• Tidak ada hasil yang ditemukan

GUGATAN GANTI RUGI DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GUGATAN GANTI RUGI DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

GUGATAN GANTI RUGI DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG TERKAIT

DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Kasus Putusan Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK) Oleh : Fahrizal Fadillah

ABSTRAK

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara atas terjadinya tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum perdata, gugatan ganti rugi tersebut dapat dilakukan oleh instansi yang dirugikan atau dikuasakan kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN). Keberadaan instrumen hukum perdata dalam kaitannya dengan pengembalian kerugian keuangan negara yang didapat dari hasil tindak pidana korupsi, merupakan suatu terobosan hukum dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi yang tidak mungkin dilakukan dengan cara-cara konvensional. Kerugian keuangan negara dan perbuatan melawan hukum merupakan unsur tindak pidana korupsi. Hubungan antara perbuatan melawan hukum dan kerugian keuangan negara secara kausalitas mempunyai hubungan langsung, yaitu perbuatan melawan hukum tersebut secara langsung menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara. Pada putusan perkara Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK dimana terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sidang pengadilan, gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dapat diajukan kepada ahli warisnya. Pengaturan gugatan perdata menjadi penting karena jika melalui jalur pidana, maka kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia, sebagaimana ketentuan Pasal 77 KUHP. Gugatan yang ditujukan kepada ahli waris dari Tergugat sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan Tergugat telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi, di mana telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini bersifat deskriptif analitis, yaitu metode yang mempergunakan uraian secara jelas, sistematis, nyata dan tepat mengenai fakta-fakta yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan fakta-fakta yang diinginkan dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat sehingga menjadi uraian pembahasan yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun dihadapkan pada permasalahan yang sangat serius, yakni praktik korupsi.

Dari segi kuantitas, tindak pidana korupsi yang dilakukan semakin sistematis serta ruang lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Keterpurukan perekonomian diyakini

(2)

sebagai resultan dari adanya tindak pidana korupsi yang sistematis dan meluas.1

Dengan berlakunya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi serta dibentuknya badan-badan (komisi) pemberantasan tindak pidana korupsi, diharapkan akan dapat memberantas tindak pidana korupsi dalam hal pengenaan pidana (deference effect) maupun pengembalian kerugian keuangan negara.

Dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara atas terjadinya tindak pidana korupsi melalui instrumen hukum perdata, gugatan ganti rugi tersebut dapat dilakukan oleh instansi yang dirugikan atau dikuasakan kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN).

Dalam kaitannya dengan penggunaan instrumen perdata dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara, maka sebelumnya telah ada

perbuatan melawan hukum

(wederrechtelikheid) dari suatu perbuatan tindak pidana korupsi dan karena sesuatu hal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

1Indryanto Senoadji, Korupsi dan

Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Diadit Media, 2006), hal. 1.

2001, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 38 huruf c, maka selanjutnya digunakan instrumen hukum perdata dalam bentuk gugatan ganti kerugian terhadap perbuatan melawan hukum dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi dan kemudian bergeser ke arah perbuatan melawan hukum dalam ruang lingkup hukum perdata (onrechtmatig daad) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Berdasarkan uraian di atas dan didorong oleh keinginan untuk mendapatkan gambaran serta pengetahuan secara lebih mendalam mengenai gugatan ganti rugi dalam upaya pengembalian kerugian keuangan negara yang terkait dengan tindak pidana korupsi, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “GUGATAN GANTI RUGI

DALAM UPAYA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA YANG TERKAIT DENGAN TINDAK

PIDANA KORUPSI (Studi Kasus

Putusan Nomor 02/PDT.G/2010/

PN.DPK)”.

Gugatan Ganti Rugi

Gugatan adalah suatu upaya/tindakan untuk menuntut hak atau

(3)

memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas/kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan. Tuntutan hak ini adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”.2

Para Pihak Dalam Gugatan

Tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak semaunya ke pengadilan. Untuk mencegah agar setiap orang tidak asal saja mengajukan tuntutan hak ke pengadilan yang akan menyulitkan pengadilan, maka hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak.3

Dalam suatu perkara perdata di pengadilan, para pihak dalam gugatan terdiri dari :4

1. Penggugat (eiser/plaintiff);

2Andi Abdurrahman Nawawi, “Tinjauan

Umum Mengenai Gugatan Perdata”, tersedia di

http://www.google.com., diakses tanggal 20 Maret 2012.

3Ivan Ari, “Perbedaan Prinsip antara

Permohonan dengan Gugatan”, tersedia di

http://www.google.com., diakses tanggal 20 Maret 2012.

4

Ibid.

2. Tergugat (gedage/defendant); 3) Turut tergugat.

Dasar Hukum Gugatan

Dasar gugatan (grondslag van de lis) adalah landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang wajib dibuktikan oleh penggugat sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 1865 KUHPerdata dan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa :

“Setiap orang yang mendalilkan

suatu hak, atau guna

meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain, diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut”.

Dasar hukum mengenai gugatan diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement (HIR) juncto Pasal 142 Rectstreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk gugatan tertulis dan Pasal 120 HIR untuk gugatan lisan. Akan tetapi yang diutamakan adalah gugatan berbentuk tertulis.

Ganti Rugi

Ganti rugi di dalam suatu perikatan adalah perbuatan yang wajib dilaksanakan pihak yang berwanprestasi, yang menjadi

(4)

hak pihak yang menderita akibat langsung dari wanprestasi tersebut.5

Mengenai ganti rugi ini, Wirjono Prodjodikoro mengatakan : 6

“Dalam hal-hal lain hanya ada satu sanksi, yaitu membebankan pada pihak yang berwajib suatu kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita oleh pihak berhak”.

Secara umum kerugian dapat diartikan sebagai salah satu akibat dari suatu perbuatan yang dialami oleh seseorang atau satu pihak yang dianggap bersifat menghilangkan keuntungan (winderving).

Dasar Hukum Ganti Rugi

Mengenai dasar hukum dalam ganti kerugian dapat ditemukan dalam :

1. Pasal 14c ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

2. Pasal 1365 dan Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Macam-macam Ganti Rugi

Pada umumnya kerugian dapat dibedakan atas :

5H. Basrah, Ganti Rugi Menurut Ketentuan

di Dalam Buku III KUHPerdata, (Medan: FH USU, 1974), hal. 2.

6Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum

Perjanjian, (Bandung: Sumur, 1973), hal. 51.

1. Kerugian material, yaitu kerugian yang dapat dinilai dengan uang dan wajar jika ganti ruginya berwujud uang; 2. Kerugian immaterial, yaitu kerugian

yang tidak berwujud dan besarnya kerugian tidak dapat dinilai dengan uang.

Tentang kerugian ini, Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa kerugian terdiri dari :7

1. Kerugian yang bersifat mengurangi kekayaan orang (verlies);

2. Kerugian yang bersifat menghilangkan suatu keuntungan.

Keuangan Negara

Pengertian keuangan negara, secara normatif dapat dilihat dari berbagai undang-undang, seperti :

1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

b. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pada Pasal 1 butir (1);

7

(5)

Pengertian Kerugian Keuangan Negara

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas mengenai apa yang disebut kerugian keuangan negara. Dalam Penjelasan Pasal 32 hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah :

“Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk”.

Dalam perspektif undang-undang, kerugian keuangan negara disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Timbulnya Kerugian Keuangan Negara

Ada beberapa cara terjadinya kerugian negara, yaitu kerugian negara yang terkait dengan berbagai transaksi

barang dan jasa, transaksi yang terkait dengan utang-piutang, dan transaksi yang terkait dengan biaya dan pendapatan.8

Hal-hal yang dapat menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara dapat ditinjau dari pelaku, sebab, waktu, dan cara penyelesaiannya.9

1. Ditinjau dari pelaku; 2. Ditinjau dari sebabnya; 3. Ditinjau dari segi waktu;

d. Ditinjau dari cara penyelesaiannya.

Tindak Pidana Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “corruption” atau “corruptus” yang berarti : kerusakan atau kebobrokan.10 Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi dengan menggunakan bahasa kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin “corruption” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan hukum.11

8Yunus Husein, “Kerugian Keuangan

Negara dalam Tipikor”, tersedia di

http://www.google.com., diakses tanggal 20 Maret 2012.

9Ibid., hal. 4.

10M. Prodjohamidjoyo, Memahami

Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal. 7.

11

(6)

Menurut Hermien HK, istilah korupsi yang berasal dari kata “corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti seduction atau bribery. Bribery adalah memberikan atau menyerahkan kepada seseorang untuk agar orang tadi memperoleh keuntungan. Sedangkan seduction berarti sesuatu yang menarik yang membuat seseorang menjadi menyeleweng.12

Setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diamandemen melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, maka dalam Pasal 2 ayat (1) merumuskan tindak pidana korupsi adalah :

“Setiap orang yang secara

melawan hukum melakukan

perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau

perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

12Hermien H.K, Korupsi di Indonesia dari

Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1994), hal. 32.

Penyebab dan Sebab Korupsi

Menurut Andi Hamzah dalam Djoko Prakoso, dkk, tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan karena faktor-faktor, yaitu :13

1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat;

2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia;

3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang efisien;

d. Modernisasi.

Selain faktor penyebab, faktor-faktor pendorong sehingga dilakukannya korupsi menurut Suradi, ada tiga macam, yaitu :14

“ a. Adanya tekanan (perceived pressure);

b. Adanya kesempatan

(perceived opportunity); dan c. Berbagai cara untuk

merasionalisasi agar

kecurangan dapat diterima (some way to rationalize the fraud as acceptable)”.

13Djoko Prakoso dkk, Kejahatan-kejahatan

yang Membahayakan dan Merugikan Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 392.

14Suradi, Korupsi Dalam Sektor

Pemerintah dan Swasta, (Yogyakarta: Gava Media, 2006), hal. 1-2.

(7)

Jenis-jenis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jenis-jenis sanksi yang dapat dilakukan oleh hakim terhadap terdakwa pelaku tindak pidana korupsi adalah :

1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana tambahan.

Gugatan Ganti Rugi Dalam Perkara Perdata

Secara umum gugatan perdata terbagi atas gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum. Suatu gugatan wanprestasi diajukan karena adanya pelanggaran kontrak (wanprestasi) dari salah satu pihak. Karena dasar gugatan wanprestasi adalah pelanggaran perjanjian, maka gugatan semacam itu tidak mungkin lahir tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu. Pasal 1365 KUHPerdata telah mengakomodasi ketentuan tersebut, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi atas suatu

perbuatan melawan hukum yang merugikannya.

Untuk dapat menuntut ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka syarat yang perlu dipenuhi adalah :15 1. Adanya perbuatan;

2. Perbuatan tersebut melawan hukum; 3. Adanya kesalahan;

4. Adanya kerugian;

5. Adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dan kerugian.

Gugatan ganti rugi dalam upaya pengembalian keuangan negara, diajukan setelah tindak pidana korupsi tidak mungkin lagi dilakukan karena dihadapkan pada kondisi-kondisi hukum tertentu (tindak pidana tidak cukup unsur bukti, putusan bebas atau karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia). Kondisi demikian secara teknis akan menyulitkan Jaksa Pengacara Negara khususnya dalam hal pembuktian.

Eka Iskandar, membagi beberapa karakteristik gugatan ganti rugi dalam perkara perdata sebagaimana yang diatur

15Dadang Sukandar, “Gugatan Ganti Rugi

karena Perbuatan Melawan Hukum”, tersedia di

http://www.google.com., diakses tanggal 20 Maret 2012.

(8)

dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut :16 1. Gugatan perdata diajukan setelah

proses pidana tidak dimungkinkan : a. Setelah dilakukan penyidikan

ditemukan unsur tidak cukup bukti adanya tindak pidana korupsi; b. Tersangka meninggal dunia pada

saat penyidikan dan terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sidang pengadilan; c. Terdakwa diputus bebas;

d. Diduga terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap.

2. Gugatan perdata terbatas untuk tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara.

Gugatan Ganti Rugi Dalam Upaya

Pengembalian Kerugian Keuangan

Negara yang Terkait dengan Tindak Pidana Korupsi

Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian

16Eka Iskandar, “Prinsip-prinsip

Pengembalian Keuangan Negara akibat Tindak

Pidana Korupsi”, tersedia di

http://www.gagasanhukum.wordpress.com., diakses tanggal 20 Maret 2012.

keuangan negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat Undang-Undang Korupsi baik yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maupun yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (Asset Recovery).

Upaya pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

Dalam proses perdata, beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, yaitu oleh JPN atau instansi yang dirugikan. Dalam hubungan ini, penggugat berkewajiban membuktikan antara lain :

1. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara;

2. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka, terdakwa, atau terpidana; 3. Adanya harta benda milik tersangka,

(9)

digunakan untuk pengembalian kerugian keuangan negara.

Gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara dalam penerapannya didasarkan pada kenyataan adanya kerugian keuangan negara.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara khusus mengatur upaya pengembalian keuangan negara melalui jalur perdata meliputi :

1. Gugatan perdata untuk memulihkan kerugian keuangan negara yang nyata seperti diatur di dalam Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;

2. Gugatan perdata terhadap harta benda yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara seperti diatur dalam Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Kasus Posisi Putusan Nomor

02/PDT.G/2010/PN.DPK

Untuk dapat menguraikan dan memberi penjelasan dalam pembahasan mengenai hal-hal yang penulis kaji dalam

penulisan hukum ini, penulis menganalisis Putusan Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK.

Analisis Putusan Nomor

02/PDT.G/2010/PN.DPK

Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dapat diajukan dalam keadaan tersangka meninggal dunia pada saat proses penyidikan seperti yang terjadi pada Tergugat Alm. Yusuf Setiawan, sebagaimana ketentuan Pasal 33 UU Tipikor, sehingga tidak mungkin diproses secara pidana. Mengenai meninggal dunia saat proses pemeriksaan sidang pengadilan dalam keadaan sebagai terdakwa, diatur dalam Pasal 34 UU Tipikor. Tanpa adanya tersangka atau terdakwa meninggal dunia tidak mungkin dilakukan gugatan perdata. Hal ini merupakan ciri khas lainnya dari gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi, sehingga gugatan perdata dapat diajukan kepada ahli warisnya.

Pengaturan gugatan perdata menjadi penting karena jika melalui jalur pidana, maka kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia, sebagaimana ketentuan Pasal 77 KUHP, yang menyatakan bahwa “hak menuntut hilang karena meninggalnya si tersangka”.

(10)

Dalam Putusan Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK, Tergugat Alm. Yusuf Setiawan telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar ketentuan Pasal 17 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 bahwa pada prinsipnya pengadaan barang/jasa dilakukan melalui metode pelelangan umum, bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Perbuatan melawan hukum Tergugat Alm. Yusuf Setiawan tersebut mengakibatkan kerugian negara secara nyata sebesar Rp. 44.595.065.247 (empat puluh empat milyar lima ratus sembilan puluh lima juta enam puluh lima ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah).

Gugatan Jaksa Pengacara Negara terhadap ahli waris dari Tergugat Alm. Yusuf Setiawan sudah tepat karena sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UU Tipikor.

Terkait dengan gugatan ganti rugi terhadap ahli waris Tergugat Alm. Yusuf Setiawan pada Putusan Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK, gugatan perdata yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara sudah memenuhi ketentuan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Selain itu, sudah memenuhi karakteristik dapat digunakannya gugatan perdata, yaitu adanya unsur kerugian keuangan negara yang nyata dan setelah upaya pidana tidak mungkin lagi dilakukan untuk mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara karena meninggalnya Tergugat Alm. Yusuf Setiawan. Di sisi lain, ditemukan adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Tergugat Alm. Yusuf Setiawan secara perdata (onrechtmatige daad) yang nyata-nyata menimbulkan kerugian keuangan negara, sehingga memungkinkan diajukannya gugatan perdata.

Putusan Pengadilan Negeri Depok terhadap gugatan tersebut adalah menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV secara tanggung renteng membayar ganti rugi atas kerugian keuangan negara sebesar Rp. 28.407.794.247,- (dua puluh delapan milyar empat ratus tujuh juta tujuh ratus sembilan puluh empat ribu dua ratus empat puluh tujuh rupiah) serta menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Depok tanggal 18 Juni 2010.

(11)

Pelaksanaan Penyelesaian Putusan Atas Gugatan Ganti Rugi Dalam Upaya

Pengembalian Kerugian Keuangan

Negara yang Terkait dengan Tindak Pidana Korupsi

Dalam delik korupsi, terlihat banyak kesulitan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek delik karena sulit membuktikan adanya kesalahan terutama dalam bentuk sengaja suatu perbuatan korupsi.17

Mengenai pertanggungjawaban perkara korupsi diatur di dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pemidanaan orang yang tidak dikenal dalam arti sempit tidak dikenal dalam delik korupsi, tetapi juga dapat dilakukan pemeriksaan sidang dan putusan dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa (putusan in absentia) sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) sampai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3),ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Begitu pula bagi orang yang meninggal sebelum ada putusan yang tidak dapat diubah lagi, yang diduga telah

17Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi

Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 92.

melakukan korupsi, hakim atas tuntutan penuntut umum dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita (Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971). Kesempatan banding dalam putusan ini tidak ada. Orang yang telah meninggal dunia tidak mungkin melakukan delik. Delik dilakukan sewaktu

ia masih hidup, tetapi

pertanggungjawabannya setelah meninggal dunia dibatasi sampai pada perampasan barang-barang yang telah disita. Dalam hal penyitaan barang-barang milik terpidana yang telah ditetapkan sebagai barang hasil korupsi merupakan bentuk asset recovery. Asset recovery merupakan upaya yang dilakukan masyarakat internasional untuk menyelamatkan keuangan negara yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi, dituangkan dalam UNAC 2003.18 Selain dari mekanisme perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, dalam konteks upaya pengembalian aset dilakukan melalui mekanisme gugatan perdata dimungkinkan pengaturannya di

18Jeane Neltje Saly, ”Pengembalian Aset

Negara di Indonesia Dalam Perspektif United Convention Against Corruption, 2003 (UNAC) Asset Recovery of Corruption Proceed in Indonesia in United Convention Against Corruption”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7, No. 04, 2010, hal. 673-688.

(12)

dalam UU Tipikor didasarkan alasan-alasan bahwa penyelesaian perkara korupsi secara pidana tidak selalu berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara, di samping tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa yang memerlukan penanganan dengan cara yang luar biasa.

Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK yang menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Depok tanggal 18 Juni 2010, menurut penulis adalah sudah tepat.

Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Depok selain melakukan sita jaminan terhadap aset milik Tergugat Alm. Yusuf Setiawan, juga telah menghukum ahli waris dari Tergugat Alm. Yusuf Setiawan berupa pembayaran ganti rugi atas kerugian keuangan negara dan menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan Negeri Depok tanggal 18 Juni 2010.

Penutup

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa kerugian

keuangan negara dan perbuatan melawan hukum merupakan unsur tindak pidana korupsi. Dalam putusan perkara Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK, Tergugat Alm. Yusuf Setiawan telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar ketentuan Pasal 17 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Pada putusan perkara Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK dimana terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sidang pengadilan, gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dapat diajukan kepada ahli warisnya.

Putusan perkara Nomor 02/PDT.G/2010/PN.DPK yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Depok sudah tepat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gugatan yang ditujukan kepada ahli waris dari Tergugat Alm. Yusuf Setiawan sudah tepat sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981.

________. Undang-Undang tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999.

________. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999. LN Tahun 1999 Nomor 140, TLN Nomor 3874.

________. Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN Tahun 2001 Nomor 134, TLN Nomor 4150.

________. Undang-Undang tentang Keuangan Negara. UU No. 17 Tahun 2003. LN Tahun 2003 No. 47, TLN Nomor 4286.

B. Buku-buku

Basrah, H. Ganti Rugi Menurut Ketentuan Di Dalam Buku III KUHPerdata. Medan: FH USU, 1974.

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana

Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

H.K., Hermien. Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1994. Prakoso, Djoko dkk.

Kejahatan-kejahatan yang Membahayakan dan Merugikan Negara. Jakarta: Bina Aksara, 1987. Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas

Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur, 1973.

Prodjohamidjoyo, M. Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.

Senoadji, Indryanto. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Diadit Media, 2006. Suradi. Korupsi Dalam Sektor

Pemerintah dan Swasta. Yogyakarta: Gava Media, 2006.

C. Lain-lain

Ari, Ivan. “Perbedaan Prinsip antara Permohonan dengan Gugatan”.

Tersedia di

http://www.google.com.

Diakses tanggal 20 Maret 2012. Husein, Yunus. “Kerugian Keuangan

Negara dalam Tipikor”. Tersedia di http://www.google. com. Diakses tanggal 20 Maret 2012.

(14)

Iskandar, Eka. “Prinsip-prinsip Pengembalian Keuangan Negara akibat Tindak Pidana Korupsi”. Tersedia di http://www.gagasanhukum.wor dpress.com. Diakses tanggal 20 Maret 2012.

Nawawi, Andi Abdurrahman. “Tinjauan Umum Mengenai Gugatan Perdata”. Tersedia di http://www.google.com. Diakses tanggal 20 Maret 2012.

Saly, Jeane Neltje. ”Pengembalian Aset Negara di Indonesia Dalam Perspektif United Convention Against Corruption, 2003 (UNAC) Asset Recovery of Corruption Proceed in Indonesia in United Convention Against Corruption”. Jurnal Legislasi Indonesia. Volume 7, No. 04, 2010.

Sukandar, Dadang. “Gugatan Ganti Rugi karena Perbuatan Melawan Hukum”. tersedia di http://www.google.com. Diakses tanggal 20 Maret 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Dua buah garis dikatakan bersilangan (tidak berpotongan dan tidak sejajar), jika kedua garis itu tidak terletak pada suatu bidang3. Langkah-Langkah

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimanakah aspek mikrostruktural yang membangun wacana pada Manusia Istana: Sekumpulan Puisi Politik

Pada siang hari sebaran pengunjung terdapat pada area indoor , sedangkan pada sore dan malam hari penyebaran pengunjung lebih merata mengisi kedua area restoran yang menampilkan

Nilai-nilai tersebut akan mewarnai gerak langkah sekolah, membentuk kualitas kehidupan fisiologis maupun psikologis sekolah, dan lebih lanjut akan membentuk

triage, hal ini karena sebagian besar perawat yang bertugas di IGD memiliki keyakinan yang dimiliki responden akan kemampuannya dalam pelaksanaan triage dimana

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis indeks kekeringan meteorologis lahan gambut di pulau Bengkalis dengan menggunakan data hujan satelit TRMM berbasis

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002

• Dinding tersusun oleh jaringan epitel kubus bersilia dan pada tepinya terdapat lubang- lubang yang berhubungan dengan alveoli. • Pada bagian distal dari brionkiolus