• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TANGGUNG JAWAB ORANG TUA YANG TELAH BERCERAI TERHADAP NAFKAH ANAK BAGI WARGA NEGARA INDONESIA

YANG BERAGAMA ISLAM

A. Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak Dalam Hukum Islam

1. Pengertian Tanggung Jawab

Pada prinsipnya tanggung jawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas. Artinya tanggung jawab bersifat kodrati, sehingga sudah menjadi bagian kehidupan

manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab apabila setiap manusia tidak mau bertanggung jawab maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab ini dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua (2)

sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.61

Tanggung jawab secara bahasa berasal dari dua kata yaitu : tanggung dan

jawab, dalam kamus bahasa Indonesia "tanggung" berarti ; "beres tidak perlu khawatir". Sedangkan "jawab" berarti membalas, disahuti.62 Jadi tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh

dituntut, dipersilahkan, dan sebagainya).63

61 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesian, (Jakarta : UI - Press, 1986), hal: 20 62 Tim penyusun kamus bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta,Balai

Pustaka, 2003), hal. 1139

63

Ibid

Sedangkan secara istilah tanggung jawab adalah suatu keadaan yang dimiliki seseorang sehingga apa yang di perbuat dan

(2)

atau rumah tangga, yang dalam penghidupan sehari-hari lazim disebut dengan ayah ibu.64

Sehubungan dengan ketentuan diatas bahwa secara kodrat ibu-bapak di dalam rumah tangga keluarga adalah sebagai penanggung jawab tertinggi, mau tidak niau

merekalah menjadi tumpuan segala harapan, tepat meminta segala kebutuhan bagi semua anak-anaknya. Orang tualah yang menjamin kesejahteraan materiil dan kesejahteraan rohani. Tanggung jawab ini tidak dapat dielakkan oleh orang tua, harus

dipikul dengan rasa penuh tanggung jawab.65 Islam menempatkan suatu beban tanggung jawab pada pundak setiap orang, di mana tak seorang pun bebas dari

padanya. Orang tua bertanggung jawab memberikan kepada anak - anaknya suatu pendidikan dan ajaran Islam yang tegas, yang didasarkan atas karakteristik yang mulia sebagaimana disebutkan Nabi, bahwa beliau di utus untuk menyempurnakan

akhlak yang mulia. Melihat hal tersebut tidak ada bukti yang kuat mengenai beratnya tanggung jawab orang tua untuk membawa anak mereka mematuhi Allah dan

Rasul-nya.66

Selanjutnya dengan demikian tanggung jawab orang tua kepada anaknya menurut pernyataan Rasulullah SAW adalah merupakan hak anak terhadap orang Dengan demikian jelas bahwa orang tua (keluarga) bertanggung jawab atas perlindungan anaknya dari berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan persoalan dunia maupun akhirat.

64

Thamrin Nasution, dkk, Peranan Orang Tua Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Anak, (Jakarta, Gunung Mulia, 1989), hal. 1

65 Muhammad Zein, Methodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta, Inda Buana, 1995),

hal.221

66

(3)

tuanya. Dengan demikian para orang tua harus memberikan hak itu kepada mereka. Di antara hak itu sabda Rasul Allah SAW adalah : "memberinya nama yang baik,

mengkhitannya, mengajarkannya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan menikahkannya". Di sini terlihat bahwa tingkat keberhasilan para orang tua melaksanakan tugas - tugas

tersebut dipandang sebagai kredibilitas dan sekaligus penilaian terhadap tanggung jawabnya selaku orang tua.67

Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang pejabat adalah pemimpin, seorang lain-laki adalah pemimpin

keluargnya, seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, dan anak suaminya, setiap orang diantara kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai

pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.

Menurut Islam orang tua bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya,

jika anggota keluar seorang muslim mengabaikan atau gagal dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dia-lah yang bertanggung jawab.

Artinya:

68

Sesuai uraian di atas dapat diketahui bahwa tanggung jawab orang tua, baik ayah maupun ibu terhadap anak-anaknya, mereka tidak mungkin dialihkan kepada

selain keduanya, bahwa kebanyakan degradasi anak sekarang ini adalah akibat dari

67 Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000) hal. 101 68

(4)

kesalahan orang tua dan para pendidik dalam mendidik mereka.69

Anak adalah amanat Allah yang harus dirawat, dipelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua yang paling utama

yang akan berpengaruh kuat dalam perkembangan anak pada masa-masa selanjumya. Kewajiban itu meliputi pendidikan jasmani dan rohani yang dimulai sedini mungkin. Sehingga harus dipertanggung jawabkan oleh setiap orang tua dalam berbagai aspek

kehidupannya.

Untuk itulah maka kita harus berhati-hati, jangan sampai menyerahkan pendidikan anak kepada para

pembantu, dan jangan sampai pula menyerahkan pendidikan anak kepada panti asuhan. Karena mereka akan membentuk anak-anak sesuai dengan konsep mereka,

yang tentunya akan berseberangan dengan akidah kita agama Islam. 2. Pengaturan Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak

a. Al-Qur'an dan Hadist

70

Pendidikan perlu dilihat sebagai suatu proses yang berterusan, berkembang,

dan serentak dengan perkembangan individu seorang anak yang mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dengan kemahiran yang diperolehnya anak akan mengaplikasikannya dalam konteks yang bermacam-macam dalam hidup

kesehariannya disaat itu ataupun sebagai persiapan untuk kehidupannya dimasa yang akan datang.

69

Hamad Hasan Ruqaith, Kaifa Nurabbi Abna'ana Tarbiyatan Sholihatan, terj.Luqman Abdul Jalal, Sudahkah Anda Mendidik Anak Dengan Benar, Konsep Islam dalam Mendidik Anak, (Jakarta, Cendikia, 2004), hal. 30

70 Safuddin Mujtaba dan Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam (Jakarta ;

(5)

Menurut perspektif Islam, pendidikan anak adalah proses mendidik, mengasuh dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan orang tua sebagai tanggung

jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai baik dan terpuji bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan dalam Islam system pendidikan keluarga ini

dipandang sebagai penentu masa depan anak. Sampai-sampai di ibaratkan bahwa surga neraka anak tergantung terhadap orang tuanya.71

"Dan Allah mengeluarkan kamu dariperut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui

sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu

bersyukur". (QS. An-Nahl: 78)

Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang menjadi generasi insane yang rabbani yang beriman, bertaqwa,

dan beramal shaleh adalah tanggung jawab orangtua.

Menurut konsep Islam, anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, yaitu kondisi

awal yang suci yaitu berkecendrungan kepada kebaikan tetapi secara pengetahuan ia belum tahu apa-apa. Kendatipun demikian, modal dasar bagi pengembangan pengetahuan dan sikapnya telah diberikan Allah yaitu berapa alat indera, akal dan

hati. Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT, dalam surat An-Nahl ayat 78 sebagai berikut:

72

Melihat betapa pentingnya keluarga dalam pembentukan anak-anak, maka orang tua bertanggung jawab mengurusi anak dimulai sebelum kelahirannya (saat

masih berapa janin di dalam kandungan) sampai anak mengalami masa

71 M. Nippan Abdul Halim, Anak Sholeh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta : Mitra Pustaka,

2003) cet.3.hal. 87

72

(6)

perkembangan hingga anak dewasa selalu berada di dalam keluarga. Bahkan sebelum anak berinteraksi dengan orang lain, anak tersebut sudah dibentuk oleh orang tua.

Oleh karena itu orang tua (keluarga) memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan anak, baik dalam aspek kesehatan, pendidikan dan akhlak anak. Orang

tua juga memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pembentukan karakter, kebiasaan sampai agama yang dianut oleh anak. Orang tua, ibu dan ayah juga memagang peranan yang penting terhadap pendidikan anak-anaknya. Sejak anak

lahir, ibunyalah yang selalu ada di sampingnya, oleh karena itu ia meniru sesuatu yang selalu ada di sampingnya. Selain ibu, ayah mempunyai pengaruh yang besar

pula terhadap anaknya.73 Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan dalam kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan

dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan

penghidupannya setelah anak tersebut lepas dari tanggung jawab orang tua.74

Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seseorang dan orang tua sebagai kuncinya. Pendidikan dalam keluarga terutama berperan dalam

pengembangan watak, kepribadian, nilai-nilai budaya, nilai-nilai keagamaan dan moral, serta keterampilan sederhana. Pendidikan dalam konteks ini mempunyai arti

pembudayaan, yaitu proses sosialisasi dan enkulturasi secara berkelanjutan dengan

73 Zakiah Darajad, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta, Bumi Aksara,

1995), hal.

74

(7)

tujuan untuk mengantar anak agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak luhur, mandiri, kreatif, inovatif, beretos kerja, setia kawan, peduli akan

lingkungan dan sebagainya.75

Orang tua mendidik anak dengan memperhatikan potensi yang dimilikinya.

Karena itu, peran orang tua dalam mendidik anak dilakukan dengan cara membimbing, membantu atau mengarahkannya agar ia mengenal norma dan tujuan hidup yang hendak dicapainya.76

Menurut Syaiful Bahri Djamarah keluarga adalah sebagai sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan. Di dalamnya hidup bersama pasangan

suami-istri secara sah karena pernikahan. Mereka hidup bersama sehidup semati, Orang tua atau ibu dan ayah memegang peranan

penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Sejak seorang anak lahir, ibunyalah yang selalu ada disampingnya. Oleh karena itu anak meniru perangai

ibunya dan biasanya seorang anak lebih cinta kepada ibunya. Apabila ibu itu menjalankan tugasnya dengan baik. Pengaruh ayah terhadap anaknya besar pula, di mata anaknya seorang ayah yang menjadi panutan tertinggi dan menjadi tumpuan di

antara orang - orang yang dikenalnya. Sehingga apa yang diperbuat ayahnya akan mempengaruhi sikap anak-anaknya, termasuk ketika ayah melakukan pekerjaannya

sehari-hari akan mempengaruhi pada cara pekerjaan anaknya.

75 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta,

Lantabora Press, 2005), hal. 48

76

(8)

ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin.77

Keluarga merupakan wadah yang sangat penting diantara individu dan group dan merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi

anggotanya. Dan keluargalah sudah barang tentu yang pertama-tama pula menjadi tenipat untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak, ibu, ayah dan saudara-saudaranya serta keluarga-keluarga yang lain, dan orangtualah yang pertama di mana

anak mengadakan kontak dan yang pertama pula untuk mengajar pada anak-anak itu sebagaimana hidup dengan orang lain. Sehingga apapun yang diajarkan

orang tua terhadap anak akan diikuti oleh anak-anak mereka, termasuk agama.78

Pada dasarya kenyataan-kenyataan yang dikemukakan di atas berlaku dalam kehidupan keluarga atau rumah tangga. Hal itu menunjukkan ciri-ciri dan watak rasa

tanggung jawab setiap orang tua atas kehidupan anak-anak mereka untuk masa kini dan mendatang. Bahkan para orang tua umumnya merasa bertanggung jawab atas

segalanya dari kelangsungan hidup anak-anak mereka. Karenanya tidaklah diragukan bahwa tanggung jawab pendidikan secara mendasar dipikul kepada orang tua. Apakah tanggung jawab pendidikan itu diakuinya secara sadar atau tidak, diterima

dengan sepenuh hatinya atau tidak, hal itu adalah merupakan fitrah yang telah dikodratkan Allah SWT kepada setiap orang tua. Mereka tidak bisa mengelakkan

77 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga, (Rineka

Cipta : 2004), hal. 16

78

(9)

tanggung jawab itu karena telah merupakan amanah dari Allah yang dibebankan kepada mereka.79

Kemudian pada dasarnya jika terjadi perceraian antara suami-istri mereka masih tetap

bertanggung jawab terhadap anak untuk memelihara dan mendidik bagi kepentingan anak. Dalam pemeliharaan tersebut walaupun pada prakteknya dijalankan oleh salah

seorang dari mereka, tidak berarti bahwa pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap pemeliharaan tersebut.

Selanjutnya dari uraian di atas dapat diketahui bahwa tangung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak secara mendasar dipikul oleh kedua

orang tua berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan tanggung jawab terhadap anak pengadilan yang memberi keputusan.

80

Apabila terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara anak. Di

dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah dan berkata.81

Demikian jelaslah jika terjadi perceraian, antara kedua orangnya menetapkan untuk pemeliharaan pada pihak ibu selama si anak belum balig dan menikah dengan

"Ya Rasulullah bahwasannya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, asuhankulah yang mengawasinya, dan air susukulah minumnya. Bapaknya hendak mengambilnya dariku, maka bersabda Rasulullah, engkau lebih berhak untuk memelihara anak itu, selama engkau belum menikah dengan lelaki lain".( H.R. Ahmad dan Abu Daud ).

79 Ibid, hal. 36

80 Amiur nuriddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia, (Jakarta :

Kencana, 2004), hal. 296

81

(10)

laki-laki lain.82

Meskipun demikian karena konsekuensi perceraian adalah seperti itu maka anak haras tetap memilih untuk ikut salah satu orangtuanya. Dalam sidang pengadilan

yang menangani perceraian, untuk anak yang masih belum berumur 12 (dua belas) tahun (belum mumayyiz) biasanya hakim memutuskan ikut dengan ibunya. Hal ini Alasannya bisa dilihat pada pernyataan Abu Bakar Siddiq dibawah ini : "Ibu lebih cenderung (sabar) kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih

penyantun, lebih baik, dan lebih penyayang. la lebih berhak atas anaknya( H.R. Abu Bakar Siddiq).

b. Undang - Undang No.l Tahun 1974

Pengaturan tanggung jawab terhadap anak berdasarkan UUP No. 1 Tahun 1974 Pasal 45 menyebutkan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak

sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban ini akan terus berlaku meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus. Selanjutnya Pasal

46 UUP No.l Tahun 1974 ini menambahkan bahwa anak wajib menghormati orang tuanya dan mentaati kehendak mereka dengan baik, dan apabila telah dewasa anak wajib memelihara orang tua dan keluarganya menurut kemampuannya apabila

mereka membutuhkan bantuannya.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraia, Pasal 41 huruf (a) UUP No. 1

Tahun 1974 menyebutkan, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.

82

(11)

didasarkan pertimbangan bahwa anak dengan umur seperti itu masih sangat membutuhkan kasih sayang ibunya. Ini bukan berarti ayah tidak sanggup memberikan

kasih sayang yang dibutuhkan anak, akan tetapi seorang ayah biasanya sibuk bekerja sehingga waktu yang dimiliki untuk memperhatikan anak kurang.83

Mengenai sistem pertanggung jawaban ayah terhadap anak tidak dapat dilepaskan dari kebijakan legislatif yang tertuang dalam undang-undang perkawinan. Peraturan tersebut telah mencantumkan beberapa ketentuan tentang tanggung jawab

orang tua (khususnya ayah) terhadap anak-anaknya. UUP No.l Tahun 1974 sampai saat belum mengatur secara khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP

Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989 para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah diberlakukannya Undang - Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Inpres

No. 1 Tahun 1999 tentang penyebarluasan KHI, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan peradilan agama diberi wewenang untuk memeriksa dan

menyelesaikannya.84

Kendati demikian, secara global sebenarnya UUP No.l Tahun 1974 telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan akibat putusnya

83 Mardani, Hukum Secara Per data Peradilan Agama dan Mahkamah Syar 'iyah, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2009), hal. 52

84 Abdul manna, Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktik Hukum Acara di

(12)

sebuah perkawinan.85

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberikan keputusan.

Di dalam Pasal 41 dinyatakan : "Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah:

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilmana bapak dalam kenyatannya tidak dapat memenuhi kewajibannya tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas istri.

Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 ayah tetap bertanggung jawab untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 ( dua puluh

satu) tahun. Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, harus memelihara anak dengan sebaik-baiknya.86

dengan mengajukan gugatan ke pengadilan

Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi memberi nafkah lahir seperti biaya hidup dan biaya pendidikan saja, tetapi juga

meliputi nafkah bathin seperti kasih sayang.

Apabila terjadi kealfaan ataupun kelalaian oleh orang tuanya dengan sengaja

atau tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua maka dia dapat dituntut 87

85 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta :

Kencana, 2008), hal. 299

86 www.kamusbasahaindonesia.org,Pe«gert/aw Pemeliharaan adalah secara proses perbuatan

memelihara, penjagaan dan perawatan. Pengertian asuh adalah menjaga, merawat dan mendidik anak kecil.

87

Hilman Hadi Kusuma,Op.Cit, hal.14

. Bila orang tuanya tidak melakukan tanggung jawab perkawinan putus karena perceraian menimbulkan tanggung jawab

(13)

1. Kedua orang tua bertanggung jawab memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-baiknya, sampai saat anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Selanjutnya

tanggung jawab itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus. Dalam praktik, apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena atas

putusan pengadilan, maka atas permohonan dari pihak suami atau istri, pengadilan akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada suami atau istri yang benar-benar beritikad baik, dipelihara dan dididik secara baik.

2. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut

dari kekuasaannya.

3. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan.

4. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang yang dimiliki oleh anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun belum yang

belum pernah kawin sebelumnya, kecuali kalau untuk kepentingan anak tersebut yang menghendaki.88

5. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya

terhadap seorang anak atau lebih, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandungnya yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang.89

88 Lihat Pasal 48 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

89 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang, Penerbit Universitas Diponegoro,

(14)

Tanggung jawab orang tua dapat dicabut dengan alasan orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Meskipun tetap

bertanggung jawab member! biaya pemeliharaan anak mereka.90

Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap diatas segala-galanya. Artinya semangat UUP No. 1 Tahun 1974 sebenarnya sangat berpihak

kepada kepentingan dan masa depan anak. Hanya saja UUP No.l Tahun 1974 hanya menyentuh aspek tanggung jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan

kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan non materialnya.

Apabila No. 1-5 diatas diperhatikan secara seksama, maka sebenarnya No. 1-5 tersebut merupakan

tanggung jawab orang tua kepada anaknya.

91

Pengaturan tanggung jawab terhadap anak berdasarkan KHI sebagai hukum

materil bagi lingkungan peradilan agama maupun Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, belum memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan hukum dalam

menetapkan pemeliharaan anak ketika kedua orang tuanya bercerai. Dalam KHI setidaknya ada dua pasal yang menentukan pemeliharaan anak yaitu Pasal 105 dan

156. Pasal 105 KHI menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan : 1. Aspek pengasuhan material dan nonmaterial inilah yang akan dipertegas oleh KHI seperti dibawah ini.

c. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

90 Ibid

91

(15)

Ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pemeliharaan anak ditetapkan kepada ibunya.

2. Ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih dipelihara oleh ayah atau ibunya.

Adapun Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, mengatur tentang pemeliharaan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak memelihara anak, antara lain :

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibudan ayah telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh : 1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.

2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilik untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatanjasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Undang - Undang Peradilan Agama Nomor 50 tahun 2009 tidak memberikan perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pemeliharaan anak. Nampaknya permasalahan pemeliharaan anak seperti sangat sederhana dan akan

(16)

tetapi pada kenyataannya timbul berbagai macam permasalahan diluar jangkauan pasal-pasal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan pemeliharaan anak

terhadap salah satu dari kedua orang tuanya bukan merupakan penetapan yang bersifat permanen, akan tetapi sewaktu-waktu. Hak pengasuhan anak tersebut dapat

dialihkan kepada pihak lain melalui pengajuan gugatan pencabutan kekuasaan kepengadilan. Meskipun orang tua telah dicabut kekuasaannya terhadap anaknya, mereka masih tetap bertanggung jawab untuk memberikan biaya pemeliharaan

kepada anak tersebut.

Tidak berbeda dengan UU P No. 1 Tahun 1974 Pasal 104 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam disebutkan dengan jelas bahwa :

"Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya, apabila telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang

berkewajiban memberi nafkah kepada ayah atau walinya".

Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal

terjadinya perceraian bahwa:

"Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dengan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya."

(17)

dan merawatnya. Bapak bertanggung jawab atas seniua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat

memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.

Anak merupakan generasi penerus, sehingga pertumbuhannya harus tetap diperhatikan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat baik jasmani maupun rohani. Kondisi yang sangat membahayakan bagi kelangsungan pendidikan

dan kehidupan seorang anak dapat saja terjadi apabila salah satu atau bahkan kedua orang tuanya sudah tidak memperdulikan anak-anaknya, walaupun mereka menyadari

sepenuhnya bahwa anak merupakan amanat dari Allah SWT yang akan dipertanggung jawabkan dikemudian hari.92

Selanjutnya dalam kaitannya untuk menentukan bahwa kewajiban pengasuhan

material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu, kita malah membagi tugas-tugas yang harus diemban kedua orang tua kendatipun Sesuai dengan uraian di atas dapat diketahui bahwa kedua orang tua

mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk mengasuh dan mendidik anaknya sampai dewasa. Perlindungan hukum dalam hak asasi manusia merupakan suatu hak

yang universal, tanpa batas apapun baik agama, suku, ras maupun lainnya. Sehingga tidak dapat di ingkari bahwa martabat manusia dihadapan Allah SWT adalah sama.

92

(18)

mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz ( belum berumur 12 tahun ) tetap diasuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya.93

ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharaannya.

Kompilasi Hukum Islam juga menentukan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 ( dua belas ) tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya,

sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, maka anak dapat memilih antara 94

1. Alasan-alasan terjadinya perceraian

B. Tangung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Pasca Perceraian Menurut Hukum Islam

Putusnya ikatan perkawinan menurut hukum islam dinamakan "Syiqaq" (konflik antar suami istri yang terus menerus tidak dapat didamaikan lagi), bisa saja terjadi disebabkan oleh faktor perilaku dari salah satu pihak sebagaimana disebutkan

sebelumnya. Bila salah satu pihak pasangan suami-istri itu bersifat buruk, atau salah satunya bertindak kejam terhadap yang lainnya, atau seperti yang kadangkala terjadi,

mereka tidak dapat hidup nikun sebagai suatu keluarga yang utuh. Maka dalam kasus ini "Syiqaq" lebih memungkinkan terjadi. Walaupun demikian, peristiwa ini akan tetap tergantung kepada kedua belah pihak, apakah mereka akan memutuskan

perkawinan atau akan bercerai. Perceraian pasti akan selalu terjadi bilamana salah

93 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Op.Cit, hal. 303 94

(19)

satu pihak merasa tidak mungkin untuk mempertahankan ikatan perkawinan itu dan terpaksa harus memutuskannya.95

Adapun pula kemungkinan timbulnya kasus perceraian itu karena suami dipenjarakan seumur hidup, atau dalam jangka waktu yang lama, atau hilang dan

tidak dapat diperoleh kabar apapun tentangnya, atau dipasung seumur hidup, sehingga tak mampu memberi nafkah kepada istrinya. Dalam keadaan demikian dapat terjadi "syiqaq" kalau si istri menginginkan perceraian, tetapi kalau tidak maka ikatan

perkawinan itu tetap berlangsung. Sebaliknya, kalau dengan cara yang serupa itu, suami merasa tersinggung dan sakit hati, maka ia berhak untuk mengawini istri yang

lain.96

Apabila salah seorang dari mereka murtad, keluar dari Islam masuk agama lain, maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan perceraian. Tetapi

berdasarkan pendapat para ulama lain, perkawinan itu secara otomatis batal meskipun tanpa proses perkawinan. Sedangkan jika suatu pasangan non muslim, lalu memeluk

Islam, maka perkawinan dapat diteruskan. Namun kalau hanya salah seorang dari mereka yang menerima Islam, perkawinannya dapat dipisahkan walaupun tanpa proses perceraian. Kemudian andai kata bekas suaminya itu ikut memeluk agama

Islam selama masa iddahnya itu, maka suamilah yang berhak pertama kali menikahinya. Jikalau suami memeluk Islam, sedangkan wanitanya seorang yahudi

atau nasrani, maka suaminya boleh mengizinkan istrinya untuk tetap menganut

95 A. Rahman, Penjelasan Lingkup Hukum-Hukum Allah (Syariah), (Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 2002), hal. 225 96 Ibid, hal. 225-226

96

(20)

agamanya. Tetapi jika suami Islam sedangkan istrinya itu adalah tukang sihir, lalu mereka dapat terus berdampingan suami-istri, namun jika istrinya tidak menerima

Islam maka segera saja perkawinan mereka itu sebaiknya bubar.97

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi yang sulit untuk disembuhkan.

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai dimaksud dalam Pasal

39 ayat (2) UUP No.l Tahun 1974 jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP No.l Tahun 1974, yaitu :

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami-istri.

e. Salah satu pernah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lainnya.

f. Antara suami-istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian menurut Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlansgung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

97

(21)

f. Suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak.

Pasal 38 UUP No.l Tahun 1974 juga menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena:

a. Kematian b. Perceraian

c. Keputusan Pengadilan

Adapun menurut Hukum Islam, ada beberapa sebab-sebab putusnya hukum perkawinan, yaitu 98

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan yang menjadi salah satu sebab

putusnya perkawinan. 1. Talak

99

a. Talak raj’i adalah talak dimana suami boleh merujuk isterinya pada waktu iddah.

Macam - macam talak yaitu :

b. Talak ba 'in adalah talak satu atau talak dua yang disertai uang dari pihak isteri.

c. Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap

isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri alam waktu suci tersebut.

d. Talak bid'i adalah talak yang dilarang yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu

isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

98 Zuhri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta : Bina Cipta, 1978), hal. 73

99 Soemijati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta :

(22)

2. Khulu'

Khulu’ adalah perceraian atas inisiatif istri agar suami mau menceraikan

dengan baik-baik dan mendapat ganti rugi atau tebusan (iwald)

3. Syiqaq

Syiqaq berarti konflik antar suami istri yang terus menerus tidak dapat

didamaikan lagi.

4. Fasakh

Fasakh artinya putusnya perkawinan atas keputusan Hakim pengadilan agama

karena dinilai perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat atau rukun-rukun baik di

sengaja maupun tidak sengaja.

Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di Pengadilan adalah:

a. Suami sakit gila

b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan

kelamin

d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada istrinya e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.

f. Suami pergi tanpa diketahui tempat tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.100

5. Taklik Talak

Talik talak yaitu suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin

terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.

100

(23)

6. Ila'

Ila’ berarti suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya, waktunya tidak

ditentukan dan selama itu istri tidak ditalak maupun diceraikan.

7. Zhihar

Zhihar adalah seseorang suami bersumpah, bahwa ia tidak akan mencampuri

istrinya lagi karena istrinya sudah diibaratkan sama dengan ibunya.

8. Li'an

Arti li'an adalah laknat yaitu sumpah yang didalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta.

9. Kematian

Putusnya perkawinan disebabkan karena kematian suami-istri. Dengan

demikian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang

meninggal.101

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum yang sudah tentu

menimbulkan akibat hukum, dalam perkawinan akibat hukum dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) masalah penting, yaitu :

2. Akibat Hukum Perceraian

102

Adapun akibat hukum yang timbul terhadap hubungan suami-istri adalah

putusnya ikatan perkawinan antar suami-istri. Jadi di antara suami dan istri tidak ada a. Masalah Suami-Istri

101 Ibid hal. 105-120

102 Martiman Projoharmidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,

(24)

lagi hubungan suami-istri. Meskipun ikatan perkawinan sebagai suami-istri putus dan tidak ada lagi hubungan perkawinan, namun ternyata apabila istri tidak mampu

membiayai hidupnya, maka oleh undang-undang perkawinan di beri wewenang kepada pengadilan agar bekas suami untuk member! biaya hidup untunknya. Hal ini

dimaksudkan agar bekas istri yang diceraikan tidak terlantar hidupnya dan terjerumus ke lembah kehinaan.

Apabila terjadinya perceraian maka hukum suami-istri menjadi putus, baik itu

cerai mati atau cerai hidup. Dalam hal perkawinan putus karena talak ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan itu merupakan suatu kewajiban baginya,

sebagaimana diatur dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut : "Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

1. Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.

2. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba 'in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al

dukhul.

4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun."

b. Harta bersama

Perceraian yang timbul antara suami dan istri melahirkan akibat, diantaranya adalah pembagian harta bersama Harta bersama adalah harta suami istri yang

(25)

Selanjutnya mengenai harta bersama dalam hal putusnya perkawinan, Iman Sudiyat menjelaskan bahwa "Harta yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi

harta bersama suami-istri, sehingga merupakan harta kekayaan yang bila perlu (khususnya dalam hal putusnya perkawinan) suami dan istri dapat menuntut haknya

atas (masing-asing untuk sebagian)".103

Menurut Hilman Hadikusuma, "bahwa mengenai harta bersama suami atau

istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan Sehubungan dengan itu pula yang terdapat Pasal 35 ayat (1) UUP No.l Tahun 1974, dinyatakan bahwa "Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi

harta bersama". Dalam Pasal 35 tersebut tidak ditentukan apakah harta itu diperoleh dari suami, istri atau keduanya, dan tidak ditentukan pula mengenai pembagian harta

bersama.

Perihal dengan berapa banyak yang diperoleh oleh suami atau selama dalam ikatan perkawinan adalah menjadi milik bersama dari suami-istri tersebut. Hal ini

menunjukkan adanya keseimbangan kedudukan antara suami dan istri pada harta bersama. Maka dalam penguasaannya harta bersama tersebut dikuasai oleh keduanya.

Apabila salah satu pihak suami maupun istri akan menggunakan harta bersama tersebut harus mendapat persetujuan dari kedua belah pihak.

103

(26)

masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya".104

(1) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenai harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami. Yang ada harta milik masing-masing suami dan istri. Harta adalah hak mereka masing-masing.

Selanjutnya pada Pasal 37 UUP No.l Tahun 1974 menyebutkan "Bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya

masing-masing." Dalam penjelasan pasal tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian harta perkawinan karena perceraian dapat diselesaikan menurut Hukum Agama, Hukum

Adat dan Hukum-hukum lainnya.

Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 387K/Sip/1958 tgl. 11-2-1959 dan No. 392K/Sip/1969 tgl. 30-8-1969 :

"Apabila terjadi perceraian, maka di dalam penyelesaian pembagian harta bersama akibat perceraian adalah sebagai berikut:

(2) Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini, harta guna kaya), jika terjadi perceraian, bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh.

104 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung Citra Aditya Bakti, 1995), hal.

(27)

c. Akibat Terhadap Anak

Keluarga yang pecah adalah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu

dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia

pergi.105

1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya sibuk mengurusi

permasalahan masing-masing. Hal ini menyebabkan :

2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan

harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.

3. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan

untuk hidup susila. Anak- anak tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik.

Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan. Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatakan bahwa :

Sebagai akibat bentuk pengabdian tersebut, anak menjadi bingung, resah,

risau, malu, sedh, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin

sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang criminal, lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan criminal. Pelanggaran kesetiaan

105

(28)

loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen

pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor

penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotic, tingkah laku asusila, dan kebiasaan delinkuen.106

"Semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan bentuk ketidak seimbangan kehidupan psikis anak. Disamping itu juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki". "Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal".107

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh :

Menurut Hukum Islam setelah terjadinya suatu perceraian, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu, menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 156, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :

1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu 2. Ayah

3. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah pula.

106 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta : Grafindo Persada, 2002),

hal. 17

107

(29)

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang tidak turut padanya.108

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen adalah suatu seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengawasan dari pada sumber daya manusia untuk mencapai tujuan yang sudah

Kemudian memiliki semangat dan kepedulian yang tinggi dari masyarakat terhadap tanggap bencana; (5) Ada tempat relokasi untuk hunian tetap yang telah disediakan oleh pemerintah

spiritual growth facilitation (SGF) terhadap perilaku perawat dan keterbatasan penelitian. Pada tahap reconnaissance peneliti menemukan beberapa permasalah yang muncul

BEASISWA STUDI DIREKTORAT PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM.

Hasil dari penelitian implementasi penerimaan siswsa baru tingkat sekolah dasar menggunakan kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia no 17

Bagi user biasa, nama login dapat digunakan untuk memasuki sebuah shell yang disiapkan sistem melalui proses autentifikasi password dan melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam

Sehingga peneliti menyarankan tetap untuk diadakannya pelatihan bagi tenaga kerja non edukatif secara rutin untuk meningkatkan produktifitas kerja dan untuk

Hasil dari penelitian ini adalah strategi strategi yang akan diterapkan berdasarkan agen risiko terbesar untuk meminimasi risiko proses pengadaan material...