, mengandalkan aturan formal, dan perilaku otokratis lebih umum. Selain itu, pegawai akan cenderung untuk tidak melawan dan tunduk pada keputusan pemimpin (Bochner & Hesketh, 1994 dalam Lian, Ferris & Brown, 2012).

(26)

Berdasarkan pemetaan nilai budaya berdasarkan negara, Indonesia termasuk negara yang memiliki power distance dengan nilai sebesar 78 (Hofstede, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki budaya kerja otokratis, melibatkan pengawasan, ketergantungan dari bawahan kepada atasan, mengandalkan aturan formal dan tunduk kepada keputusan atasan dalam mengendalikan CWB. (Bochner & Hesketh, 1994 dalam Lian, Ferris & Brown, 2012). Hal ini sesuai dengan budaya kerja organisasi pemerintahan.

Berdasarkan modul budaya kerja organisasi pemerintah Supriyadi dan Guno

(2006) mengatakan bahwa salah satu kewajiban dalam bekerja adalah menaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang. Selain itu, atasan memiliki kewajiban dalam mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh bawahan. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa organisasi pemerintahan di Indonesia menggunakan model kepemimpinan yang mengandalkan sistem hierarki dengan menempatkan pihak otoritas sebagai pimpinan tertinggi dalam mengendalikan lingkungan pekerjaan.

(27)

Di samping itu, Frinaldi dan Embi (2011) menunjukkan bahwa PNS di Indonesia masih kuat dipengaruhi budaya kerja etnik. Budaya kerja etnik

merupakan kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini bersama sebagai dasar

membentuk aturan dalam kelompok masyarakat tertentu seperti, PNS yang

bekerja di daerah jawa cenderung bekerja mengikuti prosedur yang sudah baku

dan kaku karena budaya kerja etnik yang berakar pada bangsawan atau priyayi.

Hal tersebut mempengaruhi budaya kerja yang telah ditetapkan oleh

pemerintah. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa walaupun

organisasi telah menetapkan budaya kerja hierarki yang membedakan jabatan

antara atasan dan bawahan, namun hal tersebut bisa saja berubah dengan

budaya kerja etnik yang lebih memandang kesetaraan jabatan dan tidak ada

jarak kekuasaan.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti beranggapan bahwa pemetaan nilai

budaya power distance milik Hofstede (2010) di Indoensia bisa saja berbeda

jika diujicobakan pada PNS yang dipengaruhi oleh budaya kerja etnik. Selain

itu, Coyne, Gentile, Born, Ersoy, dan Vakola (2013) mengungkapkan bahwa

penelitian tentang pengaruh budaya seperti, power distance dan CWB belum

diuji secara luas karena setiap organisasi memiliki budaya kerja yang berbeda.

Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian kembali

tentang power distance dan CWB pada PNS.

Meskipun power distance tinggi dapat mengendalikan CWB melalui pengawasan karakteristik situasional dari pihak otoritas, namun hal tersebut

(28)

Berdasarkan perspektif teori belajar sosial Bandura (1973 dalam Lian, Ferris dan Brown, 2012) pegawai yang patuh terhadap pihak otoritas akan melihat

atasan sebagai role model yang patut untuk ditiru. Hal ini menjadi asumsi

bahwa power distance tinggi bisa memunculkan CWB yang berasal dari atasan.

Misalnya, ketika pihak otoritas mulai tidak konsisten dengan peraturan yang

dibuat dan melanggar peraturan itu sendiri hingga memunculkan CWB,

pegawai akan cenderung menirukan perilaku atasan mereka. Hal ini kemudian berdampak pada anggota organisasi, kemudian memunculkan perselisihan pada antar pegawai.

B. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka diturunkan rumusan masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini yaitu,

“Hubungan antara Counterproductive Work Behavior dan Power Distance

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menguji hubungan Power Distance dan Counterproductive Work Behavior. Penelitian ini akan

(29)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman mengenai hubungan power distance dan counterproductive work behavior pada pegawai negeri sipil dan dapat menjadi salah satu referensi bagi akademis serta penelitian selanjutnya yang memilih topik yang sama.

2. Secara Praktis

(30)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Counterproductive Work Behavior

1. Pengertian Counterproductive Work Behavior

Penyimpangan perilaku di tempatker ja atau Counterproductive Work Behavior (CWB) sebenarnya sudah muncul pada abad ke-19 di eropa yang

cenderung terjadi di negara-negara industri dan kasus yang sering muncul pada masa itu adalah penyimpangan produksi, kemudian Gruys dan Sackett (dalam; Kozlowski & Salas, 2009) pada tahun 1980 mengemukakan kasus penyimpangan perilaku di lingkungan industri dan organisasi sudah banyak terjadi, namun kurangnya bukti penelitian, sehingga penelitian yang dilakukan pada masa itu hanya berfokus pada tingkatan individu dan istilah yang digunakan pada waktu itu adalah counterproductive behavior.

(31)

CWB merupakan tindakan atau kehendak yang secara sadar berpotensi membahayakan organisasi, anggota organisasi atau pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung (Robinson & Bennett, 1995; Fox & Spector, 2010; Fox et al, 2001 ;Klotz & Buckley, 2013; Robbins & Judge; 2017) seperti mencuri, penghancuran harta benda, penyalahgunaan harta benda, penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan waktu dan sumber daya, perilaku tidak aman (tidak mengikuti prosedur keselamatan di tempat kerja), ketidakhadiran atau keterlambatan, pekerjaan berkualitas buruk (sengaja lambat dalam bekerja), penggunaan alkohol di tempat kerja, tindakan verbal yang tidak tepat (melecehkan), dan kekerasan fisik (Gruys, 1999 dalam; Sackett & DeVore 2001). Meskipun dalam beberapa jurnal penelitian memiliki sebutan yang berbeda dengan workplace deviant, namun makna dan karakteristik dengan CWB tetap sama (Mangione & Quinn, 1974 dalam; Robinson & Bennett, 1995)

Sackett dan DeVore (2001) mengungkapkan bahwa terdapat tiga poin penting memahami CWB. Pertama Counterproductive behavior atau perilaku kontraproduktif berbeda dari counterproductivity atau kontraproduktifitas. Counterproductive behavior sebagai suatu hal yang dapat mempengaruhi

(32)

dalam undang-udang sebagaimana fungsi dari organisasi. Jelasnya definisi perilaku kontraproduktif dilihat dari perspektif organisasi. Ketiga, hal penting yang perlu diperhatikan dari perilaku kontraproduktif adalah perilaku yang disengaja. Hal ini karena perilaku tersebut dilakukan secara sadar oleh pegawai dan mempengaruhi hasil dari perilaku di tempat kerja (Sackett & DeVore dalam 2001). Hal ini didukung oleh pendapat Fox dan Spector (2010) yang mengemukakan bahwa kunci dari perilaku kontraproduktif adalah tindakan tersebut memiliki tujuan dan bukan tindakan ketidak sengajaan, pegawai membuat keputusan atau pilihan pada perilaku tersebut yang bertujuan menyakiti atau merugikan.

2. Dimensi Counterproductive Work Behavior

Menurut Robinson dan Bennett (1995) serta Gruys dan Sackett (2003) terdapat dua dimensi dari CWB: Dimensi pertama adalah penyimpangan perilaku organisasi-interpersonal. Dimensi ini menggambarkan CWB yang dialakukan pegawai dengan ditargetkan pada organisasi atau individu. Sedangkan dimensi kedua adalah merepresentasikan sebuah kontimun atau tingkat keparahan dari penyimpangan perilaku dari yang ringan hingga serius. Jika diuraikan lagi, dimensi pertama dapat dibedakan menjadi dua bentuk spesifik ke dalam CWB, yaitu Counterproductive Work Behavior Organization yang menargetkan pada organisasi dan Counterproductive Work Behavior Interpersonal yang menargetkan pada individu (Klotz & Buckley, 2013). CWB

(33)

melibatkan organisasi sebagai objek sasaran (Greenberg, 1990 dalam; Klotz & Buckley, 2013). Selain itu, CWB organisasi dibagi menjadi dua jenis yaitu, penyimpangan properti dan penyimpangan produksi (Robinson dan Bennett, 1995). Penyimpangan properti dapat didefinisikan sebagai sebuah perilaku perusakan properti atau aset milik perusahaan. Sedangkan penyimpangan produksi merupakan sebuah tindakan yang merugikan secara langsung dan dapat terlihat dengan jelas atau bagaimana pegawai melakukan suatu pekerjaan secara efektif atau tidak, singkatnya penyimpangan produksi lebih melihat performa pada pegawai di tempat kerja (Hollinger & Clark, 1982 dalam; Klotz & Buckley, 2013).

Sedangkan CWB interpersonal merupakan perilaku yang mengancam atau membahayakan pegawai lainnya baik secara fisik maupun psikologis yang berada di organisasi yang sama seperti, mengucapkan kata-kata kasar, mengejek dan kekerasan (Klotz & Buckley, 2013).

Walaupun ada dua aspek antara CWB organisasi dan individu, namun untuk mendefinisikan yang sering dipakai secara umum mengacu pada organisasi. Hal ini dikarenakan kejelasan bahwa sebuah penyimpangan perilaku dapat dilakukan semua pegawai dalam setting organisasi (Sackett & Devore, 2001). Berdasarkan hal tersebut Sackett dan DeVore (2001) mengkategorikan 11 contoh perilaku yang dianggap sebagai CWB :

(34)

b. Menghancurkan properti (Mengotori, merusak atau menghancurkan properti, mensabotase proses produksi)

c. Penyalahgunaan informasi (Menyebarkan informasi yang bersifat rahasia)

d. Menyalahgunaan waktu dan sumberdaya (Membuang-membuang waktu atau menjalani bisnis pribadi dengan memanfaatkan sumber daya kantor)

e. Perilaku tidak aman (Tidak mengikuti prosedur keamanan)

f. Rendahnya kualitas kehadiran (Absen tanpa alasan, keterlambatan) g. Rendahnya kualitas kerja (Sengaja bekerja dengan gegabah) h. Menkonsumsi alkohol (menkonsumsi alkohol saat jam kerja)

i. Penggunaan narkoba (Memiliki, menggunakan dan menjual narkoba saat jam kerja)

j. Penggunaan verbal yang tidak sesuai norma (Berdebat, mengusik, atau mengganggu rekan kerja)

k. Tindakan kekerasan terhadap fisik (Menyerang rekan kerja secara fisik saat jam kerja)

(35)

a. Penyimpangan produksi (organizational ± minor) :

Merupakan bentuk minor dari perilaku menyimpang yang terarah langsung pada organisasi, seperti kesengajaan bekerja dengan lambat. b. Penyimpangan politik (interpersonal ± minor) :

Merupakan bentuk penyimpangan perilaku minor yang mengarah pada individu, seperti saling menyalahkan orang lain

c. Penyimpangan properti (organizational ± serious) :

Merupakan bentuk penyimpangan perilaku serius yang bersifat membahayakan isi dari organisasi itu sendiri, seperti pencurian dan sabotase

d. Agresi personal (interpersonal ± serious) :

Merupakan bentuk penyimpangan perilaku serius bersifat interpersonal yang berpotensi membahayakan rekan kerja, seperti pelecehan dan kekerasan fisik.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Counterproductive Work

Behavior

Hollinger (1986 dalam Sackett & DeVore, 2001) menyatakan bahwa

terdapat dua dimensi penting sebagai titik awal dalam menentukan

faktor-faktor yang dapat memunculkan penyimpangan perilaku di tempatkerja yaitu,

perilaku individu dan kerangka waktu. Perilaku individu menyatakan minat

atau ketertarikan pada individu dalam melakukan sesuatu. Sedangkan

kerangka waktu menyatakan jangka waktu individu melakukan sesuatu.

(36)

tersebut jika dikombinasikan akan memunculkan sebuah kontinum distal dan

proksimal.

Kontinum distal mencangkup fitur situasional, jangka waktu panjang

dan merupakan pusat seperti, kepribadian, karakteristik pekerjaan, norma

kelompok, kebijakan dan praktik organisasi, serta sistem kontrol. Sedangkan

kontinum proksimal mencangkup perspektif individu, jangka waktu pendek,

dan merupakan output dari kontinum distal seperti, suasana hati, ketidakadilan,

kebutuhan, dan penerimaan di lingkungan pekerjaan. Berdasarkan rumusan

tersebut Sackett dan DeVore (2002) menyimpulkan bahwa kontinum distal

mengambil peran penting untuk mengetahui faktor-faktor penyimpangan

perilaku di tempat kerja, sedangkan kontinum proksimal hanya output dari

kontinum distal.

Setelah itu, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat

memunculkan penyimpangan perilaku di tempatkerja, sackett dan DeVore

(2002) mengadaptasi kerangka milik Robinson dan Greenberg (1998 dalam

Sackett & DeVore, 2002) tentang tiga kategori mengenai, faktor individu

(kepribadian dan demografi), sosial-interpersonal (norma-norma

penyimpangan), dan faktor organisasi (kebijakan organisasi) serta kerangka

milik Griffin et. al. (1998) yaitu, evaluatif individual, karakteristik patologis,

norma organisasi dan kelompok, budaya, sistem penghargaan, dan sistem

kontrol. Berdasarkan hal tersebut, berikut merupakan kesimpulan dari

(37)

1. Faktor Kepribadian

Spector dan Fox (2014) berpendapat bahwa kepribadian sangat memainkan peran penting dalam CWB. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sackett dan DeVore (2001) mengungkapkan bahwa adanya hubungan antara dimensi kepribadian Big Five Personality sebagai muncul CWB Teori Big Five membagi kepribadian menjadi lima dimensi yaitu, dimensi Openess merupakan dimensi yang mengukur tingkat penyesuaian, Conscientiousness mengukur tingkat kehai-hatian, Extraversion mengukur tingkat keterbukaan, Agreeableness mengukur tingkat keramahan dan Neuroticism megukur

tingkat kecemasan (Sackett dan DeVore, 2001).

Penelitian yang dilakukan Sackett dan DeVore (2001) menunjukkan bahwa dimensi Conscientiousness dan Agreeablenes adalah dimensi dapat memunculkan CWB. Hal ini berkaitan dengan cara dan sejauh mana seorang individu berkontribusi serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan organisasi dalam mencapai tujuan.

2. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)

(38)

dan umpan balik pekerjaan dapat memengaruhi kondisi psikologis seorang pegawai yang dikarenakan cara respon pegawai terhadap model tersebut seperti, makna yang diambil dari pekerjaan, tanggung jawab yang diambil dari hasil pekerjaan. Hal tersebut kemudian memunculkan serangkaian hasil; kinerja, kepuasan, motivasi, bahkan dapat memunculkan penyimpangan perilaku seperti, ketidakhadiran dan turnover (Sacket dan DeVore, 2001).

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa dari cara respon pegawai terhadap model pekerjaan dapat mengubah hasil pekerjaan yang bersifat baik menjadi menyimpang, seperti yang diungkapkan Robbins dan Judge (2017) bahwa salah satu faktor munculnya CWB dikarenakan ketidakpuasan di tempatkerja. Pegawai yang tidak merasa puas dengan hasil pekerjaannya akan cenderung memunculkan perasaan akan frustasi, kemudian menurunkan kinerja dan pada akhirnya akan mengarah pada penyimpangan perilaku.

3. Karakteristik kelompok Kerja (Work Group Characteristic)

(39)

baru cenderung untuk mengobservasi rekan kerja mereka untuk melihat semua tindakan serta konsekuensi dari tindakan tersebut, jika dalam lingkungan tersebut sangat mudah dalam melakukan penyimpangan perilaku, akan menjadi lebih mudah untuk penyebaran penyimpangan perilaku untuk pegawai yang lain.

4. Budaya Organisasi (Organizational Culture)

Meskipun ada kesamaan antara pengaruh kelompok dan budaya

organisasi dalam arti bahwa keduanya merupakan pengaruh sosial

pada individu di tempat kerja, budaya adalah fenomena yang lebih

luas, dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kelompok kerja langsung

(Sacket & DeVore, 2001) Selain itu, penelitian lainnya menambahkan

bahwa pegawai akan cenderung melakukan penyimpangan perilaku di

tempat kerja dikarenakan ketidakcocokan di tempatkerja atau bekerja

dalam budaya organisasi yang tidak sesuai. Setiap organisasi memiliki

norma-norma tersendiri yang tidak terlihat dan secara tidak langsung

mempengaruhi perilaku kerja pegawainya serta memiliki dampak yang

berkelanjutan, seperti ketika lingkungan organisasi yang

memungkinkan seorang pegawai untuk melakukan absen, kemudian

perilaku tersebut menjadi intens dan mempengaruhi pegawai yang

(40)

5. Kontrol sistem (Control System)

Kontrol sistem merupakan prosedural di tempat kerja yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya penyimpangan perilaku di tempatkerja melalui pengawasan yang dilakukan oleh atasan (Sackett & Devore, 2001). Kontrol sistem yang paling umum di tempatkerja adalah di sektor keamanan seperti, aplikasi komputer, buku catatan keuangan, dan catatan kehadiran.

6. Ketidakadilan (Injustice)

Ketidakadilan mengacu pada teori kesetaraan yang menjelaskan bahwa seseorang di tempat kerja akan membandingkan imbalan yang mereka dapat dengan orang lain. Jika imbalan yang diberikan tidak proporsional dengan alasan yang kurang jelas, hal tersebut akan memunculkan persepsi ketidakadilan (Greenberg 1990 dalam; Sackett & DeVore, 2001). Seseorang yang memiliki persepsi ketidakadilan biasanya akan menurunkan kepuasan dalam bekerja dan memunculkan emosi negatif seperti marah, kemudian menghasilkan stres kerja (Spector & Fox, 2010).

Sackett dan DeVore (2001) mengungkapkan bukan hanya stres

kerja yang akan dialami oleh pegawai, namun bisa lebih parah lagi

seperti, agresi, permusuhan pada rekan kerja, sabotase, hal tersebut

tentunya sangat berbahaya untuk organisasi. Perlu dipertimbangkan

(41)

keadilan di tempat kerja. Diketahui bahwa terdapat dua jenis keadilan

yaitu, keadilan distributif mengacu pada alokasi hadiah atau hubungan

yang adil. Kedua adalah keadilan prosedural mengacu pada keadilan

dalam membuat keputusan (Spector & Fox, 2010).

B. Power Distance

1. Pengertian Power Distance

Power Distance merupakan salah satu dimensi budaya yang dikemukakan

oleh Hofstede yang bertujuan untuk memahami nilai-nilai budaya di berbagai negara. Dimensi budaya Hofstede yaitu, Power distance, Individualism, Collectivism, Masculinity, Femininity, Uncertainty Avoidance (Hofstede, 2010,

Robbins & Judge, 2017). Istilah Power Distance sendiri pertama kali dikemukakan secara umum mengacu pada tanggapan individu tentang pandangan ketidaksetaraan di masyarakat. Ide awal tentang teori ini bermula dari para filsuf dan ilmuwan zaman dahulu yang secara eksplisit melihat adanya keinginan di masyarakat untuk dipandang tinggi di lingkungan sosial dan perasaan ingin dihormati yang berkaitan dengan budaya tertentu.

(42)

sosial, pendidikan dan jabatan penerimaan perbedaan tingkat kekuatan atau hierarki secara tidak merata (Hofstede 2010; Chao, Cheung, & Wu, 2011; Robbins, & Judge, 2017).

. Kirkman dan Saphiro (2001 dalam; Hofstede, 2010) menambahkan bahwa nilai-nilai budaya terkait power distance mempunyai tempatnya masing-masing dalam kelompok sosial tertentu seperti, orangtua dan anak dalam konteks keluarga, guru dan murid atau senior dan junior dalam konteks sekolah, bos dan pegawai biasa dalam konteks pekerjaan.

Power distance pada konteks pekerjaan pertama kali muncul karena pesatnya pertumbuhan dan perbedaan tenaga kerja di Amerika (Czinkota & Ronkai, 2005 dalam; Kirkman et. al 2009). Hofstede (2010) juga menambahkan bahwa Power Distance terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau jabatan terhadap hubungan atasan dan bawahan.

2. Karakteristik Power Distance di Tempat Kerja

(43)

power distance rendah. Berdasarkan hal tersebut Hofstede (2010) kemudian

membedakan pandangan tersebut yang menerapkan pentingnya ketidaksetaraan atau disebut power distance tinggi dan power distance rendah yang memandang pentingnya kesetaraan khususnya pada konteks tenaga kerja.

a. Power Distance Tinggi

Orientasi pada power distance tinggi cenderung menunjukkan tingginya ketidaksetaraan dan rendahnya toleransi, seperti tingkatan kasta. Pada lingkungan pekerjaan dengan orientasi Power Distance tinggi akan memunculkan hirarki dalam organisasi mencerminkan ketimpangan eksistensial antara lebih tinggi dan tingkat yang lebih rendah. Selain itu, Sentralisasi sangat populer dalam organisasi, sehingga akan memunculkan pengawasan lebih banyak terhadap pekerjaan tiap pegawai (Hofstede, 2010).

(44)

b. Power Distance Rendah

Sedangkan orientasi pada Power Distance yang rendah mengindikasikan kuatnya relasi antara atasan-bawahan dan adanya tingkat kesetaraan (Clugston et al. 2000 dalam; Chao et al 2011). Pada lingkungan pekerjaan dalam situasi Power Distance yang rendah, bawahan dan atasan mempertimbangkan satu

(45)

Perbedaan lengkap antara orientasi Power Distance tinggi dan rendah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.

Perbedaan Power Distance rendah dan Power Distance tinggi di tempat kerja

Power Distance Rendah Power Distance Tinggi

- Hirarki dalam organisasi merupakan suatu ketidaksetaraan dan ditetapkan hanya untuk kenyamanan

- Desentralisasi sangat populer - Pengawasan lebih sedikit

- Gaji antara atasan dan bawahan biasanya tidak berbeda jauh

- Manajer bergantung pada pengalaman dan bawahan mereka

- Bawahan berharap untuk terlibat dalam konsultasi

- Bos yang ideal lebih mengutamakan demokrasi

- Hubungan atasan-bawahan adalah pragmatis

- Hak istimewa dan simbol status lebih disukai

- Pekerja manual memiliki status yang sama dengan pekerja kantor

- Hirarki dalam organisasi mencerminkan ketimpangan eksistensial antara lebih tinggi dan tingkat yang lebih rendah.

- Sentralisasi sangat populer - Pengawasan lebih banyak

- Gaji antara atasan dan bawahan sangat berbeda

- Manajer mengandalkan atasan dan aturan formal

- Bawahan berharap diberitahu apa yang harus dilakukan

- Bos ideal adalah orang yang otokrat - Hubungan atasan-bawahan adalah

emosional

- Hak istimewa dan simbol status normal dan populer

(46)

3. Power Distance Index

Power distance index atau PDI merupakan alat ukur yang dibuat oleh

Hofstede pada tahun 1970 untuk mengukur sejauh mana masyarakat, organisasi dan lembaga (seperti keluarga) menerima kekuasaan tidak secara merata (Hofstede, 2010), kemudian membandingkannya dengan negara-negara lain. Hofstede melakukan penelitian kepada 116.000 karyawan di 40 negara untuk melihat nilai-nilai budaya dalam organisasi (Robbins & Judge, 2017). PDI terbagi menjadi tiga pertanyaan survei yaitu:

a. Apakah bawahan merasa takut ketika menyampaikan pendapat kepada atasan

b. Persepsi bawahan terhadap atasan mereka terkait gaya pengambilan keputusan, apakah autokrat ataukah paternalistik

c. Pilihan atau harapan bawahan terhadap atasan terkait gaya pengambilan keputusan, apakah autokrat atau paternalistik.

(47)

C. Karakteristik Pegawai Negeri Sipil

Pegawai Negeri Sipil atau PNS adalah mereka yang sudah layak dalam memenuhi syarat-syarat dan diangkat oleh pejabat yang berwenang melalui pelatihan kedinasan yang kemudian diserahi tugas berdasarkan peraturan perundang-udangan. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas No. 8 tahun 1974, dikatakan bahwa PNS wajib mencapai tujuan nasional dengan menjadi masyarakat yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, adil dan bermoral tinggi (Republik Indonesia, 2010).

(48)

jabatan tertinggi dan peran bertanggung jawab dalam mengendalikan setiap aspek dalam lingkungan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Krings dan Bollmann (2011) mengungkapkan bahwa solusi yang paling mudah dalam mengendalikan penyimpangan perilaku adalah dengan menciptakan peraturan organisasi. Selain itu, pihak otoritas juga mempunyai peran penting dalam bertanggung jawab mengontrol dan mengawasi setiap aspek dalam organisasi termasuk bawahannya agar peraturan yang dibuat tidak dilanggar, dengan begitu organisasi dapat mengurangi tingkat penyimpangan perilaku di tempat kerja.

D. Dinamika Hubungan

Power Distance merupakan perbedaan jarak kekuatan atau ketidaksetaraan

tingkatan dalam lingkup sosial. Pada lingkungan pekerjaan power distance diartikan sebagai perbedaan kekuatan atau jabatan antara atasan dan bawahan (Hofstede, 2010). Beberapa peneliti percaya bahwa orientasi Power Distance dapat memengaruhi hubungan terhadap otoritas dan organisasi dilihat dari prosedur keadilan di tempat kerja terhadap para pegawai, baik itu hubungan membangun maupun merusak (Wang, Mao, Wu, & Liu, 2012; Lee, Pillutla, & Law, 2000; Lian, Ferris, & Brown, 2012).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rhoades dan Eisenberger (2002) mengemukakan bahwa organisasi yang berorientasi pada power distance rendah memiliki hubungan yang kuat antara atasan dan bawahan serta

(49)

secara tidak adil bawahan akan cenderung untuk melakukan protes. Penelitian yang dilakukan oleh Krings dan Bollmann (2011) mengatakan bahwa rendahnya keadilan dalam organisasi adalah stimulus CWB yang kuat. Ketika bawahan diperlakukan tidak adil oleh atasan mereka seperti, ketidakadilan dalam hal gaji, bawahan akan memunculkan respon negatif seperti marah. Jika hal tersebut dibiarkan dan tidak adanya penanganan, hal tersebut akan berubah menjadi pembalasan dendam melalui CWB seperti, sabotase dan permusuhan pada rekan kerja (Sackett dan DeVore, 2001).

Sedangkan untuk organisasi yang memiliki orientasi power distance tinggi, adanya ketidaksetaraan jabatan antara atasan dan bawahan dalam organisasi. Ketika dalam situasi pegawai mengalami pelanggaran janji atau sesuatu yang tidak terpenuhi dari atasan, para pegawai akan menerima perlakuan tersebut dan tidak protes (Hofstede, 2010). Hal ini dikarenakan dalam budaya organisasi power distance tinggi adanya kepercayaan bahwa pihak otoritas memiliki jabatan tinggi dan kekuasaan yang besar. Selain itu, bawahan memiliki keterbatasan berinteraksi dengan pihak otoritas, karena juga kepercayaan bahwa apa yang dilakukan oleh pihak otoritas adalah sesuatu yang menguntungkan buat bawahan (Chao et. al 2011)

(50)

organisasi dan kurang menerima perlakuan sewenang-wenang dari atasan maupun dari organisasi (Lam, Schaubroeck & Aryee, 2002)

Pengertian CWB sendiri merupakan perilaku pegawai berdasarkan kehendak sendiri yang melanggar norma-norma organisasi yang menyebabkan kerusakan pada organisasi dan pihak terkait. Adanya norma-norma tersebut karena dibentuk oleh kelompok dan budaya organisasi itu sendiri dan didefinisikan oleh manajemen sebagai organisasi dominan yang ditentukan oleh kebijakan, aturan, dan standar formal maupun informal. Artinya norma itu dibuat oleh pihak otoritas terhadap organisasi itu sendiri sebagai batasan-batasan dalam beperilaku supaya diharapakan terhindar dari CWB (Hollinger, 1986 dalam; Robinson & Bennett, 1995).

Menurut Sackett dan DeVore (2001) kelompok dan budaya organisasi juga mempunyai pengaruh pegawai dalam bekerja. Robbins dan Judge (2017) menambahkan bahwa pegawai akan cenderung melakukan CWB di tempat kerja dikarenakan ketidakcocokan di tempat kerja atau bekerja dalam budaya organisasi yang tidak sesuai.

(51)

akan mengarah pada CWB (Diefendorff dan Mehta, 2007; Krischer et al, 2010).

Krings dan Bollmann (2011) mengungkapkan bahwa efektivitas kebijakan,

aturan, standar formal maupun informal dari kelompok dan budaya organisasi

bergantung pada konsistensi dari pihak otoritas. Cara pihak otoritas

mengendalikan konsistensi tersebut dengan melakukan pengawasan atau

kontrol sistem (Sackett & DeVoure, 2001), karena pengawasan merupakan

kunci dalam pengendalian norma organisasi dan mengantisipasi munculnya

CWB. Sama. Pada organisasi power distance rendah biasanya pihak otoritas

kurang melibatkan pengawasan dalam mengontrol norma. Hal ini dikarenakan

norma tersebut dibuat untuk kenyaman dan suatu saat dapat diubah. Berbeda

dengan power distance tinggi yang lebih banyak melibatkan pengawasan,

karena organisasi bersifat sentralisasi dan pihak otoritas lebih mengarapkan

aturan formal (Hofstede, 2010).

Selain itu, Hofstede (2010) juga mengungkapkan bahwa dalam organisasi

power distance tinggi atasan lebih directive dan mengawasi secara langsung

ketika memberikan tugas kepada bawahan. Hal ini dikarenakan integritas

atasan sebagai pihak otoritas yang mampu mengontrol seluruh organisasi.

Sackett dan DeVoure (2001) mengungkapkan bahwa karakterisitk pekerjaan

memiliki keterlibatakan dengan CWB. Hal ini berkaitan dengan jenis tugas,

kejelasan tugas, otonomi, dan umpan balik. Penelitian yang dilakukan oleh

Krings dan Bollman (2011) mengungkapkan bahwa kendali karakteristik

(52)

secara langsung dan mampu memberikan rekomendasi yang jelas tentang apa

yang benar dan salah serta mampu mempraktekkan hal tersebut.

E. Skema hubungan Power Distance dan CWB

Gambar 1.

(53)

F. Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan dalam populasi antara variabel Power Distance dan Counterproductive Work Behavior pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kantor Walikota Yogyakarta

(54)

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dan metode survei. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang menekankan analisis pada data-data yang bersifat numerikal. Pada dasarnya, penelitian dengan pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial atau cakupan semua metode yang berhubungan dengan analisis sebagian data dan menarik hasil kesimpulan pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil (Azwar, 2012). Sedangkan penelitian survei merupakan pengumpulan data dengan cara menyebarkan pertanyaan yang berjenis pertanyaan survei untuk kasus-kasus yang populasinya relatif besar. Tujuan dari pertanyaan survei ini untuk mengumpulkan informasi tentang variabel (Sunariah & Kasmadi, 2013)

B. Identifikasi Variabel Penelitian

(55)

1. Variabel terikat : Counterproductive Work Behavior

2. Variabel bebas : Power Distance

C. Definisi Operasional Penelitian

1. Counterproductive Work Behavior

Counterproductive Work Behavior didefinisikan sebagai perilaku yang

secara sengaja menyalahi atau melanggar norma organisasi secara signifikan dan mengancam kesejahteraan organisasi maupun anggota yang lainnya atau pun keduanya (Robinson & Bennett, 1995). Variabel ini diukur dengan mengadaptasi skala tentang workplace deviant yang dibuat oleh Robinson dan Bennett (2000). Semakin tinggi skor pada Counterproductive Work Behavior menunjukkan bahwa semakin tinggi juga tingkat penyimpangan perilaku di tempat kerja. Sebaliknya, jika skor Counterproductive Work Behavior rendah menunjukkan bahwa rendahnya penyimpangan perilaku di tempat kerja.

2. Power Distance

Definisi Power Distance merupakan ketidaksetaraan kekuatan atau jabatan yang dapat memengaruhi hubungan antara atasan dan bawahan. Pengukuran Power Distance mengadaptasi tiga pertanyaan survei yang dibuat oleh

(56)

bahwa adanya jarak yang sangat tinggi antara atasan dan bawahan. Sebaliknya, jika semakin rendah tingkat skor PDI menunjukkan bahwa rendahnya jarak antara atasan dan bawahan.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan sumber utama dalam sebuah penelitian, yang memiliki data mengenai variabel yang akan diteliti. Subjek penelitian pada dasarnya akan memberikan sebuah kesimpulan pada suatu penelitian (Azwar, 2012).

Teknik pengambillan data pada penelitian ini menggunakan metode convenience sample, yang merupakan pengambilan sample dipilih berdasarkan

kemudahan dan ketersediaan peneliti untuk mengaksesnya (Creswell, 2009; dalam supratiknya, 2015). Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP), serta Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPMP) Kantor Walikota Yogyakarta dengan kriteria laki-laki maupun perempuan dan memiliki pengalaman kerja minimal 3 tahun untuk melihat pengalaman kerja subjek dan relasi dengan atasan.

E. Instrumen Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

(57)

sesuai dari responden (Sunariah & Kasmadi, 2013). Selain itu, menurut (Sugiyoni, 2012) kuesioner cocok digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar di wilayah yang luas.

Penelitian ini menggunakan skala likert dalam menentukan format item. Skala likert merupakan pernyataan atau pertanyaan yang disusun dalam rangka mengukur atribut psikologis tertentu. Responden diminta untuk menyatakan kesetujuan-ketidaksetujuannya dalam sebuah kontinum. Jawaban subjek terhadap setiap item pada dasarnya merupakan rating atau penilaian yang kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan pengukuran tentang sikap subjek terhadap objek psikologis atau taraf kepemilikan subjek (Supratiknya, 2014).

2. Alat Pengumpulan Data

a. Skala Counterproductive Work Behavior (CWB)

(58)

Tabel 2.

Distribusi skala Counterproductive Work Behavior sebelum try out

Dimensi Sebaran Item Jumlah Item

Interpersonal 1,2,3,4,5,6,7 7 Item

Organisasi 8,9,10,11,12,13,14,15,16,17, 18, 19

12 Item

Jumlah 19 Item

Skala CWB menggunakan 7-point likert, kemudian subjek diminta untuk memilih tujuh pilihan jawaban dari tiap pernyataan yang telah disediakan. Setiap pilihan jawaban melihat intensitas penyimpangan perilaku di tempat kerja: (1) Tidak pernah, (2) Sekali setahun, (3) Dua kali setahun, (4) Beberapa kali setahun, (5) Setiap bulan, (6) Setiap minggu, (7) Setiap hari (Robinson & Bennett, 2000).

b. Skala Power Distance

(59)

Tabel 3.

Distribusi item skala Power Distance sebelum try out

Dimensi Sebaran Item Jumlah Item

Takut terhadap atasan 1,2 2 Item

Persepsi gaya

kepemimpinan (Autokrat atau paternalistik)

3,4,5,6 4 Item

preferensi terhadap gaya kepemimpinan

7,8,9,10 4 Item

Jumlah 10 Item

Skala Power Distance menggunakan 5-point skala likert. Skala ini memiliki 5 pilihan alternatif jawaban pada setiap item, yaitu : Sangat Tidak Sering (STS), Tidak Sering (TS), Ragu-Ragu (RG), Sering (S), dan Sangat Sering (SS) (Lee, Pillutla, & Law, 2000).

(60)

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Validitas

Validitas merupakan sebuah kualitas esensial yang menunjukkan seberapa jauh suatu tes sungguh-sungguh dalam mengukur atribut psikologis yang hendak diukur. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode validitas isi atau content validity. Validitas isi adalah kesesuaian isi dan konstruk yang diukur dalam suatu tes dengan menggunakan analisis logis dan empiris. Validitas isi juga dapat diperoleh dari penilaian para ahli atau atau expert judgement terhadap kesesuaian tes dan konstruk yang diukur (Supratiknya,

2014)

Sebelum peneliti melakukan expert judgement, terlebih dahulu peneliti melakukan back translate atau penerjemahan kembali. Hal ini dikarenakan skala yang dipakai merupakan skala adaptasi dengan bahasa yang berbeda yaitu, bahasa inggris. Peneliti meminta bantuan kepada lembaga bahasa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk membantu menerjemahkan skala yang akan diadaptasi.

(61)

Setelah itu, peneliti menerima hasil terjemahan tersebut melalui email. Peneliti kemudian membandingkan kedua skala yang sudah diterjemahkan untuk melihat konsistensi makna bahasa. Setelah itu, peneliti kemudian meminta bantuan expert judgement atau penilaian dari para ahli untuk menilai validasi skala penelitian. Expert judgement yang dimaksud adalah dosen pembimbing skripsi.

2. Daya Diskriminasi Item

Setelah divalidasi, kedua skala tersebut diuji cobakan atau try out pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kantor Walikota Yogyakarta. Uji coba skala dilakukan pada tanggal 13 Juli 2018 sampai 20 Juli 2018 dengan jumlah 30 subjek. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk melihat kualitas dan kelayakan item-item yang membentuk skala yang bersifat homogen dan memiliki daya diskriminasi yang baik, cara yang digunakan untuk mengetahui kelayakan sebuah item-item adalah dengan menggunakan korelasi item-total. Statistik ini menjamin homogenitas tes sebagai kesatuan dengan cara menunjukkan konstruk atau isi yang sedang diukur (Supratiknya, 2014).

Angka koefisien korelasi item total yang digunakan untuk memastikan bahwa item tersebut memenuhi syarat adalah Rit < 0.25. Jika item-item yang

sudah diolah secara statistik dan nilai Rit< 0.25 berarti item tersebut memiliki

(62)

memenuhi syarat, sehingga perlu digugurkan atau dilakukan perbaikan item dan diuji coba ulang (Azwar, 2009, 2012)

Pada skala CWB terdapat 19 item pernyataan. Dari hasil uji korelasi item-total yang dilakukan diketahui bahwa terdapat dua item memiliki nilai Rit <

0.25 (item 4 = 0.20; item 17 = 0.00), sehingga kedua item tersebut terpaksa digugurkan. Pada skala power distance terdapat 10 item pernyataan. Berdasarkan hasil uji coba korelasi item-total yang sudah dilakukan, terdapat dua item yang memiliki nilai Rit < 0.25 (item 9 = 0.23; item 10 = 0.22). Kedua

item ini kemudian diperbaiki dan akan diuji coba ulang dengan pertimbangan mendekati nilai Rit> 0.25.

3. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan ketepatan pengukuran tanpa menghiraukan atribut apa yang diukur (Nunnaly, 1974 dalam; Supratiknya, 2014). Secara psikometrik reliabilitas menunjukkan dua ciri dalam pengukuran statistic, yaitu (1) Self-Consistency atau konsistensi internal, yaitu konsistensi antar bagian-bagian

(63)

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan didapati bahwa skala CWB memiliki nilai α = 0.932. Selain itu, skala ini menguji reliabilitas dari masing-masing dimensi untuk mengetahui kecenderungan sasaran terhadap penyimpangan perilaku (Robinson & Bennett, 2000). Berdasarkan hasil uji statistik didapati nilai alpha cronbach sebagai berikut: Skala Interpersonal α = 0.874, Skala Organisasi α = 0.926. hal ini menunjukkan bahwa skala CWB layak untuk digunakan. Sedangkan pada skala Power Distance didapat memiliki nilai α = 0.814. hal ini berarti bahwa skala Power Distance juga layak untuk digunakan.

G. Teknik Analisis Data

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

(64)

normal yang harus dihitung menggunakan statistik non-parametrik (sugiyono, 2012).

b. Uji Linearitas

Uji linearitas digunakan sebagai persyaratan dalam analisis linear yang menyatakan bahwa hubungan antar variabel yang diteliti mengikuti garis lurus dan dikatakan linear jika nilai p < 0.05 (Santoso, 2010). Selain itu, Pengujian linearitas dalam penelitian ini juga menggunakan grafik scatter plot SPSS 23 for windows.

Alasan peneliti menggunakan cara ini karena manfaat dari scatter plot memberikan gambaran secara jelas dan langsung dalam

bentuk grafik dengan memperkirakan seperti apa bentuk hubungannya; kuadratik, kubik atau logaritma. Selain itu, grafik scatter plot dapat menginformasikan peneliti mengenai data yang

outlier atau data yang menyimpang. Dikatakan liner jika titik-titik pada grafik membentuk garis lurus (Santoso, 2010).

2. Uji Hipotesis

(65)

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode statistik product moment pearson jika data diuji normalitas terdistribusi secara normal.

(66)

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian mulai dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2018 sampai tanggal 16 Agustus 2018 dengan meminta bantuan kepada pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja di Pemerintah kota Yogyakarta. Peneliti menyebarkan skala ke dua instansi yang berbeda yaitu, Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) dan Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPMP). Total skala yang disebar sebanyak 70.

Sebelumnya peneliti meminta izin terlebih dahulu kepada kepala instansi BKPP dan sekretariat DPMP. Setelah itu, peneliti membuat surat izin dan memberikannya kepada instansi yang terkait. Peneliti membagikan 35 skala untuk BKPP dan 35 skala untuk DPMP.

(67)

B. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di kantor walikota pada Dinas Penanaman Modal dan Perizinan (DPMP) dan Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) pemkot Yogyakarta. berdasarkan penyebaran skala yang sudah dilakukan, berikut adalah tabel deskripsi subjek:

Tabel 4.

Deskripsi Subjek

Kriteria Jumlah Presentase

(68)

Peneliti kemudian mendeskripsikan data tersebut dengan menghitung rata-rata, mean, modus dan standar deviasi menggunakan analisis statistik SPSS for windows versi 23. Tujuan dari analisis ini untuk mengetahui besarnya kecenderungan subjek pada setiap variabel terikat (Counterproductive Work Behavior) maupun variabel bebas (Power distance). setelah itu, peneliti akan membandingkan nilai mean empiris dan mean teoritis dari masing-masing variabel dengan cara melakukan uji one sample test.

1. Hasil perhitungan mean teoritis skala Power distance. Jumlah item : 10

Nilai Minimum : 10 x 1 = 10 Nilai Maksimum : 10 x 5 = 50 Rentang nilai : 10 - 50 Jarak : 50 – 10 = 40

Mean Teoritik : (min + max) / 2 = (10 + 50) / 2 = 60 / 2 = 30

2. Hasil perhitungan mean teoritis skala Counterproductive Work Behavior. Jumlah item : 17

Nilai Minimum : 17 x 1 = 17 Nilai Maksimum : 17 x 7 = 119 Rentang nilai : 17 - 119 Jarak : 119 - 17 = 102

(69)

Tabel 5.

Deskripsi Statistik variabel Power distance dan CWB

N SD

Uji beda mean teoritik dan empiris variabel Power distance

One-Sample Test memiliki nilai signifikansi sebesar 0.000. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara mean teoritis dan mean empiris pada variabel Power distance. Pada hasil perhitungan didapatkan hasil mean teoritis sebesar 30,

(70)

dalam penelitian ini memiliki kecenderungan Power distance yang tergolong tinggi.

Tabel 7.

Uji beda mean teoritik dan empiris variabel CWB One-Sample Test

Test Value = 68

T df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

CWB -23.529 49 .000 -44.400 -48.19 -40.61

Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil nilai signifikansi sebesar 0.000. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan secara signifikan antara mean teoritis dan mean empiris pada skala Counterproductive Work Behavior. Pada mean teoritis didapatkan hasil sebesar 68, sedangkan pada mean empiris didapatkan hasil sebesar 23.60. Data tersebut menunjukkan bahwa mean empiris lebih kecil dibandingkan mean teoritis, berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa subjek dalam

(71)

C. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan SPSS for windows versi 23 dan dilakukan dengan teknik kolmogorov-smirnov. Data dinyatakan terdistribusi secara normal jika memiliki nilai p > 0.05. Berikut merupakan tabel hasil uji normalitas:

Tabel 8.

Uji Normalitas CWB Dan Power Disatnce

Skala

(72)

b. Uji Linearitas

Uji linearitas digunakan untuk mengetahui apakah hubungan antar variabel terletak pada satu garis lurus atau linear. Uji linearitas digunakan sebagai syarat analisis korelasi. Dikatakan memiliki hubungan yang linear apabila nilai signifikansi lebih dari 0.05 (p < 0.05) (Sunariah & Kasmadi, 2013).

Peneliti juga menggunakan grafik scatter plot untuk melihat linearitas antar variabel. Alasan peneliti menggunakan cara ini adalah untuk melihat secara langsung hubungan antar variabel apakah linear atau tidak. Selain itu, dapat mengecek outlier dalam data penelitian (Santoso, 2010).

Penentuan posisi satu titik didasarkan pada besarnya nilai dari variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas akan digambarkan dengan sumbu x, sedangkan variabel terikat digambarkan dengan sumbu y (Santoso, 2010).

Tabel 9.

Uji Linearitas Power distance dan CWB

F Linearity Sig.

(73)

Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel power

distance dan CWB linear p = 0.23 (p < 0.05). Akan tetapi, pada tabel

Deviation from Linearity menunjukkan kedua variabel tidak signifikan p = 0.04

(p > 0.05).

Gambar 4.

Grafik Scatter Plot Power distance Dan CWB

(74)

c. Uji Hipotesis

Berdasarkan hasil uji statistik yang sudah dilakukan, meskipun data tidak terdistribusi secara normal dan kedua variabel linear. Akan tetapi, peneliti tetap melakukan uji hipotesis dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara variabel power distance dan CWB. Koefisien korelasi berkisar antara -1 hingga 1 termasuk 0 (nol) di dalamnya. -1 yang menunjukkan hubungan yang berkebalikan yang artinya apabila satu variabel skornya meningkat maka variabel lainnya menurun. 1 menunjukkan hubungan yang searah (Sunariah & Kasmadi, 2013). Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan teknik statistika non parametrik uji rank Spearman’s Rho Correlation pada SPSS versi 23.0 for windows. Peneliti memilih menggunakan teknik ini dikarenakan data yang

tidak terdistribusi normal.

Jika nilai sig. (p) ≤ 0.05 maka hipotesis nol ditolak atau ada hubungan yang signifikan antar kedua variabel tersebut. Sebaliknya, jika nilai sig. (p) ≥ 0.05 maka hipotesis nol diterima atau dapat dikatakan tidak ada hubungan yang signifikan antar kedua variabel.

Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan korelasi rank

(75)

D. Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antar variabel Power distance dan Counterproductive Work Behavior atau penyimpangan

perilaku di tempat kerja pada pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja Yogyakarta. Setelah melakukan uji hipotesis menggunakan uji Rank Spearman’s Rho Correlation, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut (r = -0.114, p = 0.215).

Peneliti beramsumsi bahwa tidak adanya hubungan antara variabel power distance dan CWB disebabkan oleh dua faktor yaitu, budaya kerja etnik dan

social desirability. Menurut Frinaldi dan Embi (2011) budaya kerja etnik dapat

mempengaruhi budaya kerja yang dibuat oleh pemerintah, seperti PNS yang

bekerja di organisasi pemerintah khususnya Jawa dipengaruhi oleh budaya kerja etnik yang berakar pada bangsawan. Hal ini menyebabkan PNS di Jawa cenderung bekerja mengikuti prosedur yang ketat dan baku serta menunggu arahan dari pimpinan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Marpaung dan

Mas’ud, (2017) yang mengungkapkan bahwa PNS di Jawa cenderung

menjalankan tugas dengan ketentuan yang sudah baku dan kaku, sehingga

Gambar

Gambar 2 Grafik Scatter Plot Power Distance dan CWB .........................................
Tabel 1.  Perbedaan Power Distance rendah dan Power Distance tinggi
Gambar 1.  Hasil Hubungan Power Distance dan CWB
Tabel 2.  Distribusi skala Counterproductive Work Behavior sebelum try out
+7

Referensi

Dokumen terkait