• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian Jual Beli Semen Andalas di PT Lafarge Cement Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perjanjian Jual Beli Semen Andalas di PT Lafarge Cement Indonesia"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUH PERDATA

Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata pengertian jual beli adalah suatu

persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu

barang/benda (zaak), dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri

berjanji untuk membayar harga.22

Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya

undang-undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara

khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum

Dagang.

A. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang atau lebih. dalam membuat perjanjian, kedudukan antara para

pihak yang mengadakan perjanjian sama dan sederajat.23

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai

pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian bertimbal-balik dalam mana pihak

yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,

22

M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Per janjian, Alumni, Bandung, 1986, Hal.181

23

(2)

sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang

terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang menjuga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa inggris jual-beli disebut dengan hanya “sale”saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudutnya si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut hanya dengan “vente” yang juga berarti “penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan “Kauf”yang berarti “pembelian”.24 Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana

antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang

menjadi objek jual beli.25 Suatu perjanjian jual beli yang sah lahir apabila kedua

belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian

jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang berbunyi “ jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga,

meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar ”.26

Kemudian didalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Perdata mengatur juga tentang saat terjadinya jual beli, yaitu :

“Jual Beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan

harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum

dibayar”.27

24

R. Subekti. S.H., Aneka Per janjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal.1

(3)

Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal

lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual

beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para

pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para

pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku

dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual.

Menurut Wiryono Prodjodikoro, jual beli suatu barang adalah “Suatu penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli dengan maksud memindahkan

hak milik atas barang tersebut dan dengan syarat pembayaran harga tertentu

berupa uang pembeli kepada penjual”.28

Oleh beberapa sarjana lainnya memberikan pengertian jual beli adalah

sebagai berikut :

“Jual Beli ialah perjanjian atau persetujuan atau kontrak dimana satu pihak (penjual) mengikat diri untuk menyerahkan hak milik atas benda atau barang

kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikat dirinya untuk membayar harganya

berupa uang kepada penjual.”29

Menurut Salim H.S., perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang

dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Di dalam perjanjian itu pihak

penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan

28

Wirjono Prodjodikoro, Rancangan Undang-undang Tentang Peraturan Hukum Per janjian, Bab II Pasal 16, (Selanjutnya disebut sebagai Wirjono Prodjodikoro II)

29

(4)

berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan

berhak menerima objek tersebut.30

Unsur yang terkandung dalam defenisi tersebut adalah :

a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli

b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga

c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli

B. Syarat Sahnya Perjanjian Jual Beli

Syarat sahnya suatu perjanjian seperti yang terdapat dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan syarat sahnya perjanjian jual

beli dimana perjanjian jual beli merupakan salah satu jenis dari perjanjian. Pasal

1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa syarat dari

sahnya perjanjian adalah :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya suatu

kesepakatan atau konsensus pada para pihak. Yang dimaksud dengan

kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara para pihak dalam

perjanjian. Jadi dalam hal ini tidak boleh adanya unsur pemaksaan

kehendak dari salah satu pihak pada pihak lainnya. Sepakat juga

dinamakan suatu perizinan, terjadi oleh karena kedua belah pihak sama

sama setuju mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang

diadakan. Dalam hal ini kedua belah pihak menghendaki sesuatu yang

30

(5)

sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak,

yaitu dengan :31

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis

b. Bahasa yang sempurna secara lisan

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.

Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan

dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak

lawannya.

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan

Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadinya

kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis . Seseorang yang

melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta

otentik maupun akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta

yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang

membuat akta. Sedangkan akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau

dihadapan pejabat yang berwenang. Menurut pasal 1321 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, kata sepakat tidak didasarkan atas kemauan bebas

/ tidak sempurna apabila didasarkan :

a. Kekhilafan (dwaling)

b. Paksaan (geveld)

c. Penipuan (bedrog)

31

(6)

Dengan adanya kesepakatan, maka perjanjian tersebut telah ada dan

mengikat bagi kedua belah pihak serta dapat dilaksanakan.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Cakap artinya adalah kemampuan untuk melakukan suatu

perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah membuat suatu perjanjian.

Perbuatan hukum adalah segala perbuatan yang dapat menimbulkan akibat

hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah

orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah berumur 21 tahun

sesuai dengan pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam

pasal 1330 disebutkan bahwa orang yang tidak cakap untuk melakukan

perbuatan hukum adalah :

a. Orang yang belum dewasa

b. Orang yang dibawah pengampuan

c. Seorang istri. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui

Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963,

orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.

Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin

suaminya.32

3. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu disebut juga dengan objek perjanjian. Objek perjanjian

harus jelas dan ditentukan oleh para pihak yang dapat berupa barang

32

(7)

maupun jasa namun juga dapat berupa tidak berbuat sesuatu. Objek

Perjanjian juga biasa disebut dengan Prestasi. Prestasi terdiri atas :33

a. memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan

barang.

b. berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak,

membangun rumah, melukis suatu lukisan yang dipesan.

c. tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan

suatu bangunan, perjanjian untuk tidak menggunakan merek

dagang tertentu.

Prestasi dalam suatu perikatan harus memenuhi syarat-syarat :34

a. Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau

sedikitnya dapat ditentuk 2an jenisnya. Misalnya : A menyerahkan

beras kepada B 1 kwintal.

b. Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu

kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan. Misalnya

Concurrentie Beding (syarat untuk tidak bersaingan).

Contoh: A membeli pabrik sepatu dari B dengan syarat bahwa B

tidak boleh mendirikan pabrik yang memproduksi sepatu pula.

Karena A menderita kerugian, maka pabrik sepatu diganti dengan

produk lain. Dalam hal ini B boleh mendirikan pabrik sepatu lagi,

karena antara A dan B sekarang tidak ada kepentingan lagi.

33

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 69.

34

(8)

d. Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, dan

ketertiban umum.

e. Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

4. Suatu sebab yang halal

Di dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum perdata tidak

dijelaskan pengertian sebab yang halal. Yang dimaksud dengan sebab yang

halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Syarat

pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan

subjek perjanjian dan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif

karena berkaitan dengan objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan

syarat kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat diminta

pembatalannya. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak

yang tidak cakap atau pihak yang memberikan ijinnya secara tidak bebas.35

Sedangkan apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka

akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum artinya perjanjian

tersebut dianggap tidak pernah ada sama sekali sehingga para pihak tidak

dapat menuntut apapun apabila terjadi masalah di kemudian hari.

Dua syarat yang pertama untuk syahnya perjanjian, yaitu adanya

kesepakatan dan kecakapan, dinamakan syarat subyektif, karena mengenai

orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat

yang terakhir dinamakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri

35

(9)

atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Jika salah satu syarat sahnya

dari suatu perjanjian tersebut tidak terpenuhi, perjanjian itu dapat dibatalkan atau

batal demi hukum.

a. Syarat Subyektif

Mengenai subyek yang disyaratkan, antara pihak yang mengikat

diri dan syarat tentang kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

disebut syarat subyektif. Dalam syarat subyektif, jika syarat itu tidak

dipenuhi perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu

pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu

dibatalkan. Pihak yang dapat menerima pembatalan itu adalah pihak

yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara

tidak bebas yaitu orangtua atau walinya ataupun dirinya sendiri

apabila kelak sudah menjadi cakap dan /atau pihak yang memberikan

izin atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Disini

perjanjian yang telah dibuat itu tetap mengikat, selama tidak

dibatalkan oleh hakim atas tuntutan pihak yang berhak meminta

pembatalan. Dengan demikian, kelanjutan perjanjian seperti itu

tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk

mentaatinya. Gugatan pembatalan itu dapat dilakukan selama lima

tahun.

Untuk menghilangkan ancaman pembatalan, oleh

undang-undang kemudian diberi jalan keluarnya, suatu perjanjian dapat

(10)

tersebut. Penguatan yang demikian itu, dapat terjadi secara tegas,

atau dapat terjadi secara diam-diam. Atau apabila orang yang dalam

suatu perjanjian telah memberikan sepakatnya secara tidak bebas,

dapat pula menguatkan perjanjian yang dibuatnya, baik secara tegas

maupun secara diam-diam. Oleh karena itu, dalam hal adanya

kekurangan mengenai syarat subyektif, undang-undang

menyerahkan kepada para pihak, untuk melakukan pembatalan

perjanjian atau tidak. Perjanjian yang demikian itu, tidak batal demi

hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan.

b. Syarat Obyektif

Syarat Obyektif adalah mengenai obyek yang diperjanjikan,

yaitu tentang syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

Apabila yang tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian adalah syarat

obyektif, perjanjian tersebut batal demi hukum, karenanya tujuan

para pihak untuk membuat suatu perjanjian menjadi batal. Karena

obyek yang diperjanjikan batal, perjanjiannya otomatis batal demi

hukum . Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di

depan hakim.

Jika para pihak yang membuat perjanjian adalah orang, orang

yang dianggap sebagai subyek hukum yang dapat melakukan

hubungan hukum dengan pihak lain, adalah orang-orang yang tidak

termasuk didalam ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang-Undang

(11)

1) Orang-orang yang belum dewasa

Kriteria mengenai orang yang belum dewasa menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, adalah mereka yang belum

mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya

belum kawin. Pengecualiannya, dalam membuat perjanjian

kerja, syarat kecakapan yang menjadi salah satu syarat sahnya

perjanjian, usia dewasa dianggap dewasa apabila berumur 18

tahun baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian,

mengenai cakap dalam membuat perjanjian kerja, untuk pekerja

dapat menyimpang dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dan Pasal 1 butir 26 UUKK).

2) Mereka yang berada dibawah pengampunan

Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampunan adalah

setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang

akal, sakit ingatan atau boros. Pembentuk undang-undang

memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari

tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk

mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada dibawah

pengampunan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah

orangtuanya atau pengampunnya (Pasal 433 Kitab

(12)

Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi

tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan

suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan

dibawah pengampunan menurut hukum tidak dapat berbuat

bebas dengan harta kekayaannya. ia berada dibawah

pengawasan pengampun. Kedudukannya, sama dengan

seseorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang

tua atau walinya, seorang dewasa yang telah ditaruh dibawah

pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.

3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang

Awalnya, seorang perempuan yang bersuami, untuk

mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atas izin

tertulis dari suaminya. Tidak cakapnya seorang perempuan yang

bersuami berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

itu, di Negeri Belanda sendiri sudah dicabut, karena dianggap

tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman. Ketentuan tersebut di

Indonesia juga sudah dihapuskan. Mahkamah Agung

menganggap Pasal 108 s/d 110 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan

perbuatan hukum dan untuk menghadap didepan pengadilan

tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.

(13)

1974 tentang Perkawinan, Ketentuan seperti disebutkan pada

Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut lebih

tegas lagi dinyatakan tidak berlaku. Undang-undang Perkawinan

menyebutkan, hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan

hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing

pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (SE

Mahkamah Agung Nomor 3/1963).

4) Orang yang dilarang undang-undang membuat perjanjian

Dalam kasus orang yang dilarang oleh Undang-undang,

dapat diambil contoh dari ketentuan Pasal 1601 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam ketentuan itu diatur bahwa

perjanjian kerja antara suami istri adalah batal, dengan demikian

undang-undang melarang suami dan istri untuk membuat

perjanjian kerja.

Menurut ketentuan tersebut, mereka yang termasuk dalam

kriteria diatas tidak dapat membuat suatu perjanjian.

C. Asas-asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian Jual Beli

Asas-asas yang terdapat dalam suatu perjanjian umumnya terdapat dalam

perjanjian jual beli. Dalam hukum perjanjian ada beberapa asas, namun secara

umum asas perjanjian ada lima yaitu :36

36

(14)

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk :37

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,

b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan

d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting di

dalam perjanjian karena di dalam asas ini tampak adanya ungkapan hak

asasi manusia dalam membuat suatu perjanjian serta memberi peluang

bagi perkembangan hukum perjanjian.

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa

salah satu syarat adanya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan dari

kedua belah pihak.38 Asas konsensualisme mengandung pengertian bahwa

suatu perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal melainkan

cukup dengan kesepakatan antara kedua belah pihak saja. Kesepakatan

37

Ibid, hal.9

38

(15)

merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan dari kedua belah

pihak.

3. Asas mengikatnya suatu perjanjian

Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi pembuatnya. Setiap orang yang membuat

kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak

tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut

mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.

4. Asas iktikad baik (Goede Trouw)

Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat

(3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Itikad baik ada dua yaitu :39

a. Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

Contoh, Si A melakukan perjanjian dengan si B membangun

rumah. Si A ingin memakai keramik cap gajah namun di pasaran

habis maka diganti cap semut oleh si B.

b. Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang. Contoh,

si A ingin membeli motor, kemudian datanglah si B (penampilan

preman) yang mau menjual motor tanpa surat-surat dengan harga

murah. Si A tidak mau membeli karena takut bukan barang halal

atau barang tidak legal.

39

(16)

5. Asas Kepribadian

Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian

kecuali untuk dirinya sendiri. Pengecualiannya terdapat dalam Pasal 1317

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.

Namun, menurut Mariam Darus ada 10 asas perjanjian, yaitu :

a. Kebebasan mengadakan perjanjian

b. Konsensualisme

c. Kepercayaan

d. Kekuatan Mengikat

e. Persamaan Hukum

f. Keseimbangan

g. Kepastian Hukum

h. Moral

i. Kepatutan

j. Kebiasaan

D. Sifat-sifat dan Cara Penyerahan Objek Perjanjian Jual Beli

Penyerahan barang dalam jual-beli, merupakan tindakan pemindahan

barang yang dijual kedalam kekuasaan dan pemilikan pembeli.

Dalam Pasal 1475 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

bahwa agar pemilikan pembeli menjadi sempurna, pembeli harus menyelesaikan

(17)

jalan melakukan akte balik nama (overschrijving) dari nama penjual kepada nama

pembeli.40

Saat terjadinya jual beli adalah seketika setelah tercapainya kesepakatan

dari kedua belah pihak atas benda dan harganya meskipun benda tersebut belum

diserahkan dan harganya belum dibayar. Ketentuan ini sebagaimana umumnya

perjanjian, maka jual-beli ini menganut asas konsensualisme.

Hak dari Penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak

pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Sedangkan

kewajiban penjual adalah sebagai berikut :

1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal tiga jenis benda yaitu

benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka

penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk

masing-masing barang tersebut yaitu :41

a. Penyerahan Benda Bergerak

Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat dalam Pasal 612

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan penyerahan

kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan

penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik,

atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana

kebendaan itu berada. Mengenai Penyerahan benda bergerak terdapat

40

R. Subekti, Op.Cit, hal.305

41

(18)

dalam Pasal 612 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau akta

dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada dibitur secara tertulis,

disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa

dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang

karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan

endosemen.

b. Penyerahan Benda Tidak Bergerak

Mengenai Penyerahan benda tidak bergerak diatur dalam Pasal

616-620 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa

penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk

tanah dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sedangkan

yang lain dilakukan dengan akta notaris.

c. Penyerahan Benda Tidak Bertubuh

Diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan

dengan akta notaris

2. Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung

terhadap cacat-cacat tersembunyi.

Pasal 30 sampai dengan pasal 52 United Nations Convention on

Contra ct for the Interna tiona l Sa le of Goods mengatur tentang kewajiban

pokok dari penjual yaitu sebagai berikut :42

a. Menyerahkan barang

42

(19)

b. Menyerahterimakan dokumen

c. Memindahkan Hak Milik

Hak dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik

secara nyata maupun secara yuridis. Di dalam Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa tentang Penjualan barang-barang Internasional (United

Na tions Convention on Contra ct for the Interna tiona l Sa le of Goods) telah

diatur tentang kewajiban antara penjual dan pembeli.43 Pasal 53 sampai 60

United Na tions Convention on Contra ct for the Interna tiona l Sa le of

Goods mengatur tentang kewajiban pembeli. Ada 3 kewajiban pokok

pembeli yaitu:44

a. Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual

b. Membayar harga barang sesuai dengan kontrak

c. Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak

Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan

mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin

dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan

pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayaran di tempat yang disepakati kedua

belah pihak. Kewajiban Pihak Pembeli adalah :

1. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah

dibuat

2. Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos

antar, biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan

43

Ibid, hal.57

44

(20)

sebaliknya. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kewajiban dari

pihak pembeli adalah merupakan hak bagi pihak penjual dan

sebaliknya kewajiban dari pihak penjual adalah merupakan hak bagi

pihak pembeli.

Mengenai tempat penyerahan menurut ketentuan Pasal 1393 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata ada beberapa kemungkinan, yaitu :

1. di tempat sebagai yang ditetapkan dalam perjanjian;

2. di tempat barang itu berada pada saat terjadinya perjanjian;

3. di tempat tinggal pembeli;

4. di tempat tinggal penjual.

Perlu dingatkan bahwa istilah “pembayaran” yang disebutkan dalam Pasal

1393 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harus diartikan setiap penunaian

kewajiban. Jadi, setiap penyerahan adalah pembayaran.45

Mengenai waktu penyerahan tidak diatur dalam undang-undang, biasanya

hal demikian diatur dalam perjanjian yang bersangkutan.

Menurut Pasal 1474 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penjual

berkewajiban menyerahkan barang kepada pembeli, sedangkan penyerahan itu

harus menurut hukum (Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Penyerahan menurut hukum itu ada dua jenis, yaitu :

1. Penyerahan yuridis, dan

2. Penyerahan nyata (feitelijk)

45

(21)

Menurut Pasal 612 dan 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ada

beberapa jenis penyerahan mengenai benda bergerak, yaitu :

1. Penyerahan fisik, yakni penyerahan barang dari tangan ke tangan;

2. Penyerahan kunci gudang, didalam mana benda bergerak yang

diserahkan itu tersimpan;

3. Penyerahan akta sesi atau andosemen bagi benda bergerak tak

bertubuh;

4. Penyerahan dokumen. Penyerahan semacam ini sudan menjadi

kebiasaan dalam jual beli perusahaan. Pemegang dokumen ini berhak

memiliki barang-barang yang disebut dalam dokumen itu. Dokumen

itu adalah surat berharga, yakni surat tanda bukti tuntutan utang,

mengandung hak dan mudah dijualbelikan. Untuk bersifat mudah

diperjualbelikan, dokumen itu harus berbentuk (aan order) atau atas

pembawa (aan tonder). Dokumen-dokumen itu mudah diserahkan

kepada orang lain, yakni dengan diserahkan secara fisik saja atau

Referensi

Dokumen terkait

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: IDENTIFIKASI KESULITAN SISWA

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

bahwa dengan telah ditetapkannya Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta

Hal ini mendasari pelaksanaan tesis yang berjudul Pelestarian Lingkungan melalui Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung (Studi di Kampuang Surau Nagari Gunung Selasih

Yusmadi MM menyampaikan, pihaknya telah melakukan upaya penanganan bencana kebakaran hutan dan lahan ini dengan menurunkan Tim Reaksi Cepat (TRC) ke Kabupaten Aceh Barat

Kejadian semacam itu menunjukkan bahwa aktivitas β total di sekitar reaktor belum tentu semata-mata dari lepasan radionuklida dari reaktor, akan tetapi bisa saja

Penetapan wilayah yang menerapkan kompetisi tenaga listrik dilakukan secara bertahap berdasarkan tingkat kesiapan usaha penyediaan tenaga listrik antara lain cadangan daya yang