• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Mukosa Mulut

a. Definisi Mukosa Mulut

Lapisan mukosa adalah lapisan basah yang berkontak dengan lingkungan eksternal, yang terdapat pada berbagai sistim tubuh manusia seperti saluran pencernaan, rongga hidung, maupun rongga tubuh lainnya. Pada rongga mulut, lapisan ini disebut dengan mukosa oral (Lesson, 1990; Puspitawati, 2003; Campbell et al, 2004).

b. Fungsi Mukosa Mulut

Berdasarkan fungsinya, mukosa mulut dibagi menjadi tiga yaitu lining mucosa (mukosa pelindung), masticatory mucosa,

dan specialized mucosa. Fungsi terpenting adalah mukosa

pelindung, karena sebagai lapisan terluar mukosa mulut melindungi jaringan di dalam rongga mulut dari lingkungan eksternal. Perlindungan tersebut antara lain adalah menahan gaya mekanis dan abrasi yang disebabkan oleh mastikasi, serta

pelindung dari mikroorganisme pathogen yang dapat

menyebabkan infeksi bila masuk ke dalam jaringan (Lesson, 1990; Avery, 2002; Puspitawati, 2003; Campbell et al, 2004).

(2)

commit to user

c. Struktur Mukosa Mulut

Rongga mulut (cavum oris) merupakan suatu ruangan yang di dalamnya terdapat organ yang berperan di sistim pencernaan manusia. Seluruh bagian rongga mulut dilapisi oleh lapisan mukosa, kecuali pada gigi. Seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1 secara histologis mukosa mulut terbentuk dari 2 lapisan, yaitu lapisan epitelium dan lamina propria. Epitel rongga mulut secara umum dilapisi oleh epitel squamous kompleks non-keratinisasi namun dilengkapi dengan berbagai struktur khusus. Epitel paling atas terdiri dari berlapis-lapis sel mati yang berbentuk pipih di mana lapisan sel yang mati ini selalu diregenerasi terus-menerus dari lapisan paling bawah/ lapisan epitel mukosa mulut dari superfisial ke profunda tersusun atas stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basalis. Sedangkan pada lamina propria terdapat ujung-ujung syaraf rasa sakit, raba, suhu, dan cita rasa. (Puspitawati, 2003; Stevens et al,

(3)

commit to user

2. Timbal

a. Definisi Timbal

Timbal atau dalam bahasa latin dikenal dengan kata Plumbum (Pb) merupakan suatu unsur logam berat yang termasuk golongan IVA dalam sistim periodik unsur. Timbal mempunyai nomor atom (NA) 82 dan berat atom (BA) 207,2 mempunyai ciri fisik berwarna kelabu kebiruan dengan konsistensi lunak. Timbal mempunyai titik leleh 327°C dan titik didih 1.620°C, sedangkan pada suhu 550-600°C timbal akan menguap menghasilkan oksigen dan menjadi timbal oksida di udara.

Timbal biasa ditambahkan ke dalam bahan bakar minyak dalam bentuk Tetraethyl Lead atau biasa disingkat menjadi TEL dengan rumus kima (C2H5)4Pb. TEL tidak larut dalam air tapi mudah larut dalam pelarut organik. TEL ditambahkan dalam bahan bakar

(4)

commit to user

kendaraan bermotor untuk meningkatkan angka oktan dan sebagai anti ketuk sehingga mesin kendaraan menjadi lebih awet. Namun apabila proses pembakaran berlangsung tidak sempurna, timbal yang dicampurkan ke dalam bahan bakar kendaraan tersebut akan dilepaskan dalam bentuk timbal bebas di udara (Ardyanto, 2005).

Kendaraan di Indonesia sendiri masih didominasi oleh mesin yang berbahan bakar bensin/pertamax. Bahan bakar yang sering digunakan adalah gasoline RON 88, gasoline RON 91, dan gasoline RON 95. SK Dirjen Migas pun masih memungkinkan adanya kandungan TEL sebanyak 0,013g/liter bensin (PT. Pertamina, 2015).

Emisi timbal dari gas buangan kendaraan bermotor yang terinhalasi oleh manusia setiap hari akan terdeposit di dalam darah. Komponen TEL dapat diabsorpsi oleh tubuh melalui kulit dan mukosa. Sekitar 5-10% timbal yang tertelan diabsorpsi melalui saluran pencernaan, dan 30% timbal yang terinhalasi melalui hidung akan diabsorpsi melalui saluran pernafasan dan akan terdeposit (Gusnita, 2012).

b. Genotoksisitas Timbal

Substansi genotoksik adalah substansi yang memiliki potensi menyebabkan kerusakan Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang kemudian mengakibatkan terjadinya mutasi atau kanker (Dorland, 2002). Dan timbal merupakan salah satu substansi genotoksik.

(5)

commit to user

3. Radikal Bebas

a. Radikal Bebas Reactive Oxygen Species 1) Definisi Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron tidak berpasangan di orbit terluar. Keadaan tersebut menyebabkan radikal bebas tidak stabil dan sangat mudah bereaksi dengan zat kimia lain baik organik maupun anorganik. Saat terbentuk dalam sel, radikal bebas akan segera menyerang dan mendegradasi asam nukleat serta berbagai molekul membran. Selain itu radikal bebas juga menginisiasi reaksi autokatalitik; sebaliknya molekul yang bereaksi dengan radikal bebas diubah menjadi radikal bebas, semakin memperbanyak rantai kerusakan

2) Terbentuknya Radikal Bebas

Terbentuknya Reactive Oxygen Species berasal dari dua sumber, yaitu sumber eksogen dan endogen.

a) Sumber Eksogen

ROS yang berasal dari eksogen jumlahnya lebih banyak, hal ini karena eksogen dipengaruhi faktor lingkungan dan faktor perilaku. Sumber ROS eksogen di antaranya adalah polusi udara yang berasal dari emisi kendaraan bermotor yakni berkaitan dengan pembakaran

(6)

commit to user

bahan bakar yang tidak sempurna dan menghasilkan timbal bebas di udara.

b) Sumber Endogen

Radikal bebas dapat dibentuk dalam sel melalui:

i. reaksi redoks (reduksi-oksidasi) yang terjadi selama proses fisiologis normal. Misalnya, selama respirasi seluler, oksigen molekular secara bertahap direduksi dalam mitokondria dengan penambahan empat elektron untuk menghasilkan air. Pada proses ini sebagian ROS terbentuk, di antaranya radikal superoksida (O2•), hidrogen peroksida (H2O2), dan OH•. Selanjutnya, enzim oksidase intrasel seperti xantin oksidase menghasilkan radikal superoksida (O2•). Logam transisi, seperti tembaga (Cu) dan besi (Fe) juga menerima atau mendonorkan elektron bebas selama reaksi intrasel sehingga dapat mengkatalisis pembentukan redikal bebas, seperti pada reaksi Fenton (Fe2++H2O2Fe3++OH•+ OH-). Karena sebagian besar zat besi di sel dalam bentuk ferri (Fe3+), maka zat besi harus direduksi terlebih dahulu menjadi bentuk ferro (Fe2+) agar dapat berpartisipasi dalam reaksi Fenton. Tahap reduksi zat besi tersebut

(7)

commit to user

dikatalisis oleh ion superoksida, sehingga zat besi dan superoksida menyebabkan jejas sel oksidatif.

ii. Penyerapan energi radiasi (misalnya sinar X, sinar UV) Radiasi pengion dapat menghidrolisis air menjadi gugus hidroksil (OH•) dan radikal bebas hidrogen (H•).

iii. Metabolisme enzimatik zat kimia eksogen (Kohen et al

2002; Kumar et al 2013).

4. Antioksidan

Antioksidan terpenting yang dapat kita temukan dalam sel adalah glutation. Glutation adalah tripeptida yang memiliki kompleks sulfhidril dan dapat ditemukan di jaringan tubuh mamalia dalam konsentrasi milimolar. Fungsinya sendiri adalah untuk menangkal radikal bebas. Glutation dapat dijumpai dalam dua bentuk; bentuk terreduksi (GSH) dan bentuk teroksidasi (GSSG). Glutation dalam keadaan terreduksi akan menyumbangkan elektron dan mengurangi rumus kesetaraan (H+ + e-) dari kompleks thiol yang ada pada residu sistein untuk ROS dan membuatnya stabil. Setelah itu, maka glutation tersebut dapat dengan mudah berikatan dengan molekul glutation lain dan membentuk glutation disulfida (GSSG), dengan dibantu oleh enzim glutation peroksidase (GPX). Sebaliknya, GSH dapat diregenerasi dari GSSG oleh enzim glutation reduktase (GR).

Pada kondisi normal, 90% dari jumlah total glutation ada dalam bentuk terreduksi (GSH) dan 10% dalam bentuk teroksidasi

(8)

commit to user

(GSSG). Dalam kondisi terjadi stres oksidatif, konsentrasi GSSG jauh lebih tinggi daripada GSH (Patrick, 2006; Flora et al, 2012).

5. Kerusakan Sel

a. Konsep Umum Kerusakan Sel

Pada dasarnya, sel akan tetap mempertahankan

homeostasis normalnya, menyesuaikan struktur dan

mengakomodasi tuntutan perubahan stres ekstrasel. Saat mengalami stres fisiologis atau keadaan patologis, sel akan beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Jika terdapat paparan berlebihan, maka sel akan mengalami jejas. Dalam keadaan tertentu, kerusakan sel ini dapat bersifat reversibel maupun irreversibel. Apabila kerusakan bersifat reversibel, maka sel akan kembali stabil seperti keadaan semula, namun apabila stres sel terlalu berat dan menetap maka kerusakan sel menjadi irreversibel dan sel yang terkena akan mati.

Dua pola dasar kematian sel yang telah dikenal adalah: 1) Nekrosis, yang terjadi karena sel terpajan toksin,

suplai darah hilang, dan ditandai dengan

pembengkakan sel, denaturasi protein, dan kerusakan organela.

(9)

commit to user

2) Apoptosis, dikenal sebagai program bunuh diri sel yang dikontrol secara internal. Keadaan ini terjadi dalam kondisi fisiologis maupun patologis.

b. Penyebab Jejas Sel

1) Deprivasi Oksigen

Defisiensi oksigen atau hipoksia mengganggu respirasi oksidatif aerobik dan merupakan penyebab cedera sel tersering yang menyebabkan kematian sel.

2) Penuaan

Proses penuaan sel intrinsik menyebabkan perubahan kemampuan perbaikan dan replikasi sel dan jaringan.

3) Stres Oksidatif

Stres oksidatif merupakan ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan kemampuan sistim biologis tubuh untuk mendetoksifiksai zat antara yang reaktif, atau untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkannya. Hal ini telah dilaporkan sebagai mekanisme utama yang menginduksi toksisitas. Proses hilangnya homeostasis antara radikal bebas dan antioksidan dapat dilihat pada gambar 2.2.

(10)

commit to user

Tiga reaksi yang berhubungan dengan jejas sel akibat stres oksidatif:

a. Peroksidasi lipid membran

Lemak tak jenuh (polyunsaturated lipid) mempunyai ikatan ganda yang mudah terkena serangan radikal bebas ROS. Interaksi antara lemak dan radikal tersebut menghasilkan peroksida, yang tidak stabil dan reaktif, dan terjadi reaksi rantai autokatalitik.

b. Fragmentasi DNA

Reaksi radikal bebas dengan basa timin pada DNA mitokondria dan inti sel menimbulkan rusaknya untai Gambar 2.2 Homeostasis antara Radikal Bebas dan

Antioksidan. Pada keadaan fisiologis, terdapat

keseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan, apabila antioksidan berkurang dapat menyebabkan stres oksidatif dan berujung kematian sel.

(11)

commit to user

tunggal. Kerusakan DNA tersebut telah memberikan implikasi pada kematian sel dan proliferasi sel keganasan. c. Ikatan silang protein

Radikal bebas mencetuskan ikatan silang protein yang diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas juga bisa secara langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida.

6. Tumor protein 53 (TP53)

TP53 adalah salah satu protein yang paling sering mengalami mutasi kanker. Protein ini mempunyai banyak fungsi, di antaranya TP53 dapat menimbulkan efek antiproliferasi, tetapi protein ini juga mengendalikan apoptosis. Dengan mengendalikan respon terhadap kerusakan DNA, termasuk dalam menghadapi stres, TP53 berperan penting dalam menjaga integritas genom. TP53 di dalam sel normal yang tidak mengalami stres memiliki waktu paruh yang pendek, yaitu 20 menit. Waktu paruh ini disebabkan oleh ikatan dengan MDM2, suatu protein yang akan menghancurkan TP53. TP53 memicu transkripsi dari berbagai gen yang dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu; gen yang menyebabkan penghentian siklus sel dan gen yang menyebabkan apoptosis.

Penghentian siklus sel yang diperantarai oleh TP53 dapat dianggap sebagai respon primordial terhadap kerusakan DNA.

(12)

commit to user

Aktivasi TP53 oleh zat yang merusak DNA (radiasi pengion, karsinogen, mutagen) atau oleh keadaan hipoksia menyebabkan siklus sel berhenti di fase G1 dan terjadi perbaikan DNA, melalui peningkatan transkripsi gen inhibitor kinase dependen siklin CDKN1A (p21) dan GADD45. Gen CDKN1A menghambat kompleks siklin/CDK dan mencegah fosforilasi RB yang penting agar siklus sel berhenti pada fase G1, dan kondisi ini memberikan kesempatan untuk

DNA repair. Sedangkan induksi GADD45 membantu menghentikan

kerusakan DNA. Berhasilnya perbaikan DNA menyebabkan sel melanjutkan siklus pembelahannya, apabila perbaikan gagal maka TP53 akan memicu aktivasi gen BAX yang menyebabkan apoptosis.

Hal ini akan berbeda apabila sel mengalami mutasi atau kehilangan TP53. Kerusakan DNA tidak akan mengaktifkan gen-gen dependen TP53, yaitu siklin CDKN1A (p21) dan GADD45 sehingga tidak ada penghentian siklus sel maupun perbaikan DNA. Sel yang secara genetis cacat maupun sel mutan akan terus berproliferasi dan akhirnya menghasilkan sel-sel neoplasma.

7. Apoptosis

a. Definisi Apoptosis

Apoptosis merupakan kematian sel terprogram b. Peristiwa Apoptosis

Apoptosis dapat terjadi pada proses fisiologis maupun keadaan patologis, yaitu meliputi:

(13)

commit to user

1) Kerusakan sel terprogram selama embriogenesis seperti yang terjadi saat implantasi, organogenesis, dan involusi. 2) Involusi fisiologis bergantung hormon, seperti involusi

endometrium selama siklus menstruasi, atau payudara di masa laktasi setelah penyapihan; atau atrofi patologis, seperti pada prostat setelah kastrasi.

3) Delesi sel pada populasi yang berproliferasi, seperti epitel kripta usus, atau kematian sel pada tumor.

4) Delesi sel T autoreaktif di timus (>95% timosit mati dalam timus selama proses maturasi), kematian sel dari limfosit yang kekurangan sitokin, atau kematian sel yang diinduksi oleh sel T sitotoksik.

5) Berbagai rangsang cidera ringan (panas, radiasi, obat kanker sitotoksik untuk kanker, dan lain-lain) yang

menyebabkan kerusakan DNA yang tidak dapat

diperbaiki, sebaliknya memicu jalur lintas bunuh diri sel (misalnya melalui protein supresor tumor TP53).

c. Mekanisme Apoptosis

1) Signaling (pemberian sinyal).

Apoptosis dapat dipicu oleh faktor ekstrinsik maupun intrinsik. Faktor pemicu ekstrinsik meliputi rangsang jejas, seperti toksin, radiasi, atau radikal bebas yang merusak DNA dan mengaktivasi jalur TP53.

(14)

commit to user

Sedangkan aktivasi instrinsik dari jalur kematian

terprogram, misalnya pada saat embriogenesis;

kekurangan hormon atau faktor pertumbuhan; ligasi reseptor, misalnya FAS ligan dan reseptor TNF; atau pelepasan granzim B oleh sel T sitotoksik. Reseptor

membran plasma tersebut bila dioligomerisasi

menimbulkan aktivasi kaspase inisiator dan kaskade aktivasi enzim yang memuncak pada kematian sel.

2) Kontrol dan integrasi.

Terdapat dua jalur dalam tahapan ini: (1) tranmisi langsung sinyal kematian dengan protein pencocok

(adapter proteins), terhadap mekanisme eksekusi; dan (2)

pengaturan (permeabilitas mitokondrial) oleh anggota famili protein BCL-2. Ion Ca2+ dan radikal bebas dapat

mengakibatkan transisi permeabilitas mitokondrial.

Pembentukan pori di dalam membran mitokondria

menyebabkan reduksi potensial membran, dengan

pengurangan ATP dan pembengkakan mitokondria; peningkatan permeabilitas membran mitokondria luar melepaskan pencetus apoptotik, sitokrom c ke dalam sitosol. Sitokrom c yang dilepas mengikat protein sitosol

tertentu (misalnya Apaf-1) dan mengaktifkannya,

(15)

commit to user

kejadian proteolitik yang membunuh sel. BCL-2 pada membran mitokondria menekan apoptosis dengan cara mencegah peningkatan permeabilitas mitokondrial dan menstabilkan protein seperti Apaf-1 (activating protease

proapoptotic factor), sehingga tidak terjadi aktivasi

kaspase. Sedangkan BCL-XL memodulasi efek

anti-apoptosisnya. Sehingga BCL-2 dan BCL-XL menghambat

apoptosis, sementara BAX dan BAD menyebabkan apoptosis.

3) Eksekusi.

Kaspase eksekusi mengaktivasi protease sitoplasmik dan endonuklease. Protease sitoplasmik yang bernama kaspase dapat mendegradasi protein sitoskeleton yang menyebabkan terjadinya perubahan volume dan bentuk sel. Aktivasi endonuklease down-stream mengakibatkan fragmentasi DNA yang khas, yaitu DNA menjadi fragmen

berpasangan dengan basa 180-200 (jarak antar

nukleosom). Selain itu, terjadi pula aktivasi

transglutaminase yang berperan pada katabolisme

sitoskeleton oleh ikatan silang protein, enzim tersebut mengubah protein sitoplasmik mudah larut dan terutama protein sitoskeletal menjadi selubung memadat berikatan

(16)

commit to user

secara kovalen yang dapat berfragmentasi menjadi badan apoptotik.

4) Pengangkatan sel mati.

Badan apoptotik mengekspresikan ligan baru pada permukaan sel, yaitu fosfatidilserin yang memerantai pengikatan dan ambilan sel fagositik tanpa disertai pelepasan mediator proinflamasi. Sehingga, proses sangat efisien, sel mati menghilang tanpa bekas dan tidak ada inflamasi (Kumar et al, 2013).

8. Mikronukleus

a. Definisi Mikronukleus

Mikronukleus merupakan inti sel tambahan kecil yang letaknya terpisah dari inti sel utama, yang terbentuk karena kesalahan selama pembelahan sel. Jika dilihat dengan mikroskop, maka secara morfologis mikronukleus tampak seperti inti sel utama, hanya saja ukurannya yang lebih kecil yaitu sepertiganya.

Selain mikronukleus, terdapat beberapa bentuk inti sel abnormal yang harus dibedakan dengan mikronukleus yaitu

nucleoplasmic bridge dan nuclear buds. Nucleoplasmic bridge

terbentuk karena kesalahan selama pembelahan sel sehingga tampak adanya jembatan penghubung antara dua inti sel utama saat kariokinesis dan tidak terjadi sitokinesis. Nuclear buds adalah abnormalitas inti sel yang mirip dengan mikronukleus, yang

(17)

commit to user

terbentuk karena adanya amplifikasi gen inti sel, yang harus dibedakan adalah hubungan antara inti sel utama dan inti sel tambahan yang berukuran lebih kecil (Fenech et al, 2011).

b. Pembentukan Mikronukleus

Teori menjelaskan bahwa mikronukleus terbentuk karena kesalahan saat pembelahan sel mitosis. Fragmen kromosom asentrik, fragmen kromatid asentrik, atau kromosom secara keseluruhan yang terpisah dari daughter nuclei yang tidak melekat sempurna pada benang spindel, sehingga menyebabkan

completion saat telofase karena mereka tidak melekat sempurna

pada benang spindel dan “keluar orbit” sehingga anafase tidak berjalan normal. Kromosom atau fragmen kromosom yang terlempar “keluar orbit” tersebut akhirnya diselimuti oleh membran inti dan secara morfologi menyerupai nukleus asli ketika dilakukan pengecatan inti, kecuali ukurannya yang lebih kecil yaitu sepertiga dari nukleus. Selain itu mikronukleus juga dapat terbentuk dari material kromosom yang terfragmentasi saat terjadi pembentukan nucleoplasmic bridge, seperti terlihat pada gambar 2.3 (Fenech et al, 2011).

(18)

commit to user

Mikronukleus berasal dari kromosom asentrik atau fragmen kromatid. Fragmen asentrik yang mengalami kerusakan karena paparan 8-oxo-deoxyguanosine atau adanya basa nitrogen tambahan yang seharusnya tidak ada pada manusia, misalnya

urasil. Kegagalan pada fase perbaikan DNA tersebut

menyebabkan adanya basa nitrogen yang diterjemahkan menjadi salah dan akhirnya menjadikan rantai ganda DNA berpisah dan saat itu juga rantai DNA yang terlepas membentuk mikronukleus.

Selain itu, terdapat fakta bahwa substansi genotoksik

mempengaruhi DNA dibuktikan pada pemeriksaan mikronukleus limfosit.

Awalnya mikronukleus hanya terbentuk pada lapisan stratum basalis, karena hanya pada lapisan ini terdapat sel punca

Gambar 2.3 Pembentukan mikronukleus dan nucleoplasmic

(19)

commit to user

yang mempunyai kemampuan untuk terus membelah. Namun, karena proses regenerasi epitel, sel-sel keratinosum yang mengelupas terus-menerus akan digantikan oleh sel-sel dari lapisan di bawahnya. Maka, sel-sel di stratum basalis akan bermigrasi secara fisiologis ke arah lapisan yang lebih superfisial dalam waktu 7-10 hari. Kemudian, hal yang penting lagi adalah mikronukleus tidak direduksi sistim metabolisme sel setelah terbentuk di stratum basalis dan bersifat menetap (Nina et al,

2008).

9. Biomonitoring Mikronukleus

Pemeriksaan mikronukleus dapat digunakan untuk menentukan potensi genotoksik dan mutagenetik dari berbagai zat kimia di mana zat

tersebut dapat menyebabkan pembentukan mikronukleus (Kamboj et al,

2007; Fenech et al, 2011).

Tes diagnostik dengan mikronukleus akan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pra-malignansi. Mukosa bukal merupakan salah satu bagian tubuh yang terpengaruh karena letaknya yang paling memungkinkan terpapar dunia luar, permukaannya yang luar dan juga dilapisi oleh epitel squamous kompleks non-keratinisasi yang struktur histologisnya dapat berubah ketika tepapar dunia luar (Kamboj et al,

2007).

Mikronukleus di mukosa bukal digunakan untuk mempelajari efek preneoplastik dengan cara swab langsung dari jaringan yang

(20)

commit to user

terkena. Disarankan bahwa mikronukleus mukosa bukal dapat memprediksi risiko kanker pada saluran aerodigestif atas, termasuk tahap premalignansi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi mikronukleus pada mukosa bukal antara lain: perbedaan dalam pengumpulan sel (waktu dan alat yang digunakan), teknik fiksasi dan pewarnaan, pemilihan dan jumlah sel yang dihitung, kriteria skoring, dan anomali nuklear lainnya pada sel normal atau degenerasi.

Pemeriksaan mikronukleus dengan metode swab mukosa bukal

ini dapat digunakan sebagai skrining. Hal ini didukung dengan sensitivitas 94%, spesifitas 100%, dan akurasi 95% bila dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan histopatologi (Kashyap et al, 2012).

10. Hubungan Timbal dengan Mikronukleus

Menurut Hartwig et al (2002), timbal yang tertimbun di dalam tubuh tidak dapat menyebabkan kerusakan DNA secara langsung seperti pertukaran materi genetik antara sister kromatid ataupun menyebabkan putusnya rantai DNA. Dalam teori ini, kerusakan DNA disebabkan oleh sinar ultra violet (UV), kemudian timbal menghambat proses perbaikannya. Proses penghambatan

DNA repair ini berkaitan dengan kemampuan timbal untuk mengikat

enzim-enzim yang dibutuhkan dalam DNA repair seperti polimerase dan ligase. Proses DNA repair berlangsung dengan memotong atau menghilangkan bagian DNA yang rusak, setelah itu sekuens DNA

(21)

commit to user

kembali diurutkan oleh enzim polimerase dan selanjutkan dilekatkan kembali oleh “lem biologis” yaitu enzim ligase. Pengikatan enzim polimerase dan ligase oleh timbal ini menyebabkan DNA repair tidak berjalan sempurna, dan terjadilah kerusakan DNA. Sedangkan menurut Kohen et al (2002), sinar ultra violet (UV) merupakan salah

satu sumber Reactive Oxygen Species (ROS) yang dapat

menyebabkan stres oksidatif, yang mekanismenya dijelaskan seperti di atas dan dirangkum pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Mekanisme yang mendasari terjadinya stres oksidatif akibat paparan timbal

(22)

commit to user

Di bawah pengaruh timbal, timbulnya stres oksidatif terjadi melalui dua jalur yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, yaitu:

a. Terbentuknya radikal bebas ROS (Reactive Oxygen

Species) misalnya hidroperoksida (HO2 •), oksigen

singlet, dan hidrogen peroksida (H2O2)

b. Deplesi atau habisnya cadangan antioksidan.

Pertahanan antioksidan tubuh ikut berperan dalam penghambatan terbentuknya ROS, dalam hal ini terutama pada ketidakseimbangan glutation yang tertera pada gambar 2.5.

Timbal mempunyai kemampuan untuk berbagi elektron dengan cara membentuk ikatan kovalen. Ikatan ini terbentuk antara timbal dan kompleks sulfhidril pada glutation, yang merupakan target utama timbal dan rentan sehingga akhirnya terinaktivasi. Hal

(23)

commit to user

ini menyebabkan sintesis GSH dari sistein melalui siklus γ-glutamil (yang pada kondisi normal tidak adekuat pembentukannya). Selain itu timbal juga menginaktivasi enzim seperti δ-amino levulinic acid

dehydratase (ALAD), glutathione reductase (GR), glutathione

peroxidase (GPx), dan glutathione-S-transferase, yang akhirnya

mengurangi jumlah glutation. Enzim penting lainnya yang diinaktivasi oleh timbal adalah super oxide dismutase (SOD) dan

catalase (CAT) yang dapat mengakibatkan meningkatnya radikal

superoksida (O2-).. Terlepas dari pengikatan kompleks sulfhidril, timbal juga dapat mengganti ion zinc yang berfungsi sebagai ko-faktor penting bagi enzim-enzim antioksidan dan menginaktivasinya.

Radikal bebas yang jumlahnya tidak terkontrol dapat mengakibatkan hilangnya homeostasis antara radikal bebas dan antioksidan yang berujung pada peristiwa peroksidasi lipid, disrupsi membran sel, oksidasi protein, serta oksidasi DNA dan RNA yang bisa memicu terjadinya program apoptosis, seperti dijelaskan pada gambar 2.6 (Patrick, 2006; Flora et al, 2012).

(24)

commit to user

Gambar 2.6 Mekanisme yang terjadi berdasarkan target stres oksidatif yang dipicu oleh timbal.

(25)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

(26)

commit to user C. Hipotesis

Ada perbedaan pengaruh timbal terhadap pembentukan mikronukleus mukosa bukal antara SPBU dan pramuniaga toko di Surakarta.

Gambar

Gambar 2.3  Pembentukan mikronukleus dan nucleoplasmic
Gambar  2.4  Mekanisme  yang  mendasari  terjadinya  stres  oksidatif akibat paparan timbal
Gambar 2.5  Efek timbal pada metabolisme GSH.
Gambar 2.6 Mekanisme yang terjadi berdasarkan target  stres oksidatif yang dipicu oleh timbal
+2

Referensi

Dokumen terkait

(e&ikian surat per&oonan pende-egasian peserta, atas peratiann6a diaturkan teri&a kasi. Wallahul Muwafq Ilaa

Hipotesis dari penelitian ini adalah pembuatan sistem temu kembali informasi (Information Retrieval) dengan cara menentukan objek layanan kesehatan mana yang lebih relevan

Berdasarkan analisis di atas, maka dapat diambil kesimpulan yaitu hasil perhitungan harga jual perkemasan produk terhadap laba yang dihasilkan dengan menggunakan metode harga biaya

Dalam rencana pemberdayaan desa dan potensi Kelurahan Pringsewu Selatanpenulis membuat sebuah rancangan website yang diharapkan dapat membantu masyarakat dalam

Meskipun beberapa penelitian telah menemukan bahwa metode Total Physical Response efektif dalam pengajaran bahasa asing dan juga dalam peningkatan penguasaan

negara tetangga, Malaysia, juga mengenal tempoyak.. Oh, iya, Teman-teman, tempoyak adalah hasil fermentasi dari buah durian. Jambi memiliki banyak daerah penghasil buah

Selain pendapat di atas, Hery (2014:202) mengatakan: Istilah piutang mengacu pada sejumlah tagihan yang akan diterima oleh perusahaan (umumnya dalam bentuk kas)

Semester Ganjil 2013 / 2014 dengan judul “ Pusat Olahraga Bulutangkis di Solo” ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik