• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

URGENSI MMODEL DISKUSI ISU-ISU PUBLIK KONTROVERSIAL DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI DAN KEMAMPUAN

BERPIKIR KRITIS SISWA

GALIH PUJI MULYOTO Universitas Negeri Yogyakarta

Sutrisno.afiq@gmail.com ABSTRAK

Fakta yang ada dilapangan menunjukkan pembelajaran PKn di Indonesia masih didominasi penggunaan metode ceramah dan tanya jawab. Akibatnya, PKn sering kali dianggap membosankan dan kurang menarik. Sementara kunci dari PKn adalah membangun partisipasi aktif serta berpikir kritis generasi muda terhadap isu-isu publik di masyarakat.

Makalah ini bertujuan untuk mengelaborasi arti penting pemilihan isu-isu publik dan reposisinya dalam kajian PKn di Indonesia dalam Kurikulum 2013. Penulis mengemukakan alasan-alasan perlunya memilih isu-isu publik yang perlu diajarkan di sekolah melalui mata pelajaran PKn, baik dari perspektif nasional maupun internasional. Mengapa isu-isu publik menjadi salah satu topik penting dalam kajian PKn? Bagaimana berfikir kritis dan partisipasi adalah kunci dari pendidikan kewarganegaraan?

Hasil pembahasan menunjukkan keterkaitan investigasi dan pemilihan isu-isu publik harus juga didasarkan dengan kultur atau budaya suatu daerah. Alasannya, karena isu-isu pubik ini rentan dengan bentuk-bentuk indoktrinasi serta konflik yang keras, serta menimbulkan kebencian. Hal ini terjadi apabila guru sebagai penengah atau fasilitator tidak memberikan refleksi yang benar diakhir pembelajaran. Hal ini disebabkan cara berpikir keritis dalam diskusi isu-isu publik ini akan membawa emosi serta sikap berfikir ekstrim dari siswa. Oleh karenanya isu-isu publik ini perlu menjadi perhatian serta penelitian lebih lanjut. Pokok utama adalah membuatkan modul dengan benar, langkah-langkah yang benar dalam pelaksanaan diskusi isu-isu publik di kelas.

Kata Kunci: Isu-isu publik, Kewarganegaraan, partisipasi dan berpikir kritis A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Kewarganegaraan oleh kebanyakan literatur Barat dipahami sebagai Pendidikan Kewarganegaraan demokrasi. Selain itu, Pendidikan kewarganegaraan bertujuan menanamkan nilai-nilai demokrasi dalam diri warga terutama warga negara muda agar nantinya mampu berpartisipasi aktif baik selaku individu maupun kelompok dalam mendukung masyarakat demokratis

(2)

(Cogan, 1999; Kerr, 1999; Murray Print & Dirk Lange, 2012; Naval, Print & Veldhuis, 2002; Vontz & Patrick, 2000; James Arthur, Ian Davies & Hahn, 2008; Branson, 2000; dan Hess & Avery, 2012). Seperti halnya di Indonesia, kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan dapat dicermati dalam serangkaian proses perumusan standar isi mata pelajaran PKn, mulai dari konsep Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas hingga finalisasi di Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menunjukkan kesamaan dengan pendidikan kewargaengaraan di berbagai dunia. Hal ini terlihat misalnya dalam tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2005:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:

1) Berpikir kritis rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

2) Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3) Berkembangan secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Konsep tersebut memiliki kesamaan dengan Qualifications and Curriculum Authority (1998) dan Patrick & Vontz, (2001) bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi adalah untuk memberikan kenyamanan dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan nilai-nilai yang relevan dengan hakikat demokrasi partisipatif; juga untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, dan perasaan tanggung jawab yang diperlukan untuk pengembangan para siswa menjadi warga negara aktif. Meskipun gambaran sejarah PKn di Indonesia pada masa lalu masih lebih menekankan indoktrinasi pengetahuan tentang Pancasila dan Kewarganegaraan serta Nilai-Nilai P4 secara normatif (Samsuri 2010; dan Wahab & Sapriya, 2011). Sehingga perlu merumuskan tujuan pembelajaran civics dalam tiga bentuk komponen kompetensi kewargaan, yaitu civic knowledge, civic skills yang memuat kecakapan intelektual dan partisipatori, dan civic dispositions.

Paparan diatas menunjukan bahwa partisipasi warga negara menjadi fokus dan topik penting dari pendidikan kewarganegaraan di dunia saat ini. Hal tersebut dikuatkan menurut Arthur K. Ellis (1998: 225) menyebutkan bahwa kata kunci pembelajaran PKn ialah partisipasi. Partisipasi warga negara adalah hal fundamental dalam tata pemerintahan yang demokratis. Masalah ditujukan di dalam partisipasi warga negara dalam banyak cara, termasuk di dalamnya

(3)

pemakaian teknologi untuk melibatkan warga negara dalam proses pengambilan keputusan (D’Agostino, 2006:2). Hal yang lain, misalnya yang dikemukakan Torney-Purta dkk., (2001) yang melakukan penelitian tentang pendidikan kewarganegaraan memuji diskusi tentang isu-isu publik yang otentik sebagai komponen kunci dari jalur menuju pengetahuan politik dan partisipasi yang lebih besar. Dalam rangka menterjemahkan konsep di atas, khusus dalam soal materi, perlunya ditekankan keterpaduan antara konten dan proses dalam proses belajar mengajar pengetahuan, keterampilan dan kebajikan-kebajikan kenegaraan.

Lebih lanjut, Branson (2001: 2) mengungkapkan tentang pengetahuan apa yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam komunitas maupun sebagai warga negara? Hal ini menunjukkan konflik atas isi dari kurikulum inti PKn adalah isu-isu publik tentang apa yang seseorang harus tahu dan harus disiapkan untuk kewarganegaraan demokrasi. Hal ini apa bila dicermati, akan bermuara pada pembentukkan warga negara demokratis, serta menjelaskan kepada siswa bagaimana seharusnya belajar untuk terlibat dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini Pendidikan Kewarganegaraan mungkin bermakna ketika siswa berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik dan warga negara. Sedangkan Parker (2001) berpendapat guru harus menekankan pengajaran dan pembelajaran secara mendalam melalui kurikulum mata pelajaran yang terintegrasi atau menyatu terorganisir dalam hal masalah-masalah sosial. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengembangan kurikulum dan rencana pengajaran, guru perlu didorong untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan partisipatoris maupun intelektual, karena merupakan hal yang tidak terpisahkan dari konten atau satuan pengetahuan kenegaraan. Hal ini menunjukkan hubungan antara partisipasi dan isu-isu kebijakan publik dalam kehidupan masyarakat/ kehidupan nyata memiliki keterkaitan yang erat dengan proses belajar pendidikan kewarganegaraan di sekolah.

Berdasarkan hal tersebut, guru harus menekankan siswa untuk berfikir kritis dan bertindak efektif dalam merespon isu-isu politik, serta memahami pengertian dalam isu tersebut, asal mulanya, pilihan reaksi terhadapnya dan konsekuensi logis dari reaksi itu. Pemahaman itu berlandaskan pada pengetahuan siswa. Penerapan pengetahuan untuk menjelaskan, menilai dan memecahkan isu bergantung pada keterampilan-keterampilan proses kognitif siswa. Materi bahan pelajaran dan proses-proses atau operasi-operasi kognitif pokok merupakan faktor-faktor yang saling terkait dalam belajar mengajar.

Pada bagian lain, Citizenship Foundation (2006: 103) menyebutkan beberapa model strategi pengajaran dan pembelajaran PKn untuk membentuk warga negara yang memiliki partisipasi aktif. Model itu ialah (1) Learning climate, (2) Topical and controversial issues, (3) Active learning, (4) Group discussions and debates, (5) Developing discussion skills, (6) Project work, dan (7) Written activities. Ketujuh model itu, melihat kategori Butts (1988), tergolong dalam kelompok pembelajaran yang bersifat partisipasi

(4)

kewarganegaraan. Sedangkan Birzea dalam proyek Education for Democratic Citizenship (2000: 26) menunjukan dalam piramida pembelajaran pendidikan kewarganegaraan, yaitu; Experiential learning, Collaborative learning, Intercultural learning, Action learning, Contextual learning. Sementara Patrick & Vontz, 2000; Vontz, Metcalf, & Patrick, 2000; Parker, 1999; Pusat Civic Education, 1997b, 1998, 2006; Tolo, 1998; Haas, 2000; dan Craddock, Fischer & Subreenduth, 2007 sepakat bahwa model project citizen adalah bagian dari cara mengajarkan pendidikan kewarganegaraan disekolah melalui praktik kewarganegaraan kepada siswa berkaitan dengan isu-isu publik dan partisipasi aktif warga negara.

Tentu saja, beberapa model dan strategi yang diungkapkan di atas bisa dikatakan sebagai praktik kewarganegaraan. Penggunaan praktik kewarganegaraan tersebut dalam pembelajaran PKn di kelas tentu memiliki tujuan untuk mengembangkan kompetensi kewarganegaraan siswa, berupa pengetahuan kewargnegaraan, keterampilan kewarganegaraa dan sikap kewarganegaraan. Akan tetapi dalam pelaksanaan praktik pedagogisnya terdapat kesenjangan yang cukup besar tampaknya ada antara teori dan kebijakan kurikulum yang kurang menekankan pada praktik kewarganegaraan di sekolah. Beberapa alasan yang melatarbelakangi adalah kesulitan guru dalam menentukan topik-topik isu-isu publik yang akan digunakan dalam model pembelajaran praktik kewarganegaraan. Dalam kasus lain, sekolah mengikuti masyarakat dan mengubah kurikulum untuk mencerminkan konsensus yang muncul tentang apa yang pernah menjadi isu kontroversial. Hal ini sering guru yang membuat keputusan tentang apakah masalah harus disajikan sebagai menetap atau kontroversial (Hess & Avery, 2012).

Studi kasus di Amerika misalnya, Hess (2005) meminta guru US sekolah menengah dan tinggi untuk menganalisis daftar topik yang memicu kontroversi di masyarakat (seperti aborsi dan hak gay), dan menemukan ketidaksepakatan yang signifikan tentang apakah beberapa topik adalah hal yang sah kontroversi (Hess & Avery, 2012: 10). Lebih lanjut Hess mengungkapkan guru harus membuat keputusan tentang apakah untuk mengungkapkan pandangan mereka sendiri tentang isu-isu untuk siswa mereka. Sampai saat ini, ada kelangkaan penelitian yang diperiksa bagaimana guru memahami pertanyaan kritis ini. Hess (2005) menganjurkan memuat kurikulum pendidikan kewarganegaraan dengan hangat diperdebatkan isu-isu politik untuk mengajarkan orang-orang muda yang kontroversi bukan sampingan. Gagasan bahwa isu-isu politik yang kontroversial harus menjadi ciri utama dari berbasis sekolah.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa masih diperlukan kajian secara mendalam tentang keterkaitan isu-isu publik dalam pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Berdasarkan masalah tersebut, pemakalah akan melakukan kajian tetang urgensi dari pemilihan dan investigasi isu-isu publik

(5)

dalam pendidikan kewarganegaraan. Dalam hal ini pemakalah ingin menunjukkan posisinya terhadap kajian dari litelatur Chapter 39: Discussion of Controversial Issues as a Form and Goal of Democratic Education yang ditulis oleh Diana Hess and Patricia G. Avery dan litelatur The Use of a Jurisprudential Framework in the Teaching of Public Issues yang ditulis oleh Donald W. Oliver and James P. Shaver.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam makalah ini pemakalah merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah isu-isu publik?

2. Apa pertimbangan untuk melaksanakan isu-isu publik?

3. Bagaimana keterkaitan isu-isu publik dengan pendidikan kewarganegaraan? 4. Bagaimana melakukan pemilihan dan investigasi isu-isu publik dalam

pembelajaran pendidikan kewarganegaraan?

5. Bagaimana urgensi isu-isu publik dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan?

C. Tujuan

Tujuan dari makalah posisi ini adalah: 1. Mengetahui tentang isu-isu publik.

2. Mengetahui pertimbangan untuk melaksanakan isu-isu publik.

3. Mengetahui keterkaitan isu-isu publik dengan pendidikan kewarganegaraan. 4. Mengetahui pemilihan dan investigasi isu-isu publik dalam pembelajaran

pendidikan kewarganegaraan.

5. Mengetahui urgensi isu-isu publik dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.

D. Sistematika Makalah

Sistematika penulisan makah ini adalah:

1. Pada BAB 1 pendahuluan: menggambarkan latar belakang penulisan dan rumusan serta tujuan dari makalah ini.

2. Pada BAB 2 Pembahasan: menjelaskan dan mencoba menjawab dari rumusan masalah. Hal ini berkaitan dengan isu-isu publik dalam pendidikan kewarganegaraan, cara pemilihan dan investigasi isu-isu publik dalam pendidikan kewarganegaraan serta urgensi isu-isu publik dalam pendidikan kewarganegaraan.

3. Pada BAB 3 Penutup: berupa kesimpulan dari isi makalah.

(6)

Perkembangan Inti dari demokrasi yang sehat adalah dialog terbuka tentang isu-isu yang menjadi perhatian publik. Harwood, Angela & Carole (1990: 1) mengungkapkan hal ini merupakan bagian integral dari pelatihan warga muda, oleh karena itu, termasuk pembahasan kebijakan sosial, politik, dan ekonomi yang kontroversial. Lebih lanjut, Harwood, Angela & Carole (1990: 2) memberikan definisi tentang isu-isu kontroversial sebagai dialog reflektif kalangan siswa, atau antara siswa dan guru, tentang masalah yang yang menjadi ketidakkesepakatan. Biasanya diskusi yang dipicu oleh sebuah pertanyaan atau pernyataan yang dibuat baik oleh siswa atau guru. Dialog berikutnya kemudian memungkinkan untuk presentasi bukti yang mendukung, komentar, dan ekspresi yang berbeda-beda poin pandang. Oleh karena itu diskusi, sebuah usaha interaktif, dan dialog reflektif menimbulkan mendengarkan dan menanggapi ide-ide yang diungkapkan.

Padangan lain, Hess & Avery, (2012: 2) mengungkapkan bahwa dalam masyarakat demokratis, diskusi di sekolah dipandang sebagai komponen penting dari pendidikan kewarganegaraan. Penelitian pada pengembangan nilai-nilai demokrasi memberikan dukungan yang kuat untuk dimasukkannya isu-isu kontroversial dalam pendidikan demokratis. Lebih lanjut, Hess & Avery, (2012: 13) menunjukkan ada bukti bahwa berpartisipasi dalam isu-isu kontroversial diskusi dapat membangun nilai-nilai pro-demokrasi, meningkatkan pemahaman konten, dan menyebabkan siswa untuk terlibat lebih dalam dunia politik. Adapun tujuan dari pengajaran isu-isu publik ini, menurut Harwood, Angela & Carole (1990: 3);

1. mempersiapkan siswa untuk peran mereka sebagai warga negara dalam demokrasi pluralistik,

2. mengembangkan kemampuan berpikir kritis, dan 3. meningkatkan keterampilan interpersonal.

Penjelasan di atas memberikan titik terang bahwa dalam isu-isu publik yang diajarkan di kelas, akan menimbulkan ketertarikan siswa akan pembelajaran PKn sehingga secara otomatis ketertarikan ini menjadi bentuk partisipasi aktif. Selain itu, isu-isu publik diterapkan dalam proses pembelajaran baik melalui praktik-praktik kewarganegaraan, maupun metode-metode yang mendukung dalam pembelajaran PKn, sebagai contoh metode diskusi. Dalam penelitian yang dilakukan IEA (1999) mengungkapkan guru mendorong untuk mendiskusikan politik atau masalah sosial tentang yang orang memiliki pendapat yang berbeda 'dimasukkan sebagai bagian dari terbuka membangun iklim kelas. Skala ini mengukur sejauh mana siswa mengalami kelas mereka sebagai tempat untuk menyelidiki masalah dan mengeksplorasi pendapat mereka dan orang-orang dari rekan-rekan mereka (Torney-Purta dkk, 2001:. 137). Para peneliti melaporkan bahwa iklim kelas terbuka untuk diskusi adalah prediktor signifikan terutama sipil pengetahuan dan keterlibatan politik (2001: 155). Hasil di atas menunjukkan bahwa isu-isu publik yang diangkat dalam proses pembelajaran PKn melalui

(7)

metode diskusi, tidak hanya topik yang biasa, melainkan kontroversial. Namun dalam penentuannya perlu lebih dijelaskan kembali.

Salah satu faktor yang mempengaruhi apakah isu-isu publik akan digunakan oleh guru adalah karakteristik siswa mereka (Davies & Hahn, 2008: 7). Guru yang terampil dalam memfasilitasi diskusi kualitas tinggi dari isu-isu publik melaporkan beberapa kesamaan dalam kedua praktek mereka dan dalam isu-isu pedagogis yang mengantang (Cotton, 2006; dan Hess, 2005). Sehingga hal ini mengaitkan bahwa guru memiliki peran penting dalam menentukan isu-isu publik yang akan disampaikan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Perlu perhatian khusus karena ini akan menentukan keterampilan siswa berkaitan dengan kompetensi yang akan dimiliki siswa. Berkaitan dengan karakteristik siswa, guru diharapkan peka terhadap kemampuan siswa serta keadaan yang mendukung untuk melaksanaan pembelajaran metode diskusi isu-isu publik dalam pembelajaran PKn.

Dalam kasus lain, sekolah mengikuti masyarakat dan mengubah kurikulum untuk mencerminkan konsensus yang muncul tentang apa yang pernah menjadi isu–isu publik. Apabila merunut hal tersebut, mungkin perlu melihat tentang kajian-kajian dari pendidikan kewarganegaraan berkaitan dengan isu-isu kewarganegaraan. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, mengikuti Gerhard Himmelmann (2013), mengubah paradigma Pendidikan Kewarganegaraan yang semula berfokus kepada program pengajaran dan transfer pengetahuan kewarganegaraan menjadi pendekatan yang menekankan sikap-sikap personal-individual, moral dan perilaku sosial sebagaimana disposisi dan nilai-nilai bersama dari warga negara dalam kehidupan bersama yang menghargai hak-hak asasi manusia dan demokrasi di dunia yang penuh konflik. Hal ini menjadi penting karena dalam pendidikan kewarganegaraan merupakan multidisplin ilmu, yang mana terdapat berbagai kajian ilmu lain didalamnya.

Hal ini menarik dan tampaknya menjadi common sense dari teoretisi pendidikan kewarganegaraan di dunia, yakni dengan mulai diperkenalkan istilah paradigma baru pendidikan kewarganegaraan. Dalam hal ini, Print (1999: 12) menawarkan ciri-ciri utama pendidikan kewarganegaraan paradigma baru, yang sedikitnya memuat kajian tentang:

1. rights and responsibilities of citizens; 2. government and institutions;

3. history and constitutions; 4. national identity;

5. legal system and the rule of law;

6. human, political, economic and social rights; 7. democratic principles and processes;

(8)

9. international perspectives; and

10.values of democratic citizenship (Print, 1999: 12).

Sementara Patrick dan Vontz (2001: 46) menjabarkan ke dalam materi pokok kajian pengetahuan pendidikan kewarganegaraan menjadi tujuh topik, yaitu: (1) demokrasi perwakilan (representative democracy); (2) konstitusionalisme; (3) hak asasi (liberalisme); (4) kewarganegaraan (citizenship); (5) masyarakat kewargaan (civil society); (6) ekonomi pasar (free and open economic system); dan, (7) tipe-tipe isu publik. Sehingga dalam penentuan isu-isu tersebut tidak jauh dari apa yang menjadi kajian dari pendidikan kewarganegaraan. Pemakalah setuju bahwa keterkaitan antara kajian PKn dengan isu-isu publik guru sebaiknya memperhatikan ketertarikan siswa akan isu-isu yang akan dibahas, karena ini penting untuk menciptakan kelas yang aktif dan menyenangkan. Hal ini sependapat yang di ungkapkan oleh Zukin et al, (2006) bahwa isu-isu publik meningkatkan minat siswa untuk terlibat dalam kehidupan publik; meningkatkan berpikir kritis, atau membangun lebih keterampilan interpersonal canggih (Johnson dan Johnson, 1995).

Berdasarkan hal di atas, dengan pembelajaran PKn menggunakan metode diskusi isu-isu publik yang kontroversial guru harus menekankan siswa untuk berfikir kritis dan bertindak efektif dalam merespon isu-isu politik, serta memahami pengertian dalam isu tersebut, asal mulanya, pilihan reaksi terhadapnya dan konsekuensi logis dari reaksi itu. Pemahaman itu berlandaskan pada pengetahuan siswa. Penerapan pengetahuan untuk menjelaskan, menilai dan memecahkan isu bergantung pada keterampilan-keterampilan proses kognitif siswa. Materi bahan pelajaran dan proses-proses atau operasi-operasi kognitif pokok merupakan faktor-faktor yang saling terkait dalam belajar mengajar. Baik materi akademis maupun proses-proses harus diajarkan dan dipelajari bersama-sama agar misi PKN untuk mengembangkan kemampuan individu dalam membangun, memelihara dan memperbaiki pemerintahan dan kewarganegaraan demokratis di negaranya atau di seluruh dunia terpenuhi/terwujud. Hal ini didasarkan pada masyarakat yang otonom, artinya warga negara adalah pembuat keputusan. Sehingga siswa perlu mengembangkan dan terus mengasah kemampuan mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat. Kemampuan itu sangat penting jika nanti mereka diminta menilai isu-isu yang ada dalam agenda publik, dan mendiskusikan penilaian siswa dengan orang lain dalam masalah privat dan publik.

B. Pemilihan dan Investigasi Isu-Isu Publik dalam Pendidikan Kewarganegaraan

Pemilihan dan investigasi isu-isu publik dalam pendidikan kewarganegaraan ini merupakan langkah-langkah dari penerapan isu-isu publik dalam pembelajaran PKn. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu terlebih dahulu

(9)

diulas tentang aspek-aspek pendidikan kewarganegaraan. Patrick dan Vontz (2001: 46) mengungkapkan bahwa Keterampilan mengajar dan belajar kewarganegaraan, baik kognitif dan partisipatif. Pengetahuan tentang isu-isu publik harus menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan yang berpusat guru. Guru tidak mungkin pengembang efektif keterampilan kewarganegaraan di antara siswa di sekolah-sekolah dasar dan menengah kecuali mereka telah mengembangkan keterampilan ini melalui pelajaran.

Dengan demikian, Pembelajaran pendidikan kewarganegaraan berpusat kepada siswa. Guru harus terus ditantang untuk menggunakan informasi dan ide-ide, secara individual dan kolektif, untuk menganalisis dan menanggapi isu-isu publik sebagai pemikir reflektif, pengambil keputusan musyawarah, dan partisipasi aktif, bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat. Dalam hal ini, penting bagi guru ketika akan melakukan pemilihan dan investigasi isu-isu publik yang akan digunakan dalam pembelajaran PKn di kelas. Sementara Hess (2002: 258) mengungkapkan dasar pemikiran untuk mengajar siswa untuk mendiskusikan isu-isu politik yang kontroversial di sekolah melalui diskusi.

Meskipun seperti yang diungkapkan pada latar belakang makalah ini, bahwa dalam kasus lain, sekolah mengikuti masyarakat dan mengubah kurikulum untuk mencerminkan konsensus yang muncul tentang apa yang pernah menjadi isu kontroversial. Hal ini sering guru yang membuat keputusan tentang apakah masalah harus disajikan sebagai menetap atau kontroversial (Hess & Avery, 2012). Studi kasus di Amerika misalnya, Hess (2002) meminta guru US sekolah menengah dan tinggi untuk menganalisis daftar topik yang memicu kontroversi di masyarakat (seperti aborsi dan hak gay), dan menemukan ketidaksepakatan yang signifikan tentang apakah beberapa topik adalah hal yang sah kontroversi (Hess & Avery, 2012: 10). Lebih lanjut Hess mengungkapkan guru harus membuat keputusan tentang apakah untuk mengungkapkan pandangan mereka sendiri tentang isu-isu untuk siswa mereka. Sampai saat ini, ada kelangkaan penelitian yang diperiksa bagaimana guru memahami pertanyaan kritis ini. Hess (2005) menganjurkan memuat kurikulum pendidikan kewarganegaraan dengan hangat diperdebatkan isu-isu politik untuk mengajarkan orang-orang muda yang kontroversi bukan sampingan disayangkan demokrasi, tapi satu dari inti dan elemen penting. Gagasan bahwa isu-isu politik yang kontroversial harus menjadi ciri utama dari berbasis sekolah.

Selain itu, tampaknya menjadi hubungan terbalik antara tingkat ras dan keragaman etnis yang ada di dalam kelas dan kemauan guru untuk menanamkan isu-isu publik ke dalam kurikulum (Campbell, 2007). Hal ini menjadi acuan jika melihat apa yang digambarkan dalam penelitian yang dilakukan Hess (2005) dan Donald W. Oliver and James P. Shaver. Mereka mendefinisikan keterampilan partisipatif yang paling penting (1) berinteraksi dengan orang lain; (2) pemantauan politik dan memerintah pemerintah; dan (3) mempengaruhi proses

(10)

pemerintahan. Bersama keterampilan ini memungkinkan siswa menggunakan pengetahuan mereka untuk berpikir dan bertindak secara efektif dan dengan cara yang beralasan dalam menanggapi tantangan hidup. Sementara, para penulis di National Assessment of Educational Progress (1998) mendefinisikan keterampilan intelektual yang paling penting dalam kewarganegaraan sebagai (1) mengidentifikasi; (2) menjelaskan dan menganalisis; dan (3) mengevaluasi, mengambil, dan membela posisi.

Faktor penting adalah pemilihan topik dalam isu-isu publik perlu menjadi perhatian khusus. Hess & Avery, (2012) menjelaskan langkah pertama adalah menentukan kriteria apa yang harus digunakan untuk memutuskan apakah topik adalah benar masalah, atau pertanyaan yang ada hak menjawab. Kedua adalah apakah seorang guru harus mengungkapkan pandangan pribadinya dikontroversial masalah siswa mendiskusikan. Sementara Harwood, Angela & Carole (1990: ) Dalam memilih isu publik, guru harus mempertimbangkan minat siswa mereka, pengalaman, dan keahlian tentang masalah ini; relevansi masalah untuk siswa mereka hidup; tingkat kematangan siswa mereka; dan pentingnya masalah ini ke masyarakat. Selain itu, Guru dan siswa harus kooperatif menentukan pedoman untuk interaksi, dan keduanya harus menyadari bahwa untuk membangun irama dan aliran untuk diskusi akan membutuhkan latihan dan kesabaran serta menyediakan informasi yang memadai sebagai sumber. Hal lain tidak kalah penting adalah fokus dalam isu-isu publik yang akan dibahas. Penting karena pada umumnya terjadi pergeseran diskusi ketika menggunakan isu-isu ini didalam kelas.

Meskipun, menurut Hess (2012: 259) ada hambatan dalam pengajaran isu-isu publik dalam kelas, termasuk: (1) pandangan tentang tujuan pendidikan demokrasi yang berbeda; (2) kekhawatiran bahwa guru, siswa lain, atau instrumen "kurikulum resmi" (seperti buku pelajaran dan film) akan mengindoktrinasi siswa ke posisi tertentu pada isu-isu; (3) konflik yang tajam tentang apa yang harus benar menjadi dianggap sebagai masalah. Hambatan-hambatan tersebut merupakan saran untuk guru dalam mempertimbangkan setiap rinci dari tahapan pemilihan dan investigasi isu-isu publik dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.

C. Urgensi isu-isu publik dalam pembelajaran PKn

Isu kontroversial adalah seni yang membutuhkan keterampilan dan praktek. Antusiasme untuk pendekatan ini berlanjut hari ini di antara beberapa pendidik yang dibuktikan dengan baru-baru ini merilis Laporan Civic Mission (2002), yang mendukung meliputi isu-isu publik dalam kurikulum. Secara khusus, itu merekomendasikan bahwa sekolah: Memasukkan pembahasan isu-isu lokal, nasional, dan internasional ke dalam kelas. Ketika orang-orang muda memiliki kesempatan untuk mendiskusikan isu-isu saat ini dalam ruang kelas, mereka cenderung memiliki kepentingan yang lebih besar dalam politik,

(11)

ditingkatkan berpikir kritis dan komunikasi keterampilan, pengetahuan lebih sipil, dan lebih bunga dalam membahas urusan publik dari sekolah (Hess & Avery, 2012: 13). Hal ini menunjukan kesepakatan bersama bahwa partisipasi aktif siswa akan muncul apabila mereka diajak kedalam ranah pembelajaran keterampilan untuk berfikir kritis, yaitu melalui diskusi isu-isu publik yang kontroversi.

Kebanyakan guru, siswa, teori, dan peneliti percaya bahwa isu-isu publik memegang tempat penting dalam pendidikan orang muda. Baik sebagai bentuk dan tujuan pendidikan demokrasi. isu-isu publik adalah salah satu cara menciptakan keterlibatan warga negara (Oliver & Shaver, 1966). Penelitian pada pengembangan nilai-nilai demokrasi memberikan dukungan yang kuat untuk memasukkan isu-isu publik dalam pendidikan demokratis. Hess & Avery, (2012: 13) menunjukkan ada bukti bahwa berpartisipasi dalam isu-isu publik dapat membangun nilai-nilai pro-demokrasi, meningkatkan pemahaman konten, dan menyebabkan siswa untuk terlibat lebih dalam dunia politik. Namun, banyak penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami jalur kausal antara diskusi masalah dan hasil tersebut. hal ini memberikan pandangan, bahwa isu-isu publik membawa siswa kedalam bentuk partispasi terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Isu-isu publik ini untuk membantu siswa dalam pemecahan masalah, berpikir kritis, keterampilan intelektual dan teori kognitif, itu adalah cara berpikir yang kita temukan untuk menjadi kontribusi besar untuk pemikiran pendidikan. Masalah utama definisi muncul untuk apa yang merupakan kebebasan berbicara (Oliver & Shaver, 1966: 385). Pandangan Oliver dan Shaver memberikan gambaran bagaimana dalam mengidentifikasi definisi, evaluatif, atau faktual tentang masalah yang lebih luas dalam isu-isu publik tetapi juga kesadaran yang lebih kompleks hubungan di antara berbagai jenis masalah. Selain itu, Isu-isu publik akan memberikan kesempatan bagi guru maupun siswa untuk merefleksikan cara mereka menangani topik isu-isu publik di dalam kelas.

Partisipasi dalam diskusi topik isu-isu publik dapat mempengaruhi siswa yang sebenarnya sipil dan politik keterlibatan. Sebuah studi longitudinal kuasi-eksperimental dari dampak Voting Anak USA, kurikulum interaktif yang meliputi diskusi kelas kontroversial masalah, menunjukkan siswa yang berpartisipasi dalam kurikulum lebih mungkin untuk terlibat dalam tindakan yang berkaitan dengan demokrasi (McDevitt dan Kiousis, 2006). Lebih lanjut, penelitian tersebut menunjukkan studi efek positif dari kurikulum pada hasil seperti pengetahuan politik, isu-isu publik dengan teman-teman dan keluarga, relawan, dan beberapa bentuk konvensional dan aktivisme politik yang tidak konvensional.

Di studi pertimbangan dalam kelas menengah di enam negara (Azerbaijan, Republik Ceko, Estonia, Lithuania, Rusia dan Amerika Serikat). Kebanyakan siswa dalam isu-isu yang kaya kelas memiliki sikap positif terhadap

(12)

diskusi. Selain itu juga perlu memahami dampak dari pedagogis guru keputusan berkenaan dengan isu-isu kontroversial diskusi. Penelitian juga diperlukan ke dalam kesempatan yang berbeda orang-orang muda harus berpartisipasi dalam diskusi tentang isu-isu publik di sekolah mereka. Meskipun jelas bahwa beberapa siswa keseluruhan pengalaman masalah signifikan diskusi di sekolah, perkotaan imigran, status sosial ekonomi rendah, dan minoritas siswa terutama tidak mungkin memiliki kesempatan untuk terlibat dalam diskusi ini. Dengan demikian, siswa cenderung memiliki modal politik dan sosial dalam mengembangkan modal yang melalui isu-isu publik.

Menurut Suryanto, (2011: 7) Setidaknya ada empat alasan menapa isu-isu publik perlu diangkat dan menjadi urgen dalam pembelajaran PKn, yaitu:

1. Dalam pembelajaran PKn terkandung muatan-muatan kajian tentang peran lembaga-lembaga negara dan partisipasi warga negara dalam pemerintahan.

2. pembelajaran isu-isu publik dapat digunakan guru untuk mengembangkan kemampuan persepsi, emosi, komunikasi, sikap positif dan keyakinan yang merupakan kemampuan dasar untuk mencegah berkembangnya sikap dan tindakan anarkis.

3. pembelajaran isu-isu publik dapat digunakan untuk melatih kemampuan berfikir kritis siswa, karena memungkinkan siswa berbeda pemahaman dan pandangan terhadap sebuah isu yang dibahas dikelas.

4. perbedaan pandangan diantara siswa, akan memberikan wawasan dan kesadaran akan adanya perbedaan kehidupan, sehingga pada akhirnya akan memiliki sikap demokratis dalam sikap aspek kehidupan sesuai dengan realita kehidupan dalam masyarakat. PENUTUP

Berdasarkan hasil dari pendahuluan dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan Inti dari demokrasi yang sehat adalah dialog terbuka tentang isu-isu yang menjadi perhatian publik. Isu-isu publik kontroversial sebagai dialog reflektif kalangan siswa, atau antara siswa dan guru, tentang masalah yang yang menjadi ketidakkesepakatan. Biasanya diskusi yang dipicu oleh sebuah pertanyaan atau pernyataan yang dibuat baik oleh siswa atau guru. Dialog berikutnya kemudian memungkinkan untuk presentasi bukti yang mendukung, komentar, dan ekspresi yang berbeda-beda poin pandang.

Langkah-langkah pemilihan isu-isu publik adalah pertama menentukan kriteria apa yang harus digunakan untuk memutuskan apakah topik adalah benar masalah, atau pertanyaan yang ada hak menjawab. Kedua adalah apakah seorang guru harus mengungkapkan pandangan pribadinya dikontroversial masalah siswa mendiskusikan. Guru harus menekankan siswa untuk berfikir kritis dan bertindak

(13)

efektif dalam merespon isu-isu politik, serta memahami pengertian dalam isu tersebut, asal mulanya, pilihan reaksi terhadapnya dan konsekuensi logis dari reaksi itu. Pemahaman itu berlandaskan pada pengetahuan siswa.

Penerapan pengetahuan untuk menjelaskan, menilai dan memecahkan isu bergantung pada keterampilan-keterampilan proses kognitif siswa. Materi bahan pelajaran dan proses-proses atau operasi-operasi kognitif pokok merupakan faktor-faktor yang saling terkait dalam belajar mengajar. Baik materi akademis maupun proses-proses harus diajarkan dan dipelajari bersama-sama agar misi PKN untuk mengembangkan kemampuan individu dalam membangun, memelihara dan memperbaiki pemerintahan dan kewarganegaraan demokratis di negaranya atau di seluruh dunia terpenuhi/terwujud. Hal ini didasarkan pada masyarakat yang otonom, artinya warga negara adalah pembuat keputusan. Sehingga siswa perlu mengembangkan dan terus mengasah kemampuan mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat. Kemampuan itu sangat penting jika nanti mereka diminta menilai isu-isu yang ada dalam agenda publik, dan mendiskusikan penilaian siswa dengan orang lain dalam masalah

Posisi penulis sepenuhnya mendukung Isu-isu publik menjadi bagian penting dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan untuk menumbuhkan partisipasi aktif dikalangan siswa. Meskipun ada beberapa catatan dan tambahan. Salah satunya adalah keterkaitan investigasi dan pemilihan ini harus juga didasarkan dengan kultur atau budaya suatu daerah. Alasannya, karena isu-isu pubik ini rentan dengan bentuk-bentuk indoktrinasi serta konflik yang keras, serta menimbulkan kebencian. hal ini terjadi apabila guru sebagai penengah atau fasilitator tidak memberikan refleksi yang benar diakhir pembelajaran. Hal ini disebabkan cara berfikir keritis dalam diskusi isu-isu publik ini akan membawa emosi serta sikap berfikir ekstrim dari siswa. Oleh karenanya Isu-isu publik ini perlu menjadi perhatian serta penelitian lebih lanjut. pokok utama adalah membuatkan modul dengan benar, langkah-langkah yang benar dalam pelaksanaan diskusi isu-isu publik di kelas. Sebagai penutup, Guru menjadi kunci dari masalah ini, karena akan menjadi sukses atau sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Bîrzéa, C. (2000). Education for Democratic Citizenship; A Lifelong Learning Perspectives. Strasbourg: Council of Europe.

Branson, Margaret Stimmann. (2001) “Content at the Core of Education for Citizenship in a Democracy”. dalam John J. Patrick dan Robert S. Leming (eds.). Principles and Practices of Democracy in the Education of Social Studies Teachers, Bloomington, IN: ERIC Clearinghouse for Social

(14)

Studies/Social Science Education, ERIC Clearinghouse for International Civic Education, and Civitas, pp. 21-38.

Center for Civic Education. (1994). National Standards for Civics and Government. Calabasas, California: Center for Civic Education.

_______. (1996). We The People... Project Citizen. Calabasas, CA: Center for Civic Education.

Citizenship Foundation. (2006). CPD Handbook, Section 3. Citizenship in Secondary Schools. London: Citizenship Foundation.

Cotton, D.R.E. (2006). Teaching Controversial Environmental Issues: Neutrality And Balance In The Reality Oh The Clasroom. University Of Plymounth. UK. Di unduh: http://www.vtaide.com/png/ERIC/ Controversional-Publik-Issues.html. (1 September 2015).

Ellis, Arthur K. (1998). Teaching and Learning Elementary Social Studies. Boston: Ally and Bacon.

Haas, Nancy. (2001). "Using We the People.... Programs in Social Studies Teacher Education," dalam John J. Patrick dan Robert S. Leming, Principles and Practices of Democracy in the Education of Social Studies Teachers, Bloomington, IN: ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education, ERIC Clearinghouse for International Civic Education, and Civitas, pp. 167-185.

Harwood, Angela M. Hahn, Carole L., (1990). Controversial Issues In The Clasroom. di unduh : http://www.ericdigests.org/pre-9218/issues.html. (2 September 2015).

Hess, Diana & Posselt. (2001). Teaching Students To Discuss Controversial Issues. Hess, Diana and Patricia G. Avery. 2008. Chapter 39: Discussion of Controversial

Issues as a Form and Goal of Democratic Education. dalam James Arthur & Ian Davies & Carole Hahn. The SAGE Handbook of Education for Citizenship and Democracy: Discussion of Controversial Issues as a Form and Goal of Democratic Education. SAGE Public. pp. 506-519.

Hess, Diana E. (2005). Controversial About Controversial Issues In Democratic Education. PSOnline. Di unduh : www..apsanet.org. (2 September 2015. Hess, Diana. (2001). “Teaching to Public Controversy in a Democracy.” dalam John

J. Patrick dan Robert S. Leming (eds.). Principles and Practices of Democracy in the Education of Social Studies Teachers, Bloomington, IN: ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education, ERIC Clearinghouse for International Civic Education, and Civitas, pp. 87-109. Johnson, D.W. & Johnson, R.T. 1989. Cooperation And Competition: Theory And

Reasearch. Edina. MN: Interaction Book Company.

Kerr, D. (1999). “Citizenship Education: an International Comparison”. London: National Foundation for Educational Research-NFER.

Oliver, Donald W. and James P. Shaver. (1966). The Use of a Jurisprudential Framework in the Teaching of Public Issues. Boston, Houghton Mifflin.

(15)

Parker, Walter C. (2001). “Teaching Teachers to tit Discussions: Democratic Educationin Content and “. dalam John J. Patrick dan Robert S. Leming (eds.). Principles and Practices of Democracy in the Education of Social Studies Teachers, Bloomington, IN: ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education, ERIC Clearinghouse for International Civic Education, and Civitas, pp. 111-134.

Patrick, John J. and Thomas S. Vontz. (2001). “Components of Education for Democratic Citizenship in the Preparation of Social Studies Teacher”. dalam John J. Patrick dan Robert S. Leming (eds.). Principles and Practices of Democracy in the Education of Social Studies Teachers, Bloomington, IN: ERIC Clearinghouse for Social Studies/Social Science Education, ERIC Clearinghouse for International Civic Education, and Civitas, pp. 39-64. Print, M. (1999). Introduction, Civic Education and Civil Society in the Asia-Pacific.‖

dalam Murray Print, James Ellickson-Brown and Abdul Razak Baginda. (eds.). Civic Education for Civil Society. London: ASEAN Academic Press, pp. 9-18.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. (2005). Laporan Akhir Naskah Akademik Pengembangan Standar Isi Pendidikan. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas.

Qualifications and Curriculum Authority. (1998). Education for Citizenship and the Teaching of Democracy in Schools: Final Report of the Advisory Group for Citizenship. (Chair: Bernard Crick). London: QCA.

Samsuri. (2010). “Transformasi Gagagan Masyarakat Kewargaab (Civil Society) Melalui Reformasi Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia (Studi Pengembangan Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Era Reformasi).” Disertasi Tidak Diterbitkan. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Suryanto. (2011). Pembelajaran Pkn Berlatar Isu-Isu Kontroversial Kebijakan Publik Untuk Meningkatkan Kompetensi Kewarganegaraan (Studi Pada Siswa Sma Di Kediri). S3 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia.

Torney-Purta, J., Lehmann, R., Oswald, H. dan Schulz, W. (2001). Citizenship and Education in Twenty-eight Countries: Civic Knowledge and Engagement at Age

Fourteen, Amsterdam: The International Association for the Evaluation of

Educational Achievement.

Torney-Purta, J., Schwille, J. and Amadeo, J-A. (1999) ―Mapping the distinctive and common features of citizenship education in twenty-four countries, in Judith Torney-Purta, John Schwille, and Jo-Ann Amadeo, Citizenship education cross Countries: twenty-four national case studies from the IEA citizenship education

project. (Amsterdam: International Association for the Evaluation of

Educational Achievement), pp 11-35.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam logika konvensional, nilai kebenaran memiliki kondisi yang pasti yaitu benar atau salah (true or false), dengan tidak adanya kondisi di antara keduanya. Prinsip

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelepasan tali pusat pada bayi baru lahir yang dirawat secara kering terbuka lebih cepat dibandingkan dengan yang dirawat

Tahap penelitian ini dilakukan dengan langkah sebagai berikut: (1) membaca kumpulan cerpen Filofofi Kopi karya Dewi Lestari; (2) studi pustaka untuk mencari

Beberapa penelitian-penelitian yang telah ada juga dapat dilihat bahwa bagaimana para waria melalui institusi-institusi agama mencoba “menertibkan” diri mereka sendiri

3 Sukma Wati, A.Md.Pi 85298564808 Diploma Teknologi Hasil Perikanan 4 Suriati syahrir 85342750157 Sarjana Teknologi Hasil Perikanan 5 Suryadi badar S.ST 85399293944 Sarjana

Tujuan dari penelitian ini, yaitu mengembangkan dan memperbaiki model penjadwalan security yang digunakan oleh hotel-hotel non bintang di DIY menjadi model penjadwalan yang

Berkaca dari hal tersebut kegiatan Pelatihan Pola Asuh Anak Malalui Islamic Spiritual Parenting Program (Inspira) Di Desa Sekaran, Gunung Pati, Semarang

Alasan tersebut antara lain: (1) struktur buku ini didesain untuk menyiapkan siswa dalam mempelajari materi tidak hanya lingkup nasional tetapi juga sudah diakui