• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN STRATEGI REGULASI EMOSI PASCA PUTUS CINTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN STRATEGI REGULASI EMOSI PASCA PUTUS CINTA SKRIPSI"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN STRATEGI REGULASI EMOSI PASCA PUTUS CINTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh:

MIA AUDINA NIM 121301084

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)
(3)
(4)

Gambaran Strategi Regulasi Emosi Pasca Putus Cinta

Mia Audina dan Juliana I Saragih Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran strategi regulasi emosi yang muncul pasca putus cinta. Strategi regulasi emosi fokus pada kondisi, intensitas, durasi emosi, dan respon emosi seseorang. Strategi regulasi emosi dibutuhkan untuk mengubah emosi negatif menjadi emosi positif sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang muncul dari peristiwa pasca putus cinta tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus.

Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara dan observasi dengan jumlah responden penelitian sebanyak 3 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden I dan II memiliki persamaan yaitu melakukan tiga strategi regulsi emosi, tetapi perbedaannya adalah responden I tidak melakukan strategi regulasi emosi situation modification dan attention deployment, sedangkan responden II tidak melakukan situation modification dan response modulation. Berbeda dengan responden III yang melakukan kelima strategi regulasi emosi. Dari semua responden, responden III berhasil dalam menghasilkan emosi positif. Dari lima strategi regulasi emosi, ada satu strategi yang dilakukan oleh ketiga responden dan menghasilkan emosi positif yang cukup stabil dan berpengaruh pada usaha atau cara responden dalam meregulasi emosinya, yaitu cognitive change. Selain itu, ada dua hal yang justru cukup besar pengaruhnya pada semua responden dalam melakukan setiap strategi regulasi emosi yaitu, karakteristik sosial dari individu dan social support.

Kata kunci: strategi regulasi emosi, putus cinta

(5)

Description of Emotion Regulation Strategy Post Relationship Dissolution

Mia Audina dan Juliana I Saragih Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

This research aims to determine the description of emotional regulation strategy that emerged after the breakup. Emotional regulatory strategies focus on the state, intensity, duration of emotions, and emotional responses. An emotional regulatory strategy is needed to turn negative emotions into positive emotions, so as to reduce the negative impacts arising from such post-breaking events. This research uses qualitative approach with case study research type. Methods of data collection in this study using interviews and observations with 3 respondents. The result of the research shows that respondents I and II have similarities in doing three emotional regulatory strategies, but the difference is that respondent I doesn’t do emotional regulation situation situation modification and attention deployment, while respondent II doesn’t do situation modification and response modulation. Contrast with respondents III, who conducted the five emotional regulatory strategies. Of all respondents, respondent III succeeded in generating positive emotions. In five strategies of emotional regulation, there’s one strategy succesfull by the three respondents and generate positive emotions that are quite stable and affect for the way respondents in regulating emotions, namely is cognitive change. In addition, there’re two things that just big enough influence for all respondents in doing every emotional regulation strategy that is, social characteristics of individuals and social support.

Keywords: emotional regulation strategy, relationship dissolution

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas anugerah dan rahmatNya kepada peneliti selama proses penyusunan Skripsi ini, sehingga dapat berjalan dengan. Penyusunan Skripsi ini diajukan sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada banyak pihak yang telah berperan dan berpartisipasi sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini, antaralain:

1. Dekan Fakultas Psikologi USU, Bapak Prof. Zulkarnaen Ph,D., Psikolog.

2. Ibu Juliani I Saragih M.Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing Skripsi. Terima kasih kepada Ibu yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan pengarahan dalam penulisan Skripsi ini. Peneliti juga memohon maaf jika selama proses bimbingan peneliti memiliki banyak kesalahan baik kata dan perbuatan yang sejujurnya bukanlah hal yang disengaja.

3. Ibu Hasnida, Ph.D, Psikolog dan Rahma Fauzia S. M.Psi, Psikolog, selaku dosen penguji II dan III yang telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan pengarahan dalam penulisan skrips ini.

4. Ibu Josetta M. R. Tuapattinaja, M.Psi,Psikolog, selaku dosen pembimbing akademik yang membantu memberikan dukungan dalam bentuk moril kepada peneliti.

5. Seluruh dosen, staff dan pegawai Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan dukungan kepada peneliti selama proses perkuliahan.

(7)

6. Para responden penelitian yang telah bersedia meluangkan waktu dan membagikan pengalaman luar biasanya. Semoga Allah selalu memberikan nikmat sehat kepada kalian.

7. Kedua orangtua, (Ayah) Taslim dan (Ibu) Ernawati yang telah membesarkan peneliti dan menjadi sumber penyemangat bagi peneliti. Saudara sedarah Taufik Akbar S.E, Feblina Amd.Keb, dan Zulfikar, serta abang ipar Mathias Robianto S.T. Serta tak lupa pula keponakan tersayang Abdillah Rafif Syafi, yang selalu memberikan tingakh lucu nan menggemaskan dikala peneliti sedang penat dalam proses. Terimakasih atas segala kasih sayang, cinta dan dukungan secara moril dan material yang kalian berikan. Peneliti sangat bahagia dan bangga memiliki keluarga seperti kalian. Kalian adalah anugerah terindah dari Allah SWT untuk peneliti.

8. Para wanita yang sangat memberikan warna dalam hidup peneliti semenjak berkuliah di Fakultas Psikologi USU dengan julukan “No Friends No Laugh”

(Enyo, Dara, Mbak Uun, Byuti, Asmia, dan Iin). Tanpa kalian, peneliti tidak akan bisa bertahan di Kota perantauan yang jauh dari rumah dan keluarga. Terimakasih juga atas tangis, tawa, amarah, dan kesalahpahaman yang pernah terjadi antara kita, semoga hal tersebut dapat menjadikan kita pribadi yang lebih dewasa lagi.

Peneliti berharap hubungan ini tidak akan pernah putus sampai maut memisahkan.

9. Para lelaki yang menjuluki mereka sendiri dengan julukan “Rusa Jantan” yaitu, Bang Rojik, Bang Rajip, Bang Rocky, Bang Dika, Jimi, Baim, Ucup, Daniel, Bang Bagus, Bang Boby, Bang Riyan, Bang Surya, Bang Edwin, dan yang lain karena sangat banyak dan akan terlalu panjang jika disebutkan satu persatu. Tidak

(8)

bisa dipungkiri bahwa kehadiran kalian mengisi catatan kebahagiaan hidup peneliti dan menjadi salah satu hal yang akan dirindukan kelak saat peneliti jauh dari kalian semua.

10. Basketball squad yaitu Farouq, Daniel, Jimi, Baim, Rodo, Bang Endang, Dinda, Bela, Lia, Sari, Hera, Nurcek, Sheila, dan lainnya karena sangat banyak dan tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu karena akan sangat panjang. Terimakasih karena selalu memberikan semangat untuk bisa berlatih dan bermain walaupun peneliti tidak pernah bisa bermain sehebat kalian semua. Memang peneliti tidak menemukan adanya keunggulan dalam bermain basket, tetapi kalian semua yang bergabung dalam tim, baik itu alumni, senior, seangkatan, maupun junior, membuat saya bahagia dan nyaman hingga tidak bisa meninggalkan tim ini.

11. Serta pihak-pihak terkait yang tidak dapat peneliti sebutkan namanya satu-persatu.

Semoga bantuan dan kebaikan serta dukungan yang telah diberikan kepada peneliti menjadi amal sholeh dan mendapatkan ridho dari Allah SWT.

Peneliti sungguh menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari kata yang sempurna ataupun mendekati sempurna, karena kesempurnaan hanya milikNya. Akhir kata, peneliti mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu dan berharap Skripsi ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi berbagai pihak.

Medan, Mei 2018

Peneliti

(9)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 12

C. Tujuan Penelitian 12

D. Manfaat Penelitian 12

E. Sistematika Penulisan 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Masa Dewasa Awal 14

1. Definisi Dewasa Awal 14

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal 14

B. Regulasi Emosi

1. Definisi Regulasi Emosi 15

2. Strategi Regulasi Emosi 16

(10)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Regulasi Emosi 18 C. Hubungan Pacaran

1. Definisi Pacaran 19

2. Pengakhiran Hubungan Pacaran (Putus Cinta) 19

3. Reaksi Putus Cinta 20

D. Dinamika Gambaran Strategi Regulasi Emosi Pasca Putus Cinta 23

F. Paradigma Teoritis 26

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian 27

B. Teknik Pengambilan Sampel 27

C. Responden Penelitian 28

1. Karakteristik Responden Penelitian 28

2. Jumlah Responden Penelitian 28

D. Lokasi Penelitian 29

E. Metode Pengambilan Data 29

F. Alat Bantu Pengumpulan Data 30

G. Prosedur Penelitian 30

1. Tahap Persiapan Penelitian 30

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian 32

3. Tahap Pencatatan Data 33

H. Kreadibilitas Penelitian 34

I. Prosedur Analisa Data 34

1. Organisasi Data 34

(11)

2. Koding 35

3. Analisa Tematik 35

4. Tahapan Interpretasi/analisis 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 38

1. Responden I (D) 38

a. Hasil Observasi 38

1) Wawancara I 38

2) Wawancara II 41

b. Hasil Wawancara 43

1) Latar Belakang Hubungan Pacaran 43

2) Peristiwa Putus Cinta 46

3) Proses Regulasi Emosi 49

2. Responden II (A) 52

a. Hasil Observasi 52

1) Wawancara I 52

2) Wawancara II 54

3) Wawancara III 57

b. Hasil Wawancara 60

1) Latar Belakang Hubungan Pacaran 60

2) Peristiwa Putus Cinta 64

3) Proses Regulasi Emosi 65

3. Responden III (R) 52

(12)

c. Hasil Observasi 68

1) Wawancara I 68

2) Wawancara II 70

d. Hasil Wawancara 72

1) Latar Belakang Hubungan Pacaran 72

2) Peristiwa Putus Cinta 76

3) Proses Regulasi Emosi 81

B. Pembahasan 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 99

B. Saran 102

DAFTAR PUSTAKA xii LAMPIRAN

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel Pelaksanaan Penelitian Dalam Proses Wawancara 33 Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Penelitian 38 Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden I 52 Tabel 4.4 Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden II 68 Tabel 4.5 Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden III 84 Tabel 4.6 Hasil Analisis-Banding Antar Responden Untuk Gambaran Strategi Regulasi Emosi Pasca Putus Cinta 85

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Informed Consent Lampiran 2: Pedoman Wawancara

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa dewasa awal yang dimulai pada umur 18 sampai umur 40 tahun, merupakan masa di mana munculnya perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai. Anderson (dalam Mappiare, 1983) menyatakan bahwa dewasa awal merupakan masa kematangan fisik dan psikologis, dimana individu sudah mempunyai tujuan yang jelas, dapat mengendalikan emosi, memiliki sikap objektif, dan mempunyai penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru.

Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas utama perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak, memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.

Dari pernyataan beberapa tokoh Psikologi diatas, salah satu yang dapat diambil kesimpulannya adalah individu yang berada di masa dewasa awal sudah siap dan mempunyai kematangan emosi dalam menjalin sebuah hubungan intim dengan lawan jenis. Hubungan intim terbangun dari interaksi dua orang yang saling memberi serta menerima melalui proses yang dinamis. Hubungan intim merupakan suatu proses yang penuh dengan perubahan, seperti perubahan mood hingga kondisi kesehatan (Brehm, Miller, Perlman, 2002). Wisnuwardhani dan Mashoedi (2012) mengatakan bahwa hal ini juga di sebut dengan interpersonal relationship, yaitu hubungan antar pribadi yang terjadi diantara dua atau lebih

(16)

individu. Interpersonal relationship pada masa dewasa awal berkaitan dengan pemilihan seorang pasangan hidup (suami atau istri). Terkait dalam memilih pasangan hidup, hubungan interpersonal pada masa ini bersifat lebih serius, eksklusif, dan dapat dianggap sebagai tahap pranikah (Santrock, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Kanin, Davidson, dan Sheck (dalam Sears, David O., Freedman, Jonathan L., & Peplau, L. A., 1994) menunjukkan bahwa orang yang sedang jatuh cinta dan menjalin sebuah hubungan intim akan mengalami perasaan-perasaaan yang sifatnya psikologis dan diikuti pula oleh beberapa reaksi fisiologis.

Perubahan dan evolusi yang terjadi dalam hubungan intim dapat saja terjadi sampai pada berakhirnya hubungan tersebut. Dari sudut pandang ini, maka pemutusan suatu hubungan (relationship dissolution) merupakan hal yang normal terjadi dalam dinamika hubungan intim (Duck & Rollie, 2006). Dalam bahasa Indonesia sehari-hari, berakhirnya hubungan diberi label dengan “putus cinta”

atau sudah tidak mempunyai hubungan cinta lagi (KBBI).

Pemutusan hubungan intim ini menjadi topik bahasan yang penting dalam ilmu psikologi. Hal ini terlihat dari banyaknya penelitian mengenai pemutusan hubungan intim selama 10 tahun terakhir, misalnya mengenai proses dan dampak pemutusan hubungan intim pada keadaan emosi dan kepuasan menjalani hidup, kerentanan self-esteem, hingga gejala post-traumatic stress disorder (Le, Dove, Agnew, Korn, Mutso, 2010; Slotter, Gardner, Finkel, 2010).

Simpson (dalam Park, L. E., Sanchez, D. T., & Brynildsen, K. 2011) menyatakan bahwa bagi seorang dewasa awal yang seharusnya mereka mampu mengendalikan emosi, putus cinta akan dipandang sebagai suatu hal yang biasa,

(17)

sehingga mereka akan mampu menerima keputusan tersebut dengan lapang dada dan pikiran positif. Tapi faktanya dari fenomena-fenomena yang terjadi pada dewasa awal terkait dengan masalah putus cinta terlihat adanya ketidakmampuan mengendalikan emosi yang mengakibatkan munculnya perilaku-perilaku negatif bahkan sampai ada yang bunuh diri. Seorang mahasiswa bernama Efr (20tahun) ditemukan tewas di rumahnya di kawasan Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (27/7/2016), ia diduga gantung diri akibat putus cinta (dalam Tribun Timur ditulis oleh Surya Malang, 2016). Seperti yang terjadi pada kasus Bripda Ricky Ricardo juga, seorang anggota Kepolisian Resor Mamuju, meninggal karena bunuh diri pada hari Rabu tanggal 2 Desember 2015. Ia diduga kuat nekat bunuh diri karena hubungan asmaranya dengan seorang polisi wanita, Bripda F, kandas. Hubungan sejoli itu tidak direstui orang tua F lantaran perbedaan agama. Baru-baru ini di China, di ketahui ada seorang wanita pemilik akun Instagram @JojoTsai1012 membuat banyak pihak prihatin dengan kelakuannya. Wanita berumur 25 tahun asal China itu mem-posting beberapa foto proses demi proses sebelum dirinya mengakhiri nyawa dengan bunuh diri. Ia juga diduga kuat melakukan hal tersebut lantaran kisah cintanya yang putus dengan sang kekasih di tengah jalan. Awalnya foto-foto yang diunggah oleh

@JojoTsai1012 dianggap hanya sensasi untuk mencari perhatian saja. Dalam postingan menuju kematiannya, ia menuliskan kata-kata kekecewaan dan putus asa terhadap kekasihnya tersebut. Para followers-nya tak percaya jika yang dilakukan oleh @JojoTsai1012 ternyata benar-benar merupakan pesan yang ia sampaikan sebelum dirinya bunuh diri dengan melompat dari apartemennya (Iskandar, 2014).

(18)

Bahkan ada individu yang beragama Islam sampai melakukan ruqiyah untuk melepaskan emosi negatif nya yang muncul karena sudah terpuruk dengan masalah putus cinta dan merasakan kesedihan yang berlebihan (Nadhif, M.K., 2016).

Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada semester awal tahun 2011, setidaknya tercatat sebanyak dua puluh tiga pemuda Indonesia melakukan aksi bunuh diri, yang 91 % diantaranya ber usia 18- 25 tahun. Kasus terbanyak yakni 19 kasus, ditemui pada mereka yang memiliki permasalahan asmara (putus cinta), 8 kasus akibat persoalan keluarga, dan sisanya, 6 kasus disebabkan oleh persoalan sekolah (Pertiwi, 2011).

Pemutusan hubungan romantis atau putus cinta memiliki dampak dan reaksi yang beragam pada setiap individu, baik dalam segi emosi, perilaku, maupun kognitif. Penelitian memperlihatkan bahwa setelah putus cinta, seseorang merasakan emosi negatif seperti sedih dan kurang merasakan cinta (Sbarra &

Emery, 2005), marah, sakit, frustasi, kebencian, kesepian, depresi (Frazier &

Cook, 1993; Sprecher, 1994, dalam Park, Sanchez & Brynildsen, 2011), menurunnya kepuasan dalam menjalani hidup hingga gejala post-traumatic stress (Rhoades, Kamp, Atkins, Stanley, Markman, 2011).

Faktor-faktor perbedaan individu yang terkait dengan reaksi terhadap putus cinta antara lain; cara seseorang menggantungkan self-worth, attachment style, jenis kelamin (Field et al., 2004 Duck & Wood, 2006; Park & Sanchez, 2011), posisi dalam pemutusan hubungan yaitu pihak yang memutuskan atau yang diputuskan (Park & Sanchez, 2011), serta karakteristik hubungan sebelum pemutusan terjadi (Rhoades, Kamp, Atkins, Stanley, Markman, 2011).

(19)

Reivich & Shatte (2002) mengemukakan beberapa emosi yang biasa dialami individu engan berakhirnya suatu hubungan percintaan, yaitu kesedihan dan depresi, perasaan bersalah, marah, kecemasan, dan juga perasaan malu.

Emosi-emosi ini akan bertambah rumit apabila individu tersebut putus pacaran setelah melakukan hubungan seksual premarital atau seks pranikah, khususnya pada perempuan. Hal ini disebabkan karena pada masyarakat Indonesia, sama halnya dengan masyarakat budaya timur lainnya, berlaku double standard dalam memandang perilaku seksual sebelum menikah, dimana perempuan tidak diperbolehkan dan laki-laki diperbolehkan (Duvall & Miller, 1985). Virginity atau keperawanan seorang perempuan dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga dan seharusnya diberikan kepada suami sahnya kelak. Selanjutnya Taufik (2005) menyatakan bahwa pasangan yang telah melakukan hubungan seks pranikah akan menghadapi dilema ketika harus mengambil keputusan untuk kelangsungan hubungannya, dimana jika hubungan tersebut harus berakhir akan terjadi luka dan trauma yang cukup mendalam.

Wanita cenderung memiliki distress pasca putus yang lebih besar dibandingkan dengan pria. Studi terbaru yang dipublikasikan oleh Evolutionary Behavioral Sciences yaitu wanita lebih cepat mencari pasangan baru setelah patah hati dibanding lelaki. Namun, rasa sakit yang dirasakan wanita saat putus cinta terjadi lebih parah dari yang dialami pria. Para peneliti bertanya kepada 5.705 orang di 96 negara seberapa besar rasa sakit emosional dan fisik yang mereka alami setelah putus cinta dari skala 1 hingga 10 melalui survei online. Wanita dilaporkan mengalami sakit emosional yang lebih besar yaitu skala 6,84 dibanding pria yang hanya 6,58 serta sakit fisik 4,21 pada wanita dan 3,75 pada

(20)

pria. Perbedaan tersebut kesannya kecil namun ternyata sangat signifikan. Rasa sakit yang dirasakan wanita saat putus cinta lebih parah dari yang dialami pria karena wanita menginvestasikan lebih banyak pada sebuah hubungan dibanding pria, contohnya seperti wanita bisa hamil, pemaparan dari Craig Morris, pemimpin penelitian tersebut (Lintang, Bestari, 2015).

Sebuah penelitian yang dirilis oleh US Magazine dalam The Journal of Positive Psychology tahun 2007, menemukan bahwa butuh 11 minggu bagi seseorang untuk melihat sisi positif dari perpisahan. Setelah melihat sisi positif dari hal yang tak menyenangkan, tentu untuk bangkit dari keterpurukan dikarenakan emosi negatif tersebut akan lebih mudah dilakukan. Penemuan dari Monmouth University, New Jersey, yang diteliti oleh Gary Lewandowski dan Nicole Bizzoco juga menemukan fakta bahwa butuh 6 bulan untuk seseorang bisa Move On setelah patah hati. Dalam 11 minggu pertama, umumnya orang akan merasa lebih baik terhadap dirinya dan mulai membuat strategi untuk membenahi diri menjadi pribadi yang lebih baik. Gary dan Nicole mengundang 155 responden yang baru putus cinta selama 6 bulan terakhir dan menemukan, 71% responden mengaku sudah bisa Move On dari patah hati kurang lebih selama 6 bulan.

Penelitian juga menemukan, 3 bulan pasca patah hati adalah masa penyembuhan dan merupakan periode untuk menerima kenyataan yang ada didepan mata.

Menurut Gratz & Roemer (2004), individu yang menyadari dan dapat mengendalikan emosinya akan mudah untuk menerima dan memanfaatkan stimulus negatif pada dirinya, dalam kasus ini adalah terkait dengan emosi negatif yang muncul pasca putus cinta. Regulasi emosi merupakan cara individu untuk mengendalikan dan mengontrol emosi yang muncul pada dirinya.

(21)

Hal ini diperkuat dengan wawancara yang peneliti lakukan ke beberapa subjek dewasa awal yang mengalami putus cinta dan tidak dapat mengontrol emosi negatifnya dalam waktu yang lama. Mereka merasakan kesedihan, murung, patah hati, kehilangan minat dan kegembiraan, gangguan tidur, gangguan nafsu makan, merasa bersalah, sukar berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan, pandangan masa depan suram, dan pesimistis (komunikasi personal, 2016). Salah satu hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada salah satu subjek yang sulit untuk melupakan pasangannya ketika hubungan pacaran yang mereka lalui selama hampir 5 tahun diputuskan oleh satu pihak saja yang dikarenakan mereka sudah melakukan seks pranikah:

“sakit hatinya minta ampun mik, udah di pakek nya orang (melakukan hubungan seks pra nikah) habis tu di tinggalinnya gitu aja. Nyesal kali aku sama dia. Dia enak lah sama istrinya, aku nanti kalo dapat yang baru trus jadi suami aku kayak mana. Nggak ngerti lagi aku harus kayak mana.

Takut aku…”

Komunikasi Personal (6 April 2016)

Regulasi emosi merupakan hal yang penting bagi setiap individu, agar mampu mengendalikan emosinya, terkhusus di saat dewasa awal sedang menghadapi masalah putus cinta. Gross (2007) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah suatu cara untuk membentuk salah satu atau lebih emosi dan belajar untuk mengungkapkan emosi tersebut. Gross juga menambahkan, regulasi emosi terkait dengan cara emosi dapat dikontrol oleh individu dengan menggunakan berbagai macam strategi.

Menurut Gross (2007), strategi regulasi emosi didasarkan dari proses emosi atau the modal model of emotion yang terdiri dari empat tahap. Tahap pertama situation yaitu stimulus yang berhubungan dengan situasi yang muncul.

(22)

Tahap kedua attention yaitu perhatian terhadap situasi. Tahap ketiga appraisal yaitu penilaian individu terhadap situasi. Terakhir tahap response yaitu munculnya reaksi nyata terhadap situasi. Pada proses situation dihasilkan 2 strategi yaitu situation selection dan modification, pada proses kedua menghasilkan strategi attentional deployment. Selanjutnya proses appraisal menghasilkan strategi cognitive change dan proses terakhir, response menghasilkan strategi regulasi emosi response modulation.

Strategi situation selection melibatkan tindakan untuk mendapatkan situasi yang diinginkan dan menyebabkan munculnya emosi. Pada strategi ini, individu dihadapkan untuk memilih situasi yang dapat membuat dirinya merasa lebih baik yaitu dengan cara menghindari atau mendekati situasi berdasarkan dampak emosional yang muncul (Gross, 2007). Hal ini sejalan dengan penuturan D (R-1) yang menjalani proses strategi regulasi emosi pasca putus cinta:

“Trus pas putus itu kebetulan lagi pkl. Jadi kan yang namanya pkl tiap hari jumpa kawan, kemana-mana sama terus sama kawan. Ya dari situlah yang udah nggak kepikiran lagi.”

Strategi kedua adalah situation modification. Strategi ini, individu melakukan usaha untuk mengubah situasi secara langsung dengan memodifikasi lingkungan eksternal dan fisik yang melibatkan munculnya emosi negatif sehingga dapat teralihkan (Gross, 2007). Hal ini sejalan dengan pengakuan R (R- 3):

“selalu ni, kalau lagi muncul tu tiba-tiba (emosi negatif), kepikiran tiba- tiba, aku pasti langsung telfon sepupuku itu.”

Strategi attentional deployment mengacu cara individu mengarahkan

(23)

2007). Strategi ini memiliki dua bentuk yaitu distraksi (mengalihkan perhatian dari situasi) dan konsentrasi (fokus pada situasi). Individu yang mengalami putus cinta dan melakukan strategi regulasi emosi ada yang melakukan distraksi dan ada pula yang melakukan konsentrasi. Hal ini sejalan dengan pengakuan A (R-2) yang melakukan distraksi dan konsentrasi:

“Yaa nggak ngapa-ngapain. Mau ngapain lagi coba yakan? Paling aku cuma cari kegiatan, kalau nggak nonton film, nonton tv, atau main hp, atau tidur. Selalu nangis kalau udah terpikir sama dia.”

“Yaa nggak ngelakuin apa-apa. Biasanya kalo udah nangis ya aku biarin nangis sampai capek, toh juga berhenti sendiri kan. Bahkan aku kadang suka mancing dengan denger lagu-lagu sedih gitu.”

Berbeda dengan strategi sebelumnya, strategi keempat yaitu cognitive change meliputi tahap penilaian terhadap suatu situasi dengan mengubah cara berpikir mengenai situasi yang dialami. Penilaian ini berpengaruh terhadap proses kognitif individu. Menurut Gross (2007), pada individu penilaian sangat dipengaruhi oleh gambaran emosi yang sedang berkembang di usia mereka, penyebab dan dampak dari emosi tersebut. Pada individu yang berada pada dewasa awal akan memberikan penilaian bahwa kejadian tersebut memiliki penyebab dan akibat bagi mereka. Hal ini disampaikan oleh R (R-2):

“aku tau ini terjadi pasti karna Allah sayang sama aku. Kalau nggak ada kejadian itu, mungkin aku nggak seperti yang sekarang ini, jadi aku benar-benar bersyukur.”

Strategi terakhir yaitu response modulation. Strategi response modulation melibatkan perilaku ekspresif. Pada strategi ini, emosi yang muncul dalam suatu situasi dapat diregulasi dalam bentuk perilaku yang lebih nyata dan ekspresif.

Misalnya yang disampaikan oleh D (R-1) terhadap peristiwa yang dialaminya:

(24)

“Sebenarnya malu kalau diingat, kalau diceritain, kalau kawan udah mulai ungkit-ungkit lagi. Malu kan sebenarnya, kenapa bisa gitu aku juga nggak tau. Ketawa ajalah aku yakan. Udah gak sakit hati lagi soalnya.

Udah lebih ke malu”

Menurut Gross (2007), proses emosi berlangsung secara dinamis, sehingga proses emosi terjadi dalam urutan tertentu dan berulang dari sepanjang waktu berjalannya proses emosi. Gross juga menambahkan setiap individu melakukan strategi regulasi emosi yang berbeda ketika individu memiliki dampak utama pada proses emosi yang berlangsung (Gross, 2007). Menurut Sheppes (dalam Gross, 2014), terdapat tiga faktor yang mempengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi. Faktor pertama yaitu intensitas emosional yang berkaitan dengan tingkatan individu berada dalam situasi dan emosi yang dirasakannya. Faktor kedua yaitu kompleksitas kognitif yang berkaitan dengan proses kognitif individu dalam menghadapi situasi. Faktor terakhir adalah tujuan motivasi. Tujuan motivasi merujuk pada evaluasi individu terhadap stimulus yang memunculkan emosi.

Menurut Gross (2002), strategi regulasi emosi dapat digunakan secara fleksibel, hal ini tergantung pada keuntungan atau manfaat dari menggunakan strategi regulasi emosi yang diberikan dalam situasi tertentu. Tujuan dari regulasi emosi sendiri bersifat spesifik tergantung keadaan yang dialami (Gross, 1999).

Menurut Calkins (2004), hal yang terpenting dalam regulasi emosi adalah proses mengarahkan tujuan yaitu fokus pada kondisi, intensitas, ekspresi atau durasi dari emosi tersebut.

Beranjak dari fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti dewasa awal yang mengalami putus cinta. Berdasarkan uraian diatas, dampak negatif dari dewasa awal yang tidak mampu meregulasi emosinya ada kecenderungan untuk

(25)

bertindak negatif dan hal tersebut membuat mereka untuk melakukan regulasi emosi. Berdasarkan uraian diatas juga telah dijelaskan bahwa setiap individu memiliki perbedaan dalam melakukan regulasi emosi ketika mereka mengalami peristiwa yang buruk dan menekan dirinya. Terkhususnya pada individu yang berada pada masa dewasa awal, dimana pada usia ini mereka seharusnya sudah bisa mengontrol emosi mereka. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran strategi regulasi emosi serta faktor-faktor yang berpengaruh.

Penelitian ini bertujuan untuk memahami gambaran strategi regulasi emosi serta faktor-faktor yang berpengaruh. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu psikolog untuk membuat rancangan treatment bagi klien dengan kasus putus cinta, serta membantu keluarga memahami proses yang dialami oleh anak atau saudara yang mengalami putus cinta, sehingga bisa memberikan dukungan sosial yang tepat.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tujuan menggali informasi secara mendalam mengenai gambaran strategi regulasi emosi yang dilakukan oleh individu yang berada pada masa dewasa awal pasca putus cinta. Peristiwa putus cinta merupakan masalah yang sensitif untuk dibahas dan juga terdapat karakteristik-karakteristik yang harus dimiliki oleh subjek penelitian sehingga penelitian ini tidak dapat dilakukan dengan pemberian kuisioner secara kuantitatif.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui, bagaimana gambaran strategi regulasi emosi pasca putus cinta?

(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan memahami gambaran strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat teoritis berupa:

- Sebagai masukan dan sumber informasi bagi ilmu psikologi terutama di bagian klinis mengenai strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

- Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan berharga bagi peneliti selanjutnya, dan sebagai data tambahan untuk memperkaya pengetahuan khususnya mengenai gambaran strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

- Penelitian ini diharapkan dapat membantu psikolog untuk membuat rancangan treatment bagi klien dengan kasus putus cinta.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis berupa:

- Untuk mengidentifikasi strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

- Memberikan pandangan mengenai strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

- Untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam meregulasi emosinya pasca putus cinta, terkhusus pada individu yang berada pada usia dewasa awal.

- Dapat membantu keluarga memahami proses yang dialami oleh anak atau saudara yang mengalami putus cinta, sehingga bisa memberikan dukungan sosial yang tepat.

(27)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran regulasi emosi pasca putus cinta yang akan dijabarkan pada bab-bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisikan latar belakang mengenai pentingnya strategi regulasi emosi pasca putus cinta. Di bab ini, peneliti juga menuliskan rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian secara teoritis maupun praktis yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat khususnya responden dalam penelitian ini, serta sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tinjauan teoritis variabel-variabel penelitian, yaitu strategi regulasi emosi, putus cinta, hingga dinamika regulasi emosi pasca putus cinta.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisikan tentang pendekatan, jumlah dan kriteria responden, metode yang digunakan untuk pengumpulan data, alat bantu yang digunakan dalam proses pengumpulan data, dan prosedur penelitian yang akan dijalankan.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Masa Dewasa Awal 1) Definisi Dewasa Awal

Istilah adult atau dewasa berasal dari kata kerja latin yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Oleh karena itu orang dewasa adalah seseorang yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukannya di dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Elizabeth Hurlock, Developmental Psychology, 1991). Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Hurlock (1986) mengatakan bahwa dewasa awal dimulai pada usia 18 tahun sampai kira-kira usia 40 tahun. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa awal ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik secara fisik, transisi secara intelektual serta transisi peran sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai menjalin hubungansecara intim dengan lawan jemisya.

2) Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Optimalisasi perkembangan orang dewasa awal mengacu pada tugas-tugas perkembangan dewasa awal menurut R.J. Havighurst, 1953 (dalam Hurlock, 1999), mengemukakan rumusan tugas-tugas perkembangan masa dewasa awal sebagai berikut:

a. Memilih teman (sebagai calon istri atau suami) b. Belajar hidup bersama dengan suami/istri

(29)

c. Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga d. Mengelola rumah tangga

e. Mulai bekerja dalam suatu jabatan

f. Mulai bertanggung jawab sebagai warga negara B. Regulasi Emosi

1. Definisi Regulasi Emosi

Regulasi emosi ialah cara yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif (Gross, 2007).

Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.

Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi, dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

(30)

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku, dan nada suara).

2. Strategi Regulasi Emosi

Menurut Gross (2014), terdapat 5 strategi regulasi emosi yang disebut dengan process model of emotion regulation. Adapun strategi regulasi emosi tersebut adalah:

a. Situation selection

Situation selection merupakan tindakan yang menentukan individu untuk mendapatkan situasi yang diharapkan, sehingga menyebabkan emosi yang di harapkan baik itu menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Strategi ini terkait dengan tindakan mendekati/menghindari orang lain (hubungan interpersonal) atau situasi berdasarkan dampak emosional yang muncul. Contohnya menghindar dari kemarahan orang lain, mencari tempat untuk menangis, atau memilih nonton dengan teman daripada belajar pada malam sebelum ujian untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan.

b. Situation modification

Situation modification mengacu pada usaha untuk mengubah situasi secara langsung sehingga dapat mengubah dampak emosional atau menjadi teralihkan.

Situation modificaton berhubungan dengan proses modifikasi lingkungan eksternal dan fisik. Contohnya seseorang yang mengatakan kepada temannya

(31)

bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang dialaminya agar tidak bertambah sedih ketika temannya sedang membahas kegagalan yang dialaminya.

c. Attention deployment

Attentional deployment mengarahkan perhatian dalam situasi tertentu untuk mempengaruhi dan mengatur emosi yang muncul. Salah satu bentuk umum dari attentional deployment adalah distraksi dan konsentrasi. Distraksi yaitu cara dengan memfokuskan perhatian pada aspek-aspek lain dari situasi secara bersamaan. Contohnya individu mengalihkan pada ingatan yang menyenangkan ketika menghadapi emosi yang negatif. Berbeda dengan distraksi, konsentrasi yaitu menarik perhatian pada aspek-aspek yang berhubungan dengan situasi.

Contohnya individu memfokuskan atau melibatkan ingatannya mengenai suatu situasi yang memunculkan emosi.

d. Cognitive change

Cognitive change merupakan cara individu menilai situasi tertentu sehingga dapat mengubah makna emosional, baik itu dengan mengubah cara berpikir mengenai situasi atau kemampuan seseorang untuk mengelola atau mengatur tuntutan. Salah satu bentuk sangat baik yang dipelajari dari cognitive change adalah reappraisal, bentuk cognitive change sering digunakan untuk mengurangi emosi negatif tetapi dapat juga untuk meningkatkan atau menurunkan emosi positif dan negatif. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu tantangan daripada suatu ancaman.

e. Response Modulation

Response modulation terjadi diakhir proses emosi yaitu setelah kecenderungan respon dimulai atau sudah terjadi dan mempengaruhi secara

(32)

langsung experiential, behavioral, atau komponen physiological respon emosi.

Salah satu contoh dari response modulation adalah expressive suppression, yaitu individu mencoba untuk mencegah secara terus-menerus perilaku emotion- expressive negatif atau positif.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Regulasi Emosi

Menurut Sheppes (dalam Gross, 2014), terdapat tiga faktor penentu utama yang mempengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi, yaitu;

a) Intensitas emosional merupakan dimensi utama variasi di konteks emosional.

Pada situasi dengan intensi rendah dan emosi yang negatif, individu akan lebih memilih untuk melakukan penilaian kembali. Sedangkan individu dalam situasi intensitas tinggi dengan emosi negatif cenderung memilih untuk memblokir informasi emosional atau dengan menghindari situasi yang menimbulkan emosi sebelum mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi situasi.

b) Kompleksitas kognitif dapat menghasilkan sebuah strategi regulasi emosi. Hal ini dapat dilihat dengan melibatkan proses kognitif yang berurutan yaitu generasi, implementasi dan pemeliharaan. Generasi melibatan untuk menemukan opsi pengaturan yang memadai sehingga dapat menggantikan pegolahan infomasi emosional. Implementasi melibatkan untuk mengaktifkan strategi regulasi emosi dan pemeliharaan memegang peran dalam mempertahankan regulasi emosi selama yang diperlukan

c) Tujuan motivasi yaitu mengevaluasi stimulus emosional akan ditemui dalam sekali atau beberapa kali. Stimulus emosional yang dihadapi beberapa kali dapat lebih baik dalam melakukan regulasi emosi.

(33)

C. Hubungan Pacaran 1) Definisi Pacaran

Terdapat beberapa istilah mengenai pacaran yang digunakan oleh beberapa peneliti yaitu steady dating (Duvall & Miller, 1985) atau courtship (Bird &

Melville, 1994). Meskipun terdapat perbedaan istilah, Bird & Melville (1994) mendefinisikan hubungan pacaran yang terlepas dari istilah-istilah yang ada, yaitu

‟...single women and men go trough a formal process which they choose a marital partner”. Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa hubungan pacaran adalah suatu proses formal yang dilalui seorang wanita dan laki-laki lajang, dalam rangka memilih pasangan hidupnya. Bird dan Melville (1994) menyatakan bahwa hubungan pacaran adalah suatu proses formal yang dilalui oleh seorang pria dan wanita dalam rangka memilih pasangan hidup.

2) Pengakhiran Hubungan Pacaran (Putus Cinta)

Tidak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dalam hubungan pacaran.

Setiap pasangan memiliki karakteristik masing-masing yang tidak selamanya sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini kemudian sering menimbulkan masalah dalam hubungan pacaran (Baron & Byrne, 1997). Disamping itu, Rusbult &

Zembrodt (dalam Baron & Byrne, 1997) menekankan bahwa orang-orang memberi respon tertentu saat menjalin hubungan yang tidak bahagia, diantaranya adalah dengan mengakhiri hubungan. Berakhirnya suatu hubungan intim seperti hubungan pacaran, merupakan suatu hal yang menyakitkan. Ketika pasangan menghadapi kegagalan dalam menjalin hubungan pacaran menurut Brehm (1992) hal ini akan menimbulkan distress dan reaksi emosi berupa kesedihan yang mendalam.

(34)

3) Reaksi Putus Cinta

Seseorang yang masih mencintai pasangannya dan kemudian mengalami putus cinta umumnya menampilkan reaksi kehilangan terutama diawal-awal putus cinta. Berikut adalah gambaran reaksi putus cinta dari tinjauan psikologi mengacu pada teori yang diajukan oleh Shontz (dalam Ogden, 1996).

a. Shock

Shock ini menggambarkan kondisi kaget atau merasa tidak menduga.

Beberapa karakteristik yang ditampilkan dalam bentuk shock biasanya adalah reaksi-reaksi otomatis dalam tubuh misalnya tiba-tiba kepala pusing, menangis, tenggorokan terasa kering, atau yang sering dialami adalah perasaan melayang yang tidak tergambarkan. Tinggi rendahnya shock yang mungkin dialami oleh individu bisa berbeda-beda dan tergantung pada kesiapan individu itu sendiri. Jika dalam hubungan romantis yang dijalaninya ia telah mendapatkan tanda-tanda bahwa ada aspek hubungan romantis yang telah berkurang tingkatnya, telah sering terjadi pertengkaran, ada tanda-tanda pasangan tidak lagi memberikan perhatian yang dibutuhkan, apalagi sudah ada kata-kata yang sempat keluar bagaimana kalau hubungan diakhiri, maka saat menerima kenyataan putus hubungan dengan pasangan meskipun shock ia telah mengerti apa dasarnya atau apa penyebabnya.

Berbeda dengan individu yang merasa bahwa hubungan romantis yang dijalaninya biasa-biasa saja tidak ada masalah berarti tiba-tiba berakhir. Tingkat shock kemungkinan besar menjadi tinggi bila dibandingkan ia telah mengetahui sebelumnya bahwa di hubungan romantis yang dijalani telah terdapat masalah yang memungkinkan untuk berakhir.

(35)

Jadi tidak mengherankan ketika kita mengetahui ataupun mendengarkan berita ketika ada orang yang putus cinta bisa menampilan bentuk-bentuk perilaku menangis dengan keras, diam tidak bisa bereaksi apa-apa, kepala terasa kosong tidak bisa berpikir atau gelap mata dengan memecah barang-barang yang ada di sekitarnya ataupun seperti orang yang linglung. Kondisi ini disebabkan karena individu mengalami shock.

b. Encounter reaction

Pada fase ini dicirikan dengan pikiran kacau, perasaan kehilangan, tidak percaya, sedih, merasa tidak berdaya, dan merasa diri tidak berguna. Reaksi ini merupakan bentuk ketidak inginan kehilangan sesuatu yang dimiliki, namun akhirnya mengalami kehilangan. Kondisi encounter reaction bisa terjadi pada pihak yang memutuskan hubungan ataupun pada pihak yang diputuskan, namun secara umum kondisi ini lebih sering dialami oleh individu yang diputuskan hubungannya oleh pasangan. Perasaan bersalah lebih menguasai dirinya sehingga membuat simpulan bahwa dirinya adalah pihak yang bersalah dan menjadi penyebab putusnya hubungan. Pada fase ini individu dapat mengalami yang disebut kondisi self blame, yaitu kondisi menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab putusnya hubungan disertai dengan tingkat menyalahkan diri sendiri secara berlebihan atau tidak pada proporsinya. Berdasarkan kajian adversity quotient (AQ) individu yang terlalu merasa bahwa dirinya adalah penyebab kesalahan dan harus bertanggungjawab sepenuhnya (origin & ownerhip) menyebabkan kemampuan untuk menghadapi masalah atau kesulitan menjadi berkurang atau kurang baik. Kajian adversity quotient memberikan gambaran bahwa individu yang memiliki AQ yang tinggi seharusnya memiliki origin dan

(36)

ownership yang sewajarnya. Artinya dalam menghadapi suatu masalah atau kesulitan termasuk putus cinta, individu dapat menyadari bahwa ia juga berperan dalam putus cinta tersebut dan bertanggungjawab terhadap masalah yang dihadapi pada proporsi yang wajar.

c. Retreat

Tahapan ini dicirikan dengan menolak kenyataan yang telah terjadi.

Individu yang mengalami putus cinta biasanya akan menolak bahwa telah mengalami putus cinta meskipun pada kenyataannya telah mengalami putus cinta. Reaksi penolakan telah mengalami putus cinta adalah bentuk pertahanan diri (mekanisme pertahanan) untuk melindungi diri individu dari perasaan yang tidak nyaman. Putus cinta adalah kondisi tidak nyaman ketika pada dasarnya individu masih menyayangi pasangannya dan tidak ingin hubungan romantic yang telah dijalani berakhir. Karena ia tidak mampu mempertahankan hubungan romantis biasanya ia akan sedih dan kecewa.

Untuk menghibur diri maka individu biasanya akan menyatakan bahwa dirinya tidak merasa sedih, untung putus cinta ia bisa melakukan banyak hal lain yang lebih berguna, ia merasa bahwa selama ini hubungan yang telah dijalani tidak bermanfaat. Intinya individu yang mengalami putus cinta umumnya menyatakan penolakan bahwa ia mengalami kekecewaan akibat putus cinta untuk melindungi diri dari ketidaknyamanan yang muncul dalam diri sendiri.

D. Dinamika Gambaran Strategi Regulasi Emosi Pasca Putus Cinta

Dari pernyataan beberapa tokoh Psikologi terkait dengan tugas utama perkembangan dewasa awal, salah satu yang dapat diambil kesimpulannya adalah

(37)

individu yang berada di masa dewasa awal sudah siap dan mempunyai kematangan emosi dalam menjalin sebuah hubungan intim dengan lawan jenis.

Hubungan intim terbangun dari interaksi dua orang yang saling memberi serta menerima melalui proses yang dinamis. Hubungan intim merupakan suatu proses yang penuh dengan perubahan, seperti perubahan mood hingga kondisi kesehatan (Brehm, Miller, Perlman, 2002). Wisnuwardhani dan Mashoedi (2012) mengatakan bahwa hal ini juga di sebut dengan interpersonal relationship, yaitu hubungan antar pribadi yang terjadi diantara dua atau lebih individu. Interpersonal relationship pada masa dewasa awal berkaitan dengan pemilihan seorang pasangan hidup (suami atau istri). Terkait dalam memilih pasangan hidup, interpersonal relationship pada masa ini bersifat lebih serius, eksklusif, dan dapat dianggap sebagai tahap pranikah (Santrock, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Kanin, Davidson, dan Sheck (dalam Sears dkk, 1994) menunjukkan bahwa orang yang sedang jatuh cinta dan menjalin sebuah hubungan intim akan mengalami perasaan-perasaaan yang sifatnya psikologis dan diikuti pula oleh beberapa reaksi fisiologis.

Perubahan dan evolusi yang terjadi dalam hubungan intim dapat saja terjadi sampai pada berakhirnya hubungan tersebut. Dari sudut pandang ini, maka pemutusan suatu hubungan (relationship dissolution) merupakan hal yang normal terjadi dalam dinamika hubungan intim (Duck & Rollie, 2006). Dalam bahasa Indonesia sehari-hari, berakhirnya hubungan diberi label dengan “putus cinta”

atau sudah tidak mempunyai hubungan cinta lagi (KBBI).

Reivich & Shatte (2002) mengemukakan beberapa emosi yang biasa dialami individu dengan berakhirnya suatu hubungan percintaan, yaitu kesedihan

(38)

dan depresi, perasaan bersalah, marah, kecemasan, dan juga perasaan malu.

Emosi-emosi ini akan bertambah rumit apabila individu tersebut putus pacaran setelah melakukan hubungan seksual premarital atau seks pranikah, khususnya pada perempuan. Wanita cenderung memiliki distress pasca putus yang lebih besar dibandingkan dengan pria.

Menurut Gratz & Roemer (2004), individu yang menyadari dan dapat mengendalikan emosinya akan mudah untuk menerima dan memanfaatkan stimulus negatif pada dirinya, dalam kasus ini adalah terkait dengan emosi negatif yang muncul pasca putus cinta. Regulasi emosi merupakan cara individu untuk mengendalikan dan mengontrol emosi yang muncul pada dirinya. Regulasi emosi merupakan hal yang penting bagi setiap individu, agar mampu mengendalikan emosinya, terkhusus di saat dewasa awal sedang menghadapi masalah putus cinta.

Gross (2007) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah suatu cara untuk membentuk salah satu atau lebih emosi dan belajar untuk mengungkapkan emosi tersebut. Gross juga menambahkan, regulasi emosi terkait dengan cara emosi dapat dikontrol oleh individu dengan menggunakan berbagai macam strategi.

Terdapat lima strategi regulasi yang dapat dilakukan, yaitu situation selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change dan response modulation. Kelima strategi regulasi tersebut didasarkan dari proses emosi yaitu proses situation-attention-appraisal-response. Strategi situation selection dihasilkan dari proses situation. Strategi situation selection memiliki manfaat dalam kurun waktu yang singkat, hal ini dikarenakan individu mencoba untuk menghindari situasi. Strategi situation modification juga dihasilkan dari proses emosi pertama yaitu situation. Situation modification dilakukan hanya pada

(39)

lingkungan eksternal dan lingkungan fisik. Strategi attentional deployment dihasilkan dari proses emosi tahap kedua yaitu attention. Strategi attentional deployment memiliki berbagai bentuk yaitu menarik diri secara fisik, pengalihan secra internal, dan pengalihan respon. Cognitive change merupakan strategi yang dihasilkan pada tahap appraisal pada proses emosi. Strategi cognitive change digunakan untuk pengalaman atau peristiwa internal, misalnya physiological arousal yang dialami individu terhadap suatu situasi tertentu. Strategi terakhir yang dihasilkan dari proses emosi pada tahap response adalah strategi response modulation. Dalam strategi ini pada umunya, individu dapat melakukan regulasi emosi, jika individu dapat menemukan cara untuk mengekspresikan emosi yang muncul dalam cara yang lebih adaptif daripada maladaptif (Gross, 2007).

Menelaah lebih lanjut, proses emosi berlangsung secara dinamis, sehingga proses emosi dapat terjadi berulang dan berlangsung dalam waktu yang panjang.

Oleh karena itu, strategi regulasi emosi dapat terjadi secara berulang dan dinamis.

Setiap individu dapat melakukan lebih dari satu atau tidak melakukan strategi regulasi emosi dalam suatu kondisi dan situasi tertentu. Hal ini tergantung pada situasi yang sedang dihadapi individu (Gross, 2007).

Selanjutnya Sheppes (dalam Gross, 2014) menambahkan, terdapat tiga faktor penentu yang mempengaruhi individu memilih strategi regulasi emosi yaitu intensitas emosional, kompleksitas kognitif dan tujuan motivasi. Intensitas emosional adalah dimensi dalam konteks emosional yang berhubungan dengan intensitas situasi dan level dari emosi yang muncul. Kompleksitas kognitif yaitu berkaitan dengan proses kognitif remaja dalam menghadapi suatu situasi dan

(40)

kemunculan emosinya. Selanjutnya, tujuan motivasi berkaitan dengan dorongan dan pengalaman individu terhadap situasi yang dialaminya.

E. Paradigma Teoritis

Putus Cinta

Emosi negatif - Marah

- Takut - Cemas - Sedih - Jijik

- Rasa bersalah - dsb

Regulasi Emosi Strategi Regulasi Emosi:

- Situation Selection - Situation Modification - Attentional Deployment - Cognitive Change - Response Modulation

Gambaran Strategi Regulasi Emosi Pasca Putus Cinta Berdampak pada emosi

Emosi positif - Bahagia - gembira - puas - bangga - lega - dsb

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Fokus penelitian ini adalah melihat gambaran strategi regulasi emosi pasca putus cinta. Menelaah lebih lanjut, strategi regulasi emosi setiap individu memiliki perbedaan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terjadi pada individu. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus intrinsik. Penelitian studi kasus intrinsik dilakukan peneliti bertujuan untuk memahami kasus secara lebih utuh, tanpa harus menghasilkan konsep atau teori upaya untuk menggeneralisasi (Poerwandari, 2007). Putus cinta merupakan fenomena yang umum terjadi, akan tetapi menjadi khusus karena terdapat suatu konteks yang dibatasi dalam penelitian ini yaitu bagaimana gambaran strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

Menurut Poerwandari (2007), penelitian kualitatif diharapkan dapat memperoleh suatu pemahaman yang menyeluruh mengenai fenomena yang diteliti sehingga dapat melihat permasalahan lebih mendalam. Penelitian kualitatif digunakan karena regulasi emosi merupakan suatu hal yang bersifat subjektif pada diri individu sehingga diperlukan suatu pendekatan yang dapat memahami dan menggali secara mendalam mengenai strategi regulasi emosi pasca putus cinta pada individu khususnya individu yang berada pada masa dewasa awal.

B. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel berdasarkan teori, atau berdasarkan konstruk operasional

(42)

(theory-based operational construct sampling). Subjek penelitian ini dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori, atau konstruk operasional sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik ini dilakukan agar responden benar-benar mewakili fenomena yang dipelajari, dimana tujuan dari penelitian ini adalah memahami gambaran strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

C. Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik yang digunakan untuk memilih responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Berada pada usia dewasa awal, yaitu rentang 20-40 tahun.

Dalam pernyataan Hurlock (1986) yang menyatakan bahwa masa dewasa awal yang dimulai pada umur 20 sampai umur 40 tahun merupakan masa kematangan fisik dan psikologis, dimana individu sudah mempunyai tujuan yang jelas, dapat mengendalikan emosi, memiliki sikap objektif, dan mempunyai penyesuaian yang realistis terhadap situasi-situasi baru.

b. Mengalami putus cinta pada periode lebih dari 11 minggu atau 6 bulan.

Sebuah penelitian yang dirilis oleh US Magazine dalam The Journal of Positive Psychology, ditemukan bahwa butuh 11 minggu bagi seseorang untuk melihat sisi positif dari perpisahan.

2. Jumlah Responden Penelitian

Pada penelitian kualitatif, sampel tidak diarahkan pada jumlah yang besar, tidak ditentukan secara baku sejak awal tetapi dapat berubah sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian (Poerwandari, 2007).

Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang. Hal ini dikarenakan

(43)

peneliti menganggap 3 orang tersebut telah mewakili penelitian untuk mendalami dan memahami fenomena yang akan diteliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di kota Medan, Sumatera Utara. Kota Medan dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan tempat terdekat dan dapat dijangkau oleh peneliti. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara di rumah responden dan tempat yang diingikan oleh responden penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif bersifat lebih terbuka dan tidak kaku. Metode dalam pengambilan data penelitian kualitatif yang digunakan juga beragam. Hal ini disesuaikan dengan masalah tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti (Poerwandari, 2007). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara yang dilakukan peneliti untuk memperoleh pengetahuan mengenai makna-makna subjektif yang dipahami subjek berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut (Poerwandari, 2007). Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman umum yang didasarkan dari teori yaitu regulasi emosi dari James Gross. Jenis pertanyaan yang digunakan dalam wawancara adalah open ended question, yaitu pertanyaan yang memungkinkan subjek memberikan jawaban yang luas dan berbicara lebih banyak mengenai topik tanpa diarahkan untuk memberikan jawaban yang diinginkan. Selama proses wawancara, peneliti juga melakukan observasi pada responden. Tujuan dari observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang

(44)

berlangsung, individu-individu yang terlibat dan makna kejadian dilihat dari perspektif individu yang terlibat dalam suatu peristiwa yang diamati.

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Hasil wawancara merupakan kunci untuk mengolah data dalam penelitian kualitatif. Dalam mempermudah dalam mengumpul data, maka peneliti membutuhkan alat bantu yang dapat memadai dan membantu peneliti. Peneliti menggunakan alat bantu perekam suara (tape recorder), pedoman wawancara, dan pedoman observasi. Peneliti dilengkapi dengan (tape recorder) digunakan untuk merekam seluruh hasil wawancara (Poerwandari, 2007). Penggunaan perekam suara harus meminta persetujuan dari responden sesuai dengan informend consent yang pedoman wawancara ketika proses wawancara berlangsung. Pedoman wawancara digunakan untuk membantu mengingatkan peneliti mengenai aspek- aspek yang akan dibahas. Pedoman wawancara juga menjadi daftar pengecekan (checklist) mengenai aspek-aspek yang relevan yang telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2007).

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan beberapa hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian, yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan data.

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan strategi regulasi emosi dan putus cinta, baik dari buku, jurnal, dan artikel-artikel. Kemudian, peneliti merumuskan kerangka berpikir sesuai

(45)

dengan fenomena yang telah diperoleh serta membuat rumusan masalah yang ingin diteliti.

b. Mempersiapkan acuan teoritis.

Peneliti mencari dan mempersiapkan acuan teoritis yang akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian

c. Proses penulisan.

Setelah membuat kerangka berfikir, proses penulisan dilanjutkan dengan penulisan latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, rumusan masalah, sistematika penulisan, acuan teoritis dan metode penelitian.

d. Menyusun pedoman wawancara.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori yang telah diperoleh dan digunakan untuk mengarahkan peneliti dalam wawancara serta membuat pertanyaan yang sesuai dengan topik yang ingin diteliti. Pedoman wawancara dimulai dengan menyusun landasan teori mengenai regulasi emosi yang kemudian memunculkan strategi regulasi emosi. Landasan teori tersebut kemudian disusun menjadi sejumlah pertanyaan yang menjadi pedoman wawancara untuk membantu peneliti mengumpulkan data.

e. Mempersiapkan alat-alat penelitian.

Alat-alat yang dipersiapkan agar mendukung proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kertas yang berisi pedoman wawancara, perekam suara (tape recorde/smartphone), dan alat tulis.

f. Persiapan untuk mengumpulkan data.

Dalam sebuah penelitian, peneliti akan menghubungi calon responden penelitian untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan

(46)

menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian (informed consent). Dalam penelitian ini. peneliti mencari responden penelitian dengan cara bertanya dan mencari informasi melalui teman, sehingga informasi didapatkan adalah dari teman ke teman, dan seterusnya. Setelah mendapatkan informasi tersebut, peneliti kemudian menghubungi responden dan mencoba untuk menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian. Selanjutnya peneliti berusaha untuk mendapatkan kesediaan responden agar bersedia berpatisipasi dalam penelitian ini.

g. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara.

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian (informed consent), peneliti dan responden menentukan dan menyepakati waktu dan lokasi bertemu selanjutnya untuk melakukan wawancara penelitian.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti memberikan informed consent kepada responden untuk ditandatangani sebagai persetujuan responden untuk diwawancara. Peneliti melakukan rapport dengan berusaha untuk mendekatkan diri kepada responden. Hal ini dilakukan agar responden merasa aman dan percaya kepada peneliti. Setelah rapport antara peneliti dan responden telah terbangun dengan baik, dilanjutkan dengan proses pengambilan data dengan melakukan wawancara dan observasi. Peneliti melakukan beberapa kali wawancara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal. Percakapan pada proses wawancara berlangsung akan direkam menggunakan tape recorde/smartphone mulai dari awal sampai akhir percakapan dan tambahan dari hasil pencatatan oleh peneliti. Sebelum melakukan proses wawancara, tentunya

(47)

peneliti membuat jadwal pertemuan yang telah disepakati bersama dengan responden.

Tabel 4.1 Tabel Pelaksanaan Penelitian Dalam Proses Wawancara

No Responden Wawancara Tanggal (2017) Waktu (WIB) Tempat 1 R-1 (D) I Sabtu, 29 April 20.00 - 22.30 Café

II Sabtu, 20 Mei 16.00 - 17.30 Café 2 R-2 (A) I Minggu, 25 Juni 20.00 - 22.00 Tempat

makan siap saji

II Sabtu, 3 Juli 18.00 - 21.00 Tempat tinggal responden III Minggu, 11 Juli 14.00 - 18.00 Café 3 R-3 (R) I Jumat, 14 Juli 15.00 - 18.00 Café

II Sabtu, 20 Juli 16.00 - 18.00 Café

3. Tahap Pencatatan Data

Pada tahap pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam suara dan alat tulis untuk memudahkan peneliti dalam mencatat dan menyimpan data yang diperoleh secara lebih akurat dan dipertanggungjawabkan. Hasil rekaman suara kemudian data akan ditanskipkan secara verbatim dan dianalisa. Setelah peneliti selesai melakukan pencatatan data, selanjutnya peneliti membuat koding berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil koding akan membantu peneliti untuk menganalisa dan mengintrepretasi data yang telah diperoleh. Berikut contoh kode yang digunakan: R1.W2.060417 dan A.B108.H5.

S1 adalah Responden 1; W2 berarti wawancara kedua; 060417 adalah kode tanggal pelaksanaan wawancara; A berarti kode untuk tema yang berasal dari teori penelitian; B108 menunjukkan kutipan dari baris ke 108; H5 yaitu halamam ke lima.

(48)

G. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2007). Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitian dalam mengungkapkan gambaran strategi regulasi emosi pasca putus cinta.

Peneliti akan mendokumentasikan secara lengkap, rapi, dan menjaga kualitas data yang telah didapatkan dari hasil lapangan yang terjadi. Peneliti menggunakan profesional judgement yang dilakukan oleh ahli untuk memastikan data didapat sesuai dan tepat. Peneliti juga akan melakukan konfirmasi kembali kepada responden mengenai data dan analisa data.

Peneliti juga membuat pedoman pertanyaan untuk ditanyakan ke beberapa orang sebelum pengambilan data. Hal ini dilakukan peneliti agar pertanyaan yang dibuat dari pedoman wawancara dapat dengan mudah dimengerti. Pertanyaan yang mudah dimengerti nantinya akan mempermudah penliti dan tentunya juga responden penelitian dalam proses wawancara.

H. Prosedur Analisa Data

Menurut Poerwandari (2007), ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam analisa data dalam penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut:

1. Organisasi Data

Tahap awal yang dilakukan dalam analisa data adalah mengorganisasikan data. Data kualitaif yang sangat beragam dan banyak, peneliti perlu

Gambar

Tabel 4.1 Tabel Pelaksanaan Penelitian Dalam Proses Wawancara
Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Penelitian
Tabel 4.3 Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden I   No  Strategi Regulasi Emosi  Perilaku
Tabel 4.4 Rekapitulasi Data Hasil Wawancara Responden II  No  Strategi Regulasi Emosi  Perilaku
+3

Referensi

Dokumen terkait

ada hubungan positif yang signifikan antara regulasi emosi dengan perasaan putus cinta pada. siswa kelas 12 di SMA

Attentional deployment mengarahkan perhatian dalam situasi tertentu untuk memengaruhi dan mengatur emosi yang muncul. Terdapat tiga kelompok bentuk attentional

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara regulasi emosi dan asertivitas dengan psychological well-being, hubungan antara regulasi emosi dan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui adanya pengaruh menulis catatan harian terhadap peningkatan kemampuan regulasi emosi pada mahasiswa Psikologi UNS yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komunikasi orangtua dengan regulasi emosi di Sekolah Menengah Atas DKI Jakarta, karena menurut penelitian