• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

B. Power Distance

2. Karakteristik Power Distance di Tempat Kerja

Hofstede (2010) mengungkapkan bahwa tidak semua power distance berkaitan dengan keinginan untuk dipandang tinggi dalam lingkungan sosial atau pandangan masyarakat tentang hierarki. Beberapa negara tertentu seperti, Amerika, Austria, dan Australia menganggap bahwa perbedaan kekuatan yang tidak merata kurang dimaknai dan diterima karena tidak sesuai dengan norma-norma di masyarakat, pada konteks pekerjaan beberapa organisasi lebih menekankan kesetaraan karena lebih disukai dan dihargai serta lebih pragmatis dalam pengambilan keputusan. Pandangan tersebut kemudian disebut dengan

power distance rendah. Berdasarkan hal tersebut Hofstede (2010) kemudian membedakan pandangan tersebut yang menerapkan pentingnya ketidaksetaraan atau disebut power distance tinggi dan power distance rendah yang memandang pentingnya kesetaraan khususnya pada konteks tenaga kerja. a. Power Distance Tinggi

Orientasi pada power distance tinggi cenderung menunjukkan tingginya ketidaksetaraan dan rendahnya toleransi, seperti tingkatan kasta. Pada lingkungan pekerjaan dengan orientasi Power Distance tinggi akan memunculkan hirarki dalam organisasi mencerminkan ketimpangan eksistensial antara lebih tinggi dan tingkat yang lebih rendah. Selain itu, Sentralisasi sangat populer dalam organisasi, sehingga akan memunculkan pengawasan lebih banyak terhadap pekerjaan tiap pegawai (Hofstede, 2010).

Di sisi lain, orientasi power distance tinggi akan memunculkan kecenderungan individu untuk bersikap respek dan mempercayai atasan, serta mudahnya manajemen dalam organisasi (Kirkman et al, 2009; Lian et al, 2012). Bawahan akan merespon dengan baik ketika sebuah perintah dikeluarkan oleh atasan, dalam penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki orientasi ini lebih cenderung memilih bos dengan otoriter karena adanya ketergantungan (Hofstede, 2010).

b. Power Distance Rendah

Sedangkan orientasi pada Power Distance yang rendah mengindikasikan kuatnya relasi antara atasan-bawahan dan adanya tingkat kesetaraan (Clugston et al. 2000 dalam; Chao et al 2011). Pada lingkungan pekerjaan dalam situasi Power Distance yang rendah, bawahan dan atasan mempertimbangkan satu sama lain sebagai sama eksistensial; sistem hierarkis hanyalah sebuah ketidaksetaraan peran, ditetapkan untuk kenyamanan, dan peran dapat diubah, sehingga seseorang yang memiliki jabatan yang rendah suatu saat bisa memiliki jabatan yang tinggi dengan mudah. Organisasi cukup terdesentralisasi, dengan piramida hierarkis datar dan jumlah personil pengawas terbatas. Pekerja sangat berkualitas dan keterampilan tinggi pekerjaan manual memiliki status yang lebih tinggi daripada pekerjaan kantor dengan keterampilan rendah (Hofstede, 2010).

Perbedaan lengkap antara orientasi Power Distance tinggi dan rendah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.

Perbedaan Power Distance rendah dan Power Distance tinggi di tempat kerja

Power Distance Rendah Power Distance Tinggi

- Hirarki dalam organisasi merupakan suatu ketidaksetaraan dan ditetapkan hanya untuk kenyamanan

- Desentralisasi sangat populer - Pengawasan lebih sedikit

- Gaji antara atasan dan bawahan biasanya tidak berbeda jauh

- Manajer bergantung pada pengalaman dan bawahan mereka

- Bawahan berharap untuk terlibat dalam konsultasi

- Bos yang ideal lebih mengutamakan demokrasi

- Hubungan atasan-bawahan adalah pragmatis

- Hak istimewa dan simbol status lebih disukai

- Pekerja manual memiliki status yang sama dengan pekerja kantor

- Hirarki dalam organisasi mencerminkan ketimpangan eksistensial antara lebih tinggi dan tingkat yang lebih rendah.

- Sentralisasi sangat populer - Pengawasan lebih banyak

- Gaji antara atasan dan bawahan sangat berbeda

- Manajer mengandalkan atasan dan aturan formal

- Bawahan berharap diberitahu apa yang harus dilakukan

- Bos ideal adalah orang yang otokrat - Hubungan atasan-bawahan adalah

emosional

- Hak istimewa dan simbol status normal dan populer

- Pekerja kantor lebih dihargai ketimbang pekerja manual

3. Power Distance Index

Power distance index atau PDI merupakan alat ukur yang dibuat oleh Hofstede pada tahun 1970 untuk mengukur sejauh mana masyarakat, organisasi dan lembaga (seperti keluarga) menerima kekuasaan tidak secara merata (Hofstede, 2010), kemudian membandingkannya dengan negara-negara lain. Hofstede melakukan penelitian kepada 116.000 karyawan di 40 negara untuk melihat nilai-nilai budaya dalam organisasi (Robbins & Judge, 2017). PDI terbagi menjadi tiga pertanyaan survei yaitu:

a. Apakah bawahan merasa takut ketika menyampaikan pendapat kepada atasan

b. Persepsi bawahan terhadap atasan mereka terkait gaya pengambilan keputusan, apakah autokrat ataukah paternalistik

c. Pilihan atau harapan bawahan terhadap atasan terkait gaya pengambilan keputusan, apakah autokrat atau paternalistik.

Hofstede (2010) menjelaskan bahwa pertanyaan satu dan dua menunjukkan cara bawahan responden merasakan lingkungan kerja sehari-hari. Sedangkan untuk pertanyaan nomor tiga menunjukkan pernyataan responden sebagai preferensi atau lingkungan pekerjaan yang diinginkan. Singkatnya, PDI akan memberikan informasi mengenai hubungan jarak kekuatan antara atasan dan bawahan di suatu negara (Lee, Pillutla, & Law, 2000)

C. Karakteristik Pegawai Negeri Sipil

Pegawai Negeri Sipil atau PNS adalah mereka yang sudah layak dalam memenuhi syarat-syarat dan diangkat oleh pejabat yang berwenang melalui pelatihan kedinasan yang kemudian diserahi tugas berdasarkan peraturan perundang-udangan. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 43 tahun 1999 tentang perubahan atas No. 8 tahun 1974, dikatakan bahwa PNS wajib mencapai tujuan nasional dengan menjadi masyarakat yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, adil dan bermoral tinggi (Republik Indonesia, 2010).

Sebagai proses mencapai tujuan nasional tersebut PNS juga wajib dalam mengikuti peraturan kedisiplinan yang bertujuan terjaminnya ketertiban dan kelancaran pelaksanaan tugas pokok dan fungsi PNS serta mendorong peningkatan kinerja, perubahan sikap dan perilaku. Selain itu, menghindari segala jenis penyimpangan perilaku yang bertujuan merugikan organisasi yang tercatat dalam peraturan pemerintah No. 53 tahun 2010 (Haryani, 2010). Pemerintah juga sempat mengeluarkan sebuah program yang dibuat khusus untuk pegawai pemerintahan seperti PNS yang disebut Good Governance. Tujuan dari program ini adalah menciptakan birokrasi pemerintahan secara profesional dengan karakteristik adaptif, berinteraksi, berkinerja tinggi, bebas dari segala jenis penyimpangan perilaku seperti korupsi. Program ini berlaku untuk semua jabatan yang berlaku mulai dari atasan hingga bawahan, khususnya untuk pihak otoritas. Hal ini dikarenakan pihak otoritas memiliki

jabatan tertinggi dan peran bertanggung jawab dalam mengendalikan setiap aspek dalam lingkungan organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Krings dan Bollmann (2011) mengungkapkan bahwa solusi yang paling mudah dalam mengendalikan penyimpangan perilaku adalah dengan menciptakan peraturan organisasi. Selain itu, pihak otoritas juga mempunyai peran penting dalam bertanggung jawab mengontrol dan mengawasi setiap aspek dalam organisasi termasuk bawahannya agar peraturan yang dibuat tidak dilanggar, dengan begitu organisasi dapat mengurangi tingkat penyimpangan perilaku di tempat kerja.

Dokumen terkait