• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemampuan Perawat Dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Mitra Medika Medan Tahun 2016 Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kemampuan Perawat Dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Mitra Medika Medan Tahun 2016 Chapter III VI"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara mendalam mengenai kemampuan perawat dalam pencegahan dan pengendalikan infeksi nosokomial di RSU Mitra Medika Medan.

Kemudian, data dikelompokkan berdasarkan kebutuhan dengan pendekatan interaktif terhadap subjek untuk selanjutnya dianalisis. Pendekatan interaktif merupakan studi mendalam menggunakan teknik pengumpulan data langsung dari orang dalam lingkungan alamiahnya.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di RSU Mitra Medika Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian, karena ditemukan masalah tingginya angka infeksi nosomial dan karena belum pernah dilakukan penelitian dengan topik yang sama dengan topik penelitian ini.

3.2.2 Waktu Penelitian

(2)

3.3 Sumber Informasi (Informan)

Untuk mendapat data yang tepat maka perlu ditentukan sumber informasi (informan) yang memiliki kompetensi dan sesuai dengan kebutuhan data (purposive). Menurut Sugiyono (2015) purposive adalah teknik pengambilan sumber data berdasarkan pertimbangan tertentu yakni sumber data yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, sehingga mempermudah peneliti menjelajahi objek atau situasi sosial yang sedang diteliti. Aspek yang menjadi kepedulian dalam pengambilan sampel penelitian kualitatif adalah tuntasnya pemerolehan informasi dengan keragaman variasi yang ada, bukan pada banyak sumber data.

Sumber data atau sumber informasi dalam penelitian adalah pihak-pihak yang dianggap berkompeten memberikan informasi internal RSU Mitra Medika Medan berkaitan dengan infeksi nosokomial sebanyak 15 orang terdiri dari:

1. Kepala ruangan masing-masing 1 orang dari tiap ruangan = 7 orang.

2. Tim PPIRS (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit) sebanyak 1 orang.

3. Perawat pelaksana masing-masing 1 orang dari tiap ruangan = 7 orang.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Wawancara Mendalam

(3)

berstruktur. Hal ini karena penulis ingin mengembangkan wawancara yang dilakukan sehingga akan didapat informasi-informasi baru yang muncul dalam wawancara dan semula tidak diketahui namun tetap terpusat kepada satu pokok permasalahan tertentu. Adapun hasil dari wawancara ini direkam, sebagaimana yang disarankan oleh Cresswell (2013) dengan menggunakan catatan dan audiotape.

Perekaman dimaksudkan agar seluruh hasil wawancara dapat kembali diperdengarkan sehingga tidak ada satupun informasi dari wawancara yang tertinggal. Hasil wawancara kemudian ditulis kembali untuk dijadikan sumber rujukan penulis dalam menganalisis permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

2. Observasi

Observasi merupakan teknik pengumpulan data untuk memperoleh informasi mengenai ruang (tempat), pelaku, kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi. Dalam penelitian ini, observasi dilakukan terhadap perawat yang sama dan menjadi informan saat dilakukan wawancara mendalam. Untuk menghindari bias penelitian, peneliti menunjuk orang ketiga untuk melakukan observasi, yaitu asesor internal rumah sakit. 3. Studi Dokumentasi

(4)

data-data penunjang lainnya. Data-data ini diperoleh dari dokumen rumah sakit, buku, artikel internet, jurnal penelitian sebelumnya serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang dimunculkan dalam penelitian.

3.5 Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, dengan lebih banyak bersifat uraian dari hasil wawancara dan hasil observasi. Data yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Teknik analisis data dalam penelitian ini mengikuti langkah-langkah yang dikemukakan oleh Bungin (2012) yaitu:

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi.

2. Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan. 3. Display Data

Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajiannya juga dapat berbentuk matrik, diagram, tabel dan bagan.

(5)
(6)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1Gambaran Umum RSU Mitra Medika Medan

Gambaran umum tentang wilayah penelitian diperlukan untuk memberikan pemahaman mengenai lokasi dan permasalahan yang akan diteliti. Berikut akan diberikan gambaran mengenai RSU Mitra Medika Medan.

4.1.1. Sejarah Perkembangan RSU Mitra Medika Medan

RSU Mitra Medika Medan merupakan salah satu rumah sakit swasta yang ada di Kawasan Medan Utara yang merupakan kepemilikan swasta di bawah naungan Yayasan RS. Mitra Medika dengan klasifikasi kelas C yang telah mendapatkan penetapan kelas dari Kementerian Kesehatan Nasional melalui SK Penetapan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.03/I/0972/2014. RSU Mitra Medika Medan telah berdiri sejak 3 Januari 2004 berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan Nomor 445/0175/RS.11/1/04 dengan Nomor Izin Penyelenggaraan : 440/9697/IX/05 tertanggal 26 September 2005. RSU Mitra Medika Medan berlokasi di Jl. K.L Yos Sudarso Km 7,5 Kelurahan Tanjung Mulia, Kecamatan Medan Deli di lahan seluas 1228 m2. Luas bangunan 6266 m2.

4.1.2. Visi dan Misi

Adapun Visi dan Misi RSU Mitra Medika Medan adalah sebagai berikut: a. Visi

(7)

b. Misi

1) Melakukan pelayanan kesehatan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. 2) Meningkatkan mutu pelayanan yang berkesinambungan dengan komitmen

kerja yang professional.

3) Memberikan pelayanan kesehatan prima yang menjunjung rasa kemanusiaan dan keadilan dengan mengutamakan kecepatan waktu, ketepatan mendiagnosa, tanggap, cakap, berempati, beretika dan menjadikan pasien sebagai pusat pelayanan.

4.1.3. Kegiatan Pelayanan

Pelayanan kesehatan yang diberikan di RSU Mitra Medika Medan meliputi kegiatan di:

a. Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan jenis pelayanan emergency 24 jam, disaster dan bencana, observasi, bedah minor, dan kasus non emergency diluar poliklinik. Pelayanan IGD berjalan selama 24 jam, dengan fasilitas pelayanan yang memadai yaitu dilengkapi dengan kamar bedah emergency, sehingga mempermudah tindakan operatif yang membutuhkan penanganan secepatnya. b. Instalasi Rawat Jalan, terdiri dari:

1) Poliklinik Umum 2) Poliklinik Gigi

(8)

c) Klinik Bedah

d) Klinik Kebidanan dan Kandungan e) Klinik Penyakit Mata

f) Klinik Telinga Hidung Tenggorokan dan Kepala Leher g) Klinik Gigi dan Mulut

h) Klinik Penyakit Kulit dan Kelamin i) Klinik Penyakit Syaraf

j) Klinik Paru

4) Pelayanan TB DOTS (Direct Observe Treatment Short course)

5) Pelayanan PONEK (Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif) Pelayanan rawat jalan RSU. Mitra Medika Medan berlokasi di lantai 2 (dua) dilakukan waktu pagi, sore dan malam hari. Pola pelayanan ditata dengan baik dan dilaksanakan oleh tenaga medis dan para medis profesional yang berpengalaman.

c. Instalasi Rawat Inap, terdiri dari:

1) VIP, dengan fasilitas tempat tidur manual, meja makan pasien, televisi, sofa, mini bar, kulkas, air conditioner, dan ruangan yang luas.

2) Kelas I, dengan fasilitas tempat tidur manual, televisi, sofa, kulkas, dan air conditioner.

3) Kelas II, dengan fasilitas 2 tempat tidur manual, televisi, dan air conditioner. 4) Kelas III, dengan fasilitas 3 tempat tidur manual, TV LCD, dan air

(9)

5) Instalasi Pelayanan Intensif (Intensive Care Unit (ICU))

ICU memiliki kapasitas 10 tempat tidur (2 tempat tidur untuk pasien isolasi dilengkapi dengan sistem ventilasi tekanan negatif sesuai dengan prinsip PPI dan dilengkapi dengan fasilitas Pendant pada masing-masing tempat tidur). Dilengkapi dengan Central Monitor Patient untuk memonitoring kondisi pasien secara menyeluruh dan didukung dengan teknologi canggih dan komprehensif serta tenaga medis dan paramedis profesional yang berpengalaman dan terlatih. Tersedia 3 unit ventilator untuk pasien dewasa dan 1 unit untuk pasien anak.

6) Ruang Bersalin

Menyediakan 2 tempat tidur untuk pelayanan bersalin normal, dengan pelayanan yang menyeluruh dan berkesinambungan terhadap pelayanan perinatal yang berada tepat disebelah kamar bersalin.

7) Ruang Bayi Sehat

(10)

4.2Penyajian dan Analisis Data Hasil Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian pada Bab 1, maka pada sub bab ini akan disajikan hasil penelitian berupa karakteristik informan dan data hasil penelitian mencakup kemampuan perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dan determinan dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di RSU Mitra Medika Medan. Data diperoleh baik melalui wawancara langsung (data primer) dan studi dokumentasi (data sekunder). Hasil penelitian dari kegiatan wawancara direkam lalu dicatat dalam bentuk transkrip dan kemudian disederhanakan dengan memilih dan memfokuskan pada hal-hal yang penting untuk mendapatkan gambaran yang lebih tajam.

4.2.1 Karakteristik Informan

(11)

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Informan di RSU Mitra Medika Medan

4.2.2 Kemampuan Perawat dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSU Mitra Medika Medan

(12)

paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung dan peralatan diagnosis; 8) mempertahankan keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan infeksi nosokomial. Selengkapnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Menjaga Kebersihan Rumah Sakit

Berdasarkan hasil wawancara dengan 14 perawat dari 7 instalasi di RSU Mitra Medika Medan, diketahui bahwa dalam menjaga kebersihan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial, kemampuan 10 dari 14 perawat (71,43%) di RSU Mitra Medika telah tergolong baik. Namun, masih terdapat 4 perawat yang belum mampu menjalankan perannya dalam menjaga kebersihan rumah sakit. Hal ini terlihat dari pernyataan berikut:

Dalam menjaga kebersihan RS, kami hanya membuang sampah pada tempatnya..Itu aja sih..dan sudah ada CS yang membantu (Informan 1).

Kalau untuk kebersihan ruangan kami dibantu CS.. paling yang kami lakukan hanya membuang sampah sesuai tempatnya.. itu saja sih.. (Informan 5).

Limbah yang terkena darah kotoran pasien, air liur pasien dimasukkan ke ember hitam khusus untuk limbah infeksius (Informan 2).

Untuk limbah infeksius seperti plasenta kami serahkan ke keluarga nya.. sebelumnya kami bersihkan pakai air mengalir.. kemudian kami taruh ke dalam plastik dan kami serahkan (Informan 4).

(13)

tersebut perawat harus mampu membersihkan bed dan meja pemeriksaan pasien dengan menggunakan cairan desinfektan, memilah limbah dan membuangnya ke tempat sampah tertutup sesuai jenisnya (infeksius, non infeksius dan benda tajam), mengganti laken yang kotor setiap hari atau bila terkena cairan tubuh, dan menempatkan laken kotor non infeksius dan infeksius yang terkena darah/cairan tubuh secara terpisah.

Kemudian dari hasil wawancara tersebut juga ditemukan masih terdapat perawat yang kurang mampu melakukan pemilahan dan pengelolahan limbah secara baik dan benar, padahal berdasarkan kebijakan rumah sakit yang mengacu pada beberapa peraturan jelas tertulis bahwa limbah infeksius ditempatkan pada tong sampah berwarna kuning, sedangkan tong sampah hitam digunakan untuk menampung limbah non infeksius.

Disamping itu, juga terdapat pernyataan berupa plasenta yang merupakan bagian dari jaringan tubuh dan tergolong sebagai sampah infeksius seharusnya menjadi kewajiban rumah sakit untuk mengelolahnya, dan walaupun harus diserahkan kepada keluarga karena alasan budaya seharusnya mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, dimana plasenta seharusnya didesinfeksi dan dikemas ke dalam toples sebelum diserahkan kepada keluarga.

(14)

Tabel 4.2. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit secara Rutin

Informan Dilakukan

Ya Tidak

1 Perawat Pelaksana Poliknilik

2 Perawat Pelaksana Rawat Inap

3 Perawat Pelaksana Ruang Bayi (Perinato)

4 Bidan Pelaksana Ruang Kebidanan

5 Perawat Pelaksana Ruang Operasi

6 Perawat Pelaksana ICU

Selain kemampuan beberapa perawat yang belum baik, hambatan dalam pelaksanaan kegiatan menjaga kebersihan rumah sakit antara lain :

Plastik untuk lapis tong sampahnya selalu habis.. apalagi kalau operasi lagi banyak., jadi kami tuang langsung limbahnya ke dalam tong sampah infeksius.. nanti misalnya besok sudah diambil baru kami cuci.. (Informan 5).

Jeregen benda tajam hanya tersedia satu di nurse station jadi setiap kali selesai menyuntik kami recapping jarum suntik nya dan taruh sementara di neilbaken (Informan 6).

Laken kadang kala tidak cukup sehingga digunakan berulang.. jika laken nya tidak basah dan masih bersih ga kami ganti per pasien.. soalnya kalau nanti kami ganti semua sementara stoknya gak ada jadinya bed nya tidak berlaken.. (Informan 7).

(15)

Laken masih kurang, karena pasien kadang muntah berkali-kali... laken hanya 1 kali dicuci, bahkan laken pernah kosong. Jadi kadang kami pinjam dari ruangan lain. Sering kejadian kalau pagi laken yang dijemput petugas laundry 10, pengembaliannya sore hanya 8. Dan bisa juga menjadi 15.. terkadang saat mereka mengembalikan kami sedang sibuk.. kami tidak menghitung.. (Informan 13).

Plastik (tong sampah) kadang sama-sama warna hitam.. (Informan 14).

Berdasarkan rangkuman matriks jawaban di atas, dapat dinyatakan bahwa beberapa sarana dan prasarana yang mendukung perawat dalam menjaga kebersihan rumah sakit masih terbatas.

2. Pelaksanaan Cuci Tangan

(16)

Akan tetapi, masih terdapat dua perawat yang belum mampu melaksanakan cuci tangan dengan baik dan benar seperti penyataan berikut:

Saya masih sering lupa tahapan cuci tangan walaupun selalu ada direspon saat overan di nursestation, saya sering lupa.. (Informan 2).

Kalau pake handrub tangan dicuci selama 20-30 menit.. eh detik , dengan air 30-40 detik.. ehm.. salah2.. 40-60 detik maksudnya.. kadang-kadang lupanya gini.. kalau sudah dipanggil sus.. cairan infusnya habis.. nah disana sering kelupaan cuci tangan karena uda mau cepat..(Informan 4)

Dari matriks diatas terlihat bahwa perawat terkadang masih melupakan tahapan dan durasi cuci tangan serta sering lupa mencuci tangan karena ada tindakan spontan, padahal hal tersebut tidak sesuai SPO.

Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap seluruh informan di RSU Mitra Medika Medan dalam hal perawat mencuci tangan dengan air, sabun ataupun handrub, ternyata hanya 6 perawat (42,86%) yang melakukan 6 waktu 6 langkah cuci tangan dengan prosedur yang benar, sebagaimana pada matrik berikut ini:

Tabel 4.3. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Melaksanakan Cuci Tangan

Informan Dilakukan

Ya Tidak

1. Perawat Pelaksana Poliknilik

2. Perawat Pelaksana Rawat Inap

3. Perawat Pelaksana Ruang Bayi (Perinato)

4. Bidan Pelaksana Ruang Kebidanan

5. Perawat Pelaksana Ruang Operasi

6. Perawat Pelaksana ICU

7. Perawat Pelaksana IGD

8. KaRu Poliknilik

9. KaRu Rawat Inap

(17)

11. KaRu Ruang Kebidanan

12. KaRu Ruang Operasi

13. KaRu ICU

14. KaRu IGD

Data Hasil Penelitian, 2016

Adapun beberapa hambatan yang dialami perawat dalam pelaksanaan cuci tangan adalah:

Karena kelamaan .. biasanya bayinya sudah nangis duluan.. apalagi kalo bayi nya sedang banyak dan nangis semua.. kan ga mungkin siap dikasih susu kita handrub dulu. Pernah bayi sampai 8 orang, perawat yang bertugas cuman 2 orang.. (Informan 3).

Yang enam langkah, jujur saja belum diaplikasi semua.. kadang ada yang terlupakan.. lihat kondisi nya juga, misalnya kalau lagi rame kesana kemari jadinya kelupaan.. (Informan 7).

SDM kami masih kurang.. kami hanya 8 orang termasuk saya.. pasien kalau hari senin bisa mencapai 120 orang.. manalagi dokter kadang mau datang semua bersamaan.. kami kan repot.. ga sempat kalau semua dilakukan..paling dilakukan pun ga sampai 6 langkah.. hanya sekedar saja.. (Informan 8).

Repot.. karena gimana ya.. memang sepele.. cuma tetap saja lama waktunya, belum lagi sana sini sudah panggil.. kami 1 shift hanya 3-4 orang dengan 20-30 pasien setiap hari.. (Informan 9).

Dari beberapa matriks jawaban di atas terlihat bahwa kesibukan perawat akibat jumlah SDM yang belum sesuai dengan kebutuhan menjadi kendala terbesar perawat dalam pelaksanaan cuci tangan. Disamping itu, hambatan lain yang dihadapi perawat dalam melaksanakan cuci tangan adalah sebagai berikut:

Kalau untuk wastafel, kami susah.. karena nurse station kami belum ada.. jadi kalau mau mencuci tangan dengan air mengalir kami harus ke VK atau ke nurse station lantai 3.. (Informan 4).

(18)

Cuman yah hambatan nya handuk untuk lap tangan itu.. padahal uda dikasih 200-300 buah dari PPI, tapi setiap kali diantar ke laundry berkurang.. sekarang paling banyak handuknya cuma 80.. kalau handuknya dipakai berulang yah jadi infeksi juga.. (Informan 8).

Brush tidak ada, sudah diminta tapi yang diberi brush alat bukan untuk brush tangan. Jadi selama ini kita pakai sabun saja karena brushnya keras sakit bila dipakai.. (Informan 12).

Kurang nyaman aja klo pake handrub karena lengket-lengket di tangan... (Informan 2).

Karena kalau pake handrub terasa makin lengket.. (Informan 5).

Dari beberapa matriks diatas dapat terlihat bahwa fasilitas pendukung perawat untuk melakukan cuci tangan belum mencukupi kebutuhan. Selain itu, perawat juga merasa tidak nyaman dalam menggunakan sarana dan prasarana cuci tangan yang telah tersedia.

3. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)

Berdasarkan hasil wawancara dengan 14 perawat dari 7 instalasi/bagian di RSU Mitra Medika Medan tentang menggunakan alat pelindung untuk pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial mencakup cara menggunakan dan tahapan menggunakannya, diperoleh informasi bahwa kemampuan 7 dari 14 perawat (50%) dalam menggunakan APD telah tergolong baik. Namun, beberapa perawat lainnya kurang mampu menggunakan APD secara baik dan benar seperti pernyataan berikut:

(19)

Lupa pake handscoen karena kondisi tiba-tiba seperti dipanggil pas infus pasien terlepas… jadi darah pasiennya kan nyocor.. mau balik lagi ambil handscoen kadang-kadang gak sempat.. kan kasihan juga pasiennya.. yang terpaksa kami pegang dulu.. nanti baru kami cepat-cepat cuci tangan..(Informan 4).

Handscoen dipakai saat melakukan injeksi dan mengganti perban tapi ga selalu dipake soalnya kan boros.. (Informan 1).

APD dipakai untuk satu orang satu pasien. saat melakukan tindakan, infus, mengganti pampers, hanya itu.. Klo untuk menginjeksi tidak ganti sarung tangan karena biar menghemat.. (Informan 2).

Waktu bayi buang air besar juga tapi tidak selalu.. karena klo kita hitung-hitung bisa habis dong 1 kotak sarung tangan itu.. (Informan 10).

Dari matriks tersebut diatas, terlihat bahwa masih terdapat perawat yang belum mengetahui prinsip universal precaution secara benar. Perawat belum mengetahui tindakan-tindakan apa saja yang memerlukan penggunaan APD dan terkadang masih tidak menggunakan APD akibat kesibukan akan pekerjaannya. Selain itu, beberapa perawat belum paham penggunaan APD harus per pasien per tindakan yang bersentuhan dengan cairan tubuh karena takut menghabiskan sumber daya rumah sakit.

(20)

Tabel 4.4. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Menggunakan Alat Pelindung

Informan Dilakukan

Ya Tidak

1. Perawat Pelaksana Poliknilik

2. Perawat Pelaksana Rawat Inap

3. Perawat Pelaksana Ruang Bayi (Perinato)

4. Bidan Pelaksana Ruang Kebidanan

5. Perawat Pelaksana Ruang Operasi

6. Perawat Pelaksana ICU menggunakan APD dengan tepat dan sesuai prosedur. Berdasarkan hasil wawancara, hambatan yang dihadapi perawat berkaitan dengan APD antara lain:

Ukuran handscoen itu selalu berubah-ubah.. kadang terlalu besar kadang terlalu kecil.. kadang tertarik jadinya koyak.. (Informan 8).

Handschoen yang tersedia kebesaran saja ukurannya sehingga kurang nyaman.. (Informan 11).

Topi kami gak ada.. celemek kami gak ada.. jadi kalau ada pemasangan CVC kami minjam nya ke OK.. (Informan 6).

Sering lupa.. dan untuk apron jumlahnya juga kurang (Informan 14).

(21)

menjadi kurang baik. Hambatan lainnya adalah APD selain sarung tangan dan masker yang masih belum tersedia di beberapa instalasi/bagian yang membutuhkan.

4. Menggunakan Teknik Aseptik

Berdasarkan hasil wawancara dengan 14 perawat dari 7 instalasi di RSU Mitra Medika Medan tentang menggunakan teknik aseptik mencakup melakukan teknik dan tahapan pelaksanaannya, diperoleh informasi bahwa kemampuan 10 dari 14 (71,43%) perawat di RSU Mitra Medika Medan masih kurang baik. Beberapa matriks jawaban diantaranya adalah:

Untuk perawatan tali pusat biasanya di lakukan setelah bayi dimandikan.. caranya pertama pakai handscoen lalu tali pusat di bungkus dengan kasa steril.. cuman terkadang lupa untuk cuci tangan... (Informan 3).

Menolong persalinan tetap pakai handscoen yang non steril, menjahit luka jalan lahir juga.. (Informan 4).

Cuman kami tidak menggunakan handscoen steril (untuk menjahit luka).. karena menurut saya luka itu kan waktu datang kotor jadi yah gak apa-apa kalau tidak pake yang non steril.. (Informan 7).

Pasang kateter digunakan sarung tangan biasa karena tak ada sarung tangan steril,didesinfeksikan dengan air dari dalam ke luar. (Informan 2).

Untuk kateter ada dengan jelly.. dan untuk perempuan pakai kapas cebok.. laki-laki pakai apa ya.. (Informan 1).

Sebelum dipasang kateter didesinfeksi dulu dipakaikan kapas cebok labianya (Informan 4).

Untuk pasang kateter laki-laki kami bersihkan alat kelamin dengan kapas yang dibasahi betadine dan diusap dari dalam ke luar.. kalau perempuan kami pakai kaceb yang kami minta dari kebidanan.. (Informan 9).

(22)

Masih terdapat perawat yang melupakan cuci tangan dalam melakukan teknik aseptik. Dalam pemasangan kateter, menjahit luka dan menolong persalinan, perawat belum menggunakan sarung tangan steril. Selain itu, pada tahapan pemasangan kateter perawat masih ada yang lupa melakukan desinfeksi dan cairan desinfeksi yang digunakan untuk pemasangan kateter belum sesuai SPO, yaitu chlorhexipenidine. Perawat masih menggunakan jelly, kapas cebok, cairan betadine bahkan air untuk melakukan desinfeksi.

Hasil observasi peneliti bahwa peneliti terhadap seluruh informan dalam hal menggunakan teknik aseptik terlihat pada matrik berikut ini:

Tabel 4.5. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Menggunakan Teknik Aseptik

Informan Dilakukan

Ya Tidak

1. Perawat Pelaksana Poliknilik

2. Perawat Pelaksana Rawat Inap

3. Perawat Pelaksana Ruang Bayi (Perinato)

4. Bidan Pelaksana Ruang Kebidanan

5. Perawat Pelaksana Ruang Operasi

(23)

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa hanya 4 dari 14 perawat yang melakukan teknik aseptik dengan tepat dan sesuai prosedur. Beberapa hambatan yang dihadapi perawat berkaitan dengan teknik aseptik antara lain:

Yah.. masih banyak yang kami belum lakukan dengan benar.. terutama untuk pemasangan kateter, seperti harus pakai sarung tangan steril, cara desinfeksi nya.. karena selama ini belum ada arahan untuk itu selama ini..(Informan 1).

Untuk handscoen steril hanya dokter yang pakai.. kalau kami cuma pakai handscoen yang tersedia di kotak-kotak itu.., karena selama ini kami belum tau.. (Informan 4).

Karena selama ini belum ada advice (Informan 7).

Kalau untuk sarung tangan steril untuk bantu persalinan sih tidak, apa harus steril ya? Tapi saya ga pernah dikasi tau. Saya baru tau ini.. (Informan 11).

Ga ada sih.. paling sering lupa.. nanti dipelajari lagi.. (Informan 2).

Kami belum menggunakan sarung tangan steril untuk pasang kateter.. karena gak terbiasa pakai yang steril.. (Informan 9).

Dari beberapa matriks jawaban di atas, terlihat bahwa sebagian besar perawat merasa belum mendapat pengarahan terkait pemakaian sarung tangan steril untuk melakukan tindakan aseptik. Selain itu, perawat mengaku sering lupa atas arahan yang telah diberikan dan belum terbiasa dengan prosedur yang telah ditetapkan. 5. Melapor kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi

(24)

dari 14 perawat (92,86%) di RSU Mitra Medika Medan tergolong baik. Adapun beberapa pernyataannya adalah:

Bila dijumpai tanda dan gejala infeksi nosokomial, biasanya tanda-tanda infeksi itu kemerahan, bengkak, kadang berpus dan lain-lain.. biasa bila ada tanda sepeti itu kami lapor dan minta dokter memeriksa.. (Informan 7).

Jika ada flebitis dengan tanda ada luka, merah, panas dan nyeri, saya melapor ke karu dulu.. bila izin maka saya ganti, bisa saya atau karu yang melapor ke dokternya. (Informan 2).

Kalo via phone sebelumnya kita perkenalkan diri.. baru kita ceritakan kondisi pasien sesuai hasil pemeriksaan, vital sign nya dan lain-lain.. baru kita tanyakan apa rekomendasinya.. baru kita catat.. untuk memastikannya kita baca ulang kembali.. misalnya obat yang kita tambahankan ini ya dok, dosisnya segini.. baru kita ucapkan selamat siang dan tutup teleponnya.. (Informan 13).

Dari matrik jawaban di atas diketahui perawat telah mengetahui biasanya tanda-tanda infeksi itu kemerahan, bengkak, dan sebagainya. Tahapan pelaporan bila dijumpai tanda-tanda infeksi pada pasien perawat pelaksana melaporkan ke kepala ruangan, atau ke dokter jaga atau ke PPI untuk dilanjutkan ke dokter spesialis.

Kadang kala perawat pelaksana langsung menghubungi dokter spesialis melalui telepon. Saat melaporkan perawat pelaksana menceritakan situasi dan background pasien, hasil assemen pasien, dan dikonfirmasi apa rekomendasi dari

dokter spesialisnya. Selanjutnya perawat membuat catatan di rekam medis pasien. Umumnya, setelah dilaporkan langsung dokter memeriksa dan pasien dikasih terapi.

(25)

Cara laporkan dan komunikasi bila ada infeksi. Biasanya ya melapor ke dokter operator sesuai tanda infeksi yang muncul… nanti paling disuruh naikkan antibiotik. (Informan 12).

Berdasarkan hasil observasi terhadap seluruh informan di RSU Mitra Medika Medan dalam hal perawat melapor kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi secepat mungkin, sebagaimana pada matrik berikut ini:

Tabel 4.6. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Melapor kepada Dokter jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi

Informan Dilakukan dokter jika ditemukan tanda dan gejala infeksi nosokomial. Hambatan dalam pelaksanaannya adalah:

Dokter spesialis bisa tiba-tiba gak datang.. jadi pasien terpaksa kami ganti perban dulu sendiri (Informan 1).

(26)

Berdasarkan matriks jawaban di atas, terlihat bahwa komitmen dokter yang belum baik menjadi hambatan bagi perawat.

6. Melakukan Isolasi terhadap Pasien dengan Penyakit Menular

Berdasarkan hasil wawancara dengan 14 perawat dari 7 instalasi di RSU Mitra Medika Medan tentang melakukan isolasi terhadap pasien dengan penyakit menular bagaimana melakukan isolasi dan bagaimana tahapan yang dilakukan, diperoleh informasi kemampuan 8 dari 14 (57,14%) perawat di RSU Mitra Medika Medan masih kurang baik sebagaimana terlihat dari pada beberapa contoh matrik berikut ini:

Biasanya pasien menular kami rawat di kamar isolasi, kek pasien TB.. DM dengan ganggren, hepatitis.. ehm.. yang menular lah pokoknya.. (Informan 6).

Pasien yang butuh isolasi misalnya pasien HIV AIDS, cacar, dan TB paru dipisahkan dan dirawat di ruangan khusus.. (Informan 2).

Setau saya yang perlu diisolasi dan dirawat terpisah itu pasien TB paru, pasien DM yang ada ganggren nya karena kan terganggu karena baunya, HIV.. terus pasien-pasien yang menular lainnya.. (Informan 13).

(27)

akan mengakibatkan sering penuhnya kamar isolasi akibat penggunaan kamar yang sering tidak efisien. Hal ini dipertegas oleh pernyataan berikut:

Kamar yang terutama.. itu selalu penuh.. (Informan 9).

Karena ruangan isolasi kita selalu penuh, terpaksa pasien kadang dirujuk (Informan 7).

Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap seluruh informan di RSU Mitra Medika Medan dalam hal melakukan isolasi terhadap pasien dengan penyakit menular dengan baik dan benar dapat terlihat pada matrik berikut ini:

Tabel 4.7. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Melakukan Isolasi terhadap Pasien dengan Penyakit

(28)

perawat sendiri juga memakai APD serta melakukan cuci tangan . Pasien kemudiaan ditempatkan di ruangan khusus isolasi. Selama dalam ruang isolasi pasien diberi edukasi kepada pasien, keluarga, dan pengunjung tentang etika batuk, cuci tangan, dan pemakaian APD jika diperlukan.

Selain kemampuan para perawat yang kurang baik, hambatan lain dalam pelaksanaannya adalah:

Belum ada ruangan tunggu khusus untuk pasien TB di Poliklinik (Informan 1).

Masker sih.. itu belum standar isolasi.. (Informan 13).

Kamar isolasi di IGD yang belum ada.. itu sangat perlu kalau menurut saya (Informan 7).

Cuma saya ga tau dimana posisi kamar isolasi untuk pasien bayi disini.. (Informan 3).

Kendala nya kalau pasien nya orang tua.. kadang-kadang dia tambah sesak perasaan dia kalau pake masker (Informan 8).

Kalau dari pasien ini juga kadang hambatan, ada keluarga yang ga mau kadang pasiennya diisolasi.. gak apa-apa lah mereka bilang.. (Informan 13).

Dari beberapa matriks jawaban di atas terlihat bahwa keterbatasan fasilitas pendukung kembali menjadi hambatan bagi perawat. Disamping itu, hambatan lainnya adalah masih terdapat perawat yang belum mengetahui letak kamar isolasi dan penolakan yang berasal dari pasien dan keluarga.

(29)

pengunjung mencakup cara membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung dan tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaannya, diperoleh informasi bahwa dalam membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, kemampuan 11 dari 14 perawat (78,57%) di RSU Mitra Medika Medan tergolong baik, sebagaimana dirangkum pada matrik berikut ini.

Ehm.. kalau kami batasi 2 orang pengunjung untuk 1 pasien, kalau sudah berlebih kami suruh keluar dulu.. nanti ganti-gantian.. selain itu kami berlakukan jam berkunjung, yaitu jam 10.00-11.00 dan jam 16.00-17.00 (Informan 6).

Yah tadi.. dibatasi pengunjungnya.. biasanya dipakaikan APD seperti topi, masker dan baju pengunjung dan kami damping dan diberi edukasi jangan menyentuh alat dan menjaga jarak dari peralatan di ruangan ini agar alat steril tidak terkontaminasi.. (Informan 5).

Dari matrik jawaban di atas diketahui pada umumnya, perawat melakukan pencegahan paparan infeksi dengan cara membatasi jumlah pengunjung, bahkan di ruangan tertentu seperti kamar operasi dan ruang bayi tidak diperkenankan pengunjung untuk masuk, dan di ICU diberlakukan jam berkunjung. Selain itu, pengunjung yang diperbolehkan masuk diberikan edukasi seperti diajari cara mencuci tangan yang baik dan benar sebelum dan sesudah menyentuh pasien, memakai APD, dan cara mencegah kontaminasi lainnya.

Namun, beberapa perawat masih menganggap bahwa peran mereka dalam membatasi paparan pasien terhadap infeksi hanya sekedar membatasi jumlah pengunjung, seperti penyataan berikut:

(30)

Kami batasi jumlah pengunjung.. biasanya kami batasi 1 pasien 1 orang pengunjung.. kalau terlalu ramai yah kami suruh keluar.. Itu saja sih.. (Informan 7).

Padahal, peran paling penting yang harus dilakukan perawat adalah memberikan edukasi dengan baik dan benar terhadap pengunjung yang diperkenankan masuk.

Dari hasil observasi peneliti terhadap seluruh informan di RSU Mitra Medika Medan dalam hal pencegahan paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung , ternyata hanya 5 dari 14 perawat (35,71%) yang membatasi paparan pasien terhada infeksi yang berasal dari pengunjung dengan baik dan benar dapat terlihat pada matrik berikut ini:

Tabel 4.8. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Membatasi Paparan Pasien terhadap Infeksi yang Berasal

(31)

Berdasarkan hasil wawancara, hambatan dalam pelaksanaannya antara lain: Kadang kami ga sempat edukasi, karena jika semua pengunjung diedukasi.. pasien akan terbengkalai (Informan 1).

Ehm.. edukasi cuci tangan belum.. karena kalo untuk pembatasan aja belum bisa, gak mungkin kami sempat ajari lagi.. tergantung jam dan polinya.. kalau lagi rame jujur itu gak akan sempat.. (Informan 8).

Yah.. jujur kami juga ga sempat kalo untuk edukasi pengunjungnya satu-satu karena kerjaan kami juga banyak. Jadi gak berjalan juga.. (Informan 9).

Dari beberapa matriks jawaban di atas, terlihat bahwa kesibukan perawat kembali menjadi hambatan. Selain itu, hambatan lainnya adalah faktor budaya dan pengunjung yang menolak untuk diberikan edukasi, seperti yang dinyatakan oleh beberapa informan berikut: mau.. kadang ga.. kalau kita larang nanti marah.. (Informan 6).

Soalnya klo kita ajarin mereka juga cuek aja, bahkan kita ajarin lagi, nengok pun engga.. (Informan 10).

8. Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan dari Penularan Infeksi Nosokomial

(32)

di RSU Mitra Medika Medan sudah tergolong baik, namun masih terdapat 6 perawat (42,86%) yang kurang baik sebagaimana terlihat dari beberapa matriks di bawah ini:

Untuk alat yang disterilakan.. Hmm aduh apa ya.. padahal da blajar dulu.. yang itu kalau kritikal yang kena membran mukosa, non kritikal seperti stetoskop (Informan 10). Untuk alat THT seperti spatel tounge, falk serumen, nasal forsep dan lain-lain termasuk set GV hanya disterilkan 1 kali di pagi hari (Informan 1). Klo nebul kadang-kadang dibersihkan, Tensi yang kadang sering lupa (Informan 14).

Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa masih terdapat perawat yang belum mampu menggolongkan alat-alat mana yang membutuhkan sterilisasi dan mana yang tidak. Selain itu, beberapa perawat juga belum memahami prosedur mempertahankan keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan yang mengharuskan alat harus didesinfeksi atau disterilkan setiap kali selesai digunakan.

Hasil observasi peneliti terhadap seluruh perawat pelaksana (informan) di RSU Mitra Medika Medan dalam mempertahankan keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan infeksi nosokomial dapat dilihat, yaitu :

Tabel 4.9. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan

(33)

10: Karu Ruang Bayi (Perinato)

11: Karu Kebidanan

12: Karu Operasi

13: Karu ICU

14: Karu IGD

Data Hasil Penelitian, 2016

Dari hasil observasi, ternyata hanya 5 (35,71%) perawat yang mempertahankan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan infeksi nosokomial. Selain pemahaman perawat yang masih kurang baik, beberapa hambatan lain yang dialami dalam pelaksaannya adalah:

Rata-rata alat GV set hanya 1 set di masing-masing poliklinik, jadi kalau ada 5 pasien yang pakai.. hanya dibersihkan dengan alkohol.. tidak sempat lagi disterilkan.. (Informan 1).

Kendalanya di alat untuk inspekulo.. punya kami hanya 1.. klo ada 2 pasien yang harus di inspekulo, alat hanya satu.. yah gimana yah.. namanya sikon.. (Informan 4).

Kadang gak sempat kalau stetoskop harus dibersihkan per pasien.. repot aja.. kan harus cuci tangan, bawa status pasien, dan lain-lain lagi.. (Informan 2).

Kadang kelupaan hahhaha.. kadang ga sempat.. tapi pas overan shift selalu kami bersihkan lagi. (Informan 7).

(34)

BAB 5 PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas hasil penelitian yang telah dipresentasikan, yaitu: Dari hasil wawancara, hanya 2 dari 8 kemampuan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang telah dikuasai dengan baik oleh perawat di RSU Mitra Medika apabila diasumsikan penguasaan terkait materi sudah baik pada lebih dari 80% informan yang diwawancarai. Kedua kemampuan yang telah dikuasai secara baik adalah dalam hal pelaksanaan cuci tangan dan melapor kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi. Hal ini disebabkan karena kedua kemampuan tersebut merupakan bagian dari kegiatan rutinitas. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil observasi langsung terhadap informan, ternyata seluruh kemampuan perawat di RSU Mitra Medika Medan dalam pencegahan dan dan pengendalian infeksi nosokomial masih belum sesuai aturan WHO.

Adapun penjabaran lebih lanjut terkait masing-masing kemampuan perawat tersebut adalah sebagai berikut:

5.1 Menjaga Kebersihan Rumah Sakit

(35)

mengetahui proses dan tahapan pemilahan dan pengelolahan limbah, serta penanganan linen secara baik dan benar.

Padahal, berdasarkan studi dokumen rumah sakit terlihat bahwa dokumen pedoman dan SPO terkait pengelolahan limbah dan kebersihan rumah sakit sudah ada, bahkan telah tersedia di masing-masing instalasi/bagian. Tiga dari empat informan yang kurang mampu tersebut bahkan sudah pernah mengikuti pelatihan terkait PPI maupun sosialisasi SPO, namun kemampuan mereka terkait menjaga kebersihan lingkungan masih belum juga maksimal. Menurut asumsi peneliti, kondisi ini terjadi karena penalaran perawat yang belum baik.

Menurut Asmadi (2008), pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir individu, dengan kata lain pola pikir seseorang yang berpendidikan rendah akan berbeda dengan pola pikir seseorang yang berpendidikan tinggi. Pendidikan keperawatan mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas pelayanan keperawatan, sehingga pendidikan yang tinggi dari seorang perawat akan memberi pelayanan yang optimal.

(36)

memiliki kemampuan yang baik pula. Di samping itu, hal tersebut juga mungkin disebabkan perbedaan lokus dan sampel pada penelitian tersebut.

Berdasarkan hasil observasi terhadap informan, ternyata hanya 5 dari 14 perawat yang menjaga kebersihan rumah sakit secara rutin. Adapun kendala lain yang dihadapi para perawat dalam menjaga kebersihan rumah sakit adalah plastik pelapis tong sampah, jerigen benda tajam, dan laken yang masih kurang. Menurut Wilma (2013), ada hubungan bermakna secara signifikan antara dukungan manajemen berupa ketersediaan sarana dan prasarana penunjang dengan pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial oleh perawat pelaksana.

Akan tetapi, IPCN RSU Mitra Medika menyatakan hal ini bukan terjadi karena kurangnya dukungan manajemen., melainkan karena koordinasi antar unit yang belum berjalan dengan baik. Direktur sih komitmen., apapun permintaan dari PPI selalu diberikan karena itu memang kebutuhan. Tetapi kadang proses koordinasi

untuk pengadaannya sedikit terkendala karena butuh waktu koordinasi satu dengan

yang lainnya seperti memohon untuk ditindaklanjutin, kadang lupa memasukkan

dalam anggaran biaya sehingga agak lama.. (Informan 15). Dari pernyataan tersebut,

(37)

5.2 Pelaksanaan Cuci Tangan

Hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan cuci tangan, kemampuan 12 dari 14 perawat di RSU. Mitra Medika sudah tergolong baik, Sebagian besar perawat sudah memahami prosedur cuci tangan dengan handrub dan handwash dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Hanya saja masih

terdapat 2 informan yang kadang melupakan tahapan dan durasi cuci tangan, walaupun dari hasil observasi dokumen terlihat bahwa pedoman dan SPO terkait kebersihan tangan sebenarnya telah tersedia di setiap instalasi/bagian, termasuk gambar cuci tangan sesuai WHO telah ditempelkan di setiap tempat mencuci tangan.

Bahkan menurut kepala ruangan dan IPCN, telah dilakukan responsi langsung kepada perawat pelaksana setiap harinya. Jika ada perawat yang belum tahu, kita beritahu agar mereka mengerti dan menerapkannya. Kita cari kendalanya dimana

dan mereka diajari sampai mereka paham dan kebiasaan (Informan 15). Namun,

pelaksanaan cuci tangan terutama bagi perawat pelaksana belum sepenuhnya membudaya.

(38)

akreditasi rumah sakit selama proses pendidikan, sehingga dengan begitu banyaknya peraturan dan SPO terkait program kerja (pokja) akreditasi yang harus dikuasai, terkadang membingungkan perawat.

Sejalan dengan penelitian Mathuridy (2015) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan kepatuhan melakukan enam langkah lima momen cuci tangan. Disamping itu, hasil penelitian Saragih dan Rumapea (2010) yang menyatakan adanya hubungan bermakna antara lama bekerja dengan tingkat kepatuhan melakukan cuci tangan di Rumah Sakit Columbia Asia Medan.

Menurut Mulyatiningsih (2013), masa kerja biasanya dikaitkan dengan waktu mulai bekerja, dimana pengalaman kerja juga ikut menentukan sikap dan kinerja seseorang, semakin lama masa kerjanya maka kecakapan dan sikap seseorang akan lebih baik karena sudah menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Masa kerja yang lebih lama menunjukkan pengalaman kerja yang lebih pada seseorang dibandingkan dengan rekan kerja yang lain. Pengalaman kerja seseorang menentukan bagaimana seseorang perawat menjalankan fungsinya sehari-hari, karena semakin lama perawat bekerja maka akan semakin terampil dan berpengalaman dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan.

(39)

hasil wawancara dapat terlihat bahwa overload beban kerja perawat akibat perbandingan jumlah perawat dan pasien yang belum sesuai menjadi penyebab utama ketidakpatuhan cuci tangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan IPCN RSU.Mitra Medika: Pengetahuan uda baik tapi untuk skillnya sendiri sering saya temui tidak sesuai standar, mereka berasalan “kita tahu, hanya kami sibuk, kami tahu prinsipnya

hanya kadang tidak sempat..” (Informan 15).

Kondisi ini bertentangan dengan Wilma (2013) yang mengemukakan bahwa tidak ada hubungan antara ketersediaan tenaga (rasio perawat dan pasien) dengan pelaksanaan pencegahan infeksi nosokomial oleh perawat. Hal ini dimungkinkan karena alasan utama perawat tidak melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial pada penelitian tersebut adalah tidak adanya sarana penunjang.

Namun, hasil penelitian sejalan dengan Cimiotti (2012) yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara ketenagaan perawat (nurse staffing) dengan terjadinya infeksi nosokomial. Lebih lanjut penelitian yang dilakukan oleh Rogowski (2013) juga mengemukakan bahwa kurangnya tenaga perawat di unit neonatus akan meningkatkan resiko infeksi nosokomial dan angka kematian neonatus.

(40)

kapasitas tempat tidur yang tersedia) menjadi salah satu faktor yang turut berperan dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi oleh perawat pelaksana.

Adapun hambatan lain dari pelaksanaan cuci tangan pada penelitian ini adalah dari segi fasilitas cuci tangan, dimana terlihat di beberapa instalasi masih terdapat sarana-prasarana yang belum memadai. Selain itu, sarana dan prasarana yang tersedia saat ini tidak nyaman dipakai oleh perawat sehingga menjadi salah satu kendala dalam penerapan cuci tangan. Pemantauan tim PPI dan manajemen dalam memenuhi fasilitas cuci tangan sesuai dengan kebutuhan perawat belum optimal. Tim PPI dan manajemen hanya berfokus pada penyediaan handrub dan sabun cuci tangan, tanpa melihat aspek kenyamanan serta fasilitas pendukung lainnya.

Sejalan juga dengan pernyataan WHO (2002) bahwa dalam mencuci tangan sering dilakukan tidak optimal. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang sesuai, tingginya perbandingan jumlah perawat dengan pasien, alergi terhadap produk pencuci tangan, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara mencuci tangan yang baik dan benar, terlalu lama waktu yang direkomendasikan untuk mencuci tangan.

5.3 Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)

(41)

instalasi/bagian sudah ada. Hanya saja, dari hasil observasi 5 dari 14 perawat belum menggunakan APD secara baik dan benar. Penggunaan sarung tangan di ruang rawat inap, rawat jalan (poliklinik), ruang bayi (perinatologi) dan ICU kadang kala belum digunakan per pasien per tindakan, padahal ketersediaan APD menurut masing-masing kepala ruangan di setiap instalasi selalui ada dan memenuhi. Kalau penyediaan APD di poliklinik selalu tersedia.. kami selalu dikasi 2 kotak.. itu habis

dalam waktu 3 hari.. selalu saya ambil di apotik.. masker juga tidak pernah kosong..

(Informan 8). Kalau untuk APD ada terus.. selalu ada dan lancar.. APD yang ada seperti masker dan sarung tangan. Celemek yang tidak ada dipakai di sini. Karena

jarang juga dipakai.. biasa kalau perlu kami ambil ke farmasi saja.. (Informan 9) .

Celemek, topi, masker, handschoen, sepatu, sandal dan lain-lain selalu ada dan

cukup karena kita rajin mengecek, jika tinggal satu langsung dipesan.. (Informan

12). Masih ada, dan apabila sudah menipis kami minta dari bagian farmasi. Sekarang ini APD tidak pernah kosong.. (Informan 13).

(42)

Menurut asumsi peneliti, hal ini disebabkan karena masih adanya rasa ketakutan perawat dalam menggunakan sumber daya rumah sakit. Perawat takut merugikan rumah sakit apabila menggunakan APD yang banyak. Ketakutan tersebut muncul akibat peraturan sebelumnya yang membatasi pemakaian APD dan mengharuskan perawat ganti rugi apabila APD yang digunakan tidak sesuai ketentuan. Hal ini terlihat dalam pernyataan berikut: Handscoen dipakai saat melakukan injeksi dan mengganti perban.. tapi ga selalu dipake soalnya kan boros..

(Informan 1). Setiap menginjeksi tidak ganti sarung tangan karena biar menghemat (Informan 2). Handscoen sebenarnya selalu tersedia di masing-masing kamar, cuman kami masih takut untuk pemakaiannya.. (Informan 6). Waktu bayi BAB tidak selalu (pakai handscoen).. karena klo kita hitung-hitung bisa habis dong 1 kotak

sarung tangan itu.. (Informan 10).

Selain hal tersebut, kurangnya pengalaman dan kesibukan perawat juga menjadi kendala utama dalam penggunaan APD. Di ruangan kebidanan karena jumlah perawat pelaksana tidak seimbang dengan jumlah pasien, para perawat cenderung sibuk sehingga tidak sempat memakai APD dalam kondisi emergency. Lupa pake handscoen kalau kondisi tiba-tiba seperti dipanggil karena infus pasien

terlepas… jadi darah pasiennya kan nyocor.. mau balik lagi ambil handscoen

kadang-kadang gak sempat.. kan kasihan juga pasiennya.. yang terpaksa kami

pegang dulu.. nanti baru kami cepat-cepat cuci tangan.. (Informan 4)

(43)

disediakan terlalu tipis dan gampang robek. Kemudian, ukuran sarung tangan yang disediakan juga tidak konsisten, kadang terlalu kecil kadang terlalu besar, sehingga perawat merasa kesulitan saat melakukan tindakan.

Kondisi-kondisi tersebut di atas terjadi akibat kurangnya keterlibatan perawat dalam pengadaan APD. Pengadaan dan penyediaan APD hanya dilakukan dengan melibatkan direktur, tim PPI,bagian farmasi dan bagian keuangan. Sementara dalam hal pemantauan yang dilakukan oleh tim PPI hanya berfokus pada jumlah APD yang diberikan dan digunakan. Sehingga, kenyamanan dan kebutuhan beberapa jenis APD lain di lapangan kurang mendapat masukan. Ini tidak sesuai dengan perencanaan strategis yang menganjurkan perencanaan yang baik dimulai dari bottom-up system bukan top-down system.

5.4 Menggunakan Teknik Aseptik

Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam menggunakan teknik aseptik, 10 dari 14 perawat di RSU Mitra Medika Medan belum paham, baik dari segi cara maupun tahapan-tahapannya. Pemahaman perawat akan teknik aseptik masih sangat minim. Kondisi di atas juga memprihatinkan karena menurut Darmadi (2008), jumlah perawat yang memiliki kemampuan dalam menjalankan dan mempraktikkan teknik aseptik merupakan salah satu faktor standar asuhan keperawatan yang memengaruhi risiko terinfeksi nosokomial.

(44)

kondisi ini terjadi karena lingkungan kerja yang steril seperti di ruang ICU dan kamar operasi akan menunjang kemampuan perawat dalam melaksanakan teknik aseptik menjadi lebih baik, sebaliknya kondisi lingkungan kerja yang non steril di instalasi/bagian lain akan menghambat kemampuan perawat. Ini sejalan dengan Elhinne (2010) yang menyatakan bahwa kemampuan perawat juga dipengaruhi oleh perannya di tempat tugas.

Berdasarkan hasil studi dokumen, ternyata dokumen SPO terkait tindakan aseptik, seperti SPO pemasangan infus, SPO pemasangan kateter, dan SPO penyuntikkan yang aman telah disusun dan tersedia di masing-masing bagian/instalasi. Namun, sosialisasi terhadap penerapan SPO tersebut belum maksimal. SPO disusun dalam bentuk buku yang terjilid rapi dan hanya disimpan sebagai bagian dari arsip sehingga belum digunakan sebagaimana mestinya. Para manajer keperawatan RSU Mitra Medika belum meninjau kembali fungsi SPO yang ada di tiap ruangan dan agar setiap perawat pelaksana senantiasa bekerja sesuai SPO yang telah ditetapkan.

5.5 Melapor kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi

(45)

dokter jika ada tanda dan gejala infeksi nosokimial. Perawat tersebut adalah perawat yang tidak pernah mengikuti pelatihan/sosialisasi PPI di rumah sakit.

Menurut Salawati, Herry dan Putra (2014), terdapat hubungan yang signifikan antara pelatihan dengan tindakan perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial. Walaupun bertentangan dengan Herpan (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan kinerja perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial, namun Maryati (2011) dalam penelitiannya tentang keefektifan peningkatan kemampuan perawat dalam PPI juga menjelaskan bahwa pelatihan PPI efektif dapat meningkatkan kemampuan praktik perawat dalam melakukan pencegahan infeksi nosokomial.

Pelatihan PPI sebagai investasi rumah sakit bagi perawat untuk terus dapat meningkatkan kemampuannya dalam pencegahan infeksi nosokomial. Wilma (2013) mengemukan bahwa pelatihan merupakan proses mengajarkan pengetahuan dan keahlian tertentu agar karyawan semakin terampil dan mampu dalam melaksanakan tanggung jawabnya dengan semakin baik sesuai dengan standar. Sehingga, pelatihan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kompetensi individu. Individu yang kompeten memiliki kemampuan yang memadai dalam melakukan pekerjaannya.

(46)

sub etika dan disiplin komite medis belum sepenuhnya berjalan karena masih lemahnya pelaporan. Perawat cenderung segan dan takut melapor setiap penyimpangan yang dilakukan oleh tenaga medis.

5.6 Melakukan Isolasi

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diketahui bahwa dalam melakukan isolasi khususnya pasien dengan penyakit menular, kemampuan 8 dari 14 perawat di RSU Mitra Medika Medan masih kurang baik, terutama untuk menetapkan kategori pasien dengan penyakit menular yang perlu diisolasi. Pengetahuan perawat akan prosedur isolasi terhadap penyakit menular juga masih kurang.

Penelitian Herpan pada tahun 2012 menunjukkaan bahwa responden dengan tingkat pengetahuan rendah berpeluang untuk tidak mengendalikan infeksi nosokomial sebesar 7,115 kali. Hal ini sejalan dengan Zulkifli, Nontji dan Hadju (2014) yang juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan penerapan pencegahan infeksi nosokomial oleh perawat pelaksana, sehingga manajemen rumah sakit hendaknya meningkatkan pengetahuan perawat dalam PPI.

Menurut penuturan IPCN kondisi ini terjadi karena sosialisasi belum dilakukan untuk seluruh perawat. Isolasi belum disosialisasikan karena kamar itu belum sesuai dengan standar. Ke depannya pengadaan kamar isolasi sesuai standar

(47)

inap dan bahkan kamar isolasi di ruang IGD baru direncanakan untuk dibuat. Ruang tunggu di poliklinik masih menyatu dengan ruang tunggu pasien lainnya. Disamping itu, masker khusus dan gaun (baju pelindung) untuk kamar isolasi juga belum lengkap tersedia.

Menurut Depkes (2008), agar perawat pelaksana dapat bekerja secara maksimal pimpinan harus bertanggung jawab atas penyediaan serta pemeliharaan sarana klinis dan non klinis yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kewaspadaan umum, termasuk fasilitas kamar isolasi. Selain hal tersbut, hambatan juga datang dari segi pasien dan pengunjung yang terkadang menolak memakai APD seperti masker dengan alasan sesak; sandal, gaun dan topi dengan alasan merepotkan dan risih.

5.7 Membatasi Paparan Pasien terhadap Infeksi yang Berasal dari Pengunjung Berdasarkan hasil wawancara mendalam diketahui bahwa dalam dalam membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, kemampuan 11 dari 14 perawat di RSU Mitra Medika Medan pada umumnya sudah baik. Namun masih terdapat perawat yang hanya mengganggap bahwa cara mencegah paparan infeksi dari pengunjung hanya dilakukan dengan membatasi jumlah pengunjung dan jam berkunjung. Padahal, hal penting lainnya adalah edukasi terhadap pengunjung. Pemberian edukasi kepada pengunjung seperti cara mencuci tangan tidak sempat dilakukan akibat kesibukan perawat dalam melayani pasien.

(48)

pada fasilitas perawatan akut. Selain itu, hasil penelitian Shang, Stone, dan Larson (2015) juga menunjukkan bahwa jumlah tenaga perawat berkaitan dengan peningkatan resiko infeksi nosokomial. Sehingga, untuk mendapatkan asuhan keperawatan yang profesional, diperlukan adanya ketenagaan/personalia yang memiliki kemampuan dan memadai pula jumlahnya.

Hambatan lain dalam pelaksanaannya, kadang kala terbentur pada budaya masyarakat setempat yang masih mengharuskan pasien harus dijenguk secara beramai-ramai ketika sakit. Selain itu, pengunjung juga kadang kala menolak edukasi yang diberikan oleh perawat. Perbedaan budaya menjadi hambatan terbesar yang dapat menghalangi komunikasi yang paling sulit untuk diatasi terutama apabila penerima juga mempunyai umur, pendidikan, status sosial ekonomi, agama atau kepercayaan, dan pengalaman hidup yang jauh berbeda. Ini sejalan dengan pendapat Fong Ha, Anat dan Longnecker (2010) juga menyatakan bahwa salah satu faktor penghambat dalam pemberian informasi khususnya dalam komunikasi adalah faktor budaya.

5.8 Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan dari Penularan Infeksi Nosokomial

(49)

yang hanya didesinfeksi dengan alkohol swab setelah setiap kali dipakai, begitu juga botol susu di ruang bayi yang harus disterilkan setiap selesai digunakan.

Dari hasil studi dokumen, ternyata dokumen SPO mengenai tata cara mempertahankan keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan infeksi nosokomial ini telah tersedia di masing-masing instalasi, bahkan telah disosialisasi, namun masih butuh pengarahan. Hal ini dipertegas oleh perawat IPCN yang menyatakan bahwa Menurut saya kemampuannya sedikit kurang.. belum sesuai betul-betul dengan SPO.. perlu disosialisasi ulang dan saya sering keliling... agar

bila ada yang tidak sesuai segera diperbaiki (Informan 15).

Lama bekerja,dan kesibukan perawat kembali menjadi beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Ini terlihat dari pernyataan beberapa informan berikut: kadang gak sempat kalau stetoskop harus dibersihkan per pasien.. repot aja.. kan

harus cuci tangan, bawa status pasien dan lain-lain lagi.. (Informan 2). Cuman ga setiap kali pakai.. kadang kelupaan hahhaha.. kadang ga sempat.. (Informan 7). Sehingga berdasarkan hasil observasi, setidaknya terdapat 9 perawat yang belum mempertahankan keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan infeksi nosokomial. Menurut penulis kendala diatas menyebabkan prosedur dalam mensterilkan peralatan dan perlengkapan rumah sakit belum seragam.

(50)
(51)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab 4 dan bab 5, maka dapat diambil kesimpulan:

1. Untuk 8 kemampuan perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di RSU Mitra Medika diketahui bahwa:

a. Dalam menjaga kebersihan rumah sakit, dari hasil wawancara mendalam 71,43% perawat sudah baik. Namun dari hasil observasi ternyata hanya 35,71% perawat yang melakukannya dengan maksimal.

b. Dalam melaksanakan cuci tangan, dari hasil wawancara mendalam kemampuan 85,71% perawat sudah baik. Namun, dari hasil observasi haya 42,86% perawat yang mengikuti aturan 6 langkah dan 6 waktu cuci tangan dengan prosedur yang benar.

c. Dalam menggunakan alat pelindung diri, berdasarkan hasil wawancara mendalam kemampuan 50% perawat tergolong baik. Dari hasil observasi, ternyata hanya 35,71% perawat yang menggunakan APD dengan tepat dan sesuai prosedur.

(52)

e. Dalam melapor kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi, dari hasil wawancara mendalam kemampuan 92,86% perawat pada umumnya sudah baik. Namun dari hasil observasi ternyata hanya 78,51% perawat yang melapor kepada dokter sesuai prosedur.

f. Dalam melakukan isolasi terhadap pasien dengan penyakit menular, berdasarkan hasil wawancara mendalam dan hasil observasi, kemampuan 57,14% perawat masih kurang baik

g. Dalam membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, dari hasil wawancara mendalam kemampuan 78,57% perawat sudah tergolong baik. Namun, dari hasil observasi hanya 35,71% perawat yang melakukannya sesuai prosedur.

h. Dalam mempertahankan keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan infeksi nosokomial, kemampuan 57,14% perawat tergolong baik. Namun, dari hasil observasinya ternyata hanya 35,71% perawat yang melakukannya sesuai prosedur.

(53)

6.2 Saran

Berikut ini diajukan beberapa saran berkaitan dengan kesimpulan penelitian ini yaitu:

1. Kepada Rumah Sakit

a. Agar segera dilakukan pelatihan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial kepada perawat yang belum pernah mengikuti pelatihan dan penyegaran kembali materi terkait PPI kepada perawat yang telah mengikuti pelatihan secara bertahap sampai pada akhirnya seluruh perawat di ruangan terpapar informasi tentang pencegahan dan pengendalian infeksi.

b. Perlu segera disediakan fasilitas penunjang pencegahan infeksi yang dibutuhkan, seperti brush cuci tangan di kamar operasi, APD seperti celemek dan topi di ICU, dan pengadaan kamar/ruang isolasi di IGD dan poliklinik. c. Sarana dan prasarana PPI yang masih kurang seperti instrumen ganti perban

yang selama ini hanya 1 set di poliklinik, sebaiknya ditambah jumlahnya menjadi 3 set di masing-masing poliklinik agar sempat disterilkan setiap kali selesai digunakan dan masih terdapat instrumen cadangan ketika proses sterilisasi berjalan.

(54)

masing-masing instalasi/bagian agar laken masih tetap memenuhi kebutuhan walaupun sedang banyak pasien sesuai dengan standar linen pada Kepmenkes 1204 tahun 2004.

e. Agar segera memenuhi kekurangan SDM perawat sesuai dengan kebutuhan beban kerja di masing-masing instalasi/bagian.

f. Manajemen rumah sakit dan Tim PPI disarankan untuk mengadakan monitoring dan evaluasi pencegahan dan pengendalian infeksi di semua unit

perawatan untuk mengoptimalkan pelaksanaan PPI di rumah sakit.

g. Agar perencanaan dan pelaksanaan PPI lebih melibatkan instalasi/bagian terkait, sehingga koordinasi dapat berjalan dengan lebih baik.

h. Agar dilakukan pemantauan penerapan SPO dalam setiap pelaksanaan tindakan oleh perawat, yang dapat ditingkatkan melalui supervisi oleh kepala ruangan secara rutin.

i. Perlu diadakan pertemuan rutin kepada tenaga keperawatan dengan menggunakan metode yang lebih menarik dalam mensosialisasikan PPI. j. Sebaiknya diberikan apresiasi maupun reward kepada perawat yang

(55)

2. Kepada Peneliti Lanjutan

a. Agar penelitian selanjutnya menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD) dengan topik pencegahan infeksi nosokomial sehingga informasi yang terkumpul lebih banyak.

b. Jumlah responden dalam penelitian selanjutnya agar lebih banyak sehingga hasilnya dapat mewakili seluruh perawat pelaksana yang ada di ruangan. c. Agar penelitian selanjutnya melakukan pengkajian infeksi nosokomial dari

Gambar

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Informan di RSU Mitra Medika Medan
Tabel 4.2. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam
Tabel 4.3. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Melaksanakan Cuci Tangan
Tabel 4.4. Matrik Hasil Observasi terhadap Kemampuan Perawat dalam Menggunakan Alat Pelindung
+6

Referensi

Dokumen terkait

Q3. Packet Tracer 7.0 introduce user authentication into Packet Tracer. NetAcad user are required to sign in when first time launch the Packet Tracer. Please ask your instructor

Hasil titer antibodi pada perlakuan C yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,25% dan perlakuan E yaitu vaksin dengan penambahan gliserol 0,75% meningkat tinggi

Aktualisasi Diri Perempuan Dalam Sistem Budaya Jawa, Surakarta: Jurnal Sosiologi, Vol.29.. Boangmanalu, Abby

    28 Akses Penduduk desa memiliki air untuk mandi dan mencuci 12 Akses ke Sanitasi 29 Mayoritas penduduk desa memiliki Jamban.     30 Terdapat tempat

PENGARUH AERASI BERTINGKAT DENGAN KOMBINASI SARINGAN PASIR, KARBON AKTIF, DAN ZEOLIT DALAM MENINGKATKAN KUALITAS AIR TANAH DI PESANTREN..

Oleh karena itu, pada tahun anggaran 2016 Direktorat Pengembangan Usaha Transmigrasi, Direktorat Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Desa,

Penurunan kadar Fe dan Mn juga dapat menggunakan media karbon aktif dan zeolit. seperti yang telah uji oleh Hardini dan

Dari keseluruhan aspek yang dinilai, terlihat bahwa popularitas berdasarkan ukuran google dan peringkat Alexa diraih oleh website Bank Mandiri dengan perbedaan yang cukup lebar