• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Resilience at Work pada Perawat Inap di Rumah Sakit "X" Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Resilience at Work pada Perawat Inap di Rumah Sakit "X" Bandung."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Resilience at Work pada Perawat Inap di Rumah Sakit “X” Bandung” Tujuannya adalah memperoleh gambaran mengenai derajat resilience at work pada perawat di Rumah Sakit “X” Bandung yang ditinjau dari dua aspek, yaitu attitudes dan skills yang terdiri dari attitudes (commitment, control, dan challenge) dan skills (transformational coping dan social support) serta faktor-faktor yang memengaruhinya (personal reflection, other people, dan result). Rancangan penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan metode survei. Populasi yang memenuhi karakteristik penelitian ini berjumlah 122 orang perawat inap. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.

Alat ukur yang digunakan dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan teori Maddi & Khoshaba, 2005. Berdasarkan uji validitas dengan menggunakan rumus Rank Spearman nilai validitas berkisar dari 0,303 – 0,770 sehingga didapatkan 48 item yang valid. Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan rumus Split-Half diperoleh sebesar 0,912 yang berarti alat ukur tersebut memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa setengah dari responden memiliki derajat resilience at work yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa setengah perawat inap sudah menunjukkan kemampuannya untuk bertahan dan berkembang meskipun dalam keadaan stres.

(2)

Universitas Kristen Maranatha

Abstract

The study is titled "Descriptive Study of Resilience at Work in Inpatient Nurses at Hospital" X "Bandung" The aim is to investigate the resilience at work degree in Inpatients Hospital" X "Bandung through two aspects, attitude (commitment, control, and challenge) and skills (transformational coping and social support) and the factors that influence it (personal reflection, of other people, and result). The research design used is to use a survey method. The populations are 122 inpatients nurse. The sampling technique used was purposive sampling.

The instruments used were modification by the researcher based on the theory Maddi & Khoshaba 2005. Based on test validity using Spearman Rank formula validity values ranged from 0.303 to 0.770 to obtain 48 valid item. Reliability test results using Split-Half formula obtained 0.912 which means that the measuring instrument has a high degree of reliability.

Based on the results of this study concluded that half of the respondents have a degree of resilience at work high. This indicates that the nurse-patient half already demonstrated its ability to survive and thrive even in a state of stress.

(3)

ii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR SKEMA ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1 Maksud Penelitian ... 11

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Kegunaan Pernelitian ... 12

1.4.1 Kegunaan Teoretis ... 12

(4)

iii

Universitas Kristen Maranatha

1.5 Kerangka Pikir ... 13

1.6 Asumsi ... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 25

2.1 Resilience at Work... 25

2.1.1 The Power of Resilience ... 25

2.1.2 Hardiness ... 26

2.1.3 Aspek Resilience at Work ... 28

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resilience at Work ... 35

2.2 Stress ... 38

2.2.1 Stress dapat Bertambah Banyak ... 38

2.2.2 Pengertian Stress ... 39

2.2.3 Penyebab Stress ... 41

2.3 Adulthood ... 43

2.3.1 Pengertian dan Masa Periode Adulthood ... 43

2.3.2 Tugas Perkembangan Adulthood ... 45

2.3.3 Perkembangan Karir dan Pekerjaan ... 45

2.4 Perawat ... 47

2.4.1 Pengertian Perawat dan Keperawatan ... 47

2.4.2 Peran Perawat ... 48

2.4.3 Tugas dan Tanggung Jawab Perawat ... 50

(5)

iv

Universitas Kristen Maranatha BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 52

3.2 Variabel Penelitian ... 53

3.3 Definisi Konseptual ... 53

3.4 Definisi Operasional ... 53

3.5Alat Ukur ... 54

3.5.1 Alat Ukur Resilience at Work ... 54

3.5.2 Data Pribadi dan Penunjang ... .56

3.5.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 58

3.5.3.1 Validitas Alat Ukur ... 58

3.5.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 60

3.6 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 61

3.6.1 Populasi Sasaran ... 61

3.6.2 Karakteristik Populasi ... 61

3.6.3 Teknik penarikan Sampel... 61

3.7Teknik Analisis Data ... 62

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum responden ... 63

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 63

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

4.1.3 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Bekerja ... 64

(6)

v

Universitas Kristen Maranatha

4.2 Gambaran Hasil Penelitiian... 65

4.2.1 Tingkat Resilience at Work Pada Perawat Inap di Rumah Sakit “X” Bandung ... 65

4.2.2 Tabulasi Silang antara Tingkat Resilience at Work dengan Tingkat Aspek Attitudes ... 66

4.2.3 Tabulasi Silang antara Tingkat Resilience at Work dengan Tingkat Aspek Skills ... 66

4.3 Pembahasan ... 67

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 77

5.2 Saran ... 78

5.2.1 Saran Teoretis ... .78

5.2.2 Saran Praktis ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

DAFTAR RUJUKAN ... .80

(7)

vi

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Resilience at Work ... 55

Tabel 3.2 Skor Skala ... 57

Tabel 3.3 Norma Lisa Friedenberg ... 59

Tabel 3.4 Norma Guilford ... 60

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 63

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Masa Bekerja ... 64

Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 65

Tabel 4.5 Tingkat Resilience at Work Pada Perawat Inap di Rumah Sakit “X” Bandung ... 65

Tabel 4.6 Tabulasi Silang antara Tingkat Resilience at Work dengan Tingkat Aspek Attitudes ... 66

(8)

vii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA

Skema 1.1 Kerangka Pikir ... 23

(9)

viii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-kisi Alat Ukur dan Kuesioner Penelitian

Lampiran 1.1 Kisi-kisi Alat Ukur Resilience at Work

Lampiran 1.2 Kata Pengantar Kuesioner Penelitian

Lampiran 1.3 Lembar Persetujuan (Letter of Concent)

Lampiran 1.4 Kuesioner Pengambilan Data

Lampiran 2 Uji Validitas Alat Ukur dan Item Valid

Lampiran 2.1 Hasil Uji Validitas Alat Ukur Resilience at Work

Lampiran 3 Uji Reliabilitas Alat Ukur

Lampiran 3.1 Uji Reliabilitas Alat Ukur Resilience at Work

Lampiran 4 Hasil Penelitian (Data Mentah)

Lampiran 5 Tabel Frekuensi Data Utama & Data Penunjang, Tabulasi

Silang Data Utama & Data Penunjang

Lampiran 5.1 Tabel Statistik Data Utama (Frekuensi)

Lampiran 5.1.1 Tabel Frekuensi Resilience at Work Perawat

Lampiran 5.1.2 Tabel Frekuensi Valid Missing 3C, Transformational

Coping dan Social Support

Lampiran 5.1.3 Tabel Frekuensi Sub Aspek Commitment

Lampiran 5.1.4 Tabel Frekuensi Sub Aspek Control

Lampiran 5.1.5 Tabel Frekuensi Sub Aspek Challenge

Lampiran 5.1.6 Tabel Frekuensi Sub Aspek Transformational Skills

Lampiran 5.1.7 Tabel Frekuensi Sub Aspek Social Support

Lampiran 5.1.8 Tabel Frekuensi Attitudes dan Skill

Lampiran 5.2.1 Tabel Frekuensi Personal Reflection

Lampiran 5.2.2 Tabel Frekuensi Other People

(10)

ix

Universitas Kristen Maranatha Lampiran 5.3.1 Tabel Tabulasi Silang Attitudes dengan Commitment

Lampiran 5.3.2 Tabel Tabulasi Silang Attitudes dengan Control

Lampiran 5.3.3 Tabel Tabulasi Silang Attitudes dengan Challenge

Lampiran 5.3.4 Tabel Tabulasi Silang Skills dengan Transforational Coping

Lampiran 5.3.5 Tabel Tabulasi Silang Skills dengan Social Support

Lampiran 5.4.1 Tabel Tabulasi Silang Resilience at work dan Usia

Lampiran 5.4.2 Tabel Tabulasi Silang Resilience at work dengan Jenis

Kelamin

Lampiran 5.4.3 Tabel Tabulasi Silang Resilience at work dengan Masa Kerja

Lampiran 5.4.4 Tabel Tabulasi Silang Resilience at work dengan Latar

Belakang Pendidikan

Lampiran 5.5.1 Tabel Tabulasi Silang Resilience at work dengan Feedback

Personal Reflection

Lampiran 5.5.2 Tabel Tabulasi Silang Resilience at work dengan Feedback

Other People

Lampiran 5.5.3 Tabel Tabulasi Silang Resilience at work dengan Feedback

Result

Lampiran 6 Profil Perusahaan

Lampiran 6.1 Sejarah Singkat Rumah Sakit “X” Bandung

Lampiran 6.2 Jenis Pelayanan Rumah Sakit “X” Bandung

Lampiran 6.3 Komposisi Tempat Tidur Rumah Sakit “X” Bandung

Lampiran 6.4 Data Ketenagakerjaan

Lampiran 6.5 Visi dan Misi Rumah Sakit “X” Bandung

(11)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pertambahan jumlah manusia setiap tahunnya membuat wilayah Indonesia

saat ini sudah dipadati oleh penduduk. Menurut Badan Pusat Statistik, tercatat jumlah

penduduk Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010

mengalami peningkatan sebesar 31.376.731 juta jiwa dengan laju pertumbuhan

sebesar 1,49 persen setiap tahun (http://www.bps.go.id, diakses 3 Oktober 2013).

Peningkatan jumlah penduduk setiap tahunnya membuat kebutuhan masyarakat akan

kesehatan semakin dirasakan sangat penting.

Usaha pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan kesehatan yang

cukup memadai masih belum bisa mengoptimalkan peningkatan kesehatan

masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah rumah sakit di

Indonesia sudah mencapai 1.959 unit per Mei 2012 (http://health.kompas.com). Di

Indonesia, khususnya di kota-kota besar seperti kota Bandung Jawa Barat, terdapat

beberapa rumah sakit dan puskesmas yang menjadi sarana bagi masyarakat untuk

mengobati penyakit mereka. Terdapat 34 unit Rumah Sakit yang berada di Kota

Bandung (http://www.depkes.go.id/downloads /profil/profil_kesehatan kota

(12)

2

Universitas Kristen Maranatha Keberlangsungan Rumah Sakit tidak terlepas dari peran tenaga medis seperti

dokter dan perawat. Untuk menjaga kualitas tenaga kesehatan maka Departemen

Kesehatan Republik Indonesia memberlakukan Sistem Kesehatan Nasional. Sistem

Kesehatan Nasional atau yang biasa disebut sebagai SKN adalah pengelolaan

kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara

terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya. Dalam Sistem Kesehatan Nasional 2003 (SKN),

disebutkan rasio perawat dengan jumlah penduduk masih rendah yaitu 1 : 2850.

Jumlah Rumah Sakit yang ada tidak sebanding dengan jumlah tenaga keperawatan

yang dibutuhkan. Menurut pandangan Gillies ( 1986 ) rasio jumlah perawat inap

dengan pasien pada shift pagi dan siang yang paling tepat ialah 5:10. Sedangkan pada

shift malam yakni 1:10. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu

kepala perawat di Rumah Sakit “X” Bandung, didapatkan bahwa jumlah tenaga

perawat yang ada masih dianggap kurang untuk merawat pasien, rasio perawat

Rumah Sakit “X” Bandung dengan pasien yakni 1 : 6. Melihat jumlah rasio perawat

inap dengan pasien yang kurang seimbang membuat kondisi ini sesuai dengan yang

dialami di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki jumlah perawat sebanyak 277

orang.

Rumah Sakit “X” Bandung ini memiliki empat jenis pelayanan kesehatan,

yakni: Instalasi Gawat Darurat (IGD), Klinik rawat jalan, Rawat Inap yang terdiri

dari: (Rawat Inap Penyakit Dalam, Rawat Inap Penyakit Anak, Rawat Inap Kasus

(13)

3

Universitas Kristen Maranatha Bagian-bagian ini diantaranya ruang rawat inap untuk jenis penyakit dalam atau

internis yang dibagi menjadi kelas I, II dan kelas III. Selain itu ada pula ruangan VIP

dan VVIP, yang membedakan ruangan kelas VIP dan VVIP dengan ruangan kelas

lain seperti kelas I, II, dan III adalah pada fasilitas yang disediakan lebih lengkap

seperti kasur yang nyaman, televisi, AC. Satu kamar rawat inap kelas I dan II dapat

menampung empat orang pasien. Sedangkan pada kamar rawat inap kelas III, satu

kamar dapat menampung enam hingga delapan orang pasien. Selain itu adapula

kamar rawat inap yang digunakan untuk merawat pasien anak-anak, pasca operasi

bedah dan bersalin.

Semua perawat yang bekerja di Rumah Sakit ini bekerja secara tim dan

bergantian dengan memakai sistem shift. Pada perawat inap shift pagi dimulai dari

pukul 07.00 WIB hingga pukul14.00 WIB, sedangkan shift siang dimulai dari pukul

14.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB, untuk shift malam dimulai dari pukul 21.00

WIB hingga pukul sampai pukul 07.00 WIB. Bila dilihat dari jumlah jam kerja shift

malam pada perawat inap, merupakan jam kerja yang lebih panjang dibandingkan

pada shift pagi dan siang karena perawat bekerja selama 10 jam pada shift malam.

Selama seminggu perawat hanya mendapatkan enam hari kerja dan satu hari libur, hal

ini mengingat Rumah Sakit harus selalu siap selama 24 jam untuk menangani pasien

sekalipun di hari libur nasional.

Setiap ruangan rawat inap memiliki satu kepala perawat yang bertugas

mengatur jadwal shift kerja anggotanya setiap sebulan sekali serta mengawasi kinerja

(14)

4

Universitas Kristen Maranatha jadwal tersebut, ia harus mengajukan surat dan alasan yang mendukung untuk dapat

mengganti jadwalnya di hari yang lain. Selain rumitnya prosedur yang harus ditaati

oleh perawat, perawat juga dituntut dapat memberikan bantuan ketika Rumah sakit

berada dalam jam sibuk yang artinya Rumah Sakit sedang memiliki jumlah pasien

yang banyak Bila biasanya 1 orang perawat menangani 1 ruangan dengan 6 pasien

namun saat sedang dalam keadaan sibuk bisa menangani lebih dari 6 orang pasien.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat, tugas perawat di

Rumah Sakit “X” Bandung ini adalah memberikan asuhan keperawatan yang sesuai

dengan keperluan pasien, kemudian menjalankan instruksi yang diperintahkan oleh

dokter. Perawat juga melakukan briefing dengan seluruh rekan kerja sebelum

memulai pekerjaannya dan kepala perawat bertugas memberitahukan jika ada

informasi penting yang harus disampaikan kepada anggotanya. Perawat sehari-hari

melakukan tugas-tugas seperti memberikan obat pada pasien, mengecek kesehatan

pasien seperti mengukur suhu tubuh, mengganti infus, membantu pasien merawat diri

seperti memandikan pasien dan mengatur jadwal serta jenis asupan makanan pasien

setiap hari. Dengan banyaknya tugas keperawatan yang harus dijalankan, perawat

inap memiliki resiko kecelakaan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan

perawat lainnya karena lebih lama merawat pasien dibandingkan dengan perawat di

bagian lainnya seperti klinik umum. Saat bekerja perawat juga harus berhati-hati

ketika membawa peralatan medis seperti tabung oksigen, alat infus, dan jarum suntik.

Bila tidak berhati-hati dalam membawa alat-alat tersebut bisa jadi perawat mengalami

(15)

5

Universitas Kristen Maranatha Jumlah pasien yang datang setiap harinya sulit untuk diperkirakan, hal ini

membuat banyak perawat merasa kewalahan dalam memberikan perawatan. Akibat

yang terjadi saat perawat dalam kondisi kewalahan ialah perawat menjadi lelah akibat

menangani pasien dengan jumlah yang cukup banyak dan menjadi tidak fokus dalam

menjalankan tugasnya. Saat menjalankan tugasnya, perawat sering mendapatkan

telepon dari pasien yang membutuhkan sesuatu di kamarnya ataupun pihak keluarga

yang menyampaikan keluhannya mengenai pelayanan yang kurang memuaskan.

Sebanyak 9 orang perawat yang diwawancarai mengaku pernah mendapatkan

perlakuan yang tidak pantas atau kurang sopan dari pasien, seperti meminta sesuatu

dengan nada dan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan. Perawat seringkali

bekerja melebihi jam kerja yang telah ditentukan karena perawat tidak dapat

meninggalkan pasien yang masih membutuhkan perawatan. Belum lagi jika ada

pasien yang ditemukan sudah meninggal dunia. Perawat inap harus siap

menyampaikan kabar ini kepada keluarga pasien. Tidak jarang perawat malah ikut

terbawa emosi ketika berada dalam situasi ini dan menyebabkan menjadi tidak fokus

saat bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu perawat juga diketahui pada

ruangan bedah, sering menerima keluhan pasien mengenai masalah pembayaran

pasca operasi. Walau sebelumnya perawat sudah menjelaskan rincian biaya yang

harus dikeluarkan oleh pasien, namun saat pembayaran biaya yang dikeluarkan

berbeda dengan rincian yang dijelaskan. Keluhan pasien ini membuat perawat juga

(16)

6

Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan hasil survei yang dilakukan dengan metode wawancara kepada

12 orang perawat di Rumah Sakit “X” Bandung, didapatkan sebanyak 10 (83%) dari

12 orang perawat menunjukkan gejala stres fisik. Misalkan seperti lelah yang

berlebihan akibat jam kerja yang melebihi dari jadwal yang telah ditentukan, sulit

tidur ketika gagal memberikan pelayanan yang baik yang membuat keluarga pasien

menjadi marah. Selain ada stres fisik adapula stres psikologis yakni menarik diri

ketika ada masalah dengan rekan kerja. Adapula stres perilaku yakni nafsu makan

berkurang ketika sedang mendapat masalah dengan pasien. Sedangkan 2 (17%) orang

sisanya merasa bahwa tidak ada stres fisik ataupun psikologis yang ditemui selama

bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada 12 orang perawat,

seluruhnya 12 (100%) orang perawat menghayati bahwa pekerjaan mereka

merupakan pekerjaan yang sulit dan menekan. Menurut mereka apa yang telah

dilakukan tidak sesuai dengan besarnya gaji yang diterima setiap bulannya. Selain itu

perawat setiap hari bekerja secara bergantian sesuai dengan jadwal yang sudah

dibuat, dan terkadang perawat merasa kelelahan bila bekerja pada shift malam yakni

dari jam 21.00 WIB sampai 08.00 WIB. Setelah usai bekerja perawat wajib membuat

laporan kesehatan pasien. Jam kerja yang paling melelahkan yakni pada shift malam

karena dengan kondisi tubuh yang kelelahan perawat diharuskan membuat laporan

harian setelah usai jaga malam pada pagi harinya. Walaupun shift malam dirasa

melelahkan namun, pada shift siang perawat sering kali menangani jumlah pasien

(17)

7

Universitas Kristen Maranatha jumlah pasien rawat inap bisa dua kali lebih banyak dibandingkan hari-hari biasa.

Terdapat 10 (83%) dari 12 orang perawat yang telah diwawancarai mengaku sudah

berkeluarga dan merasakan beban yang berat untuk mengurus suami dan anak

mereka. Mereka juga menyatakan bila mendapatkan shift malam akan kesulitan

mengasuh anak saat pagi harinya, terpaksa para perawat ini meminta bantuan

pasangannya untuk mengurus keperluan anaknya. Tapi mereka juga merasa terus

kepikiran dengan keberadaaan anak mereka yang diurus oleh pasangan mereka.

Sedangkan sisanya 2 (17%) orang perawat merasa jadwal kerja shift ini tidak

mengganggu urusan rumah tangganya.

Dari tuntutan-tuntutan pekerjaan yang dihayati berat dan situasi kerja yang

membuat stres seperti menerima keluhan dari pasien, serta adanya gejala stres fisik

yang ditampilkan berdasarkan hasil wawancara pada perawat, maka diperlukan

resilience at work. Resilience at work adalah kapasitas seseorang untuk bertahan dan

berkembang meskipun dalam keadaan stres (Maddi & Khoshaba, 2005). Pada

perawat sendiri resilience at work merupakan kapasitas perawat untuk bertahan dan

berkembang dalam keadaan stres kerja. Resilience at work terbentuk dari hardiness

yang di dalamnya terkandung attitudes dan skills. Hardiness terkait dengan

bagaimana perawat mengolah sikap dan kemampuan yang membantu perawat untuk

bangkit dalam kondisi stressful saat merawat pasien, bukan membuat perawat

menjadi terlarut di dalamnya.

Sikap (attitudes) tersebut adalah commitment, control, dan challenge.

(18)

orang-8

Universitas Kristen Maranatha orang di sekitarnya walaupun berada dalam situasi yang menekan, dan memandang

pekerjaannya sebagai hal yang penting dan cukup berarti untuk memberikan

perhatian yang penuh, imajinasi, dan usaha. Sedangkan control adalah sejauh mana

perawat tetap berupaya memberikan pengaruh positif pada hasil dari perubahan yang

terjadi di sekitarnya. Selanjutnya challenge adalah sejauh mana perawat melihat

perubahan sebagai sarana untuk menemukan sesuatu yang baru. Selain attitudes ada

pula skills yang terdiri dari transformational coping yang merupakan keterampilan

perawat dalam memecahkan masalah yang terjadi selama bekerja merawat pasien dan

social support skill yang merupakan keterampilan perawat dalam membina interaksi

dengan rekan kerja untuk memperdalam dukungan sosial sehingga masalah yang

dapat diselesaikan.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada 12 orang perawat

mengenai attitudes commitment, didapatkan data bahwa seluruh (100%) perawat yang

diwawancarai perawat menganggap bahwa pekerjaannya sangat penting karena

berkaitan dengan nyawa pasien, bila terjadi kesalahan dalam bekerja bisa terjadi

sesuatu yang fatal pada pasien. Sepadat apa pun jadwal kerja perawat dan banyaknya

keluhan yang diterima baik dari pasien ataupun keluarga pasien, mereka tetap

berusaha memberikan pelayanan yang terbaik demi kesembuhan pasien.

Terdapat 7 (58%) dari 12 orang perawat yang diwawancarai mengenai

attitudes control, berusaha untuk bertindak aktif mencari informasi dengan bertanya

kepada rekan kerja atau atasan ketika merawat pasien dengan keluhan penyakit

(19)

9

Universitas Kristen Maranatha penyakit jantung, perawat langsung mencari informasi perihal pemberian perawatan

yang cocok untuk pasien seperti ini. Sehingga apabila menerima petunjuk atau arahan

dari dokter, perawat tidak ragu saat memberikan perawatan pada pasien tersebut.

Sedangkan sisanya 5 (42%) dari 12 perawat mengaku merasa kebingungan dan

pasrah ketika pasien merawat pasien yang memiliki penyakit komplikasi, perawat

lebih memilih menunggu perintah dari dokter saja perihal apa saja yang harus

dilakukan ketika menemui pasien seperti itu.

Berdasarkan hasil wawancara mengenai attitudes challenge ditemukan

sebanyak 6 (50%) dari 12 perawat menyatakan situasi pekerjaan yang menekan

sebagai tantangan yang harus dihadapi dan perawat merasa mendapatkan manfaat

yang didapatkan dari situasi tersebut. Perawat menghayati situasi yang sulit saat

bekerja ketika pasien merupakan situasi stres kerja yang menjadikan tantangan untuk

dapat menyelesakan tugas-tugas mereka. Seperti contoh perawat merasa tertantang

untuk dapat menyelesaikan masalahnya ketika ada pasien yang mengeluh. pasien.

Sedangkan sisanya 6 (50%) dari 12 orang perawat menghayati situasi bahwa beban

kerjanya ini membuat mereka menjadi pasif dan kebingungan dan merasa situasi

menekan bukan sesuatu yang dapat dijadikan tantangan bagi mereka.

Dari hasil wawancara mengenai skills transformational coping juga

ditemukan sebanyak 7 (58%) dari 12 orang perawat menghayati bahwa beban

kerjanya ini lebih besar dibandingkan rekan kerja yang bertugas di divisi lainnya dan

merasa tidak penting untuk mengembangkan keterampilan dalam merawat. Ada satu

(20)

10

Universitas Kristen Maranatha dengan sistem kerja shift ini. Perawat merasa pasrah bila ada pasien yang mengalami

situasi mendesak yang membutuhkan pertolongan pertama, karena mereka takut

terjadi sesuatu pada pasien jika mereka memberikan tindakan pertolongan pertama.

Mereka lebih memilih meminta bantuan kepada kepala perawat atau menghubungi

dokter jaga.

Sedangkan 5 (42%) dari 12 orang perawat mengaku menemui situasi yang

sulit saat bekerja ketika pasien merupakan situasi stres kerja yang wajar karena

memang sudah tugas yang harus dilakukan. Oleh karena itu perawat merasa ini

adalah kesempatan yang tepat untuk mengembangkan keterampilan mereka dalam

memberikan pelayanan yang tepat kepada pasien. Seperti contoh perawat yang

sebelumnya kurang memiliki pengetahuan dalam memberikan tindakan pertolongan

pertama pada pasien yang terhenti detak jantungnya maka dengan adanya

pengalaman yang terjadi pada pasien, perawat menjadi banyak belajar bagaimana

memberikan tindakan pertolongan pertama. Pada situasi lain bila terjadi hal yang

sama perawat tidak kebingungan dan dapat lebih sigap memberikan tindakan ketika

tidak ada dokter.

Berdasarkan hasil wawancara mengenai Skills Social Support Skill sebanyak

10 (83%) dari 12 orang perawat siap memberikan bantuan kepada sesama rekan kerja.

Selain memberikan bantuan perawat juga menerima bantuan dari rekan kerjanya saat

mendapatkan situasi sulit. Ketika salah satu perawat sedang mengalami masalah

keluarga, perawat yang lain biasanya menanyakan permasalahan apa yang

(21)

11

Universitas Kristen Maranatha diberikan sesama rekan kerja adalah menggantikan shift kerja. Hal ini bisa terjadi

ketika seorang perawat sedang mengalami masalah pribadi yang mendesak sehingga

teman yang lain menggantikan shift kerja miliknya. Adapula perawat yang bersedia

membantu rekan kerjanya dengan memberikan tenaga tambahan ketika banyak pasien

berobat ke Rumah Sakit. Sedangkan 2 (17%) dari 12 orang sisanya mengaku sulit

memberikan bantuan kepada rekan kerja karena sibuk memikirkan tugasnya sendiri.

Berdasarkan fenomena dan gambaran hasil survei berupa wawancara pada

perawat ini, dapat disimpulkan perawat memiliki pandangan yang berbeda-beda

dalam memandang situasi menekan dalam pekerjaan mereka. Hal inilah yang

membuat peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran resilience at work pada

perawat di Rumah Sakit “X” Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka peneliti ingin

mengetahui mengenai bagaimana derajat resilience at work pada perawat di Rumah

Sakit “X” Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

(22)

12

Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian

Memperoleh gambaran secara lebih mendalam mengenai derajat resilience at

work pada perawat di Rumah Sakit “X” Bandung yang ditinjau dari dua aspek, yaitu

attitudes dan skills yang terdiri dari attitudes (commitment, control, dan challenge)

dan skills (transformational coping dan social support) serta faktor-faktor yang

memengaruhi resilience at work (personal reflection, other people, dan result).

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoretis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi ilmu

Psikologi Industri dan Organisasi khususnya mengenai resilience at work.

2. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memberikan informasi

mengenai resilience at work pada perawat sebagai referensi bagi peneliti

selanjutnya.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi kepada perawat Rumah Sakit “X” Bandung mengenai

resilience at work yang dimilikinya agar dapat mempertahankan atau

meningkatkan resilience at work yang dimiliki.

2. Memberikan penjelasan kepada Kepala Diklat Rumah Sakit agar dapat

mengetahui resilience at work pada perawat sebagai masukan ketika sedang

(23)

13

Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pikir

Mayoritas usia perawat inap yang bekerja di Rumah Sakit “X” Bandung

berada pada tahap perkembangan dewasa awal dan dewasa madya. Pada usia ini

perawat dapat dikatakan memasuki tahap perkembangan dewasa awal. Perkembangan

dewasa awal menurut Santrock (2007) berada pada rentang usia 20 hingga 40 tahun.

Pada rentang usia ini seseorang sudah mampu secara mandiri untuk mencari

pekerjaan demi memenuhi kebutuhan finansial. Selain itu individu pada usia tersebut

sudah dapat membina sebuah keluarga. Oleh karena itu tidak sedikit perawat inap

yang sudah memiliki keluarga dan mereka harus pandai dalam membagi waktu antara

pekerjaan dengan urusan keluarga. Ada pula perawat yang sudah berusia lebih dari 40

tahun dan menurut Santrock (2007) usia tersebut berada pada tahap perkembangan

dewasa madya yang memiliki rentang usia mulai dari 40 hingga 60 tahun. Pada tahap

perkembangan ini merupakan waktunya perawat inap untuk memperluas hubungan

personal dan ikut terlibat kegiatan sosial dan lebih bertanggung jawab, mendidik

anaknya dengan penuh tanggung jawab dan menyesuaikan diri dengan perubahan

secara psikologis di dalam usia pertengahan, serta mencapai kepuasan pada satu karir

pekerjaan. Selain usia ada pula faktor sosiodemografi lainnya yakni jenis kelamin,

yang mayoritas berjenis kelamin perempuan, walau demikian tugas dan tanggung

jawab antara pria dan wanita tidak dibedakan sehingga tetap mendapatkan perlakukan

yang sama. Selanjutnya faktor sosiodemografi lainnya adalah masa bekerja,

kebanyakan yang ada di Rumah Sakit “X” Bandung ini perawat yang senior.

(24)

14

Universitas Kristen Maranatha dibandingkan pada perawat yang mash junior. Sedangkan untuk latar belakang

pendidikan perawat, karena perawat telah menempuh pendidikan keperawatan baik di

D3 keperawatan atau di S1 keperawatan, perawat dikatakan sudah memiliki

kemampuan untuk bekerja di bidangnya sebagai perawat.

Selama bekerja di dunia medis yang berkaitan dengan pemberian perawatan

kepada pasien, tentunya perawat tidak terlepas dari situasi-situasi kerja yang

dirasakan sebagai hal yang menekan. Situasi menekan ini digambarkan melalui jam

kerja perawat inap yang dilaksanakan dengan sistem shift. Shift kerja ini terdiri dari

shift pagi, sore dan malam. Setiap perawat inap pasti pernah mengalami mendapatkan

shift kerja malam. Jam kerja malam ini membuat perawat inap menjadi letih di pagi

harinya, karena perawat harus berjaga pada malam dan di pagi harinya perawat harus

membuat laporan medis. Tidak jarang juga perawat inap bekerja melebihi jam kerja

karena perawat tidak dapat meninggalkan pasien yang masih memerlukan perawatan

atau perawat yang berjaga pada shift berikutnya masih belum datang. Selain itu

adapula situasi-situasi lainnya yang membuat perawat menjadi tertekan yakni pasien

atau keluarga pasien yang menyampaikan keluhan kepada perawat mengenai

kekurangan pelayanan yang belum optimal.

Situasi-situasi yang menekan ini dihayati oleh perawat sebagai stres. Menurut

Maddi & Koshaba (2005) stres dapat muncul melibatkan perbedaan yang terjadi

antara apa yang diinginkan dan apa yang didapatkan. Menurut Ivancevich dan

Matteson dalam Luthans (2002), stres diartikan sebagai interaksi individu dengan

(25)

15

Universitas Kristen Maranatha oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi

tindakan, situasi, atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan

psikologis dan atau fisik secara berlebihan pada seseorang.

Tuntutan kerja yang dirasa berat oleh perawat inap seperti menerima keluhan

dari pasien ataupun keluarga pasien, yang dapat menimbulkan penghayatan stressful,

ditambah dengan adanya perilaku yang menunjukkan gejala stres maka diperlukannya

resilience at work pada perawat inap. Resilience at work adalah kapasitas seseorang

untuk bertahan dan berkembang meskipun dalam keadaan stres (Maddi & Khoshaba,

2005). Resilience at work merupakan kemampuan yang tidak dibawa sejak lahir,

tetapi merupakan sesuatu yang dipelajari dan diperbaiki. Oleh karena itu resilience at

work dapat dipelajari dan diperbaiki oleh individu yang sedang berada dalam situasi

stres kerja seperti perawat inap. Untuk menjadi resilience at work, individu perlu

mengolah dengan cara meningkatkan Hardiness. Hardiness sendiri merupakan pola

dari sikap attitudes dan kemampuan skills yang dapat membantu individu untuk tetap

bertahan hidup dan berkembang dibawah situasi stres. Jadi attitudes dan skills ini

nantinya akan membentuk hardiness pada diri perawat inap. Aspek pertama

resilience at work yakni attitudes yang akan tercermin dari sub aspek commitment,

control dan challenge. Commitment mengacu pada keterlibatan perawat untuk tetap

mempertaruhkan usaha, imajinasi dan perhatian yang penuh pada kejadian dan

orang-orang di sekitarnya walaupun berada pada situasi yang menekan (Maddi & Koshabah,

2005). Misalkan ketika perawat inap mendapatkan shift kerja malam hari, perawat

(26)

16

Universitas Kristen Maranatha walaupun perawat menjadi letih pada pagi harinya namun itu harus dilakukan karena

sudah bagian dari pekerjaan perawat.

Perawat yang memiliki commitment yang tinggi akan mengesampingkan sikap

yang tidak produktif dan segera menyelesaikan pekerjaan serta melihat bahwa

mundur dari situasi stressful adalah sebuah kelemahan. Commitment akan membuat

perawat tetap bekerja dan memberikan yang terbaik dalam bekerja meskipun berada

dalam keadaan stressful. Perawat yang memiliki commitment yang rendah akan

bersikap tidak produktif seperti malas saat bekerja merawat pasien dan memilih

terlarut dalam situasi stressful.

Kemudian adapula control yang mengacu pada bagaimana perawat berusaha

memberikan pengaruh positif pada perubahan yang terjadi di sekitarnya. Perawat

yang memiliki control yang tinggi akan berusaha untuk memberi pengaruh positif

terhadap hasil dari perubahan yang terjadi di sekitarnya daripada membiarkan diri

tenggelam dalam kepasifan dan ketidakberdayaan. Perawat juga akan berusaha sebaik

mungkin untuk mendapatkan solusi yang terbaik dari masalah yang terjadi pada

pekerjaannya dan memberikan pengorbanan lebih. Sedangkan perawat yang memiliki

control yang rendah akan terlarut dalam permasalahan yang dihadapi dan tidak dapat

menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Kemudian challenge mengacu pada bagaimana perawat melihat perubahan

atau situasi stressful sebagai kesempatan untuk memahami dan belajar dari kondisi

tersebut. Misalnya ketika perawat pada saat-saat tertentu sedang merawat banyak

(27)

17

Universitas Kristen Maranatha agar bisa menangani pasien dengan lebih efektif. Dengan adanya kesempatan perawat

untuk memberikan perawatan kepada banyak pasien perawat dapat belajar dari

pengalaman ini dan menemukan strategi yang tepat agar dapat merawat pasien

dengan cepat dan efektif.

Perawat yang memiliki challenge yang tinggi akan berusaha akan melihat

perubahan sebagai perantara untuk memulai sesuatu yang baru. Perawat menghadapi

setiap perubahan dan berusaha untuk memahaminya, belajar darinya, dan

memecahkannya. Perawat menerima tantangan kehidupan, tidak menolak ataupun

menghindarinya. Sedangkan perawat yang memiliki challenge yang rendah akan

terpaku pada sesuatu yang lama dan kurang menerima tantangan dalam bekerja,

sehingga perawat akan terpaku pada hal-hal yang sudah pernah didapatkan tanpa

mencoba berusaha melakukan perubahan.

Aspek kedua adalah skills, yang dapat dilihat dari sub aspek transformational

coping dan social support. Transformational coping mengacu pada kemampuan

perawat dalam mengubah situasi stressful menjadi situasi yang memiliki manfaat bagi

diri mereka. Terdapat tiga langkah dalam transformational coping. Langkah pertama

yaitu dengan memperluas perspektif dimana perawat akan lebih mentolerasi situasi

stressful yang ada. Misalkan saat mengalami situasi yang sulit merawat pasien

dengan jumlah yang banyak. Jika perawat dapat memperluas perpektifnya, perawat

akan lebih dapat memahami bahwa rekan-rekan kerja yang lain juga mengalami hal

yang serupa dengan dirinya sehingga perawat akan menyadari bahwa kesulitan itu

(28)

18

Universitas Kristen Maranatha Langkah kedua adalah memahami situasi stres. Perawat akan mencoba

memahami keadaan apa yang membuatnya berada dalam kondisi stressful. Seperti

saat merawat pasien dengan jumlah yang cukup banyak akan membuat perawat

manjadi tertekan dan ketika perawat memahami bahwa ia sedang berada dalam

kondisi tertekan, perawat akan memikirkan strategi yang terbaik agar dapat keluar

dari kondisi ini melalui langkah selanjutnya. Langkah ketiga adalah mengambil

tindakan yakni merencanakan dan mengambil tindakan yang tepat untuk

memecahkan sebuah masalah. Setelah perawat paham bahwa ia berada dalam kondisi

stres ketika merawat pasien dalam jumlah yang cukup banyak, perawat akan

mengatur stategi seperti hal-hal apa saja yang akan dikerjakan terlebih dahulu.

Perawat yang memiliki Skills transformational coping yang tinggi akan dapat

mengurangi situasi stressful dan mendapatkan umpan balik dengan mengevaluasi

setiap pemecahan masalah yang telah dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari perilaku

perawat yang berusaha mengurangi situasi stres yang dialami. Sedangkan perawat

yang memiliki transformational skill yang rendah akan terpaku pada situasi stressful

dan jarang mendapatkan umpan balik dengan mengevaluasi setiap pemecahan

masalah.

Sub aspek yang kedua dari skills ada social support. Social support mengacu

pada kemampuan perawat untuk berinteraksi dengan saling memberi dan menerima

dukungan dan bantuan antar sesama rekan kerja. Terdapat dua langkah dalam social

support, langkah pertama yaitu memberikan dukungan (encouragement) yang terdiri

(29)

19

Universitas Kristen Maranatha mampu merasakan dan memahami apa yang dipikirkan rekan kerjanya, seperti saat

rekan kerja bercerita mengenai masalah keluarganya. Pada tahap simpati, perawat

mampu merasakan permasalahan rekan kerja dan memahami perasaan rekan kerjanya

yang sedang mendapatkan masalah ini. Pada tahap apresiasi, perawat memberikan

kepercayaan bahwa rekan kerja tersebut mampu untuk menghadapi permasalahan.

Langkah selanjutnya adalah memberi bantuan (assistance) yang terbagi

menjadi tiga tahap, yaitu membantu orang lain bangkit dari keterpurukan akan

masalah yang ada. Tahap pertama dengan memberi bantuan dalam waktu yang

sementara untuk menyelesaikan tanggung jawab orang tersebut ketika tertekan dan

sesuatu yang tidak terduga menghampiri orang tersebut. Misalkan ada seorang

perawat yang tidak dapat bekerja pada shift malam karena mengurus anak yang sakit,

rekan perawat berusaha untuk menggantikannya.

Tahap kedua yaitu memberikan orang lain waktu untuk menenangkan diri

dalam menghadapi masalah yang ada. Misalnya ada perawat inap yang sedang

memiliki masalah seperti menerima keluhan dari pasien maka perawat yang lain

mengerti untuk tidak menambah masalah bagi dirinya dan tidak mengingatkan pada

kejadian tidak menyenangkan itu. Rekan kerja memberikan waktu untuk

menanangkan diri dan tidak menambah beban pikiran yang lain. Tahap ketiga yaitu

memberikan pendapat atau saran. Misalnya jika perawat ini masih terus menerima

keluhan dari pasien, rekan kerja akan memberi pendapat dengan berbagi

pengalamannya ketika menghadapi kejadian yang sama atau memberi saran mengenai

(30)

20

Universitas Kristen Maranatha Perawat yang memiliki social support skill yang tinggi akan mendapatkan

semangat dan dukungan dan membuat masalah yang muncul menjadi lebih mudah

untuk diselesaikan. Hal ini dapat dilihat dari perilaku perawat yang berusaha

mendapatkan dukungan kepada rekan kerja yang lain sehingga dapat menyelesaikan

stres yang terjadi dalam bekerja. Namun perawat yang memiliki social support skill

yang rendah akan kurang mendapatkan dukungan dan membuat stres yang ada

menjadi sulit diselesaikan. Perawat cenderung pasif dan tidak mau meminta bantuan

pada rekan kerja yang lain karena merasa takut atau tidak percaya diri.

Selain itu ada pula tiga sumber feedback yang berpengaruh pada resilience at

work untuk meningkatkan aspek attitudes yang terdiri dari commitment, control dan

challenge. Feedback ini nantinya akan memengaruhi usaha dan motivasi perawat

untuk menangani situasi stres saat bekerja. Feedback ini bersumber dari tiga hal

yakni personal reflection, other people dan results. Feedback yang bersumber dari

personal reflection adalah pengamatan yang individu lakukan terhadap tindakan

dirinya sendiri. Misalnya perawat melihat bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu

hal ia akan merasa yakin untuk dapat melakukannya. Saat perawat melihat dirinya

mampu bertahan dan berinteraksi secara konstruktif, maka perawat akan memperkuat

sikap commitment, control dan challenge.

Feedback yang bersumber dari other people adalah pengamatan atas tindakan

yang dilakukan oleh perawat. Misalnya penilaian dari kepala perawat dan rekan kerja

(31)

21

Universitas Kristen Maranatha mendapatkan komentar-komentar yang positif seperti pujian maka akan memotivasi

perawat untuk mengatasi masalah secara konstruktif, memperkuat pembelajaran,

memperdalam koneksi pada diri mereka. Jika Tipe dari feedback ini memperdalam

attitudes commitment, control dan challenge. Feedback yang bersumber dari result

adalah dampak aktual dari tindakan individu pada target kejadian atau orang lain.

Misalnya perawat berhasil menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi dengan

pasien dan keluarga pasien. Maka perawat akan lebih mampu memberikan perawatan

yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Perawat yang memiliki derajat resilience at work yang tinggi akan tercermin

dari hardiness, jadi ia memiliki attitudes (commitment, control dan challenge) yang

kuat dan skills (transformational coping dan social support) yang tinggi yaitu

menikmati pekerjaannya, menganggap bahwa pekerjaannya sebagai hal yang sangat

penting, memberi pengaruh untuk mendatangkan hasil yang positif, mengubah

kesulitan menjadi kesempatan untuk mengembangkan dirinya dan membuat dirinya

merasa antusias dan mampu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Perawat akan lebih

mampu untuk menangani kesulitan dengan mencari pemecahan masalah dan saling

memberikan dukungan dan bantuan dengan orang-orang yang ada disekitarnya, juga

menikmati perubahan dan masalah yang terjadi. Perawat akan merasa dirinya menjadi

lebih terlibat dalam pekerjaannya meskipun pekerjaan tersebut semakin sulit dan

cenderung untuk memandang stres menjadi bagian dari kehidupan normal yang biasa

(32)

22

Universitas Kristen Maranatha Perawat yang memiliki derajat resilience at work yang rendah akan tercermin

dari hardiness jadi ia memiliki attitudes (commitment, control dan challenge) yang

lemah dan skills (Transformational coping dan social support) yang rendah yang

menganggap sebuah kesulitan menjadi sesuatu yang membebani dirinya dalam

melakukan pekerjannya dan membuat dirinya merasa pesimis, mudah menyerah

(putus asa) dalam menghadapi situasi yang sulit dan menarik dirinya dari orang-orang

yang ada di sekitarnya karena ia merasa kurang percaya diri, dan tidak berupaya

(33)

23

Universitas Kristen Maranatha Dari uraian diatas, dapat digambarkan skema kerangka pikir sebagai berikut:

Skema 1.1 Kerangka Pikir Perawat

Rumah Sakit “X” Bandung

Stress

Resilience at

work 3 Sumber Feedback yang

memengaruhi resilience:

Personal reflection

Other people

Results

Hardiness:

3 attitudes (aspek), yaitu (sub aspek):

1. Commitment

2. Control

3. Challenge

2 skills (aspek), yaitu (sub aspek):

1. Transformational Coping

2. Social Support Skill

Tinggi

Rendah Situasi yang menekan:

1. Bekerja secara bergantian sesuai

dengan shift.

2. Bekerja lebih dari waktu yang

ditentukan.

3. Sering menerima keluhan dari

pasien dan keluarga pasien.

Faktor-faktor yang

memengaruhi lainnya:

Usia

Jenis kelamin

Masa bekerja

(34)

24

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian

Dari kerangka pikir di atas dapat ditarik asumsi bahwa:

1. Tugas dan Tuntutan pekerjaan Perawat di Rumah Sakit “X” Bandung

membuat stres.

2. Perawat Rumah Sakit “X” Bandung menghayati tuntutan pekerjaan

keperawatan yang berat maka dibutuhkan resilience at work untuk dapat

bertahan dan berkembang dalam situasi stres.

3. Faktor-faktor yang memengaruhi resilience at work pada perawat inap di

Rumah Sakit “X” Bandung lainnya adalah, usia, masa bekerja, latar belakang

pendidikan dan jeis kelamin.

4. Resilience at work pada perawat Rumah Sakit “X” Bandung terdiri dari

attitudes yang terdiri dari commitment, control dan challenge serta skills yakni

transformational coping skill dan social support skill.

5. Resilience at work pada perawat Rumah Sakit “X” Bandung dipengaruhi oleh

feedback yang terdiri dari personal reflection, other people dan result.

6. Perawat Rumah Sakit “X” Bandung memiliki derajat resilience at work yang

(35)

77 Universitas Kristen Maranatha BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan penelitian terhadap 122 orang perawat inap di Rumah Sakit “X”

Bandung dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Setengah dari keseluruhan jumlah perawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung

yang menjadi subyek penelitian memiliki derajat resilience at work yang tinggi.

2. Sebagian besar perawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki derajat

resilience at work yang tinggi maupun rendah berbanding lurus dengan kuat

lemahnya aspek attitudes dan skills.

3. Sebagian besar perawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki aspek

attitudes yang kuat maupun lemah berbanding lurus dengan kuat-lemahnya sub

aspek commitment, control dan challenge.

4. Sebagian besar perawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung yang memiliki aspek

skills yang tinggi maupun rendah berbanding lurus dengan tinggi-rendahnya sub

aspek transformational coping dan social support.

5. Karakteristik responden, yaitu usia, dan masa bekerja perawat inap di Rumah

Sakit “X” Bandung memiliki keterkaitan yang cukup signifikan dengan tinggi

rendahnya tingkat resilience at work yang ditampilkan perawat inap di Rumah

(36)

78

Universitas Kristen Maranatha 6. Setengah dari keseluruhan jumlah perawat inap di Rumah Sakit “X” Bandung

yang menjadi subyek penelitian dengan derajat resilience at work yang tinggi

maupun rendah berbanding lurus dengan tinggi-rendahnya feedback personal

reflection, feedback other people, dan feedback result.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

1. Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan peneliti, maka peneliti

mengajukan saran kepada peneliti berikutnya untuk melakukan uji kontribusi

terhadap faktor-faktor yang memengaruhi resilience at work (personal reflection,

other people, dan result).

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi pihak SDM dan Kepala Diklat Rumah Sakit “X” Bandung perlu

memberikan pelatihan stress management pada perawat inap yang memiliki

derajat resilience at work yang rendah untuk dapat meningkatkan kemampuannya

dalam bertahan dan berkembang di bawah kondisi stres kerja.

2. Bagi perawat di Rumah Sakit “X” Bandung diharapkan dapat berinteraksi dengan

rekan kerjanya yang lain dalam memberikan bantuan, dukungan dan evaluasi,

(37)

79 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Freidenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing : Design, Analysis, and Use. Massachusetts : Allyn & Bacon.

Gian Frissilia 2012. Studi Deskriptif Mengenai Resilience At Work Pada Anggota Regu Rescue Dinas Kebakaran Kota Bandung. Skripsi. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Guilford, J.P. 1956. Fundamental Statistic in Psychology And Education. 3rd edition. London: Mc. Graw-Hill.

Janice Rider Ellis, Celia Love Hartley. 2001. Nursing In Today’s World: Trend, Issues and Management Seventh (7th). New York: Lippincott.

Kumar, Ranjit. 2005. Research Methodology. London: sage publication.

Lazarus, Richard S. 1984. Stress, Appraisal And Coping. New York: Springer Publishing Company.

Luthans, Fred. 2002. Organizational Behavior ninth edition. New York: McGraw-Hill.

Maddi, S. R. & Deborah, M. K. 2005. Resilience At Work: How to Suceed No Matter

What Life Throw At You. United State of America: Amacom.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: ghalia Indonesia.

Papalia Diane .E., Olds. 1998. Human Development. New York : McGraw-Hill International.

Santrock, John W. 2007. Life-Span Development. New York: McGraw-Hill.

(38)

80 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2012. (https://archive.org/stream/bodilychangesinp029647mbp#page/n19 /mode/2up). diakses 10 Oktober 2013

Anonim. 2010. Badan Pusat Statistik. (http://bps.go.id/download_file/Penduduk_ Indonesia_menurut_desa_SP2010.pdf). diakses 3 Oktober 2013

Anonim. 2012. Industri Rumah Sakit.(http://health.kompas.com/read/2012/07/20/ 14131214/Industri.Rumah.Sakit.Harus.Berbenah%20Diakses%2020%20Feb ruari%202013, diakses 5 Oktober 2013

Anonim. 2010. Ketersedian Tenaga Kerja Perawat.(http://hpeq.dikti.go.id/v2/images /Produk/Potret_Ketersediaan_Dan_Kebutuh an_Tenaga_Perawat.pdf),

diakses 5 Oktober 2013

Anonim.2012. Profil Kesehatan Kota Bandung. (http://www.depkes.go.id/downloads /profil/profil_kesehatan kota bandung.pdf), diakses 3 Oktober 2013

Anonim, 2010. Definition of Nurshing. (http://www.icn.ch/about-icn/icn-definition-of-nursing/), diakses 13 Juni 2014

Anonim. 2013. Sistem Kesehatan Nasional.(http://www.kebijakankesehatan indonesia.net/images/2013/11/PERPRES_No._72_Tahun_2012_ttg_Sistem_ Kesehatan_Nasional.pdf), diakses 12 Januari 2014

Referensi

Dokumen terkait

gereja, maka dengan demikian upaya gereja dalam menanggulangi konflik Porto-Haria.. selama ini bukan dengan kekerasan ( violence ) melainkan tanpa kekerasan (

Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dilihat dari Hukum Administrasi Negara, kebijakan pengendalian kendaraan bermotor merupakan suatu instrumen yang

Sehingga dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat self efficacy siswa akan. tinggi pula tingkat perencanan

Untuk kelompok usia <15 tahun terjadi peningkatan jumlah perokok, peningkatan tertinggi pada kelompok usia 10-14 tahun, Sumatra Barat merupakan provinsi tertinggi di yaitu

[r]

Hendaknya dapat menerapkan design analisis tersebut kedalam pengajaran analisis, apresiasi karya sastra berjenis prosa dan drama dengan menggunakan media film sebagai objek

Dinding penahan tanah adalah suatu bangunan yang dibangun untuk mencegah keruntuhan tanah yang curam atau lereng yang dibangun ditempat dimana kemantapannya tidak dapat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelarut terhadap hasil ekstraksi daun senduduk, kemudian hasil terbaik yang diperoleh berdasarkan anlisa kimia,