• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Putri di Kecamatan Kualuh Leidong Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Putri di Kecamatan Kualuh Leidong Kabupaten Labuhan Batu Utara Tahun 2013"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Seks Pranikah 2.1.1 Pengertian

Menurut Notoatmodjo (2007b), perilaku seksual remaja terdiri dari kata-kata

yang memiliki pengertian yang sangat berbeda satu sama lainnya. Perilaku dapat

diartikan sebagai respon organisme atau respons seseorang terhadap stimulus

(rangsangan) yang ada. Sedangkan seksual adalah rangsangan atau dorongan yang

timbul berhubungan dengan seks. Jadi, perilaku seksual adalah tindakan yang

dilakukan oleh remaja berhubungan dengan dorongan seksual yang datang baik dari

dalam dirinya maupun dari luar dirinya.

Menurut Sarwono (2012), perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah

laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan dengan lawan jenisnya

maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Bentuk-bentuk

tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah

laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa orang lain,

orang dalam khayalan atau diri sendiri.

Selain itu menurut Damayanti (2012), perilaku seksual adalah segala tingkah

laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama

jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan

(2)

dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri

sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila

tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan

sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru

dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi,

marah dan agresi.

Sedangkan menurut Tim sahabat remaja Perkumpulan Keluarga Berencana

Indonesia (PKBI) DIY (2007), yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah

perilaku yang muncul karena adanya dorongan seks sehingga seseorang akan

melakukan hubungan seks sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah, baik yang

berhubungan seks yang penetratif (penis dimasukkan kedalam vagina, anus atau

mulut) maupun yang nonpenetratif (penis tidak dimasukkan kedalam vagina, anus

atau mulut). Oral dan anal seks termasuk kedalam hubungan seks yang penetratif.

Menurut Soetjiningsih (2007), perilaku seksual remaja adalah segala tingkah

laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang

dilakukan remaja sebelum mereka menikah. Bentuk-bentuk prilaku ini umumnya

bertahap dimulai dari tingkat yang kurang intim sampai dengan hubungan seksual.

Tahap-tahap prilaku seksual remaja dapat dirinci sebagai berikut : (1) berpegangan

tangan, (2) memeluk/dipeluk bahu, (3) memeluk/dipeluk pinggang, (4) ciuman bibir,

(5) ciuman sambil pelukan, (6) meraba/diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin)

dalam keadaan berpakaian, (7) mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan

(3)

meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, (10) mencium/dicium

daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian, (11) saling menempelkan alat

kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian, (12) hubungan seksual. Hubungan seksual

pranikah yang dilakukan remaja mempunyai efek yang beruntun (multiplying effect)

antara lain : rasa bersalah atau berdosa, menyesal, self-resfect rendah, emosi negatif

kehamilan yang tidak diinginkan, rentan terhadap penyakit menular seksual,

HIV/AIDS, dan aborsi.

Menurut L’Engle, dkk (2006) perilaku seksual terbagi atas dua aktivitas yaitu

aktivitas seksual ringan dan berat yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali

pergi berkencan, pergi ketempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan, french kiss,

sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti, meraba payudara, meraba vagina

atau penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual.

Kisney dalam Murti (2008) juga mengatakan bahwa kategori atau tingkatan

perilaku seksual dibagi menjadi 2 (dua), yaitu perilaku seksual ringan jika seseorang

pernah melakukan berpegangan tangan, berpelukan, sampai berciuman bibir, dan

perilaku seksual berat jika seseorang pernah melakukan perilaku seksual meraba dada

atau alat kelamin pasangan, saling menggesekkan alat kelamin dengan pasangan, oral

seks dan melakukan hubungan seksual (intercourse).

Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan

bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat

seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses

(4)

2.1.2 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah

Penelitian yang dilakukan oleh BkkbN (2012) dalam Ringkasan Riset Studi

Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di Empat Kota Besar di Indonesia,

menunjukkan bahwa perilaku seksual yang banyak muncul dengan pasangan adalah

sampai tahap berciuman baik kening, pipi maupun bibir.

DeLamenter dan MacCorquodale dalam Santrock (2007), mengemukakan ada

beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu:

a. Mencium/dicium kening

b. Mencium/dicium pipi

c. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada

d. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk

ciuman bibir antara dua orang.

e. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.

f. Meraba payudara

g. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan

antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin

tidak bersentuhan secara langsung).

h. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ

oral (mulut dan lidah) dengan alat kelmain pasangannya.

i. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara

laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina

(5)

Gunarsa dan Gunarsa (2000) mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk perilaku

seksual pada remaja dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. Masturbasi

Perilaku seksual ini seringkali dianggap sebagai kebiasaan buruk. Perilaku ini

dapat menimbulkan goncangan-goncangan pribadi dan emosional. Penyebab dari

perilaku seksual ini di antaranya adalah unsur ketidaksengajaan, pengaruh dari teman,

dan rangsangan atau stimulus yang timbul melalui gambar atau film.

b. Pacaran

Perilaku seksual ini dapat mengarah pada terjadinya hubungan seksual.

Remaja yang berpacaran pada awalnya menunjukkan perilaku seksual yang ringan

seperti bersentuhan, berpegangan tangan, sampai pada berciuman. Perilaku seksual

yang ringan tersebut secara lebih lanjut dapat menimbulkan dorongan yang lebih

besar untuk melakukan perilaku seks yang lebih berat seperti menyentuh organ-organ

seks pasangan sampai dengan melakukan hubungan seks.

c. Senggama

Perilaku seksual ini mengarah pada pemuasan dorongan seks. Perilaku ini

menunjukkan kegagalan remaja untuk mengendalikan diri atau meredam dorongan

seks dan mengalihkannya pada kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya dapat

dilakukan. Remaja yang melakukan perilaku seksual ini cenderung kurang stabil

kepribadiannya karena terlalu mengikuti dorongan yang hanya mendasarkan pada

(6)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seksual remaja

secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu masturbasi, pacaran, dan

senggama. Masturbasi sebagai bentuk perilaku seksual dilakukan dengan menyentuh,

meraba, dan mempermainkan alat kelaminnya sendiri. Pacaran sebagai bentuk

perilaku seksual ringan dilakukan secara berpasangan dengan saling menyentuh,

memegang dan mencium. Sementara senggama sebagai bentuk perilaku seksual juga

dilakukan secara berpasangan tetapi tergolong perilaku yang berat karena hanya

untuk mengejar kesenangan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dalam

penelitian ini, perilaku seksual pada remaja diukur dengan mengacu pada

bentuk-bentuk yang dikemukakan oleh Gunarsa dan Gunarsa (2000) yaitu masturbasi,

pacaran, dan senggama.

2.1.3 Akibat Hubungan Seksual Pranikah

Menurut Pinem (2009), hubungan seksual pranikah membawa pengaruh

buruk baik bagi remaja maupun keluarga dan masyarakat.

1. Akibat hubungan seksual pranikah bagi remaja sebagai berikut :

a. Gangguan kesehatan reproduksi akibat infeksi penyakit menular seksual

termasuk HIV/AIDS.

b. Resiko menderita penyakit menular seksual (PMS), misalnya gonorhoe,

sifilis, HIV/ AIDS. Herpes simplek, herpes genitalis dan lain sebagainya.

c. Remaja putri berisiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Bila ini

terjadi, maka beresiko terhadap tindakan aborsi yang tidak aman dan resiko

(7)

d. Trauma kejiwaan (depresi, rasa rendah diri, hilang masa depan dan rasa

berdosa karena berzina).

e. Remaja putri yang hamil berisiko kehilangan kesempatan untuk melanjutkan

pendidikan.dan kesempatan kerja.

f. Melahirkan bayi yang kurang atau tidak sehat.

2. Akibat hubungan seksual pranikah bagi keluarga yaitu menimbulkan aib keluarga,

beban ekonomi keluarga bertambah, pengeruh kejiwaan bagi anak yang dilahirkan

(ejekan masyarakat sekitarnya)

3. Akibat hubungan seksual pranikah bagi masyarakat yaitu meningkatkan remaja

putus sekolah, sehingga kualitas masyarakat menurun, meningkatnya angka

kematian ibu dan bayi, sehingga derajat kesehatan reproduksi menurun,

menambah beban ekonomi masyarakat sehingga derajat kesehatan masyarakat

menurun.

Menurut Sarwono (2012), akibat dari segala dampak yang muncul seperti

kehamilan di luar nikah, kawin muda, anak-anak lahir diluar nikah, aborsi, penyakit

menular seksual, depresi pada wanita yang terlanjur berhubungan seks dan lain

sebagainya. Sarwono (2012) yang mengutip pendapat Simkins (1984), mengatakan

sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak

ada dampak fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian

perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa cukup serius seperti perasaan bersalah,

depresi, marah, misalnya pada gadis-gadis yang terpaksa menggugurkan

(8)

Sarwono (2012) juga mengutip pendapat Sanderowitz dan Paxman (1985),

bahwa akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan

peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadis tiba-tiba hamil dan juga akan

terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah

terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi dan

berkembangnya penyakit menular seksual. Selain itu ada juga akibat-akibat ekonomis

karena diperlukan ongkos perawatan dan lain-lain.

2.1.4 Faktor yang Memengaruhi Perilaku Seks Pranikah

Menurut Imran (2009), menyatakan bahwa perilaku hubungan seksual pada

remaja dipengaruhi dua faktor, yaitu: faktor internal dan eksternal. Faktor internal

terkait dengan aspek biologis, yakni perubahan yang terjadi pada masa pubertas dan

aktifnya hormon yang mendorong melakukan hubungan seksual, sedangkan faktor

eksternal berhubungan dengan masalah komunikasi di seputar seksualitas, misalnya

berkaitan dengan pengaruh teman sebaya yang tidak jarang mendorong seseorang

untuk melakukan hubungan seksual.

Menurut Muss dalam Kusmiran (2011), faktor-faktor yang memengaruhi

perilaku seksual remaja antara lain :

1. Perubahan biologis, perubahan yang terjadi pada masa pubertas dan pengaktifan

hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual.

2. Pengaruh orangtua, kurangnya komunikasi secara terbuka antara orangtua dan

remaja seputar masalah seksual memperkuat munculnya penyimpangan perilaku

(9)

3. Pengaruh teman sebaya, pengaruh teman sebaya sangat kuat sehingga munculnya

penyimpangan perilaku seksual dikaitkan dengan norma kelompok sebaya.

4. Prespektif akademik, remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi yang

rendah cenderung lebih sering memunculkan aktivitas seksual dibandingkan

remaja dengan prestasi yang baik di sekolah.

5. Prespektif sosial kognitif, diasosiasiakan dengan pengambilan keputusan yang

menyediakan pemahaman perilaku seksual kalangan remaja.

Menurut Koentjoro (2007) beberapa faktor penyebab perilaku seksual remaja

yaitu faktor internal, eksternal dan campuran keduanya. Faktor internal atau yang

berasal dari dalam individu adalah faktor asupan gizi yang makin membaik. Gizi

yang semakin baik mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan memacu percepatan

kemasakan hormon. Faktor eksternal yang diduga memengaruhi perilaku seksual

adalah dampak globalisasi dan budaya materialisme. Kemajuan telekomunikasi

(dalam hal ini media) akan berpengaruh pada pola hidup materialisme.

Santrock (2007) juga mengutip pendapat Bandura menyatakan bahwa

perilaku, lingkungan dan personal/kognisi merupakan faktor yang penting dalam

perkembangan. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suryoputro (2007)

bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah faktor

internal meliputi pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap

layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku, kerentanan yang dirasakan

terhadap resiko, kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial,

(10)

yang meliputi kontak dengan sumber-sumber informasi, keluarga, sosial-budaya, nilai

dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu.

Menurut Notoatmodjo (2007b), secara garis besar, ada dua tekanan pokok

yang berhubungan dengan kehidupan remaja, yaitu internal pressure dan external

pressure. Dalam hal ini, internal pressure yaitu tekanan dari dalam diri remaja berupa

tekanan psikologis dan emosional, sedangkan external pressure yaitu tekanan dari

luar diri remaja seperti teman sebaya, orang tua, guru dan masyarakat. Menurut

Widyarini (2007), yang mengutip pendapat Lewin (1951), dalam sejarah psikologi,

beredar luas konsep dasar mengenai terbentuknya perilaku, bahwa perilaku

merupakan fungsi dari faktor personal dan faktor lingkungan.

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu bentuk dari perkembangan kognitif.

Santrock (2007) yang mengutip pendapat Piaget menyebutkan perkembangan

kognitif remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi

semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang

bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam

pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana pandangan

orang lain terhadap dirinya.

Notoadmodjo (2007b) bahwa pengetahuan yang diperoleh subjek selanjutnya

akan menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang telah

diketahuinya. Pengetahuan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pengalaman,

(11)

pengharapan yang tidak realistis, harga diri yang rendah, takut tidak berhasil atau

pesimis, menunjukan bahwa remaja memiliki kepribadian yang belum matang dan

emosi yang labil, sehingga mudah terpengaruh melakukan hal-hal negatif, seperti

melakukan hubungan seks pranikah.

Pengetahuan seksualitas yang baik dapat menjadikan remaja memiliki tingkah

laku seksual yang sehat dan bertanggung jawab. Pemahaman yang keliru mengenai

seksualitas pada remaja menjadikan mereka mencoba untuk bereksperimen mengenai

masalah seks tanpa menyadari bahaya yang timbul dari perbuatannya, dan ketika

permasalahan yang ditimbulkan oleh perilaku seksnya mulai bermunculan, remaja

takut untuk mengutarakan permasalahan tersebut kepada orang tua.

2. Sikap

Sikap memiliki arti penting dalam kehidupan manusia, karena sikap yang

terbentuk dalam diri manusia dapat menentukan perilaku dalam menghadapi suatu

objek sikap atau masalah yang muncul. Thurstone (dalam Nuranti, 2009) menyatakan

bahwa sikap adalah tingkat kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang

berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi di sini meliputi simbol,

kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap

positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang

favorable. Sebaliknya, orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek

psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologi.

Menurut Krech & Crutchfield (dalam Nuranti, 2009), sikap merupakan keadaan

(12)

kognisi mengenai beberapa aspek dari kehidupan individu. Definisi ini menekankan

pada keadaan diri manusia sebagai suatu organisme yang dapat berpikir dan

terstruktur secara aktif. Sikap berkaitan erat dengan tindakan atau menjadi dasar dari

terbentuknya suatu perilaku. Berdasarkan beberapa definisi sikap, maka dalam

penelitian ini sikap didefinisikan sebagai kecenderungan penilaian remaja terhadap

beberapa perilaku hubungan seksual pranikah. Perilaku hubungan seksual pranikah

tercermin dalam penilaian remaja yang mendukung (favorable) atau tidak mendukung

(unfavorable) terhadap objek sikap. Penilaian tersebut merupakan reaksi kognitif,

afektif dan konatif terhadap berbagai bentuk perilaku hubungan seksual pranikah.

Ciri-ciri sikap

Adapun ciri-ciri sikap menurut Ahmadi (2002) antara lain adalah:

1) Sikap dapat dipelajari (learnability)

Sikap merupakan hasil belajar, bukan merupakan faktor bawaan. Sikap dapat

dipelajari secara tidak sengaja dan tanpa kesadaran atau dengan kesadaran.

2) Sikap memiliki kestabilan (stability)

Sikap yang berawal dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil,

melalui pengalaman.

3) Personal-societal significance

Sikap dalam perwujudannya melibatkan hubungan antara seseorang dan orang

lain dan juga antara orang dan barang atau situasi tertentu. Jika seseorang merasa

bahwa orang atau objek tertentu menjadi berarti, maka dia akan merasa bebas dan

(13)

4)Memiliki unsur kognisi dan afeksi

Komponen kognisi dari sikap adalah berisi informasi yang faktual, yaitu adanya

perasaan senang atau tidak senang terhadap objek tertentu.

5) Approach-avoidance directionality

Seseorang yang memiliki sikap favorable terhadap suatu objek, maka dia akan

mendekati objek tersebut, dan sebaliknya.

Berdasarkan penjelasan mengenai ciri-ciri sikap di atas, dapat disimpulkan

bahwa sikap merupakan kondisi internal pada seseorang yang terbentuk dari

pengalaman, sehingga sikap dapat berubah-ubah dan dapat dipelajari, terutama

apabila ada kondisi tertentu yang mempermudah berubahnya sikap seseorang pada

objek tertentu. Sikap pada seseorang tidak semata-mata berdiri sendiri, melainkan

selalu berhubungan dengan suatu objek. Akibatnya, mampu menimbulkan perasaan

tertentu pada objek, yaitu perasaan senang atau tidak senang.

3. Efikasi Diri

Ali dan Asrori (2011), yang mengutip pendapat Bandura (1986), menyatakan

bahwa efikasi diri merupakan masalah kemampuan yang dirasakan individu untuk

mengatasi situasi khusus sehubungan dengan penilaian atas kemampuan untuk

melakukan suatu tindakan yang ada hubungannya dengan tugas khusus atau situasi

tertentu. Efikasi diri ini merupakan salah satu faktor personal yang menjadi perantara

atau mediator dalam interaksi antara faktor perilaku dan faktor lingkungan. Konsep

dasar dari teori efikasi diri ini adalah pada masalah adanya keyakinan bahwa setiap

(14)

Musthofa dan Winarti (2010) menyatakan bahwa efikasi diri juga dapat

dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Efikasi tinggi atau rendah dapat

dikombinasikan dengan Iingkungan yang responsif atau tidak responsif, sehingga

akan menghasilkan kemungkinan berperilaku. Dalam hubungan antara efikasi diri

terhadap perilaku seks terdapat hubungan yang signifikan karena efikasi merupakan

upaya penilaian diri, apakah seseorang mampu melakukan tindakan yang baik atau

buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa sesuai yang dipersyaratkan.

Menurut Muadz dan Syaefuddin (2010), jika remaja mampu melakukan

penilaian tentang benar dan salah, baik dan buruk suatu perilaku, maka mereka akan

memahami mana perilaku yang benar dan mana perilaku yang salah, sehingga remaja

putri dapat mengambil keputusan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang

timbul dari hati nurani dan bukan paksaan dari luar yang disertai pula oleh rasa

tanggungjawab.

Menurut Bandura (1986) dalam Suryoputro,dkk (2007), orang yang memiliki

rasa percaya diri yang tinggi dalam menjalankan tugasnya, cenderung akan dapat

menyelesaikan tugasnya dengan baik. Sebaliknya orang yang mempunyai rasa

percaya diri yang rendah cenderung tidak dapat mewujudkan perilaku tertentu seperti

yang diharapkan. Dalam hal ini, rasa percaya diri berfungsi sebagai pusat mediator

melalui mana faktor-faktor kognitif lainnya seperti; pengetahuan, harapan dan

perbandingan diri dengan kawan sebaya, akan terintegrasi untuk mempengaruhi

perilaku seksual. Artinya, mereka hanya akan melakukan hubungan seksual yang

(15)

percaya diri pada remaja menjadi faktor yang sangat penting didalam menentukan

bagaimana mereka berperilaku seksual.

4. Dorongan Biologis

Menurut Geldard dan Geldard (2011), peningkatan besar dan sangat berarti

dalam produksi hormon seksual terjadi selama pubertas. Hal ini berakibat memicu

meningkatkan hasrat seksual, nafsu dan dorongan seksual pada laki-laki maupun

perempuan. Bersamaan dengan peningkatan dorongan seksual, mereka berhadapan

dengan isu-isu seperti seksualitas personal dan identitas seksual. Isu – isu ini

memengaruhi keputusan mereka dalam bergaul dengan teman-temannya. Remaja

akan mulai terlibat dalam eksperimen seksual dengan teman-temannya. Dorongan

seksual ini pada beberapa remaja sering disalurkan melalui fantasi dan masturbasi.

Menurut Sarwono (2011), faktor-faktor yang dianggap berperan dalam

munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja yaitu adanya perubahan hormonal

yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Menurut Manuaba (2010), adanya

dorongan biiologis untuk melakukan hubungan seksual merupakan insting alamiah

dari berfungsinya organ system reproduksi dan kerja hormon. Dorongan ini dapat

meningkat karena adanya pengaruh dari luar misalnya film, majalah, dan buku yang

menampilkan gambar-gambar yang dapat membangkitkan erotisme.

5. Pandangan tentang Konsep Cinta

Menurut Rosa (2012) yang mengutip pendapat Lesnapurnawan (2009), remaja

menyalahartikan atau cenderung kebingungan dalam mengartikan konsep cinta,

(16)

seks adalah cara untuk mendapatkan pasangan, sedangkan pada remaja akhir

cenderung melakukan tingkah laku seksual jika telah ada ikatan dan saling pengertian

dengan pasangan. Seks sering dijadikan sarana untuk berkomunikasi dengan

pasangannya. Menurut Dianawati (2003), adanya tekanan dari pacarnya dan karena

kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, seseorang rela melakukan apa saja terhadap

pasangannya tanpa memikirkan risiko yang nanti dihadapinya. Dalam hal ini yang

berperan bukan hanya saja napsu seksual mereka, melainkan juga karena sikap

memberontak terhadap orangtuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu bantuk

hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai layaknya manusia dewasa

6. Nilai Agama

Agama merupakan hal yang penting dalam kehidupan remaja. Menurut

Santrock (2007), salah satu pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah

berkaitan dengan aktivitas seksual. Meskipun pengajaran agama yang bervariasi dan

berubah-ubah itu dapat mempersulit dalam menyimpulkan doktrin-doktrin religius,

namun pada umumnya ajaran agama tidak menganjurkan hubungan seks pranikah.

Para remaja yang sering mengunjungi layanan religius cenderung lebih banyak

mendengar pesan-pesan agar menjauhkan diri dari seks. Keterlibatan remaja dalam

organisai religius juga dapat meningkatkan peluang bahwa mereka akan berteman

dengan remaja lain yang memiliki sikap yang tidak menyetujui seks pranikah.

Menurut Santrock (2007) yang mengutip pendapat Gallup dan Benzilla

(1992), bahwa dalam sebuah survei, 95% dari para remaja yang berusia antara 13

(17)

universal. Remaja tersebut menyatakan bahwa mereka berdoa dan mendatangi

layanan keagamaan seminggu terakhir. Mereka juga menyatakan bahwa mempelajari

iman religius merupakan hal yang penting.

Santrock (2007) juga mengutip pendapat Sax dkk (2004), pada sebuah studi

nasional yang melibatkan para mahasiswa tingkat pertama Amerika, diketahui bahwa

79% dari para mahasiswa menyatakan bahwa mereka mempercayai adanya Tuhan

dan 69% diantaranya menyatakan bahwa mereka berdoa. Meskipun demikian,

terdapat 69% menyatakan bahwa mereka masih mencari tujuan atau makna dan

kurang dari 50% menyatakan bahwa mereka tidak merasa aman terhadap pandangan

spiritual dan agama serta hidupnya.

Farmer (2008) yang mengutip pendapat Barkan (2006) seperti agama,

partisipasi keagamaan telah banyak digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara

agama dan perilaku seksual. Sering kehadiran layanan agama terkait dengan pantang

seksual yang lebih besar, kurang aktivitas seksual, kurang sering hubungan seksual,

pasangan hidup lebih sedikit seksual, dan tertunda usia intercourse

7. Lingkungan Teman Sebaya

pertama.

Kelompok teman sebaya memegang peranan penting dalam kehidupan

remaja. Remaja sangat ingin diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok

teman sebaya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka

cenderung bertingkah laku seperti tingkah laku teman sebayanya.

Menurut survei yang dilakukan oleh The National Campaign (2012), remaja

(18)

seks, lebih daripada teman sebaya, budaya, guru dan lain-lain. Bahkan, remaja

melaporkan bahwa mereka akan lebih terbuka berbicara tentang seks dengan orang

tua mereka dan menghindari kehamilan remaja, diperoleh hasil 4 dari 10 remaja

(38%) mengatakan orang tua paling memengaruhi keputusan mereka tentang seks,

dibandingkan dengan 22% yang dipengaruhi oleh teman-teman.

Menurut Suwarni (2009), bahwa pengaruh perilaku seksual teman sebaya

secara langsung paling besar memengaruhi perilaku seksual remaja. Pengaruh

perilaku seksual teman sebaya secara langsung sebesar 20,2%, sedangkan pengaruh

perilaku seksual teman sebaya secara tidak langsung melalui niat berperilaku seksual

sebesar 14,24%.

Menurut Notoatmodjo (2007), perubahan sosial yang dialami remaja akan

membawa remaja menjadi lebih dekat dengan teman sebayanya daripada orang

tuanya sendiri. Kurangnya pengetahuan yang didapat dari orang tua dan sekolah

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

lingkungan bermainnya yang bisa saja pengetahuan tersebut salah, Sehingga

munculah informasi di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti

kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja, salah satunya adalah

infomasi mengenai hubungan seks sekali tidak membuat seseorang hamil.

8. Pengawasan Orangtua

Menurut Santrock, (2007) peran orangtua sangat besar pengaruhnya terhadap

remaja. Remaja dalam keluarga yang bercerai lebih menunjukkan penyesuaian

(19)

Orang tua yang sibuk, kualitas pengasuhan yang buruk, dan perceraian orang tua,

remaja dapat mengalami depresi, kebingungan, dan ketidakmantapan emosi yang

menghambat mereka untuk tanggap terhadap kebutuhan remaja sehingga remaja

dapat dengan mudah terjerumus pada perilaku yang menyimpang seperti seks

pranikah

Menurut Sarwono (2011), perilaku yang tidak sesuai dengan tugas

perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang

tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya,

maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan

pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya

pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat

pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri

yang bersatu dalam perkawinan. Orang tua mentabukan pembicaraan mengenai seks

pada anaknya, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak bahkan cenderung

membuat jarak dengan anak mengenai masalah ini.

Taufik dan Anganthi (2005), dalam penelitiannya memaparkan bahwa

aktivitas seksual subjek sebagian besar dilakukan di rumah sendiri baik pada subjek

yang melakukan hubungan seksual maupun subjek yang tidak melakukan hubungan

seksual. Ini menunjukkan bahwa longgarnya peraturan ataupun perhatian yang

diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Rumah yang seharusnya menjadi pusat

pendidikan yang di dalamnya sarat dengan aturan dan kedisiplinan justru dianggap

(20)

dikemukakan oleh subjek perempuan yang telah melakukan hubungan seksual, bahwa

alasan pemilihan rumah sendiri sebagai tempat melakukan aktivitas seksual, sebagian

besar karena faktor keamanan.

9. Lingkungan Masyarakat

Iklim dalam kehidupan bermasyarakat yang kondusif juga sangat

memengaruhi perilaku remaja. Remaja tengah menjalani proses mencari jati diri

sehingga faktor keteladanan dan kekonsistenan system nilai dan norma dalam

masyarkat juga menjadi suatu hal yang sangat penting. Ali dan Asrori (2011),

menyatakan bahwa masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan

menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh karena

adanya kontradiksi dalam masyarakat. Dalam lingkungan ini remaja diatur

berdasarkan norma – norma yang ada.

Salah satu masalah yang dialami remaja dalam proses ini adalah bahwa tidak

jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Di satu sisi remaja sudah

dianggap dewasa, namun di sisi lain remaja masih dianggap anak kecil sehingga

sering menimbulkan kejengkelan dan perlawanan dari remaja. Dalam hal perilaku

seksual, masyarakat di sekitar remaja adalah kelompok yang penting untuk

mengarahkan remaja ke arah perilaku yang lebih baik. Banyaknya kenakalan remaja

terutama pada perilaku seksual di lingkungannya membuat remaja juga akan ikut

(21)

10. Media Informasi

Azwar (2007) menyebutkan bahwa sikap seseorang salah satunya dipengaruhi

oleh keberadaan media massa. Pesan- pesan yang disampaikan oleh media masa

seringkali berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang, sehingga informasi

baru tersebut memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap

suatu hal, termasuk sikap tentang seksualitas.

Pada era kehidupan dengan sistem komunikasi global, dengan kemudahan

mengakses informasi baik melalui media cetak, TV, internet, komik, media ponsel,

dan DVD bajakan yang berkeliaran di masyarakat, tentunya memberi manfaat yang

besar bagi kehidupan kita terutama remaja, namun saat ini remaja justru sering sekali

salah mempergunakan kecanggihan teknologi tersebut. Mereka menyelewengkan

fungsi teknologi yang sebenarnya. Bahkan tayangan televisi, media-media berbau

porno (seperti VCD dan DVD porno yang begitu mudah diperoleh serta gampang

diakses di internet).

Menurut Yulianto (2010), dalam penelitiannya yang menggambarkan sikap

siswa yang dikaitkan dengan sumber informasi tentang seksualitas didapatkan data

sebanyak 100 subjek (46,9%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari

televisi, 82 subjek (38,5%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari internet,

16 subjek (7,5%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari koran, 13 subjek

(6,1%) mendapatkan informasi tentang seksualitas dari majalah serta 2 subjek (0,9%)

mendapatkan informasi tentang seksualitas dari film seks. Berdasarkan data diatas,

(22)

sumber yang paling dominan diantara sumber-sumber yang lain. Hal tersebut

disebabkan karena saat ini media televisi dan internet menjadi media yang relatif

mudah dan murah bagi masyarakat didalam mendapatkan informasi terbaru maupun

mendapatkan hiburan.

2.2 Remaja

2.2.1 Pengertian Remaja

Remaja merupakan periode transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa, yang mencakup aspek biologi, kognitif, dan perubahan sosio-emosional

(Santrock, 2007). Menurut Sarwono (2011) remaja merupakan masa peralihan

seorang anak terlihat adanya perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai

dengan perubahan struktur dan fungsi fisiologi. Secara anatomis alat-alat kelamin

khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang

sempurna. Secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna

pula, yang ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki.

2.2.2 Tahapan Masa Remaja Berdasarkan Usia Remaja

Menurut Pinem (2009), masa remaja memiliki 3 (tiga) tahapan proses

perkembangan sesuai dengan pembagian usia remaja yaitu :

1. Masa Remaja Awal 10 - 12 Tahun

Pada masa ini remaja memiliki ciri khas yaitu ingin bebas, lebih dekat dengan

teman sebaya, mulai berpikir logis, lebih banyak memperhatikan keadaan

(23)

2. Masa Remaja Tengah 13 - 15 Tahun

Pada masa ini remaja mulai mencari identitas dirinya, terjadi peningkatan

interaksi dengan kelompok, timbulnya keinginan untuk berkencan, berkhayal

tentang aktivitas seksual, mempunyai rasa cinta yang mendalam.

3. Masa Remaja Akhir 16 – 19 Tahun

Pada masa ini remaja mulai mampu berpikir abstrak, lebih selektif dalam

mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan

rasa cinta, pengungkapan kebebasan diri.

Menurut Sarwono (2011), yang dikatakan usia remaja adalah batasan usia

antara 11 - 24 dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut :

1. Usia 11 tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder

mulai tampak.

2. Di masyarakat Indonesia usia 11 tahun sudah dianggap akil balig baik

menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan

remaja sebagai anak-anak.

3. Pada usia 11 tahun mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa

yaitu tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan

psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral.

4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal yaitu untuk memberi peluang

bagi remaja yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada

orang tua belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa secara

(24)

Menurut Pinem (2009) masa remaja merupakan masa yang khusus dan

penting, karena merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia. Masa

remaja disebut juga masa transisi yang unik ditandai dengan berbagai perubahan

fisik, emosi dan psikis. Masa remaja disebut juga masa pubertas. Pada masa pubertas

terjadi perubahan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam kesehatan

reproduksi karena pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik yang sangat cepat untuk

mencapai kematangan termasuk organ-organ reproduksi. Perubahan yang terjadi yaitu

1. Munculnya tanda-tanda seks primer, yaitu terjadinya haid yang pertama

(menarche) pada remaja perempuan, dan mimpi basah pada remaja laki-laki.

2. Munculnya tanda-tanda seks sekunder, yaitu pada remaja laki-laki tumbuhnya

jakun, penis, dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi,

suara bertambah besar, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuh kumis di atas

bibir, cambang dan rambut di sekitar kemaluan dan ketiak. Pada remaja

perempuan pinggul melebar, pertumbuhan rahim dan vagina, tumbuh rambut

di sekitar kemaluan dan ketiak, payudara membesar.

Ciri-ciri perubahan yang terjadi pada masa remaja ini sangat penting untuk

diketahui agar penanganan masalah dapat dilakukan dengan baik. Dari segi kesehatan

reproduksi, perilaku ingin mencoba-coba hal-hal baru di dorong oleh rangsangan

seksual yang jika tidak dibimbing dengan baik dapat membawa remaja khususnya

remaja perempuan terjerumus dalam hubungan seks pranikah dengan segala

(25)

2.2.3 Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode

sebelum dan sesudahnya. Hurlock (2003) mengemukakan berbagai ciri-ciri masa

remaja adalah sebagai berikut :

1. Masa Remaja sebagai Periode yang Penting

Yaitu periode dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar

kepentingannya berbeda-beda. Ada beberapa periode yang lebih penting dari

pada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap

sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-akibat jangka

panjangnya. Pada periode remaja baik akibat langsung maupun akibat jangka

panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada

lagi akibat psikologis. Pada periode remaja kedua-duanya sama-sama penting.

2. Masa Remaja sebagai Periode Peralihan

Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang

telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu

tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Artinya apa yang telah terjadi

sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan

yang akan datang. Dalam setiap periode peralihan status individu tidaklah

jelas dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa ini

remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan seorang dewasa. Dilain pihak

(26)

waktu kepadanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan

pola perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya.

3. Masa Remaja sebagai Periode Masa Perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja

sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika

perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku, dan sikap juga

berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan

perilaku juga menurun. Ada 4 (empat) perubahan yang sama yang hampir

bersifat universal.

Pertama, meningginya emosi, yang intensitasnya bergantung pada tingkat

perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi biasanya

terjadi lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya emosi lebih

menonjol pada masa awal periode akhir masa remaja.

Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok

sosial untuk dipesankan, menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda

masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan

dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa

ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut

kepuasannya.

Ketiga, dengan berubahnya minat dari pola perilaku, maka nilai-nilai juga

berubah. Nilai yang ada pada masa anak-anak dianggap penting, pada masa

(27)

Keempat, sebagian remaja bersifat ambivalen terhadap setiap perubahan.

Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi remaja sering takut

bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan untuk dapat

mengatasi tanggung jawab tersebut.

4. Masa Remaja sebagai Masa Bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya sensiri-sendiri. Masalah masa

remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki

maupun anak perempuan. Ada 2 (dua) alasan bagi remaja pada masalah

kesulitan, pertama sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian

diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak

berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para remaja merasa

dirinya mandiri, sehingga mereka ingin mengatai masalahnya sendiri,

menolak bantuan orang tua dan guru. Karena ketidakmampuan remaja untuk

mengatasi sendiri masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak

remaja akhirnya menemukan penyelesaian masalahnya tidak selalu sesuai

dengan harapan mereka.

5. Masa Remaja sebagai Masa Mencari Identitas

Sepanjang usia pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan

standar kelompok adalah jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar

daripada individualitas. Pada tahun-tahun awal masa remaja penyesuaian diri

dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan.

(28)

dirinya bersama dengan teman-teman dalam segala hal seperti sebelumnya.

Remaja ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu sementara pada saat

yang sama remaja ingin mempertahankan dirinya terhadap kelompoknya.

Erikson menjelaskan masalah remaja yang mengalami dilema yang

menyebabkan krisis identitas atau masalah identitas ego pada remaja. Identitas

diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa

peranannya dalam masyarakat. Cara pencarian identitas diri ini mempengaruhi

perilaku remaja. Dalam usaha mencari perasaan kesinambungan dan

kesamaan yang baru para remaja harus memperjuangkan kembali perjuangan

tahun-tahun yang lalu, meskipun untuk melakukannya mereka harus

menunjuk secara artifisial orang-orang yang baik hati untuk berperan sebagai

musuh dan mereka selalu siap untuk menempatkan idola dan ideal mereka

sebagai pembimbing dalam mencapai identitas akhir. Identitas yang sekarang

terjadi dalam bentuk identitas ego adalah lebih dari sekedar penjumlahan

identitas masa kanak-kanak.

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai

individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk mobil,

pakaian, dan pemiliki barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara

ini remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai

individu, sementara pada saat yang sama remaja mempertahankan identitas

(29)

6. Masa Remaja sebagai Usia yang Menimbulkan Ketakutan

Banyak anggapan populer tentang remaja yang mempuyai arti yang

bernilai, dan banyak diantaranya yang bersifat negatif. Anggapan stereotip

budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat

dipercaya dan cendrung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan

orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja

muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku

remaja yang tidak normal.

Stereotip populer mempengaruhi konsep diri dan siakp remaja

terhadap dirinya sendiri. Anthony menjelaskan stereotip juga berfungsi

sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang

menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggap sebagai

gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai dengan

gambaran ini. Menerima stereotip ini akan menimbulkan adanya keyakinan

bahwa orang dewasa mempunyai keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai

pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa

menjadi sulit. Hal ini menimbulkan banyak pertentangan dengan orang tua.

Orang tua dengan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta

bantuan orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya.

7. Masa Remaja sebagai Masa yang tidak Realistik

Remaja cendrung memandang kehidupan melalui kaca mata sendiri.

(30)

dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Remaja belum

mampu melihat secara apa adanya dan bila ada ketidaksesuaian antara apa

yang diharapkan dengan kenyataannya akan menyebabkan meningginya

emosi yang merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik

cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa

apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai

tujuan yang ditetapkannya sendiri.

Dengan bertambahnya pengalaman pribadi dan pengalaman sosial,

meningkatnya kemampuan untuk berpikir rasional, remaja lebih besar

memandang diri sendiri, keluarga, teman-teman dan kehidupan pada

umumnya secara realistik. Dengan demikian remaja tidak terlalu banyak

mengalami kekecewaan ketika masih lebih muda. Hal ini merupakan salah

satu kondisi yang menimbulkan kebahagiaan yang lebih besar pada remaja

yang lebih besar.

8. Masa Remaja sebagai Ambang Masa Dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi

semakin gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk

memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan

bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu

remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status

(31)

dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini

akan memberikan citra yang mereka inginkan.

2.3 Analisis Faktor 2.3.1 Pengertian

Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas

prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas dari variabel

yang banyak menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah

menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian besar

informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable) (Supranto, 2004).

Selain itu analisis faktor dapat juga berfungsi sebagai alat uji validasi internal dari

alat ukur yang dipergunakan (Riduwan, 2005).

Analisis faktor merupakan salah satu tehnik analisis statistik multivariat,

dengan titik berat yang diminati adalah hubungan secara seksama bersama pada

semua variabel tanpa membedakan variabel tergantung dan variabel bebas atau

disebut sebagai metode antar ketergantungan (interdependence methode) tersebut.

Proses analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar variabel yang saling

interdependen tersebut, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan varibel

yang lebih sedikit jumlah varibel awal sehingga memudahkan analisis statistik

selanjutnya (Wibowo, 2006).

Tujuan yang penting dari analisis faktor adalah menyederhanakan hubungan

(32)

menyatukan faktor atau dimensi yang saling berhubungan pada suatu struktur data

baru yang mempunyai beberapa faktor yang lebih kecil (Wibisono, 2003).

Analisis faktor yang dipergunakan di dalam situasi sebagai berikut (Santoso, 2010) :

a. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (underlying

dimensions) atau faktor, yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.

b. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak

berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan

suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariate

selanjutnya, misalnya analisis regresi berganda dan analisis diskriminan.

c. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set varibel yang penting dari suatu set

variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam analisis

multivariate selanjutnya.

2.3.2. Model Analisis Faktor dan Statistik yang Relevan

Secara matematis, analisis faktor agak mirip dengan regresi linier berganda,

yaitu setiap variabel dinyatakan sebagai suatu kombinasi linear dari faktor yang

mendasari (underlying factors) (Supranto, 2004).

Jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu varabel dengan variabel yang

lainnya tercakup dalam analisis disebut communality. Hubungan antara variabel yang

dinyatakan dalam suatu common factors yang sedikit jumlahnya ditambah dengan

faktor yang unik untuk setiap variabel. Faktor yang unik tidak berkorelasi dengan

(33)

Common factor dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel-variabel

yang terlihat/ terobservasi (the observed variabels) hasil penelitian lapangan atau

hubungan yang tidak berkorelasi dengan faktor unik. Faktor unik biasanya juga

dianggap saling tidak berkorelasi, akan tetapi mungkin atau tidak mungkin

berkorelasi satu sama lain. Masing-masing faktor dapat diekspresikan dengan

persamaan sebagai berikut :

F

1 = Wi1X1 + Wi2X2 + Wi3X3 + …..+ WikX

Dimana : F

k

1

Wi adalah : timbangan atau koefisien nilai faktor ke i

adalah : perkiraan faktor ke i (didasarkan pada nilai variabel X dengan

koefisiennya Wi)

k adalah : banyaknya variabel

Semakin besar bobot Wi suatu variabel terhadap faktor, maka pengaruh variabel

terhadap faktor tersebut semakin erat, yang berarti perubahan variabel memberikan

kontribusi yang semakin besar pada nilai faktor. Hal ini berlaku untuk keadaan

sebaliknya (Supranto, 2010).

Statistik kunci yang relevan dengan analisis dengan analisis faktor adalah : Bartlett’s

tes of sphericity yaitu suatu uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis

bahwa variabel tidak saling berkorelasi (uncorrelated) dalam populasi.

2.3.3. Model Matematik dalam Analisis Faktor

Di dalam model analisis faktor, komponen hipotesis diturunkan dari hubungan

(34)

antar variabel terobservasi harus linier dan nilai koefisien korelasi tak boleh nol,

artinya benar-benar harus ada hubungan. Komponen hipotesis yang diturunkan harus

memiliki sifat sebagai berikut :

a. Komponen hipotesis tersebut diberi nama faktor.

b. Variabel komponen hipotesis yang disebut faktor bisa dikelompokkan menjadi

dua yaitu common faktor dan unique faktor. Dua komponen ini bisa dibedakan

kalau dinyatakan dalam timbangan di dalam persamaan linier, yang

menurunkan variabel terobservasi dari variabel komponen hipotesis. Common

factor mempunyai lebih dari satu variabel dengan timbangan yang bukan nol

nilainya. Suatu faktor unik hanya mempunyai satu variabel dengan timbangan

yang tidak nol terikat dengan faktor. Jadi hanya satu variabel yang tergantung

pada satu faktor unik.

c. Common faktor selalu dianggap tidak berkorelasi dengan faktor unik.

Faktor unik biasanya juga dianggap saling tidak berkorelasi satu sama

lainnya. Umumnya dianggap bahwa jumlah common factor lebih sedikit dari

jumlah variabel asli, akan tetapi banyaknya faktor unik biasanya dianggap

sama dengan banyaknya variabel asli (Santoso, 2010).

2.3.4. Langkah-langkah Analisis Faktor

Menurut Supranto (2004), langkah-langkah yang diperlukan dalam analis

(35)

a. Merumuskan Masalah

Merumuskan masalah faktor analisis dan mengidentifikasi/mengenali

variabel-variabel asli yang akan dianalisis faktor.

Merumuskan masalah meliputi beberapa hal :

(1). Tujuan analisis faktor harus diidentifikasi.

(2). Variabel yang akan dipergunakn di dalam analisis faktor harus

dispesifikasi berdasarkan penelitian sebelumnya, teori dan pertimbangan

dari peneliti.

(3). Pengukuran variabel berdasarkan skala interval atau ratio.

(4). Banyaknya elemen sampel (n) harus cukup/ memadai sebagai petunjuk

kasar, kalau k sebagai banyaknya jenis variabel (atribut) maka n=4 atau 5

kali k. Artinya kalau variabel 5, banyaknya responden minimal 20 atau

25 orang sebagai sampel acak.

b. Membentuk Matriks Korelasi

Proses analisis di dasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel

pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar

analisis faktor bisa tepat dipergunakan, varaiabel-variabel yang akan dianalisis

harus berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar-variabel terlalu kecil,

hubungan lemah, analisis faktor tidak tepat.

Prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka asumsi-asumsi

(36)

(1) Besar korelasi atau korelasi independen variabel yang cukup kuat,

misalnya > 0,5 atau bila dilihat tingkat signifikansinya adalah < dari 0,5.

(2) Besar korelasi partial, korelasi antar dua variabel dengan menganggap

variabel dengan mengganggap variabel lain adalah tetap (konstan) harus

kecil. Pada SPSS deteksi korelasi parsial diberikan pada Anti Image

Correlation.

Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Barlett’s

Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak

berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis

nol harus ditolak (berarti ada korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel).

Kalau hipotesis nol terima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.

Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur

kecukupan sampling (sampling adequancy). Indeks ini membandingkan besarnya

koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai KMO

yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa diterangkan oleh

variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.

(1). Harga KMO sebesar 0,9 adalah sangat memuaskan

(2). Harga KMO sebesar 0,8 adalah memuaskan

(3). Harga KMO sebesar 0,7 adalah harga menengah

(4). Harga KMO sebesar 0,6 adalah cukup

(5). Harga KMO sebesar 0,5 adalah kurang memuaskan

(37)

Measure of Sampling Adequacy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh

matriks korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada

analisis faktor. Nilai MSA yang rendah merupakan pertimbangan untuk

membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya (Wibisono,

2003). Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis

lebih lanjut (Wibowo, 2006).

(1) MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel

lain.

(2) MSA > 0,5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih

lanjut.

(3) MSA < 0,5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih

lanjut.

c. Menentukan Metode Analisis Faktor

Segera setelah ditetapkan bahwa analisis faktor merupakan tekhnik

yang tepat untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, kemudian

ditentukan atau dipilih metode yang tepat untuk analisis faktor. Ada dua cara

metode yang bisa digunakan dalam analisis faktor, khususnya untuk

menghitung timbangan atau koefisien skor faktor, yaitu principal components

analysis dan common factor analysis.

Di dalam principal component analysis, jumlah varian dalam data

dipertimbangkan. principal component analysis direkomendasikan kalau hal

(38)

memperhitungkan faktor maksimum tersebut dinamakan principal

components.

Di dalam common factor analysis, faktor diestimasi didasarkan pada

common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi.

Metode ini dianggap tidak tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/

mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan common variance yang

menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring

(Supranto,2004).

Communalities ialah jumlah varian yang sumbangkan oleh suatu

variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut

proporsi atau bagian varian yang dijelaskan common factor , atau besarnya

sumbangan suatu faktor terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar

communalities sebuah variabel, berarti semakin kuat hubungannya dengan

faktor yang dibentuknya.

Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap

faktor. Eigenvalue akan menunjukkan kepentingan relatif masing-masing

faktor dalam menghitung varian yang dianalisis (Wibowo, 2006).

d. Rotasi Faktor-Faktor

Suatu hasil atau out put yang penting dari analisis faktor ialah apa

yang disebut matriks faktor pola (faktor pattern matrix). Matriks faktor berisi

(39)

dinyatakan dalam faktor. Koefisien ini disebut muatan faktor, mewakili

korelasi antar-variabel dan faktor.

Di dalam melakukan rotasi faktor, kita menginginkan agar setiap

faktor mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signif ikan

untuk beberapa variabel saja. Guna rotasi ini adalah untuk mengontrol/

memeriksa variabel yang belum layak dimasukkan menjadi layak dimasukkan

dalam buat penamaan. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap

variabel mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa

saja, kalau mungkin dengan satu faktor saja. Kalau terjadi beberapa faktor

mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk

membuat interpretasi tentang seluruh varian (dari seluruh variabel asli)

mengalami perubahan.

e. Interpretasi Faktor

Interpretasi faktor dipermudah dengan mengidentifikasi variabel yang

muatannya besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa

diinterpretasikan, dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi

padanya. Variabel yang tidak dengan sumbu salah satu faktor berarti

berkorelasi dengan kedua faktor tersebut.

f. Menghitung Skor dan Nilai Faktor

Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu

variabel oleh masing masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu

(40)

faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan. Sebenarnya analisis

faktor tidak harus dilanjutkan dengan menghitung skor atau nlai faktor, sebab

tanpa menghitungpun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi

variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel

aslinya.

g. Memilih Surrogate Variabels

Surrogate variabel adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih

untuk digunakan di dalam analisis selanjutnya.

h. Proses Analisis Faktor

Secara garis besar tahapan pada analisis faktor adalah sebagai berikut

Supranto (2004) dan Santoso (2010) :

(1). Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor.

(2). Menguji variabel yang ditentukan, menggunakan metode Barlett Test of

Sphericity Sera pengukuran MSA (Measure Sampling Adequacy).

(3). Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel

tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor.

(4). Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan

perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan

mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara

(41)

(5). Kemudian interpretasikan hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut

mewakili variabel yang mana saja), dan memberi nama atas faktor yang

terbentuk.

(6). Validasi atas hasil faktor untuk mengetahui apakah faktor yang terbentuk

telah valid. Validitas dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti :

a. Membagi sampel awal menjadi dua bagian kemudian membandingkan hasil

faktor sampel satu dengan sampel dua. Jika hasil tidak banyak perbedaan,

bisa dikatakan faktor yang terbentuk telah valid.

b. Dengan melakukan metode Comfirmatory Faktor Analysis (CFA) dengan

cara Structural Equation Modelling (SEM). Proses ini bisa dibantu dengan

Software khusus, seperti Lisrel atau Amos.

2.4Landasan Teori

Teori pada penelitian ini mengacu pada teori Social Learning Theory (Teori

Belajar Sosial) oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menekankan pada hubungan

segi tiga antara orang, perilaku dan lingkungan dalam suatu proses. Pada teori ini

terjadi 3 (tiga) proses utama yaitu pengalaman langsung, tidak langsung atau

pengalaman dari mengamati orang lain (model). Pembentukan perilaku dapat

dilakukan dengan adanya proses interaksi antara person dengan lingkungannya dan

adanya proses peniruan/proses imitasi perilaku model yang mampu memberikan

(42)

Menurut Bandura (1986) faktor perilaku, lingkungan dan pribadi/kognitif seperti

keyakinan, perencanaaan dan bepikir dapat berinteraksi secara timbal balik. Dengan

demikian, dalam pandangan Bandura lingkungan dapat mempengaruhi seseorang.

Seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungannya. Faktor pribadi/kognitif

dapat mempengaruhi perilaku seseorang dan sebaliknya, faktor-faktor

pribadi/kognitif dapat meliputi keyakinan seseorang dapat menguasai suatu situasi

dan menghasilkan dampak yang diinginkan, kemampuan merencanakan dan

kemampuan berpikir. Berdasarkan teori tersebut, maka landasan teori dapat

digambarkan dalam gambar di bawah ini :

Gambar 2.1 Pengaruh Interaksi terhadap Perilaku Menurut Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)

Orang/Person Lingkungan

(43)

2.5Kerangka Konsep

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dan arah dari alur penelitian ini

adalah seperti tergambar dalam kerangka konsep di bawah ini :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Efikasi Diri

4. Dorongan Biologis

5. Pandangan tentang Konsep Cinta 6. Nilai Agama

7. Lingkungan Teman Sebaya 8. Lingkungan Masyarakat 9. Pengawasan Orangtua 10.Media Informasi

Gambar

Gambar 2.1 Pengaruh Interaksi terhadap Perilaku Menurut Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory)
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

The relationship between the incidence of rabbits on each of the 110 sites studied (measured as number of faecal pellets found) and the abundance (measured as % cover) of a

Four treatments were compared: idle fields with no vegetation improvement but exclusion of cattle, improved pastures with seeding of forage plants for cattle, DNC fields with

Problem 4: Berdasarkan problem 1, 2, dan 3, tentukanlah persamaan untuk menentukan banyaknya iterasi proses sortir selection sort ketiga deret tersebut, jika � merupakan

Liabilitas keuangan dihentikan pengakuannya jika liabilitas keuangan tersebut berakhir, dibatalkan atau telah kadaluarsa. Jika liabilitas keuangan tertentu digantikan

Tanda perubahan (alterasi) adalah istilah yang dipakai untuk perubahan kromatis (nada yang berjarak ½) salah satu nada dalam suatu Accord.. Tanda perubahan (alterasi) dibagi menjadi

Untuk pertama kalinya, kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi berada pada titik nadir. Pasca penangkapan ketuanya, kepercayaan publik terhadap MK merosot dibawah 30 %. Publik

(2012) menggambarkan kompleksnya hubungan berbagai jenis hambatan perilaku. Hingga sekarang kegiatan studi dan publikasi analisis dan perhitungan atas hambatan perilaku secanl

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan keaktifan lansia dalam mengikuti kegitan posyandu.Desain penelitian ini menggunakan desain