• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan No.l Tahun 1974 (UUP No.l Tahun 1974), menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Didalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lain/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting.

Selanjutnya R. Sardjono mengatakan, bahwa "ikatan lahir" berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan itu secara formil merupakan suami-istri baik bagi dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi suami-istri dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Pengertian ikatan bathin dalam perkawinan berarti bahwa bathin suami-istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia dan kekal.1

1

R. Sardjono, Berbagai-bagai Masalah hukum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan. (Paper). Di edarkan dikalangan mahasiswa Fakultas Hukum dan Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Trisakti Jakarta, hal. 6

(2)

Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak perdataan biasa, akan tetapi mempunyai nilai ibadah2

Ayat tersebut mengungkapkan tujuan dasar setiap pembentukan rumah tangga, yaitu disamping untuk mendapat keturunan yang saleh, adalah untuk dapat hidup tentram, adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang. Ikatan

. Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai pertanggungjawaban secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan. Dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rum ayat 21 allah berfirman:

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu

istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram

kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada

yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ".

2

(3)

pertama pembentukan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang dilakukan waktu akad nikah. Kalimat ijab kabul sangat mudah untuk diucapkan oleh calon suami dan wall calon istri. Ijab kabul seperti ini oleh Rasulullah disebut sebagai

Khafifatani fi al-Lisan Saqilatani fi al-Mizan (ringan untuk diciptakan oleh lidah, tetapi berat pada timbangan). Artinya, bahwa ucapan ijab dan kabul sungguh gampang diucapkan, namun berat dalam pelaksanaanya, karena memerlukan perhatian yang serius dan terus-menerus.3

Khusus di dalam masalah hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang diatur di dalam UUP No.l Tahun 1974 mendapat perhatian dari Hazairin dalam tinjauannya tentang hal tersebut istilah belum dewasa dijumpai dalam Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (1). Menurut Pasal 45 kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya berlaku sampai anak-anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri. Sebaliknya menurut Pasal 46, maka jika anak telah "dewasa" wajib

Sesuai UUP No.l Tahun 1974 adanya mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal diantaranya; Pertama mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UUP No.l Tahun 1974 ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

3

(4)

memelihara menurut kekuatannya orang tuannya apabila mereka memerlukan bantuannya.4

Secara normatif, orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif tersebut bersifat hukum memaksa (dwingendrechf) yaitu tidak boleh kewajiban orang tua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk itu.

Kehidupan masyarakat Indonesia, hubungan hukum antara orang tua dengan anak terlihat secara jelas dalam "alimentatieplicht" yaitu suatu kewajiban orang tua terhadap anak untuk memberikan penghidupannya sampai anak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah sendiri, misalnya sudah bekerja, bahkan adakalanya anak di biayai oleh orang tuanya walaupun sudah berumah tangga misalnya untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Hal ini tergantung kepada kondisi orang tua masing-masing anak. Sebaliknya, adakalanya seorang anak sudah dibebani kewajiban untuk mencari nafkah hidupnya sejak tamat Sekolah Dasar (SD) dan bahkan membantu orang tuanya untuk mengurangi beban kehidupan mereka.

5

4

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: PT. Melton Putra, 1991), Cetakan Pertama, hal. 188-189

5

(5)

UUP No.l Tahun 1974 telah meletakkan kewajiban orang tua terhadap anak adalah :6

1. Kedua orang tua wajib memelihara anak; 2. Kedua orang tua wajib mendidik anak; 3. Kedua orang tua wajib memberi nafkah;

4. Kedua orang tua wajib menyediakan tempat tinggal;

5. Kedua orang tua mewakili kepentingan hukum anak sampai anak tersebut dewasa. Kewajiban orang tua tersebut akan berakhir jika anak tersebut berumah tangga, atau anak sudah hidup mandiri.

Sebagai suatu aspek agama, perkawinan merupakan sesuatu yang suci, sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan oleh karena itu, kalau seorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja sebagai tindakan permainan, agama Islam tidak memperkenankannya karena itu pula perkawinan mut'ah yang sifat nya sementara hanya untuk bersenang senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam masyarakat Arab Jahilliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi Muhammad SAW.7

Tujuan perkawinan menurat Pasal 1 UUP No.l Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian tidak setiap perkawinan akan mencapai tujuan yang baik. Kekekalan dan kebahagiaan yang diinginkan kadang kala tidak berlangsung lama dalam arti perkawinan tersebut tidak berujung pada kebahagiaan

6

Ibid. 7

(6)

dan tidak menutup kemungkinan akan terjadinya perceraian walaupun semua calon suami istri tersebut telah penuh kehati-hatian dalam menjatuhkan pilihannya.

Penelitian ini penting dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui akibat putusnya perkawinan karena perceraian sebagaimana tujuan dari suatu perkawinan yang telah disebutkan diatas. Prinsip perkawinan sendiri adalah untuk membentuk suatu keluarga yang tentram damai dan kekal untuk selamanya namun perjalanan kehidupan tidak selalu sesuai dengan keinginan manusia. Perceraian merupakan realitas yang tidak dapat dihindari apabila kedua belah pihak telah mencoba untuk mencari penyelesaian dengan cara damai yakni dengan jalan musyawarah, suami-istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil kepetusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin disusun kembali. Walaupun dalam ajaran Islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. Untuk mencapai perdamaian antara suami-istri bilamana tidak dapat diselesaikan oleh mereka, maka Islam mengajarkan agar diselesaikan melalui hakam, yaitu dengan mengutus satu orang yang dipercaya dari pihak laki-laki dan satu orang dari pihak perempuan guna berunding sejauh mungkin untuk didamaikan.8

"Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi tauflk

Dalam Al-Qur'an Surah An-Nisa ayat 35 Allah berfirman:

8

(7)

kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenar.

Apabila masih belum terdapat kesepakatan dan merasa tidak dapat melanjutkan keutuhan keluarga maka barulah kedua belah pihak dapat membawa permasalahan ini ke pengadilan untuk dicari jalan keluar yang terbaik.

Pengadilan merupakan upaya terakhir untuk mempersatukan kembali suami dan istri yang berniat bercerai, dengan jalan membuka lagi pintu perdamaian dengan cara musyawarah memakai penengah yakni hakim, untuk orang yang beragama Islam akan membawa permasalahan ini kepada pengadilan agama sementara untuk agama lainnya merujuk kepada Pengadilan Negeri sesuai tempat tinggal masing-masing.

Pengadilan agama9 merupakan salah satu wujud dari kekuasaan kehakiman. Sebagai sebuah lembaga peradilan yang untuk (dapat mengeksekusi putusannya sendiri) ,10 pengadilan agama menyelanggarakan penegakan hukum dan keadilan dalam perkara tertentu bagi orang yang beragama Islam berdasarkan hukum Islam. Pengadilan Agama di Indonesia, khususnya Sumatera Utara salah satu tugas dan kewenangannya11

9

Dasar Hukum Pengadilan Agama adalah UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 jo UU No.50 Tahun 2009

10

A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama ( Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003 ) hal. 8

11

Lihat Pasal 49 ayat (1)UU No.7 Tahun 1989 yang berbunyi tugas dan wewenang Pengadilan Agama : Memeriksa, Memutus, dan Menyelesaikan perkara-perkara orang-orang yang beragama islam dibidang : a. perkawinan, b. Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan Berdasarkan Hukum Islam, c. Wakaf dan Shadaqah

(8)

(munakahaf) dengan segala persoalan yang berada disekitarnya mendapatkan perhatiannya yang istimewa12

Perceraian dalam Islam merupakan sebuah tindakan hukum yang dibenarkan oleh agama dalam keadaan darurat, sebagaimana sabda Rasullullah SAW bahwa perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalaq

.

13

. Dalam kalimat lain disebutkan :"Tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah, tetapi dibencinya selain daripada Thalaq" (HR. Abu Dawud ra)14

Mengenai perceraian yang terjadi di kehidupan masyarakat, merupakan momok yang ditakuti karena dampaknya bukan saja bagi suami istri melainkan lebih luas kepada anak - anak dan keluarga kedua belah pihak. Walaupun agama melarang dan dampaknya tidak baik dalam lingkungan keluarga atau social tetapi dalam praktik perkawinan selalu saja terjadi perceraian yang seolah-olah sulit untuk dihindarkan. Hal ini dapat dilihat dari berita-berita media masa dan semakin banyaknya perkara perceraian yang diselesaikan oleh pengadilan.

.

15

12

Mustafa Kamal dkk, Fikih Mam, (Yogyakarta, Citra Karsa Mandiri, 2002), hal. 243 13

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 8( Bandung : Alma Arif, 1997), hal. 12 14

Ibid, hal. 13 15

Tan Kamello dan Syarifah lisa Andriati, Op.Cit hal. 79-80

(9)

Berdasarkan Pasal 39 UUP No.l Tahun 1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian juga harus dengan cukup alasan bahwa sudah tidak terdapat lagi kecocokan dan persamaan tujuan dalam membina rumah tangga, artinya sudah tidak dapat hidup rukun kembali sebagai sepasang suami istri.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Medan ada sebanyak 535 perkara yang diterima dalam perkara perceraian melalui cerai talak dan diputus sebanyak 495, sedangkan melalui cerai gugat ada 1379 perkara yang diterima dan diputus sebanyak 1315 selama Tahun 2012. Dalam hal ini dapat diuraikan melalui table dibawah ini16

Cerai Talak :

Tabel 1.

Perkara Gugatan Perceraian yang Diterima dan Diputus di Pengadilan Agama Medan Tahun2012

Cerai Gugat

NO Bulan Diterima Diputus NO Bulan Diterima Diputus

1 Januari 56 32 1 Januari 129 89

2 Februari 53 41 2 Februari 131 114

3 Maret 45 51 3 Maret 102 114

4 April 41 38 4 April 118 108

5 Mei 38 46 5 Mei 131 127

16

(10)

6 Juni 47 33 6 Juni 115 122

7 Mi 36 53 7 Juli 94 111

8 Agustus 39 22 8 Agustus 67 82

9 September 45 36 9 September 137 77

10 Oktober 43 53 10 Oktober 137 144

11 Nopember 55 53 11 Nopember 109 113

12 Desember 37 37 12 Desember 109 114

Jumlah 535 495 Jumlah 1.379 1.315

Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa tingkat perceraian di Pengadilan Agama Medan pada Tahun 2012 cukup tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2011 tercatat hanya ada 435 perkara yang diterima sedangkan yang diputus sebanyak 424 perkara perceraian yang terjadi melalui cerai talak dan sebanyak 1.218 perkara yang diterima dan perkara yang di putus sebanyak 1.193 melalui cerai gugat17

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan memberi keputusannya.

.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, maka Pasal 41 UUP No.l Tahun 1974 menyebutkan bahwa:

17

(11)

b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan suatukewajiban bagi bekas istri.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hukum materiil bagi lingkungan Peradilan Agama maupun Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, belum memberikan jawaban secara limitatif terhadap beberapa permasalahan hukum dalam menetapkan pemeliharaan anak ketika kedua orang tuanya bercerai. Dalam KHI setidaknya ada 2 (dua) Pasal yang menentukan pemeliharaan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Pasal 105 KHI, menentukan tentang pengasuhan anak pada 2(dua) keadaan.

1. Ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pemeliharaan anak ditetapkan kepada ibunya.

(12)

Adapun Pasal 156 KHI, mengatur tentang pemeliharaan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak memelihara anak, antara lain18

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

:

a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu, b. ayah,

c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,

e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menj amin keselamatan j asmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah

pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan naflcah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan danpendidikan anak-anak, yang tidak turut padanya.

Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 50 Tahun 2009 tidak memberikan perubahan yang berarti mengenai penyelesaian permasalahan pemeliharaan anak. Nampaknya permasalahan pemeliharaan anak seperti sangat sederhana dan akan cukup diselesaikan dengan Pasal 105 dan Pasal 156 KHI, akan tetapi pada

18

(13)

kenyataannya timbul berbagai macam permasalahan diluar jangkauan pasal-pasal tersebut.

Ketentuan yang terdapat pada Pasal 49 UUP No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan tentang adanya kemungkinan orang tua (ayah dan ibu) atau salah satunya dicabut kekuasaannya untuk waktu tertentu dengan alasan suami sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau suami berkelakuan buruk sekali.

Kemudian ketika mengajukan permohonan perceraian, para pihak dapat mengajukan permohonan putusan pembagian harta dan pemeliharaan anak bersama dengan permohonan cerai, atau setelah ikrar Thalaq diucapkan (Pasal 66 ayat 5 Undang - Undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989)19

19

A. Mukti Arto, Op.Cit, hal.57

. Terhadap permohonan ini Majelis Hakim akan membuka sidang untuk memeriksa permohonan tersebut layak dikabulkan atau tidak. Prosedur Pengajuan Permohonan atau Gugatan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:

1. Pengajuan perkara di Kepaniteraan 2. Pembayaran panjar biaya perkara 3. Pendaftaran perkara

(14)

Permohonan yang berkaitan dengan biaya pemeliharaan anak yang dibebankan kepada ayah, Majelis Hakim akan mengabulkan permohonan tersebut baik sebagian atau seluruhnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan nilai keadilan yang berkembang di dalam masyarakat.

Mengenai pertanggungjawaban ayah terhadap biaya pemeliharaan anak tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Legislatif dan Eksekutif yang tertuang dalam UUP No.l Tahun 1974 maupun KHI kedua peraturan tersebut telah mencantumkan beberapa ketentuan tentang kewajiban orangtua (khususnya anak) terhadap anak-anaknya. Pasal 45 UUPNo.l Tahun 1974 menyatakan bahwa orangtua wajib memelihara dan mendidik anak sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban ini akan terus berlaku meskipun perkawinan kedua orangtuanya putus.

Selanjutnya seorang ibu maupun ayah mempunyai hak yang sama untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Hukum Islam bahwa yang bertanggung jawab berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu hanya bersifat membantu dimana ibu hanya berkewajiban menyusui dan merawatnya. Seorang ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.

Sesuai dasarnya Hadhanah (pemeliharaan anak) terhadap anak yang belum

(15)

bunyi Pasal 105 ayat (1) KHI, kecuali apabila terbukti bahwa ibu telah murtad dan memeluk agama selain agama Islam, maka gugurlah hak ibu untuk memelihara anak tersebut. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 210 IK/AG/1996 yang mengandung abstraksi hukum bahwa agama merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan

(hadhanah) terhadap anaknya yang belum mumayyiz20

Bagi orang tua yang diberi hak untuk memelihara anak, hams memelihara anak dengan sebaik-baiknya

. Sehingga pengasuh anak tersebut ditetapkan kepada ayah dengan pertimbangan untuk mempertahankan akidah si anak.

21

a) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 ( dua puluh satu) tahun; sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

. Pemeliharaan anak bukan hanya meliputi member! nafkah lahir saja, tetapi juga meliputi nafkah bathin seperti pendidikan formal dan pendidikan informal. Dalam hal mi siapapun yang melakukan pemeliharaan anak, menurut Pasal 41 UUP No.l Tahun 1974 ayah tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan dan nafkah anak sampai anak berumur 21 ( dua puluh satu ) tahun.

Mengenai pemeliharaan anak Kompilasi Hukum Islam memberikan pengaturan sebagaimana yang terdapat dalam BAB XIV Pasal 98 yaitu :

20

"Badilag", artikel, di dalam http : //www.badilag.net/data/artikel/varia.pdf, diakses tanggal 20 Februari 2013

21

(16)

b) Orangtuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu, Oleh karena itu bila terjadi kealpaan ataupun kelalaian oleh orang tuanya dengan sengaja atau tidak melakukan tanggung jawabnya sebagai orang tua maka dia dapatlah dituntut dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan22

Apabila tergugat ataupun termohon tidak mau menjalankan isi putusan tersebut dengan sukarela maka dapat diajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama. Untuk dapat mencegah terjadinya hambatan eksekusi dilapangan, maka para pihak dalam hal mi Ketua Pengadilan Agama dan saksi di tempat eksekusi tetap mempertahankan pendekatan persuasif kepada pihak tergugat atau tereksekusi agar berarahkan damai.

. Bagi salah satu orang tua yang melalaikan kewajibannya tersebut menurut Pasal 49 UUP No.l Tahun 1974 dapat dicabut kekuasaannya atas permintaan orang tua yang lain. Sebagai contoh, upaya hukum akan dilakukan seorang ibu sebagai cara untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum agar anak mendapatkan hak yang telah dilalaikan ayahnya. Upaya hukum adalah suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

22

(17)

Satu persoalan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah benar terjadi perceraian yang telah berkekuatan hukum tetap, akan tetapi terjadi suatu penyimpangan bahwa suami tidak melaksanakan putusan pengadilan tersebut dalam hal biaya pemeliharaan dan menafkahi anaknya. Dalam hal ini terlihat secara signifikan mengenai kurangnya pertanggung jawaban orang tua terhadap anaknya pasca putusan perceraian yang terjadi diantara keduanya. Berdasarkan dari berbagai gugatan yang pernah terjadi tentang nafkah dan pemeliharaan anak di Pengadilan Agama Medan melalui Putusan perkara No.l91/Pdt.G/2012/PA Mdn, dan juga berdasarkan putusan No.206/Pdt.G/2012/PA Mdn, juga terhadap putusan No. 207/Pdt.G/2012/PA Mdn, dan putusan No.220/Pdt.G/2012/PA Mdn, serta putusan No.230/Pdt.G/2012/ Mdn. Beberapa Nomor perkara diatas merupakan bukti bahwa banyaknya perceraian yang mengakibatkan hak anak sebagai tanggung jawab orang tua lalai terhadap nafkah anaknya kemudian beberapa perkara yang disebutkan diatas sebagai putusan Pengadilan Agama Medan merupakan suatu missal atau contoh dari beberapa perkara perceraian yang mengakibatkan tanggung jawab orang tua laki-laki (ayah) untuk menafkahi anak pasca putusan perceraian.

(18)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tanggung jawab orang tua yang telah bercerai terhadap nafkah anak bagi WNI yang beragama Islam ?

2. Mengapa ada penyimpangan terhadap putusan Hakim yang mewajibkan orang tua laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian ?

3. Apakah hukum in konkrito yang terdapat dalam putusan pengadilan agama sudah sesuai dengan norma hukum yang diatur dalam Undang-Undang ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak bagi WNI yang beragama Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis adanya penyimpangan terhadap putusan Hakim yang mewajibkan orang tua laki-laki (ayah) terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian.

(19)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademis bidang hukum, khususnya tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak setelah perceraian. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan menambah wawasan ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat umum.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi peradilan yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, yaitu para hakim peradilan agama khususnya di kota Medan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontsribusi, referensi atau bahkan bacaan tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum di masyarakat luas.

E. Keaslian Penelitian

(20)

1. Nama Mahasiswi Tessy, Nim : 097011100, judul Tesis : Tanggung jawab hukum suami atau istri dalam perceraian terhadap anak (Studi kasus putusan Nomor 209/Pdt.G/2007/PN.Mdn. Dengan permasalahan sebagai berikut:

1) Apa yang merupakan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menentukan tanggung jawab pengasuhan anak setelah perceraian ?

2) Bagaimana akibat hukum dari tidak terlaksananya hak dan kewajiban terhadap anaknya setelah perceraian kedua orang tuanya ?

3) Bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh suami atau istri apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap anak sesuai putusan pengadilan ?

2. Nama Mahasiswi Ernawati Sitorus, judul Tesis : Perlindungan hukum terhadap anak di bawah umur akibat putusnya perkawinan karena perceraian (Studi pada masyarakat Batak Toba Kristen di Medan).

3. Nama Mahasiswa Junjungan Moses, judul Tesis : Perceraian dan akibat hukumnya pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen Protestan (Studi di desa Martoba ( biustolping ) kecamatan Simanindo kabupaten Samosir).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

(21)

dan peristiwa hukum yang terjadi. Kaelan M.S. mengatakan landasan teori pada suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian23. Kerangka teoretis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut :24

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi;

c. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel25

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan

.

23

Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta : Paradigma, 2005), hal. 239

24

Soerjono Soekamto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia), hal. 121

25

(22)

menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya, teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan dengan benar .26

Hal ini sesuai dengan pendapat Peter M. Marzuki yang menyatakan bahwa penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, ataupun konsep baru sebagai persepsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi27

OS oleh subyek hukum.

.

Teori hukum yang digunakan dalam menjawab penelitian ini sebagai pisau analisis adalah teori liability atau teori pertanggungjawaban dan sebagai teori pendukung adalah teori Maqashid Al-Syari'ah, teori keadilan, serta teori perlindungan hukum dalam penelitian ini. Sehingga nantinya dapat memberikan pedoman pembahasan pada uraian berikutnya.

Teori pertangungjawaban ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum yaitu liability dan responsibility. Liability

merupakan istilah hukum yang luas yang merujuk hampir semua karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang. Dalam pengertian Praktis istilah liability menunjukan pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan

28

26

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994 ), hal .80 27

(23)

Menurut teori ini tanggung jawab orang tua setelah bercerai terhadap nafkah anak , yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 huruf (b) UUP No.l Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa:

"Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataanya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut."29

Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah anak tersebut lepas dari tanggung jawab orang tuanya.30

Selanjutnya M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasa Hukum Perkawinan Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah :31

a. Tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua.

28

Ridwan H.R, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hal.335-337

29

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 30

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : Zahir Trading, 1975), hal.205-206.

31

(24)

b. Tanggung jawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah tersebut bersifat continuous (terus menerus) sampai anak itu mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.

Beranjak dari ayat-ayat Al-Qur'an seperti yang terdapat didalam Surat Luqman 12-19, setidaknya ada delapan nilai-nilai pendidikan yang harus di ajarkan orang tua kepada anaknya seperti berikut:

1.Agar senantiasa mensyukuri nikmat Allah SWT 2.Tidak mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain

3.Berbuat baik kepada orang tua, sebagai bukti kesyukuran anak 4.Mempergauli orang tua secara baik-baik (ma 'ruf)

5.Setiap perbuatan betapapun kecilnya akan mendapatkan balasan dari Allah

6.Menaati perintah Allah SWT, seperti sholat, amar ma'ruf dan. nahi munkar , serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan

7.Tidak sombong dan angkuh

8.Sederhana dalam bersikap dan bertutur kata.32

Menurut teori maqasyid al-syari'ah sebagai pendukung teori pertanggungjawaban, teori maqasid al-syari'ah terdiri dari kata, maqasyid yang TO merupakan bentuk jamak dari kata maqashad yang berarti tujuan 33, dan kata al-syari'ah yang sering dipahami dalam arti hukum islam. Jadi istilah Maqasyid al-syari'ah berarti tujuan-tujuan syari'at.34

Dalam ilmu ushul fiqih, bahasan maqashid al-syari'ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam

32

Ahmad Rofiq, Op.cit, hal.240-244 33

Al-Fayumi, Al-Mishbah al-Munirr, (Kairo : Muassasah al-Mukhtar, 2008), hal. 374 34

(25)

mensyari'atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menetapkan hukum Islam yang ditetapkan melalui ijtihad. 35

Maqashid al-Syari'ah di kalangan ulania ushulfiqh disebut juga dengan asrar al-Syari'ah36

Imam asy-Syatibi, ahli Ushul Fiqh mazhab Maliki, menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil induksi ulama Ushul Fiqh terhadap berbagai nash, kelima masalah pokok itu ialah : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik suatu hukum yang ditetapkan oleh syarak, berupa kemashlahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai contoh, syarak mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah S.W.T di syari'atkan hukuman zina bagi untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyari'atkan hukuman meminum minuman keras untuk memelihara akal, dan disyari'atkan hukuman Qishash untuk memelihara jiwa seseorang.

37

Prinsip yang lima ini pertama kali diperkenalkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya "al-Mustashfafi Ushul al-Fiqh", namun kemudian diterima oleh para ulama setelahnya dan disepakati sampai hampir menjadi ijmak. Kelima masalah pokok ini

35

Al-Youbi, Maqashid al-syari 'ah w alaqatuha bi al-Syar 'iyyah, (Riyadh : Daar Ibn al-Jauzi, 2008), hal.44

36

Ar-Raysuni, Nadzariyyah al-Maqashid, (Herdon : HIT, 2000), hal.10 37

(26)

biasa disebut dengan 'al-Kulliyat al-Khamsah'.38

Kemudian dalam memelihara jiwa, usaha yang dilakukan dapat dipandang dari sisi pengadaan (al-wujud), dalam pemeliharaan jiwa Islam menetapkan tanggung jawab masing-masing individu sesuai dengan keadaan dan fase kehidupannya. Islam menetapkan tangung jawab orang tua terhadap anak, tangung jawab kepala keluarga memberi nafkah kepada istri dan anak-anak, tanggung jawab ibu menyusui anak sanipai usia dua tahun, dan lain sebagainya.

Dari kelima al-Kulliyat al-Khamsah

sebagai prinsip pokok dalam hukum Islam yang dipakai dalam penelitian ini adalah memelihara jiwa dan memelihara keturunan.

39

Sehubungan dengan hal pemeliharaan keturunan sebagai prinsip pokok dalam hukum Islam, mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan dari pernikahan. Keturunan diharapkan dapat melanjutkan misi dan impian orang tuannya yang belum terealisasi dalam hidupnya. Dalam memelihara keturunan, ajaran Islam memerintahkan hal-hal sebagai berikut

Menurut teori ini hukum bertujuan walaupun orang tua telah bercerai maka kedua orang tua tetap bertangung jawab terhadap anak nya sampai anak itu dapat berdiri sendiri sesuai dengan Pasal 45 UUP No.l Tahun 1974.

40

1. Islam memerintahkan para pemuda dan pemudi yang sudah mampu untuk menikah. Bahkan Islam mendorong para wall untuk mempermudah proses nikah dengan tidak menetapkan mahar yang terlalu tinngi sehingga memberatkan para calon suami.

:

38

Yusuf Al-A'lim, Al-Maqashidal-A 'mmah li as-Syari'ah al-Islamiyah, hal.35 39

Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung : Cita pustaka, 2013),hal.l9 Ibid, hal.24

40

(27)

2. Islam menjelaskan kriteria suami ideal dan istri ideal, hak dan kewajiban suami dan istri, agar dapat terwujud keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah,

sehingga tujuan dari pernikahan yang kekal abadi dapat terlaksana.

3. Islam mensyaratkan adanya kesetaraan (takafii) antara suami dan istri agar terwujud kesesuaian visi dan misi yang dapat mengekalkan kehidupan rumah tangga yang harmonis.

4. Islam mensyaratkan keadilan bagi para suami yang ingin berpoligami, sehingga tidak merugikan salah satu istri atau anak-anak hasil perkawinannya.

Menurut teori keadilan sebagai pendukung teori pertanggungjawaban dipakai teori dalam pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya

nichomachean ethics, politics, dan re//zonc.Spesifik dilihat dalam buku nicomachean

etnichs, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat

hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan".41

Aristoteles melalui teori keadilan legal mengungkapkan bahwa keadilan legal mengungkapkan bahwa keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang haras dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu.Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan Negara.42

Yahya harahap juga mengemukakan hukum harusnya mengendalikan keadilan

(law wants justice). Keadilan yang dikehendaki tersebut seharusnya mencapai nilai

41

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta : Kanisius, 1995), Cetakan Kedelapan, hal. 197

42

(28)

persamaan (equality), hak asasi individu (individual right), kebenaran (truth),

kepatuhan (fairness), dan melindungi masyarakat (protection public interes).43

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan.Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandang manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama.Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga Negara dihadapkan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

Menurut teori ini hukum bertujuan mencapai keadilan bagi anak dimana hak dan kewajiban antara orang tua terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UUP No.l Tahun 1974 tentang perkawinan :

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua putus.

Selanjutnya dengan demikian orang tua memiliki kewajiban hukum sebagai perwujudan tanggung jawab terhadap anaknya untuk membiayai kehidupan sandang, pangan, dan pendidikan selama anak-anak tersebut masih belum dewasa. Kewajiban normatif tersebut bersifat hukum memaksa (dwingendrechi) yaitu tidak boleh

43

(29)

kewajiban orang tua terhadap anaknya dilepaskan dengan membuat perjanjian untuk itu.44

Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan. Eksistensi dam konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadapsesuatu yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sai-sia dan tidak bermanfaat.

Kemudian teori perlindungan hukum, teori ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.

45

44

Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal.64 45

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 116

(30)

pencarian pada yang "absolut" (tetap) merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat "universal " , abadi, dan berlaku mutlak", ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia (HAM).46

Sesuai penelitian ini teori perlindungan hukum yang dipakai adalah menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.47Perlindungan hukum yang

preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan bedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.48

Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.49

46

Ibid 47

Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal.2 .

48

Maria Alfons, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), hal. 18.

49 Ibid

(31)

merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita.50

a. Nafkah, kiswah dan tempat tinggal kediaman bagi istri

Kemudian dengan menggunakan teori perlindungan hukum sebagai pendukung teori pertanggungjawaban, dimana teori perlindungan hukum adanya suatu ketentuan dimana kewajiban suami dengan nafkah diatur dalam Pasal 80 ayat (4) KHI dalam pasal ini diatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung :

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. Apabila suami melalaikan kewajibannya, istri dapat mengajukan gugatan nafkah ke pengadilan (lihat Pasal 34 ayat (3) UUP No.l Tahun 1974). Bagi penganut agama Islam gugatan dapat diajukan ke pengadilan agama pada domisili tergugat dan bagi yang beragama lainnya gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri pada domisili tergugat.

2. Kerangka Konsepsi

Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah tersebut

50

(32)

dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.51

2. Perkawinan menurut Hukum Islam adalah suatu perikatan suci, yang diperintahkan kepada tiap-tiap umat Islam yang sanggup melaksanakannya, kecuali jika ada hal-hal yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakannya

Didalam penjelasan ini ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan penting.

52

3. Perceraian menurut UU No.l Tahun 1974 adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan pengadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup berpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.

.

51

Sudarsono, Op.Cit, hal. 9 52

(33)

4. Pemeliharaan anak (Hadhanah) adalah pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamzit

(dapat membedakan antara yang buruk dan baik) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjadi dari suatu menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawabnya.53

5. Tanggung jawab bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan anusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila setiap manusia tidak mau bertanggungjawab maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.

6. Nafkah adalah segala bentuk perbelanjaan manusia terhadap dirinya dan keluarganya dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal.

7. Peradilan Agama merupakan upaya yang mencari keadilan bagi rakyat yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Hakim akan melakukan pertimbangan hukum, untuk memutuskan perkara perceraian. Akibat putusan perceraian tersebut (khususnya cerai talak) terdapat kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh bapak kepada anak-anaknya setelah perceraian meliputi biaya pemeliharaan dan pendidikan, khususnya bagi pasangan suami istri yang dalam perkawinannya telah dikaruniai anak sesuai dengan UUP No.l Tahun 1974

53

(34)

dan KHI. Apabila ternyata dan kenyataanya terdapat penyimpangan terhadap kewajiban-kewajiban tersebut maka dapat dilakukannya upaya hukum dengan menghasilkan gugatan pelaksanaan kewajiban terhadap putusan tersebut.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian adalah sebagai berikut

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini digunakan adalah bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang berusaha untuk menggambarkan dan menguraikan tentang permasalahan yang berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam . Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu untuk menggambarkan gejala atau keadaan, baik pada tatanan hukum positif, menganalisa permasalahan yang ada sekarang54

Dilihat dari segi pendekatan penelitiannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan sebagai penelahan dalam tataran konseptional tentang arti dan maksud berbagai peraturan , tetapi juga ingin memberikan pengaturan yang seharusnya dan memecahkan permasalahan hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam .

54

(35)

hukum berlaku yang berkaitan dengan tanggung jawab orang tua terhadap nafkah anak pasca putusan perceraian bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam. 2. Sumber Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh atau di kumpulkan oleh orang yang melakukan penelitan dan sumber-sumber yang telah ada. Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoeh informasi baik dalam bentuk ketentuan-ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang ada. Data sekunder dibidang hukum dapat dibedakan menjadi:

1) Bahan-bahan hukum primer yang mengikat berupa UUP No.l Tahun 1974 tentang, Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agarna Nomor 7 tahun 1989, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP No.l Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam ( KHI), dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

(36)

3) Bahan Hukum Tertier yaitu bahan-bahan yang member! petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus (hukum) ensiklopedia dan lain-lain55

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai penelitian yuridis normatif, penelitian ini menitik beratkan pada studi kepustakaan (library research). Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian tesis ini, menggunakan data sekunder dan didukung oleh data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, makalah-makalah, tulisan-tulisan pakar hukum, publikasi dari hasil penelitian yang berkaitan dengan penulisan ini.

Selain data sekunder, penelitian ini juga menggunakan data primer yaitu, data yang diambil langsung dengan wawancara kepada informan yang dilakukan secara terarah (directive interview)56

Analisis data adalah pengolahan data yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan.

, yaitu Hakim Pengadilan Agama Medan. 4. Analisis Data

57

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif bertolak dan asumsi tentang realitas atau

55

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 116-117

56

Ronny Soerhitro Hanintijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Juru Materi, (Jakarta : Gahlia Indonesia, 1998), hal. 9

57

(37)

fenomena sosial yang bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman)58

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar59. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati60

58

Burhan Bungi, Analisa Data Kualitatif, Permohonan Filosofi dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal. 53

59

Lexy. J. Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 103 60

lbid, hal. 3

.

Data sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara berurutan dan sistematis untuk selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode berfikir deduktif. Berfikir secara deduktif yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dan selanjutnya dipresentasikan dalam bentuk deskriptif. Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diajukan dalam usulanpenelitian ini.

(38)

Gambar

Tabel 1.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan sapi-sapi endometritis pada K1 mengalami regresi CL rata-rata 32 jam setelah terapi, sedangkan pada K2, CL tidak langsung regresi setelah

Peranan service quality dan perceived value untuk meningkatkan customer satisfaction yang berdampak pada repurchase intention konsumen rumah makan makassar di

landasan agama, dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah. Dalam landasan pengembangan kurikulum dilihat dari aspek agama,.. SMK Al Huda lebih menekankan

6 Saya mendapatkan kualitas jasa yang lebih baik dari promosi Go-Jek di bandingkan transportasi lainnya. SS S N TS

bidang langit-langit harus menutup bangunan permukaan langit-langit tempat makanan dibuat, disimpan, diwadahi dan tempat pencucian alat makanan maupun tempat cuci tangan

Penangkaran bibit lada di polibag untuk dijual/disalurkan kepada petani/pengguna bibit lada dilakukan menggunakan stek lada satu ruas berdaun tunggal varietas Natar 1, sumber

Afrianto dan Peningkatan suhu akan mempercepat laju respirasi dan dengan demikian laju penggunaan oksigen juga meningkat Hal tersebut dapat dibuktikan adanya nilai

Penanda penggunaan fitur tindak tutur perempuan dalam wujud tuturan memuji langsung imperatif ditinjau dari fitur yang digunakan, yaitu (1) superpolite form dan (2) tag