BAB III
PENGAKUAN, PENOLAKAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
A. Kewenangan Peradilan Indonesia dalam Pengakuan, Penolakan dan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
1. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase yang di buat di luar negeri, hingga kini masih menjadi pembahasan dan penelitian para pakar arbitrase di mancanegara. Hal ini menjadi pokok masalah terutama karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa arbitrase internasional merasa keberatan melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan dalam negeri tersebut yang diharapkan dapat membantu proses pelaksanaan putusan arbitrase ternyata kurang memberi respon yang konstruktif. Christopher H. Schreuer mengatakan, peran pengadilan dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah sebagai berikut “It is only at the last stage, when it comes to enforcement, that the victorious litigant ultimately depends on the authority of domestic courts” (sebagai langkah terakhir, dalam hal pelaksanaan, pihak yang menang dalam berperkara tergantung pada kewenangan peradilan nasional.)84
Sulitnya melaksanakan suatu putusan arbitrase, Rene David memberikan alasan bahwa kontrak dibuat oleh kedua belah pihak sehingga
untuk melaksanakan isi kontrak tersebut tidak begitu merupakan masalah, sedangkan putusan arbitrase dibuat oleh pihak ketiga (arbiter), dan yang berkeberatan terhadapnya, terutama oleh pihak yang kalah, selalu ada dan biasanya keberatan terhadap putusan arbitrase dilontarkan setelah keputusan dikeluarkan.85
Pasal 3 Konvensi New York 1958 mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (acara) nasional di mana keputusan itu akan dilaksanakan.86
Hal ini yang menjadi acuan bagi pemerintah Indonesia, untuk menetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai lembaga peradilan yang berwenang untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.87
85
Susanti Adi Nugroho, hal. 435
86 Pasal 3 Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
“each contracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory when the award is relied upon, under the conditions laid down in the following articles. There shall not be imposed the substantially more onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbitral awards to which this convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral awards.”
87
Pasal 1 Perma No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Mahkamah Agung Republik Indonesia
Lain halnya dengan putusan arbitrase internasional di mana Negara Republik Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa. Setiap putusan arbitrase internasional yang Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa, makanya putusan arbitrase internasionalnya hanya dapat dilaksanakan apabila telah mendapat eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang kemudian dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terhadap putusan Mahkamah Agung mengenai putusan arbitrase internasional tersebut tidak dapat dilakukan upaya perlawanan.
ketentuan peraturan yang berlaku di negara wilayah dimana eksekusi putusan tersebut akan dilaksanakan.88
Putusan arbitrase internasional ICSID dapat melaksanakan eksekusi di Indonesia dengan izin tertulis dari Mahkamah Agung. Putusan ICSID pada dasarnya memiliki “self-executing, artinya putusan ICSID tidak memerlukan suatu tindakan perundang-undangan untuk dapat berlaku dalam tata hukum intern di negara pesertanya. Jadi, dengan adanya Undang-undang No. 5 tahun 1968 ini pemerintah Indonesia memiliki wewenang untuk memberi persetujuan agar perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dan warga negara asing dapat diputuskan menurut ICSID, dan pemerintah dalam hal ini bertindak mewakili negara Republik Indonesia dalam perselisihan dengan hak substitusi. Putusan arbitrase ICSID ini merupakan salah satu bentuk penyelesaian perselisihan antara pemerintah Republik Indonesia dengan warga negara asing sehubungan dengan penanaman modal asing di Indonesia, dapat dilaksanakan di Indonesia dengan surat perintah pelaksanaan dari Mahkamah Agung.89
2. Penolakan Putusan Arbitrase Internasional
Upaya hukum berupa “penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional” kepada pengadilan di mana aset atau barang berada terjadi mengingat putusan arbitrase dibuat di suatu negara tetapi pelaksanaannya dilakukan di negara lain. Pelaksanaan putusan akan sangat bergantung
pada dimana aset atau barang yang hendak dieksekusi berada. Keterlibatan peradilan tidak dapat dihindari mengingat pemaksaan atas putusan hanya bisa dilakukan oleh pengadilan dalam bentuk penetapan eksekusi.90
a. Pokok persoalan mengenai perselisihan adalah tidak merupakan penyelesaian melalui arbitrase menurut hukum di negara itu.
Pasal 5 ayat 1 Konvensi New York 1958 mengatur mengenai penolakan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dimana pihak yang mengajukan penolakan harus membuktikan kepada pihak yang berwenang di mana putusan arbitrase tersebut akan dilaksanakan. Namun menurut ketentuan pasal 5 ayat 2 Konvensi New York 1958, pihak yang berwenang juga dapat melakukan penolakan berdasar jabatan tanpa ada permohonan dari para pihak yang bersengketa.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung sebagai pihak yang berwenang atas putusan arbitrase internasional di wilayah Indonesia dapat menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional tanpa adanya permohonan dari pihak yang bersengketa, apabila putusan arbitrase asing tersebut :
91
Pada dasarnya, semua kasus bisnis dapat diselesaikan melalui arbitrase, akan tetapi ada beberapa sengketa yang memang tidak dapat diselesaikan melalui jalur arbitrase. Konvensi New York 1958 memperhatikan beberapa sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh badan arbitrase. Alasan kenapa kasus-kasus tersebut tidak dapat
90 Susanti Adi Nugroho, Op.cit, hal. 391-392 91
diselesaikan oleh badan arbitrase adalah karena ada beberapa jenis sengketa yang berhubungan dengan sistem hukum suatu negara lebih cocok untuk diselesaikan melalui jalur pengadilan nasional. Jadi, adalah suatu hal yang penting untuk mengetahui apakah dalam suatu negara suatu kasus dapat diselesaikan melalui arbitrase atau tidak.92 Indonesia sendiri dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengatur bahwa kasus-kasus yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah kasus-kasus yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Kasus-kasus tersebut antara lain :93
1)Perniagaan 2)Perbankan 3)Keuangan
4)Penanaman Modal 5)Industri
6)Hak Kekayaan Intelektual
Jadi, apabila suatu putusan arbitrase internasional tidak termasuk kasus-kasus dalam ruang lingkup hukum perdagangan, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut di Indonesia.
b. Pengakuan atau pelaksanaan putusan arbitrase akan menjadi bertentangan dengan kebijakan publik di negara itu.
92 Arfiana Novera, Meria Utama, Op.cit, hal.87-88 93
Baik PERMA No. 1 tahun 1990 maupun UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak menerangkan secara jelas apa yang dimaksud dengan kebijakan publik atau ketertiban umum. Menurut Sudargo Gautama, lembaga ketertiban umum ini seharusnya hanya dipakai sebagai suatu tameng dan tidak sebagai pedang untuk menusuk hukum asing. Dengan kata lain, fungsinya hanya sebagai perlindungan, tidak untuk meniadakan pemakaian hukum asing. Konsep ketertiban umum berlainan di masing-masing negara. Ketertiban umum terikat pada faktor tempat dan waktu. Jika situasi dan kondisi berlainan, paham-paham ketertiban umum juga berlainan. Untuk menentukan apakah suatu putusan arbitrase internasional bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak, hal itu merupakan keputusan dari pengadilan. Pengadilan akan menentukan mana putusan arbitrase internaisonal yang akan diakui dan putusan yang akan ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum.94
Salah satu putusan arbitrase internasional yang ditolak pelaksanaannya adalah putusan arbitrase mengenai sengketa E.D. & F.MAN(Sugar) Limited melawan Y. Haryanto. Ketertiban umum menjadi salah satu alasan Mahkamah Agung untuk menolak putusan The Queen’s Counsel of The English Bar di London. Hakim menyatakan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan kepentingan umum Negara Republik Indonesia dikarenakan putusan yang diambil
berdasarkan suatu perjanjian yang menurut hukum Indonesia adalah perjanjian yang batal demi hukum. Namun, Sulaeman Batubara dan Orinton Purba berpendapat pertimbangan yang tepat atas penolakan putusan arbitrase tersebut adalah karena perjanjian tersebut diambil berdasarkan perjanjian yang batal demi hukum, bukan karena melanggar ketertiban umum.95
Pasal 35 ayat 1 dan 2 UNCITRAL Model Law juga memberikan
kewenangan pada peradilan yang berwenang (peradilan di mana pelaksanaan
putusan di minta) untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Ketentuan peradilan nasional dapat menolak pelaksanaan suatu putusan arbitrase
berdasarkan UNCITRAL Model Law sejalan dengan ketentuan yang ada dalam
Konvensi New York 1958 dan dalam ICSID yang berlaku untuk Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1968. Alasan-alasan ini dapat kita
temukan dalam garis-garis besarnya pada acara arbitrase seperti dicantumkan
dalam Rv.
Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dapat dilakukan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung (apabila salah satu
pihak dalam arbitrase internasional tersebut adalah Pemerintah Indonesia) tanpa
ada permohonan dari para pihak yang bersengketa, apabila sengketa yang
diselesaikan dengan arbitrase tersebut ternyata bukanlah sengketa yang masuk ke
dalam ruang lingkup perdagangan, atau putusan tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum.
96
95 Sulaeman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal. 216-217 96
Ketentuan-ketentuan dalam Konvensi New York 1958 dan ICSID
kemudian diturunkan oleh Peradilan Indonesia dengan memberikan wewenang
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional.97
3. Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
Pembatalan putusan arbitrase internasional diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf e Konvensi New York 1958 dimana tercantum bahwa hal pembatalan putusan arbitrase internasional dilakukan oleh lembaga yang berwenang di mana atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dijatuhkan. Jadi, pihak yang berwenang untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase internasional adalah lembaga di mana putusan tersebut dijatuhkan atau dengan hukum yang dipakai dalam proses arbitrase tersebut.
ICSID sendiri mengatur mengenai pembatalan putusan dalam Pasal 52 ayat 1 ICSID, dimana para pihak dapat meminta pembatalan putusan tersebut dengan mengajukan permohonan tertulis kepada sekretaris jenderal ICSID. Putusan arbitrase ICSID dalam hal pembatalan, kewenangannya diserahkan pada sekretaris jenderal ICSID. Contoh putusan arbitrase ICSID yang dibatalkan adalah sengketa antara PT. AMCO Asia Corporation melawan Pemerintah Indonesia, di mana Pemerintah Indonesia mengajukan pembatalan dengan alasan bahwa Team Arbitrase Goldman ini kurang memperhatikan hukum Indonesia yang
97
mana hal tersebut disyaratkan di dalam Pasal 52 Konvensi ICSID dan telah termaktub dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 (yang mengesahkan konvesi ICSID untuk Indonesia), kemudian pada tahun 1987, PT. AMCO Asia Corporation mengajukan pembatalan terhadap bagian-bagian dalam putusan yang tidak termasuk dalam Res Judicate, Dikarenakan adanya penurunan jumlah kerugian, kemudian pihak Amco mengajukan permohonan untuk pembatalan putusan. Pihak RI juga mengajukan permohonan annulment terhadap pertimbangan putusan team Rosalyn
.
dan akhirnya diangkat team khusus dibawah pimpinan Prof. Sompong Sucharitkul (Thailand) dan Prof. Dietrich Schindler (Swiss), serta Prof. Arghyrios A Fatouros (Junani). Selanjutnya pada tanggal 3 Desember 1992 team ini telah menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menguatkan putusan team Rosalyn.98Berdasarkan dua ketentuan di atas, ada persamaan dalam hal kewenangan pembatalan putusan arbitrase internasional dari Konvensi New York dan ICSID, di mana pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat di lakukan oleh lembaga di mana putusan tersebut dijatuhkan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi dua konvensi di atas, dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, kewenangan pembatalan putusan arbitrase diberikan kepada Pengadilan Negeri. Tidak diberikan penjelasan apakah pembatalan putusan arbitrase yang diatur dalam UU
98
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya berlaku pada putusan arbitrase nasional saja atau berlaku juga pada putusan arbitrase internasional, sehingga ada yang berpendapat bahwa pasal 70-72 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga mencakup pembatalan putusan arbitrse internasional.99
B. Tata Cara Pengakuan, Penolakan dan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
1. Tata Cara Pengakuan dan Pelaksanaan100
Pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase internasional adalah salah satu syarat agar putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan dapat dilaksanakan di negara Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam pasal 67, 68 dan 69 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pembaharuan dan penyempurnaan dari ketentuan serupa dalam PERMA No. 1 tahun 1990.
Menurut UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional baru dapat dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
99
diakses da
Pusat. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan tersebut harus disertai dengan :
a. Lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otensifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai dengan ketentuan perihal otensifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
c. Keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Kemudian, apabila putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan
diberikan perintah eksekusinya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Pelaksanaan putusan arbitrase
internasional tersebut dapat dilakukan dengan sita eksekusi atas harta kekayaan
serta barang milik termohon eksekusi. Tata cara yang berhubungan penyitaan,
maupun pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut mengikuti tata cara
sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata. Atas putusan Ketua
arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Terhadap
putusan arbitrase internasional yang menyangkut Indonesia sebagai salah satu
pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan terhadap putusan Mahkamah
Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
2. Tata Cara Penolakan
Berdasarkan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan hasil kajiannya, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menetapkan dan memutuskan dua kemungkinan berikut ini, yaitu :101
a. Dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia, karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Putusan ini tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
b. Menolak untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional.
Suatu putusan arbitrase internasional, dapat ditolak pengakuan dan
pelaksanaannya di Indonesia apabila ada permohonan dari pihak terhadap siapa
eksekusi akan dijalankan. Pihak yang terhadap dirinya dimohon eksekusi berhak
mengajukan permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan bukti adanya pelanggaran terhadap salah satu alasan yang
ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1 Konvensi New York 1958, yaitu :
a. The parties to the agreement reffered in article II were, under the law
applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not
valid under the law to which the parties have subjected it or, failing any
indication thereon, under the law of the country where the award was made;
or
(Para pihak dengan perjanjian dirujuk dalam pasal II, di bawah hukum yang
berlaku untuk mereka, di bawah beberapa ketidakmampuan, atau perjanjian
tersebut tidak sah berdasarkan hukum mana pihak telah dikenakan atau,
gagal atasnya, di bawah hukum negara di mana penghargaan itu dibuat; atau)
b. The party against whom the award is invoked was not given proper notice of
the appointment of the arbitrator or of the arbitration proceedings or was
otherwise unable to present his case; or
(Pihak-pihak yang bersengketa tidak diberikan pemberitahuan yang sesuai
tentang penunjukan arbiter atau dari proses arbitrase atau sebaliknya tidak
dapat menghadiri kasusnya; atau)
c. The award deals with a difference not contemplated by or not falling within
the terms of submission to arbitration, or it contains decisions on matters
beyond the scope of submission to arbitration, provided that, if the decisions
on matters submitted to arbitration can be separated from those not so
submitted, that part of the award which contains decisions on matters
submitted to arbitration may be recognized and enforced; or
(Putusan tersebut mengatur sengketa yang tidak diatur oleh atau tidak
mengikuti ketentuan yang dapat diputuskan oleh arbitrase, atau mengandung
keputusan mengenai hal-hal di luar lingkup yang diserahkan untuk
diputuskan oleh arbitrase dapat dipisahkan dari hal-hal yang tidak diserahkan
untuk diputuskan, bagian dari putusan yang berisi keputusan tentang hal-hal
yang diputuskan oleh arbitrase dapat diakui dan ditegakkan; atau)
d. The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not
in accordance with the agreement, was not in accordance with the law of the
country where the arbitration took place; or
(Kewenangan dari arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
perjanjian, tidak sesuai dengan hukum dimana arbitrase tersebut
dilaksanakan; atau)
e. The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside
or suspended by a competent authority of the country in which, or under the
law of which, that award was made.
(Putusan belum mengikat para pihak, atau telah dikesampingkan atau
ditangguhkan oleh otoritas yang berwenang di negara di mana, atau sesuai
hukum di mana, putusan tersebut dibuat)
Permohonan yang tidak dilengkapi dengan bukti pelanggaran dianggap
tidak memenuhi syarat formil dan tidak dapat diterima.102
Menurut Pasal 5 ayat 2 Konvensi New York 1958, pihak yang
berkompeten (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) juga dapat melakukan penolakan
berdasar jabatan tanpa ada permohonan dari para pihak yang bersengketa. Jika
pihak yang berkompeten menilai bahwa putusan arbitrase internasional tersebut
mengandung pelanggaran terhadap sistem tata hukum di negara diminta
eksekusi. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional di Indonesia berdasar jabatan tanpa perlu ada permohonan
penolakan dari salah satu pihak yang terlibat dalam putusan, apabila pokok yang
disengketakan dalam arbitrase internasional tersebut tidak masuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan atau putusan tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum.103
3. Tata Cara Pembatalan
Pembatalan putusan arbitrase internasional berdasarkan Konvensi New York 1958 diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf e, di mana putusan arbitrase internasional tidak bersifat mengikat apabila putusan tersebut dibatalkan oleh lembaga yang berwenang di negara di mana atau berdasarkan hukum putusan tersebut dijatuhkan. Tata cara selanjutnya bergantung pada negara dan lembaga di mana permohonan pembatalan dimintakan.
ICSID dalam pasal 52 ayat 1 memberikan hak kepada para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional. Pembatalan putusan arbitrase ICSID merupakan salah satu kewenangan sekretaris jenderal ICSID. Beberapa syarat formil yang harus dipenuhi dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional, yaitu :104
a. Permohonan pembatalan diajukan secara tertulis. Permohonan pembatalan yang diajukan secara lisan tidak dapat diterima.
103
Ibid.
b. Permohonan dialamatkan kepada sekretaris jenderal ICSID. Jika putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya putusan yang tunduk pada Rules ICSID, permohonan pembatalan dialamatkan kepada sekretaris jenderal ICSID yang berkedudukan di Washington, permohonan tidak disampaikan kepada Pengadilan Negeri.
c. Permohonan dijatuhkan dalam tempo 120 hari setelah putusan diserahkan atau diterima, Jika permohonan pembatalan yang diajukan melampaui batas tenggang waktu, berarti tidak memenuhi syarat formil, yang berakibat permohonan tidak dapat diterima. Namun terhadap ketentuan umum ini ada pengecualian. Khusus untuk permohonan pembatalan yang didasarkan atas alasan adanya kecurangan atau korupsi, perhitungan batas tenggang waktu bukan 120 hari dari tanggal penerimaan putusan, tetapi dapat diajukan permohonan pembatalan dalam tenggang waktu 120 hari dari tanggak ditemukan kecurangan, dan hal ini berlaku sampai batas 3 tahun sejak tanggal putusan diserahkan atau diterima para pihak. Hal ini dimaksudkan sebagai penegakan kepastian hukum.
Setelah permohonan pembatalan putusan diterima, Chairman of the
Administrative Council membetuk ad hoc Committee yang anggotanya terdiri
dari 3 orang yang diambil dari Panel of Arbitration, yang terdiri dari mereka
yang berasal dari negara peserta ICSID. Yang bukan anggota Panel of
Arbitration tidak boleh ditunjuk sebagai anggota ad hoc Committee, dan juga
tidak boleh ditunjuk bekas anggota arbiter pada majelis arbitrase yang memutus
pembatalan yang ditolak mengakibatkan putusan arbitrase yang bersangkutan
tetap sah, final dan mengikat, tidak dapat diajukan banding. Sebaliknya, jika
permohonan pembatalan dikabulkan ad hoc Committee, maka sengketa kembali
pada keadaan semula. Sengketa dapat diajukan lagi kepada ICSID untuk
medapat penyelesaian baru.105
Untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase menurut
UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, permohonan tersebut harus
diajukan secara tertulis paling lambat 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.106
Apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase kemudian
dikabulkan, ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Putusan atas permohonan
pembatalan akan ditetapkan oleh ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 hari sejak permohonan pembatalan diterima. Terhadap putusan
Pengadilan Negeri mengenai pembatalan putusan arbitrase ini dapat diajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir.107
C. Dasar Hukum bagi Pengakuan, Penolakan dan Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
105
Ibid, hal. 409
106
Pasal 71 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
107
Konvensi New York 1958 mengatur kewajiban bagi negara-negara peserta untuk mengakui putusan arbitrase internasional sebagai putusan yang mengikat dan melaksanakannya berdasarkan asas resiprositas sesuai dengan aturan prosedural di mana pelaksanaan diminta. 108 Untuk mendapatkan pengakuan putusan arbitrase internasional dan izin pelaksanaan, pihak yang mengajukan permohonan harus menyertakan :109
1. Putusan asli yang benar-benar disahkan atau salinan yang benar-benar sah. 2. Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase asli yang benar-benar disahkan
atau salinan yang benar-benar sah.
Apabila putusan arbitrase internasional tersebut tidak dibuat dalam bahasa resmi negara di minta pengakuan dan pelaksanaannya, maka pemohon harus menyediakan terjemahan yang sudah disahkan oleh pejabat atau penterjemah tersumpah atau oleh korps diplomatik atau konsuler. 110
108 Pasal 3 ayat 1 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Award.
109 Pasal 4 ayat 1 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Award
110
Pasal 4 ayat 2 Convention of the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award
Sejalan dengan ketentuan yang ada dalam Konvensi New York 1958 dan ICSID, Indonesia melalui UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah menetapkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan yang berwenang dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Sebuah putusan arbitrase internasional yang dapat diakui di Indonesia adalah putusan arbitrase internasional yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :111
1. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2. Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
3. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 4. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
5. Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
111
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 68 ayat 1 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menuliskan bahwa terhadap keputusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Pasal 68 ini menggambarkan adanya kekuatan final dan mengikat dari putusan arbitrase, juga mengenai putusan berkekuatan pasti dan mengikat dari putusan arbitrase internasional.112
Suatu putusan arbitrase internasional tidak selalu dikabulkan permohonan pengakuan dan pelaksanaan. Namun, hanya ada beberapa hal tertentu yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase internasional. Konvensi New York 1958 mencantumkan beberapa alasan yang dapat diajukan oleh pihak yang bersengketa yang dapat menyebabkan suatu putusan arbitrase internasional ditolak pengakuan dan pelaksanaannya, yaitu :113
1. “ The parties to the agreement reffered to in article II were, under the law applicable to them, under some incapacity, or the said agreement is not valid under the law which the parties have subjected it or, failing any indication thereon, under the law of the country where the award was made. (Para pihak pada perjanjian sebagaimana dimaksud dalam pasal II adalah, menurut hukum yang berlaku bagi mereka, berada di bawah beberapa ketidakcakapan, atau perjanjian tersebut tidak sah menurut
112 Susanti Adi Nugroho, Op,cit, hal. 426 113
hukum pada mana para pihak telah menundukkan diri padanya, atau, tidak adanya setiap petunjuk akannya, menurut hukum dari negara di mana putusan dibuat.)
2. “ The parties against whom the award is invoked was not given proper notice of the appointment of the arbitratoror of the arbitration proceedings or was otherwise unable to present his case.”
(Pihak terhadap siapa putusan dimohonkan tidak diberikan pemberitahuan yang layak atas penunjukan arbiter atau mengenai proses arbitrase atau sebaliknya tidak dapat menyampaikan kasusnya.)
3. “ The award deals with a difference not contemplated by or not falling within the terms of submission to arbitration, or it contain decisions on matters beyond the scope of submission to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted to arbitration can be separated from those not so submitted, that part of the award which contains decisions on matters submitted to arbitration may be recognized and enforced.”
4. “The composition of the arbitral authority or the arbitral procedure was not in accordance with the agreement of the parties, or, failing such agreement, was not in accordance with the law of the country where the arbitration took place.”
(Komposisi dari otoritas arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian para pihak, atau, jika perjanjian sedemikian tidak ada, tidak sesuai dengan hukum dari negara dimana arbitrase berlangsung.) 5. “ The award has not yet become binding on the parties, or has been set
aside or suspended by a competent authority of the country in which or under the law which that award was made.”
(Putusan belum menjadi mengikat bagi para pihak, atau telah dikesampingkan atau ditangguhkan oleh lembaga yang berwenang di negara di mana, atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dijatuhkan.)
Pengajuan permohonan penolakan putusan arbitrase internasional ini harus disertakan dengan bukti-bukti yang ditujukan kepada peradilan yang berwenang di negara pelaksanaan putusan dimintakan. Selain melalui permohonan pengajuan, Pasal 5 ayat 2 Konvensi New York juga mengatur tentang kewenangan peradilan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional tanpa adanya permohonan penolakan terlebih dahulu, apabila :114
1. Objek Sengketa Arbitrase Tidak Termasuk dalam Ruang Lingkup Hukum Dagang di Negara di mana Putusan Arbitrase Dimintakan Pengakuan dan Pelaksanaannya.
Pasal 66 huruf b UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase asing hanya dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia sebatas putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang. Sementara itu penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang adalah kegiatan-kegiatan di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dasn hak kekayaan intelektual. Suatu putusan arbitrase asing dapat ditolak pengakuan dan pelaksanaannya di Indonesia bilamana putusan tersebut di luar ruang lingkup hukum dagang. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atau Mahkamah Agung dapat menolak suatu putusan arbitrase internsional yang ruang lingkupnya di luar hukum perdagangan.
2. Putusan Arbitrase Melanggar Ketertiban Umum.
sebuah kereta api. Rem darurat di sini mempunyai pengertian bahwa penggunaan ketertiban umum ini sebagai alasan untuk tidak dapat memperlakukan hukum negara asing dalam sebuah negara seirit mungkin, bisa diibaratkan karena suatu keterpaksaan. Namun, untuk tidak menimbulkan perbedaan penafsiran serta untuk menghindari penyalahgunaan dari ketertiban umum ini, menurut beliau perlu diberikan suatu definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ketertiban umum ini.
Penolakan pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase internasional di suatu negara mengakibatkan putusan arbitrase tersebut tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara yang menolak putusan tersebut, tetapi masih dapat mengajukannya kembali ke negara tempat di mana aset yang dari pihak yang kalah berada.115
Sedangkan, upaya hukum pembatalan putusan arbitrase mengakibatkan dinafikannya putusan arbitrase tersebut, dan para pihak harus mengulang proses arbitrase.116
Sejalan dengan Konvensi New York 1958, ICSID juga mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase internasional. Pasal 52 paragraf 1 ICSID menyebutkan bahwa salah satu pihak dapat meminta pembatalan putusan
Pasal 5 ayat 1 huruf e Konvensi New York 1958 mengatur bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di negara putusan dijatuhkan atau berdasarkan hukum yang digunakan dalam putusan tersebut.
115
Ibid, hal. 143
arbitrase tersebut dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada sekretaris jenderal ICSID. Adapun alasan-alasan pembatalan menurut ICSID adalah sebagai berikut :117
1. “ that The Tribunal was not properly constituted” (pembentukan Tribunal tidak tepat)
2. “ that The Tribunal has manifestly exceeded its power” (Tribunal melampaui batas kewenangannya.)
3. “ that there was corruption on the part of a member of the Tribunal.” (Adanya kecurangan dari anggota Tribunal)
4. “ that has been a serious departure from a fundamental rule of procedure; or that the award has failed to state the reasons on which it is based” (Adanya suatu penyimpangan yang serius dari aturan acara ; atau putusan gagal mencantumkan alasan yang menjadi putusan)
117
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN ANTARA HARVEY NICHOLS AND COMPANY LIMITED DENGAN PT. HAMPARAN NUSANTARA DAN PT. MITRA
ADIPERKASA, Tbk A. Penjelasan Sengketa
Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2011 adalah putusan mengenai perkara Perdata Khusus (Arbitrase) dalam tingkat kasasi, yang melibatkan 3 pihak :
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat adalah Harvey Nichols and Company Limited, suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Inggris (registrasi No. 1774537), berkedudukan di 109/125 Knightsbridge, London SWIX 7RJ, Inggris, dalam hal ini memberi kuasa kepada : Iswahjudi A. Karim, S.H., L.L.M. dan kawan-kawan, para Advokat, berkantor di Plaza Mutiara Lantai 7, Jalan Lingkar Mega Kuningan Kav. 1 & 2, Jakarta 12950, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 15 April 2011.
Harvey Nichols and Company Limited membuat sebuah Perjanjian Lisensi Eksklusif dengan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa, Tbk pada tanggal 23 Februari 2007. Pasal 15 dari Perjanjian Lisensi Eksklusif tersebut mengatur tentang perjanjian arbitrase yang sah dan mengikat para pihak. Selain mengatur mengenai klausul arbitrase, perjanjian tersebut juga mengatur tentang pembayaran royalty dan pembagian keuntungan bagi pemilik merk.
PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa kemudian melanggar perjanjian tersebut dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Lalai untuk menerbitkan surat jaminan kedua dalam mata uang Sterling yang senilai dengan US $3 juta sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 4.2(j) Perjanjian.
2. Lalai untuk membayar Pemohon royalti minimum berdasarkan pasal-pasal 7.2 dan 8.1 perjanjian.
3. Lalai untuk memperbaharui surat jaminan kedua setelah penarikan pemohon berdasarkan Pasal 7.4 Perjanjian.
arbitrase berlangsung, pada tanggal 26 Mei 2010, PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa menggugat Harvey Nichols and Company Limited ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk pembatalan perjanjian.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemudian mengabulkan gugatan PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa dan menyatakan Perjanjian Lisensi Eksklusif tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia dan batal demi hukum. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Perjanjian Lisensi Eksklusif tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia (vide Pasal 1320 butir 4 jo. Pasal 1337 jo. Pasal 1339 KUHPerdata jo. PP No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba jo. Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba jo. PP No. 42 tahun 2007 tentang Waralaba jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Perjanjian Lisensi Eksklusif tersebut dinyatakan melanggar PP No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba jo. Peraturan Menteri Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/3/2006 tahun 2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, karena :
1. Tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia
2. Tidak menggunakan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku
4. Pemberi Waralaba tidak memiliki surat keterangan legalitas usaha yang dikeluarkan oleh instansi berwenang di negara asalnya
5. Tidak adanya pendaftaran perjanjian waralaba dan keterangan tertulis atau prospectus kepada Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan.
Sementara itu, pemeriksaan arbitrase yang dilaksanakan di London telah menghasilkan sebuah putusan arbitrase yang kemudian diubah oleh arbiter, yaitu :
VI-Putusan Yang Diubah
13. Untuk alasan-alasan yang dikemukakan di atas, paragraf 71 putusan saya
diubah untuk dibaca sebagai berikut (perubahan hanya pada sub-paragraf (f)
dan (g)):
a. Saya memutuskan bahwa Perjanjian lisensi ekslusif antara para pihak tertanggal 23 Januari 2007 ("Perjanjian") adalah sebuah perjanjian yang sah yang mengikat para pihak;
b. Saya menegaskan bahwa penetapan-penetapan yang dibuat dalam putusan atas yurisdiksi tertanggal 14 Juni 2010, yaitu bahwa:
1) Pasal 15 dari Perjanjian lisensi ekslusif tertanggal 23 Januari 2007 antara Pemohon dan para Termohon merupakan perjanjian arbitrase yang sah dan mengikat para pihak;
2) Penunjukan saya sebagai Wasit tunggal oleh Presiden dari Chartered Institute of Arbitrators pada 12 Mei 2010 adalah sah dan efektif sehingga Majelis Arbitrase dibentuk secara patut;
3) Saya memiliki yurisdiksi untuk menyelesaikan tuntutan Pemohon merujuk pada arbitrase sesuai dengan pemberitahuan Arbitrase tertanggal 25 Maret 2010 dan permohonan untuk penunjukan seorang Wasit tertanggal 4 Mei 2010;
c. Saya menetapkan bahwa Termohon kesatu telah melanggar perjanjian dengan cara-cara sebagai berikut:
1) lalai untuk menerbitkan surat jaminan kedua dalam Sterling setara dengan US $3 juta sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 4.2(j) Perjanjian;
2) lalai untuk membayar Pemohon royalti minimum berdasarkan Pasal-pasal 7.2 dan 8.1 Perjanjian;
Pemohon berdasarkan Pasal 7.4 Perjanjian; dan
4) menerbitkan proses-proses tertanggal 26 Mei 2010 terhadap Pemohon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ("proses-proses di Jakarta"); d. Saya menetapkan bahwa Termohon kedua telah melanggar perjanjian
dengan cara-cara sebagai berikut:
1) lalai untuk melaksanakan kewajibannya untuk memastikan pemenuhan oleh Termohon pertama atas semua kewajiban keuangan dari Termohon pertama berdasarkan perjanjian, yaitu pembayaran dari waktu ke waktu atas royalti-royalti minimum dan pembaharuan atau penerbitan ulang surat jaminan kedua oleh Termohon pertama; dan 2) menerbitkan proses-proses di Jakarta;
e. Saya menetapkan bahwa tindakan kedua Termohon yang diuraikan dalam (c) dan (d) di atas menimbulkan pelanggaran material dari perjanjian oleh masing-masing mereka;
f. Saya menetapkan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka secara bersama-sama dan sendiri-sendiri membayar kepada Pemohon sejumlah £971,524.26 bersama dengan bunganya sebesar 4% setiap tahunnya di atas Libor, berlipat setiap tiga bulannya, dari 1 Jui 2010 hingga pembayaran;
g. Saya menetapkan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka secara bersama-sama dan sendiri-sendiri membayar kepada Pemohon lebih lanjut sejumlah US$ 35,000 sebagai kerugian yang ada hingga dan termasuk 31 Agustus 2010 untuk pelanggaran para Termohon dalam menerbitkan proses-proses di Jakarta, bersama dengan bunganya sebesar 4% setiap tahunnya di atas Libor, berlipat setiap tiga bulannya, dari 1 September 2010 hingga pembayaran;
h. Saya menetapkan bahwa Pemohon berhak untuk ganti rugi sehubungan dengan tiap kerugian yang diderita setelah 31 Agustus 2010 sebagai akibat dari pelanggaran para Termohon atas perjanjian dalam menerbitkan proses-proses di Jakarta dan saya mencadangkan wewenang untuk menetapkan kerugian-kerugian tersebut selanjutnya;
i. Saya memutuskan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka untuk dengan segera membuat Barclays Bank Plc atau Bank Internasional besar lainnya dengan keduduka n yang sama yang diterima oleh Pemohon untuk menerbitkan surat jaminan kedua yang isinya dalam bentuk yang dikemukakan dalam Bagian 2, Lampiran 2 Perjanjian untuk Pemohon sejumlah US$ 3 juta;
j. Saya memutuskan bahwa para Termohon dan masing-masing mereka secara bersama-sama dan sendiri-sendiri untuk membayar kepada Pemohon sejumlah £45,000 sehubungan dengan biaya-biaya arbitrase Pemohon;
tersebut sebelumnya, diberikan hak untuk penggantian segera oleh para Termohon";
Perubahan putusan arbitrase IDSR 129100009 terdapat dalam sub paragraf (f)
dan (g). Sub paragraf (f) sebelumnya meminta pembayaran dari Termohon sebanyak
US$ 35,000 dan pada sub paragraf (g) sebelumnya arbiter mencadangkan
wewenangnya untuk menetapkan kerugian yang diderita Pemohon untuk dibayar oleh
para Termohon.
Kemudian, Pihak Harvey Nichols and Company Limited melakukan
pendaftaran putusan arbitrase tersebut ke Pengadilan Neger Jakarta Pusat, dan PT.
Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa mengajukan gugatan pembatalan
putusan arbitrase internasional tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
sebab melanggar dan bertentangan dengan ketentuan hukum Indonesia. Namun,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mengabulkan permohonan PT. Hamparan
Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan
Putusan Sela yang amarnya sebagai berikut :
1. Menolak eksepsi kompetensi absolut Tergugat
2. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini
3. Memerintahkan kepada pihak yang bererkara untuk melanjutkan pemeriksaan perkara hingga putusan akhir
4. Menangguhkan putusan biaya perkara hingga putusan akhir.
Kemudian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan akhir yang
1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima
2. Menghukum Penggugat membayar biaya perkara sebesar Rp. 266.000,- (dua ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Kemudian Harvey Nichols and Company Limited mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung dengan alasan adanya ketidakjelasan Judex Facti.
B. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan
Pada tanggal 27 Desember 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dengan pertimbangan hukum sebagai berikut :
1. Bahwa Pengadilan yang berwenang membatalkan putusan arbitrase IDSR 129100009 a quo adalah di Negara mana putusan arbitrase tersebut dibuat yaitu Pengadilan di London, Inggris.
2. Bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional tidak diatur dalam perjanjian internasional, oleh sebab itu pengadilan nasional suatu negara tidak mungkin dapat membatalkan putusan arbitrase internasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat terdapat
cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Harvey
Nichols and Company Limited tersebut dan membatalkan putusan sela Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 126/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Oktober 2011 serta
Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana
yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Tergugat
dikabulkan dan para Termohon Kasasi/Penggugat berada di pihak yang kalah, maka
para Termohon Kasasi/Penggugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam semua tingkat peradilan;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang No. 48 tahun 2009,
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang
No. 5 tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2009,
dan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 serta peraturan perundang-undangan lain
yang bersangkutan;
MENGADILI :
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Harvey Nichols and
Company Limited tersebut;
2. Membatalkan putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
126/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Oktober 2011;
MENGADILI SENDIRI :
1. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan
2. Menghukum para Termohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara
dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp.500.000,-
(lima ratus ribu rupiah)
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung, pada hari
Kamis, tanggal 27 Desember 2012 oleh Prof. Dr. Valerine J.L.K, S.H., M.A., Hakim
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr.
Nurul Elmiyah, S.H., dan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H., L.L.M., Hakim-Hakim
Agung masing-masing sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri oleh
Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh Bongbong Silaban, S.H., L.L.M., Panitera
Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
C. Analisis Putusan
1. Berdasarkan Konvensi New York 1958
harus mengajukan permohonan pembatalan tersebut ke pengadilan di London, Inggris dan bukan Indonesia. Pertimbangan 1 Majelis Hakim sudah tepat, karen sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Konvensi New York 1958.
Pertimbangan kedua Majelis Hakim dalam putusan MA No. 631/K/Pdt.Sus/2012 adalah “Bahwa pembatalan putusan arbitrase internasional tidak diatur dalam perjanjian internasional, oleh sebab itu pengadilan nasional suatu negara tidak mungkin dapat membatalkan putusan arbitrase internasional.”. Putusan ini sesuai dengan Konvensi New York 1958, tidak seperti pengaturan mengenai penolakan putusan arbitrase internasional yang mencantumkan alasan-alasan penolakan putusan arbitrase internasional, dalam Konvensi New York pembatalan putusan arbitrase hanya dibahas pada pasal 5 ayat 1 huruf e, yang menuliskan bahwa pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan di negara di mana atau berdasarkan hukum apa putusan tersebut dijatuhkan. Suleman Batubara dan Orinton Purba mengatakan bahwa pengaturan dan syarat serta alasan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan suatu negara, sedangkan upaya hukum penolakan diatur dalam suatu perjanjian internasional yang kemudian ditransformasikan ke dalam undang-undang nasional suatu negara.118
118 Suleman Batubara, Orinton Purba, Op.cit, hal.142
yang dibuat di London, Inggris, maka mereka harus mengajukan permohonan pembatalan tersebut berdasarkan hukum yang digunakan di negara di mana putusan dijatuhkan, yaitu di London, Inggris.
Berarti pihak tersebut sama sekali tidak tahu tentang adanya proses pemeriksaan sehingga tidak diberi kesempatan mengajukan bantahan dala mempertahankan hak dan kepentingannya. Dalam hal ini keputusan arbitrase dianggap tidak wajar. 119
2. Berdasarkan ICSID
Jika demikian, sesuai dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b Konvensi New York 1958 yang menyatakan suatu pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dapat ditolak dengan disampaikannya permohonan dari pihak yang bersengketa apabila pihak yang terhadapnya suatu putusan dimintakan tidak diberitahu secara wajar mengenai penunjukkan arbiter atau persidangan arbitrase atau telah dinyatakan tidak dapat mengajukan sengketanya. PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa sebagai pihak yang bersengketa yang tidak diberitahu tentang penunjukkan arbiter dan persidangan arbiterase sehingga tidak dapat membela hak dan kepantingan, seharunya mengajukan permohonan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
ICSID mengatur mengenai pembatalan putusan arbitrase dalam pasal 52. Berdasarkan ICSID, semua putusan arbitrase ICSID yang dimintakan pembatalan, permohonannya diajukan kepada sekretaris jenderal ICSID. Pembatalan putusan arbitrase internasional ICSID adalah kewenangan dari sekretaris jenderal ICSID. Putusan arbitrase ICSID dapat dibatalkan karena alasan-asalan sebagai berikut :
a. Pembentukan Majelis tidak tepat
b. Majelis arbitrase melampaui batas kewenangannya c. Salah seorang anggota arbiter melakukan kecurangan d. Penyimpangan yang serius pada tata cara pemeriksaan e. Tidak cukup dasar pertimbangan putusan.
Adanya kewenangan sekretaris jendral ICSID dalam pembatalan putusan arbitrase ICSID, menunjukkan bahwa pihak yang berhak melakukan pembatalan ada pihak yang hukumnya dipakai sebagai dasar putusan tersebut dijatuhkan. PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena putusan arbitrase internasional IDRS 129100009 dihasilkan tanpa mendengar keterangan dari pihak PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa. Pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak tepat, berdasarkan tata cara pembatalan putusan arbitrase ICSID, pihak yang berhak membatalkan putusan arbitrase tersebut ada lembaga arbitrase itu sendiri. Maka, seharusnya PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa mengajukan permohonan pembatalan kepada Chartered International Arbitration di London.
3. Berdasarkan UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa apakah pembatalan putusan arbitrase yang dimaksud adalah pembatalan putusan arbitrase nasional atau internasional. Pasal 70-72 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi dasar atas pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase IDSR 129100009 oleh PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengaturan mengenai pembatalan putusan arbitrase dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini yang menjadi celah bagi PT. Hamparan Nusantara dan PT. Mitra Adiperkasa untuk membatalkan putusan arbitrase internasional IDRS 129100009.
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah secara tegas mengatur mengenai pasal 70-72 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam pedoman yang telah dikeluarkan kepada seluruh pejabat struktural dan fungsional beserta aparat peradilan melalui Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan buku II, halam 178, yaitu : “C. Pembatalan Putusan Arbitrase
1. Yang dapat dimohonkan pembatalan adalah putusan arbitrase nasional, sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999, sesuai ketentuan pasal 70-72 Undang-Undang No. 30 tahun 1999.”
putusan arbitrase nasional tersebut memenuhi syarat pembatalan sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Adapun putusan arbitrase internaisonal tidak dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan negeri.
Lembaga pengadilan juga diharuskan menghormati lembaga arbitrase sebagaimana dimuat dalam pasal 11 ayat 2 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Klasul arbitrase atau perjanjian arbitrase menjadi suatu kewenangan absolut bagi arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan. Pengadilan harus merelakan jurisdiksinya apabila pihak-pihak telah sepakat untuk membuat perjanjian menyerahkan kasus mereka ke arbitrase.120
Bahkan di dalam arbitrase, kesepakatan para pihak yang tertuang dalam perjanjian atau klausul arbitrase juga mengikat pihak ketiga, terutama pengadilan atau lembaga yang berwenang. Implikasi lain dari
pacta sunt servada dalam bunyi ketentuan pasal 3 dan pasal 11 UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa agak menyimpangi salah satu prinsip yang dikenal luas, yaitu bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya. Adapun kewenangan absolut arbitrase masih ditegaskan pada pelaksanaan putusan arbitrase yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri sebagaimana yang tercantum dalam pasal 62 ayat 4 UU
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi “Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.” Dengan demikian, ketua pengadilan negeri tidak mempunyai kewenangan untuk meninjau suatu putusan arbitrase secara material.121
121 Jessicha Tegar Pamolango, Jurnal dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dipaparkan mengenai kekuatan putusan arbitrase internasional di Indonesia, maka dapat diambil kesimpulan dan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
hukum putusan arbitrase internasional di Indonesia telah di atur dalam undang-undang, pemerintah tetap berupaya agar putusan arbitrase internasional dihormati dan dilaksanakan.
2. Peradilan Indonesia memiliki kewenangan dalam hal pengakuan dan penolakan putusan arbitrase internasional, namun Peradilan Indonesia tidak memiliki kewenangan dalam hal pembatalan putusan arbitrase internasional. Hal ini dapat dilihat dari Konvensi New York 1958 yang memberikan kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase internasional kepada negara di mana atau berdasarkan hukum apa putusan arbitrase tersebut dijatuhkan. ICSID juga memberikan kewenangan untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase internasional ICSID pada sekretaris jendral ICSID. Hal mengenai pembatalan putusan arbitrase dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebenarnya hanya berlaku bagi putusan arbitrase nasional saja. Pengakuan, dan penolakan putusan arbitrase internasional diatur dalam Konvensi New York 1958 dan diturunkan dalam hukum nasional dengan diberikan kewenangan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara itu, pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan di mana putusan tersebut dijatuhkan.
Pengadilan Nasional tidak memiliki wewenang dalam hal pembatalan putusan arbitrase internasional, sehingga putusan arbitrase IDSR 129100009 dikuatkan dengan adanya Putusan MA No. 631/K/Pdt.Sus/2012 dan putusan arbitrase IDSR 129100009 diakui dan dilaksanakan di Indonesia.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang disampaikan, maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut :
1. Pemerintah Indonesia harus berperan sebagai alat pengontrol terhadap putusan arbitrase internasional yang diminta pelaksanaannya di Indonesia agar dapat dilaksanakan di dalam negeri. Pemerintah Indonesia harus berupaya agar putusan arbitrase internasional dihormati dan dilaksanakan. 2. Perlunya diadakan revisi UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian