ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA GRESIK No. 0977/Pdt.G/2013/PA/Gs TENTANG KASUS
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL TANPA IZIN PEJABAT
SKRIPSI
Oleh
Ahmad Choiri
NIM. C01210052
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwalus Syakhshiyah
Surabaya
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA GRESIK No. 0977/Pdt.G/2013/PA/Gs TENTANG KASUS
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL TANPA IZIN PEJABAT
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Fakultas Syariah dan Hukum
Oleh Ahmad Choiri NIM.C01210052
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Perdata Islam Prodi Ahwalus Syakhshiyah Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Gresik No.0977/ Pdt.G/2013/ PA/GS tentang Kasus Perceraian Pegawai Negeri Sipil Tanpa Izin Pejabat”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tentang : Apakah Pertimbangan dan Dasar Hukum yang dipakai Hakim dalam mengabulkan cerai talak, serta bagaimana analisis yuridisnya.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Jo. No. 45 Tahun 1990 tentang bahwa bagi Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan Perceraian diwajibkan meyertakan surat izin ( pemohon ) dan surat keterangan ( termohon ), dalam realitas ditemukan putusan Pengadilan Agama Gresik dari pemeriksaan hingga putusannya tanpa adanya penyertaan surat keterangan dari atasannya. Data penelitian dihimpun melalui interview dan documenter selanjutnya dianalisis dengan teknis Deskriptif dan pola pikir Deduktif.
Sebagai Pegawai Negeri Sipil yang hendak melangsungkan perceraian wajib menyertakan Surat Keterangan dari atasannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Jo. No. 45 Tahun 1990. Akan tetapi dalam waktu yang ditentukan tidak dapat izin dari atasannya. Kemudian putusan tentang perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat pertimbangan Hakim lebih pada rasa keadilan bagi semua pihak karena tak dapat lagi meneruskan hubungan perkawinannya dengan sebab seringnya terjadi perselisihan dan pertengkaran, dirasa cukup sebagai alasan dalam permohonan cerainya sesuai dengan pasal 39 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam sebagai dasara hukumnya.
Bagi Termohon seharusnya terlebih dahulu melapor dan meminta surat keterangan dari atasannya, bukan menunggu waktu hingga 6 bulan agar persidangan dapat dilangsungkan kembali, karena mengingat resiko besar terhadap pekerjaannya dan keadaan sang anak juga. Bagi penegak hukum dan atasan seharusnya lebih memikirkan lagi tentang strategi bagaimana dapat mempersulit terjadinya perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil. Karena jika Pegawai Negeri Sipil yang menengah ke atas mungkin tak mempertimbangkan finansial. Maka yang terjadi adalah mudah melakukan perceraian..
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK………...………v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi ... 5
C.Rumusan Masalah ... 6
D.Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9
G.Definisi Operasional ... 10
H.Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Pembahasan ... 14
1. Cerai talak ... 28
2. Cerai gugat ... 20
B.Ketentuan Ketentuan Dalam Perceraian Pegawai Negeri Sipil ... 24
C.Alasan Alasan Dalam Perceraian Pegawai Negeri Sipil ... 27
D.Prosedur Dalam Memperoleh Izin Perceraian ... 31
E. Sanksi Hukum Bagi Pegawai Negeri Sipil tanpa Izin Pejabat dalam Perceraian… ... 32
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA GRESIK TENTANG PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL TANPA IZIN PEJABAT A. Data Pengadilan Agama Gresik ... 35
1. Profil dan dasar hukum berdirinya Pengadilan Agama Gresik ... 35
2. Kedudukan, tugas pokok, fungsi pengadilan ... 36
3. Wilayah hukum Pengadilan Agama Gresik ... 39
4. Struktus organisasi Pengadilan Agama Gresik ... 40
B. Diskripsi Kasus ... 42
C. Pertimbangan dan Dasar Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara No. 0977/Pdt. G/2013/PA/Gs ... 44
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA GRESIK No. 0977/PDT.G/PA/GS A. Analisis Yuridis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Meutuskan ... 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam mensyariatkan perkawinan untuk memenuhi kebutuhan dasar
manusia sebagai ibadah dan untuk memadu kasih sayang serta untuk memelihara
kelangsungan hidup manusia dengan melahirkan keturunan sebagai generasinya
di masa yang akan datang. Perkawinan merupakan sunnatullah yang berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi
makhluk-Nya untuk berkembangbiak, dan melestarikan hidupnya.1 Hal itu
ditegaskan dalam Al-Quran bahwa Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu
secara berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya dalam surat Yasin ayat 36:
“Maha suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berjodoh-jodoh, baik
tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka
ketahui”.2
Secara yuridis perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 undang-undang itu menyebutkan
bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
1 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal: 9.
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3 Selain itu dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 2-3 disebutkan bahwa Pernikahan adalah akad yang sangat
kuat untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan suatu
ibadah, serta bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah warahmah.4
Setiap suami istri mendambakan ikatan perkawinannya kokoh hingga
akhir hayatnya. Dalam kenyataannya, tidak selamanya hubungan suami istri
dapat tercipta dan berlagsung dengan baik tanpa mengalami suatu hambatan dan
gangguan. Bermacam-macam kendala dan keadaan yang menyebabkan hubungan
suami istri terganggu sehingga dapat menghambat terciptanya suatu keadaan
yang efektif dalam upaya membentuk kehidupan keluarga yang sakinah.
Munculnya berbagai masalah dalam suatu rumah tangga merupakan suatu
hal wajar yang dialami oleh sepasang suami istri. Penyelesaian masalah-masalah
tersebut membawa dampak positif dan negatif tergantung dari sepasang yang
menjalaninya. Jika berhasil menyelesaikan maka dapat dikatakan bahwa
pasangan tersebut dalam hidup berumah tangga sukses, jika tidak maka jalan
terakhir adalah Perceraian.
Perceraian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 Pasal 39 ayat 1-2 yang berbunyi:
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belai pihak
3
Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, hal: 5.
4
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.5
Pasal 39 di atas mengatur masyarakat pada umumnya, namun terdapat
perbedaan sekaligus tambahan jika suami atau istri tercatat sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Perbedaan tersebut bertujuan mempersulit terjadinya perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil, selaku aparatur negara, abdi Negara dan abdi
masyarakat yang harus menjadi tauladan yang baik bagi masyarakat dalam
tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan keluarga.6 Sehingga
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1983 Jo. No. 45 tahun 1990
tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan lebih
spesifikasinya dalam kasus ini adalah pasal 3 ayat 1-3 yang berbunyi:
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat. 2. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat
atau sebagai tergugat untuk memperoleh surat atau keterangan yang dimaksud dalam ayat 1 harus mengajukan permintaan secara tertulis. 3. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan
perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya. 7
Dari Pasal tersebut tampak betapa pemerintah cenderung mempersulit
pelaksanaan perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil semaksimal mungkin
dengan cara melibatkan atasan /pejabat dalam hal pemberian izin. Jelas kiranya
dalam permasalahan ini, setiap Pegawai Negeri Sipil yang hendak melaksanakan
perceraian wajib terlebih dahulu mendapatkan surat izin tertulis dari
5
Ibid, Hal: 17
6
Surat Edaran Nomor:08/SE/1983, bab Umum butir 4
7
pejabat/atasannya. Dalam realita yang ada ditemukan suatu putusan dari
Pengadilan Agama Gresik yang bernomorkan 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs, yaitu
putusan cerai talak yang termohon seorang Pegawai Negeri Sipil hingga
diputuskannya tanpa adanya surat izin dari pejabat/atasannya.
Dalam perjalanan sidangnya oleh Majlis Hakim, pemohon (suami) dan
termohon (istri), karena termohon adalah seorang Pegawai Negeri Sipil sebagai
Guru Sekolah Dasar di wilayah tandes, kota Surabaya, maka sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah No. 45
Tahun 1990, bahwa untuk melakukan perceraian Termohon harus mendapat surat
keterangan dari atasannya. Karena termohon belum mendapatkan surat
keterangan dari atasannya, maka dibuatlah surat pernyataan oleh termohon yang
intinya Termohon bersedia menanggung resiko apapun mengenai Pegawai Negeri
Sipil yang berkaitan dengan perceraian yang dilakukan Termohon dengan
Pemohon. Dengan adanya surat pernyataan dari Termohon tersebut, sidang
dilanjutkan hingga diputuskannya oleh majlis hakim Pengadilan setempat.8
Pembahasan mengenai Perceraian Pegawai Negeri Sipil yang belum
mendapatkan surat keterangan dari atasan atau pejabat dan hanya digantikan
dengan Surat Pernyataan dari pihak Termohon yang isinya bersedia menanggung
resiko di kemudian hari pasca diputuskannya perceraian tersebut mendorong
penulis untuk mengkaji persoalan perceraian oleh Pegawai Negeri Sipil tanpa
keterangan pejabat dengan menfokuskan bahasan pada Pertimbangan Hakim
8
Pengadilan Agama Gresik serta Dasar Hukum Hakim dalam memutuskan
perceraian tersebut. Untuk membahas masalah tersebut penulis merumuskan
judul penelitian “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Gresik
No. 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs Tentang Kasus Perceraian Pegawai Negeri Sipil
Tanpa Izin Pejabat”.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasikan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Hal-hal yang melatarbelakangi perceraian.
2. Syarat-syarat perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
3. Implementasi Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Jo. No. 45 Tahun
1990.
4. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam memutuskan
perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat.
5. Dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Gresikdalam memutuskan
perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat.
Mengingat masalah yang teridentifikasi tersebut masih luas maka penulis
membatasi hanya pada masalah-masalah berikut ini:
1. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam memutuskan
perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat
2. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam memutuskan
C.Rumusan Masalah
Masalah yang telah dibatasi di atas dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
1. Apakah Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam
memutuskan perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat?
2. Apakah Dasar Hukum Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam
memutuskan perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat?
D.Kajian Pustaka
Perihal pembahasan perceraian Pegawai Negeri Sipil, pada dasarnya telah
banyak dibahas dengan berbagai pendekatan. Terdapat beberapa kajian serupa
yang sudah pernah ditulis oleh penulis sebelumnya, diantaranya:
Skripsi Adi Wijaya yang berjudul “ Analisis Hukum Islam terhadap
kewajiban penyertaan izin pejabat dalam pemeriksaan perceraian Pegawai Negeri
Sipil “. Dalam pembahasannya menjelaskan proses pelaksanaan perceraian
Pegawai Negeri Sipil yang berbeda dengan perceraian subyek hukum pada
umumnya, terdapat tambahan kesertaan izin pejabat yang bersifat administrative
yang bertujuan mempersulit bentuk perceraian dengan menambah
persyaratannya, dan bagaimana jika ketentuan di atas ditinjau dari hukum islam,
mengingat bahwa adanya ketentuan penyertaan izin pejabat ini tidak diatur
dalam aturan hukum Islam. Namun dalam penelitian skripsi ini menjawab
perceraian adalah kebijakan keduniaan yang pengaturannya tidak bertentangan
dengan syariat Islam. Jadi daqlam tinjauan hukum Islam sangat diperbolehkan.9
Skripsi Abdul Malik yang berjudul “ Analisis Hukum Islam terhadap
ketentuan hukum dalam PP No. 10 tahun 1983 tentang pelaksanaan perceraian
Pegawai Negeri Sipil “. Pembahasan dalam skripsi tersebut menjelaskan
kedudukan izin pejabat dalam pemeriksaan perceraian Pegawai Negeri Sipil
berfungsi sebagai persyaratan administrative yang perlu dipenuhi oleh Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan dan Implementasi Peraturan PemerintahNo. 10
Tahun 1983, kemudian bagaimana pandangan Hukum Islam. Dalam
penelitiannya mendiskripsikan bahwa Hukum Islam dapat membenarkan adanya
kewajiban izin pejabat dalam perceraian Pegawai Negeri Sipil tidak bertentangan
dengan hukum Islam serta dengan pertimbangan mencegah mafsadah yang
mungkin timbul dan menarik maslahah yang lebih besar 10
Sejauh ini memang banyak yang meneliti secara umum perceraian
Pegawai Negeri Sipil, akan tetapi pendekatan dan titik tolak pembahasan yang
dikemukakan berbeda dengan skripsi penulis. Dan letak perbedaannya penelitian
ini lebih diarahkan terhadap putusan, bahkan fokus pembahasannya berbeda
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah yang berlaku. Setiap perceraian Pegawai
Negeri Sipil yang berlangsung harus terlebih dahulu mendapatkan surat
keterangan dari atasannya, sedangkan skripsi penulis ini di dalamnya tanpa
9
Adi Wijaya,“ analisis Hukum Islam terhadap kewajiban penyertaan izin pejabat dalam
pemeriksaan perceraian Pegawai Negeri Sipil “( Skripsi UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014). 10
Abdul Malik,“ analisis hukum islam terhadap ketentuan hukum dalam PP No. 10 tahun 1983
adanya surat keterangan dari atasannya tetap dipersidangkan hingga diputuskan.
Untuk mengetahui alasan-alasan di atas perlu adanya suatu analisis yuridis
terhadap putusan Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam memutuskan perkara
perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat tersebut agar dapat
mengetahui pertimbangan dan dasar hukum yang dipakai oleh Hakim dalam
memutuskannya.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Gresik
dalam memutuskan perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin
pejabat dengan Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahum 1983 Jo. No. 45 Tahun 1990.
2. Untuk menganalisis dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam
memutuskan perkara perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat
dengan Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahum 1983 Jo. No. 45 Tahun 1990.
F. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka hasil penelitian yang peneliti
lakukan ini diharapkan memberikan kegunaan sebagai berikut:
1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya bagi
khazanah ilmu pengetahuan dan kepustakaan terutama di bidang
perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil, selain itu juga dapat
digunakan sebagai bahan acuan bagi peneliti-peneliti berikutnya
khususnya yang berhubungan dengan perceraian Pegawai Negeri Sipil.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih
pemikiran sebagai bahan kajian dan rujukan bagi peneliti selanjutnya
yang relevan dengan tema skripsi ini, khusus pada permasalahan
perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil dalam melangsungkan
perceraian dan bagi Hakim dalam memutuskan perkara perceraian
Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat.
G.Definisi Operational
Untuk memperjelas kemana arah pembahasan masalah yang diangkat,
maka penulis perlu memberikan definisi dari judul tersebut, yakni dengan
menguraikan sebagai berikut:
Analisis yuridis : suatu penguraian hukum atas perundang-
undangan yang berlaku.11 Dalam pembahasan
ini penulis akan menganalisis putusan No.
0977/Pdt.G/2013/PA.Gs tentang perceraian
Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat di
Pengadilan Agama Gresik dengan PP No. 10
Tahun 1983 Jo. PP No. 45 Tahun 1990.
11
Perceraian PNS tanpa
Izin Pejabat : perceraian berasal dari kata “ cerai “ yang
berarti pisah, memutuskan hubungan untuk
tidak sebagai suami istri lagi.12 Dalam Hal ini,
kategori perceraian Pegawai Negeri Sipil yang
disebabkan Termohon tercatat sebagai Guru
Dasar Negeri yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah, namun dalam keberlangsungan
perceraiannya tidak menyertakan surat
keterangan dari atasannya.
Jadi yang dimaksud dengan “ Analisis Yuridis Terhadap Putusan
Pengadilan Agama Gresik No. 0977/Pdt.G/2013/PA/Gs Tentang Kasus
Perceraian Pegawai Negeri Sipil Tanpa Izin Pejabat “ adalah menganalisis
Putusan Pengadilan Agama Gresik mengenai kasus perceraian Pegawai Negeri
Sipil yang belum mendapatkan surat izin atau keterangan dari pejabat yang
membawainya dengan undang-undang yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun1983
Jo. No. 45 Tahun 1990.
12
H.Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif, yaitu
menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami dan disimpulkan, dengan langkah sebagai berikut:
1. Data yang dikumpulkan
a. Pertimbangan yang digunakan oleh Majlis Hakim Pengadilan Agama
Gresik yang memutuskan perkara No. 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs
tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat.
b. Dasar Hukum yang digunakan oleh Majlis Hakim Pengadilan Agama
Gresik yang memutuskan perkara No. 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs
tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat.
2. Sumber data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Sumber data primer
Sumber primer dalam penelitian ini adalah Ketua Majlis, Dua Hakim
Anggota beserta Panitera persidangan yang turut memutuskan perkara
No. 0977/Pdt.G/2013/PA/Gs yang nantinya dimintai keterangan dan
b. Sumber data sekunder
Yaitu data yang diambil dan diperoleh dari bahan pustaka dengan
mencari data atau informasi berupa benda-benda tertulis.13 Adapun
dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder berupa
buku-buku yang terkait dengan pembahasan ini, yaitu:
1. Salinan Putusan No. 0977/Pdt.G/2013/PA/Gs
2. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
3. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
4. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Jo. No. 45
Tahun 1990
5. Surat Edaran Mahkamah Agaung No. 5 Tahun 1984
petunjuk Teknis Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1983
6. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama
7. Ghalia, Izin Perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil serta
petunjuk pelaksanaannya
8. Jurnal Perceraian bagi PNS tinjauan dari PP No. 45
Tahun 1990
http://thegank-
hukum.blogspot.com/2010/03/perceraian-bagi-pns-tinjauan-dari-pp-no.html, diambil pada puku 01.05, 25
desember 2014.
13Suharismi arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
9. Sumber-sumber lain yang berkaitan dengan skripsi ini.
3. Teknik pengumpulan data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara (interview)
Wawancara atau interview ini penulis akan berhadapan langsung
kepada Hakim Pengadilan Agama Gresik yang turut memutuskan
perkara No. 0097/Pdt.G/2013/PA/Gs tentang perceraian Pegawai
Negeri Sipil tanpa izin pejabat untuk memperoleh informasi tentang
pertimbangan dan dasar hukum yang digunakan.
b. Studi dokumen (dokumenter)
Studi dokumen atau dokumenter ini dilakukan dengan cara mengkaji
dan menelaah atas dokumen yang berupa Putusan Pengadilan Agama
Gresik No. 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs tentang perceraian Pegawai
Negeri Sipil tanpa izin pejabat kemudian di analisis dengan
Undang-Undang terkait guna menjawab atas pertimbangan dan dasar hukum
Hakim dalam memutuskan perkara tersebut.
4. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan penulis dalam menganalisis data yang berhasil
dikumpulkan adalah:
a. Teknik deskriptif
Yaitu suatu teknik yang mendiskripsikan data secara sistematis
mendalam.14 Pada teknik ini, peneliti menggambarkan tentang adanya
Putusan Pengadilan Agama Gresik No. 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs
tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat, kemudian
mencari dasar pertimbangan dan hukumya sehingga kasus ini dapat
dipersidangkan dan diputuskan.
b. Pola pikir deduktif
Pola pikir yang berasal dari pengetahuan yang bersifat umum yang
kemudian digunakan untuk menilai suatu kejadian yang bersifat
khusus.15 Dalam hal ini penulis mengawali dengan mengemukakan
teori-teori bersifat umum yaitu tentang syarat-syarat perceraian yang
pada umumnya berdasarkan Undang-undang yang berlaku, kemudian
menghubungkan dengan hal yang bersifat khusus yaitu Putusan
Pengadilan Agama Gresik No. 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs tentang
perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat dengan
menggunakan data yang ada, kemudian ditarik sebuah kesimpulan dan
dianalisis dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Jo. Nomor
45 Tahun 1990 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai
Negeri Sipil.
14 Ibid., hal: 24
15
Sutrisno Hadi, Metodologi Research Jilid I, (Yogjakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan
penulisan dan pemahaman. Oleh karena itu, skripsi ini disusun dalam beberapa
bab, pada tiap-tiap bab terdiri dari beberapa sub bab, sehingga pembaca dapat
dengan mudah memahaminya. Adapun sistematika pembahasan ini adalah
sebagai berikut:
Bab pertama, adalah Pendahuluan. Pada bab ini berisi latar belakang
masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka,
tujuan dan kegunaan hasil penelitian, definisi operational, metodologi penelitian,
dan yang terakhir sistematika pembahasan.
Bab kedua, Landasan Yuridis Perceraian Pegawai Negeri Sipil, meliputi:
ketentuan-ketentuan perceraian, perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
alasan-alasan perceraian, prosedur perceraian dan izin pejabat, sanksi hukum bagi
Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat dalam perceraiannya.
Bab ketiga, Pada bab ini memaparkan hasil penelitian atau data penelitian
yang terdiri atas: gambaran umum tentang Pengadilan Agama Gresik yang terdiri
dari profil, dasar hukum berdirinya, kedudukan, tugas pokok, fungsi, wilayah
yuridis, dan struktur organisasi Pengadilan Agama Gresik, yang kemudian
dilanjutkan dengan deskripsi kasus, diteruskan dengan pertimbangan dan dasar
hukum Hakim dalam memutuskan perkara No. 0977/Pdt.G/2013/PA.Gs tentang
perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat.
Bab keempat, Pada bab ini merupakan analisis terhadap hasil penelitian
hukum Hakim Pengadilan Agama Gresik dalam memutuskan perkara No. 0977/
Pdt.G/ 2013/PA.Gs tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil tanpa izin pejabat.
Bab kelima, adalah Penutup. Pada bab ini merupakan bab terakhir dalam
BAB II
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA
A. Landasan Yuridis Perceraian
Dalam bahasa Indonesia kata perceraian berasal dari kata cerai yang
berarti pisah.16 Perceraian merupakan lepasnya ikatan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, yang dilakukan di depan sidang
Pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri untuk non muslim dan Pengadilan Agama
bagi yang beragama Islam. Sedangkan pengertian perceraian menurut hukum
perdata adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu.17
Perceraian menurut hukum di Indonesia adalah yang tercantum dalam
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974, Undang-undang No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas secara
umum disebutkan bahwa penyebab putusnya perkawinan dapat dikarenakan oleh
tiga hal, yaitu kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan.
Pada pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan secara garis
besar tentang tata cara perceraian, diantaranya :
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
16 Lukman Ati et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Bumu Aksara, 1991. Hal: 185
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.18
Penjelasan mengenai tata cara perceraian yang sesuai dalam pasal 39
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tertulis lengkap dalam PP No. 9 tahun 1975
dalam bab V pasal 14-36 sebagai pelaksananya.
Peraturan perundangan perceraian secara sah ketika perceraian itu
dinyatakan di depan sidang Pengadilan sesuai dengan pasal 18 PP No.9 Tahun
1975 yang berbunyi Perceraian itu terjadi pada saat perceraian itu dinyatakan di
depan sidang Pengadilan.19 Oleh karena itu perceraian yang dilakukan di luar
sidang Pengadilan dianggap tidak pernah ada, sehingga akibat hukum yang
terjadi setelah itu tidak dilindungi dan tidak dijamin oleh negara, karena
peristiwa perceraian yang demikian tidak memiliki kekuatan hukum tetap
(inkrakh).
Sesuai dengan pasal 39 Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pengadilan
akan memutuskan perceraian pada pihak suami istri yang berselisih jika terdapat
alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh hukum seperti disebutkan dalam pasal
19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun1975, alasan-alasan tersebut yaitu:
a) Salah satu pihak berbuat zina, atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapat penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
18 Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, hal: 17
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.20
Selain itu, pembahasan dalam bab ini juga akan memuat ketentuan
dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang memberikan
aturan lebih spesifik mengenai perceraian. Dalam tata beracara di Pengadilan
Agama, perceraian terbagi dalam 2 macam, yakni
1. Cerai Talak
Cerai talak ialah perceraian yang berangkat dari inisiatif suami
melalui jalur hukum dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan agar
pengadilan mengadakan persidangan guna mengizinkan suami mengucapkan
ikrar talak. Perkara cerai telak bersifat dua pihak dimana suami berkedudukan
sebagai pemohon, sedangkan istri sebagai termohon.
Pemeriksaan perkara cerai talak bukan hanya sekedar persidangan
guna menyaksikan ikrar talak, akan tetapi hak suami dalam menjatuhkan
talak sebagian besar beralih ke tangan pengadilan. Boleh atau tidaknya suami
menjatuhkan talak kepada istri, bergantung kepada penilaian dan
pertimbangan majlis hakim setelah mendengarkan pendapat dari bantahan
istri.21
20 Ibid. hal.48
21 M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama-Undang-Undang No.
Walaupun Undang-undang menentukan sifat perkara cerai talak
berupa “permohonan” yang identik dengan gugat volunteer yang murni pada
umumnya. Gugat volunteer yang murni adalah sepihak, hanya pemohon saja.
Pihak lain yang disebut hanya sebagai obyek, tidak berdiri sebagai subyek.
Oleh karena itu, perkara cerai talak pada dasarnya tidak berbeda dengan
gugat contentiosa pada umumnya atau gugat sengketa. Istri sebagai termohon
berdiri dan berkedudukan sebagai pihak dan subyek perdata. Istri memiliki
hak penuh untuk membela kepentingannya dalam proses persidangan yang
bersifat contradictoir, istri berhak mengajukan duplik, alat-alat bukti dan
bahkan mengajukan upaya banding.22
Mengenai tata cara dalam melaksanakan cerai talak dalam pasal 39
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tertulis lengkap dalam PP No. 9 tahun
1975 dalam bab V pasal 14-18 sebagai pelaksananya, sebagai berikut:
Pasal 14
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Pasal 15
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila
memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 17
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat suratketerangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian ituterjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.23
2. Cerai Gugat
Cerai gugat adalah bentuk perceraian lain yang diatur dalam
undang-undang. Ketentuan mengenai cerai gugat tertera dalam undang-undang No. 7
tahun 1989, Bab IV, bagian kedua paragraf 3. Dalam cerai gugat ini yang
bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah istri, sedangkan suami
ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan demikian suami istri
masing-masing telah memiliki cara tersendiri dalam menempuh upaya hukum untuk
menuntut perceraian. Suami melalui cerai talak, smentara istri melalui cerai
gugat.
Begitu juga mengenai tata cara cerai gugat yang sesuai dalam pasal 39
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tertulis lengkap dalam PP No. 9 tahun
1975 dalam bab V pasal 20-36 sebagai pelaksananya, sebagai berikut:
Pasal 20
a) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. b) Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
c) Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 21
a) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
b) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua)tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
c) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.
Pasal 22
a) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat.
b) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itudan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.
Pasal 23
Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 24
a) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat :
(2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak ;
(3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-isteri atau barang- barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
Pasal 25
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
Pasal 26
a) Setiap kali diadakan siding Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akandipanggil untuk menghadiri sidang tersebut
b) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.
c) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu.
d) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. e) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.
Pasal 27
a) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan.
b) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
c) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2)dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. d) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat
(2)dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpahadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 29
a) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian.
b) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan
diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
c) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat (3), sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang- kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
Pasal 30
Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
Pasal 31
a) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.
b) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 32
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
Pasal 33
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 34
a) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. b) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya
Pasal 35
a) Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan, tanpa bermeterai kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
b) Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat dimana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan dimaksud ayat (1) yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermeterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta.
c) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.
Pasal 36
a) Panitera Pengadilan Agama selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah perceraian diputuskan menyampaikan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu kepada Pengadilan Negeri untuk dikukuhkan.
b) Pengukuhan dimaksud ayat (1) dilakukan dengan membubuhkan kata-kata "dikukuhkan" dan ditandatangani oleh hakim Pengadilan Negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.
c) Panitera Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diterima putusan dari Pengadilan Agama, menyampaikan kembali putusan itu kepada Pengadilan Agama.24
B. Ketentuan-Ketentuan Dalam Perceraian Pegawai Negeri Sipil
Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama menetapkan
bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
yang berwenang menerima, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara perdata
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. Wakaf, zakat, infaq, Shadaqoh
d. Ekonomi Syariah25
Oleh karena itu, bagi warga negara Republik Indonesia yang beragama
Islam, dalam permasalahan-permasalahan tersebut di atas terikat dengan
ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 7 tahun 1989. Akan tetapi bagi
Pegawai Negeri Sipil, di dalam bidang perkawinan berlaku “aturan tambahan”,
yaitu Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 Jo. Peraturan Pemerintah No. 45
tahun 1990 yang merupakan peraturan yang mengatur tentang izin perkawinan
dan perceraian bagi Pegawai negeri Sipil.
Yang dimaksudkan dengan Pegawai Negeri Sipil adalah :
1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor. 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian. (Dalam UU No. 8 tahun 1974 pasal 1 bagian a disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan Negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku).26
2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, yaitu :
a) Pegawai bulanan di samping pensiun,
25Perceraian bagi PNS tinjauan dari PP No. 45 Tahun 1990
http://thegank-hukum.blogspot.com/2010/03/perceraian-bagi-pns-tinjauan-dari-pp-no.html, diambil pada puku 01.05, 25 desember 2014.
26
b) Pegawai Bank Milik Negara,
c) Pegawai Badan Usaha milik Negara, d) Pegawai Bank Milik Daerah,
e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah,
f) Kepala Desa, Perangkat Desa dan petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Desa27
Sedangkan yang dimaksud dengan Pejabat di dalam PP No. 10 tahun 1983 adalah :
1. Menteri; 2. Jaksa Agung;
3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Nondepartemen;
4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1;
6. Pimpinan Bank ilik Negara;
7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara; 8. Pimpinan Bank milik daerah;
9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah. .28
Melalui PP No. 45 tahun 1990 yang mengatur tentang perubahan atau PP
No. 10 tahun 1983, pada bagian menimbang, disebutkan bahwa Pemerintah
mengeluarkan peraturan tersebut antara lain dengan pertimbangan bahwa :
a. Perkawinan adalah ikatan lahir batin untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka,
beristri lebih dari seorang dan perceraian sejauh mungkin harus
dihindarkan.
b. Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan
abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada
perundang-undangan yang berlaku termasuk menyelenggarakan
c. Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka
kehidupan Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan yang
serasi, sejahtera dan bahagia, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil
dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh
masalah-masalah dalam keluarganya.29
Pada perkembangannya, terdapat perubahan pasal pada PP No. 10 tahun
1983 yang tidak lain dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian hukum dan
rasa keadilan. Karena itu dikeluarkan PP No. 45 tahun 1990 yang mengubah
beberapa ketentuan dalam PP No. 10 tahun 1983. Dengan demikian, maka
pasal-pasal yang telah dirubah pada PP no. 10 tahun 1983 dianggap tidak berlaku lagi,
sedangkan yang tidak dirubah masih digunakan sebagai landasan hukum.
Terkait dengan perceraian, Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 Pasal
3 menyebutkan :
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. 2. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat
atau Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis.
3. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya.30
Dari pasal di atas terlihat adanya langkah-langkah pencegahan yang
dibuat pemerintah terhadap kemungkinan terjadinya perceraian di kalangan
Pegawai Negeri Sipil. Hal ini dapat diketahui dari adanya kewajiban untuk
29 Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, hal: 152
30
memperoleh surat izin dari pejabat yang merupakan “prosedur tambahan” yang
harus ditempuh oleh Pegawai Negeri sipil yang akan melangsungkan perceraian.
Baik Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan berkedudukan sebagai penggugat
ataupun tergugat, sehingga nampak bahwa perceraian seakan-akan dipersulit.31
C. Alasan-Alasan Dalam Perceraian Pegawai Negeri sipil
Surat Edaran Badan Administrasi Kepegawaian Negara No. 08/SE/1983
pada BAB III menyebutkan alasan-alasan yang sah bagi perceraian Pegawai
Negeri Sipil. Alasan-alasan tersebut yaitu :
a) Salah satu pihak berbuat zina, yang dibuktikan dengan ; i. Keputusan pengadilan
ii. Surat penyataan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa yang melihat perzinahan itu. Surat pernyataan tersebut diketahui oleh pejabat yang berwajib serendah-rendahnya camat;
iii. Perzinahan itu dilakukan oleh satu pihak (suami/istri) dengan tertangkap tangan. Dalam hal yang demikian maka pihak yang mengetahui secara tertangkap tangan itu membuat laporan.
b) Salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat, penjudi yang sukar disembuhkan yang dibuktikan dengan ;
i. Surat pernyataan dari 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa ii. Surat keterangan dari dokter atau polisi yang menerangkan, bahwa
menurut hasil pemeriksaan yang bersangkutan telah menjadi pemabuk, pemadat atau penjudi yang sukar disembuhkan atau diperbaiki.
c) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah yang dibuktikan dengan surat pernyataan kepala kelurahan atau kepala desa yang disahkan oleh pejabat yang berwajib, serendah-rendahnya camat.
d) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat secara terus-menerus.
e) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain yang dibuktikan dengan Visum Et Repertum dokter pemerintah.
f) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun, yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala desa/kepala kelurahan yang disahkan oleh pejabat yang berwajib, serendah-rendahnya camat.32
D. Prosedur Dalam Memperoleh Izin Perceraian
Pegawai Negkeri Sipil baik pria maupun wanita yang akan melakukan
perceraian dan berkedudukan sebagai penggugat, dikenai aturan tambahan berupa
kewajiban untuk menyertakan izin pejabat terlebih dahulu. Setelah memperoleh
izin tertulis dari pejabat, ia harus mengajukan gugatan perceraian melalui
pengadilan setempat.
Karena permintaan izin itu diajukan melalui saluran hirarki, maka
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tentu akan melalui atasannya
masing-masing. Dalam Pasal 5 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983
disebutkan, “ Setiap atasan yang menerima permintaan izin perceraian ini wajib
memberi pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran
hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan sehitung mulai
tanggal diterimanya permintaan izin tersebut ”.33
Penjelasan dari Peraturan Pemerintah menyatakan bahwa atasan wajib
memberikan pertimbangan secara tertulis kepada pejabat. Pertimbangan tersebut
harus mencantumkan hal-hal yang dapat dipergunakan oleh pejabat dalam
mengambil keputusan, seperti permintaan izin ini mempunyai dasar yang kuat
atau tidak. Sebagai bahan pertimbangan, atasan yang bersangkutan dapat
32 Ibid, hal: 91-94
meminta keterangan dari suami/istri yang bersangkutan atau dari pihak lain yang
dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.34
Setelah surat permintaan izin untuk melaksanakan perceraian diterima
oleh pejabat, pejabat mempunyai kewajiban untuk mempertimbangkan
alasan-alasan perceraian yang dikemukakan serta pertimbangan dari atasan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang
dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang/tidak meyakinkan, maka
pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri/suami dari Pegawai Negeri
Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak yang dipandang dapat
memberikan keterangan yang meyakinkan.35
Sebelum pejabat memberikan keputusan sebagai jawaban dari surat
permintaan izin perceraian tersebut , pejabat diharuskan untuk terlebih dahulu
berusaha untuk memperbaiki kembali hubungan suami istri yang bersangkutan
dengan cara memanggil mereka secara langsung untuk memberikan nasihat
secara pribadi. Apabila tempat kedudukan pejabat dan tempat suami/istri yang
bersangkutan berjauhan, maka pejabat dapat memerintahkan pejabat lain dalam
lingkungannya untuk berusaha merukunkan kembali suami istri tersebut. Untuk
mengabulkan atau menolak permintaan izin perceraian tersebut, pejabat dapat
mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat lain dalam
lingkungannya.36
34Ibid, hal: 76
35 Arkola, Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, hal: 76
Pejabat tidak dapat memberi ijin seenaknya sendiri dengan memberikan
izin untuk bercerai, tetapi pejabat dapat memberikan izin untuk melakukan
perceraian apabila terdapat alasan-alasan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1983 yang telah dijelaskan.
Pejabat tidak memberikan izin untuk melakukan perceraian dikarenakan
cacat badan atau penyakit yang diderita istri sehingga tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
ditetapkan bahwa salah satu alasan dapat terjadinya perceraian adalah salah satu
pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. Akan tetapi menurut Pasal 7 ayat
2 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983, pejabat tidak memberikan izin
terhadap perceraian dikarenakan cacat badan atau penyakit yang diderita istri
sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Dalam bagian
penjelasan disebutkan bahwa perceraian yang disebabkan dengan alasan istri
menimpa musibah tersebut tidaklah memberikan keteladanan yang baik, oleh
karena itu izin untuk bercerai dengan alasan tersebut tidak diberikan, meskipun
ketentuan dalam perundang-undangan memungkinkannya.37
Izin untuk bercerai juga tidak diberikan apabila tidak bertentangan
dengan ajaran agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan,
tidak adanya alasan sebagaimana yang diterapkan dalam peraturan yang ada, atau
dikarenakan alasan yang disampaikan bertentangan dengan akal sehat.
Sedangkan Pegawai negeri sipil yang berkedudukan sebagai tergugat
wajib memberitahukan tertulis adanya gugatan perceraian dari suami atau
istrinya melalui saluran hirarki kepada pejabat untuk mendapatkan surat
keterangan, dalam waktu selambat-lambatnya enam hari kerja setelah ia
menerima gugatan perceraian. Cara menyampaikan surat pemberitahuan adanya
gugatan perceraian dari suami/istri tersebut dilaksanakan sebagaimana halnya
penyampaian surat permintaan izin perceraian.
E. Sanksi Hukum Bagi Pegawai Negeri Sipil Tanpa Izin Pejabat Dalam Perceraian.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kedisiplinan demi menciptakan
ketertiban dalam perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil, maka
ditetapkanlah ketentuan-ketentuan berupa sanksi yang dijatuhkan bagi
pihak-pihak (Pegewai Negeri Sipil) yang melakukan pelanggaran telah diatur di dalam
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, khususnya Pasal 6 yang menyatakan bahwa tingkat hukuman
disiplin terdiri dari:
1. Hukuman disiplin ringan, yang berupa: a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis
2. Hukuman disiplin sedang, yang berupa:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun
3. Hukuman disiplin berat, yang berupa:
a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama satu tahun
b. Pembebasan dari jabatan
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil
d. Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.38
Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 disebutkan
sanksi apabila seorang Pegawai Negeri Sipil melakukan perceraian tanpa
memperoleh izin, yakni dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil. Sanksi ini berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan
sebagai penggugat dan tidak menyertakan surat izin melakukan perceraian
ataupun sebagai tergugat yang tidak menyertakan surat keterangan dari
pejabat.39
Sanksi juga diberikan kepada atasan yang tidak memberikan
pertimbangan dan tidak meneruskan permintaan izin atau pemberitahuan adanya
gugatan perceraian untuk melakukan perceraian, dan atau untuk beristri lebih
dari seorang, dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan setelah ia
menerima permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian.
Pejabat yang tidak memberikan keputusan terhadap permintaan izin
perceraian atau tidak memberikan surat keterangan atas pemberitahuan adanya
gugatan cerai dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan setelah ia
38 Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
pasal 6, Hal. 3
menerima permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian juga
dapat mendapatkan sanksi. Sanksi yang dapat dijatuhkan adalah salah satu
hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN AGAMA GRESIK TENTANG KASUS
PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL TANPA IZIN PEJABAT
A. Data Pengadilan Agama Gresik
1. Profil dan dasar hukum berdirinya Pengadilan Agama Gresik
Secara Yuridis Formal, Peradilan Agama sebagai suatu Badan
Peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan pada tanggal 1 Agustus
1882 untuk pertama kali lahir di Indonesia tepatnya di Jawa dan Madura.
Berdasarkan Keputusan Raja Belanda (Konninklijk Besluit) yakni Raja
Willem III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam
Staatblad 1882 Nomor 152. Badan Peradilan ini bernama Priesterraden
yang kemudian lazim disebut Rapat Agama atau Raad Agama dan pada
masa sekarang lebih dikenal dengan sebutan Pengadilan Agama atau PA.
Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1
Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatblad 1882 Nomor 153, keberadaan
Raad Agama di Gresik pada saat itu masih berada di samping atau tepat
disebelah utara Masjid Jamik Gresik. Kemudian pada Tahun 1942 oleh
masyarakat Islam Gresik dibuatkan gedung dengan status wakaf dengan
namaRaad Agama (sesuai piagam batu marmar yang menempel didinding
gedung) terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim no. 2 atau sebelah barat
alun-alun Gresik.Pada tahun 1957 terjadi pergantian nama dari Raad
Agama menjadi Pengadilan Agama Gresik. Seiring berjalannya waktu
DR.Wahidin Sudiro Husodo nomor 45 melalui proyek Balai Sidang
Pengadilan Agama pada tahun 1979/1980, kemudian pada tahun 1984
memperoleh proyek pembangunan rumah dinas dari Departemen Agama.
Dan pada tahun 2004 Pengadilan Agama berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung dengan Keputusan Presiden Nomor 21
tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi Administrasi dan Finansial di
Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Agama ke Mahkamah Agung.
Pada tahun 2006 di tempat yang sama mulai dibangun gedung
baru dari anggaran tahun 2006 berlantai dua. Proyek tersebut mulai
dikerjakan pada bulan Agustus 2006 dan resmi digunakan pada awal
tahun 2007 sampai saat ini. Sehingga secara strategis gedung Pengadilan
Agama Gresik sebagai Pengadilan Agama Kelas I.B tepat di Kabupaten
Gresik Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 45, Telpon 031-3991193,
faximile 031-3981685, Desa Randuagung, Kecamatan Kebomas,
Kabupaten Gresik, Kode pos 61121.36
2. Kedudukan, tugas pokok, fungsi Pengadilan Agama Gresik
Kedudukan Pengadilan Agama menurut UUD 1945 Pasal 24 ayat
(2) menyatakan :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
3636
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi dan UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006
dan UU Nomor 50 Tahun 2009, Pasal 2 menyatakan :
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal 3
UU Peradilan Agama tersebut menyatakan :
1) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan
oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
2) Kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Tugas Pokok Pengadilan Agama Gresik adalah merupakan
lembaga peradilan tingkat pertama yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
serta waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah
sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.
Fungsi Pengadilan Agama untuk melaksanakan tugas pokok
Memberikan pelayanan Tekhnis Yustisial dan Administrasi
Kepaniteraan bagi perkara Tingkat Pertama serta Penyitaan dan
Eksekusi;
Memberikan pelayanan di bidang Administrasi Perkara banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali serta Administrasi Peradilan
lainnya;
Memberikan pelayanan administrasi umum pada semua unsur di
Lingkungan Pengadilan Agama;
Memberikan Keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum
Islam pada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Memberikan pelayanan penyelesaian permohonan pertolongan
pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang
yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
sebagaimana diatur dalam Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Waarmerking Akta Keahliwarisan di bawah tangan untuk
Melaksanakan tugas - tugas pelayanan lainnya seperti penyuluhan hukum,
memberikan pertimbangan hukum agama, pelayanan riset / penelitian dan
sebagainya37
3. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Gresik
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Gresik meliputi 16
Kecamatan dengan luas 1.191,25 Km² jarak tempuh antara desa dengan
Kantor pengadilan Agama Gresik antara 1,5 Km sampai 40 Km38, yaitu :
Wilayah Kecamatan di
Kabupaten Gresik
Kecamatan Gresik 22 Kelurahan
Kecamatan
Kebomas
22 Kelurahan
Kecamatan Manyar 23 Kelurahan
Kecamatan Cerme 25 Kelurahan
Kecamatan Benjeng 25 Kelurahan
37
http://www.pa-gresik.go.id/profil/tugas-pokok-dan-fungsi.htmldiambil pada puku 01.30, 25
desember 2014
38
Kecamatan
Driyorejo
25 Kelurahan
Kecamatan
Kedamean
15 Kelurahan
Kecamatan Menganti 22 Kelurahan
Kecamatan
Balongpanggang
22 Kelurahan
Kecamatan Sidayu 21 Kelurahan
Kecamatan
Ujungpangkah
13 Kelurahan
Kecamatan Bungah 21 Kelurahan
Kecamatan Dukun 27 Kelurahan
Kecamatan Panceng 15 Kelurahan
Kecamatan
Wringinanom
16 Kecamatan
3.1daftar table kecamatan di Kab. Gresik
4. Struktur Pengadilan Agama Gresik
STRUKTUR ORGANISASI PENGADILAN AGAMA GRESIK KELAS
I B (Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I Nomor 5 Tahun
1996) TAHUN 2012.
K E T U A : Dra. Hj. Hasnawaty Abdullah, SH, MH.
WAKIL KETUA : Drs. H. Arifin, M.H.
1. Dra. Masitah 2. Drs. H. M. Affan 3. Drs. Asrofi, S.H.,M.H 4. H. M. Arufin, S.H., M.Hum. 5. Drs. H. M. Bisyri, SH., MH. 6. Drs. H. Ach. Shofwan MS, S.H. 7. Drs. Masngaril Kirom, S.H. 8. Hj. Alvia Agustina. R, S.H.
PANITERA /
SEKRETARIS
: Hj. Mudjiati, S.H
WAKIL PANITERA : Hj.Nur Hayati, S.H.,M.H.
WAKIL SEKRETARIS : Mochammad Ischaq, S.H
PANITERA MUDA : Safia Umar, S.H
PANITERA MUDA : Hj. Istiqomi, S.H.
KEPALA SUB BAGIAN 1. Kepegawaian Staff : Nurman Saputra, S.H
K. Holif Novel, S.HI Fakhrur Rozi, S.H. Muflihuddin M, S.Ag Suparno
2. Keuangan Staff : Khiftiyah, S.Sos IkhlatulLaily,S.H
Syahrullah Hadi Kusuma Zainul Abidin
KEPALA SUB BAGIAN
3. Umum Staff : Siti Sopiyah, S.Si
Eti Nur Jannah, S.Pd Yudi Ismail, S.Kom
PANITERA PENGGANTI JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI
1. Muhamad Sun'an, S.H.
2. Abd Fakih
3. Hujaidi, S.H.
4. Tsamrotun Nafi’ah, S.H.
1. Emi Rumhastuti, S.Ag.
2. Dyah Rahmawati
3. Muhamad Sun'an, S.H.
4. R. Khairani39
B. Deskripsi Kasus
Sesuai putusan Pengadilan Agama Gresik yang memeriksa dan mengadili
perkara cerai talak pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis Hakim, telah
menjatuhkan putusan perkara antara lain:
Pemohon Asli, umur 35 tahun, agama Islam, pendidikan S1 Ekonomi,
pekerjaan Karyawan Swasra, tempat tinggal Kabupaten Gresik. Selanjutnya
disebut sebagai “Pemohon”;
Melawan
Termohon Asli, umur 29 tahun, agama Islam, pendidikan S1 Pendidikan,
pekerjaan guru PNS, tempat tinggal di Kebomas, Gresik. Selanjutnya di sebut
sebagai “Termohon”.
39