• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Kadar D-dimer Saat Awal Pemeriksaan Pada Pasien Pneumonia Komunitas Terhadap Kematian 30 Hari"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biomarker pada Pneumonia

Pneumonia merupakan kumpulan gejala (demam, nyeri pleuritik, sesak nafas) dan tanda (infiltrat paru) yang berasal dari sistem pernapasan namun dapat mempengaruhi penderitanya secara sistemik (Lim WS, 2009). Sebagai penyakit infeksi, PK dapat menstimulasi proses inflamasi dimana terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi dan mediator lipid ke sistemik serta menyebabkan gangguan sistem hemostasis yang ditandai dengan keadaan hiperkoagulasi (Kaplan V dkk, 2003).

Selain masalah morbiditas dan mortalitas yang tinggi, seringkali pneumonia tidak memberi tanda klinik yang jelas. Hal ini menimbulkan hambatan diagnosis yang akhirnya menyebabkan keterlambatan terapi (Capelastegui A dkk,2006). Dalam suatu analisis receiving operating characteristic (ROC) yang bertujuan untuk menilai akurasi diagnostik dari PK, didapatkan kelemahan gambaran klinik (demam, batuk, produksi sputum, temuan auskultasi yang abnormal) dalam mendiagnosis PK dengan area under cover (AUC) sebesar 0,79 (Mira JP dkk, 2008).

Hingga saat ini, biomarker belum memiliki definisi yang universal. Akan tetapi, biomarker dipahami sebagai suatu biomolekul yang timbul akibat suatu proses fisiologik maupun patologik. Biomarker yang ideal adalah suatu biomarker yang tidak dapat dideteksi atau yang nilainya sangat rendah dalam keadaan non inflamasi dan akan meningkat dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya akan mengalami penurunan saat proses inflamasi mereda (Capelastegui A dkk,2006).

(2)

receptor expressed on myeloid cell-1 (TREM-1). Beberapa biomarker lain yang masih dalam tahap studi untuk penggunaannya pada pneumonia antara lain: copeptin, kortisol, endotoksin dan proadrenomedullin (Crain MC dkk, 2010; Chalmers JD dkk, 2009). Selain petanda inflamasi, sistem koagulasi juga dikatakan memiliki potensi dalam menilai risiko kematian penderita PK. Salah satu biomarker koagulasi yang paling banyak diteliti adalah D-dimer (Rabello dkk, 2011).

Aktifasi sistem koagulasi dan aktifitas fibrinolisis merupakan gambaran yang dijumpai pada keadaan sepsis berat (Crain MC dkk, 2010; Milbrandt EB dkk, 2009). Hal ini didukung oleh studi yang dilakukan oleh Kollef dkk yang melaporkan bahwa adanya DD yang beredar dalam sirkulasi tidak hanya berkaitan dengan mortalitas tetapi juga insiden sepsis, ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), MSOF (Multy system organ failure) dan trombosis vascular (Shorr AF, 2002).

2.2. D-dimer

D-dimer dikenal sebagai produk degradasi cross linked yang merupakan hasil akhir dari pemecahan bekuan fibrin oleh plasmin dalam sistem fibrinolitik (Mikaeilli H, 2009; Shorr AF dkk, 2010).

Dalam proses pembentukan bekuan normal, bekuan fibrin terbentuk sebagai langkah akhir dari proses koagulasi yaitu dari hasil katalisis oleh trombin yang memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer dengan melepaskan fibrinopeptida A dan fibrinopeptida B (FPA dan FPB). Fibrin monomer akan mengalami polimerisasi membentuk fibrin polimer yang selanjutnya oleh pengaruh faktor XIII akan terjadi ikatan silang, sehingga terbentuk cross-linked fibrin. Kemudian plasmin akan memecah cross-linked fibrin yang akan menghasilkan D Dimer. Dikenal 3 langkah

(3)

perubahan fibrinogen menjadi fibrin yaitu langkah enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi (Birhasani, 2010), yaitu :

1. Langkah enzimatik, melalui peranan trombin yang merubah fibrinogen menjadi fibrin yang larut, selanjutnya dipecah menjadi 2 fibrinopeptida A dan 2 fibrinopeptida B.

2. Langkah polimerisasi yang pertama terjadi pelepasan fibrinopeptida A yang akan menyebabkan agregasi side to side kemudian dilepaskan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit monomer dengan lebih kuat sehingga menghasilkan bekuan yang tidak stabil.

3. Langkah stabilisasi terjadi pembentukan fibrin tidak larut yang stabil yang membutuhkan trombin, faktor XIIIa dan ion kalsium (Ca2+).

(4)

Sumber: N Engl J Med, 2003

Gambar 2.2.1 Degradasi bekuan fibrin (Bockenstedt P, 2003).

Hasil pemeriksaan kadar D-dimer secara kuantitatif dinyatakan dalam satuan

μg/L. Nilai cut off D-dimer dengan metode latex agglutination adalah 500 μg/L. Kadar D-dimer yang lebih dari nilai normal rujukan menunjukkan adanya produk degradasi fibrin dalam kadar yang tinggi; mempunyai arti adanya pembentukan dan pemecahan trombus dalam tubuh (Widjaja AC, 2010).

2.3. Hubungan D-dimer (DD) dengan Pneumonia

(5)

Shilon dkk, melaporkan bahwa pemeriksaan DD kuantitatif pada saat awal pasien masuk merupakan suatu marker derajat keparahan dan prognostik pada penderita PK. Kadar DD memiliki hubungan linier positif terhadap skor Acute Pgysiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan (r=0,44, p=0002), skor Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) dengan (r=0,36, p=002), lamanya perawatan di rumah sakit dengan (r=0,24, p=0,046), hal ini menunjukkan bahwa kadar DD berhubungan dengan derajat keparahan dan outcome klinis pada penderita PK. (Shilon Y dkk, 2003; Rabello dkk, 2011)

Ribelles dkk, mencoba menghubungkan kadar plasma D-dimer terhadap mortalitas pada 302 pasien PK. Hasilnya adalah kematian lebih banyak terjadi pada pasien dengan D-dimer yang tinggi (3.786 vs 1.609 ng/ml dengan p < 0,00001). Selain itu, didapatkan juga hubungan linier antara D-dimer dengan skor PSI (Gambar 2.3.1) (Ribelles JMQ, 2004). Hasil ini membuka peluang untuk penelitian terhadap petanda koagulasi lainnya seperti prothrombin fragment 1.2 (PF1.2), thrombin-antithrombin complex dan fibrinogen dalam hubungannya terhadap PK (Mira JP dkk, 2008; Crain MC, dkk, 2010)

Gambar 2.3.1. Hubungan D-dimer dengan PSI (Ribelles JMQ, 2004)

(6)

Mikaelli dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada pasien yang memiliki derajat keparahan PK yang berat dengan nilai (p <0,001) (Mikaeilli H dkk, 2009).

Agapakis dkk, melaporkan bahwa DD sebagai biomarker koagulasi pada PK memiliki sensitivitas 90% dan spesifitas 78% untuk menentukan perlunya perawatan di rumah sakit, dengan nilai cut-off point DD 600 ng/ml, sedangkan AT-III memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 75% (Agapakis DI dkk, 2010).

Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan hubungan antara nilai DD dengan perluasan kerusakan paru yang terjadi pada penderita PK. Pada penelitian Levi dkk melaporkan hubungan antara perluasan kerusakan paru, gambaran radiologi, dan peningkatan DD pada penderita pneumonia berat (Karalezli A dkk, 2009). Ribelles dkk, melaporkan bahwa nilai DD lebih tinggi pada penderita dengan pneumonia lobar atau multilobar dibandingkan dengan pneumonia segmental. Selain itu penelitian tersebut juga menemukan hubungan yang erat antara angka mortalitas dan nilai DD pada penderita PK. Nilai mean DD 3,786 ± 2,646 ng/ml pada pasien yang meninggal, dan 1,609 ± 1,808 ng/ml pada pasien yang hidup. Mereka juga berhasil menemukan bahwa pasien PK dengan PSI kategori IV dan V yang memiliki nilai DD yang tinggi lebih dari 2000 ng/ml memiliki resiko kematian yang lebih tinggi. Sedangkan nilai DD yang rendah pada pasien PK (< 500 ng/ml) pada saat awal masuk ke rumah sakit ternyata menurunkan resiko untuk mengalami kematian lebih awal atau morbiditas yang berat (Levi M dkk, 2003). Chalmer dkk, juga melaporkan bahwa nilai DD <500 ng/ml pada pasien PK yang diperiksa pada saat awal masuk rumah sakit memiliki nilai duga negatif (negative predictive value) yang tinggi untuk menyingkirkan terjadinya PK yang berat (Ribelles JMQ dkk, 2004).

(7)

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai studi telah mencoba meneliti dalam respon host terhadap bakteri terutama terhadap aktivasi koagulasi. Respon terhadap infeksi yang memberikan dampak terhadap sistem koagulasi yang mungkin berperan dalam patogenesis disfungsi organ (Kaplan dkk, 2003).

Pneumonia yang awalnya infeksi lokal, mengakibatkan aktivasi koagulasi sistemik, ini disebabkan aktivasi lokal dari sistem koagulasi yang terjadi pada pneumonia dengan deposisi fibrin dalam kompartemen alveolar yang terinfeksi, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, merangsang sitokin proinflamasi dan meningkatkan akumulasi neutrofil (Milbrandt dkk, 2009). Aktivasi koagulasi lokal yang muncul akan didorong terutama oleh tissue factor (Rijneveld dkk, 2006; Van der Poll T, 2008). Biasanya, sangat sedikit tissue factor (TF) yang keluar dari sirkulasi darah namun alveolar makrofag, neutrofil, dan sel endotel dapat mengeluarkan TF pada permukaan dimana membentuk thrombogenic tissue factor yang selanjutnya berkembang menjadi gangguan koagulasi sistemik selama infeksi paru (Abraham E dkk, 2000).

Aktivasi koagulasi yang dimediasi oleh TF-kompleks faktor VIIa yang berperan dalam pembentukan fibrin, serta perubahan fibronogen menjadi fibrin. Secara bersamaan juga terjadi gangguan jalur antikoagulan alamiah (misalnya antithrombin dan protein C. Penumpukan fibrin akan mensupresi aktivitas fibrinolitik yang disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor (PAI)-1 (Levi M, dkk 2003).

(8)

Su mber : Crit Care Med.2003

Gambar 2.4.1. Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner

Pembentukan thrombin broncoalveolar dapat terdeteksi melalui pemeriksaan prothrombin activation peptide fragment 1+2 atau thrombin-antithrombin complexes, kedua marker tersebut kadarnya dapat meningkat tiga kali lipat pada cairan broncoalveolar lavage (BAL) selama terjadinya endotoksemia, serta pada pasien pneumonia juga terjadi peningkatan pembentukan thrombin pada cairan BAL (Levi M, dkk 2003).

Cairan bronchoalveolar mengandung faktor antikoagulan fisiologis yang mirip dengan yang hadir di sistem antikoagulan darah. Konsentrasi antitrombin yang rendah pada paru-paru ini dapat dengan cepat digunakan bahkan pada kasus prohemostatik ringan, misalnya, endotoksemia dosis rendah. Tidak jelas apakah elastase neutrofil yang teraktivasi mampu mendegradasi antithrombin, sehingga menyebabkan tidak terdeteksinya antitrombin pada acute lung injury (ALI). Pentingnya antitrombin dalam patogenesis endotoksin diinduksi cedera paru telah dibuktikan studi eksperimental. Hasil studi pada tikus endotoksemik, menunjukkan bahwa pemberian dosis tinggi antitrombin konsentrat dapat mencegah penumpukan fibrin di paru-paru (Levi M, dkk 2003).

(9)

activated protein C (APC) terdapat dalam cairan bronchoalveolar. Aktivasi protein C terdeteksi dalam paru-paru manusia dan mengalami penurunan selama inflamasi. Gangguan aktivasi protein C kemungkinan disebabkan oleh downregulation dari thrombomodulin, karena pada pemberian rekombinan thrombomodulin dapat mencegah cedera pembuluh darah paru pada tikus endotoksemik. APC mencegah cedera paru-paru pada studi eksperimental dan bakteremia endotoksemia pada berbagai hewan (Levi M, dkk 2003).

Sitokin berperan penting dalam menghubungkan inflamasi dan perubahan yang terjadi pada sistem koagulasi dan fibrinolisis bronkoalveolar. Sitokin yang dilepaskan sebagai respon terhadap adanya endotoksin memberikan efek yang berbeda. Interleukin (IL)-6 berperan dalam aktivasi koagulasi; tumor necrosis factor (TNF)-α berperan menghambat aktivitas fibrinolisis. Makrofag alveolar adalah sumber sitokin proinflamasi di paru-paru. Aktivasi makrofag alveolar dapat secara langsung menstimulasi terbentuknya TF (Levi M, dkk 2003).

2.5. Skor Klinis Pneumonia

Meskipun sistem untuk memeriksa keparahan penyakit dan resiko kematian pada PK telah ada dan dipakai secara luas seperti PSI, PORT sistem CURB 65, namun sistem tersebut terlalu rumit untuk digunakan dalam praktek sehari-hari sehingga diperlukan biomarker yang potensial dapat memberikan informasi mengenai prognosis yang setara dengan sistem skoring yang telah ada (Mikaeilli H dkk, 2009; Crain MC dkk, 2010).

(10)

inap dengan PK, skor CURB-65 dan PSI adalah sistem penilaian yang paling umum digunakan untuk memprediksi mortalitas (Mandell LA dkk, 2007).

2.6. Skor CURB-65

CURB-65, juga dikenal sebagai CURB kriteria, merupakan aturan prediksi klinis yang telah divalidasi untuk memprediksi kematian pada pneumonia komunitas (Lim WS dkk,2009). Skor CURB-65 (Tabel 2.6.1.) diperkenal oleh British Thoracic Society (BTS) pada tahun 2003 yang melibatkan 12.000 penderita pneumonia, terdiri atas 5 kategori yang dihubungkan dengan risiko kematian dalam 30 hari. Skor 0-1 masuk dalam kategori skor kematian rendah dimana skor 0= 0,7% dan skor 1= 3,2%. Skor 2= 13% masuk kategori risiko kematian sedang dan skor >3 masuk dalam skor kematian tinggi (3= 17%, 4= 41,5% dan 5= 57%). Kemampuan prediksi dari skor ini hampir sama dengan PSI yaitu dengan AUC: 0,73 -0,83. Keunggulan CURB-65 terletak pada variabel yang digunakan lebih praktis dan mudah diingat. ATS dalam guideline PK yang terbaru menyadari kompleksitas dari skor PSI dan merekomendasikan penggunaan CURB-65 (Singanayagam A dkk, 2009; Mandell LA dkk, 2007).

Tabel 2.6.1. Skor CURB-65

Clinical Factor Points

C Confusion 1

U Blood urea nitrogen > or = 20 mg/dl 1

R Respiratory rate > or = 30 breaths/ min 1

B Systolic BP < 90 mm Hg or Diastolic < or = 60 mm Hg 1

65 Age > or 65 1

Total

Score

Mortality

%

(11)

0 0,6% Low Outpatient

1 2,7% Low Outpatient

2 6,8% Moderate Short inpatient / supervised outpatient

3 14,0% Moderate to High Inpatient

4 or 5 27,8% High Inpatient / ICU

Dikutip dari : QJ Med, 2009; 102:379-388.

Baik skor PSI maupun CURB-65 sama-sama memiliki kelemahan yang sama, yaitu masih bergantung pada hasil pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini melahirkan skor 65 yang menghilangkan unsur ureum. Manfaat dari skor CRB-65 ini adalah dapat digunakan oleh dokter umum di tingkat layanan primer. Skor ini dikatakan memiliki peforma yang sama dengan PSI dan CURB-65 dengan AUC: 0,69 – 0,78. Sayangnya, penggunaan skor ini belum teruji dengan jumlah sampel yang besar seperti pendahulunya sehingga validasinya masih perlu diuji (Singanayagam A dkk, 2009; Bont J dkk, 2008).

2.7. Sepsis Akibat Pneumonia Komunitas

Di Amerika Serikat, lebih dari 1 juta penderita PK setiap tahunnya dan 10% dari penderita harus dirawat di ICU (intensive care unit). Pada PK yang dirawat jalan mortalitas sebesar diperkirakan < 5%, jika penderita PK dirawat inap maka mortalitas meningkat hingga 12% dan akan semakin meningkat menjadi 22% jika pasien dipindahkan ke ICU. Keadaan ini disebabkan perjalanan PK menjadi sepsis berat (PK berat) yang ditandai dengan adanya disfungsi organ (Nayak SB dkk, 2010).

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi sistemik terhadap infeksi, dimana lipolisakarida atau toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Sepsis ditandai dengan perubahan suhu tubuh, perubahan jumlah leukosit, tachycardia dan tachypnea. Sedangkan sepsis berat adalah sepsis yang ditandai dengan hipotensi atau disfungsi organ atau hipoperfusi organ. (Purba DB, 2010).

(12)

Standardized Definitions of Sepsis, telah mempublikasikan suatu konsensus dengan definisi baru dan kriteria diagnosis untuk sepsis dan keadaan-keadaan yang berkaitan dan menetapkan kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis berat dan syok sepsis dibawah ini:

- Bakteremia : adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur darah positif.

- SIRS : respon tubuh terhadap inflamasi sistemik, ditandai dua atau lebih keadaan berikut :

1. Suhu > 38ºC atau < 36ºC

2. Takikardia (HR > 90 kali/menit)

3. Takipneu (RR > 20 kali/menit) atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Lekosit darah > 12.000/µ L, < 4.000/µL atau netrofil batang > 10%

- Sepsis : SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman.

- Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan penurunan kesadaran.

- Syok sepsis : Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat, bersama dengan disfungsi organ.

- Hipotensi : tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari tekanan darah normal pasien.

- Multiple Organ Dysfunction Syndrome: Disfungsi dari satu organ atau lebih,

memerlukan intervensi untuk mempertahankan homeostasis (Purba, 2010; Carol dkk, 2003).

(13)

digunakannya PSI bukan hanya untuk skor prognosis tetapi juga sebagai petunjuk adanya disfungsi organ (Rosner MH dkk, 2009).

2.8. Gangguan koagulasi pada Sepsis

Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sistem koagulasi berperan penting dalam patofisiologi sepsis (Suharto, 2011). Gangguan koagulasi pada sepsis terjadi melalui tiga mekanisme (Gambar 2.8.1) (Faranita T dkk, 2011).

1. Pembentukan trombin yang diperantarai Tissue Factor (TF)

Tranfer factor diekspresikan pada permukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin, sitokin atau mediator lain. Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-α dan interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang paling berhubungan dengan klinis sepsis dan komplikasi. Pembentukan trombin yang diperantarai oleh TF merupakan tahap penting dari patogenesis sepsis. Secara fisiologis pembentukan ini segera dihambat oleh antitrombin, namun dengan pembentukan trombin yang sangat cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga terjadi trombinemia. Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi sehingga terbentuk bekuan fibrin dan terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat menyebabkan disfungsi organ.

2. Gangguan mekanisme antikoagulan

Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis, yakni: a. Sistem antitrombin

(14)

Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein (APC) yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi depresi sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, gangguan hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-α.

c. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)

Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVIIa. Penurunan TFPI dapat dijumpai pada sepsis.

3. Penghentian sistem fibrinolisis

(15)

Su

mber : Thrombosis Journal, 2006

Gambar 2.8.1. Patofisiologi sepsis

Gambaran klinis koagulopati pada sepsis ialah (Faranita T dkk, 2011): 1. Aktivasi koagulasi sistemik fisiologis

Pada kondisi awal tidak tampak klinis koagulopati, namun proses koagulasi mulai teraktivasi dan terdeteksi melalui pengukuran marker molekular yang sensitif seperti D-dimer, protrombin fragmen 1+2, atau kompleks trombin-antitrombin.

2. Non-overt disseminated intravascular coagulation

(16)

laboratorium menunjukkan peningkatan marker aktivasi namun pemeriksaan lain masih normal.

3. Transient consumption coagulopathy

Jika rangsangan prokoagulasi tetap terjadi maka akan terjadi ketidakseimbangan antara penggunaan plasma protein koagulasi dan sintesis di hati. Apabila rangsangan dihentikan dengan menghilangkan penyebabnya maka gangguan tersebut dapat teratasi dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan prothrombine time (PT), trombosit menurun, jumlah protein C menurun, fibrinogen dapat normal maupun menurun.

4. Overt DIC

Proses berkelanjutan sampai koagulopati konsumtif berat jarang dijumpai. Gangguan tersebut ditandai dengan penghentian mekanisme inhibisi sehingga hemostasis tidak terkontrol dan menyebabkan perdarahan berat. Manifestasi klinis DIC yang paling sering adalah perdarahan, trombosis atau keduanya yang dapat menyebabkan disfungsi organ. Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai peningkatan waktu pembekuan darah, peningkatan fibrin degradation product (FDP), D-dimer, penurunan trombosit dan kadar fibrinogen, penurunan kadar faktor koagulasi (seperti faktor V dan VIII), dan penurunan penghambat koagulasi (antitrombin dan protein C). Pemeriksaan koagulasi serial akan lebih baik dalam mendiagnosis DIC.

2.9. Kultur Sputum

(17)

Streptococcus Pyogenes, Neisseria Meningitides, Moraxella Catarrhalis, Klebsiella Pneumoniae, Legionella sp dan batang gram negatif lainnya.

Menurut British Thoracic Society Guidlines (BTS, 2009) menyatakan bahwa kuman patogen penyebab PK yang banyak ditemukan, yaitu Streptococcus Pneumonia dan diikuti kuman patogen lainnya Mycoplasma Pneumoniae, Chlamydia Pneumoniae dan kuman gram negatif lainnya. Di Asia Tenggara, Streptococcus Pneumonia juga paling sering ditemukan kemudian diikuti Chlamydia Pneumoniae dan bakteri gram negatif (Wattanathum dkk, 2003).

Di Cina kuman patogen Streptococcus Pneumoniae paling banyak ditemukan lalu kuman-kuman lainnya seperti Mycoplasma Pneumoniae dan H Influenza (Huang HH dkk, 2006). Begitu juga di Jepang, Streptococcus Pneumonia paling umum ditemukan dan diikuti oleh H Influenza (Saito A dkk, 2006). Penelitian PK rawat inap di Asia misalnya Indonesia atau Malaysia mendapatkan patogen yang bukan Streptococcus Pneumoniae sebagai penyebab tersering PK, antara lain Klebsiella Pneumoniae (Dahlan Z, 2009)

2.10 Kultur Darah

Kultur darah dianjurkan untuk semua pasien pada PK sedang dan berat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan sebelum pemberian terapi antibiotik dimulai. Jika diagnosis PK telah pasti dikonfirmasi dan pasien dengan keparahan PK ringan tanpa komorbiditas penyakit, kultur darah boleh tidak dianjurkan. Kultur darah dapat membantu untuk mengidentifikasi bakteremia dan patogen resisten, dimana kuman Streptococcus Pneumoniae menjadi patogen yang paling umum yang diidentifikasi (BTS, 2009).

(18)

Christ-Crain M dkk (2006) medapatkan bahwa adanya bakteri patogen di dalam darah (bloodstream infection/ BSI) erat kaitannya terhadap tingginya mortalitas pasien sepsis. Keadaan ini disebabkan terlambatnya pemberian antibiotik yang seharusnya sudah dapat dimulai saat awal pasien masuk. Umumnya antibiotik diberikan pada pasien dengan gejala infeksi yang nyata (demam dan leukositosis), yang sensitifitas dan spesifisitasnya rendah dan jika harus menunggu hasil kultur akan memperpanjang masa penundaan pemberian antibiotik.

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Pneumonia komunitas adalah infeksi akut pada parenkim paru yang berhubungan dengan setidaknya beberapa gejala infeksi akut, disertai adanya gambaran infiltrat akut pada radiologi toraks atau temuan auskultasi yang sesuai dengan pneumonia (perubahan suara nafas atau ronkhi setempat) pada orang yang tidak dirawat di rumah sakit atau tidak berada pada fasilitas perawatan jangka panjang selama ≥ 14 hari sebelum timbulnya gejala ataupun dalam rawatan rumah sakit ≤ 48 jam (Muller B dkk, 2007).

Derajat Keparahan Pneumonia Pada Awal Masuk Rumah Sakit

Kadar D-dimer

Penderita Pneumonia Komunitas

Kematian 30 hari Hubungan

(19)

3.2.2. Penilaian derajat keparahan penyakit adalah suatu alat bantu klinisi untuk membuat keputusan klinik seperti kebutuhan rawat inap, pemberian terapi intravena dan rencana monitoring lanjutan yang diperlukan oleh klinisi di tingkat primer maupun sekunder (Abidin A, 2010).

3.2.3. D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja plasmin dalam sistem fibrinolitik ( < 500ng/ml) (Milbrandt EB dkk,

3.2.4. Derajat keparahan pneumonia dinilai berdasarkan skor CURB- 65 menurut acuan BTS (British Thoracic Society) 2009, seperti yang terlihat pada uraian di bawah ini (Crain MC dkk, 2010) :

2009)

1. Konfusio/Confusion : gangguan kesadaran yang baru terjadi atau adanya abnormalitas skor mental.

2. Urea : > 7 mmol/l ; > 20 mg/dl.

3. Laju pernapasan/Respiratory rate : ≥ 30x/menit.

4. Tekanan darah/ Blood Pressure: adanya tekanan darah rendah (sistolik ≤ 90 mmHg dan atau diastolik ≤ 60 mmHg)

5. Umur/Age ≥ 65 tahun.

Rentang nilai pada skor di atas adalah 0- 5 dimana setiap kriteria bernilai satu.

Untuk penilaian konfusio dapat dibantu dengan skor mental yang telah disesuaikan dengan pengetahuan di Indonesia.

Skor Mental (disesuaikan) 1. Berapa usia anda?

2. Kapan tanggal lahir anda?

3. Jam berapa saat ini?( tidak perlu menitnya) 4. Tahun berapa saat ini?

5. Apa nama Rumah Sakit yang anda datangi ini ?

Gambar

Gambar 2.2.1 Degradasi bekuan fibrin (Bockenstedt P, 2003).
Gambar 2.3.1. Hubungan D-dimer dengan PSI (Ribelles JMQ, 2004)
Gambar 2.4.1. Patogenesis penumpukan fibrin intrapulmoner
Tabel 2.6.1. Skor CURB-65
+2

Referensi

Dokumen terkait

Keluaran Jumlah Parpol yang mendapat bantuan keuangan 11 Parpol Hasil Persentase Partai Politik Yang Mendapatkan.

Dalam penulisan llmiah ini penulis mencoba memberikan suatu informasi mengenai penjualan hardware komputer khususnya kepada para pemilik toko, dimana program aplikasi ini

Penelitian ini menerima Hipotesis 4 yang diajukan yaitu UTAUT berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas e-government dikota Palembang, sehingga dapat

Kontribusi Pengendalian Intern, Sistem Informasi Akuntansi, dan Financial Value Added terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan serta Dampaknya terhadap Kinerja Organisasi

Pada pengujian lelah terdapat suatu poros yang berputar, diberi beban lentur, akan mengalami tegangan tarik dan tekan pada setiap putaran dari poros tersebut.. Kalau poros

Sehubungan dengan penelitian saya untuk skripsi yang berjudul “ Pengaruh Persepsi Pemanfaatan Sistem Informasi Akuntansi dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan pada

Untuk sampel uji baja normalizing, perubahan fase pearlit kasar menjadi pearlit halus (lihat dalam Gambar 6) dalam baja akibat pendinginan lambat menyebabkan sampel uji

Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4 dapat diketahui bahwa besar pengaruh dari citra merek terhadap minat pembelian sebesar 0.280.. Hal ini