• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - DIAN FITRI APRILIANI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan - DIAN FITRI APRILIANI BAB II"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penelitian yang Relevan

(2)

10

Sindiran pada Rubrik Kartun Terbitan Kompas Edisi April-Juni 2014 dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah sama-sama meneliti masalah gaya bahasa. Perbedaannya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Hendra Bharata membahas gaya bahasa sindiran pada rubrik kartun terbitan Kompas dengan menggunakan metode agih, sedangkan pada peneliti membahas gaya bahasa sindiran dalam rubrik komik

“Cempluk” pada tabloid Cempaka dengan menggunakan metode padan.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Dewi Widyantika Eka Putri berjudul Gaya Bahasa Sindiran pada Novel Pelangi di Pasar Kembang Karya Dion Febrianto (Sebuah Kajian Stilistika). Penelitian tersebut memperoleh hasil, (1) gaya bahasa sindiran yang terdapat dalam Novel Pelangi di Pasar Kembang karya Dion Febrianto, meliputi gaya bahasa ironi, sinisme, sarkasme, antifrasis, dan inuendo. Gaya bahasa yang paling banyak digunakan dalam novel tersebut adalah gaya bahasa sindiran ironi (6 data atau 35, 29%), sedangkan gaya bahasa sindiran yang paling sedikit digunakan adalah gaya bahasa sindiran inuendo dan antifrasis (1 data atau 5, 88%), (2) dari segi fungsi bahasa, ditemukan gaya bahasa sindiran dengan fungsi emotif, retorikal, interpersonal, dan fungsi imajinatif. Fungsi bahasa yang paling banyak digunakan dalam gaya bahasa sindiran adalah fungsi imajinatif (10 data atau 58, 82%), karena pengarang menggunakan gaya bahasa tersebut hanya sebagai gurauan untuk kesenangan penutur atau pendengarnya saja. Fungsi bahasa yang paling sedikit digunakan yaitu fungsi emotif (2 data atau 11, 76%). Kesamaan atau relevansi penelitian yang berjudul “Gaya Bahasa Sindiran pada Novel Pelangi di Pasar

(3)

11

gaya bahasa sindiran dalam Novel Pelangi di Pasar Kembang Karya Dion Febrianto, sedangkan pada peneliti membahas gaya bahasa sindiran dalam rubrik komik “Cempluk” tabloid Cempaka.

B. Gaya Bahasa

1. Pengertian Gaya Bahasa

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak penggunaannya dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah (Keraf, 2010:112). Menurut Sudaryat (2009:92) majas atau gaya bahasa (Ing: style) adalah bahasa berkias yang disusun untuk meningkatkan efek dan asosiasi tertentu. Persoalangaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan yaitu: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Bahkan, nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi, jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik (Keraf, 2010:112).

(4)

12

pula penilaian diberikan padanya (Keraf, 2010:113). Depdikbud (dalam Pateda, 2001:233) secara leksikologis yang dimaksud dengan gaya bahasa, yakni: (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa, (4) cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Slamet Muljana (dalam Waridah, 2016:364) mengemukakan gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca.

(5)

13

Dari pengertian gaya bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah perwujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengungkapkan gagasan, pendapat, pikiran, dan perasaan. Pengungkapannya dalam bentuk tulisan maupun lisan dengan kata-kata indah. Cara pengungkapannya tidak hanya menggunakan kata-kata, melainkan menggunakan frasa, kalusa, dan kalimat. Menggunakan gaya bahasa berdasarkan perasaan dari hati seorang penulis (pemakai bahasa) untuk menimbulkan suatu perasaan dalam hati pembaca. Penggunaan gaya bahasa dapat menilai watak, pribadi, dan kemampuan seseorang (pemakai bahasa).

2. Sendi Gaya Bahasa

(6)

14

Sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan. Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan. Kejelasan akan diukur dalam beberapa butir kaidah berikut, yaitu: (1) kejelasan dalam struktur gramatikal kata dan kalimat, (2) kejelasan dalam korespondensi dengan fakta yang diungkapkan melalui kata-kata atau kalimat tadi, (3) kejelasan dalam pengurutan ide secara logis, (4) kejelasan dalam penggunaan kiasan dan perbandingan. Kesingkatan sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang berliku-liku. Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan kata-kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang bersinonim secara longgar, menghindari tautologi; atau mengadakan repetisi yang tidak perlu. Di antara kejelasan dan kesingkatan sebagai ukuran sopan-santun, syarat kejelasan masih jauh lebih penting daripada syarat kesingkatan.

(7)

15

menciptakan rasa gembira dan nikmat. Vitalitas dan daya khayal adalah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman.

3. Jenis-jenis Gaya Bahasa

Menurut Waridah (2016:364) secara garis besar, gaya bahasa terdiri atas empat jenis, yaitu majas penegasan, majas pertentangan, majas perbandingan, dan majas sindiran. Begitu pula menurut Ratna (2013:439) majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: penegasan, perbandingan, pertentangan, dan sindiran (dihimpunan dari berbagai sumber, khususnya Gorys Keraf (1996), disusun secara alfabetis). Menurut Fitri (2015:100-107) gaya bahasa (majas) terdiri atas empat bagian, yaitu majas penegasan, majas sindiran, majas pertentangan, dan majas perbandingan. Sejalan dengan Keraf, Ganesha Operation (2012:169-170) mengemukakan bahwa gaya bahasa dibagi menjadi empat bagian, yaitu gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa penegasan, gaya bahasa pertentangan, dan gaya bahasa sindiran.

(8)

Pandangan-16

pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri (Keraf, 2010:116). Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu: (1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkadung dalam wacana, (3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.

a. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata

Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat (Keraf, 2010:117). Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam hal ini, kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang dalam mempergunakan gaya bahasa ketika menghadapi situasi-situasi tertentu. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.

1) Gaya Bahasa Resmi

(9)

17

bahasa resmi menggunakan gaya bahasa dengan gaya tulisan dalam tingkat tertinggi dan sering digunakan dalam pidato-pidato umum. Lalu contoh yang lain yaitu pada Mukadimah UUD ‟45. Dapat dikatakan bahwa nadanya bersifat mulia dan serius.

Kecenderungan kalimatnya adalah panjang-panjang dan biasanya mempergunakan inversi. Tata bahasanya lebih bersifat konservatif dan sering sintaksisnya agak kompleks. Gaya ini memanfaatkan secara maksimal segala perbendaharaan kata yang ada, dan memilih kata-kata yang tidak membingungkan. Selain itu, gaya bahasa resmi juga memanfaatkan bidang-bidang bahasa yang lain, seperti nada, tata bahasa, dan tata kalimat. Namun, unsur yang paling penting adalah pilihan kata yang diambil dari bahasa baku.

2) Gaya Bahasa Tak Resmi

(10)

18

situasi dan topiknya, serta pembaca atau pendengar. Bagi pendengar atau pembaca tertentu gaya dan kelincahan bahasa resmi lebih menarik. Tetapi bagi pendengar atau pembaca yang lain dalam situasi yang sama, kejelasan dan kemudahan untuk menangkap maknanya lebih penting. Karenanya, mereka lebih menyukai gaya bahasa tak resmi.

3) Gaya Bahasa Percakapan

Pilihan kata dalam gaya bahasa percakapan menurut Keraf (2010:120) adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun, di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan ini. Jika dibuat perbandingan, gaya bahasa resmi diumpamakan sebagai pakaian resmi, pakaian upacara; dan gaya bahasa tak resmi diumpamakan sebagai pakaian kerja (berpakaian secara baik), maka gaya bahasa percakapan ini dapat diumpamakan sebagai dalam pakaian sport.

b. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada Yang Terkadung Dalam Wacana

(11)

19

1) Gaya Sederhana

Gaya ini dipakai dalam memberikan instruksi, perintah, pelajaran, dan sebagainya. Menurut Keraf (2010:121) gaya ini juga digunakan untuk menyampaikan fakta atau pembuktian-pembuktian. Untuk membuktikan sesuatu, kita tidak perlu memancing emosi dengan menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Apabila untuk maksud-maksud tersebut kita menggunakan emosi, maka fakta atau jalan pembuktian akan merosot peranannya. Gaya ini dapat memenuhi keinginan dan keperluan dalam penggunaan tanpa bantuan gaya mulia dan bertenaga.

2) Gaya mulia dan bertenaga

Gaya mulia dan bertenaga penuh dengan vitalitas dan energi, dan biasanya dipergunakan untuk menggerakkan sesuatu (Keraf, 2010:122). Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan menggunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga mempergunakan nada keagungan dan kemuliaan. Nada yang agung dan mulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar. Dalam keagungan terselubung sebuah tenaga yang halus tetapi aktif.

3) Gaya menengah

(12)

20

dan tenaga untuk menyampaikan sepatah kata. Sifatnya yang lemah lembut dan sopan santun, maka gaya ini biasanya mempergunakan metafora dalam memilih kata. Lebih menarik bila mempergunakan perlambang-perlambang. Kata-kata seolah-olah mengalir dengan lemah lembut bagaikan sungai yang jernih, bening airnya dalam bayangan dedaunan yang hijau di hari cerah.

c. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Struktur kalimat merupakan tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, apabila yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan di tempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Bagian-bagian yang kurang penting atau semakin kurang penting dideretkan sesudah bagian yang dipentingkan tadi. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat. Jenis gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu klimaks, antiklimaks, paralelisme, antisesis, dan repetisi (Keraf, 2010:124).

d. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

(13)

21

sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya bahasa. Jenis gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (a) gaya bahasa retoris terdiri atas aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindenton, polisidenton, kiasmus, alipsis, aufemismus, litotes, histeron, pleonasme, perifasis, prolefsis, arotesis, silepsis, koreksio, hiperbola; dan (b) gaya bahasa kiasan terdiri atas persamaan, metafora, alegori, personifikasi, metonimia, ironi, sarkasme, inuendo, antifrasis.

C. Gaya Bahasa Sindiran

(14)

22

1. Ironi

Ironi diturunkan dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura. Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang mengandung pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya (Keraf, 2009:143). Rakhmat (2006:130) berpendapat bahwa ironi (berasal dari kata Yunani eiron “seseorang yang mengatakan lebih sedikit dari apa yang dipikirkan”) adalah

penggunaan kata-kata untuk menyampaikan makna yang bertentangan dengan makna harfiahnya. Ironi adalah sindiran halus (Ratna, 2013:447). Menurut Fitri (2015:102) ironi adalah majas yang menyatakan hal yang bertentangan dengan maksud menyindir. Sedangkan pendapat Waridah (2016:372) ironi adalah gaya bahasa untuk mengatakan suatu maksud menggunakan kata-kata yang berlainan atau bertolak belakang dengan maksud tersebut. Contoh dari gaya bahasa ironi: Rapi sekali kamarmu sampai-sampai tidak satupun sudut ruangan yang tidak ditutupi sampah

kertas. Rapi sekali berarti tempat yang bersih dan tertata rapi. Hal yang berlawanan

(15)

23

dapat disimpulkan ironi adalah sindiran halus bertujuan untuk menyatakan sesuatu dengan menggunakan kata-kata yang bertentangan atau bertolak belakang dengan maksud yang ingin disampaikan.

2. Sarkasme

Sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih kasar dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak, tetapi yang jelas adalah bahwa gaya ini selalu akan menyakiti hati dan kurang enak didengar. Kata sarkasme diturunkan dari kata Yunani sarkasmos, yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein yang berarti “merobek-robek daging seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, atau

“berbicara dengan kepahitan”. MenurutRatna (2013:447) berpendapat bahwa

(16)

24

3. Sinisme

Sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme diturunkan dari nama aliran filsafat Yunani yang mula-mula mengajarkan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan, serta hakikatnya terletak dalam pengendalian diri dan kebebasan. Selanjutnya, mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan sosial dan filsafat-filsafat lainnya (Keraf, 2009:143). Menurut Ratna (2013:447) sinisme adalah sindiran agak kasar. Sinisme adalah majas yang menyatakan sindiran secara langsung (Fitri, 2015:102). Sedangkan Waridah (2016:372) menyebutkan bahwa sinisme merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian terhadap cerita atau mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Contoh dari gaya bahasa sinisme: Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad ini

yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini. Tuturan tersebut

menggambarkan seorang wanita pekerja tuna susila, karena dengan kecantikan yang dia miliki, dia dapat melakukan apa saja termasuk menghancurkan generasi muda. Hal inilah yang menyebabkan moral masyarakat dan moral bangsa menjadi hancur. Gadis tercantik dapat diartikan sebagai gadis yang pekerjaannya adalah sebagai kupu-kupu malam (wanita tuna susila), pekerjaan mereka selalu menggoda para lelaki atau pun menjajakan dirinya di pinggir jalan. Jadi, dapat disimpulkan sinisme adalah sindiran secara langsung, agak kasar dan berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan secara langsung.

4. Antifrasis

(17)

kata-25

kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya (Keraf 2009:145). Menurut Ratna (2013:447) antifrasis adalah sindiran dengan makna berlawanan. Selaras dengan Ratna, Waridah (2016:372) mengemukakan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa ironi dengan kata atau kelompok kata yang maknanya berlawanan. Contoh dari antifrasis: Lihatlah sang Raksasa telah tiba (maksudnya si

Cebol). Raksasa adalah sosok yang sangat besar dan menakutkan, tetapi pada contoh

tersebut maksudnya adalah si Cebol, yang artinya pendek sekali. Bila diketahui yang datang adalah seorang Cebol, maka contoh tersebut jelas disebut antifrasis karena tidak memiliki maksud agar pembaca melakukan sesuatu terhadap hal yang bersangkutan. Dapat disimpulkan antifrasis adalah sindiran semacam ironi dengan menggunakan kata yang mengasilkan makna berlawanan. Gaya bahasa antifrasis hanya mengungkapkan sindiran dengan makna yang berlawanan tidak memiliki maksud yang lain. Antifrasis akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar mengetahui bahwa yang dikaitkan itu adalah sebaliknya. Berbeda dengan gaya bahasa ironi, selain menyindir halus dengan tujuan untuk menyatakan hal yang bertentangan juga memiliki maksud agar pembaca melakukan sesuatu terhadap hal yang bersangkutan.

5. Inuendo

(18)

26

bahwa inuendo adalah sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya. Contoh dari gaya bahasa inuendo: Setiap kali ada pesta, pasti ia akan mabuk karena

terlalu banyak minum. Minum adalah suatu kegiatan yang selalu kita lakukan setiap

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip-prinsip itu meliputi (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata atau kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses

Menurut Sayuti (2008: 104) rima atau persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan dan atau kemiripan bunyi tertentu di dalam dua kata atau lebih, baik yang

benar- benar‟ (Poerwadarminta dalam Tarigan, 2013: 26). Gaya bahasa antitesis merupakan gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan

Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak

Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa adalah penyisipan unsur frasa dari suatu bahasa ke dalam sebuah kalimat pada bahasa yang digunakan sehingga kalimat

Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana bentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau

Keharmonian sebuah kalimat ditunjukkan oleh kemampuan penulis dalam menyelaraskan antara gagasannya dan struktur bahasa yang digunakan (Wibowo, 2009: 95). Sebuah kalimat

Perluasan makna yang dimaksud adalah perubahan makna yang terjadi karena adanya perluasan makna yang terjadi pada sebuah kata dan dilakukan oleh masyarakat pemakai