BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perilaku Seks Pranikah 2.1.1 Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2007b), perilaku seksual remaja terdiri dari kata-kata
yang memiliki pengertian yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perilaku dapat
diartikan sebagai respon organisme atau respons seseorang terhadap stimulus
(rangsangan) yang ada. Sedangkan seksual adalah rangsangan atau dorongan yang
timbul berhubungan dengan seks. Jadi, perilaku seksual adalah tindakan yang
dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari
dalam dirinya maupun dari luar dirinya.
Menurut Sarwono (2012), perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah
laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan dengan lawan jenisnya
maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Bentuk-bentuk
tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah
laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa orang lain,
orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Selain itu menurut Damayanti (2012), perilaku seksual adalah segala tingkah
laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama
jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan
dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri
sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila
tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan
sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru
dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi,
marah dan agresi.
Sedangkan menurut Tim sahabat remaja Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) DIY (2007), yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah
perilaku yang muncul karena adanya dorongan seks sehingga seseorang akan
melakukan hubungan seks sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah, baik yang
berhubungan seks yang penetratif (penis dimasukkan kedalam vagina, anus atau
mulut) maupun yang nonpenetratif (penis tidak dimasukkan kedalam vagina, anus
atau mulut). Oral dan anal seks termasuk kedalam hubungan seks yang penetratif.
Menurut Soetjiningsih (2007), perilaku seksual remaja adalah segala tingkah
laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang
dilakukan remaja sebelum mereka menikah. Bentuk-bentuk prilaku ini umumnya
bertahap dimulai dari tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan seksual.
Tahap-tahap prilaku seksual remaja dapat dirinci sebagai berikut : (1) berpegangan
tangan, (2) memeluk/dipeluk bahu, (3) memeluk/dipeluk pinggang, (4) ciuman bibir,
(5) ciuman sambil pelukan, (6) meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin)
dalam keadaan berpakaian, (7) mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan
meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, (10) mencium/dicium
daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, (11) saling menempelkan alat
kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian, (12) hubungan seksual. Hubungan seksual
pranikah yang dilakukan remaja mempunyai efek yang beruntun (multiplying effect)
antara lain : rasa bersalah atau berdosa, menyesal, self-resfect rendah, emosi negatif
kehamilan yang tidak diinginkan, rentan terhadap penyakit menular seksual,
HIV/AIDS, dan aborsi.
Menurut L’Engle, dkk (2006) perilaku seksual terbagi atas dua aktivitas yaitu
aktivitas seksual ringan dan berat yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali
pergi berkencan, pergi ketempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan, french kiss,
sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti, meraba payudara, meraba vagina
atau penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual.
Kisney dalam Murti (2008) juga mengatakan bahwa kategori atau tingkatan
perilaku seksual dibagi menjadi 2 (dua), yaitu perilaku seksual ringan jika seseorang
pernah melakukan berpegangan tangan, berpelukan, sampai berciuman bibir, dan
perilaku seksual berat jika seseorang pernah melakukan perilaku seksual meraba dada
atau alat kelamin pasangan, saling menggesekkan alat kelamin dengan pasangan, oral
seks dan melakukan hubungan seksual (intercourse).
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat
seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses
2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Penelitian yang dilakukan oleh BkkbN (2012) dalam Ringkasan Riset Studi
Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di Empat Kota Besar di Indonesia,
menunjukkan bahwa perilaku seksual yang banyak muncul dengan pasangan adalah
sampai tahap berciuman baik kening, pipi maupun bibir.
DeLamenter dan MacCorquodale dalam Santrock (2007), mengemukakan ada
beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu:
a. Mencium/dicium kening
b. Mencium/dicium pipi
c. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada
d. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk
ciuman bibir antara dua orang.
e. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.
f. Meraba payudara
g. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan
antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin
tidak bersentuhan secara langsung).
h. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ
oral (mulut dan lidah) dengan alat kelmain pasangannya.
i. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina
Gunarsa dan Gunarsa (2000) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku
seksual pada remaja dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Masturbasi
Perilaku seksual ini seringkali dianggap sebagai kebiasaan buruk. Perilaku ini
dapat menimbulkan goncangan-goncangan pribadi dan emosional. Penyebab dari
perilaku seksual ini di antaranya adalah unsur ketidaksengajaan, pengaruh dari teman,
dan rangsangan atau stimulus yang timbul melalui gambar atau film.
b. Pacaran
Perilaku seksual ini dapat mengarah pada terjadinya hubungan seksual.
Remaja yang berpacaran pada awalnya menunjukkan perilaku seksual yang ringan
seperti bersentuhan, berpegangan tangan, sampai pada berciuman. Perilaku seksual
yang ringan tersebut secara lebih lanjut dapat menimbulkan dorongan yang lebih
besar untuk melakukan perilaku seks yang lebih berat seperti menyentuh organ-organ
seks pasangan sampai dengan melakukan hubungan seks.
c. Senggama
Perilaku seksual ini mengarah pada pemuasan dorongan seks. Perilaku ini
menunjukkan kegagalan remaja untuk mengendalikan diri atau meredam dorongan
seks dan mengalihkannya pada kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya dapat
dilakukan. Remaja yang melakukan perilaku seksual ini cenderung kurang stabil
kepribadiannya karena terlalu mengikuti dorongan yang hanya mendasarkan pada
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual remaja
secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu masturbasi, pacaran, dan
senggama. Masturbasi sebagai bentuk perilaku seksual dilakukan dengan menyentuh,
meraba, dan mempermainkan alat kelaminnya sendiri. Pacaran sebagai bentuk
perilaku seksual ringan dilakukan secara berpasangan dengan saling menyentuh,
memegang dan mencium. Sementara senggama sebagai bentuk perilaku seksual juga
dilakukan secara berpasangan tetapi tergolong perilaku yang berat karena hanya
untuk mengejar kesenangan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam
penelitian ini, perilaku seksual pada remaja diukur dengan mengacu pada
bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Gunarsa dan Gunarsa (2000) yaitu masturbasi,
pacaran, dan senggama.
2.1.3 Akibat Hubungan Seksual Pranikah
Menurut Pinem (2009), hubungan seksual pranikah membawa pengaruh
buruk baik bagi remaja maupun keluarga dan masyarakat.
1. Akibat hubungan seksual pranikah bagi remaja sebagai berikut :
a. Gangguan kesehatan reproduksi akibat infeksi penyakit menular seksual
termasuk HIV/AIDS.
b. Resiko menderita penyakit menular seksual (PMS), misalnya gonorhoe,
sifilis, HIV/ AIDS. Herpes simplek, herpes genitalis dan lain sebagainya.
c. Remaja putri berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Bila ini
terjadi, maka beresiko terhadap tindakan aborsi yang tidak aman dan resiko
d. Trauma kejiwaan (depresi, rasa rendah diri, hilang masa depan dan rasa
berdosa karena berzina).
e. Remaja putri yang hamil berisiko kehilangan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan.dan kesempatan kerja.
f. Melahirkan bayi yang kurang atau tidak sehat.
2. Akibat hubungan seksual pranikah bagi keluarga yaitu menimbulkan aib keluarga,
beban ekonomi keluarga bertambah, pengeruh kejiwaan bagi anak yang dilahirkan
(ejekan masyarakat sekitarnya)
3. Akibat hubungan seksual pranikah bagi masyarakat yaitu meningkatkan remaja
putus sekolah, sehingga kualitas masyarakat menurun, meningkatnya angka
kematian ibu dan bayi, sehingga derajat kesehatan reproduksi menurun,
menambah beban ekonomi masyarakat sehingga derajat kesehatan masyarakat
menurun.
Menurut Sarwono (2012), akibat dari segala dampak yang muncul seperti
kehamilan di luar nikah, kawin muda, anak-anak lahir diluar nikah, aborsi, penyakit
menular seksual, depresi pada wanita yang terlanjur berhubungan seks dan lain
sebagainya. Sarwono (2012) yang mengutip pendapat Simkins (1984), mengatakan
sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak
ada dampak fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian
perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa cukup serius seperti perasaan bersalah,
depresi, marah, misalnya pada gadis-gadis yang terpaksa menggugurkan
Sarwono (2012) juga mengutip pendapat Sanderowitz dan Paxman (1985),
bahwa akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan
peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil dan juga akan
terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah
terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi dan
berkembangnya penyakit menular seksual. Selain itu ada juga akibat-akibat ekonomis
karena diperlukan ongkos perawatan dan lain-lain.
2.1.4 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seks Pranikah
Menurut Imran (2009), menyatakan bahwa perilaku hubungan seksual pada
remaja dipengaruhi dua faktor, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal
terkait dengan aspek biologis, yakni perubahan yang terjadi pada masa pubertas dan
aktifnya hormon yang mendorong melakukan hubungan seksual, sedangkan faktor
eksternal berhubungan dengan masalah komunikasi di seputar seksualitas, misalnya
berkaitan dengan pengaruh teman sebaya yang tidak jarang mendorong seseorang
untuk melakukan hubungan seksual.
Menurut Muss dalam Kusmiran (2011), faktor-faktor yang memengaruhi
perilaku seksual remaja antara lain :
1. Perubahan biologis, perubahan yang terjadi pada masa pubertas dan pengaktifan
hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual.
2. Pengaruh orangtua, kurangnya komunikasi secara terbuka antara orangtua dan
remaja seputar masalah seksual memperkuat munculnya penyimpangan perilaku
3. Pengaruh teman sebaya, pengaruh teman sebaya sangat kuat sehingga munculnya
penyimpangan perilaku seksual dikaitkan dengan norma kelompok sebaya.
4. Prespektif akademik, remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi yang
rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibandingkan
remaja dengan prestasi yang baik di sekolah.
5. Prespektif sosial kognitif, diasosiasiakan dengan pengambilan keputusan yang
menyediakan pemahaman perilaku seksual kalangan remaja.
Menurut Koentjoro (2007) beberapa faktor penyebab perilaku seksual remaja
yaitu faktor internal, eksternal dan campuran keduanya. Faktor internal atau yang
berasal dari dalam individu adalah faktor asupan gizi yang makin membaik. Gizi
yang semakin baik mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan memacu percepatan
kemasakan hormon. Faktor eksternal yang diduga memengaruhi perilaku seksual
adalah dampak globalisasi dan budaya materialisme. Kemajuan telekomunikasi
(dalam hal ini media) akan berpengaruh pada pola hidup materialisme.
Santrock (2007) juga mengutip pendapat Bandura menyatakan bahwa
perilaku, lingkungan dan personal/kognisi merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suryoputro (2007)
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah faktor
internal meliputi pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap
layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku, kerentanan yang dirasakan
terhadap resiko, kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial,
yang meliputi kontak dengan sumber-sumber informasi, keluarga, sosial-budaya, nilai
dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu.
Menurut Notoatmodjo (2007b), secara garis besar, ada dua tekanan pokok
yang berhubungan dengan kehidupan remaja, yaitu internal pressure dan external
pressure. Dalam hal ini, internal pressure yaitu tekanan dari dalam diri remaja berupa
tekanan psikologis dan emosional, sedangkan external pressure yaitu tekanan dari
luar diri remaja seperti teman sebaya, orang tua, guru dan masyarakat. Menurut
Widyarini (2007), yang mengutip pendapat Lewin (1951), dalam sejarah psikologi,
beredar luas konsep dasar mengenai terbentuknya perilaku, bahwa perilaku
merupakan fungsi dari faktor personal dan faktor lingkungan.
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari perkembangan kognitif.
Santrock (2007) yang mengutip pendapat Piaget menyebutkan perkembangan
kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi
semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang
bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana pandangan
orang lain terhadap dirinya.
Notoadmodjo (2007b) bahwa pengetahuan yang diperoleh subjek selanjutnya
akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang telah
diketahuinya. Pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pengalaman,
pengharapan yang tidak realistis, harga diri yang rendah, takut tidak berhasil atau
pesimis, menunjukan bahwa remaja memiliki kepribadian yang belum matang dan
emosi yang labil, sehingga mudah terpengaruh melakukan hal-hal negatif, seperti
melakukan hubungan seks pranikah.
Pengetahuan seksualitas yang baik dapat menjadikan remaja memiliki tingkah
laku seksual yang sehat dan bertanggung jawab. Pemahaman yang keliru mengenai
seksualitas pada remaja menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai
masalah seks tanpa menyadari bahaya yang timbul dari perbuatannya, dan ketika
permasalahan yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan, remaja
takut untuk mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang tua.
2. Sikap
Sikap memiliki arti penting dalam kehidupan manusia, karena sikap yang
terbentuk dalam diri manusia dapat menentukan perilaku dalam menghadapi suatu
objek sikap atau masalah yang muncul. Thurstone (dalam Nuranti, 2009) menyatakan
bahwa sikap adalah tingkat kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang
berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi di sini meliputi simbol,
kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap
positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang
favorable. Sebaliknya, orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek
psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologi.
Menurut Krech & Crutchfield (dalam Nuranti, 2009), sikap merupakan keadaan
kognisi mengenai beberapa aspek dari kehidupan individu. Definisi ini menekankan
pada keadaan diri manusia sebagai suatu organisme yang dapat berpikir dan
terstruktur secara aktif. Sikap berkaitan erat dengan tindakan atau menjadi dasar dari
terbentuknya suatu perilaku. Berdasarkan beberapa definisi sikap, maka dalam
penelitian ini sikap didefinisikan sebagai kecenderungan penilaian remaja terhadap
beberapa perilaku hubungan seksual pranikah. Perilaku hubungan seksual pranikah
tercermin dalam penilaian remaja yang mendukung (favorable) atau tidak mendukung
(unfavorable) terhadap objek sikap. Penilaian tersebut merupakan reaksi kognitif,
afektif dan konatif terhadap berbagai bentuk perilaku hubungan seksual pranikah.
Ciri-ciri sikap
Adapun ciri-ciri sikap menurut Ahmadi (2002) antara lain adalah:
1) Sikap dapat dipelajari (learnability)
Sikap merupakan hasil belajar, bukan merupakan faktor bawaan. Sikap dapat
dipelajari secara tidak sengaja dan tanpa kesadaran atau dengan kesadaran.
2) Sikap memiliki kestabilan (stability)
Sikap yang berawal dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil,
melalui pengalaman.
3) Personal-societal significance
Sikap dalam perwujudannya melibatkan hubungan antara seseorang dan orang
lain dan juga antara orang dan barang atau situasi tertentu. Jika seseorang merasa
bahwa orang atau objek tertentu menjadi berarti, maka dia akan merasa bebas dan
4)Memiliki unsur kognisi dan afeksi
Komponen kognisi dari sikap adalah berisi informasi yang faktual, yaitu adanya
perasaan senang atau tidak senang terhadap objek tertentu.
5) Approach-avoidance directionality
Seseorang yang memiliki sikap favorable terhadap suatu objek, maka dia akan
mendekati objek tersebut, dan sebaliknya.
Berdasarkan penjelasan mengenai ciri-ciri sikap di atas, dapat disimpulkan
bahwa sikap merupakan kondisi internal pada seseorang yang terbentuk dari
pengalaman, sehingga sikap dapat berubah-ubah dan dapat dipelajari, terutama
apabila ada kondisi tertentu yang mempermudah berubahnya sikap seseorang pada
objek tertentu. Sikap pada seseorang tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan
selalu berhubungan dengan suatu objek. Akibatnya, mampu menimbulkan perasaan
tertentu pada objek, yaitu perasaan senang atau tidak senang.
3. Efikasi Diri
Ali dan Asrori (2011), yang mengutip pendapat Bandura (1986), menyatakan
bahwa efikasi diri merupakan masalah kemampuan yang dirasakan individu untuk
mengatasi situasi khusus sehubungan dengan penilaian atas kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan yang ada hubungannya dengan tugas khusus atau situasi
tertentu. Efikasi diri ini merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara
atau mediator dalam interaksi antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Konsep
dasar dari teori efikasi diri ini adalah pada masalah adanya keyakinan bahwa setiap
Musthofa dan Winarti (2010) menyatakan bahwa efikasi diri juga dapat
dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Efikasi tinggi atau rendah dapat
dikombinasikan dengan Iingkungan yang responsif atau tidak responsif, sehingga
akan menghasilkan kemungkinan berperilaku. Dalam hubungan antara efikasi diri
terhadap perilaku seks terdapat hubungan yang signifikan karena efikasi merupakan
upaya penilaian diri, apakah seseorang mampu melakukan tindakan yang baik atau
buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa sesuai yang dipersyaratkan.
Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), jika remaja mampu melakukan
penilaian tentang benar dan salah, baik dan buruk suatu perilaku, maka mereka akan
memahami mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah, sehingga remaja
putri dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang
timbul dari hati nurani dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa
tanggungjawab.
Menurut Bandura (1986) dalam Suryoputro,dkk (2007), orang yang memiliki
rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalankan tugasnya, cenderung akan dapat
menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sebaliknya orang yang mempunyai rasa
percaya diri yang rendah cenderung tidak dapat mewujudkan perilaku tertentu seperti
yang diharapkan. Dalam hal ini, rasa percaya diri berfungsi sebagai pusat mediator
melalui mana faktor-faktor kognitif lainnya seperti; pengetahuan, harapan dan
perbandingan diri dengan kawan sebaya, akan terintegrasi untuk mempengaruhi
perilaku seksual. Artinya, mereka hanya akan melakukan hubungan seksual yang
percaya diri pada remaja menjadi faktor yang sangat penting didalam menentukan
bagaimana mereka berperilaku seksual.
4. Dorongan Biologis
Menurut Geldard dan Geldard (2011), peningkatan besar dan sangat berarti
dalam produksi hormon seksual terjadi selama pubertas. Hal ini berakibat memicu
meningkatkan hasrat seksual, nafsu dan dorongan seksual pada laki-laki maupun
perempuan. Bersamaan dengan peningkatan dorongan seksual, mereka berhadapan
dengan isu-isu seperti seksualitas personal dan identitas seksual. Isu – isu ini
memengaruhi keputusan mereka dalam bergaul dengan teman-temannya. Remaja
akan mulai terlibat dalam eksperimen seksual dengan teman-temannya. Dorongan
seksual ini pada beberapa remaja sering disalurkan melalui fantasi dan masturbasi.
Menurut Sarwono (2011), faktor-faktor yang dianggap berperan dalam
munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu adanya perubahan hormonal
yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Menurut Manuaba (2010), adanya
dorongan biiologis untuk melakukan hubungan seksual merupakan insting alamiah
dari berfungsinya organ system reproduksi dan kerja hormon. Dorongan ini dapat
meningkat karena adanya pengaruh dari luar misalnya film, majalah, dan buku yang
menampilkan gambar-gambar yang dapat membangkitkan erotisme.
5. Pandangan tentang Konsep Cinta
Menurut Rosa (2012) yang mengutip pendapat Lesnapurnawan (2009), remaja
menyalahartikan atau cenderung kebingungan dalam mengartikan konsep cinta,
seks adalah cara untuk mendapatkan pasangan, sedangkan pada remaja akhir
cenderung melakukan tingkah laku seksual jika telah ada ikatan dan saling pengertian
dengan pasangan. Seks sering dijadikan sarana untuk berkomunikasi dengan
pasangannya. Menurut Dianawati (2003), adanya tekanan dari pacarnya dan karena
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, seseorang rela melakukan apa saja terhadap
pasangannya tanpa memikirkan risiko yang nanti dihadapinya. Dalam hal ini yang
berperan bukan hanya saja napsu seksual mereka, melainkan juga karena sikap
memberontak terhadap orangtuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu bantuk
hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai layaknya manusia dewasa
6. Nilai Agama
Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan remaja. Menurut
Santrock (2007), salah satu pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah
berkaitan dengan aktivitas seksual. Meskipun pengajaran agama yang bervariasi dan
berubah-ubah itu dapat mempersulit dalam menyimpulkan doktrin-doktrin religius,
namun pada umumnya ajaran agama tidak menganjurkan hubungan seks pranikah.
Para remaja yang sering mengunjungi layanan religius cenderung lebih banyak
mendengar pesan-pesan agar menjauhkan diri dari seks. Keterlibatan remaja dalam
organisai religius juga dapat meningkatkan peluang bahwa mereka akan berteman
dengan remaja lain yang memiliki sikap yang tidak menyetujui seks pranikah.
Menurut Santrock (2007) yang mengutip pendapat Gallup dan Benzilla
(1992), bahwa dalam sebuah survei, 95% dari para remaja yang berusia antara 13
universal. Remaja tersebut menyatakan bahwa mereka berdoa dan mendatangi
layanan keagamaan seminggu terakhir. Mereka juga menyatakan bahwa mempelajari
iman religius merupakan hal yang penting.
Santrock (2007) juga mengutip pendapat Sax dkk (2004), pada sebuah studi
nasional yang melibatkan para mahasiswa tingkat pertama Amerika, diketahui bahwa
79% dari para mahasiswa menyatakan bahwa mereka mempercayai adanya Tuhan
dan 69% diantaranya menyatakan bahwa mereka berdoa. Meskipun demikian,
terdapat 69% menyatakan bahwa mereka masih mencari tujuan atau makna dan
kurang dari 50% menyatakan bahwa mereka tidak merasa aman terhadap pandangan
spiritual dan agama serta hidupnya.
Farmer (2008) yang mengutip pendapat Barkan (2006) seperti agama,
partisipasi keagamaan telah banyak digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara
agama dan perilaku seksual. Sering kehadiran layanan agama terkait dengan pantang
seksual yang lebih besar, kurang aktivitas seksual, kurang sering hubungan seksual,
pasangan hidup lebih sedikit seksual, dan tertunda usia intercourse
7. Lingkungan Teman Sebaya
pertama.
Kelompok teman sebaya memegang peranan penting dalam kehidupan
remaja. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok
teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka
cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku teman sebayanya.
Menurut survei yang dilakukan oleh The National Campaign (2012), remaja
seks, lebih daripada teman sebaya, budaya, guru dan lain-lain. Bahkan, remaja
melaporkan bahwa mereka akan lebih terbuka berbicara tentang seks dengan orang
tua mereka dan menghindari kehamilan remaja, diperoleh hasil 4 dari 10 remaja
(38%) mengatakan orang tua paling memengaruhi keputusan mereka tentang seks,
dibandingkan dengan 22% yang dipengaruhi oleh teman-teman.
Menurut Suwarni (2009), bahwa pengaruh perilaku seksual teman sebaya
secara langsung paling besar memengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh
perilaku seksual teman sebaya secara langsung sebesar 20,2%, sedangkan pengaruh
perilaku seksual teman sebaya secara tidak langsung melalui niat berperilaku seksual
sebesar 14,24%.
Menurut Notoatmodjo (2007), perubahan sosial yang dialami remaja akan
membawa remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebayanya daripada orang
tuanya sendiri. Kurangnya pengetahuan yang didapat dari orang tua dan sekolah
mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau
lingkungan bermainnya yang bisa saja pengetahuan tersebut salah, Sehingga
munculah informasi di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti
kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja, salah satunya adalah
infomasi mengenai hubungan seks sekali tidak membuat seseorang hamil.
8. Pengawasan Orangtua
Menurut Santrock, (2007) peran orangtua sangat besar pengaruhnya terhadap
remaja. Remaja dalam keluarga yang bercerai lebih menunjukkan penyesuaian
Orang tua yang sibuk, kualitas pengasuhan yang buruk, dan perceraian orang tua,
remaja dapat mengalami depresi, kebingungan, dan ketidakmantapan emosi yang
menghambat mereka untuk tanggap terhadap kebutuhan remaja sehingga remaja
dapat dengan mudah terjerumus pada perilaku yang menyimpang seperti seks
pranikah
Menurut Sarwono (2011), perilaku yang tidak sesuai dengan tugas
perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang
tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya,
maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan
pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya
pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat
pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri
yang bersatu dalam perkawinan. Orang tua mentabukan pembicaraan mengenai seks
pada anaknya, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak bahkan cenderung
membuat jarak dengan anak mengenai masalah ini.
Taufik dan Anganthi (2005), dalam penelitiannya memaparkan bahwa
aktivitas seksual subjek sebagian besar dilakukan di rumah sendiri baik pada subjek
yang melakukan hubungan seksual maupun subjek yang tidak melakukan hubungan
seksual. Ini menunjukkan bahwa longgarnya peraturan ataupun perhatian yang
diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Rumah yang seharusnya menjadi pusat
pendidikan yang di dalamnya sarat dengan aturan dan kedisiplinan justru dianggap
dikemukakan oleh subjek perempuan yang telah melakukan hubungan seksual, bahwa
alasan pemilihan rumah sendiri sebagai tempat melakukan aktivitas seksual, sebagian
besar karena faktor keamanan.
9. Lingkungan Masyarakat
Iklim dalam kehidupan bermasyarakat yang kondusif juga sangat
memengaruhi perilaku remaja. Remaja tengah menjalani proses mencari jati diri
sehingga faktor keteladanan dan kekonsistenan system nilai dan norma dalam
masyarkat juga menjadi suatu hal yang sangat penting. Ali dan Asrori (2011),
menyatakan bahwa masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan
menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh karena
adanya kontradiksi dalam masyarakat. Dalam lingkungan ini remaja diatur
berdasarkan norma – norma yang ada.
Salah satu masalah yang dialami remaja dalam proses ini adalah bahwa tidak
jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Di satu sisi remaja sudah
dianggap dewasa, namun di sisi lain remaja masih dianggap anak kecil sehingga
sering menimbulkan kejengkelan dan perlawanan dari remaja. Dalam hal perilaku
seksual, masyarakat di sekitar remaja adalah kelompok yang penting untuk
mengarahkan remaja ke arah perilaku yang lebih baik. Banyaknya kenakalan remaja
terutama pada perilaku seksual di lingkungannya membuat remaja juga akan ikut
10. Media Informasi
Azwar (2007) menyebutkan bahwa sikap seseorang salah satunya dipengaruhi
oleh keberadaan media massa. Pesan- pesan yang disampaikan oleh media masa
seringkali berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang, sehingga informasi
baru tersebut memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap
suatu hal, termasuk sikap tentang seksualitas.
Pada era kehidupan dengan sistem komunikasi global, dengan kemudahan
mengakses informasi baik melalui media cetak, TV, internet, komik, media ponsel,
dan DVD bajakan yang berkeliaran di masyarakat, tentunya memberi manfaat yang
besar bagi kehidupan kita terutama remaja, namun saat ini remaja justru sering sekali
salah mempergunakan kecanggihan teknologi tersebut. Mereka menyelewengkan
fungsi teknologi yang sebenarnya. Bahkan tayangan televisi, media-media berbau
porno (seperti VCD dan DVD porno yang begitu mudah diperoleh serta gampang
diakses di internet).
Menurut Yulianto (2010), dalam penelitiannya yang menggambarkan sikap
siswa yang dikaitkan dengan sumber informasi tentang seksualitas didapatkan data
sebanyak 100 subjek (46,9%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari
televisi, 82 subjek (38,5%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari internet,
16 subjek (7,5%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari koran, 13 subjek
(6,1%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari majalah serta 2 subjek (0,9%)
mendapatkan informasi tentang seksualitas dari film seks. Berdasarkan data diatas,
sumber yang paling dominan diantara sumber-sumber yang lain. Hal tersebut
disebabkan karena saat ini media televisi dan internet menjadi media yang relatif
mudah dan murah bagi masyarakat didalam mendapatkan informasi terbaru maupun
mendapatkan hiburan.
2.2 Remaja
2.2.1 Pengertian Remaja
Remaja merupakan periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa, yang mencakup aspek biologi, kognitif, dan perubahan sosio-emosional
(Santrock, 2007). Menurut Sarwono (2011) remaja merupakan masa peralihan
seorang anak terlihat adanya perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai
dengan perubahan struktur dan fungsi fisiologi. Secara anatomis alat-alat kelamin
khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang
sempurna. Secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna
pula, yang ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki.
2.2.2 Tahapan Masa Remaja Berdasarkan Usia Remaja
Menurut Pinem (2009), masa remaja memiliki 3 (tiga) tahapan proses
perkembangan sesuai dengan pembagian usia remaja yaitu :
1. Masa Remaja Awal 10 - 12 Tahun
Pada masa ini remaja memiliki ciri khas yaitu ingin bebas, lebih dekat dengan
teman sebaya, mulai berpikir logis, lebih banyak memperhatikan keadaan
2. Masa Remaja Tengah 13 - 15 Tahun
Pada masa ini remaja mulai mencari identitas dirinya, terjadi peningkatan
interaksi dengan kelompok, timbulnya keinginan untuk berkencan, berkhayal
tentang aktivitas seksual, mempunyai rasa cinta yang mendalam.
3. Masa Remaja Akhir 16 – 19 Tahun
Pada masa ini remaja mulai mampu berpikir abstrak, lebih selektif dalam
mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan
rasa cinta, pengungkapan kebebasan diri.
Menurut Sarwono (2011), yang dikatakan usia remaja adalah batasan usia
antara 11 - 24 dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Usia 11 tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder
mulai tampak.
2. Di masyarakat Indonesia usia 11 tahun sudah dianggap akil balig baik
menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan
remaja sebagai anak-anak.
3. Pada usia 11 tahun mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa
yaitu tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan
psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral.
4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal yaitu untuk memberi peluang
bagi remaja yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada
orang tua belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa secara
Menurut Pinem (2009) masa remaja merupakan masa yang khusus dan
penting, karena merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia. Masa
remaja disebut juga masa transisi yang unik ditandai dengan berbagai perubahan
fisik, emosi dan psikis. Masa remaja disebut juga masa pubertas. Pada masa pubertas
terjadi perubahan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam kesehatan
reproduksi karena pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik yang sangat cepat untuk
mencapai kematangan termasuk organ-organ reproduksi. Perubahan yang terjadi yaitu
1. Munculnya tanda-tanda seks primer, yaitu terjadinya haid yang pertama
(menarche) pada remaja perempuan, dan mimpi basah pada remaja laki-laki.
2. Munculnya tanda-tanda seks sekunder, yaitu pada remaja laki-laki tumbuhnya
jakun, penis, dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi,
suara bertambah besar, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuh kumis di atas
bibir, cambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak. Pada remaja
perempuan pinggul melebar, pertumbuhan rahim dan vagina, tumbuh rambut
di sekitar kemaluan dan ketiak, payudara membesar.
Ciri-ciri perubahan yang terjadi pada masa remaja ini sangat penting untuk
diketahui agar penanganan masalah dapat dilakukan dengan baik. Dari segi kesehatan
reproduksi, perilaku ingin mencoba-coba hal-hal baru di dorong oleh rangsangan
seksual yang jika tidak dibimbing dengan baik dapat membawa remaja khususnya
remaja perempuan terjerumus dalam hubungan seks pranikah dengan segala
2.2.3 Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode
sebelum dan sesudahnya. Hurlock (2003) mengemukakan berbagai ciri-ciri masa
remaja adalah sebagai berikut :
1. Masa Remaja sebagai Periode yang Penting
Yaitu periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar
kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting dari
pada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap
sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka
panjangnya. Pada periode remaja baik akibat langsung maupun akibat jangka
panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada
lagi akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting.
2. Masa Remaja sebagai Periode Peralihan
Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang
telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu
tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi
sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan
yang akan datang. Dalam setiap periode peralihan status individu tidaklah
jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini
remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan seorang dewasa. Dilain pihak
waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan
pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.
3. Masa Remaja sebagai Periode Masa Perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja
sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika
perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku, dan sikap juga
berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan
perilaku juga menurun. Ada 4 (empat) perubahan yang sama yang hampir
bersifat universal.
Pertama, meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi biasanya
terjadi lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya emosi lebih
menonjol pada masa awal periode akhir masa remaja.
Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok
sosial untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda
masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan
dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa
ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut
kepuasannya.
Ketiga, dengan berubahnya minat dari pola perilaku, maka nilai-nilai juga
berubah. Nilai yang ada pada masa anak-anak dianggap penting, pada masa
Keempat, sebagian remaja bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan.
Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi remaja sering takut
bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan untuk dapat
mengatasi tanggung jawab tersebut.
4. Masa Remaja sebagai Masa Bermasalah
Setiap periode mempunyai masalahnya sensiri-sendiri. Masalah masa
remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki
maupun anak perempuan. Ada 2 (dua) alasan bagi remaja pada masalah
kesulitan, pertama sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian
diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak
berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa
dirinya mandiri, sehingga mereka ingin mengatai masalahnya sendiri,
menolak bantuan orang tua dan guru. Karena ketidakmampuan remaja untuk
mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak
remaja akhirnya menemukan penyelesaian masalahnya tidak selalu sesuai
dengan harapan mereka.
5. Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas
Sepanjang usia pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan
standar kelompok adalah jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar
daripada individualitas. Pada tahun-tahun awal masa remaja penyesuaian diri
dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan.
dirinya bersama dengan teman-teman dalam segala hal seperti sebelumnya.
Remaja ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu sementara pada saat
yang sama remaja ingin mempertahankan dirinya terhadap kelompoknya.
Erikson menjelaskan masalah remaja yang mengalami dilema yang
menyebabkan krisis identitas atau masalah identitas ego pada remaja. Identitas
diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa
peranannya dalam masyarakat. Cara pencarian identitas diri ini mempengaruhi
perilaku remaja. Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan
kesamaan yang baru para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan
tahun-tahun yang lalu, meskipun untuk melakukannya mereka harus
menunjuk secara artifisial orang-orang yang baik hati untuk berperan sebagai
musuh dan mereka selalu siap untuk menempatkan idola dan ideal mereka
sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identitas yang sekarang
terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan
identitas masa kanak-kanak.
Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai
individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil,
pakaian, dan pemiliki barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara
ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai
individu, sementara pada saat yang sama remaja mempertahankan identitas
6. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan
Banyak anggapan populer tentang remaja yang mempuyai arti yang
bernilai, dan banyak diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotip
budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat
dipercaya dan cendrung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan
orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja
muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku
remaja yang tidak normal.
Stereotip populer mempengaruhi konsep diri dan siakp remaja
terhadap dirinya sendiri. Anthony menjelaskan stereotip juga berfungsi
sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang
menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggap sebagai
gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai dengan
gambaran ini. Menerima stereotip ini akan menimbulkan adanya keyakinan
bahwa orang dewasa mempunyai keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai
pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa
menjadi sulit. Hal ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua.
Orang tua dengan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta
bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya.
7. Masa Remaja sebagai Masa yang tidak Realistik
Remaja cendrung memandang kehidupan melalui kaca mata sendiri.
dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Remaja belum
mampu melihat secara apa adanya dan bila ada ketidaksesuaian antara apa
yang diharapkan dengan kenyataannya akan menyebabkan meningginya
emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik
cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa
apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai
tujuan yang ditetapkannya sendiri.
Dengan bertambahnya pengalaman pribadi dan pengalaman sosial,
meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, remaja lebih besar
memandang diri sendiri, keluarga, teman-teman dan kehidupan pada
umumnya secara realistik. Dengan demikian remaja tidak terlalu banyak
mengalami kekecewaan ketika masih lebih muda. Hal ini merupakan salah
satu kondisi yang menimbulkan kebahagiaan yang lebih besar pada remaja
yang lebih besar.
8. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi
semakin gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk
memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan
bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu
remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status
dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini
akan memberikan citra yang mereka inginkan.
2.3 Analisis Faktor 2.3.1 Pengertian
Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas
prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas dari variabel
yang banyak menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah
menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian besar
informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable) (Supranto, 2004).
Selain itu analisis faktor dapat juga berfungsi sebagai alat uji validasi internal dari
alat ukur yang dipergunakan (Riduwan, 2005).
Analisis faktor merupakan salah satu tehnik analisis statistik multivariat,
dengan titik berat yang diminati adalah hubungan secara seksama bersama pada
semua variabel tanpa membedakan variabel tergantung dan variabel bebas atau
disebut sebagai metode antar ketergantungan (interdependence methode) tersebut.
Proses analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar variabel yang saling
interdependen tersebut, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan varibel
yang lebih sedikit jumlah varibel awal sehingga memudahkan analisis statistik
selanjutnya (Wibowo, 2006).
Tujuan yang penting dari analisis faktor adalah menyederhanakan hubungan
menyatukan faktor atau dimensi yang saling berhubungan pada suatu struktur data
baru yang mempunyai beberapa faktor yang lebih kecil (Wibisono, 2003).
Analisis faktor yang dipergunakan di dalam situasi sebagai berikut (Santoso, 2010) :
a. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying
dimensions) atau faktor, yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.
b. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak
berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan
suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariate
selanjutnya, misalnya analisis regresi berganda dan analisis diskriminan.
c. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set varibel yang penting dari suatu set
variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam analisis
multivariate selanjutnya.
2.3.2. Model Analisis Faktor dan Statistik yang Relevan
Secara matematis, analisis faktor agak mirip dengan regresi linier berganda,
yaitu setiap variabel dinyatakan sebagai suatu kombinasi linear dari faktor yang
mendasari (underlying factors) (Supranto, 2004).
Jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu varabel dengan variabel yang
lainnya tercakup dalam analisis disebut communality. Hubungan antara variabel yang
dinyatakan dalam suatu common factors yang sedikit jumlahnya ditambah dengan
faktor yang unik untuk setiap variabel. Faktor yang unik tidak berkorelasi dengan
Common factor dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel-variabel
yang terlihat/ terobservasi (the observed variabels) hasil penelitian lapangan atau
hubungan yang tidak berkorelasi dengan faktor unik. Faktor unik biasanya juga
dianggap saling tidak berkorelasi, akan tetapi mungkin atau tidak mungkin
berkorelasi satu sama lain. Masing-masing faktor dapat diekspresikan dengan
persamaan sebagai berikut :
F
1 = Wi1X1 + Wi2X2 + Wi3X3 + …..+ WikX
Dimana : F
k
1
Wi adalah : timbangan atau koefisien nilai faktor ke i
adalah : perkiraan faktor ke i (didasarkan pada nilai variabel X dengan
koefisiennya Wi)
k adalah : banyaknya variabel
Semakin besar bobot Wi suatu variabel terhadap faktor, maka pengaruh variabel
terhadap faktor tersebut semakin erat, yang berarti perubahan variabel memberikan
kontribusi yang semakin besar pada nilai faktor. Hal ini berlaku untuk keadaan
sebaliknya (Supranto, 2010).
Statistik kunci yang relevan dengan analisis dengan analisis faktor adalah : Bartlett’s
tes of sphericity yaitu suatu uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis
bahwa variabel tidak saling berkorelasi (uncorrelated) dalam populasi.
2.3.3. Model Matematik dalam Analisis Faktor
Di dalam model analisis faktor, komponen hipotesis diturunkan dari hubungan
antar variabel terobservasi harus linier dan nilai koefisien korelasi tak boleh nol,
artinya benar-benar harus ada hubungan. Komponen hipotesis yang diturunkan harus
memiliki sifat sebagai berikut :
a. Komponen hipotesis tersebut diberi nama faktor.
b. Variabel komponen hipotesis yang disebut faktor bisa dikelompokkan menjadi
dua yaitu common faktor dan unique faktor. Dua komponen ini bisa dibedakan
kalau dinyatakan dalam timbangan di dalam persamaan linier, yang
menurunkan variabel terobservasi dari variabel komponen hipotesis. Common
factor mempunyai lebih dari satu variabel dengan timbangan yang bukan nol
nilainya. Suatu faktor unik hanya mempunyai satu variabel dengan timbangan
yang tidak nol terikat dengan faktor. Jadi hanya satu variabel yang tergantung
pada satu faktor unik.
c. Common faktor selalu dianggap tidak berkorelasi dengan faktor unik.
Faktor unik biasanya juga dianggap saling tidak berkorelasi satu sama
lainnya. Umumnya dianggap bahwa jumlah common factor lebih sedikit dari
jumlah variabel asli, akan tetapi banyaknya faktor unik biasanya dianggap
sama dengan banyaknya variabel asli (Santoso, 2010).
2.3.4. Langkah-langkah Analisis Faktor
Menurut Supranto (2004), langkah-langkah yang diperlukan dalam analis
a. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah faktor analisis dan mengidentifikasi/mengenali
variabel-variabel asli yang akan dianalisis faktor.
Merumuskan masalah meliputi beberapa hal :
(1). Tujuan analisis faktor harus diidentifikasi.
(2). Variabel yang akan dipergunakn di dalam analisis faktor harus
dispesifikasi berdasarkan penelitian sebelumnya, teori dan pertimbangan
dari peneliti.
(3). Pengukuran variabel berdasarkan skala interval atau ratio.
(4). Banyaknya elemen sampel (n) harus cukup/ memadai sebagai petunjuk
kasar, kalau k sebagai banyaknya jenis variabel (atribut) maka n=4 atau 5
kali k. Artinya kalau variabel 5, banyaknya responden minimal 20 atau
25 orang sebagai sampel acak.
b. Membentuk Matriks Korelasi
Proses analisis di dasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel
pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar
analisis faktor bisa tepat dipergunakan, varaiabel-variabel yang akan dianalisis
harus berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar-variabel terlalu kecil,
hubungan lemah, analisis faktor tidak tepat.
Prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka asumsi-asumsi
(1) Besar korelasi atau korelasi independen variabel yang cukup kuat,
misalnya > 0,5 atau bila dilihat tingkat signifikansinya adalah < dari 0,5.
(2) Besar korelasi partial, korelasi antar dua variabel dengan menganggap
variabel dengan mengganggap variabel lain adalah tetap (konstan) harus
kecil. Pada SPSS deteksi korelasi parsial diberikan pada Anti Image
Correlation.
Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Barlett’s
Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak
berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis
nol harus ditolak (berarti ada korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel).
Kalau hipotesis nol terima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.
Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur
kecukupan sampling (sampling adequancy). Indeks ini membandingkan besarnya
koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai KMO
yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa diterangkan oleh
variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.
(1). Harga KMO sebesar 0,9 adalah sangat memuaskan
(2). Harga KMO sebesar 0,8 adalah memuaskan
(3). Harga KMO sebesar 0,7 adalah harga menengah
(4). Harga KMO sebesar 0,6 adalah cukup
(5). Harga KMO sebesar 0,5 adalah kurang memuaskan
Measure of Sampling Adequacy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh
matriks korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada
analisis faktor. Nilai MSA yang rendah merupakan pertimbangan untuk
membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya (Wibisono,
2003). Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis
lebih lanjut (Wibowo, 2006).
(1) MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel
lain.
(2) MSA > 0,5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih
lanjut.
(3) MSA < 0,5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih
lanjut.
c. Menentukan Metode Analisis Faktor
Segera setelah ditetapkan bahwa analisis faktor merupakan tekhnik
yang tepat untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, kemudian
ditentukan atau dipilih metode yang tepat untuk analisis faktor. Ada dua cara
metode yang bisa digunakan dalam analisis faktor, khususnya untuk
menghitung timbangan atau koefisien skor faktor, yaitu principal components
analysis dan common factor analysis.
Di dalam principal component analysis, jumlah varian dalam data
dipertimbangkan. principal component analysis direkomendasikan kalau hal
memperhitungkan faktor maksimum tersebut dinamakan principal
components.
Di dalam common factor analysis, faktor diestimasi didasarkan pada
common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi.
Metode ini dianggap tidak tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/
mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan common variance yang
menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring
(Supranto,2004).
Communalities ialah jumlah varian yang sumbangkan oleh suatu
variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut
proporsi atau bagian varian yang dijelaskan common factor , atau besarnya
sumbangan suatu faktor terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar
communalities sebuah variabel, berarti semakin kuat hubungannya dengan
faktor yang dibentuknya.
Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap
faktor. Eigenvalue akan menunjukkan kepentingan relatif masing-masing
faktor dalam menghitung varian yang dianalisis (Wibowo, 2006).
d. Rotasi Faktor-Faktor
Suatu hasil atau out put yang penting dari analisis faktor ialah apa
yang disebut matriks faktor pola (faktor pattern matrix). Matriks faktor berisi
dinyatakan dalam faktor. Koefisien ini disebut muatan faktor, mewakili
korelasi antar-variabel dan faktor.
Di dalam melakukan rotasi faktor, kita menginginkan agar setiap
faktor mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signif ikan
untuk beberapa variabel saja. Guna rotasi ini adalah untuk mengontrol/
memeriksa variabel yang belum layak dimasukkan menjadi layak dimasukkan
dalam buat penamaan. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap
variabel mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa
saja, kalau mungkin dengan satu faktor saja. Kalau terjadi beberapa faktor
mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk
membuat interpretasi tentang seluruh varian (dari seluruh variabel asli)
mengalami perubahan.
e. Interpretasi Faktor
Interpretasi faktor dipermudah dengan mengidentifikasi variabel yang
muatannya besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa
diinterpretasikan, dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi
padanya. Variabel yang tidak dengan sumbu salah satu faktor berarti
berkorelasi dengan kedua faktor tersebut.
f. Menghitung Skor dan Nilai Faktor
Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu
variabel oleh masing masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu
faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan. Sebenarnya analisis
faktor tidak harus dilanjutkan dengan menghitung skor atau nlai faktor, sebab
tanpa menghitungpun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi
variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel
aslinya.
g. Memilih Surrogate Variabels
Surrogate variabel adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih
untuk digunakan di dalam analisis selanjutnya.
h. Proses Analisis Faktor
Secara garis besar tahapan pada analisis faktor adalah sebagai berikut
Supranto (2004) dan Santoso (2010) :
(1). Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor.
(2). Menguji variabel yang ditentukan, menggunakan metode Barlett Test of
Sphericity Sera pengukuran MSA (Measure Sampling Adequacy).
(3). Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel
tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor.
(4). Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan
perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan
mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara
(5). Kemudian interpretasikan hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut
mewakili variabel yang mana saja), dan memberi nama atas faktor yang
terbentuk.
(6). Validasi atas hasil faktor untuk mengetahui apakah faktor yang terbentuk
telah valid. Validitas dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti :
a. Membagi sampel awal menjadi dua bagian kemudian membandingkan hasil
faktor sampel satu dengan sampel dua. Jika hasil tidak banyak perbedaan,
bisa dikatakan faktor yang terbentuk telah valid.
b. Dengan melakukan metode Comfirmatory Faktor Analysis (CFA) dengan
cara Structural Equation Modelling (SEM). Proses ini bisa dibantu dengan
Software khusus, seperti Lisrel atau Amos.
2.4Landasan Teori
Teori pada penelitian ini mengacu pada teori Social Learning Theory (Teori
Belajar Sosial) oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menekankan pada hubungan
segi tiga antara orang, perilaku dan lingkungan dalam suatu proses. Pada teori ini
terjadi 3 (tiga) proses utama yaitu pengalaman langsung, tidak langsung atau
pengalaman dari mengamati orang lain (model). Pembentukan perilaku dapat
dilakukan dengan adanya proses interaksi antara person dengan lingkungannya dan
adanya proses peniruan/proses imitasi perilaku model yang mampu memberikan
Menurut Bandura (1986) faktor perilaku, lingkungan dan pribadi/kognitif seperti
keyakinan, perencanaaan dan bepikir dapat berinteraksi secara timbal balik. Dengan
demikian, dalam pandangan Bandura lingkungan dapat mempengaruhi seseorang.
Seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungannya. Faktor pribadi/kognitif
dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan sebaliknya, faktor-faktor
pribadi/kognitif dapat meliputi keyakinan seseorang dapat menguasai suatu situasi
dan menghasilkan dampak yang diinginkan, kemampuan merencanakan dan
kemampuan berpikir. Berdasarkan teori tersebut, maka landasan teori dapat
digambarkan dalam gambar di bawah ini :
Gambar 2.1 Pengaruh Interaksi terhadap Perilaku Menurut Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Orang/Person Lingkungan
2.5Kerangka Konsep
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan arah dari alur penelitian ini
adalah seperti tergambar dalam kerangka konsep di bawah ini :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Efikasi Diri
4. Dorongan Biologis
5. Pandangan tentang Konsep Cinta 6. Nilai Agama
7. Lingkungan Teman Sebaya 8. Lingkungan Masyarakat 9. Pengawasan Orangtua 10.Media Informasi