• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 752010006 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 752010006 BAB III"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

RITUAL KEMATIAN DO HAWU DAN MAKNA PENDAMPINGAN

PASTORAL

Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan

terhadap 9 (sembilan) informan seperti orang Sabu yang dituakan (tokoh-tokoh adat) yang

tinggal di Kupang, orang Sabu yang pernah melakukan ritual tersebut, serta pendeta dan

majelis yang berasal dari suku Sabu (data primer) serta data sekunder dari beberapa buku

sebagai bahan acuan. Pembahasan pada bab ini dibagi dalam 3 (tiga) bagian yang diatur

sebagai berikut : (1) Gambaran umum lokasi penelitian, (2) Ritual kematian suku Sabu, (3)

Pendampingan Pastoral oleh Pejabat Gereja.

3. 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sebelum membahas tentang kota kupang sebagai lokasi penelitian, penulis akan

membahas sedikit mengenai orang Sabu sebagai subyek penelitian. Pulau Sabu atau Rai

Hawu adalah bagian Kabupaten Kupang. Merupakan pulau terpencil dengan luas 460,78

kilometer persegi, berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi, karena itu

penyebarannya ke seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) cukup menyolok.53

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak WD, bapak YB dan bapak DTB,

diketahui bahwa masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum menganut agama

Kristen. Kini 80% mayarakat Sabu beragama Kristen Protestan. Meskipun begitu pola pikir

dan prilaku mereka masih dipengaruhi oleh agama asli jingitiu. Hal ini menarik untuk dilihat

karena nilai-nilai luhur agama asli masih tetap dipegang dan dipelihara dengan baik,

walaupun ritual adatnya tidak lagi dilakukan secara penuh.

(2)
[image:2.612.100.530.91.410.2]

Gambar

Berdasarkan hasil penga

2 (dua) informan, yaitu bapak W

penyebaran terbesar masyarakat

Kupang dan sekitarnya, Ende – F

Diperkirakan selitar 30 - 40% d

tersebut.Hal ini dilakukan karena

perdagangan yang langsung berh

ada faktor lain.55 Selain itu menu

daerah yang cukup maju di w

pekerjaan sesuai dengan keahlian

54

Gambar diunduh dari http://orangsabu Senin, 4 Juni 2012, pada pukul 06.55 AM 55

Ibid.

bar 1. Peta penyebaran Orang Sabu di daerah NTT54

ngamatan dan hasil wawancara yang penulis laku

WD dan YB, maka diketahui ada kurang lebih 5 (

kat asal Sabu yang merantau di propinsi NTT,

Flores, Maumere – Flores, Waingapu – Sumba, R

dari total masyarakat Suku Sabu merantau ke d

ena daerah-daerah itu merupakan daerah-daerah pe

erhadapan dengan Laut Sawu dan Pulau Sabu atau

menurut pengamatan penulis, daerah-daerah tersebu

wilayah NTT, sehingga mereka akan mudah m

ian dan keinginan mereka.

abu.blogspot.com/2009/01/lokasi-penyebaran-orang-sabu-pe AM

kukan terhadap

5 (lima) daerah

T, yaitu : kota

a, Reo – Flores.

e daerah-daerah

pelabuhan dan

tau juga karena

ebut merupakan

h mendapatkan

(3)

Dari kelima daerah tersebut, penulis memilih kota Kupang sebagai daerah yang

akan diteliti mengenai ritual kematiaan suku Sabu, karena di kota Kupang mayoritas

masyarakatnya beragama Kristen Protestan dan merupakan daerah yang paling maju (ibukota

propinsi NTT), serta menjadi daerah favorit untuk dijadikan tempat perantauan orang Sabu.

Selain itu juga bahasa pergaulan sehari-hari pun sama dengan orang Sabu yang tinggal di

daerah perkotaan. Masyarakat Sabu yang berada di kota Kupang juga masih melakukan ritual

kematian secara tradisional, walaupun ada yang tidak lagi melakukannya secara lengkap. Hal

ini bagi penulis menarik dilihat karena orang yang tinggal di daerah perkotaan telah

tercampur dengan berbagai pengaruh perkembangan zaman sehingga akan sangat menarik

ketika adat istiadat mereka tidak serta merta dibuang tetapi masih terus dipelihara dengan

[image:3.612.100.512.314.626.2]

baik, walaupun adat tersebut tidak dilakukan secara penuh.

Gambar 2. Peta Kota Kupang (tempat penelitian)56

56

Gambar diunduh dari Diunduh dari

(4)

31

Berdasarkan informasi dari website resmi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur57 Kota

Kupang terletak di ujung barat daya Pulau Timor. Secara topografis terdiri dari dataran rendah dan

pegunungan kapur. Kota ini sebelah utara berbatasan dengan teluk Kupang, sebelah timur

dengan kecamatan Kupang Tengah dan Kupang Barat, sebelah selatan dengan kecamatan

Kupang Barat, dan sebelah barat dengan kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan

selat Semau. Luas kota Kupang mencapai 180,27 km. Kota kupang terbagi dalam empat

kecamatan, yaitu: Alak, Maulafa, Oebobo, dan Kelapa. Luas kabupaten Kupang mencapai 7.178,26

km², terbagi dalam 19 kecamatan. Jumlah penduduk kabupaten Kupang mencapai 419.641

jiwa dengan tingkat kepadatan 59 jiwa/km². Hampir semua wilayah kabupaten Kupang dan

kota Kupang adalah daerah perbukitan kapur yang kering dan gersang.

3. 2. Ritual Kematian Suku Sabu

3. 2. 1. Jenis dan Proses Ritual Kematian Suku Sabu

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada bapak YB58 dan bapak WD59

diketahui bahwa Made atau meninggal menurut kepercayaan orang Sabu adalah keadaan

dimana seseorang akan kembali kepada sang pencipta (Deo Ama) untuk berkumpul bersama

dengan para leluhur. Arwah orang yang meninggal akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli,

dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga Laga ke Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat

pulau Sumba.

Selain memakai data primer yaitu berdasarkan hasil observasi dan wawancara

dengan para informan, yaitu bapak WD dan YB, penulis juga melihat adanya kesamaan

57

Diunduh dari http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=66, Senin, 4 Juni 2012, pukul 07.05 AM

58

Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA

59

(5)

penjelasan tentang arti kematian bagi orang Sabu dalam buku Dunia Orang Sawu60 karangan

Nico L. Kana (data sekunder), beliau juga menyebutkan bahwa arwah orang yang meninggal

akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli, dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga

Laga ke Yuli Haha, dekat pulau Sumba. Kana juga menyebutkan bahwa kematian bagi

orang Sabu dipandang sebagai perjalanan pulang ke hadapan Deo Nata rai Da’I, dewa di

alam bawah yang terdalam. Seperti pada awalnya manusia datang dari alam yang gelap, yaitu

dari rahim ibu, demikian pula sesudah mati manusia kembali ke tempat yang gelap di alam

bawah yang terdalam itu.

Lebih lanjut lagi, Kana mengatakan kematian adalah batas berpisah antara yang

hidup di atas bumi dan kehidupan di alam terbawah itu. Segala hubungan yang sebelumnya

pernah ada antara almarhum dan kehidupan di atas bumi, sekarang mulai diputuskan. Jasad

tubuh dan badaniah kembali ke tanah akan tetapi “diri”, ngi’u, yang mengandung napas Muri

(Hidup; maksudnya Dewa) tidak akan mati. Jadi kematian lahiriah itu bukanlah berarti

kematian diri atau ngi’u tadi itu. Kematian adalah peralihan dari keadaan sebagai manusia di

bumi menjadi seorang Deo. kepadanya dan para almarhum yang lain permohonan dan

keluhan manusia diutarakan melalui pelbagai upacara.

Bapak YB61 juga mengatakan bahwa kematian bagi masyarakat yang masih

memegang adat adalah merupakan proses yang sangat penting. Bagi mereka jika seseorang

meninggal dunia maka masih ada sejumlah proses ritual yang harus dilakukan oleh keluarga

yang masih hidup. Hal ini dilakukan agar orang yang meninggal dapat dengan tenang dan

selamat menuju dunia gaib.

60

Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal. 68-69 61

(6)

33 Analisa :

Diatas telah dijelaskan tentang arti atau makna kematian bagi orang Sabu, berikut

adalah pemaparan para ahli tentang kematian. Umumnya orang akan mengartikan kematian

sebagai akhir dari hidup, berhenti bernafas dan tidak bernyawa. Menurut John Calvin

(seorang reformator Kristen Protestan) kematiaan dianggap sebagai sebuah kesempatan

untuk mendamaikan jiwa antara Tuhan dan manusia. Masih menurutnya, keadaan

menjelang ajal dianggap sebagai salah satu syarat menuju “rumah yang sejati” dan orang

yang berada dalam keadaan menjelang ajal terlihat oleh Calvin berada dalam proses

pembentukan rohani yang kuat.62

Pada umumnya, kematian dipahami sebagai akhir dari kehidupan seseorang, karena

merupakan proses peralihan dari kehidupan lama di dunia ke kehidupan baru. Setiap

masyarakat memiliki pemahaman dan respon tersendiri mengenai makna kematian. Karena

itu, dapat ditemui berbagai macam model upacara kematian yang ditemui dalam

keberagaman budaya Indonesia. Salah satu yang menarik yang dibahas oleh penulis adalah

upacara kematian suku Sabu, yang ada di Nusa Tenggara Timur.

Menurut Soekadijo dalam bukunya yang berjudul Antropologi, kematian merupakan

sebuah krisis terakhir dalam kehidupan manusia secara individu, kematian juga merupakan

krisis untuk kelompok secara keseluruhan, apalagi jika kelompoknya kecil. Seorang

anggotanya telah tiada, dan dengan demikian keseimbangannya terganggu. Oleh karena itu,

orang-orang yang masih hidup, harus mengembalikan keseimbangan itu. Pada waktu yang

sama mereka harus menyesuaikan diri dengan hilangnya seseorang yang mempunyai ikatan

emosional dengan mereka.63

62

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, (Prentice-Hall,1964), hal. 224-232

63

(7)

Kematian merupakan peralihan terakhir, sehingga dalam peristiwa kematian,

dianggap layak untuk memperbanyak peralatan, penghormatan dan perlambang, karena saat

kematian taraf hidup serba baru.64 Pendapat Malinowski65 tentang kematian seperti yang

dikutip oleh Geertz adalah suatu krisis yang paling penting. Dilihat dari pengertian

kematian di atas, dapat kita lihat bahwa masing-masing orang ataupun kelompok

mempunyai definisi sendiri mengenai kematian. Namun dapat disimpulkan bahwa kematian

adalah berhentinya hidup seseorang di dunia sekarang ini, dengan ditandai berhentinya

nafas dan fungsi tubuh seseorang yang secara medis meyakininya.

Memahami arti kematian yang berbeda-beda, maka tentunya setiap arti kematian

bagi setiap orang itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal hingga berdampak pada pola

hidup yang mereka terapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Bagi penulis, perbedaan

pendapat tersebut pastilah dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor keluarga, tradisi,

lingkungan, pendidikan dan agamanya. Karena faktor-faktor inilah yang memungkinkan

dapat memberikan dampak secara langsung pada pandangan seseorang mengenai kematian.

Faktor keluarga dan lingkungan sangat berkaiatan erat hubungannya dalam

penanaman suatu paham tentang kematian terhadap seseorang, karena setiap orang di dalam

satu keluarga pastinya pernah mengalami kematian. Begitu pula di dalam lingkungan

masyarakat sangat memengaruhi pandangan seseorang mengenai kematian. Lingkungan

yang menggangap kematian sebagai hal yang menakutkan dapat membuat suasana

kematian sebagai hal yang mencekam dan perlu ditakuti. Akan tetapi jika lingkungan

tempat kita tinggal berpandangan bahwa kematian adalah salah satu hal yang wajar, bisa

saja kebanyakan anggota masyarakat di dalamnya tidak akan berlarut-larut dalam

kesedihan.

64

(8)

35

Tradisi sebenarnya berpengaruh kuat terhadap kepercayaan keluarga dan

lingkungan tempat seseorang tinggal. Jika seorang memiliki tradisi bahwa kematian

merupakan kuasa ilahi maka mereka cenderung memaknai kematian sebagai sesuatu yang

baik atau pun jika ada tradisi bahwa tidak boleh membicarakan tentang kematian, apalagi

pada saat acara-acara yang membahagiakan seperti pernikahan. Mereka akan cenderung

percaya bahwa kematian adalah hal yang membawa “malapetaka” atau “sial”.

Sedangkan, faktor pendidikan juga mampu memengaruhi pandangan seseorang

terhadap kematian. Contohnya orang yang tidak pernah bersekolah, tidak bisa membaca

dan menulis, akan cenderung mempercayai begitu saja atas apa yang dikatakan orang lain

mengenai arti kematian kepada dirinya, dia bisa saja mempercayai kata keluarganya,

lingkungan tempat tinggalnya, ataukah tradisi yang dipercayainya. Orang yang sudah

mendapatkan pendidikan umumnya lebih berpeluang memperoleh informasi di sekitarnya.

Faktor terakhir yaitu agama atau keyakinan, adalah faktor yang sangat berperan

penting dalam memberikan suatu pandangan tentang berbagai hal bagi setiap pemeluknya,

Biasanya arti kematian yang masuk melalui keyakinan lebih berdampak besar terhadap pola

hidup dan pola pikir seseorang di kehidupannya. Sebagian besar agama atau keyakinan di

Indonesia memandang kematian sebagai kuasa ilahi, mereka yakin benar kalau hidup mati

mereka ditentukan oleh Tuhan yang menciptakan mereka.

Penulis sendiri mengartikan kematian sebagai sesuatu hal yang pasti didalam

kehidupan, artinya setiap orang pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan saat

dimana jiwa atau roh keluar dari tubuh yang fana. Tubuh memiliki semacam “tanggal

kadaluarsa”nya sehingga tubuh akan menjadi tua dan akhirnya mati. Hal ini berbeda dengan

jiwa yang bersifat kekal. Pemahaman penulis tentang kematian juga dipengaruhi beberapa

(9)

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa informan yaitu

bapak YB dan bapak WD serta mendapat informasi dari buku Dunia Orang Sabu maka

diketahui bahwa ada dua jenis kematian yang dikenal dari suku Sabu yaitu Made Nata (mati

manis) adalah mati yang disebabkan oleh penyakit yang disebut hagu dan yang meninggal

dengan tenang yang adalah warisan dari nenek moyang yaitu Adam (Adda). Made Haro

(mati asin) yaitu meninggal karena kecelakaan, dan meninggal karena bunuh diri disebut juga

Made Reka. Oleh karena itu, terdapat perbedaan ritual ataupun upacara yang dilakukan dari

kedua jenis kematian tersebut.

Berikut ini akan dipaparkan tentang kedua jenis ritual upacara kematian dalam

masyarakat Sabu serta berbagai prosesnya, yaitu :

a) Made Nata (Mati manis)

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap bapak YB66 dapat

dipaparkan bahwa proses upacara Made Nata (mati manis) adalah pertama Habu Emu yaitu

membuat dinding sekat (Ru he di’di) sebelum jenasah dimandikan. Semua keluarga dilarang

menangis. Setelah dimandikan dan di beri pakaian yang rapi yaitu pakaian adat Sabu67 lalu

didudukkan diatas sebuah batu yang khusus disiapkan untuk orang mati dan disandarkan pada

sandaran yang dibuat dari pelepah daun lontar dan diikat supaya jangan jatuh. Posisi

duduknya pun berbeda antara laki-laki dan perempuan. Bagi kaum laki-laki posisi duduknya

66

Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA

67

Bagi Pria pakaian yang digunakan sehari-hari adalah : Selimut dan kemeja putih, dipakai dengan ikat

pinggang dan destar pengikat kepala, serta tanpa perhiasan. Sedangkan pakaian sehari-hari wanita adalah sarung

diikat/dililit pada pinggang dengan 2 kali lipatan bersama kebaya tanpa aksesoris.

Untuk perkawinan, selain sarung dan kemeja, pria Sabu mengenakan sabuk pinggang berkantong dua

yang berfungsi sebagai dompet, selendang yang menggantung pada bahu, destar yang dilengkapi dengan

mahkota tiga tiang terbuat dari emas untuk melambangkan kehormatan, sepasang gelang emas, habas atau

perhiasan yang menggantung pada leher, dan kalung multisalak berliontin gong sebagai mas kawin. Mempelai

wanita Sabu berdandan dengan sarung yang diikat bersusun dua pada pinggul dan dada, pending emas, gelang

emas dan gading, kalung multisalak dan liontin dari emas, anting emas bermata berlian, sanggul bulat yang

(10)

37

dibagian du’ru (haluan). Bagi kaum perempuan posisi duduknya di bagian Wui (buritan).

Rumah orang Sabu diibaratkan dengan perahu. Setelah itu di beri sirih pinang dan tembakau

di mulutnya.

Jikalau yang meninggal laki-laki maka akan di pakaikan selendang, sedangkan jika

yang meninggal adalah perempuan maka dipakaikan sarung, dan harus menggunakan pakaian

adat bukan pakaian dari toko. Selain itu kain atau sarung yang akan di berikan kepada orang

mati, jumlahnya tidak oleh genap harus ganjil.68 Setelah itu dilanjutkan dengan acara bakar

pusar (Tunu Ehu) yang caranya adalah kemenyan (Kerani) dibakar dan diteteskan ke pusar

melalui selembar daun sirih wangi. Pada jenis kematian ini akan ada banyak keluarga, handai

taulan, sahabat, dan kenalan yang datang melayat, Sedangkan Made Haro (Reka) hanya

keluaga dekat saja yang datang.

Upacara pemakaman dalam budaya Sabu ada lima bentuk. Dalam upacara Made

Haro, keluarga akan sepakat untuk memakai bentuk upacara apa yang akan digunakan dari

kelima bentuk upacara tersebut, yaitu,

1) Labu Emmu (Setelah acara penguburan selesai, akan dipasang kembali dinding

atau sekat rumah yang telah dibuka selama mayat masih berada di rumah).

2) Hae Awu (Dalam upacara ini dilakukan pemotongan hewan yang besar, untuk

di bagi kepada para pelayat yang membawa sumbangan).

3) Ke Wure (keluarga atau orang yang datang melayat akan membisikan sesuatu

di telinga orang mati yaitu agar otang mati membawa semua penyakit yang

ada pada keluarga mereka).

68

Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul

10.00 WITA

(11)

4) Para Kii (pada acara ini akan dilakukan pemotongan hewan seperti kambing,

babi, dan lain sebagainya). Keluarga dan kenalan yang datang melayat juga

biasanya membawa binatang bagi keluarga yang berduka sehingga keluarga

dari orang yang meninggal akan membagi daging sesuai dengan apa yang di

bawa oleh pelayat. Daging mentah akan di bawa pulang sedangkan daging

yang telah dimasak akan dibawa pulang.

5) Tao Leo

Dari lima bentuk acara tersebut, yang paling besar biayanya adalah bentuk

acara Tao Leo dan yang paling sederhana adalah bentuk acara Habu Emmu.

Bapak YB menjelaskan tentang ritual yang paling lama prosesnya dan memakan

biaya yang besar yaitu Tao Leo. Upacara ini berjalan selama 7 (tujuh) hari (siang dan malam)

dan selama 7 (tujuh) hari itu diadakan tarian Sabu yakni Ledo Hawu69, yang diiringi oleh

musik gong dan tambur (Namengu nga Dere) dan selama 7 (tujuh) hari juga orang yang

datang berkunjung di jamu dengan makanan.

69

Tarian Ledo pertama kali ditampilkan pada upacara kematian, tao leo, untuk orang yang masih

memegang ajaran Jingitiu. Tarian tersebut dilakukan untuk antar dan arahkan arwah kepada leluhur selama

sembilan hari dan sembilan malam. Gong dan drum ditabuh dan tarian ditampilkan dari pagi hari hingga larut

malam. Tarian ini juga ditarikan berpasang-pasangan secara berurutan. Inilah momen dimana orang bisa

memamerkan pusaka-pusaka: rantai emas, anting dan sabuk, gelang gading dan kain Ikat terbaik.

Para lelaki dengan pedangnya (hemala) memamerkan keahlian berpedang dan mencoba memberi

kesan mendalam kepada kaum wanitanya yang bergerak secara amat perlahan dengan gerakan tangan mereka

yang indah. Para wanita diperbolehkan berhenti menari kapanpun mereka mau. Selama masih ada wanita yang

menari, para lelaki ini diharuskan terus menari dan ini bisa bertahan selama 30 menit. Tarian Ledo sangat

populer di upacara pemakaman dan banyak orang berdatangan dari daerah yang jauh dan mengantri untuk

diperbolehkan masuk ke arena tarian (leo) yang tertutup di bagian atas (atap). Tarian Ledo juga ditampilkan di

beberapa upacara setelah pembangunan kembali rumah leluhur.

(12)

Dilakukan untuk antar dan arahkan

Pada hari pertama, a

perpisahan dengan yang meningg

bongkar Ru He Di di (sekat). Me

seluruh anggota keluarga dan ke

buat Mone Ama di Nada Ae (temp

dari tikar (Leo Depi) dan untuk in

milik para pekerja.

Pada hari kedua dan ket

yang disebut Penga’a Leo De

Kemudian dilanjutkan dengan

menceritakan tentang jasa-jasa ke

made. Pada hari keempat acara

Nade Dere sebagai undangan ke

dan untuk acara ini disiapkan : 1

anak suku), 1 (satu) ekor anjing d

70

[image:12.612.150.465.68.255.2]

Gambar diberikaan bapak JRG, pada

Gambar 3.Tarian Ledo70

an arwah kepada leluhur selama sembilan hari dan sem

acara Penginu Ei Langu Jara yakni perjamu

nggal sekaligus acara mengusir roh-roh jahat. Set

Membunyikan meriam bambu sebagai berita kem

kepada Mone Ama (tetua adat) dengan mengant

tempat tinggal tetua adat). Membuat tenda yang at

k ini harus dibunuh 1 (satu) ekor babi dan 1 (satu)

ketiga acara makan bersama bagi mereka yang me

e Rii yang sekaligus musik gong dan tambur

an acara Oro Rai yakni lagu dengan syair

kebaikan yang meninggal dan silsilahnya. Ini di s

a Hi, yang ditandai dengan Muri Mada De Re da

kepada orang banyak. Acara ini baru terjadi pada

1 (satu)ekor kerbau untuk orang-orang satu Kerog

g dan 1 ekor domba untuk orang satu Udu (suku ),

da pada 24 Mei 2012, pukul 08.30 PM

embilan malam.

jamuan makan

Setelah itu baru

ematian kepada

antarkan daging

atapnya dibuat

tu) ekor kerbau

membuat tenda

ur dibunyikan.

air-syair yang

i sebut Wale do

dan ditabuh di

ada hari kelima

rogo (kelompok

(13)

dan 1 ekor kerbau untuk orang banyak. Hewan-hewan tersebut dilepas untuk diperebutkan

oleh masing-masing kelompok tadi. Setelah acara ini selesai baru jenasah di kuburkan dan

untuk penguburan dibunuh 1 (satu) ekor kerbau dan 1 (satu) ekor ayam untuk Mone Ama.

Pada hari yang keenam, diadakan acara Pe Mou dan Pe Bale Pai dimana dalam

acara-acara ini dibagi-bagikan daging babi goreng yang sudah disimpan lama di dalam guci

kepada yang hadir dan diakhiri dengan pembongkaran tenda dan pemasangan kembali Ru he

di’di yang di sebut Lulu Depi. Hari yang ketujuh acara Raja Pebare yaitu membuang semua

barang-barang yang bekas di pakai oleh yang meninggal dilanjutkan dengan acara Pe netta

emu atau membersihkan rumah yang dipimpin oleh Rue, dalam acara ini dibunuh 1 (satu)

ekor kerbau yang disebut Kebao Rue.

Setelah 1 (satu) tahun dibuat acara penutup yakni Mane Wai dimana dilakukan

kegiatan menenun ikat pinggang di kuburan dalam acara ini dibunuh 1 ekor babi untuk Deo

Ama atau Deo woro Deo Pengi (Allah Bapa atau Allah pencipta) untuk memohon

keselamatan, kesehatan, kesuburan bagi manusia dan ternak serta sawah dan ladang.71

Dalam kematian orang yang belum memeluk agama Kristiani, biasanya orang

meninggal diberikan “bekal” berupa uang 50 (lima puluh) rupiah untuk “belanja disana”.

Selain itu posisi duduknya laki-laki yang sudah meninggal adalah menghadap ke barat,

sedangkan perempuan ke Timur. Orang yang meninggal diikat dengan menggunakan tali

yang diputar kearah kiri yang terbuat dari rotan yang panjangnya 9 (sembilan) depa (satu

depa = satu bentangan sepasang tangan) yang melambangkan tali pusar. Waktu akan

dikuburkan, tali dibuka hingga membentuk seperi bayi dalam kandungan. Lubang kuburnya

71

Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul

(14)

41

bulat, didalamnya beralaskan tikar. Penguburan harus dilakukan jam 1 (satu) siang. Malam

harinya langsung diadakan acara Keleku (ucapan syukur).72

Dalam buku Dunia Orang Sawu (karangan Nico L. Kana), ada beberapa istilah atau

nama dari proses ritual yang dilakukan dalam Made Nata (Mati Manis) yang berbeda dengan

informan yang diwawancarai penulis. Berikut adalah pemaparan yang dilakukan oleh Kana73

tentang ritual Made Nata. Penetapan jenis upacara tergantung kepada hasil musyawarah

diantara anggota kepala keluarga (ina ama amu) dalam kelompok dara amu di tempat orang

yang meninggal tersebut menjadi warga. Keputusan ini sangat bergantung pada potensi

ekonomi warga dara amu yang bersangkutan dan juga pada hubungan tolong-menolong

antara almarhum dengan orang-orang di sekitarnya, yakni apakah semasa ia hidup, ia banyak

memberi bantuan atau tidak kepada mereka. Selain itu tingkat usia juga dapat dijadikan faktor

bagi keputusan yang akan diambil. Akibatnya, untuk pemuda atau anak-anak upacaranya

sederhana saja, sedangkan bagi orang lanjut usia diusahakan upacara yang lebih lengkap dan

mewah menurut kemampuan ekonomi kelompok dara amu-nya.

Upacara yang sederhana dan dinilai terendah disebut Hogo wie Deo (masak untuk

Dewa). Yang lebih tinggi dari itu adalah Hae Awu (naik kapal) dan yang lebih tinggi lagi

ialah Peake (diikat). Yang lebih tinggi lagi di sebut Para Ki’i (memotong kambing) dan yang

paling tinggi ialah upacara Tao Leo (membuat teratak atau rumah).

i. Upacara Hogo Wie Deo

Ketika seseorang akan menghembuskan napas terakhirnya, padanya ditegukkan

minuman ai lango jara (air minyak perjalanan). Terdiri dari sebagian kecil hati binatang, 3

(tiga) butir beras yang kulitnya telah dikupas dengan tangan (bukan beras tumbuk), 3 (tiga)

72

Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul

10.00 WITA 73

(15)

sayatan minyak babi yang selama itu disimpan di loteng bagian perempuan, semuanya

dimasak dalam periuk kecil atau yang disebut aru kuku, terbuat dari tanah dan biasa di

gunakan untuk memasak makanan untuk anak kecil.

Sebelum dikubur jenazah dibungkus dan diikat, umbai-umbai selimut Sabu

diikatkan pada jenazah, kaki dan tangannya diikat dan dikenakan sabuk yang disebut dari

dulu ai (tali timba air). Apabila jenazah sudah terletak di liang kubur sabuk pun dilepaskan.

Di sisi jenazah segera diletakkan sirih pinang dan tembakau, sedangkan ke mulutnya di

masukkan sekeping uang logam dan cincin. Sesudah penguburan, hati anak babi atau disebut

ana wawi lebo ade (anak babi yang di lubangi hatinya) diletakkan sebagai sesaji di atas

kubur. Sore hari barulah bekas-bekas upacara seperti ikatan tali ikatan, wadah bekas

minuman dan sebagainya itu dibuang ke tempat pembuangan di luar yang disebut kolo

malaha.

Sesudah jenazah dikuburkan, keesokan harinya diselenggarakan upacara “memasak

untuk dewa” dengan menyembelih seekor babi sebagai tanda penutup upacara dan memohon

agar kematian tidak berulang di rumah tersebut. Jika keluarga almarhum merupakan orang

berada maka hewan yang dikurbankan seringkali lebih besar lagi.

ii. Upacara Hae Awu

Upacara kematian ini diawali pada saat si sakit akan menghembuskan napas

terakhirnya. Ia akan diberi minum ai lango jara juga sampai 3 (tiga) kali, dari kaba rai

(wadah yang terbuat dari tanah), sambil diusapkan kepadanya. Jika ia ternyata sudah mati

maka perbuatan ini hanya dilakukan secara simbolik. Untuk upacara ini yang disembelih

adalah ayam, tetapi jika keadaan ekonominya lebih baik masih akan ditambah dengan

(16)

43

Sesudah yang bersangkutan benar-benar mati dilakukanlah perihe ri nga’a ri nginu

(disisakan makanan dan minuman), yakni membunuh hewan yang sebagian dagingnya

dipersembahkan bersama makanan dalam wadah yang diletakan di sisi kiri dan kanan

almarhum. Sesudah itu baru almarhum dimandikan. Seluruh tubuh almarhum diolesi dengan

nyiu woumangi (kelapa harum), yakni kunyahan kopra dan irisan kayu cendana, sedangkan

rambutnya diolesi dengan parutan kelapa campur minyak babi. Ampas kelapa olesan itu lalu

ditaburkan ke sekeliling pusar sedangkan sepotong kayu kemeyan yang disebut kerani di

taruh di dalam lubang pusarnya itu. Sementara itu seuntai biji damar atau biji nitas dibakar

dekat kemenyan tersebut. Kegiatan ini disebut tunu ahu (membakar pusar).

Jenazah lalu disiapkan dengan dihiasi baik-baik agar diterima para leluhur

menumpang perahu yang akan membawanya ke dunia gaib. Jenazah lalu di bungkus dengan

selimut atau sarung yang berwarna merah yang di sebut ai mea higi taba. Sebelum dibungkus

di pinggang almarhum di selipkan sirih pinang, jagung rote, kacang hijau dan kelapa kering.

Bungkusan jenasah lalu diikat pada bagian tangan, pinggang dan kakinya pun diikat dengan

pelepah daun lontar yang dibuat khusus untuk itu. Tali ini di sebut dari wodue api keriu (tali

dua “urat” yang dipintal ke kiri), dan sebagai pengikat ia dinamai dari dulu ai nginu pa

rujara la hedapa Deo (tali timba air minum di jalan ke hadapan Dewa)

Dalam keadaan ini jenazah di baringkan dibalai-balai utama di dalam rumah sambil

dikitari warga perempuan sepanjang malam. Esok hari para pelayat berdatangan. Pelayat

perempuan berkerudung sarung atau disebut leo kolo (tudung kepala) dan sambil merangkul

warga perempuan almarhum merekapun bertangis-tangisan. Para pelayat laki-laki diterima

keluarga lelaki almarhum. Pada saat itulah para warga laki-laki itu memusyawarahkan bentuk

upacara kematian buat almarhum.

Penguburan berlangsung esoknya. Jenazah dibawa keluar melalui pintu anjungan

(17)

tikar. Sesudah itu barulah tali ikat jenazah dibuka. Penguburan pejabat pemimpin upacara

umumnya dilangsungkan malam hari, dengan kepalanya ditudungi gong, sedangkan posisi

badannya duduk diatas kulit kerang. Sebelum upacara penguburan ini di lanjutkan dengan

penimbunan tanah maka diucapkanlah kata-kata perpisahan dan rasa terima kasih keluarga.

Malamnya sanak saudara almarhum datang berkunjung lagi. Pada malam itu

dituturkan sisilah, pedai huhu kebie (bicara susunan silsilah), baik menurut garis lelaki atau

pun perempuan si almarhum. Disinilah sering para pengunjung mengetahui lebih jelas lagi

hubungan kekerabatan mereka dengan almarhum ataupun dengan sesama pengunjung itu

sendiri.

Upacara pada hari ketiga adalah upacara pemo yang berarti upacara memberisihkan.

Sumbangan hewan besar seperti kuda atau kerbau atau pun hewan kecil seperti babi atau

kambing, makanan, selimut, ikat kepala dan sirih pinang dibawa oleh para penyumbang ke

rumah almarhum.Makanan juga disiapkan. Seusai ini akan dilakukan imbalan buat para

pengunjung yang memberikan sumbangan. Penyumbang seekor hewanakan menerima dua

kali seperempat bagian hewan tersebut sebagai imbalan. Penyumbang makanan dan lainnya

akan menerima imbalan berupa makanan dan potongan daging hewan. Pembagian wadah

makanan ini disebut pekepala pai (pembagian besek).

Malamnya diadakan lagi pembacaan silsilah, yang pada hakikatnya merupakan

tapeele ne hedui herui (untuk menghabiskan susah dan duka). Esoknya merupakan logo

pengahe (hari berhenti) yang tanpa upacara khusus. Makanan sisa kemarin disuguhkan dan

karenanya disebut woubai (makanan basi).

Hari ke lima diperuntukkan untuk upacara haga, yang menandai selesainya urusan

si mati dengan dunia orang hidup dan hemanga (roh) almarhum agar berangkat ke dunia gaib

(18)
[image:18.612.174.446.49.169.2]

45

Gambar 4. Upacara Haga pada peristiwa kedukaan74

Pembawa ayam (orang yang tidak memakai baju) adalah pemimpin upacara, berdiri berhadapan

dengan keluarga terdekat almarhum. Upacara ini harus dilakukan didalam kampong dengan

membelakangi pintu toka dimu (gerbang timur dari kampung)

Menutup rangkaian upacara kematian Hae Awu dilakukan malam hari, dengan

upacara raja daru amu (memaku rumah), yang diperuntukkan hanya diantara anggota

keluarga almarhum. Bagian-bagian rumah yang penting ditancapi ruhelama (daun selamat,

yakni daun lontar yang disilang-silangkan dan dipaku dengan lidi). Dengan memaku ini

dimaksud seluruh rumah dan penghuninya dilindungi dari kematian, agar tidak melanda lagi.

iii. Upacara Para Ki’i

Dalam upacara memotong kambing ini, segera sesudah penderita penyakit

meninggal dilakukanlah upacara pemberian air minum minyak perjalanan juga, yang

dicampur dengan 3 butir beras dalam tempurung minuman baru dengan sendok tempurung

yang baru pula. Seekor ayam dibunuh pula, dengan cara dilubangi untuk diambil hatinya. Jika

pihak keluarga almarhum cukup kaya, maka juga akan disembelih anak babi dan anak

kambing.

Pembawa berita kematian tidak boleh masuk begitu saja ke rumah atau kampung

pemimpin upacara. Ia akan berdiri di luar pagar kampong sambil mengabarkan kabar

74

(19)

dukacita tersebut. Rasa dukacita dinyatakan tuan rumah dengan berdiri dipagar kampung

sambil melemparkan telur dan abu dalam terpurung kearah gerbang. Tindakan ini disebut lole

awu tabe kolo (mambawa abu menerpa kepala). Ia lalu meletakkan sedikit irisan daging

kerbau dan kacang hijau dan gemuk babi campur air dingin di batu khusus.

Hari ke-2 (dua) dilangsungkan upacara peraba kebao (saling merampas kerbau).

Hewan yang dibunuh itu direbut dagingnya beramai-ramai oleh hadirin. Hal ini konon untuk

menandai kekayaan keluarga almarhum. Esoknya dilakukan upacara pemo (memberisihkan).

Esoknya lagi istirahat dan hari ke-5 (lima) diselenggarakanlah upacara haga yang juga diikuti

upacara pemanggilan roh yang hidup dan akhirnya menanyai tombak. Sesudah itu baru

dilakukan penutupan kembali dinding di bagian anjungan rumah atau labu laba pebare.

Untuk upacara penutupan dinding itu Deo Rai diundang ke rumah almarhum untuk

menyembelih kambing buat upacara. Ada kalanya ini diikuti dengan mencelupkan buah

lontar ke dalam cairan mengkudu lalu mengusir roh orang mati ke luar rumah itu dengan

mengibas-ibaskan daun waru ke pelbagai penjuru.

iv. Upacara Tao Leo

Yang disebut upacara kematian “membuat rumah atar teratak” ini paling kompleks

penyelenggaraannya karena paling tinggi kedudukannya. Untuk itu didirikan teratak tempat

orang-orang menari. Sambil menanti kedatangan orang-orang yang diundangi, jenazah

dimandikan, diolesi minyak dan “bakar pusar”, dibungkus sarung atau selimut atau

dibaringkan tepat di bagian batas anjungan dan buritan rumah. Anak babi dan anak kambing

kemudian dilubangi hatinya dan diikuti pemberian minuman “minyak perjalanan” bagi

almarhum. Hewan-hewan persembahan itu disajikan buat para leluhur, sedangkan pemberian

(20)

47

dinding anjungan. Tindakan ini melambangkan pengusiran kekuatan wango dari dalam

rumah.

Sesudah itu semua perhiasan dan pakaian dikenakan pada jenazah. Hal ini

dikarenakan si mati sedang dalam perjalanan ke dunia gaib dan karena itu dianggap perlu

berdandan sebaik mungkin. Bahkan harus diolesi agar bau tubuhnya pun harum. Sesudah siap

pemimpin upacara lalu melakukan upacara “penembakan” dengan bedil tua yang pucuknya

diarahkan ke barat.

Maka menyusullah pembuatan leo dapi (= teratak tikar) yang bahannya terdiri dari 2

(dua) batang kayu dadap atau aju kare, sembilan tiang dan kayu-kayu palang, dinding

anjungan, sehelai tikar kecil serta sejumlah tikar lebar. Dinding dan tikar kecil itu

dilambangkan sebagai layar perahu. Pemasangan teratak ini didahului oleh makan bersama,

yakni berlauk kerbau atau ditambah dengan daging babi.

Hari ke-2 (dua), fajar menyising, teratak harus diberi “makan” dan disebut

pengaa’leo depi. Untuk dipotong seekor kerbau dan seekor babi. Sesudah itu sarapan

bersama pun dilakukan dan disambung dengan tari-tarian sampai malam hari. Pada malam

hari ke-3 (tiga) dilangsungkan oro rai (jelajahi tanah) menceritakan kebaikan almarhum atau

pun orang-orang dalam garis keturunan lelaki dari almarhum, yang sudah mati.

Hari ke-4 (empat) diundang orang yang melakukan upacara huri mada dere

(mencoret mata gendang; yang dimaksud ialah kulit tambur yang ditabuh). Mata gendang dan

(21)
[image:21.612.104.481.66.376.2]

Gambar 5. Upacara Huri Made Dere pada waktu kedukaan.75

Pemberian tanda + pada gendang ialah bagian dari upacara yang berlangsung sampai

berhari-hari. Sekalipun demikian, upacara ini sering berlangsung dengan khidmat

Saat mencoreti gendang si pelaku mengucapkan mantra, li mangau, bagi almarhum

dan tokoh leluhur mitis bernama Ago Rai yang dianggap datang menjemput almarhum.

Sesudah itu dilanjutkan dengan banyo, lagu duka. Sesudah itu dilangsungkan kata-kata

hiburan dan pujian bagi para pelayat.

Hari ke-5 (lima) masih dilanjutkan dengan tarian di bawah teratak. Menjelang sore

hari berlangsung upacara perebutan daging kerbau sembelihan. Sebelum dipotong

hewan-hewan itu, lazimnya 2 (dua) ekor kerbau dan seekor kuda, oleh pemimpin upacara diberi

kelapa harum di telinganya sambil diriingi pengucapan mantra. Hari ke-6 (enam) ialah lodo

pemo, hari pembersihan dan penutupan dinding anjungan. Dilanjutkan dengan memakan

makanan sisa. Sedangkan haru ke-7 (tujuh), hari terakhir, diisi dengan memaku erat-erat, raje

pebare, dan memaniskan semua tempat yang telah digunakan untuk upacara dengan

menyirami dengan air gula lontar. Mantra yang diucapkan selain memohon berakhirnya

75

(22)

49

kematian buat rumah itu juga sekaligus buat pemeberkahan bagi seisi rumah yang ditinggal si

mati.

Analisa :

Dari penjelasan diatas, jelas terlihat ada banyak sekali proses atau ritual yang

dilakukan jika ada anggota keluarga yang meninggal. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk

orang yang telah meninggal tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Dari pihak

keluarga yang masih hidup diperlukan tindakan ritual agar yang anggota keluaga yang

sudah meninggal terjamin keadaannya “di alam sana” dan pihak yang hidup tidak dilanda

“pengaruh buruk” (baik itu perasaan dan kehilangan identitas, atau mendapat gangguan roh

si mati) akibat suatu kematian melainkan memperoleh berkat.76

Dalam tahapan ritual untuk Made Nata (mati manis), terdapat lima bentuk upacara

yang dapat dipilih oleh keluarga. Penetapan jenis upacara yang dilakukan tergantung pada

potensi ekonomi keluarga dari yang meninggal tersebut dan hubungan antara orang yang

meninggal dengan sanak saudara, handai taulan dan kenalan baik atau tidak. Dari sini

terlihat bahwa hubungan atau relasi yang baik antara sesama manusia sangat

diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat Sabu tentang hakikat manusia

sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan pihak lain

seperti, manusia lain, alam serta kekuatan gaib sehingga relasi yang baik antar sesama

manusia sangat diperhatikan.

Dari kelima bentuk upacara yang dilakukan terdapat persamaan tindakan pertama

dalam memulai proses ini, yaitu jenazah diberi minum ai lango jara (air minum

perjalanan). Penulis melihat hal ini dikarenakan arti atau makna kematian bagi orang Sabu

adalah sebuah perjalanan menuju alam gaib untuk berkumpul dengan para leluhur. Arwah

76

(23)

orang yang meninggal tidak langsung akan berkumpul dengan para leluhur karena arwah

para leluhur tidak berada di pulau Sabu tetapi di Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat pulau

Sumba. Oleh karena itu perlu di beri minum ai lango jara untuk bekal menuju alam gaib.

Sama halnya ketika keluarga memberi satu uang koin (logam) ke mulut jenazah, ataupun

memakaikan pakaian adat yang bagus serta didalam petinya ditaruh sarung ataupun selimut,

hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberi bekal bagi orang yang telah meninggal

untuk digunakan di alam gaib.

Dalam budaya Sabu, biasanya ada yang masih memberikan atau menyediakan

makanan bagi orang yang telah meninggal, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa

orang yang sudah meninggal itu masih ada. Jika ada anggota keluarga yang bermimpi

bertemu dengan orang yang telah meninggal maka keluarga merasa ada yang ingin

disampaikan oleh orang yang telah meninggal itu atau merasa bahwa orang yang telah

meninggal tersebut sedang merasa lapar sehingga perlu diberi atau disediakan makanan.

Dalam budaya Sabu, yang membawa satu barang atau hantaran bagi orang yang

meninggal biasanya per satu desa bukan perorangan. Hal ini berbeda dengan kebudayaan

orang Sabu yang telah tinggal diluar Sabu. Mereka biasanya membawa hantaran secara

pribadi bukan kelompok. Pada waktu dilakukan pemotongan hewan yang merupakan

hantaran dari keluarga, maka bagian kepala, dada dan isi perut di bawa kembali oleh tuan

atau pemilik binatang, sedangkan sisanya diberikan kepada keluarga yang berduka.

Barang atau hewan antaran dari keluarga atau kenalan akan dicatat sehingga ketika

keluarga tersebut mengalami pesta atau acara lain termasuk kematian maka akan “dibalas”

kembali oleh keluarga yang telah diberikan hantaran tersebut. Barang yang dibawa tidak

harus sama baik jumlah atau pun jenisnya, tetapi hal ini dilakukan agar saling mengingat

satu sama lain atau biasa disebut sistem balas jasa, sehingga apa yang kita lakukan kepada

(24)

51

Dalam buku Dunia Orang Sawu, Kana mengatakan bahwa kubur orang yang mati

secara wajar ialah dibawah kolong balai-balai tanah atau disebut Kelaga Rai. Bila lelaki,

maka kuburannya ditempatkan di bagian anjungan (depan), sedangkan perempuan dikubur

di bagian buritan (belakang). Liang kubur bagi kematian manis berbentuk lubang

melingkar. Jenazah dibaringkan pada sisi badan dengan lutut tertekuk ke dada, bagian

depan jenazah lelaki diarahkan ke barat sedangkan perempuan ke timur. Hal ini

melambangkan keadaan manusia di dalam rahim ibu, karena tanah merupakan lambang

sosok seorang ibi. Adapun kuburan untuk kematian asin berbentuk persegi empat, terletak

memotong arah panjang rumah di bagian sisi anjungan. Jenazah orang mati asin dikubur

terlentang dengan kepala terletak kearah bagian depan rumah yang dipilin sedemikian rupa

sehingga wajahnya menghadap ke bawah.77

Jika berbicara tentang kuburan orang Sabu yang sederhana dan berada di bawah

beranda rumah serta tidak banyak ornamen atau penanda yang menandakan adanya

kuburan, penulis menilainya sebagai sebuah sikap sederhana sehingga mereka tidak

menghias kuburnya dengan banyak ornamen. Selain itu adanya anggapan bahwa orang mati

tersebut masih ada bersama-sama dengan keluarga sehingga mereka menguburnya di

bawah beranda rumah agar sosoknya dirasa tetap tinggal bersama dengan mereka. Hal ini

berpengaruh pada tindakan mereka yang masih memberikan makan untuk orang yang

meninggal karena dianggap orang tersebut masih ada bersama-sama dengan mereka.

Pada penjelasan-penjelasan diatas jelas terlihat bahwa adanya pembagian kerja

antara laki-laki dan perempuan. Namun sebelumnya penulis ingin memaparkan sedikit

tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan orang Sabu. Dalam pandangan Orang

Sabu, perempuan ternyata memiliki tempat yang tinggi.78 Mereka sering mengumpamakan

77

Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal.58 78

(25)

matahari sebagai laki sedangkan perempuan sebagai bulan, ataupun bumi sebagai

laki-laki dan laut sebagai perempuan.

Dalam pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin di Sabu pada hakikatnya

bukan karena laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada pihak perempuan, akan tetapi

yang ingin ditonjolkan dengan adanya pembagian kerja adalah sifat keduanya saling

melengkapi satu dengan yang lain, sehingga bersifat sederajat dan selaku teman sekerja.

Hal ini sama dengan ajaran Kristen tentang kedudukan perempuan dan laki-laki dalah hal

rumah tangga bahwa suami dan istri memiliki hubungan yang setara atau sebagai mitra

kerja. Padahal pandangan orang Sabu tentang kedudukan perempuan telah ada jauh

sebelum mereka mengenal agama Kristen. Penulis melihat adanya kesamaan antara ajaran

orang Sabu dan ajaran agama Kristen.

Bagi orang Sabu yang sudah tidak menetap lagi di pulau Sabu, biasanya tidak lagi

melakukan ritual tersebut secara penuh. Mereka biasanya hanya melakukan ritual Huhu

Kebie, “memberi makan” orang yang telah meninggal, atau pun menutupi jenazah dengan

sarung (perempuan) dan selimut (lelaki) sesuai dengan strata sosial keluarga

masing-masing. Ada pun yang masih memberikan sarung, selimut atau pun pakaian ke dalam peti

jenazah sebagai bekal di dunia gaib.

Dari pemaparan diatas juga dapat diidentifikasi bahwa pendampingan pastoral tidak

hanya dilakukan oleh orang yang telah ahli atau profesional tetapi pendampingan pastoral

lebih luas maknanya yaitu dapat dilakukan oleh siapa saja (orang Kristen) yang mau

membantu orang lain baik yang ada didalam komunitas atau lingkungannya atau pun yang

tidak. Hal ini dikarenakan pendampingan pastoral terutama mengacu pada semangat,

tindakan, memedulikan dan mendampingi secara generik.

Selain itu juga, jika kita melihat ritual yang dilakukan pada suku Sabu maka terlihat

(26)

53

atau komunitas terbesar atau dalam masyarakat dan komunitas terkecil atau keluarga inti

dapat melakukan pendampingan. Jadi mereka saling menguatkan satu dengan yang lain

sehingga keluarga yang berduka tidak merasa sendiri dalam kedukaannya, karena ada

banyak orang yang memperdulikan kesedihannya.

Oleh karena itu penulis ingin melihat bahwa sikap memedulikan sangat penting

manfaatnya bagi orang yang sedang mengalami krisis. Sikap ini merupakan jalan masuk

bagi seseorang yang ingin melakukan pendampingan pastoral. Hal ini di dapat penulis

ketika melakukan observasi atau wawancara terhadap beberapa informan. Mereka sangat

merasakan perhatian yang besar dari keluarga dan teman yang datang menunjukkan rasa

peduli mereka terhadap kedukaan orang yang berduka sehingga mereka tidak berlama-lama

dalam kedukaannya.

Dari kelima jenis upacara tersebut yang telah dipaparkan diatas, maka terlihat

bahwa ada makna pendampingan pastoral tidak langsung yang dilihat oleh penulis. Berikut

ini akan dipaparkan beberapa temuan penulis tentang adanya makna pendampingan pastoral

pastoral tidak langsung dalam ritual adat yang dilakukan, yaitu:

1) Menyembuhkan (Healing), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk

mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu

keutuhan dan menuntun dia kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Penulis

melihat fungsi ini didalam proses yang ada dalam ritual kematian suku Sabu.

Seperti dalam ritual Huhu Kebie, dimana selain mengucapkan silsilah keturunan

dari orang meninggal juga ada syair yang menunjukan bahwa hidup harus terus

berlanjut sehingga tidak usah bersedih terlalu lama. Menurut penulis dalam

ritual ini, keluarga mendapatkan fungsi pastoral menyembuhkan dari orang yang

bisa melakukan ritual huhu kebie, karena secara tidak langsung dapat orang

(27)

melanjutkan hidup karena kita yang hidup telah hilang ketergantungan dengan

orang yang telah mati.

2) Menopang (Sustaining), yaitu suatu fungsi pastoral yang menolong orang yang

“terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya terdapat

pemulihan terhadap kondisi semula. Penulis melihat hal ini lewat kedatangan

keluarga, kenalan dan handai taulan yang datang secara bersama-sama. Secara

tidak langsung memberikan fungsi pastoral menopang agar keluarga yang

berduka dapat bertahan di dalam masa berkabungnya.

3) Dalam ritual ini, penulis juga melihat fungsi memberdayakan (empowering)

yang oleh Totok S. Wiryasaputra dalam buku Ready to Care79 adalah untuk

membantu orang yang didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada

masa depan ketika menghadapi kesulitan kembali. Bahkan, fungsi ini juga

dipakai untuk membantu seseorang menjadi pendamping bagi orang lain. Hal ini

tampak dalam keseluruhan ritual kematian yang dilakukan, yaitu bahwa orang

yang datang ke rumah duka dan melihat ritual tersebut dilakukan maka mereka

melihat dan menyaksikan sendiri bahwa keluarga yang berduka di bantu oleh

kelompoknya untuk bisa bertahan dalam masa berduka dan ada rasa

kekeluargaan yang tampak sehingga ketika kedukaan itu terjadi pada mereka,

mereka telah mengetahui cara untuk bertahan dikala duka dan bisa memakai

beberapa makna dari ritual ini untuk membantu orang lain yang sedang berduka.

b) Made Haro (Mati Asin)

Dalam jenis Made Haro (mati asin), maka akan diterima dengan menggunakan adat,

yaitu dengan menggunakan genua bawang putih dan gula Sabu. Orang yang melayat pun

(28)

55

tidak diperbolehkan makan makanan di tempat orang yang meninggal, karena jika dilanggar

maka akan ada dampak yang ditimbulkan seperti hewan ternak yang akan mati secara

tiba-tiba.80

Made Haro atau mati tidak layak, contohnya kematian yang disebabkan karena

kecelakaan, yang meninggal karena bersalin dan lain-lain sehingga harus segera dikubur.

Oleh karena hanya orang-orang tertentu yang boleh melayat. Orang yang melayat akan

menerima makanan dari luar dan 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam baru boleh kembali dari rumah.

Yang mengatar makanan hanya boleh mengantar makanan sampai di depan Darra Roe atau

pintu gerbang saja.

Mayat orang yang mati karena kecelakaan, dikuburkan diluar rumah dan bentuk

kuburannya persegi panjang. Upacara ini disebut "Rue", sedangkan pada upacara kematian

orang yang meninggal secara lazim atau biasa, mayatnya dibungkus dengan selimut adat dan

dikuburkan dalam posisi jongkok dengan dibekali bahan makanan, sirih dan buah pinang.81

Dalam budaya orang Sabu, jika yang meninggal adalah orang tua, maka pestanya

akan sangat mewah apabila di bandingkan dengan anak muda. Hal ini dilakukan untuk

memberikan penghormatan kepada yang meninggal. Jika yang meninggal adalah trurunan

raja atau para bagsawan maka acara kematian bisa dilakukan sampai 3 (tiga) bulan atau 1

(satu) tahun.

Dalam budaya orang Sabu, ada proses dari ritual yang dilakukan adalah menangis

sambil melantunkan syair yang disebut Huhu kebie yang adalah cerita tentang silsilah

keluarga (keturunan). Orang yang melakukan Huhu kebie adalah orang yang secara kodrati

atau alamiah dapat melakukannya atau yang biasa disebut dengan istilah karunia. Biasanya

dilantunkan oleh dua atau lebih orang.

80

Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul

16.30 WITA 81

(29)

Pada waktu meratapi jenazah, orang yang melakukan Huhu kebie akan dibungkus

atau ditutupi dengan kain atau mereka menyebutnya dengan kata selimut. Dalam Huhu kebie,

silsilah yang dilantunkan adalah garis keturunan ibu dan bapak. Silsilah yang dilantunkan

biasanyanya sangat panjang, dimulai dari silsilah orang yang meninggal sampai pada turunan

yang pertama. 82 Orang coba susun silsilah tapi tidak mengetahuinya secara pasti atau persis,

mereka bisa mendapakan kesialan atau celaka.83

Dalam budaya Sabu, jika suami dari saudara perempuan meninggal, maka setelah

acara penguburan, pada malam harinya saudara laki-laki dari perempuan atau istri dari suami

yang meninggal, dapat meminta agar saudara perempuanya dibawa pulang mengikuti

mereka. Akan tetapi jika anak-anak mereka tidak setuju maka mereka akan berkata, “Mama

punya air susu belum kering, jadi kita masih mau mama ada bersama-sama dengan kita”,

artinya mereka masih membutuhkan kasih sayang dari ibu mereka. Sedangkan bagi keluarga

dari suami yang telah meninggal itu akan berkata, “kita ambil dia (ibu/istri) dengan baik-baik,

maka jika dia sedang mengalami masalah dan kehilangan, kita tidak bisa melepaskan dia

begitu saja”. Hal ini wajib dilakukan karena merupakan aturan adat.

Jika orang Sabu yang meninggal di luar pulau Sabu, maka akan dibawa rambut dari

orang yang telah meninggal, namun sekarang barang yanga dibawa bisa berupa foto atau pun

pakaian. Ritual ini disebut Ru’ Ketu. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada keluarga

di Sabu bahwa salah satu anggota keluarga mereka ada yang telah meninggal. Selain itu

82

Hasil wawancara dengan WD (66 tahun), pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul 09.000 wita, di kediaman

bapak WD) 83

Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul

10.00 WITA

(30)

57

dalam budaya Orang Sabu, setiap orang Sabu adalah milik tanah Sabu. Di manapun dia

bepergian wajib baginya untuk kembali ke kampung halamannya. Penjemputan terhadap Ru’

Ketu dilakukan dengan menggunakan adat. 84

Dalam buku Dunia Orang Sabu (Nico L. Kana), disebutkan pula tentang proses

ritual bagi Made Haro. Jika misalnya kematian asin ini karena korban jatuh dari pohon lontar,

maka ia diangkut dengan tandu yang terbuat dari pelepah lontar yang disebut kelaga apa

(balai-balai pelepah) ke kampung. Para pengiring jenazah, di sepanjang jalan menyanyikan

nyanyian Hida Ngara, Rai (Seruan Nama Tuhan) menabur-naburkan biji jagung dan kacang

hijau. Penanduan secara demikian itu dibolehkan jika kematian itu terjadi sesudah dilakukan

upacara penutupan tungku masak gula lontar, yaitu upacara yang menandai berakhirnya masa

kegiatan kerja yang dianggap penting dan kritis.

Apabila kematian asin ini terjadi pada masa kegiatan memasak gula, maka

penanduan korban ke kampung tidak boleh dilakukan sambil menyanyi seperti disebutkan

tadi. Cara memasukkannya di kampung pun berbeda. Bukan lewat gerbang kampung akan

tetapi melangkahi pagar karang. Ini disebut lila lau paga biri (terbang pagar langkahi pagar).

Pada hari ke-3 (tiga) diadakan lagi upacara “memaniskan” namun dipimpin Deo

Rai. Juga buat dia diserahkan 7 (tujuh) ekor hewan rumah. Ia disambut dengan suguhan sirih

pinang. Di rumah almarhum dipotong pula seejor babi untuk makan bersama warga atau

disebut senga’a pana. Babi yang disembelih itu disebut wawi luna nyiu nata (babi keramas

manis). Dengan ini keadaan wajar dikembalikan lagi di antara mereka. Upacara yang

kemudian menyusuli ialah seperti yang ada pada kematian biasa, yakni membersihkan,

kemudian haga, diteruskan dengan “memaku rumah”. Dengan demikian lengkaplah mati asin

itu menjadi mati manis.85

84

Hasil wawancara dengan WD (66 tahun), pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul 09.000 wita, di kediaman

bapak WD. 85

(31)

Analisa :

Dalam ritual kematian suku Sabu untuk jenis mati asin (made haro), penulis melihat

adanya fungsi pastoral :

1) Menyembuhkan (Healing), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk

mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu

keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Hal ini

jelas terlihat dari keseluruhan proses mati asin (made haro), yang adalah mati

secara tidak wajar atau karena kecelakaan sehingga mereka melakukan ritual

“memaniskan” kembali keadaan yang telah rusak agar orang telah meninggal

tersebut dapat diterima untuk berkumpul dengan para leluhur di alam gaib.

Selain itu juga dapat memberikan “kesembuhan” secara batin yang terluka

akibat kematian anggota keluarga secara tidak wajar serta menormalkan segala

hal yang telah “asin” ke keadaan semula.

2) Mendamaikan (Reconciling), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk

berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya dan antara

manusia dengan Allah. Hal ini menurut penulis karena hubungan manusia dan

sesama serta Tuhannya telah terluka akibat kematian yang tidak wajar sehingga

dalam segala bentuk ritual mati asin (made haro) dilakukan proses memaniskan

(32)
[image:32.612.109.514.94.363.2]

Gambar 6. Tetan

Disini juga terlihat ba

membutuhkan satu sama lain d

dengan alam dan Tuhan. Sehin

keadaan yang menimpa kita

penjelasan di bab II (dua) terlih

fisik, aspek mental, aspek spiri

dapat melihat bahwa semua a

manusia yang satu dengan ya

manusia dapat menolong satu d

Sama halnya dengan ad

melayat untuk tidak makan di

menurut penulis mereka mem

mendapatkan kesialan yang sa

lain begitu jelas terlihat. Akan t

86

Gambar diambil dari dari buku Nico, hal.28

tangga dan Kerabat berdatangan ketika terjadi kema

bahwa manusia adalah makhluk sosial yang

n dan memiliki relasi tidak hanya dengan sesama

hingga hubungan baik itu harus terus terjaga sehi

ta ada banyak tangan yang datang menolong.

rlihat bahwa manusia memiliki empat aspek utama

iritual dan aspek sosial yang ada dalam dirinya. D

a aspek harus diperhatikan secara baik sehingga

yang lain saling melengkapi. Dengan menyada

u dengan yang lain.

adat mereka yang tidak memperbolehkan orang

di tempat atau rumah duka selain karena takut

mementingkan atau mempedulikan satu sama lai

sama. Disini terlihat bahwa sikap memperdulika

n tetapi bukan berarti dengan tidak membiarkan or

o, L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harap

ematian86

g hidup saling

ma, tetapi juga

ehingga apapun

. Seperti pada

ma, yaitu aspek

a. Dari sini kita

gga keberadaan

adari ini maka

ng yang datang

ut sial, adat ini

lain agar tidak

likan satu sama

orang lain ikut

(33)

sial, mereka membiarkan orang yang meninggal tidak diurus karena takut sial tetapi mereka

tetap melakukan setiap prosesnya agar kematian yang tidak wajar tersebut dapat

dimaniskan kembali agar dapat diterima dengan baik oleh para leluhur dan mempermudah

jalan menuju alam gaib.

[image:33.612.100.513.197.493.2]

3. 2. 2. Pemau Do made, meretas jalan menuju nirwana

Gambar 7. Upacara Pemau Do made87

Upacara yang dilakukan keluarga bagi orang yang telah meninggal agar dapat menuju nirwana.

Setelah rangkaian ritual yang telah di paparkan diatas bukanlah akhir dari ritual

yang dilakukan keluarga yang telah kehilangan anggota keluarganya karena kematian.

Keluarga yang berduka masih harus melakukan ritual agar arwah anggota keluarga yang

meninggal dapat dengan damai sampai ke dunia gaib.

Untuk itu maka setiap orang sabu yang meninggal dunia dipercayakan rohnya akan

melenggang ke nirwana atau surga apabila telah dilakukan penyucian arwah atau Pemau Do

Made bagi orang yang telah meninggal tersebut. Untuk melakukan ritual ini maka dibutuhkan

dana yang cukup besar karena akan membunuh korban sembelihan mulai dari ternak kecil

hingga ternak besar, tergantung dari dari strata sosial sesorang.

(34)

61

Ritual penyucian arwah harus dilakukan pada bulan tertentu sesuai dengan kalender

adat dan perputaran bulan, yaitu dilakukan pada hari ke enam setelah buan purnama pada

bulan kedelapan tahun masehi setiap tahunnya. Orang yang meninggal dalam sebuah

kampung adat tertentu yang diikat oleh kekerabatab dan hirarki suku akan melakukan ritual

penyucian arwah secara serentak. Ritual ini akan dilakukan atas kesepakatan semua keluarga

dari setiap orang yang meninggal dunia karena ini menyangkut dengan dana yang besar yang

akan dihabiskan. Ritual ini tidak dilakukan setiap tahun, bisa lima tahun sekali atau lebih.

Ritual akan dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Pada hari pertama adalah hari

dimana semua keluarga dari orang yang meninggal akan berkumpul. disini semua kerabat

serta orang yang berasal dari kampung tersebut akan berkumpul dengan membawa masing

masing ternak dan makanan berupa beras atau kacang hijau. Kaum perempuan

bertanggungjawab untuk mengumpulkan makanan berupa beras sementara para lelakinya

bertanggungjawab mengumpulkan ternak.

Setelah semuanya berkumpul maka pada hari kedua akan dilakukan ritual penyucian

bagi setiap orang yang telah meninggal di kuburan mereka masing-masing yang ditandai

dengan batu. Kuburan orang mati yang masih menganut aliran jingitiu berbentuk bulat seperti

sumur dimana orang yang meninggal akan di ikat berbentuk bulat lalu dikuburkan.

Dihari kedua ritual setiap keluarga dari yang meninggal seperti anak istri atau

kakak-adik dan ibu bapaknya akan memakai pakaian adat dengan motif tertentu sesuai

dengan stratanya. Mereka akan diterima oleh orang yang paling dituakan dalam kampung

dengan memangku mereka masing-masing sambil melafalkan bahasa adat yang keramat.

Bahasa tersebut intinya agar yang telah meninggal tidak boleh lagi mengganggu keluarga

yang masih hidup akarena mereka akan disucikan jalanya menuju nirwana. Dengan demikian

maka mereka sudah berbeda alam dengan dunia orang hidup. Ritual ini ditandai dengan

(35)

hijau,kacang hitam beras ketan, atau pun sorgum. Yang memasaknya pula adalah wanita

wanita tua dengan tidak boleh berbicara.

Setelah itu maka para lelaki telah menyiapkan seoekor domba putih dipintu luar

kampung sebelah barat untuk dipotong menjadi dua. Pemotongan domba putih ini

dinamakan Ki,I Pe Aki sebagai lambang penyucian bagi arwah yang akan disucikan. dengan

darah itu mereka akan meretas jalan menuju nirwana. Domba putih yang dipotong menjadi

dua ini adalah lambang persembahan dan kurban bakaran bagi sang khalik sebagai tanda

penyucian bagi mereka yang telah meninggal. Binatang korban ini tidak boleh dimakan oleh

orang yang satu suku dari orang yang ada dalam kampung tersebut karena itu akan

mendatangkan malapetaka.

Pada malam hari kedua bagi orang mati yang meninggalkan istri atau sumai akan

dilakukan ritual khusus dimana mereka akan berpakaian putih-putih dibungkus dari kaki

hingga kepala menyerupai pocong. mereka kemudian dibawa keluar kampung pada tengah

malam dengan nyanyian adat dan tangisan ratapan menuju tempat pembuangan barang

barang yang kotor dan berdosa. Setelah dari situ mereka akan dimasukkan kerumah adat

kemudian disucikan dengan air dan asap dupa.

Pada hari ketiga pagi harinya akan dilakukan prosesi bunuh binatang untuk

dibagikan kepada setiap orang yang datng membawa sumbangan baik it berupa ternak, beras

atau uang. Ratusan binatang akan dipotong kemudian dibagikan dalam sebuah tempat yang

dalam bahsa sabi di sebut pai. Pembagian daging korban kepada setiap orang berdasarkan

besarnya bawaan mereka. seperti yang bawa binatang maka dia memperoleh daging yang

lebih banyak dan seterusnya.

Pada malam hari ketiga akan dilakukan kegiatan yang mengekspresikan

kegembiraan berupa permaian lompat alu atau permainan bambu gila (kalau dipulau ambon).

(36)

63

demikian ritual penyucian arwah ini akan dikatakan genap dan selesai setelah tiga kali

purnama setelah ritual penyucian yang disebut dengan dabo rao. Dalam acara tersebut

binatang yang sisa yang belum dibunuh akan dibunuh untuk dimakan beramai ramai Oleh

keluarga sebagai tanda suka cita bahwa keluarga mereka telah tiba dinirwana setelah mereka

yang hidup meretas jalanya menuju nirwana lewat prosesi atau ritual sakral pemau do made.

Di zaman modern seperti sekarang ini, maka untuk melaksankan sebuah ritual

penyucian arwah maka masyarakat sudah banyak yang hanya memberi sumbangannya dalam

bentuk uang tunai dan tidak berupa binatang lagi. Uang yang di sumbangkan akan dicacat

dan digunakan untuk membeli ternak buat di sembelih. Binatang tersebut nantinya akan

dibunuh dan dibagikan kembali kepada setiap orang yang datang membawa sumbangan baik

berupa, ternak, makanan atau uang. 88

Analisa :

Sama halnya dengan ritual untuk mati manis dan mati asin, ritual peamu do made

juga nampak sikap saling memperdulikan satu sama lain, walaupun anggota keluarganya

telah meninggal cukup lama tetapi mereka tetap mengurusi arwahnya agar perjalanannya

mulus sampai ke sorga. Bagi penulis, dengan melakukan berbagai ritual ini orang-orang

yang melakukannya juga secara tidak langsung mempersiapkan orang lain agar dapat

melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan agar ketika ada anggota keluarga

lain yang mengalami kedukaan mereka dapat melakukan hal yang sama. Dengan kata lain

fungsi memberidayakan nampak di sini.

Oleh karena itu pandangan orang Sabu tentang manusia sebagai makhluk sosial

sangat nampak pada ritual ini. Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau

makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang

88

(37)

berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai

makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Manusia dikatakan

sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk

berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai

manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.

Sejak awal kelahirannya adalah sebagai makhluk sosial (ditengah keluarganya).

Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Manusia memerlukan

mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagai individu,

manusia dituntut untuk dapat mengenal serta memahami tanggung jawabnya bagi dirinya

sendiri, masyarakat dan kepada Sang Pencipta. Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia

tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa

menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh

potensi kemanusiaannya.

Dalam keseluruhan ritual kematian suku Sabu tersebut, juga terlihat nilai-nilai luhur

dalam kehidupan, antara lain:

a. Religius. Nilai ini tercermin dari aja

Gambar

Gambar bar 1. Peta penyebaran Orang Sabu di daerah NTT54
Gambar 2. Peta Kota Kupang (tempat penelitian)56
Gambar 3. Tarian Ledo70
Gambar 4. Upacara Haga pada peristiwa kedukaan74
+4

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Seperti halnya ritual hole yang merupakan pembayaran upeti merupakan kewajiban dari semua orang Sabu, karena leluhur mereka telah melakukan suatu perjanjian yang harus

Dalam ritual Nyadiri , Patahu ini juga yang akan menolong manusia unuk mengambil roh orang yang sakit dari dunia orang mati.. ga nti diri dari orang yang

Masyarakat Toraja memiliki budaya unik yang disebut ma’nenek, sebuah ritual yang mungkin aneh bagi orang lain, namun oleh mereka yang memelihara tradisi ini diyakini sebagai

Dan, bahwa orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring itu saat merenung, adalah orang-orang yang mata hati mereka terbuka untuk melihat berbagai

Bagi masyarakat pendatang, motto Ino fo makati nyinga dipahami sebagai bagian dari budaya yang menjadi bagian masyarakat asli bukan budaya mereka, alasannya bahasa

Puisi ini terbagi ke dalam beberapa macam, yakni epik, romansa, balada, dan syair (berisi cerita).. Balada adalah puisi yang bercerita tentang orang-orang perkasa ataupun

Sudah pasti bahwa yang ingin disampaikan adalah informasi seputar kafe itu sendiri, karena tujuannya adalah agar orang-orang dapat mengetahui seperti apakah Kafe

Kemudian korban kembali berbicara dan mengatakan "se masih parlente" sambil korban meludahi kearah tembok kamar dan selanjutnya korban kembali berbaring dalam keadaan menangis dalam