SERANGAN PENYAKIT BUSUK (HAWAR) DAUN (
Phythophthora infestans
)
PADA TIGA VARIETAS UNGGUL KENTANG
Yulimasni, dan Khairul Zen
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat Jalan raya Padang-Solok, Km. 40 Sukarami
ABSTRAK
Serangan penyakit busuk (hawar) daun (Phythophthora infestans) pada tiga varietas unggul kentang. Penelitian dilakukan di Sungai Nanam (Alahan Panjang), Kabupaten Solok. Sumatera Barat pada ketinggian tempat 1.200 meter dari permukaan laut, mulai bulanJuni sampai Oktober 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat serangan penyakit busuk (hawar) daun serta produktivitas tiga varietas kentang. Menggunakan rancangan Acak kelompok dengan 6 kali ulangan. 3 varietas kentang yang digunakan sebagai perlakuan adalah varietas Granola, Cipanas dan Margahayu. Setiap varietas di tanam pada petakan/plot seluas 1 x 4 meter dengan jarak antar petakan 50 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 30 x 70 cm dengan populasi tanaman per petak 24 rumpun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas Cipanas menunjukkan reaksi agak tahan (AT) terhadap penyakit busuk (hawar) daun P. Infestans, sedangkan varietas Granola dan Margahayu bereaksi agak peka (AP). Hasil panen tertinggi juga diperoleh pada varietas Cipanas yaitu 14,44 kg per plot (luasan plot 4 m2) dan terendah pada varietas Margahayu yaitu 9,76 kg per plot.
Kata Kunci: busuk daun, kentang, varietas, unggul
PENDAHULUAN
Kentang (Solanum tuberosum L.) termasuk jenis sayuran semusim karena hanya satu kali berproduksi, berumur pendek, dan berbentuk perdu atau semak. Tanaman ini merupakan salah satu komuditas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan, karena dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat dalam rangka menunjang program diversivikasi pangan, meningkatkan pendapatan petani, komoditas ekspor non migas dan bahan baku industry (Duriat dkk,2006).
Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT)merupakan faktor pembatas produksin tanaman di indonesia baik tanaman pangan, hortikultura, maupun perkebunan. Salah satu OPT yang sering ditemui menyerang tanaman, terutama tanaman hortikultura adalah penyakit busuk (hawar) daun yang disebabkan oleh jamur Phytopthora infestans.
Penyakit busuk (hawar) daun merupakan penyakit jamur yang paling utama pada tanaman kentang dan beberapa spesies dari famili Solanaceae dan menimbulkan kerugian yang sangat besar di setiap pertanaman kentang dengan menunjukan efek pada produksi umbi. Jamur ini menyerang pada semua fase pertumbuhan tanaman, dan serangan dapat ditemui pada batang, tangkai daun, dan umbi.
Epidemi penyakit busuk (hawar) daun dilaporkan terrjadi diberbagai belahan dunia. Pertama kali dilaporkan terjadi di Philadelpia tahun 1843 dan menyebar ke belahan dunia lainnya melalui perdagangan bibit kentang (Fry et al, 1993). Sekitar tahun 1845-1850 epidemik penyakit ini telah menyebabkan kelaparan satu juta orang penduduk Irlandia dan 1,5 juta lainnya dari Negara ekitarnya meninggal (Henfling, 1977). Faktor yang menjadi kontribusi penyebaran penyakit busuk(hawar) daun diantaranya adalah penggunaan kultivar yang rentan, presipitasi yang tinggi dan kelembabab tinggi ( Dennis, et al, 1996 dalam Kusmana, 2003).
Pengendalian penyakit ini secara umum masih mengandalkan penggunaan fungisida. Namun cara ini berat bagi petani karena aplikasi fungisida membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Selain itu penggunaan fungisida secara terus menerus dapat menimbulkan ras-ras baru pathogen yang lebih virulen, serta pencemaran terhadap lingkungan (Sastrahidayat, 1991). Kultivar kentang komersial saat ini sebahagian besar sangat rentan terhadap seangan penyakit busuk daun. Kultivar granola yang ditanam lebih dari 90% petani di Indonesia rentan terhadap penyakit busuk daun (kusmana, 2003).
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan di Sungai Nanam (Alahan Panjang), Kabupaten Solok. Sumatera Barat pada ketinggian tempat 1.200 meter dari permukaan laut, mulai bulanJuni sampai Oktober 2013. Menggunakan rancangan Acak kelompok dengan 6 kali ulangan. 3 varietas kentang yang digunakan sebagai perlakuan adalah varietas Granola, Cipanas dan Margahayu. Setiap varietas di tanam pada petakan/plot seluas 1 x 4 meter dengan jarak antar petakan 50 cm. Jarak tanam yang digunakan adalah 30 x 70 cm dengan populasi tanaman per petak 24 rumpun. Pupuk diberikan sebanyak 20 ton/ha pupuk kandang serta pupuk Urea, ZA, SP-36 dan KCl masing-masing dengan dosis 100, 200, 150 dan 150 kg/ha. Pupuk kandang dan SP-36 diberikan satu minggu sebelum tanam dengan cara disebar rata dalam garitan tanam, kemudian ditutup tipis dengan tanah. Sedangkan pupuk Urea, ZA dan KCL diberikan pada saat tanam dan umur 30 hari setelah tanam (HST),masing-masing setengah dosis. Pengamatan dilakukan pada umur 4, 6 dan 8 minggu setelah tanam (MST) terhadap pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman dan jumlah tunas), dan serangan penyakit busuk daun pada 10 rumpun contoh, serta produksi yang dilakukan pada saat panen. Intensitas serangan penyakit busuk daun dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n x v
I = --- X 100%
N X Z
Dimana : I = Intensitas serangan
n = Jumlah tanaman contoh dengan kategori serangan yang sama v = Nilai pada tiap kategori serangan
N = Jumlah tanaman yang diamati
Kriteria ketahanan tanaman bedasarkan pada tingkat seranganpenyakit (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria ketahanan tanaman.
Dari hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman terlihat bahwa pertumbuhan tanaman cukup bagus dan merata. Hal ini disebabkan umbi bibit yang digunakan merupakan umbi bibit G1 hasil perbanyakan di rumah kasa BPTP-Sumatera Barat pada musim tanam 2012. Tinggi
Tabel 2. Tinggi tanaman dan jumlah tunas tiga varietas kentang di Sungai Nanam, Alahan Panjang, Sumatera penelitian ini sama dengan hasil penelitian Dwiastuti dan Djoema’ijah (2000) di Sumber Brantas yang menemukan gejala serangan pertama pada saat tanaman berumur 6 MST. Terlambatnya kemunculan gejala awal serangan penyakit busuk daun selain disebabkan penggunaan pestisida yang intensif diduga faktor iklim jugah kurang mendukung untuk perkembangan penyakit busuk daun di awal pertumbuhan, karena lebih banyak panasnya dibanding hujan. Suhardi (1983) melaporkan bahwa penyakit ini berkembang hebat pada musim dingi. Curah hujan cukup tinggi (2000mm/tahun) dan kelembaban 90% sangat berkorelasi positif dengan keparahan penyakit dan bertahannya pathogen dalam jaringan daun (Goth, 1981).
Persentase tanaman terserang penyakit busuk (hawar) daun tertinggi baik pada pengamatan umur 6 MSTmaupun pada pengamatanumur 8 MST ditemui pada varietas Margahayu masing-masing sebesar 6,15% dan 21,45%, sedangkan serangan terendah dijumpai pada varietas Cipanas masing-masing sebesar 3,25% dan 8,75%. Berdasarkan persentase tanaman terserang pada pengamatan umur 8 MST dan kriteria ketahanan pada table 1, dapat disimpulkan bahwa varietas Cipanas bereaksi agak tahan (AT) terhadap penyakit busuk daun sedangkan varietas Granola dan Margahaayu bereaksi agak peka (AP) (Tabel 3).
Tabel 3. Serangan penyakit busuk (hawar) daun (Phytophthora infestans) dan kriteria ketahanan 3 varietas kentang. Sungai Nanam, Alahan Panjang, Sumatera Barat. MT. 2013.
No. Varietas Intensitas serangan pada umur (%) Kriteria
Ketahanan
Jumlah umbi per rumpun tertinggi dijumpai pada varietas Cipanas yaitu rata-rata 17,13 umbi, demikian juga dengan bobot umbi per rumpun. Varietas Granola jumlah umbi per rumpun yang dihasilkan terendah dibanding dua varietas lainnya, tetapi bobot umbi per rumpunnya lebih tinggi dibandingkan varietas Margahayu (Tabel 4). Dari Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa hasil panen tertinggi dari tiga varietas yang digunakan juga diperoleh pada varietas Cipanas yaitu 14,44 kg per plot (luasan plot 4 m2) dan terendah pada varietas Margahayu yaitu 9,76 kg per plot. Tinggi rendahnya hasil panen yang diperoleh diduga erat kaitannya dengan jumlah umbi per rumpun serta bobot umbi per rumpun yang dihasilkan.
Tabel 3. Jumlah umbi/rpn, bobot umbi/rpn dan hasil panen/plot tiga varietas kentang. Sungai Nanam, Alahan Panjang, Sumatera Barat. MT. 2013.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa varietas Cipanas menunjukkan reaksi agak tahan (AT) terhadap penyakit busuk (hawar) daun P. Infestans, sedangkan varietas Granola dan Margahayu bereaksi agak peka (AP). Hasil panen tertinggi juga diperoleh pada varietas Cipanas yaitu 14,44 kg per plot (luasan plot 4 m2) dan terendah pada varietas Margahayu yaitu 9,76 kg per plot.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiastuti, M.E., dan Djoema’ijah. 2000. Ketahanan beberapa klon kentang terhadap Phytophthora infestans Mont. D. By. Di Sumber Brantas. Jurnal Hortikultura 10 (1) : 24 – 29.
Duriat, A.S., O.S. Gunawan, dan .N. Gunaeni. 2006. Penerapan teknologi PHT pada Tanaman Kentang Monograf No. 28. Balitsa. 59 hal.
Fry, W.E., A. Drent, P.W. Tooley, L.S. Sujkowski, Y.J. Koh, B.A. Cohen, D.A. Inglish and K.P. Sandian. 1993. Historical and Recent Migration of Phytophthora infestans : Cronology, Pathways and Implications. The Amer Phytopathol. Soc. 30 (5) : 653-661.
Goth, R.W. 1981. An efficient technique for prolonged storage of Phytophthora infestans. Amer Photato Journal 58 (5) : 257-260
Henfling, J.W. 1987. Late blight of potato. Technical Information Buletin no. 4. International Photato Centre Lima-Peru.
Kusmana. 2003. Evaluasi Beberapa Klon Kentang Asal Stek Batang untuk Uji Ketahanan terhadap Phytophthora infestans. Jurnal Hortikultura. 13 (4) : 220-227.
Sastrahidayat, I.R. 1991. Hubungan antara kerapatan inokulum dan cuaca dengan tingkat serangan penyakit karat pada tanaman kedelai. Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas Khusus. Hal. 483-493