29
Bagian ini merupakan elaborasi dari pemikiran berkaitan dengan ritual dalam perspektif sosiologi. Tiga tokoh pemikir sosiologi klasik dirunut pemikirannya berkenaan dengan kajian ritual yang dipraktekan dan berkembang di dalam masyarakat. Abstraksi dari tiga tokoh besar sosiologi tersebut telah mewakili pemikiran dunia sosiologi tentang hadirnya agama, sebagai landasan terjadinya ritual di dalam masyarakat. Dari ketiga tokoh tersebut, Emile Durkheim yang akan didiskusikan secara mendalam terkait dengan ritual
sebagai sui generis masyarakat, asal mula dan perkembangan
di dalamnya.
Secara definitif, kamus besar bahasa Indonesia
mengenal ritual berkenaan dengan ritus; hal ihwal ritus.1
Koentjoroningrat, tokoh antropologi sosial Indonesia memberi definisi bahwa ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan oleh sekelompok umat beragama. Yang ditandai dengan adanya berbagai macam unsur dan komponen, yaitu adanya waktu, tempat-tempat dimana upacara dilakukan, alat-alat dalam upacara, serta
orang-orang yang menjalankan upacara.2 Pada dasarnya ritual
adalah rangkaian kata, tindakan pemeluk agama dengan menggunakan benda-benda, peralatan dan perlengkapan tertentu, di tempat tertentu dan memakai pakaian tertentu
pula.3 Ritual dipraksiskan di dalam masyarakat didasarkan
kepada kepercayaan dan agama yang dianutnya. Dalam agama
1 Diakses di http://kbbi.web.id/ritual pada hari Senin, 9 November 2016, 21.23
WIB.
2 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, ( Jakarta: Dian Rakyat,
1985), 56
3 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Remaja Rosda
dan kepercayaan berkembang serangkaian ritual yang harus
dan wajib untuk dilakukan oleh para penganutnya.
Untuk menelisik lebih jauh tentang ritual, diperlukan pembahasan tentang agama, dimana ritual berkelindan di dalamnya.
A. Agama sebagai Candu Masyarakat
Agama sebagai candu diperkenalkan oleh Karl Marx dalam konsepnya memahami agama. Secara eksplisit, karya-karya Marx tidak ditemukan bahasan secara khusus dan sistematis tentang agama, tetapi secara implisit Marx tentang agama termuat di dalam pandangannya tentang alienasi di dalam masyarakat. Dalam pandangan Young Marx, agama
adalah sebagai hasil dari keterasingan. Marx tidak
mengabaikan hubungan dialektis antara pikiran dan
masyarakat. Wawasan signifikan Marx adalah bahwa kesadaran masyarakat menghasilkan keberadaan manusia, keberadaan manusia ada dalam proses hidup. Kesadaran adalah produk awal dalam kehidupan sosial, Baum menegaskan bahwa Marx dalam analisanya dengan eksklusif menekankan struktur ekonomi dan politik, Marx mengabaikan
faktor-faktor budaya.4
Marx dipengaruhi oleh filsafat Feuerbach, khususnya pandangannya tentang agama: Menurut Feuerbach, Tuhan adalah esensi kehidupan manusia yang mereka proyeksikan menjadi sebuah kekuatan impersonal. Manusia menempatkan Tuhan di atas dan di sekeliling mereka sendiri yang menyebabkan mereka menjadi terasing dari Tuhan dan membangun seperangkat ciri positif bagi Tuhan (bahwa Dia mahasempurna, mahakuasa, dan mahasuci). Sementara mereka merendahkan diri, mereka sendiri lantas menjadi
4 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A
manusia tidak sempurna, tanpa kuasa, dan tanpa dosa. Menurut Feuerbach, masalah keyakinan agama seperti itu harus diatasi dan kelemahannya itu harus dibantu dengan filsafat materialis yang menempatkan manusia (bukan agama) menjadi objek tertinggi diri mereka sendiri, menjadi tujuan di dalam diri mereka sendiri. Filsuf materialistis mendewakan
manusia nyata, bukan gagasan abstrak seperti agama.5
Sejauh pemahaman tentang agama adalah hasil dari proyeksi manusia, Marx menyetujui hal ini, tetapi Marx memberikan kritikannya terhadap pandangan Feuerbach, Marx mengatakan bahwa dalam pandangan Feurbach tidak terdapat atau tidak mengandung pemahaman sosiologis. Bagi Marx, ateisme dapat diterima jika disertai dengan analisa sosial dan kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masyarakat, sehingga manusia menciptakan ilusi keagamaan. Ateisme dapat diterima jika tujuannya adalah mengarah secara radikal kepada transformasi tatanan sosial, karena bagi Marx agama adalah produk dari keterasingan sosial dan bagi Marx, fakta yang ada dalam masyarakat bahwa ada terdapat kesenjangan antara lembaga-lembaga sosial, sehingga menimbulkan beban bagi orang-orang, kemanusiaan yang terabaikan, mendistorsi pemahaman diri mereka sebagai manusia, tetapi melalui keadaaan ini dapat saja menciptakan kesadaran palsu didalamnya. Orang-orang akan menerima keadaan ini sebagai sebuah realita dan ini merupakan pemalsuan persepsi. Pertama-tama pemalsuan yang dilakukan oleh agama. Agama membujuk orang-orang untuk menerima keadaan dan penderitaan, memberikan harapan-harapan sorgawi untuk menguatkan orang-orang, supaya mereka sabar dalam penderitaannya. Jadi bagi Marx, melalui penderitaan-penderitaan manusia, dari keterasingannya maka mereka akan
5 Lihat uraian lengkap dalam, Karl Marx, The Economic and Philosophic
lari kepada agama, sehingga inilah yang dia sebut agama
adalah produk dari keterasingan manusia.6
Analisis keterasingan di dalam produksi kapitalis, bertolak dari suatu fakta ekonomi kontemporer. Fakta bahwa semakin maju kapitalisme, maka akan semakin miskin pula si buruh. Buruh dipisahkan dengan hasil kerjanya, karena untuk mendapatkan hasil produksi yang melimpah adalah ditunjang oleh pemilik tanah dan pemilik modal. Jadi yang menjadi masalah pokok bagi Marx adalah bahwa di dalam kapitalisme objek-objek material yang diproduksi disejajarkan dengan buruh itu sendiri, buruh bahkan menjadi komoditi yang lebih murah, dengan semakin banyaknya barang yang ia hasilkan. Buruh (subyek, pencipta) telah membaur dengan produksinya
(objek).7 Jadi dalam proses produksi, buruh menjadi budak
dari objek, sehingga mengakibatkan keterasingan terhadap objek-objek yang diproduksinya. Seperti halnya keterasingan di dalam agama, sifat-sifat yang dihubungkan dengan Tuhan dalam etika Kristen yang dari awalnya dikendalikan oleh manusia, dialihkan menjadi seolah-olah adalah oleh kekuatan eksternal.
Bagi Marx, agama juga ikut berperan dalam melegitimasi sistem/struktural yang ada dalam masyarakat, sistem yang melegalkan dominasi terhadap pekerja yang terasing, agama tidak lagi melakukan fungsinya untuk memberikan kritikannya terhadap ketidakadilan yang ada di dalam masyarakat, dan melakukan pembebasan bagi penderitaan manusia. Tetapi agama malah menawarkan janji-janji kebahagiaan di masa depan, tanpa melakukan tindakan
pembebasan bagi ketertindasan manusia.8 Agama mengajarkan
6 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A
Theological Reading ofSociology, (New York: Paulist Press, 1975), 40.
7 Ibid, 40 - 44
8 Lihat uraian lengkap dalam, Karl Marx, The Economic and Philosophic
orang untuk menerima keadaan apa adanya termasuk betapa kecilnya pendapatan yang ia peroleh. Dengan ini semua, secara tidak langsung agama telah membiarkan orang untuk tetap pada kondisi materialnya dan menerima secara pasrah apa yang ia terima walaupun ia tengah mengalami penderitaan secara material. Agama mengajak orang untuk berani menanggungnya karena sikap menanggung itu sendiri dipandang sebagai keutamaan.
Marx juga mengatakan agama menjadi semacam ekspresi atas protes terhadap penindasan dan penderitaan riil.
Marx menulis: penderitaan agama adalah pada saat yang sama
merupakan ekspresi atas penderitaan yang riil dan suatu protes terhadap penderitaan yang riil. Agama adalah keluh kesah mahluk yang tertindas, hati dari suatu dunia yang tak memiliki hati, sebagaimana juga merupakan jiwa dari suatu keadaan yang tidak memiliki jiwa. Selain itu, dengan pandangan bahwa agama mampu memberi penghiburan dan membuat orang berpasrah, maka agama justru dapat dimanfaatkan oleh kelas atas. Kelas atas justru dapat semakin mengeksploitasi kelas bawah dengan melihat bahwa agama
membuat kelas bawah untuk tetap puas dengan
penghasilannya. Terlebih lagi, agama menawarkan suatu kompensasi atas penderitaan hidup sekarang ini pada suatu kehidupan yang akan datang, sehingga malah justru membiarkan ketidakadilan berlangsung terus menerus. Agama
memberi gambaran yang keliru tentang realitas.9
Agama adalah candu rakyat . Opium adalah ekspresi
nyata dari penderitaan, yang merupakan penghibur yang dicari, karena frustasi yang diakibatkan oleh tatanan sosial. Tetapi opium bukan protes terhadap penderitaan, opium adalah keluhan mahluk yang tertindas dalam dunia yang tidak adil dan eksploitatif. Baum menegaskan supaya melalui
kritikan Marx ini kaum agamawan kembali kepada fungsi kritik
sosial, peran kenabian dan kritik terhadap agama.10 Teori yang
dikemukakan oleh Marx ini menjadi pisau analisis yang dapat dipakai untuk membedah legitimasi agama yang dihembuskan oleh kaum penguasa, untuk kepentingan kelompoknya.
B. Agama Sebagai Tindakan Sosial
Dalam pandangan Max Weber, tindakan-tindakan keagamaan merupakan sebuah tindakan sosial di dalam
masyarakat. Dalam pemahamannya, tindakan sosial
berorientasi kepada nilai tertentu, termasuk nilai keagamaan. Weber menginterpretasikan tindakan keagamaan dengan memahami motif-motif sang aktor dari sudut pandang
subyektif.11 Weber tidak secara spesifik membicarakan tentang
esensi agama. Namun, ia lebih menelaah kepada kondisi dan dampak dari agama yang berhubungan erat dengan
aksi/tindakan sosialnya. Diskursus ini didapat dari
pemahaman penganut agama yang tercermin di dalam perilaku keagamaannya, pengalaman, ide dan tujuan dari individu tersebut. Penganut agama pada masa awal percaya kepada kharisma pada pemimpinnya. Pemimpin yang mempunyai kharisma dianggap sebagai orang yang mempunyai anugrah dari Tuhan. Fenomena religius ini yang masih menjadi agama rakyat.12
Sebuah proses abstraksi tentang pemahaman agama primitif menyebutkan, bahwa ada banyak benda yang mempunyai kharisma atau kekuatan baik berupa binatang, artefak maupun orang. Benda-benda tersebut merupakan
10 Lihat uraian lengkap di dalam Gregory Baum. Religion and Alienation: A
Theological Reading of Sociology(New York: Paulist Press, 1975), 52
11 Lebih lanjut dapat dilihat di dalam Furseth, an Introduction to the Sociology of
Religion(Burlington USA: Ashgate Publishing Limited, 2006), 36
12 Max Weber, Economy And Society. Volume I. (1910-14). An Outline of
sebuah penghantar visible sebagai sebuah entitas tentang Tuhan. Selanjutnya, Roh dan Setan mulai di-visible-kan oleh manusia sebagai pengejawantahannya. Kharisma dari Tuhan
yang diturunkan kepada manusia nampak pada para magician
yang mempunyai kekuatan khusus yang berbeda dari manusia
lainnya. Magician (ahli magis) ini yang mempunyai
kekuatan/kharisma tetap untuk dapat memunculkan
kekuatan-kekuatan gaib.13 Berdasarkan kekuatan gaib inilah
tindakan sosial masyarakat mulai berubah. Bagi Weber, tindakan sosial masyarakat merupakan hasil abstraksi dan rasionalisasi terhadap pengalaman-pengalaman hidupnya, termasuk cara beragama.
Weber menyebutkan, tentang adanya perbedaan antara tuntutan gaib dengan permohonan, berdoa dan berkorban. Melalui doa (usaha rasionalis) disampaikanlah permohonan supaya para dewa memberikan hal-hal ajaib atas doa dan permohonan mereka, hal ini memiliki kesamaan dengan bisnis murni, adanya harapan imbalan. Melaui pengorbanan (mempersembahkan korban khususnya binatang) sebagai media untuk memaksa para dewa supaya memberikan permohonan/memberikan imbalan. Melalui ritus pengorbanan ini menciptakan komunitas persaudaraan dengan makan secara bersama-sama. Persaudaraan bukan saja diantara orang-orang yang mempersembahkan korban tetapi juga
bersama dewa (tuhan).14
Bagi Weber, ada diferensiasi antara pendeta-pendeta dan tukang-tukang sihir dalam menjalin hubungan-hubungan manusia dengan kekuatan-kekuatan supranatural, yang berbentuk doa, pengorbanan dan pemujaan. Cara pemujaan yang dilakukan oleh agama dan ahli sihir yang melakukan pemaksaan magis. Para pendeta diterapkan pada fungsi
sebagai profesional (seperti sebuah perusahaan), terorganisir dan permanen. Para pendeta memiliki kualitas berdasarkan pengetahuan khusus yang mereka miliki seperti doktrin, kualifikasi kejuruan, kharisma yang mereka miliki, sedangkan tukang-tukang sihir melakukan pekerjaannya berdasarkan upaya pribadi. Tetapi baik para pendeta dan tukang-tukang sihir sama-sama memperoleh pendapatan dari pekerjaan yang
mereka lakukan.15 Dalam hal inilah sebuah rasionalisasi
kharisma yang dikembangkan oleh Weber, bahwa cara beragama erat kaitannya dengan tindakan sosialnya.
C. Agama Sebagai Kesadaran Kolektif
Durkheim berpendapat bahwa agama muncul karena adanya suatu getaran atau suatu emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia (mental effervescent) sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat. Getaran yang ada di dalam diri masyarakat tersebut berupa suatu kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat, bakti, cinta dan perasaan lainnya terhadap sesamanya (masyarakat) di mana ia hidup. Getaran jiwa tersebut semakin berkobar ketika ditangkap oleh sesamanya, dan membentuk sebuah kesadaran kolektif bersama. Dorongan jiwa yang lebih kuat ini mendorong obyektifikasi, dan biasa dikategorisasi
dengan yang suci (sacred) dan duniawi (profan) .16 Kekuatan
yang ada di dalam obyek suci menjadikan masyarakat dapat merasa damai sejahtera. Simbol-simbol telah dibuat, lantas
dibentuklah sebuah liturgi untuk mengadakan ritual bagi
pemujaannya. Dalam bahasa Durkheim, totem dipakai sebagai
simbolisasi getaran jiwa dari sebuah masyarakat.
15 Lihat uraian selengkapnya di dalam Max Weber, Economy And Society. Volume
I. (1910-14). An Outline of Interpretive Sociology. Guenther Roth and Claus Wittich, (ed.). (California: The Regents of University of California, 1978), 424 - 427
16 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward
Durkheim menegaskan, bahwa totemisme bukanlah
agama yang menyembah binatang-binatang tertentu.
Totemisme adalah agama yang menyembah semacam kekuatan anonim dan impersonal yang bisa dikenali tetapi tidak
identik.17 Di dalam alam semesta, penuh dengan kekuatan yang
dapat direpresentasikan dalam rupa yang dipinjam dalam wujud binatang atau tumbuhan. Orang Australia modern melakukan dan percaya pada totem, karena mereka berusaha menjaga tradisi yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya. Hal inilah yang mendasari asal-usul dari totemisme, karena adanya kepercayaan bahwa para leluhur mereka, yang berasal dari salah satu binatang atau tumbuhan dan menjadi totemnya. Durkheim juga memberikan uraiannya tentang konsep jiwa dan roh, dan digunakan untuk menjawab kritikan-kritikan dari beberapa orang yang membuat definisi agama yang harus
mengandung muatan jiwa dan roh.18
Masyarakat disebut Durkheim sebagai sui generis.
Dalam sekumpulan masyarakat, terdapat keunikan/ciri khas yang membedakan satu masyarakat dengan yang lainnya. Keunikan tersebut yang kemudian mempengaruhi/mengikat dalam sistem sosial, ekonomi, dan pandangan tentang agama. Realitas keunikan masyarakat ini yang kemudian dapat merepresentasikan simbol-simbol dan fenomena lainnya, yang
18 Pandangan orang Australia, jiwa memiliki wujud yang immaterial, namun jiwa
antara anggota masyarakat. Di dalamnya terdapat aturan di luar individu, yang mengatur sah tidaknya suatu hubungan
individu. Aturan ini oleh Durkheim disebut : Collective
consciousness atau kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif yang berada di luar individu dapat merasuk ke dalam individu dengan wujud : aturan moral, aturan agama, aturan-aturan tentang yang baik dan yang buruk, luhur, mulia dan lain-lain. Collective Consciousness akan tetap bertahan sekalipun manusia meninggal. Ia mengandung daya memaksa, sehingga ada hukuman bagi yang melanggarnya. Dengan perkataan lain, Collective Consciousnesss tidak lain adalah consensus masyarakat, yang mengatur hubungan sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan. Ia menampakkan bentuk tertinggi dari kehidupan psikis manusia yang berada di luar dan di atas individu.
Dengan kesadaran demikian, setiap individu menyadari bahwa masyarakat adalah lebih tinggi dari pada individu dan di sanalah terdapat "dewa" yang mereka sembah yang diajarkan agama. Dengan demikian, seperti telah dikemukakan bahwa fungsi agama adalah : membela, mempertahankan, menciptakan sejenis suasana persatuan dan identitas
masyarakat, sedangkan tugasnya adalah untuk
menerjemahkan realitas kini, ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti.19 Di dalam diri manusia, kesadaran kolektif ini
akan mendorong manusia melakukan perbuatan yang dapat diterima oleh anggota masyarakat (yang merupakan gagasan kolektif dalam masyarakat itu dan menjadi kewajiban bagi semua anggota masyarakat), sehingga orang itu akan diterima oleh semua anggota masyarakat. Dengan demikian, ia akan mempunyai otoritas moral dalam masyarakat, ia akan dihargai oleh masyarakat. Maka ia akan merasa aman, merasa lebih kuat
19 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward
(seperti seseorang mendapat kekuatan dari dewanya). Masyarakat dapat memberi dukungan yang bersifat langgeng bagi orang yang demikian.
Masyarakat menciptakan sesuatu yang menjadi sakral, misalnya pengakuan terhadap seorang raja atau pemimpin, karena masyarakat melihat raja/pemimpin itu mempunyai kekuatan atau dengan sengaja diberi "sifat" kuasa oleh masyarakat. Seperti halnya di Melanesia, seorang yang
berkuasa dikatakan mempunyai mana, maka menurut
Durkheim, sebenarnya pendapat umum (gagasan kolektif) itulah yang berkuasa. Masyarakat itu menghabiskan ide-ide, gagasan-gagasan atau cita-cita. Kalau ide atau gagasan itu sudah dimiliki bersama oleh masyarakat, maka ide dan gagasan
itu menjadi sakral.20 Durkheim memberi contoh seperti hari
kemerdekaan suatu negara.
Durkheim menjelaskan bahwa upacara secara umum bertujuan untuk menegaskan kembali komitmen pada klen.
Pada saat upacara dilaksanakan, ketika orang-orang
mengalami kegembiraan, maka di dalam kegembiraan emosional yang meluap-luap, individu larut dalam (diri) klen yang tunggal dan besar. Di tengah kumpulan yang bergolak itu, individu mendapat sentimen dan kekuatan serta semangat. Pada saat itulah mereka memasuki wilayah yang sakral dengan hikmat, yang dibutuhkan mereka untuk melanjutkan lagi tugas mereka (misalnya berburu dan menangkap ikan). Pemujaan ini dapat dibedakan atas tiga macam yaitu:
a. Pemujaan Negatif : Bentuk pemujaan negatif adalah
larangan-larangan atau tabu. Di samping ada larangan dari agama, ada juga larangan dari magis. Ada perbedaan antara keduanya, hukuman atas pelanggaran tidak sama,
20 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward
seperti halnya kehidupan sakral dan profan harus
terpisah.21
b. Pemujaan positif : Pemujaan positif hanya mungkin
dilakukan, jika ada seorang pria yang dilatih untuk
berkorban, melakukan penolakan dan tidak
mempedulikan diri sendiri, untuk menderita.22
c. Pemujaan/upacara piacular : Kata piacular berasal dari
kata piaculum, yang tidak hanya mengandung pengertian
menebus atau menghapuskan. Pemujaan piacular adalah
upacara kedukaan atau kesusahan. Upacara piacular
dilakukan dalam keadaan sedih, misalnya sesudah ada
bencana atau kematian. Upacara piacular dimaksudkan
untuk berdamai dengan kekuatan jahat, sehingga keadaan
menjadi aman kembali. Ritus piacular dapat juga
dilakukan dengan maksud : menyusun kembali,
menghidupkan kembali, menegaskan kembali, kekuatan klen yang berkurang karena meninggalnya satu orang.
Dengan demikian maka tugas ritus piacular adalah
membantu klen melewati bagian-bagian yang gelap (misalnya pada saat klen tertimpa kematian). Dalam hal ini fungsinya adalah: memberi kesempatan kepada individu untuk memperbaharui komitmen mereka
terhadap komunitas.23
Semua upacara dilaksanakan dalam satu klen dan satu kerangka "sosial". Dengan upacara tersebut, yang jahat (jiwa orang pada waktu mati) dapat berubah menjadi pelindung. Dalam melaksanakan upacara, perasaan semua anggota klen menjadi sama sifatnya, seolah-olah memiliki suatu ikatan.
21 Ibid, 434-446 22 Ibid, 456
23 Pemujaan tidak hanya dilakukan oleh individu tetapi oleh seluruh anggota
Menurut Durkheim, ritus adalah aturan-aturan dalam tingkah laku yang memberikan pedoman bagaimana seseorang harus menempatkan diri dalam keadaan hadirnya hal-hal yang sakral
itu.24 Tingkah laku manusia dan sistem upacara dalam
kehidupan sehari-hari dapat saja mempengaruhi
perkembangan sistem keyakinan dan ajaran-ajaran. Karena apa yang telah berulang-ulang dan terus menerus dilakukan, akan menyebabkan manusia yang melaksanakannya sebagai sesuatu yang memang sebaiknya demikian. Durkheim menghubungkan ritus dengan kesadaran kolektif, bahwa kesadaran kolektif itu merupakan kebutuhan asasi dalam diri setiap manusia, sehingga perlu diaktifkan kembali dengan upacara-upacara religius yang dianggap keramat. Apabila manusia menghadapi hal-hal yang gaib dan keramat (sakral), maka manusia akan bersikap penuh emosi yang disebabkan dari sikap takut - terpesona. Seorang yang percaya akan cenderung menyampaikan pengalaman batinnya kepada
orang-orang lain, dan seterusnya satu klen akan
menyampaikan kepercayaannya kepada klen lain, sehingga
muncullah intereaksionalisme kepercayaan itu. Semua
masyarakat memerlukan suatu penguatan akan
kepercayaannya. Untuk itulah mereka mengadakan pertemuan untuk mempertebal sentimen kolektif dan pemikiran kolektif yang mempersatukan masyarakat.
D. Perspektif Mitologi
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos mempunyai arti cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa tersebut, mengandung
24 Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. Joseph Ward
arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.25 Dari
pengertian secara harfiah, setiap bangsa (suku bangsa)
mempunyai mitos dan mempercayai mitos secara tersendiri.
Menurut Roland Barthes, mitos adalah unsur penting yang
dapat mengubah sesuatu yang kultural atau historis menjadi alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang didapat dari mitos tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan
oleh masyarakat.26 Apabila ditarik sebuah benang merahnya,
secara definitif mitos merupakan cerita atau pesan yang diyakini kebenarannya di dalam masyarakat, namun tidak dapat dibuktikan secara rasional.
Mitos yang berkembang di dalam masyarakat bukan hanya sekedar cerita, tetapi lebih daripada itu ada sebuah
makna (meaning) yang hendak disampaikan dibalik kisah
tersebut. Sebagai contoh, objek yang akan diceritakan terkait dengan batu besar. Cerita yang sajikan dalam paradigma mitologi bukan hanya terkait dengan batu besar secara kasat mata, akan tetapi tentang batu besar, baik tentang apa yang ada di dalamnya dalam makna yang luas. Setiap kelompok masyarakat dapat mempunyai kisah mitologi yang berlainan terkait dengan batu besar. Kondisi sosial, imaji dan keperluan sosial dapat menghasilkan mitos-mitos yang berlainan, terkait dengan batu besar tersebut.
Menurut Roland Barthes, tuturan mitologis bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, dan lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi. Paparan contoh di atas
25 Diakses melalui https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/mitos, 20 Mei 2017, 20.36
WIB
26 Untuk mengetahui lebih dalam konsep definitif tentang mitos dari Roland
mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi, sehingga dapat diterima oleh akal. Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep,
atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi.27
Tuturan mitologis dipercaya dan sangat diyakini oleh masyarakat setempat.
Secara kasat mata, mitos sulit terdeteksi oleh pendatang dalam sebuah komunitas. Mitos dapat dilihat hidup dan bertalian erat di dalam kehidupan masyarakat. Barthes
berpendapat bahwa kita hidup bukan diantara benda-benda
melainkan dari opini-opini yang sudah diyakini . Opini-opini
yang berkembang di dalam masyarakat akan menjadi dominan dan menguasai sistem keyakinan dalam kelompok tersebut. Dalam konsepnya, Barthes mengemukakan bahwa ada tiga hal
dalam dunia mitologi28 :
1. Penanda/Signifier (significant)
Dalam konsep yang dimunculkan oleh Barthes, penanda merupakan sesuatu yang dapat ditangkap dengan indera. Simbol-simbol, bahasa, lukisan, gambar maupun artefak merupakan sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera. Dibalik simbol-simbol tersebut terkandung makna yang perlu digali dan dipahami. Tanpa makna, simbol-simbol yang ada hanya sebatas penanda.
27 Lihat Roland Barthes, Mythologies, (New York: The Noon Day Press, 1991)
dalam http://download.portalgaruda.org/article.php., diakses 30 Agustus 2017, 21.46 WIB.
28 Konsep mitologi yang dikembangkan Barthes diwarnai oleh konsep dari
2. Petanda/Signified (signife)
Petanda merupakan sebuah konsep dibalik penanda. Simbol-simbol yang dihasilkan mempunyai makna konseptual yang tidak dapat ditangkap secara inderawi, namun perlu ditangkap secara mental dan pemahaman yang utuh. Petanda ini dapat berupa sejarah, tradisi, maupun kebiasaan di dalam masyarakat. Petanda melengkapi penanda, sehingga sesuatu mempunyai makna yang dapat dipahami oleh masyarakat.
3. Tanda (Sign)
Tanda ini merupakan pengikat dari penanda dan petanda. Sesuatu yang telah mempunyai makna kemudian di bungkus ke dalam sebuah tanda, baik berupa cerita berwujud (denotasi), maupun tak berwujud/abstrak (konotasi). Tanda inilah yang kemudian membentuk sebuah mitos.
Konsep yang dikembangkan Barthes dapat menjadi pintu masuk dalam mempelajari mitos yang berkembang di dalam masyarakat. Mitos yang berkembang dan dikembangkan di dalam masyarakat, kemudian membentuk cerita dan kisah yang dianggap gaib dan tidak kasat mata. Dari kisah mitos tersebut, muncul ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan berdasarkan keyakinan akan mitos.
E. Perspektif Ritual
Ada keragaman teori mengenai ritual yang
dikemukakan oleh para tokoh. Dari paparan teori yang beragam tersebut, masing-masih tokoh mengemukakan berdasarkan hasil penelitian subyektifnya, yang ditemukan di dalam lokasinya. Dari beberapa pandangan teori ritual yang beragam tersebut, dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
a. Perspektif yang pertama memandang ritual adalah sebuah
obsesive, mimetic dan berupa ekspresi fisik dari ide
sebelumnya (Ritual and Myth). Pemikir yang sepakat
dengan perspektif ini antara lain Levi-Strauss, Tylor.
b. Perspektif yang kedua ritual merupakan reintegrasi dari
fungsional struktur, dan distingsi antara keyakinan dan
kebiasaan.29 Beberapa tokoh yang sepakat dengan
perspektif ini antara laian Durkheim, Stanley Tambiah, Malinowski.
c. Perspektif yang ketiga mendeskripsikan ritual sebagai
kesatuan di dalam masyarakat yang kontras dengan friksi, daya saing dunia sosial, dan keadaan liminal kehidupan. Victor Turner merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan perspektif ini di dalam setiap karyanya. Marx dan Engels juga berpendapat bahwa ritual merupakan bagian dari ketidakstabilan dari sebuah sistem ekonomi, sehingga terjadi friksi dan liminal di dalam kehidupannya.
Konsep liminalitas yang dipaparkan oleh Turner dapat dipakai menjadi pintu masuk dalam mempelajari ritual di kehidupan masyarakat. Sumbangan utama dari Victor Turner terletak pada usaha pemahaman ekspresi agama yang berupa konsep mengenai proses yang ada dalam upacara ritual. Konsepnya mengenai liminalitas sebagai suatu jembatan penghubung, yaitu yang tidak berstruktur, bersifat transisi, dan merupakan suatu tingkat atau fase tanpa klasifikasi, merupakan pencerminan dari pandangannya mengenai upacara dan agama sebagai suatu sistem yang bersifat formatif
dan reflektif.30 Dengan melalui fase liminalitas, upacara
mendasari suatu proses transformasi dan yang secara bersamaan mengabsahkan kembali kategori-kategori lama,
29 Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, (New York: Oxford University
Press, 1992), 20
30 Lihat di dalam Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure,
yang bersifat struktural dan yang sementara itu juga berfungsi sebagai pusat kekuatan pendorong bagi berbagai kegiatan, bagi penciptaan bentuk-bentuk baru dari konsep-konsep yang bersifat struktural.
Dengan demikian, hubungan antara ritual dengan struktur sosial terletak pada kesanggupan dari ritual untuk dapat menempatkan dirinya di atas kedudukan satuan struktur sosial, melalui fase liminal atau fase anti-struktural, sehingga hubungan antara ritual dengan struktur sosial tersebut memungkinkan dapat tetap lestari dalam kegiatan upacara itu sendiri. Dalam hal ini ritual berperan sebagai pedoman bagi semua fase-fase dan semua aspek-aspek pengalaman kebudayaan, melalui berbagai bentuk proses yang dilalui oleh setiap individu. Dengan kata lain, ritual merupakan suatu sumber bagi penciptaan ide-ide baru yang didorong untuk dihidupkan pada masa liminal, maupun sebagai sumber bagi terwujudnya status quo dalam pelaksanaannya.
Dimensi dalam sebuah proses ritual menurut Victor
Turner31 yaitu:
1. Process analysis : yaitu mempelajari proses spirito-psycho-social yang terjadi, aspek metodikal dan tahapan-tahapannya (fase-fase transformasi).
2. Symbolic theory : yaitu memahami makna-makna simbolis yang direpresentasikan.
3. Structure dan anti-structure : sebagaimana nantinya akan kita lihat bahwa ritual memiliki kaitan yang sangat erat dalam formasi sebuah struktur kemasyarakatan maupun deformasi (pengubahan) sebuah struktur yang mapan. Di sini sebuah ritual dipelajari dalam kaitannya dengan kerangka struktur kemasyarakatan maupun fungsinya sebagai penjaga social order.
31 Lihat di dalam Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure,
4. Liminal: Liminal state adalah sebuah kondisi yang terdapat dalam suatu peralihan/tranformasi, dimana terdapat disorientasi, ambiguitas, keterbukaan, dan ketidakpastian (indeterminancy).
Dalam liminal state inilah maka dimungkinkan
terjadinya perubahan-perubahan, misalnya: status
sosial, personality value atau identitas pribadi. Jadi dengan kata lain, liminality adalah suatu periode transisi dimana pikiran normal, self-understanding dan tingkah laku dalam kondisi
relaks, terbuka dan receptive untuk menerima perubahan.
Dalam keadaan liminal inilah ritual berfungsi untuk memberikan kestabilan di dalam kehidupan masyarakat.
Rangkaian perspektif ritual yang dikembangkan para tokoh cenderung sangat subyektif, karena didasarkan pada pemahaman dan analogi yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh. Dalam dialektika pemahaman ritual, rangkaian perspektif tersebut sangat terbatas apabila hendak mengkaji perkembangan ritual di berbagai wilayah dan segi kehidupan. Ada satu pemikir yang berusaha menyajikan konsep holistik dalam menganalisis ritual yang terjadi di masyarakat. Catherine Bell (yang selanjutnya disebut Bell) menawarkan kerangka berpikir holistik dalam mengkaji dan mengamati perkembangan ritual yang terjadi di dalam masyarakat. Menurutnya, ritual yang terjadi di masyarakat tidak statis,
tetapi dinamis mengikuti pergerakan konteksnya.32 Bagi Bell,
ritual harus dipahami berdasarkan konteks dan/atau lingkungannya. Menurutnya, konteks tersebut merupakan
bangunan kehidupan ritual.33
Ritual dapat dipakai sebagai sarana untuk bertahan hidup di tengah perubahan yang moncar di tengah kehidupan. Oleh sebab itu, dalam memahami ritual perlu melihat situasi
32 Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions, (New York: Oxford University
Press, 1997), 2
dan kondisi, dimana masyarakat tersebut ada dan terkait dengan alasan strategis terhadap bangunan kehidupan ritual
secara holistik. Dalam bukunya Ritual Theory Ritual Practice,
Bell memberi penjelasan bahwa ritual merupakan sebuah strategi atau cara bertindak (the way of acting) yang berbeda dalam kehidupan sehari-harinya. Cara bertindak tersebut lahir
dari hasil konstruksi manusia dalam menghadapi
permasalahan kehidupannya.34 Cara bertindak tersebut lahir
karena diprakarsai oleh sense of ritual yang telah tertanam di
dalam kehidupan masyarakat.
Sense of ritual tersebut muncul ketika berhadapan
dengan situasi dan kondisi sosial khusus, sehingga
memunculkan tindakan yang di luar kewajaran . Dengan kata
lain, ritual lebih merupakan sebuah strategi tentang cara bertindak dalam situasi sosial khusus yang disebut dengan
istilah ritualization. Strategi ritualisasi tersebut berakar pada
the social body, yakni lingkungannya. Menurutnya, tubuh atau bangunan sosial berhubungan dengan pengalaman kosmologi masyarakat, sehingga ritual memiliki peran dalam membangun tubuh sosial. Karena itu, untuk memahami ritual mau tak mau
mesti memahami konteks tindakan ritual , yakni konteks
sosial atau lingkungannya.
Bell berpendapat, bahwa ritualisasi yang
dikembangkan oleh suatu masyarakat tidak dapat lepas dari dimensi sosial dan sejarah. Ritual dikontruksi oleh masyarakat yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial di tengah
perubahan yang sedang atau telah dihadapinya.35 Terkait
dengan konteks sosialnya, ritual tidak dapat dilepaskan juga dari konteks politik yang sedang berkembang di masyarakat. Hegemoni kekuasaan yang terpantul dalam praktik kekerasan
34 Ibid, 70 - 76
35 Lihat juga pemikiran Durkheim dalam The Elementary Forms of the Religious
dengan ideologinya, dan politik identitas yang ditawarkan oleh penguasa politik menjadi amatan yang perlu dikaji dalam menelisik ritual secara mendalam. Dominasi politik yang berkembang memberikan sedikit gambaran berkenaan dengan
praktik kekuasaan, segmentasi di dalam masyarakat,
manipulasi sistem sosial sampai dengan resistensi di dalam masyarakat. Perkembangan ritual sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tersebut, dan sangat rentan dijadikan sebagai kendaraan kekuasaan untuk dimanipulasi sebagai alat
kontrol kekuasaan.36 Ritual berhubungan erat dengan
keragaman politik, kolonialisme, perjumpaan dengan budaya baru dan dominasi ekonomi. Oleh sebab itu, situasi sosial dalam perkembangan ritual perlu ditelisik lebih dalam, untuk dapat melihat kontruksi sosial terhadap ritual yang ada.
Bell menawarkan tiga aspek penting dalam melakukan
pendekatan terhadap ritual37,
a. Ritual perlu dianalisis dan dipahami dalam konteks riilnya,
terkait dengan motif bertindak terhadap cara bertindak di dalam budaya dan konteks sosialnya.
b. Perlu dianalisis dari sisi kualitas tindakan dalam ritual
yang tampak dalam gesture dan ruang khusus yang dikonstruksi dan berfungsi menata (kembali) nilai-nilai lingkungannya.
c. Ritual mempromosikan otoritas kekuatan bagi
pengetahuan pelaku ritual untuk mengatur
pengalamannya, sesuai dengan nilai ritualnya.
Pendekatan yang dipaparkan oleh Bell merupakan sebuah tawaran pendekatan untuk dapat mengerti bangunan ritual di dalam masyarakat. Bangunan ritual tersebut lebih cenderung merupakan hasil konsensus bersama dan respon
36 Lihat konteks perkembangan keberagamaan dalam Karl Marx, The Economic
and Philosophic Manuscripts, dalam Robert C. Tucker (ed), The Marx Engels Reader (London: W.W. Norton & Company, 1978), 66-200
37 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions,
dari apa yang terjadi di dunianya. Dalam konsep Bell, ritual merupakan sebuah gerak sosial yang paling mendasar dalam mengkonstruksi realitas dunianya, sehingga melampaui waktu,
pengaruh dan maknanya.38
Lebih lanjut Bell juga memaparkan karakteristik dalam bangunan aktivitas ritual yang berkembang di dalam
masyarakat. Karakteristik tersebut adalah39
Pertama, aktivitas ritual bersifat formal dan/atau diformalisasi. Aktivitas ritual sangat berlainan dengan aktivitas harian. Aktivitas ritual akhirnya dicirikan sebagai aktivitas formal atau diformalkan yang menjadi pembeda dengan aktivitas kesehariannya. Aktivitas tersebut tampak melalui gestur, tuturan, perilaku, ekspresi, yang menandakan adanya hirarki dan ciri tradisi budaya yang ada (tradisional, lokalitasnya). Terkadang formalitas tersebut memperkuat status quo, mengomunikasikan pesan-pesan sosial budaya yang kompleks dengan cara sederhana (klasifikasi sosial, hubungan hierarkis, negosiasi identitas, posisi dalam hubungan-hubungan sosial).
Kedua, traditionalization. Karakteristik tradisional mencirikan lokalitas tradisi dan budaya dari masyarakat. Ciri tradisional sangat erat kaitannya dengan sejarah dan ingatan masa lalu tentang suatu peristiwa, tokoh atau sesuatu yang membekas dalam ingatan masyarakat setempat. Bentuk
tradisional nampak dalam penggunaan kostum,
tuturan/bahasa yang berfungsi menegakkan identitas dan
mempertahankan batas-batas dan otoritas masyarakat
tradisional. Daya tariknya ada pada tradisi atau adat kebiasaan di mana orang mengulangi peristiwa historis dengan sangat dekat.
Ketiga, invarian. Dalam hal ini, dapat diamati bahwa ritual yang berlangsung di masyarakat tidak mengalami banyak varian. Ritual yang ada cenderung merupakan repetisi dari format yang ada sebelumnya. Perbedaan karakteristik ini
dengan tradisional yaitu While traditionalism involves an
appeal to the authority of the past that subordinates the present, invariance seems to be more concerned with ignoring the passage of time in general. It appears to suppress the significance of the personal and particular moment in favor of the timeless authority of the group, its doctrine, or its practices.40
Karakteristik ini sangat personal, namun tetap mengarah kepada doktrin untuk diimplementasikan dalam praksis ritualnya. Dalam karakteristik ini, muncul kekaguman dan sekaligus kegundahgulanaan dalam jiwa pribadi sang pelaku ritual, yang selanjutnya berdampak pada laku ritualnya.
Keempat, sangat menekankan aturan, tradisi, dan tabu yang diritualisasikan, termasuk cara berpakaian, tuturan, gesture. Penekanan kepada aturan diberlakukan untuk menjaga harmoni sosial di dalam masyarakat, atau dilakukan dalam konteks ketika ada kekacaubalauan atau penyimpangan terhadap aturan umum di dalam masyarakat.
Kelima, sakralisasi simbol. Aktivitas ini merupakan penekanan terhadap simbol-simbol sakral yang ditarik kepada
realitas supranatural. Symbols like the flag, which Ortnels calls
summarizing symbols, effectively merge many ideas and
emotions under one image. This type of totalization generates a loose but encompassing set of ideas and emotions that readily
evoke a collective sense of we - as in our flag.41 Sakralisasi
simbol dikonstruksi dari kesepakatan ide dan emosi untuk
menekankan ekspresi yang berbeda antara sisi sacred and
40 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions,
(New York: Oxford University Press, 1997),150
41On totalization , see Richard P. Werbner (Ritual Passage Journey: The Process
profan. Perbedaan perlakuan muncul dalam aktivitas memperlakukan simbol, baik agama maupun dunia sekuler, sebagai ungkapan gagasan atau ide dan emosi (nilai, perasaan, sejarah, loyalitas) yang mengait erat dengan aspek kolektif dan identitasnya. Dengan kata lain, benda sebagai simbol suci bukan pada bendanya, tetapi pada cara mengekspresikan nilai dan sikap terhadap benda tersebut, sehingga benda tersebut memiliki nilai yang lebih besar, suci, mendalam, abstrak, transenden dari yang lainnya. Simbol-simbol tersebut bisa menunjuk pada tempat, bangunan, orang maupun sesuatu yang dianggap punya daya magis.
Keenam berciri pertunjukan (performance), bersifat dramatis, menekankan tindakan simbolis yang dilakukan
secara sadar di depan publik. Hal ini bertujuan
mengomunikasikan pesan berupa gambar visual, suara (teriakan), bunyi, penciuman, dan lainnya untuk meyakinkan orang sehingga orang menerima kebenaran aktivitas tersebut
melalui simbol-simbol sakral sebagai cerminan dari
mikrokosmos dan makrokosmos . Oleh sebab itu, dalam
ritual akan sarat dengan pertunjukan teatrikal, dramatic
spestacles dan public events yang dapat melibatkan serta mengundang kumpulan massa pada hari-hari sucinya.
Bell konsisten dengan pemikirannya bahwa ritual merupakan bangunan kehidupan yang berkonteks kepada
pelaku ritualnya. Konteks kehidupan pelaku ritual
menjadikannya berbeda antara praktik ritual yang satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, ritual tidak dapat dilepaskan dari konteks pelaku ritual, baik tradisi, sosial, historis, maupun konteks genealogisnya. Namun, apabila digeneralisasi ritual yang berkembang di masyarakat dapat dikelompokkan
political rites42. Dalam pengelompokkan ritual tersebut akan
didapati sistem ritual yang similar. Sistem ritual yang
serumpun kemudian dikontruksi berdasarkan konteksnya,
sehingga yang mengalami perbedaan adalah ritual performnya
yang berisi simbol, gestur dan terminologi ritualnya.
Dalam perspektif Bell, keberagaman ritual tersebut
merupakan hasil dari kepadatan ritual yang dikonstruksi
menjadi perubahan ritual . Menurut Roy Rappaport, sistem
ritual tersebut terdiri dari apa yang disebut rituals dan
liturgical orders.43 Dimensi rituals sangat privasi dan
merupakan sebuah ekspresi pribadi tanpa terkhamiri oleh orang lain. Gestur dan ekspresi yang tampak bergantung dengan situasi, nilai (memaknai ritual) dan tujuan pribadi
terhadap ritualnya. Liturical orders merupakan elaborasi dari
rituals. Dalam performancenya akan terlihat kebermaknaan secara komunal, yang telah dikemas dan dibumbui oleh
otorisasi, identitas kelompok, dan kanonisasi doktrin liturgis.44
Oleh sebab itu, dalam menganalisis sistem ritual perlu melihat sebuah tatanan ritual yang lebih luas, meliputi pandangan kosmik, kultural, fisik, historis dan biologisnya.
Kompleksitas ritual yang disajikan oleh Bell,
memerlukan analisis yang mendalam dalam mengurai sebuah ritual yang ada di dalam masyarakat. Sistematisasi ritual yang ada di dalam masyarakat bukan hanya merupakan produk fenomena sosio kultural, melainkan perlu melihat lebih jauh lagi mengenai praktik menggerakkan dan mempertahankan sistem ritual, yakni proses-proses hierarkis, sentralisasi, replikasi, marjinalisasi, identitas regional dan hubungan interregional, ekonomi, stratifikasi sosial, spekulasi filosofis,
42 Untuk pendalaman lihat dalam Catherine Bell, Ritual Perspective Dimensions,
(New York: Oxford University Press, 1997),174
maupun abstraksi teologisnya.45 Konteks inilah yang
membedakan gaya atau macam ritual pada sebuah konteks atau komunitas yang satu dengan konteks atau komunitas
lainnya. Bell menyimpulkan bahwa kepadatan ritual
berhubungan erat dengan konteksnya. Jika sebuah masyarakat mengalami perubahan sosial dan sejarah yang memengaruhi pandangan dunianya, organisasi, aktivitas ekonomi, dan ide-ide lain, maka masyarakat akan menyaksikan perubahan yang terjadi bersamaan dengan sistem ritual dan maknanya.
Bagi masyarakat tradisional, ritual bukan merupakan sebuah identitas komunal, ciri khas etnik, institusi politik, maupun tradisi sosial. Dalam paradigma mereka, ritual merupakan sebuah formula untuk keluar dari sebuah keadaan yang mereka tidak inginkan, atau solusi untuk keluar dari tekanan kehidupan. Oleh sebab itu, Bell menekankan bahwa ritual di dalam masyarakat akan selalu mengalami perubahan, bergantung dengan konteksnya. Konteks yang selalu dinamis di dalam masyarakat merangsang pergerakkan dalam struktur, simbol, interpretasi dan aktivitas ritualnya. Perubahan di dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya perubahan ritualnya.
Dalam kerangka berpikir Bell, kondisi ritual yang selalu
dinamis tidak dapat terlepas dari tigal hal yaitu repudiating,
returning dan romantis. Ketiga hal ini merupakan simpulan yang di dapat oleh Bell, ketika melakukan penelitian secara komprehensif mengenai studi ritual yang dilakukan oleh para ahli ritual sebelumnya. Teori yang dikemukakan oleh Bell bukanlah berasal dari kajian penelitian empiris sosial kemasyarakatan, namun merupakan sebuah elaborasi dari pemikiran para pemikir ritual sebelumnya. Di dalam pemikiran Bell, dielaborasikan pemikiran Durkheim, Eliade, Tambiah, Mauss, Geertz, V. Turner, Rappaport, Levi Strauss dan
tokoh yang lain. Dari penelusuran yang mendalam dari para tokoh tersebut, Bell menghasilkan kajian yang cukup representatif dan holistik, untuk mendeskripsikan kajian ritual dari sudut pandang budaya dan sejarah ritual. Dari hasil kajiannya, Bell mengemukakan tiga hal terkait dengan rekontruksi ritual di dalam masyarakat, yaitu :
1. Repudiating
Bell berpendapat dalam perubahan ritual di dalam masyarakat, selalu ditandai dengan penolakan terhadap tradisi ritualnya sendiri atau karena pihak lain, yang disebabkan karena proses evolusi sosial (Rasionalisme, sekularisme dan modernisasi), dan dapat juga terjadi karena situasi-situasi sosial yang khusus. Evolusi sosial yang terjadi di dalam masyarakat menyebabkan dirinya sendiri yang menolak tradisi ritualnya. Di sisi lain, setiap penolakan ritual terhadap praktik ritualnya perlu dilihat dalam konteks sosialnya. Mengingat setiap praktik ritual di dalam masyarakat merupakan hal yang sangat kontekstual. Bertolak dari penolakan ini, di dalam masyarakat sendirilah yang berusaha membangun praktik ritualnya, baik dengan pedoman dari pengalaman masa lalunya, maupun dengan pedoman dari aspek luarnya (modernisasi, rasionalisasi).
2. Returning
menegaskan kembali kepada simbol-simbol tradisi tersebut.
Ritual yang ada di dalam masyarakat tidak lengkap tanpa adanya media ekspresif intuitif-emosional di dalamnya. Melalui media itulah masyarakat dapat mengekspresikan kondisi spiritual, realitas alternatif dan keterhubungannya dengan sesama dan semesta. Simbol-simbol yang digali berdasarkan orisinalitas tradisi ritual, untuk kemudian dapat kembali diperkuat pemahaman
akan pemaknaan simbolisnya. Bagi Bell, returning
merupakan sebuah gagasan intuitif terhadap simbol-simbol masa lalu, yang dimunculkan kembali oleh masyarakat, sebagai sarana untuk ekspresi emosional terhadap orisinalitas gagasan ritual di masa lalu. Ekspresi intuitif terhadap simbol-simbol ini kemudian dimaknai kembali dengan pemahaman yang baru sesuai dengan konteks kekinian dari masyarakat, sehingga ritual di dalam masyarakat seolah kembali seperti ritual di masa lalu.
3. Romantis
Bell menuturkan bahwa aspek ketiga yang tidak
dapat ditinggalkan adalah romantis. Dalam
perkembangannya, tradisi ritual tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan. Proses kontruksi ritual tidak dapat terlepas dari status dan otoritas lembaga sosial yang dominan, sehingga acapkali menyebabkan tradisi ritual
menjadi anti struktur, revolusioner dan mampu
mendekontruksi pihak/lembaga yang kejam, serta dapat menghasilkan struktur-struktur alternatif.
kembali kepada esensi dari ritual. Di saat kehidupan ritual sudah tertindas dan mengalami kefrustasian, maka romantisme akan esensi ritual ini yang muncul di dalam masyarakat. Komunitas masyarakat menganggap ritual
tersebutlah yang mampu membebaskan dan
menyelamatkan dari penetrasi modernisasi, sekularisasi dan rasionalisasi di dalam konteks hidupnya.
Bagi Bell, kompleksitas di dalam ritual merupakan sebuah fakta di dalam masyarakat yang perlu dikaji secara mendalam. Ritual tidak dapat dipahami secara abstrak, tetapi perlu dianalisis secara mendalam terkait dengan budaya, pengalaman, dan tindakan di dalam masyarakat. Ritual tidak dapat dijelaskan dan dianalisa dari luar, tetapi sebaliknya harus dilihat dari dalam realitas masyarakat pelaku ritual, dimana praktik ritual itu dilaksanakan.
F. Kosmologi dan Ritual Jawa
1. Konsep Tuhan dalam Agama Jawa
Tuhan secara umum dikonsepsikan sebagai yang
transenden. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut
mempunyai arti menembus, teramat sangat. Secara maknawi, Tuhan dipandang sebagai sosok yang mutlak,
yang ada sebelum adanya alam semesta, yang
supranatural dan yang mengatur jagad semesta. Agama Jawa selalu meyakini ada penguasa alam semesta, yang apabila dikuasai, diadaptasi dalam kehidupan akan
mendatangkan berkah.46 Dalam agama Jawa, Tuhan
dikonsepsikan sebagai karib yang istimewa, yang diyakini selalu ada dalam setiap keberadaan manusia. Tuhan ditempatkan di posisi super, misterius, di atas kekuatan
46 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa,
manusia. Tuhan adalah pengatur hidup, hanya dengan
batin, manusia dapat melukiskan apa saja tentang Tuhan.47
Agama Jawa mengkonsepsikan bahwa wahyu diturunkan dari para dewa yang menguasai alam semesta, dan berfungsi untuk menenangkan hidup. Konteks agama
Jawa, wahyu sangat dekat dengan pulung48 dan tidak dapat
lepas dari konsep begja.49 Agama Jawa selalu
mengedepankan Kawruh Begja, yang datang dari Kang
Gawe Urip.50 Wahyu yang dianggap berasal dari para dewa,
yang perlu diraih dengan Laku51 dan negosiasi. Laku ini
cenderung mengarah kepada dunia gaib atau alam gaib, yang didalamnya akan didapati kekuatan gaib atau kekuatan sakti. Sesuai dengan konteks kepercayaan agama Jawa, dunia ini dibagi menjadi dua, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam
semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan
supranatural (adikodrati). Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki kirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin
47 Untuk pendalaman konsep Tuhan dalam kebatinan dapat dilihat pada
Suwardi Endraswara, Kebatinan Jawa (Yogyakarta : Lembu Jawa, 2011), 171 - 180
48 Dalam konteks Jawa, Pulung merupakan penanda mendapat keberuntungan
dari Yang Ilahi. Biasanya orang yang kejatuhan pulung hidupnya akan dipenuhi oleh belas kasihan kepada sesama. Banyak orang akan hormat sehingga ia disegani. Pulung berkarakter cinta kasih. Sehingga jatuhnya pulung akan memilih orang yang akan memilih orang yang menjalani upaya lahir dan batin atau keprihatinannya mengamalkan cinta kasih kepada sesama, dalam mewujudkan keindahan, ketenteraman dunia.
49 Begja mempunyai arti harfiah keberuntungan. Banyak orang Jawa
sempurna (dunia atas – dunia manusia – dunia bawah).
Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata
(mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia
dengan lingkungannya, susunan manusia dalam
masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan
segala sesuatu yang nampak oleh mata.52
Dengan keyakinan akan adanya dunia adikodrati, agama Jawa mencirikan adanya kekaguman akan hal-hal atau peristiwa gaib, yang tak dapat diterangkan oleh akal,
namun dapat dirasakan dan diyakini di dalam
kehidupannya. Keyakinan akan hal yang gaib kemudian memunculkan mitos dan simbol yang dipercaya sebagai perwujudan dari dunia gaib tersebut. Mitos yang berkembang di agama Jawa sangat bervariasi, bergantung dengan kultur, lokasi dan kondisi masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat petani meyakini mitos Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, sehingga di akhir panen
senantiasa diadakan acara slametan sebagai rasa syukur
kepada Sang Dewi, karena sudah memberikan berkah kesuburan. Mitos agama Jawa yang bervariasi, bukan
mengaburkan kepercayaan masyarakat, justru
mempertebal keyakinan. Mitos menghidupkan suasana kebatinan dan memberikan rasa ketenangan di dalamnya. Keyakinan akan sesuatu yang gaib tersebut, kemudian memunculkan kekaguman dan tindakan upacara ritual di dalamnya.
2. Ritual di dalam Agama Jawa
Dalam menjalankan laku ritualnya, agama Jawa
mempunyai falsafah53 :
52 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup
Jawa, (Tangerang : Cakrawala, 2003), 2-16
53 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,
a. Falsafah metafisika, yakni bahwa Tuhan adalah sangkan paraning dumadi.54
b. Epistemologi, yaitu proses memperoleh pengetahuan
dengan jalan mencapai kesadaran cipta, rasa, dan karsa (hening), kesadaran panca indera, kesadaran pribadi dan kesadaran illahi.
c. Falsafah aksiologi, terkait dengan nilai etik dan estetis.
d. Falsafah anthropologia yaitu pola pikir Jawa yang
berkisah tentang persoalan manusia.
e. Falsafah ontologia dan metafisika, yaitu pengalaman
yang pernah sungguh-sungguh dialami, dirasakan, dihayati dan bukan sekedar konsep saja.
Dari falsafah yang dihidupi oleh agama Jawa,
memunculkan upacara ritual sebagai laku spiritualnya.
Sebagai media dalam menjalankan ritual dan
menghubungkan dengan dunia gaib, sesaji dipakai sebagai simbol dan langkah negosiasi dengan hal-hal gaib. Kalau orang Jawa tidak mampu memberikan sesaji, muncul perasaan adanya nuansa hidup yang lepas dan belum lengkap. Oleh sebab itu, dalam setiap jengkal kehidupan, orang Jawa senantiasa mempertahankan sesaji sebagai
sarana bernegosiasi dengan hal-hal gaib.55
Agama Jawa menggariskan fungsi sesaji sebagai56 :
a. Langkah negosiasi spiritual dengan kekuatan
adikodrati, agar tidak mengganggu.
b. Pemberian berkah kepada warga sekitar, agar ikut
merasakan hikmah sesaji.
c. Perwujudan keikhlasan diri, berkorban kepada Kang
Gawe Urip (Sang Pemberi Hidup)
d. Bentuk ucapan terima kasih.
54 Secara literal dalam bahasa Indonesia diterjemahkan lepasnya roh dari jasad.
Dalam pengertian Jawa, mempunyai arti akan kembali kepada asal muasalnya.
55 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa, (Yogyakarta
: Narasi, 2015), 51-53
Fungsi sesaji tersebut merupakan cerminan dari naluri keagamaan dari orang Jawa. Dalam konsepnya, sesaji inilah yang menghubungkan antara dunia yang hidup dengan dunia yang tak hidup, atau antara makrokosmos dengan mikrokosmos. Sesaji inilah yang difungsikan untuk menyelaraskan dari dua dunia yang nyata dan tak kasat mata. Pemberian sesaji ini kemudian diyakini dunia gaib akan memberikan bekal, solusi dan kesaktian dalam menjalani hidup di dunia nyata.
Sesaji biasanya akan diberikan di tempat yang diyakini mempunyai kekuatan gaib atau penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib. Dalam kosmologi
Jawa, salah satu tempat yang dipercaya dapat
menghubungkan yang natural dengan supranatural terletak di makam (kuburan). Makam diyakini sebagai penghubung antara dunia nyata dengan dunia ajaib. Orang yang telah di makamkan akan menjadi sarana untuk menyambungkan orang yang masih hidup dengan dunia gaib. Oleh sebab itu, banyak orang Jawa memberikan sesaji di makam, untuk menjaga ketenangan di alam gaib. Agama Jawa meyakini apabila alam nyata mengalami kekacauan, disebabkan karena alam gaib mengalami kekacauan juga.
Dalam bentuk yang lain, sesaji diberikan sebagai perwujudan syukur atas panen atau setelah melewati masa liminal kehidupan. Dalam keyakinan Jawa, sesaji
yang diberikan dalam bentuk slametan diwujudkan dalam
bentuk tumpeng dan ambengan. Sesaji ini biasanya
diberikan dalam ritual kesuburan maupun terkait upacara
perkawinan. Tumpeng berbentuk kerucut, dengan puncak
kerucut di atasnya. Ambengan berbentuk lebih pendek dan
tidak berujung runcing. Simbolisasi tumpeng dan
simbol laki-laki dan perempuan. Tumpeng sebagai simbol
laki-laki (lingga) dan ambengan sebagai simbol putri
(yoni).57 Dimensi lelaki dan perempuan senantiasa
dimunculkan dalam simbol kesuburan.
Simbolisme yang dipakai dalam ritual di agama Jawa sedikit banyak mengacu kepada ajaran Tantraisme Hindu. Tantraisme atau ada yang menyebut dengan Tantrisme, merupakan ajaran yang mengembangkan pemujaan terhadap Dewi Ibu atau Dewi Kemakmuran. Ajaran Tantra sendiri terutama berkaitan dengan praktik-praktik spiritual dan bentuk-bentuk ritual ibadah yang bertujuan pada pembebasan dari kebodohan dan kelahiran kembali, alam semesta yang dianggap sebagai permainan ilahi Shakti dan Siwa. Dalam "kidal" Tantra
(Vamachara), ritual hubungan seksual digunakan sebagai
cara untuk masuk ke dalam proses yang mendasari dan struktur alam semesta.58
Tantraisme diejawantahkan ke dalam simbol di tempat sucinya. Dewasa ini hampir di semua tempat suci (Pura) dapat dilihat Siwalingga yang diwujudkan dengan
lingga – yoni. Menurut ajarannya, itu melambangkan ruang
di mana alam semesta menciptakan dan melenyapkan dirinya berulang-kali. Tantra mewujudkannya dengan phalus dan yoni sebagai perlambang dari sifat laki-laki dan wanita. Ia juga melambangkan prinsip-prinsip kreatif dari kehidupan. Secara filosofis, simbolisme lingga yoni bersifat Chala (bergerak) atau Achala (tidak bergerak). Chala Lingga dapat ditempatkan di Pura atau rumah atau dapat dibuat secara sementara dari tanah liat atau adonan atau nasi. Achala Linga biasanya ditempatkan di Pura, terbuat
57 Lihat ulasan lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Agama Jawa,
(Yogyakarta : Narasi, 2015), 25-27
dari batu. Bagian terbawah dari Siwalingga disebut Brahmabhaga yang melambangkan Brahma, bagian tengah yang berbentuk segi delapan disebut Wishnubhaga yang melambangkan Wishnu, dan bagian menonjol yang berbentuk silinder disebut Rudrabhaga, serta pemujaan
kepadanya disebut Pujabhaga.59
Dalam perkembangannya, tantra sering
menggunakan simbol-simbol material termasuk simbok-simbol erotis, sehingga tantra sering kali diidentikkan dengan ajaran kiri yang mengajarkan pemenuhan nafsu seksual, pembunuhan dan kepuasan makan daging. Padahal beberapa perguruan tantra yang saat ini mempopulerkan diri sebagai tantra putih menjadikan pantangan mabuk-mabukan, makan daging dan hubungan
seksual sebagai sadhana dasar dalam meniti jalan tantra.60
Laku seksual yang dikembangkan merupakan perwujudan sebagai ketaatan dengan doktrinnya. Ajaran Tantraisme kemudian yang berkembang pula di dalam tradisi agama Jawa.
Dalam berbagai ritual agama Jawa, konsep laki-laki dan perempuan senantiasa dimunculkan sebagai simbol keseimbangan ciptaan, simbol kesuburan, simbol kesatuan dan simbol kesucian, sebagaimana yang dikonsepsikan ke dalam ajaran Tantraisme. Acapkali simbol kesuburan dan
kesaktian terletak pada hubungan laki-laki dan
perempuan. Dalam falsafah hidup orang Jawa, yang dimunculkan melalui tokoh pewayangan, kesaktian seseorang dimunculkan dalam tokoh Arjuna. Falsafah madya yang memunculkan konsep bahwa Arjuna adalah
59 Lihat keterangan lengkap di dalam Lama Thubten Yeshe, Introduction to Tantra:The Transformation of Desire, (Boston: 2001, revised ed Wisdom Publication), 4.
60 Disadur dari Presentasi Bapak Suryanto, di Fakultas Psikologi Universitas
lelananging Jagad,61 yang paling sakti di antara para
ksatria sejamannya. Dalam kerabat Pandawa ada yang disebut pamadyaning pandawa, yakni Arjuna. Satria ini berada di tengah-tengah. Ia lambang kesaktian, karena bisa menguasai banyak wanita. Baginya, wanita adalah simbol kesaktian. Modus operandi ihwal kesaktiannya
adalah karena Arjuna bisa menahlukan madya (tengah).
Yakni bagian fisik manusia yang berada di tengah (phalus dan vagina). Tempat rasa sejati yang sulit digambarkan. Jika kedua (tengah ketemu tengah) dalam arti telah manunggal, maka hidup manusia akan tenang. Itulah sebabnya, kenikmatan hidup manusia Jawa berada di tengah (madya), bukan di bagian atas dan bawah. Hidup menjadi kurang, jika belum menikmati kenikmatan sejati
(madya).62
Keyakinan akan pengisahan kesaktian Arjuna menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai perwujudan ritual kesaktian, kesuburan dan keberkahan. Dari keyakinan ini, hubungan seksual laki-laki dan perempuan mewarnai mitologi Jawa, sebagai puncak ketenangan, kesenangan dan sumber kesaktian. Ketika manusia mengalami tekanan kehidupan, hubungan seksual dapat menjadi sumber mencari ketenangan kehidupan. Dari keyakinan ini, menilik sejarah Raja-Raja Jawa, maka perempuan menjadi salah satu indikator kekuatan dan kesaktiannya. Hubungan seks antara laki-laki dan perempuan diyakini dapat menjadi puncak untuk mendekatkan diri kepada ketenangan di alam lain. Kosmologi yang terbentuk menjadikan seks sebagai ritual untuk dapat menarik berkah, ketenangan, kesaktian dan kesuburan dari Alam lain. Tidak heran, dalam berbagai
61 Dimaknai sebagai laki-laki paling sakti di seluruh dunia.
62 Lihat ulasan lebih lengkap di dalam Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup