• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODELOGI PENELITIAN

D. Pembahasan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antar variabel Power distance dan Counterproductive Work Behavior atau penyimpangan perilaku di tempat kerja pada pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja Yogyakarta. Setelah melakukan uji hipotesis menggunakan uji Rank Spearman’s Rho Correlation, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut (r = -0.114, p = 0.215).

Peneliti beramsumsi bahwa tidak adanya hubungan antara variabel power distance dan CWB disebabkan oleh dua faktor yaitu, budaya kerja etnik dan social desirability. Menurut Frinaldi dan Embi (2011) budaya kerja etnik dapat mempengaruhi budaya kerja yang dibuat oleh pemerintah, seperti PNS yang bekerja di organisasi pemerintah khususnya Jawa dipengaruhi oleh budaya kerja etnik yang berakar pada bangsawan. Hal ini menyebabkan PNS di Jawa cenderung bekerja mengikuti prosedur yang ketat dan baku serta menunggu arahan dari pimpinan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Marpaung dan

Mas’ud, (2017) yang mengungkapkan bahwa PNS di Jawa cenderung

menjalankan tugas dengan ketentuan yang sudah baku dan kaku, sehingga kurang berani dalam mengambil resiko dan keputusan di luar kebiasaan atau tindakan yang bersifat menyimpang. Hal ini dikarenakan kurangnya kejelasan pemerintah dalam mengeluarkan aturan atau UU disiplin kerja bagi aparatur negara tanpa ada sosialisasi, sehingga para aparatur negara tidak menjadikan peraturan tersebut sebagai pedoman dalam bekerja.

Menurut Lavrakas (2008) social desirability merupakan kecenderungan subjek penelitian untuk menjawab sebuah pertanyaan dengan cara yang dianggap bisa diterima secara sosial. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan citra diri yang bagus dan menghindari penilaian yang buruk atau singkatnya melakukan fake, jika dibiarkan akan menjadi bias pada hasil penelitian. Peterson et. al (2011) mengungkapkan bahwa subjek yang melakukan fake atau berpura-pura karena social desirability berpotensi mempengaruhi validitas CWB. Setelah melakukan uji beda mean teoritik dan empiris pada variabel CWB dan melihat grafik histogram, diketahui bahwa terdapat adanya kecenderungan social desirability. Hal ini dikarenakan grafik histogram pada variabel CWB terdapat jarak yang sangat jauh dan ada histogram yang berada di luar garis kurva normal.

Berdasarkan hasil uji beda mean, subjek dalam penelitian memiliki CWB yang tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dengan mean empiris yang lebih besar dibandingkan mean teoritis (CWB 22.64 > 68) dengan nilai signifikansi p = 0.000.

Peneliti berasumsi rendahnya CWB pada subjek dalam penelitian ini dikarenakan PNS yang bekerja di kantor Walikota masih menjadikan budaya kerja etis sebagai pedoman bekerja. Selain itu, kurangnya peraturan kedisiplinan yang dikeluarkan pemerintah kurang jelas dan dimaknai, sehingga PNS di kantor Walikota menjadi takut dalam melakukan tindakan yang dianggap menyimpang Marpaung dan Mas’ud, (2017). Selain itu, adanya

faktor social desirability yang menyebabkan subjek melakukan fake dengan menghindari penilaian yang buruk (Lavrakas, 2008)

Berdasarkan hasil uji beda mean diketahui bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki kecenderungan Power distance yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan mean empiris (Power distance 23.60 > 20) dengan nilai signifikansi p = 0.000.

Berdasarkan tabel power distance index atau PDI, Indonesia berada di peringkat 12-14 dengan skor 78 (Hofstede et. al 2010). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan power distance relatif tinggi. Mangundjaya (2013 dalam; Yang, Watkins, Kashima, Kashima, & Beatson, 2013) mengungkapkan bahwa di Indonesia, status senioritas dan penatua memainkan peran penting di masyarakat. Orang-orang biasanya menghormati orang tua serta menghargai status sosial. Masyarakat Indonesia pada umumnya juga lebih nyaman dengan kondisi yang stabil dan dapat diprediksi seperti, masyarakat indonesia lebih suka menjadi pegawai negeri dari pada pengusaha (ketidakpastian).

Selain itu, menurut Frinaldi dan Embi (2011) masyarakat Indonesia khususnya yang bekerja sebagai PNS cenderung melihat status sosial masyarakat dalam bekerja. Seseorang yang mempunyai status sosial tinggi maka akan mendapat prioritas pelayanan. Sedangkan, jika yang dilayani adalah masyarakat awam, akan mendapat perlakuan kaku dan lambat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika PNS bekerja, khususnya pelayanan publik masih

menjaga jarak sosial. Tingginya power distance di Indonesia terutama pada PNS yang melihat status sosial serta adanya sistem peraturan yang kaku dan baku (Marpaung & Mas’ud, 2017) menyebabkan tingginya ketidaksetaraan dan rendahnya toleransi. Selain itu, adanya kecenderungan sentralisasi dalam organisasi, hal ini menunjukkan bahwa orang-orang dengan jabatan atau kasta yang tinggi menjadi pusat dalam bertindak. Di samping itu, power distance tinggi akan memunculkan sikap respek terhadap orang-orang yang memiliki jabatan tinggi, serta adanya kepercayaan yang tinggi dalam mengolah organisasi (Hofstede, 2010)

Penelitian ini juga mencoba melihat demografi subjek sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam variabel penelitian seperti, jenis kelamin, usia, dan lama bekerja (Chao et. al, 2011; Bennett & Robinson, 2000; Spector dan Zhou, 2014). Walaupun hasil dalam penelitian kedua variabel tidak saling berhubungan dan kecilnya skor CWB pada subjek, namun peneliti mencoba untuk membuktikan hasil temuan dengan penelitian-penelitian terdahulu serta memperluas area penelitian CWB di Indonesia.

Berdasarkan tabel deskripsi diketahui bahwa Subjek berjenis kelamin laki-laki yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 23 orang dengan presentase 46%. Sedangkan subjek berjenis kelamin perempuan berjumlah 27 orang dengan presentase 54%. Selain itu, jika dibandingkan nilai mean CWB pada jenis kelamin, diketahui bahwa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi (mean = 24.19) dibandingkan laki-laki (mean = 22.91). Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kumi (2013) yang menyatakan

bahwa perempuan lebih banyak terlibat CWB di tempat kerja. Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Fagbohungbe Akinbode dan Ayodeji (2012) mengungkapkan bahwa pegawai berjenis kelamin perempuan sering melakukan penyimpangan perilaku di tempat kerja. Hal ini dikarenakan pegawai perempuan memiliki lingkungan kerja permisif dan mampu mengontrol kejadian ketika melakukan penyimpangan perilaku, sehingga organisasi kesulitan melacak pelaku penyimpangan tersebut.

Subjek dalam penelitian ini merupakan PNS yang berusia 29 - 55 tahun. Berdasarkan tabel deskriptif diketahui bahwa mayoritas 15 pegawai berusia 47 - 51 tahun dengan presentase 30% (mean CWB = 21.00). Selain itu, subjek dalam penelitian ini memiliki pengalaman kerja atau lama bekerja di BKPP dan DPPM yaitu, 3 - 32 tahun. Tabel deskripsi menunjukkan mayoritas 21 pegawai memiliki pengalaman kerja atau lama bekerja 15 - 23 tahun dengan presentase 42% (mean CWB = 23.90). Berdasarkan data tersebut, subjek dalam penelitian ini tergolong tua dan memiliki banyak pengalaman bekerja sebagai PNS. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Robinson dan Bennett (2000) pada 648 pegawai serta kumi (2013) pada 174 pegawai menunjukkan hasil yang serupa yaitu, pegawai yang lebih tua kecil kemungkinan terlibat CWB dibandingkan pegawai yang lebih muda. Hal ini dikarenakan kurangnya pengalaman kerja pada pegawai yang lebih muda, sehingga rentan dalam melakukan keasalahan.

62

Dokumen terkait