• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

A. Counterproductive Work Behavior

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menguji hubungan Power Distance dan Counterproductive Work Behavior. Penelitian ini akan menggunakan metode survei sebagai pengumpulan data dan sebagai kajian analisis untuk menjawab permasalahan.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman mengenai hubungan power distance dan counterproductive work behavior pada pegawai negeri sipil dan dapat menjadi salah satu referensi bagi akademis serta penelitian selanjutnya yang memilih topik yang sama. 2. Secara Praktis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi manfaat bagi pihak pemerintah untuk mengetahui faktor yang dapat memunculkan CWB. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi organisasi tentang dampak negatif dari CWB.

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Counterproductive Work Behavior

1. Pengertian Counterproductive Work Behavior

Penyimpangan perilaku di tempatker ja atau Counterproductive Work Behavior (CWB) sebenarnya sudah muncul pada abad ke-19 di eropa yang cenderung terjadi di negara-negara industri dan kasus yang sering muncul pada masa itu adalah penyimpangan produksi, kemudian Gruys dan Sackett (dalam; Kozlowski & Salas, 2009) pada tahun 1980 mengemukakan kasus penyimpangan perilaku di lingkungan industri dan organisasi sudah banyak terjadi, namun kurangnya bukti penelitian, sehingga penelitian yang dilakukan pada masa itu hanya berfokus pada tingkatan individu dan istilah yang digunakan pada waktu itu adalah counterproductive behavior.

Sedangkan dasar munculnya ketertarikan penelitian terhadap penyimpangan perilaku di tempat kerja dimulai pada saat memasuki era revolusi industri. Hal ini karena didorong oleh kemajuan teknologi di dunia organisasi dan industri yang memiliki dampak memunculkan bentuk baru dari penyimpangan perilaku di organisasi yang kemudian disebut Counterproductive Work Behavior atau CWB (Klotz & Buckley, 2013) seperti Cyberloafing (sebuah aktivitas pegawai menggunakan komputer kantor untuk kepentingan pribadi yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pekerjaan) (Klotz & Buckley, 2013)

CWB merupakan tindakan atau kehendak yang secara sadar berpotensi membahayakan organisasi, anggota organisasi atau pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung (Robinson & Bennett, 1995; Fox & Spector, 2010; Fox et al, 2001 ;Klotz & Buckley, 2013; Robbins & Judge; 2017) seperti mencuri, penghancuran harta benda, penyalahgunaan harta benda, penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan waktu dan sumber daya, perilaku tidak aman (tidak mengikuti prosedur keselamatan di tempat kerja), ketidakhadiran atau keterlambatan, pekerjaan berkualitas buruk (sengaja lambat dalam bekerja), penggunaan alkohol di tempat kerja, tindakan verbal yang tidak tepat (melecehkan), dan kekerasan fisik (Gruys, 1999 dalam; Sackett & DeVore 2001). Meskipun dalam beberapa jurnal penelitian memiliki sebutan yang berbeda dengan workplace deviant, namun makna dan karakteristik dengan CWB tetap sama (Mangione & Quinn, 1974 dalam; Robinson & Bennett, 1995)

Sackett dan DeVore (2001) mengungkapkan bahwa terdapat tiga poin penting memahami CWB. Pertama Counterproductive behavior atau perilaku kontraproduktif berbeda dari counterproductivity atau kontraproduktifitas. Counterproductive behavior sebagai suatu hal yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Hal ini sesuai dengan konsep kepuasan kerja yang ada (Sackett & DeVore 2001). Kedua, perlu ditegaskan bahwa perilaku seperti perilaku ilegal, perilaku tidak bermoral, atau perilaku menyimpang memiliki konsep yang saling tumpang tindih dan harus dibedakan. Ketiga label tersebut tentunya memiliki konotasi yang berbeda dengan perilaku ilegal yang didefinisikan

dalam undang-udang sebagaimana fungsi dari organisasi. Jelasnya definisi perilaku kontraproduktif dilihat dari perspektif organisasi. Ketiga, hal penting yang perlu diperhatikan dari perilaku kontraproduktif adalah perilaku yang disengaja. Hal ini karena perilaku tersebut dilakukan secara sadar oleh pegawai dan mempengaruhi hasil dari perilaku di tempat kerja (Sackett & DeVore dalam 2001). Hal ini didukung oleh pendapat Fox dan Spector (2010) yang mengemukakan bahwa kunci dari perilaku kontraproduktif adalah tindakan tersebut memiliki tujuan dan bukan tindakan ketidak sengajaan, pegawai membuat keputusan atau pilihan pada perilaku tersebut yang bertujuan menyakiti atau merugikan.

2. Dimensi Counterproductive Work Behavior

Menurut Robinson dan Bennett (1995) serta Gruys dan Sackett (2003) terdapat dua dimensi dari CWB: Dimensi pertama adalah penyimpangan perilaku organisasi-interpersonal. Dimensi ini menggambarkan CWB yang dialakukan pegawai dengan ditargetkan pada organisasi atau individu. Sedangkan dimensi kedua adalah merepresentasikan sebuah kontimun atau tingkat keparahan dari penyimpangan perilaku dari yang ringan hingga serius. Jika diuraikan lagi, dimensi pertama dapat dibedakan menjadi dua bentuk spesifik ke dalam CWB, yaitu Counterproductive Work Behavior Organization yang menargetkan pada organisasi dan Counterproductive Work Behavior Interpersonal yang menargetkan pada individu (Klotz & Buckley, 2013). CWB organisasi sendiri merupakan sebuah penyimpangan perilaku pegawai yang

melibatkan organisasi sebagai objek sasaran (Greenberg, 1990 dalam; Klotz & Buckley, 2013). Selain itu, CWB organisasi dibagi menjadi dua jenis yaitu, penyimpangan properti dan penyimpangan produksi (Robinson dan Bennett, 1995). Penyimpangan properti dapat didefinisikan sebagai sebuah perilaku perusakan properti atau aset milik perusahaan. Sedangkan penyimpangan produksi merupakan sebuah tindakan yang merugikan secara langsung dan dapat terlihat dengan jelas atau bagaimana pegawai melakukan suatu pekerjaan secara efektif atau tidak, singkatnya penyimpangan produksi lebih melihat performa pada pegawai di tempat kerja (Hollinger & Clark, 1982 dalam; Klotz & Buckley, 2013).

Sedangkan CWB interpersonal merupakan perilaku yang mengancam atau membahayakan pegawai lainnya baik secara fisik maupun psikologis yang berada di organisasi yang sama seperti, mengucapkan kata-kata kasar, mengejek dan kekerasan (Klotz & Buckley, 2013).

Walaupun ada dua aspek antara CWB organisasi dan individu, namun untuk mendefinisikan yang sering dipakai secara umum mengacu pada organisasi. Hal ini dikarenakan kejelasan bahwa sebuah penyimpangan perilaku dapat dilakukan semua pegawai dalam setting organisasi (Sackett & Devore, 2001). Berdasarkan hal tersebut Sackett dan DeVore (2001) mengkategorikan 11 contoh perilaku yang dianggap sebagai CWB :

a. Perilaku mencuri, perilaku yang terkait dengan pengambilan sesuatu di organisasi secara illegal (Mencuri uang)

b. Menghancurkan properti (Mengotori, merusak atau menghancurkan properti, mensabotase proses produksi)

c. Penyalahgunaan informasi (Menyebarkan informasi yang bersifat rahasia)

d. Menyalahgunaan waktu dan sumberdaya (Membuang-membuang waktu atau menjalani bisnis pribadi dengan memanfaatkan sumber daya kantor)

e. Perilaku tidak aman (Tidak mengikuti prosedur keamanan)

f. Rendahnya kualitas kehadiran (Absen tanpa alasan, keterlambatan) g. Rendahnya kualitas kerja (Sengaja bekerja dengan gegabah) h. Menkonsumsi alkohol (menkonsumsi alkohol saat jam kerja)

i. Penggunaan narkoba (Memiliki, menggunakan dan menjual narkoba saat jam kerja)

j. Penggunaan verbal yang tidak sesuai norma (Berdebat, mengusik, atau mengganggu rekan kerja)

k. Tindakan kekerasan terhadap fisik (Menyerang rekan kerja secara fisik saat jam kerja)

Sedangkan dimensi kedua merupakan susunan dari dimensi sebelumnya yang kemudian diurutkan berdasarkan tingkat keparahan dari penyimpangan perilaku dari yang ringan hingga serius, dari hal tersebut Robinson dan Bennett (1995) membuat empat klasifikasi sebagai berikut;

a. Penyimpangan produksi (organizational ± minor) :

Merupakan bentuk minor dari perilaku menyimpang yang terarah langsung pada organisasi, seperti kesengajaan bekerja dengan lambat. b. Penyimpangan politik (interpersonal ± minor) :

Merupakan bentuk penyimpangan perilaku minor yang mengarah pada individu, seperti saling menyalahkan orang lain

c. Penyimpangan properti (organizational ± serious) :

Merupakan bentuk penyimpangan perilaku serius yang bersifat membahayakan isi dari organisasi itu sendiri, seperti pencurian dan sabotase

d. Agresi personal (interpersonal ± serious) :

Merupakan bentuk penyimpangan perilaku serius bersifat interpersonal yang berpotensi membahayakan rekan kerja, seperti pelecehan dan kekerasan fisik.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Counterproductive Work

Behavior

Hollinger (1986 dalam Sackett & DeVore, 2001) menyatakan bahwa terdapat dua dimensi penting sebagai titik awal dalam menentukan faktor-faktor yang dapat memunculkan penyimpangan perilaku di tempatkerja yaitu, perilaku individu dan kerangka waktu. Perilaku individu menyatakan minat atau ketertarikan pada individu dalam melakukan sesuatu. Sedangkan kerangka waktu menyatakan jangka waktu individu melakukan sesuatu. Sackett dan DeVore (2001) juga mengungkapkan bahwa kedua dimensi

tersebut jika dikombinasikan akan memunculkan sebuah kontinum distal dan proksimal.

Kontinum distal mencangkup fitur situasional, jangka waktu panjang dan merupakan pusat seperti, kepribadian, karakteristik pekerjaan, norma kelompok, kebijakan dan praktik organisasi, serta sistem kontrol. Sedangkan kontinum proksimal mencangkup perspektif individu, jangka waktu pendek, dan merupakan output dari kontinum distal seperti, suasana hati, ketidakadilan, kebutuhan, dan penerimaan di lingkungan pekerjaan. Berdasarkan rumusan tersebut Sackett dan DeVore (2002) menyimpulkan bahwa kontinum distal mengambil peran penting untuk mengetahui faktor-faktor penyimpangan perilaku di tempat kerja, sedangkan kontinum proksimal hanya output dari kontinum distal.

Setelah itu, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat memunculkan penyimpangan perilaku di tempatkerja, sackett dan DeVore (2002) mengadaptasi kerangka milik Robinson dan Greenberg (1998 dalam Sackett & DeVore, 2002) tentang tiga kategori mengenai, faktor individu

(kepribadian dan demografi), sosial-interpersonal (norma-norma

penyimpangan), dan faktor organisasi (kebijakan organisasi) serta kerangka milik Griffin et. al. (1998) yaitu, evaluatif individual, karakteristik patologis, norma organisasi dan kelompok, budaya, sistem penghargaan, dan sistem kontrol. Berdasarkan hal tersebut, berikut merupakan kesimpulan dari faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan perilaku di tempatkerja.

1. Faktor Kepribadian

Spector dan Fox (2014) berpendapat bahwa kepribadian sangat memainkan peran penting dalam CWB. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sackett dan DeVore (2001) mengungkapkan bahwa adanya hubungan antara dimensi kepribadian Big Five Personality sebagai muncul CWB Teori Big Five membagi kepribadian menjadi lima dimensi yaitu, dimensi Openess merupakan dimensi yang mengukur tingkat penyesuaian, Conscientiousness mengukur tingkat kehai-hatian, Extraversion mengukur tingkat keterbukaan, Agreeableness mengukur tingkat keramahan dan Neuroticism megukur tingkat kecemasan (Sackett dan DeVore, 2001).

Penelitian yang dilakukan Sackett dan DeVore (2001) menunjukkan bahwa dimensi Conscientiousness dan Agreeablenes adalah dimensi dapat memunculkan CWB. Hal ini berkaitan dengan cara dan sejauh mana seorang individu berkontribusi serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan organisasi dalam mencapai tujuan.

2. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)

Beberapa hasil penyidikan mengungkapkan bahwa karakteristik pekerjaan memiliki keterlibatan dalam munculnya CWB. Hasil penyidikan tersebut menunjukkan bahwa model-model dalam karakteristik pekerjaan seperti, jenis tugas, kejelasan tugas, otonomi

dan umpan balik pekerjaan dapat memengaruhi kondisi psikologis seorang pegawai yang dikarenakan cara respon pegawai terhadap model tersebut seperti, makna yang diambil dari pekerjaan, tanggung jawab yang diambil dari hasil pekerjaan. Hal tersebut kemudian memunculkan serangkaian hasil; kinerja, kepuasan, motivasi, bahkan dapat memunculkan penyimpangan perilaku seperti, ketidakhadiran dan turnover (Sacket dan DeVore, 2001).

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa dari cara respon pegawai terhadap model pekerjaan dapat mengubah hasil pekerjaan yang bersifat baik menjadi menyimpang, seperti yang diungkapkan Robbins dan Judge (2017) bahwa salah satu faktor munculnya CWB dikarenakan ketidakpuasan di tempatkerja. Pegawai yang tidak merasa puas dengan hasil pekerjaannya akan cenderung memunculkan perasaan akan frustasi, kemudian menurunkan kinerja dan pada akhirnya akan mengarah pada penyimpangan perilaku.

3. Karakteristik kelompok Kerja (Work Group Characteristic)

Karakteristik pekerjaan lebih melihat bagaimana peran lingkungan berpengaruh dalam membentuk perilaku seorang pegawai di tempat kerja. Sacket dan DeVore (2001) mengungkapkan calon pegawai baru akan cenderung ingin terlibat dalam penyimpangan perilaku ketika tempat bekerja mereka mendukung untuk melakukan penyimpangan perilaku. Selain itu, pegawai yang memiliki lingkungan kerja yang

baru cenderung untuk mengobservasi rekan kerja mereka untuk melihat semua tindakan serta konsekuensi dari tindakan tersebut, jika dalam lingkungan tersebut sangat mudah dalam melakukan penyimpangan perilaku, akan menjadi lebih mudah untuk penyebaran penyimpangan perilaku untuk pegawai yang lain.

4. Budaya Organisasi (Organizational Culture)

Meskipun ada kesamaan antara pengaruh kelompok dan budaya organisasi dalam arti bahwa keduanya merupakan pengaruh sosial pada individu di tempat kerja, budaya adalah fenomena yang lebih luas, dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar kelompok kerja langsung (Sacket & DeVore, 2001) Selain itu, penelitian lainnya menambahkan bahwa pegawai akan cenderung melakukan penyimpangan perilaku di tempat kerja dikarenakan ketidakcocokan di tempatkerja atau bekerja dalam budaya organisasi yang tidak sesuai. Setiap organisasi memiliki norma-norma tersendiri yang tidak terlihat dan secara tidak langsung mempengaruhi perilaku kerja pegawainya serta memiliki dampak yang

berkelanjutan, seperti ketika lingkungan organisasi yang

memungkinkan seorang pegawai untuk melakukan absen, kemudian perilaku tersebut menjadi intens dan mempengaruhi pegawai yang lainnya (Robbins & Judge, 2017).

5. Kontrol sistem (Control System)

Kontrol sistem merupakan prosedural di tempat kerja yang bertujuan untuk mengurangi terjadinya penyimpangan perilaku di tempatkerja melalui pengawasan yang dilakukan oleh atasan (Sackett & Devore, 2001). Kontrol sistem yang paling umum di tempatkerja adalah di sektor keamanan seperti, aplikasi komputer, buku catatan keuangan, dan catatan kehadiran.

6. Ketidakadilan (Injustice)

Ketidakadilan mengacu pada teori kesetaraan yang menjelaskan bahwa seseorang di tempat kerja akan membandingkan imbalan yang mereka dapat dengan orang lain. Jika imbalan yang diberikan tidak proporsional dengan alasan yang kurang jelas, hal tersebut akan memunculkan persepsi ketidakadilan (Greenberg 1990 dalam; Sackett & DeVore, 2001). Seseorang yang memiliki persepsi ketidakadilan biasanya akan menurunkan kepuasan dalam bekerja dan memunculkan emosi negatif seperti marah, kemudian menghasilkan stres kerja (Spector & Fox, 2010).

Sackett dan DeVore (2001) mengungkapkan bukan hanya stres kerja yang akan dialami oleh pegawai, namun bisa lebih parah lagi seperti, agresi, permusuhan pada rekan kerja, sabotase, hal tersebut tentunya sangat berbahaya untuk organisasi. Perlu dipertimbangkan juga bahwa norma-norma dan peraturan organisasi juga memengaruhi

keadilan di tempat kerja. Diketahui bahwa terdapat dua jenis keadilan yaitu, keadilan distributif mengacu pada alokasi hadiah atau hubungan yang adil. Kedua adalah keadilan prosedural mengacu pada keadilan dalam membuat keputusan (Spector & Fox, 2010).

Dokumen terkait