• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMBANGAN POLA NYANYIAN TRADISIONAL TORAJA BAGI INKULTURASI MUSIK LITURGI DI KEVIKEPAN TORAJA KEUSKUPAN AGUNG MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SUMBANGAN POLA NYANYIAN TRADISIONAL TORAJA BAGI INKULTURASI MUSIK LITURGI DI KEVIKEPAN TORAJA KEUSKUPAN AGUNG MAKASSAR"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM MAGISTER THEOLOGI

SUMBANGAN POLA NYANYIAN TRADISIONAL TORAJA BAGI INKULTURASI MUSIK LITURGI

DI KEVIKEPAN TORAJA

KEUSKUPAN AGUNG MAKASSAR

Studi Penelitian atas Hasil Lokakarya Komposisi Musik Liturgi di Tana Toraja tahun 1998

Tesis diajukan oleh:

Hendrik Palimbo NPM : 096312012/PPs/M.Th.

untuk memperoleh

GELAR MAGISTER THEOLOGI 2012

(2)
(3)

iii

“Bernyanyilah bagi Tuhan dengan nyanyian syukur, bermazmurlah bagi Allah kita dengan kecapi!”

Mazmur 147:7

(4)

iv

Dipersembahkan bagi para pemerhati musik liturgi

dan kepada siapa saja yang menaruh harapan bagi perkembangan inkulturasi musik liturgi khususnya

di Kevikepan Toraja, Keuskupan Agung Makassar

(5)

v

Pengalaman menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Sekolah Tinggi Pastoral dan Kateketik Rantepao (STIKPAR) Kevikepan Toraja menghantar penulis pada sebuah refleksi bahwa inkulturasi musik liturgi yang pernah digagas dan diupayakan hingga saat ini tidak berjalan optimal. Selain itu, nyanyian dalam liturgi umumnya diwarnai oleh nyanyian pop rohani yang meriah, sekadar hiburan, untuk tampil show dan jauh dari pemaknaan yang mendalam.

Berawal dari keprihatinan tersebut, penulis mencoba menggagas dan menggugah para pemerhati liturgi untuk melihat betapa kekayaan musik dan pola nyanyian tradisional Toraja telah memberikan sumbangan yang begitu besar bagi inkuluturasi musik liturgi khususnya di wilayah Kevikepan Toraja.

Kekayaan musik tradisional Toraja khususnya bentuk atau pola nyanyiannya yang beragam adalah peluang yang besar untuk melaksanakan inkulturasi khususnya dalam bidang musik liturgi. Gereja lokal Keuskupan Agung Makassar (KAMS) secara khusus Kevikepan Toraja bersama dengan Komisi Liturgi KAMS telah mengambil langkah konkret dan tepat dalam memanfaatkan peluang tersebut dengan mengadakan lokakarya komposisi musik liturgi yang pertama tahun 1998.

Bertolak dari berbagai permasalahan di atas, penulis menyusun karya tulis ini di bawah bimbingan dan diskusi dengan Romo E. Martasudjita, Pr khususnya bidang teologi inkulturasi dan Rm. F. Purwanto, SCJ yang membantu dalam persiapan penelitian lapangan di Toraja.

Bimbingan dan diskusi bersama kedua pembimbing tersebut menuntun penulis untuk mengkaji dan menemukan sumbangan pola nyanyian tradisional Toraja bagi perkembangan inkulturasi musik liturgi di Kevikepan Toraja. Tentu saja sumbangan tersebut diharapkan semakin membantu umat dalam penghayatan imannya dalam berliturgi dan akhirnya berdaya ubah dalam kehidupan konkret sehari-hari.

Penulis menyadari bahwa tanpa penyelengaraan Allah dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan karya tulis ini. Untuk itu perkenankanlah penulis mengucapkan syukur kepada Allah atas rahmat-Nya yang penulis peroleh lewat bantuan dari berbagai pihak sehingga karya tulis ini dapat selesai. Untuk itu penulis secara khusus

(6)

vi

Terima kasih pula kepada Rm. Petrus Bine Saramae, Pr (Rektor Seminarium Anging Mammiri) yang selalu siap diajak berdiskusi dan Rm. Eltus Mali, Pr (Ekonom SAM) yang membantu dalam penyediaan dana penelitian. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Rm. Karl-Edmud Prier, SJ selaku pimpinan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta dan kepada bapak Paul Widyawan atas diskusi hangat disela-sela latihan kor Vacalista Sonora. Ucapan terima kasih pula penulis haturkan kepada Rm. Stanis Dammen, Pr, Rm. Agustinus Sem, Pr dan Rm. I Made Markus, Pr (Rektor dan Staf STIKPAR) yang dengan caranya masing-masing membantu penulis selama penelitian di wilayah Kevikepan Toraja. Tentu saja tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada para informan penelitian di Toraja yang dengan hormat saya sebutkan namanya: Rm. Yohanes Manta, Pr., M. Mangande, Johony Y. Tulak, Matius Ruruk, Herman Rantetandung dan Daud Sampe Ruru. Terima kasih pula kepada teman-teman sepanggilan di Seminarium Anging Mammiri khususnya Diakon Fandy yang setia dalam memeriksa kesalahan pengetikan karya tulis ini. Kepada mereka yang penulis kasihi dan cintai, ayahanda Antonius Palimbo dan ibunda Yuliana S. Pagiringan serta saudara dan saudariku tercinta.

Akhirnya dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada pembimbing tesis, penulis menyadari bahwa karya tulis ini belumlah sempurna. Oleh karenanya penulis sungguh mengharapkan sumbangan saran, koreksi dan kritik atas karya tulis ini.

Hendrik Palimbo

(7)

vii

Sebelum Konsili Vatikan II, wajah Gereja di Indonesia dibentuk dalam tradisi Eropa lewat kehadiran dan pewartaan para misionaris. Misalnya musik Gereja yang berkembang pada saat itu berhubungan erat dengan tradisi yang berlaku dari daerah asal para misionaris. Nyanyian Gregorian khususnya proporium dan ordinarium sangat dijunjung tinggi dan digunakan di Indonesia dalam setiap misa hari Minggu. Gerak inkulturasi rasa-rasanya sulit sebelum Konsili Vatikan II padahal daerah-daerah di Indonesia masih hidup dalam adat dan budaya yang beragam dan sangat kuat. Akhirnya usaha inkulturasi memperoleh jalannya pada Konsili Vatikan II khususnya dalam dokumen Sacrosanctum Concilium atau Konstitusi Liturgi.

Inkulturasi merupakan upaya bagaimana Gereja mewartakan Injil Yesus Kristus agar dapat menyentuh hati suatu bangsa dalam bahasa dan kebudayaannya yang ada. Salah satu upaya Gereja khususnya di Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan dalam musik dan tarian adalah lewat inkulturasi musik liturgi. Upaya tersebut misalnya nampak dalam Lokakarya Komposisi Musik Liturgi di Tana Toraja pada tahun 1998 yang menghasilkan 51 nyanyian liturgi inkulturasi. Melalui usaha dan kerja keras dari berbagai pihak khususnya oleh Komisi Liturgi Keuskupan Agung Makassar bersama dengan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, pelaksanaan lokakarya tersebut berhasil dengan baik. Namun yang lebih penting dari semuanya apakah pengungkapan budaya tersebut telah sampai pada penghayatan iman yang konkret dalam hidup sehari-hari di mana hidup diubah dan ditransformasikan dalam Injil Yesus Kristus yang diimani. Berdasarkan tujuan inkulturasi tersebut, tesis ini mendalami persoalan pokok: “Apakah pola nyanyian tradisional Toraja memiliki sumbangan bagi proses inkulturasi bidang musik liturgi di Kevikepan Toraja dan manakah sumbangan tersebut”.

Persoalan pokok di atas, dianalisa dan direfleksikan secara kritis berdasarkan teologi inkulturasi dan rasa religius orang Toraja terhadap hasil lagu-lagu inkulturasi yang tercipta pada lokakarya komposisi musik liturgi di Toraja tahun 1998. Berdasarkan hasil penelitian di Toraja maupun di Yogyakarta, puncak uraian tesis ini adalah kajian kritis terhadap beberapa lagu-lagu inkulturasi hasil lokakarya yang ditinjau dari sudut pandang kaidah umum liturgi khususnya Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) dan pola inkulturasinya. Melalui kajian kritis ini, mau

(8)

viii

liturgis, kristologis, eklesiologis dan eskatologis. Akhirnya, sumbangan tersebut diharapkan dapat membangkitkan semangat dalam pengungkapan dan penghayatan iman yang konkret dalam hidup sehari-hari di mana hidup diubah dan ditransformasikan dalam Injil Yesus Kristus yang diimani.

(9)

ix

Before the second vatican council, church appearance in Indonesia is shaped in Europe tradition through its presence and evangelization of missionary. Ecclesiastical music, for example, developing at that time is tightly related to the tradition which applied from orginal place where the missionaries come from. Gregorian songs, particularly, proporium and ordinarium are highly adored and used in Indonesia at every Sunday mass. Inculturation movement is difficult before the second vatican council, whereas some areas in Indonesia still live in their tradition and culture which are diverse and powerful. Finally, inculturation effort has its way at the second vatican council in Sacrosanctum Concilium document or Liturgi Constitution.

Inculturation is the effort on how Church evangelizes the gospel of Jesus Christ and thus it can touch peoples’ heart in their language and existing culture. One of the Church’s efforts, especially, in Indonesia which has diversity of culture in music and dance is through inculturation of liturgical music This effort, for example, can be seen in Composite Workshop of Liturgical Music in Tana Toraja in 1998 resulting 51 inculturation liturgical songs. Through this effort and hard working of many parties, particularly, by Liturgy Commision of Macassar Arch Diocese along with Liturgy Musical Center of Yogyakarta, the held of this workshop is run successfully. However, the most important thing of all is whether the culture manifestation has been arrived at faith concrete experience in daily life where life is changed and transformed in the gospel of Jesus Christ believed. Based on the inculturation purpose, this thesis is intended to answer the main problem: “Does the Toraja traditional songs pattern have contribution for inculturation process in music liturgical field at Kevikepan Toraja and what its contribution”.

The main problem above is analyzed and reflected critically based on inculturation theology and religious sense of Toraja people toward inculturation songs result created at liturgy musical composition workshop in 1998. Based on research result in Toraja and Yogyakarta, the peak commentary of this thesis is critical review of several inculturation songs of workshop result viewed from general principle of liturgy, particularly Institutio Generalis Missalis Romanis (PUMR) dan its inculturation pattern. Through the critical analysis, want to shown that

(10)

x

christologically, ecclesiologically and eschatologically. Finally, the contribution is expected to be able to arouse spirit in faith concrete expression and experience in daily life where our life is changed and transformed in the gospel of Jesus Christ believed.

(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman Judul……….……….….... i

Halaman Persetujuan Pembimbing………... ii

Halaman Motto…….……….... iii

Halaman Persembahan………..……….... iv

KATA PENGANTAR ………. v

ABSTRAK……… vii

ABSTRACT………. ix

DAFTAR ISI………. xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……….... 1

1.2 Identifikasi Masalah……… 6

1.3 Rumusan Masalah………... 8

1.4 Tujuan Penelitian……… 11

1.5 Metode Penelitian……….. 11

1.6 Sumbangan Penelitian………...………. 12

1.7 Sistematika Penulisan………... 13

BAB II POLA DASAR INKULTURASI: ISTILAH, MAKNA, DASAR TEOLOGIS DAN TAHAP-TAHAPNYA SERTA INKULTURASI MUSIK LITURGI 2.1 Peristilahan ……… 16

2.2 Makna Inkulturasi ……….. 18

2.3 Dasar Teologis Inkulturasi: Misteri Perutusan Trinitas ………. 21

2.3.1 Misteri Inkarnasi ……… 22

2.3.2 Misteri Paskah ………...… 23

2.3.3 Misteri Pantekosta ……….… 24

(12)

xii

2.4 Tahap-tahap Inkulturasi ………. 24

2.4.1 Tahap Pengambilalihan ……….… 25

2.4.2 Tahap Penerjemahan ………. 26

2.4.3 Tahap Penyesuaian ……… 28

2.4.4 Tahap Akhir: Inkulturasi yang Mendalam ……… 29

2.5 Inkulturasi Musik Liturgi ……….. 31

2.5.1 Usaha Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia ……….. 34

2.5.2 Proses dan Tahap Inkulturasi Musik Liturgi ………. 35

2.6 Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi ………. 37

2.6.1 Musik Liturgi menurut Dokumen Gereja ……….. 38

2.6.2 Struktur Dasar Nyanyian Liturgi dalam Perayaan Ekaristi ……...… 40

2.7 Inkulturasi Musik Liturgi menurut Dokumen Gereja ……… 54

2.7.1 Sacrosanctum Concilium ………...… 55

2.7.2 Musicam Sacram ………...… 56

2.7.3 De Liturgia Romana et Inculturatione ……….. 58

2.7.4 Chirograph on Sacred Music (Paus Yohanes Paulus II) ………….. 60

2.8 Rangkuman ……… 62

BAB III RASA RELIGIUS ORANG TORAJA DAN POLA NYANYIAN TRADISIONALNYA 3.1 Rasa Religius Orang Toraja ……….. 66

3.1.1 Konsep tentang Sang Pencipta ……….. 69

3.1.2 Konsep tentang Alam Semesta ……….. 71

3.1.3 Konsep tentang Manusia ………...… 72

3.1.4 Upacara Keagamaan dalam Kehidupan Sehari-hari ………. 74

3.2 Pola Nyanyian Tradisional Toraja ……… 82

3.2.1 Musik dan Nyanyian sebagai Bagian Integral dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Toraja ………... 82

3.2.2 Alat Musik dan Kegunaannya ………... 84

3.2.3 Jenis Nyanyian dalam Upacara Syukur atau Rambu Tuka’ ……….. 86

3.2.4 Jenis Nyanyian dalam Upacara Kedukaan atau Rambu Solo’ …….. 90

(13)

xiii

3.2.5 Jenis Nyanyian di Luar Upacara Keagamaan ……… 94

3.3 Rangkuman ……… 95

BAB IV SUMBANGAN POLA NYANYIAN TRADISIONAL TORAJA BAGI INKULTURASI MUSIK LITURGI 4.1 Identitas Informan ……….. 97

4.2 Ciri Khas Musik Tradisional Toraja ………. 101

4.3 Hasil Kreasi Musik Liturgi dalam Konteks Musik dan Nyanyian Tradisional Toraja ………. 103

4.3.1 Pola Nyanyian Kedukaan untuk Ordinarium, Nyanyian Liturgi Arwah, Masa Adven, Natal dan Prapaskah ………. 104

4.3.2 Pola Nyanyian Syukur untuk Ordinarium, Nyanyian Liturgi Pembuka, Madah Syukur, Adven, Natal, Paskah dan Pemberkatan Rumah ……… 117

4.4 Uraian Sistematis Sumbangan Pola Nyanyian Tradisional Toraja bagi Inkulturasi Musik Liturgi di Kevikepan Toraja. ……… 133

4.5 Evaluasi Hasil Lokakarya Pusat Musik Liturgi Yogyakarta di Toraja tahun 1998 ………...…….. 138

4.6 Arah Pastoral Selanjutnya ………. 142

4.7 Rangkuman ……….. 147

BAB V PENUTUP 5.1 Rangkuman Hasil Penelitian……….. 150

5.1.1 Bidang Liturgi ……… 152

5.1.2 Dimensi Inkulturatif ……….. 152

5.1.3 Dimensi Kristologis ………... 154

5.1.4 Dimensi Eklesiologis ……… 154

5.1.5 Dimensi Eskaltologis ……… 155

5.2 Sumbang Saran ………...…. 158

DAFTAR PUSTAKA ………..…….. 162 Lampiran-Lampiran

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kajian kritis penulisan tesis ini berawal dari sebuah keprihatinan bahwa inkulturasi dalam bidang musik liturgi yang coba terus digagas di Kevikepan Toraja tidak berjalan optimal. Apa yang diharapkan bahwa nyanyian dalam ibadat yang sesuai dengan sensus fidei atau rasa iman orang Toraja kurang mengena dan berdaya ubah baik dalam kehidupan berliturgi maupun dalam kehidupan konkretnya. Nyanyian dalam Liturgi umumnya diwarnai oleh nyanyian pop rohani yang meriah, sekadar hiburan, untuk tampil show dan jauh dari pemaknaan yang mendalam.

Musik dan nyanyian tradisonal Toraja memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang nampak dari alat musik yang tercipta.

Misalnya Pelle’ yang terbuat dari potongan batang padi sebagai sumber bunyi dan daun kelapa yang dililitkan menyerupai terompet dipakai dalam upacara pemberkatan rumah. Ada pula Gandang yang terbuat dari kayu dengan membran dari kulit kerbau dan biasanya digunakan untuk mengiringi tarian Pagellu’. Gong biasa digunakan pada waktu upacara Rambu Solo’ yaitu pada upacara

(15)

kedukaan/kematian. Ada juga alat yang menyerupai rebab di Jawa yakni Keso- keso berupa alat musik gesek.1.

Pola nyanyian tradisional Toraja juga sungguh beragam yang diwariskan oleh para leluhur secara lisan. Misalnya saja dalam upacara kedukaan dikenal ada empat pola lagu kedukaan, yaitu Ma’ Badong (masih terbagi lagi menjadi Badong Pa’ Pakilala, Badong Umbating, Badong Ma’ Palao dan Badong Pasakke), Ma’

Marakka, Ma’ Sailo’ dan Ma’ Dondi. Dalam upacara syukur misalnya dikenal pola nyanyian Pa’ Lele yakni nyanyian syukur atas panen sebagai ungkapan syukur kepada Sang Pencipta atas hasil yang diterima sekaligus memohon berkat bagi Tallu Lolona (tumbuhan, hewan dan manusia)2

Sayangnya bahwa musik dan nyanyian tradisional Toraja yang mencakup nyanyian dan instrumennya seperti halnya di beberapa daerah mulai hilang seiring pengaruh zaman yang berkembang pesat. Musik tradisional sering kali kalah populer dengan budaya universal yang berkembang misalnya musik pop dan rock di kalangan orang muda atau musik jazz yang lebih banyak diminati oleh kalangan menengah atas. Dalam kehidupan masyarakat Toraja yang juga ikut dipengaruhi oleh perkembangan dunia modern, musik tradisional Toraja seolah- olah hanya dimiliki oleh generasi tua. Sementara generasi tua berusaha memupuk dan memelihara tradisinya, generasi muda ikut tenggelam dalam arus budaya pop yang praktis dan mungkin saja pada masa tuanya tidak lagi mengenal warisan

1 Redaksi Warta Musik, Inkulturasi di Toraja, Warta Musik no. 25 (2000), Yogyakarta 2000, 102.

2 Redaksi Warta Musik, Bentuk Kesenian Khas Toraja, Warta Musik 4 (2002), Yogyakarta 2002, 124.

(16)

budaya yang sangat luhur. Hal ini sangat nampak dalam kehidupan menggereja khususnya dalam bidang liturgi.

Perayaan Ekaristi di wilayah kevikepan Toraja umumnya diwarnai oleh nyanyian yang sudah tersedia misalnya nyanyian liturgi yang terdapat dalam Madah Bakti dan Puji Syukur. Namun tidak jarang kita mendengar musik pop rohani (pada umumnya dibawakan oleh generasi muda ) yang lebih berkesan meriah, demi suatu rasa yang menghibur sering kali dibawakan dalam liturgi khususnya Ekaristi. Boleh dikata nyanyian tersebut hanya mengena di kalangan umat tertentu namun belum sampai pada penghayatan yang sesungguhnya apalagi mengena sesuai dengan rasa iman umat yang mendengarkan. Pertanyaan kemudian muncul, apakah tidak ada nyanyian liturgi yang khas budaya setempat?

Atau mungkinkah permasalahan di atas berawal karena tidak adanya orang yang mau melestarikan kekayaan budayanya termasuk kekayaan musik tradisional dan membawanya dalam suatu inkulturasi musik liturgi?

Usaha inkulturasi musik liturgi di Toraja sebenarnya sudah dirintis kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dalam Lokakarya Komposisi (Loko) Musik Liturgi di Toraja pada tahun 1998 oleh PML Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta bekerja sama dengan Komisi Liturgi KEUSKUPAN AGUNG MAKASSAR (KAMS). Tahap inkulturasinya pun sudah berkembang hingga pada tahap kreatif yakni membuat lagu-lagu Liturgi dengan mengambil unsur-unsur budaya tradisional Toraja antara lain motif/gayanya, suasananya atau ritmiknya. Hasilnya terciptalah lagu-lagu liturgi yang orisinil sekaligus 100% bergaya daerah setempat.

(17)

Jauh sebelum itu, usaha inkulturasi telah ada namun hanya sampai pada tahap terjemahan yaitu diterbitkannya buku Sulo Lalan3. Buku lagu Sulo Lalan pertama kali diupayakan oleh Pastor Harry Versteden CICM dan Pastor Jan van Empel CICM tahun 1948. Dalam perjalanan waktu, buku ini mengalami beberapa kali revisi. Revisi 1973 memperoleh imprimatur dari Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar, Mgr. Theodorus Lumanauw Pr.. Revisi 1980 diimprimatur oleh Vikaris General Keuskupan Agung Ujung Pandang, Mgr. Frans van Roessel CICM. Tahun 2008 buku ini direvisi lagi dan diimprimatur oleh Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar, Mgr. John Liku Ada‟ Pr.. Dalam revisi terakhir ini ditambahkan sejumlah nyanyian lain yang entah diambil dari mana, karena tidak dicantumkan sumbernya. Apakah sumbernya dari Singgi‟na Mali„, Madah Bakti, Puji Syukur, lagu pop rohani ataukah dari pribadi tertentu? Maka jika diperhatikan dengan seksama, dalam buku ini sedikit sekali ditemukan lagu khas nuansa Toraja. Tentu maksud yang kita harapkan sebagai proses inkulturasi yang betul-betul menyentuh rasa religious masyarakat Toraja belum sepenuhnya terjadi.

Lokakarya Musik Liturgi Toraja 1998 boleh dikata memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan musik liturgi Gereja lokal di Kevikepan Toraja pada khususnya. Apalagi waktu itu banyak pihak yang terlibat khususnya para pastor paroki dan awam yang memiliki minat dalam pengembangan musik liturgi di Toraja. Sayangnya, menurut pengamatan penulis, lokakarya yang diharapkan membawa angin segar untuk diteruskan kepada pihak- pihak pemerhati musik budaya Toraja kurang berhasil. Ide kreatif yang disalurkan

3 Sulo artinya obor, terang dan Lalan artinya jalan; Sulo Lalan artinya terang jalan)

(18)

dalam lokakarya yakni mengumpulkan dan mempelajari pola lagu yang digunakan dalam upacara-upacara tertentu khususnya Rambu Solo’ (upacara kedukaan) dan Rambu Tuka (upacara syukuran) lalu diangkat sesuai dengan identitas kekatolikan, dengan iman Gereja semesta tidak dikembangkan lebih lanjut. Sebagai contoh nyanyian hasil lokakarya yang terangkum dalam buku Singgina’ Mali’ 4.

Materi lagu yang tercipta umumnya hanya dikenal oleh kelompok- kelompok kor saja. Dalam suatu perayaan ulang tahun paroki Sitti Miryam Saluampak5, ketika kelompok kor membawakan lagu-lagu dalam Singgi’na Mali’

(misalnya Maha Dahsyat Karya Tangan-Nya SM. 28 atau MB. 485 dan lagu-lagu Ordinarium dengan pola lagu yang beragam: Pa’ Lele’, Pa’ Bugi dan Pa’ Katia), dengan iringan gandang yang sederhana, beberapa dari umat yang baru pertama kali mendengarnya begitu kagum dan berkata, “manassa penanian Toraya tongan mo te’/lagu ini sungguh dari Toraja”, ada pula yang berkata, “susi bang ki’ do Toraya te’/rasanya seperti di Toraja saja”. Dengan mendengarnya saja, orang sudah tersentuh apalagi jika umat juga dapat menyanyikannya tentu penghayatannya jauh lebih mendalam.

Pengalaman di atas setidaknya memberi sedikit gambaran akan buah-buah inkulturasi: pola lagu khas Toraja yang diangkat ke dalam liturgi sungguh menyentuh rasa religious umat Katolik Toraja. Lagu-lagu yang tercipta dalam

4 Singgi‟na Mali‟ (singgi’ = madah, na = bentuk genitif dari orang ketiga tunggal, mali’ = kasih/kerinduan. Jadi singgi’na mali’ artinya madah kasih / madah kerinduan). merupakan kumpulan lagu-lagu Liturgi dengan latar belakang musik tradisional Toraja yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi Keuskupan Agung Makassar. Semua lagu dalam buku tersebut adalah hasil dari Loko Toraja 1998 oleh PML bekerja sama dengan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Makassar.

5 Paroki ini berada dalam wilayah kevikepan Luwu atau berjarak + 90 km dari Kabupaten Toraja Utara. Mayoritas umatnya orang Toraja (80%).

(19)

Lokakarya PML di Toraja kiranya telah sejalan dengan definisi dari inkulturasi yang dirumuskan oleh A. Chupungco bahwa inkulturasi merupakan sebuah proses dalam mana unsur-unsur tertentu dari budaya lokal diintegrasikan ke dalam teks, ritus, simbol dan institusi yang digunakan atau dijalani dari Gereja setempat bagi ibadatnya6. Namun perlu juga dikritisi bahwa proses inkulturasi yang dimaksud tidak hanya sampai pada pengambilan bentuk budaya lalu diselaraskan pada nilai- nilai Injili tetapi seluruh proses inkulturasi juga menyangkut pengungkapan, penghayatan dan perwujudan iman itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Maka, sebagaimana yang dikatakan oleh E. Martasudjita, Pr bahwa inkulturasi bukanlah sekedar soal digunakannya unsur-unsur budaya setempat dalam rangka pengungkapan iman Kristiani; tetapi terutama soal daya dan kekuatan iman yang menjiwai hidup seseorang beriman menurut konteks hidup konkretnya7.

Dengan mengenal dan menghidupi kekayaan musik dan nyanyian yang lahir dalam budaya sendiri, diharapkan umat di Kevikepan Toraja sampai pada penghayatan liturgi yang lebih mendalam sehingga misteri keselamatan yang dirayakan sungguh mengena dan berdaya ubah dalam hidup menggereja dan bermasyarakat.

1.2 Identifikasi Masalah

Usaha pembaharuan dan penyegaran liturgi yang paling menonjol di Indonesia adalah inkulturasi atau pemribumian liturgi. Inkulturasi pada umumnya

6 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). FTW, Yogyakarta 2010, 11.

7 E. Martasudjita, Pengantar Liturgi. Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 1999, 79.

(20)

dimengerti sebagai pengungkapan/perayaan liturgi Gereja dalam tatacara dan suasana yang serba selaras dengan citarasa budaya umat yang beribadat8. Pengertian ini selaras dengan tujuan inkulturasi Ritus Romawi seperti digariskan oleh Konsili Vatikan II sebagai dasar pemugaran umum liturgi : upacara harus diatur sedemikian rupa sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal yang kudus yang dilambangkannya. Dengan demikian, umat Kristen, sedapat mungkin, menangkapnya dengan mudah, dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan dengan cara yang khas bagi jemaat’ (Liturgi Romawi dan Inkulturasi no. 35).

Tidak diragukan lagi bagaimana proses inkulturasi sungguh berperan dalam kehidupan umat jika hal tersebut sungguh-sunggh ditempuh dan dilaksanakan dengan cara yang tepat. Inkulturasi pertama-tama diperlukan agar misteri keselamatan yang dirayakan sedemikian rupa dalam konteks budaya setempat menjadi peristiwa iman yang mengena dan berdaya sapa. Syarat utamanya ialah bahwa hasil inkulturasi tersebut sedapat mungkin “mampu mengisi kerinduan dasar manusia untuk hidup bahagia dengan nilai-nilai Injil yang berciri universal”9. Pesan dan nilai Injil yang berciri universal itu tidak menjadi hilang di tengah-tengah budaya baru tetapi tetap dapat dihadirkan, diungkapkan dan diwujudkan dengan wajah budaya setempat. Penulis sependapat dengan E. Martasudjita bahwa proses ini merupakan tahap inkulturasi yang paling mendalam di mana budaya setempat tetap ada, namun roh dan maknanya telah diterangi atau „dibaptis‟ oleh injil.

8 Komlit KWI, Pedoman Inkulturasi Liturgi, Sekretariat Komlit KWI, Jakarta 1996.

9 CB. Mulyatno, Semakin Menumbuhkan Nilai-nilai Injil dalam Budaya Setempat (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi), FTW, Yogyakarta 2010, 15.

(21)

Pengetahuan mendasar inkulturasi di atas sangat penting untuk menghadapi masalah utama yang sering terjadi dalam proses inkulturasi. Akibat kurangnya pemahaman soal inkulturasi ini banyak pihak khususnya penggiat liturgi di paroki kebablasan dalam penerapan inkulturasi. Banyak pihak yang berpendapat asal unsur-unsur budaya sudah masuk dan ditampilkan dalam liturgi proses inkulturasi telah berjalan. Padahal tidak semua unsur budaya bisa masuk begitu saja dalam liturgi. Misalnya saja asal telah menghadirkan tarian-tarian perang dalam perayaan Ekaristi berarti sudah berinkulturasi.

Demikian juga yang terjadi khususnya dalam bidang nyanyian liturgi.

Kerap kali kelompok koor menampilkan lagu-lagu yang berciri budaya Toraja (mencakup pola nyanyian khas dan bahasa Toraja) dalam perayaan Ekaristi yang syair-syairnya jauh dari sabda Tuhan, karena nyanyian tersebut lebih cocok digunakan dalam acara-acara profan.

1.3 Rumusan Masalah

Pertanyaan yang seringkali muncul dalam pelaksanaan inkulturasi yakni tidak berbahayakah bagi liturgi Gereja bila segala sesuatunya disesuaikan dengan selera setiap daerah? Pertanyaan ini sekaligus bukti kurangnya pemahaman inkulturasi baik dari segi makna dan dasar teologisnya maupun cakupannya.

Banyak masalah yang terjadi seputar pelaksanaan inkulturasi disebabkan kesimpangsiuran pemahaman yang mendalam dan juga tidak jelas sampai dimana patokan-patokan dan batas-batas yang perlu dilihat jika mau berinkulturasi.

(22)

Parahnya, adapula yang beranggapan dan belum yakin apakah inkulturasi memang perlu dilaksanakan.

Paus Yohanes Paulus II memberikan patokan sebagai prinsip dasar memulai suatu inkulturasi dalam Redemptoris Missio 54: 1] kesesuaian dengan injil dan, 2] persekutuan dengan alam semesta. Beliau pula menjawab pentingnya inkulturasi sebagai kesatuan Gereja semesta: melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda dan serentak membawa masuk para bangsa bersama dengan kebudayaan-kebudayaan mereka ke dalam persekutuan Gereja sendiri (Redemptoris Missio 52). Selain itu jangan pula dilupakan bahwa pelaksanaan inkulturasi bukan hanya didominasi atau dilaksanakan oleh segelintir orang saja misalnya para hierarki saja, atau cukup dewan pastoral gereja dan penggiat liturgi saja. Tetapi sebagaimana yang diungkapkan R. Schreiter bahwa seluruh umat beriman semestinyalah menjadi pelaku teologi inkulturasi atau dengan kata lain seluruh umat berimanlah yang berinkulturasi10.

Kevikepan Toraja yang hampir seluruh umatnya adalah suku bangsa Toraja (mayoritas kedua adalah umat dari wilayah Nusa Tenggara Timur) menjadi tempat yang ideal untuk menggiatkan inkulturasi. Selain karena memiliki latar belakang budaya dan nenek moyang yang sama juga memiliki hasil budaya yang kaya misalnya alat musik dan nyanyian tradisional. Sayangnya faktor tersebut belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan inkulturasi oleh sebab seperti yang telah dikemukakan bahwa sebagian umat masih menganggap perlukan inkulturasi

10 Sebagaimana dikutip oleh E. Martasudjidta, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 37.

(23)

atau bolehkah berliturgi dengan cara demikian (menyelengarakan liturgi yang selaras dengan citarasa budaya sendiri). Sekali lagi hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman yang mendalam akan inkulturasi termasuk tahap-tahap dan cakupannya.

Adapula yang merasa telah mengetahui dan memahami inkulturasi (padahal sebenarnya hanya kulit luarnya saja) dan dalam pelaksanaannya asal mengambil dan memasukkan unsur-unsur budaya ke dalam liturgi. Namun buah- buah inkulturasi khususnya dalam bidang musik liturgi sebagian sudah dirasakan manfaatnya. Dengan mempelajari pola nyanyian tradisional Toraja, Pusat Musik Liturgi Yogyakarta bekerja sama dengan Komisi Liturgi Keuskupan Agung Makassar telah menghasilkan 51 karya orisinil nyanyian liturgi gerejawi sekaligus 100% bergaya Toraja. Tentunya hasil tersebut bukanlah tolak ukur berhentinya proses inkulturasi musik liturgi di wilayah Kevikepan Toraja. Selain masih perlu dipopulerkannya lagu-lagu tersebut sekaligus membendung pengaruh yang kuat dari musik pop rohani, kekayaan musik khususnya pola nyanyian tradisional Toraja tersebut masih perlu digali dan dikembangkan sebagai bagian dari pelaksanaan inkulturasi liturgi yang mendalam di Kevikepan Toraja. Maka lewat penulisan tesis ini, penulis merumuskan hipotesa sebagai berikut:

“Apakah pola nyanyian tradisional Toraja memiliki sumbangan bagi proses inkulturasi bidang Musik Liturgi di Kevikepan Toraja dan manakah sumbangan tersebut”

(24)

1.4 Tujuan Penelitian

Munculnya berbagai masalah dalam pelaksanaan inkulturasi di Kevikepan Toraja khususnya dalam inkulturasi musik liturgi sebagaimana dipaparkan dalam rumusan masalah di atas menarik minat penulis untuk lebih mendalami kekayaan musik dan nyanyian tradisional Toraja sebagai pintu masuk memulai suatu inkulturasi musik liturgi. Maka karya tulis ini disusun berdasarkan beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Mengumpulkan dan mengkaji nyanyian tradisional Toraja untuk menemukan arti simbol dan maknanya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja.

2. Membuat suatu penilaian dengan berpangkal dari rasa religious orang Toraja yang nampak dari arti dan makna musik dan nyanyian tradisionalnya kemudian mencari unsur-unsur manakah yang kiranya cocok dan tidak cocok dengan nilai-nilai Injili dan kesatuan Gereja semesta.

3. Menganalisi peluang dan tantangan untuk melaksanakan inkulturasi musik liturgi di Kevikepan Toraja.

4. Menemukan sumbangan pola nyanyian tradisional Toraja bagi proses inkulturasi musik liturgi di Kevikepan Toraja khususnya dalam bidang Liturgi dan sumbangan teologisnya.

1.5 Metode Penelitian

Karya tulis ini disusun menggunakan metode kajian kepustakaan dan penelitian lapangan melalui wawancara mendalam dengan beberapa pihak yang

(25)

berkompeten dalam bidang musik tradisional Toraja. Kajian kepustakaan ditempuh dengan pembacaan buku-buku yang terkait dengan karya tulis ini dan analisa secara kritis.

Metode kedua yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini yakni penelitian lapangan. Penelitian lapangan yang dimaksudkan di sini adalah penelitian kualitatif di mana pengambilan bahan dan sampel ditempuh dengan cara wawancara secara mendalam dengan pihak yang berkompeten dalam bidang musik dan nyanyian tradisional Toraja. Untuk itu dalam penerapannya akan ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, penentuan lokasi penelitian.

Lokasi penelitian akan berpusat di beberapa paroki besar Kevikepan Toraja.

Kedua, menentukan informan sebagai objek wawancara dan akan dikumpulkan dari berbagai paroki khususnya mereka yang memiliki kualitas dan tahu mengenai pola nyanyian tradisional Toraja. Ketiga, melalui pengalaman pengamatan.

Pengamatan akan dilakukan pada saat upacara-upacara adat di mana alat musik dan nyanyian tradisional Toraja banyak digunakan serta kehidupan berliturgi umat paroki setempat khususnya dalam perayaan Ekaristi.

1.6 Sumbangan Penelitian

Sangat diharapkan dengan tercapainya tujuan penelitian yang telah dikemukakan di atas diperoleh manfaat penelitian sebagai berikut:

1. Untuk pengembangan ilmu di bidang teologi dan penelitian lebih lanjut khususnya dalam kajian pelaksanaan inkulturasi musik liturgi di Kevikepan Toraja.

(26)

2. Untuk kegunaan praktis yakni membantu menyediakan bentuk dan pola dasar nyanyian tradisional Toraja bagi para pemerhati musik liturgi yang dapat dipakai sebagai patokan dalam mencipta nyanyian liturgi.

3. Bagi masyarakat luas khususnya umat Katolik di Kevikepan Toraja selain dapat mempelajari kembali bentuk asli dari nyanyian tradisionalnya diharapkan karya tulis ini membantu untuk memahami lebih mendalam arti, makna dan dasar teologis dari inkulturasi itu sendiri. Dengan demikian diharapkan melalui pemahaman inkulturasi secara menyeluruh, umat dapat berpartisipasi secara penuh, sadar dan aktif dalam liturgi khususnya perayaan Ekaristi sehingga misteri keselamatan yang dirayakan mengena dan berdaya ubah dalam hidup menggereja dan bermasyarakat.

1.7 Sistematika Penulisan

Pokok pemikiran, analisa dan pandangan penulis dalam karya tulis ini akan diuraikan secara sistematis sebagai berikut.

Bab I : Pendahuluan. Pendahuluan ini menguraikan sejumlah bagian penting yang mendasari seluruh uraian karya tulis ini. Diawali dengan uraian tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, merumuskan hipotesa dari suatu masalah kemudian melihat metode penelitian yang akan digunakan, tujuannya, sumbangan penelitian dan sistematika penuliasan.

Bab II : Pola dasar Inkulturasi: mengurai istilah, makna, dasar teologis dan tahap-tahapnya. Bagian ini mengantar pada pemahaman mendasar mengenai inkulturasi itu sendiri. Dimulai dengan pengertian istilah, maknanya, dasar

(27)

teologis dari inkulturasi serta tahap-tahap dalam berinkulturasi. Selain itu akan dilihat pula kedudukan nyanyian dalam liturgi menurut beberapa dokumen Gereja serta secara mendalam memahami struktur dasar nyanyian liturgi dalam perayaan Ekaristi. Selanjutnya akan dipaparkan pengertian dan makna inkulturasi musik liturgi menurut beberapa dokumen Gereja yakni Sacrosanctum Concilium, Musicam Sacram, De Liturgia Romana et Inculturatione dan Chirograph on Sacred Music.

Bab III : Rasa Religius Orang Toraja dan Pola Nyanyian Tradisionalnya.

Bagian ini adalah hasil penelitian lapangan yang secara khusus mengurai pemahaman atau konsep dasar orang Toraja mengenai Sang Pencipta, alam semesta, dan hubungan dengan sesama. Agar lebih konkret akan diurai pula bentuk-bentuk upacara keagamaan beserta dengan pola nyanyian tradisionalnya yang dapat membantu menemukan arti, lambang, fungsi dan bentuk dari pola nyanyian pada bagian selanjutnya.

Bab IV : Sumbangan Pola Nyanyian Tradisional Toraja Bagi Inkulturasi Musik Liturgi. Bagian ini akan mengkaji hasil nyanyian liturgi inkulturasi yang tercipta pada lokakarya komposisi musik liturgi di Toraja tahun 1998. Lagu-lagu pilihan akan dikaji dan dikritisi berdasarkan beberapa aspek yaitu pola nyanyian tradisional yang dipakai, kedudukannya dalam liturgi, penggunaan syair dan pola inkulturasinya. Selanjutnya akan dipaparkan evaluasi hasil lokakarya dari beberapa peserta lokakarya dan penulis sendiri untuk menentukan arah pastoral yang akan dilaksanakan sebagai tindak lanjut hasil lokakarya.

(28)

Bab V : Penutup. Bagian terakhir dari karya tulis ini menutup seluruh rangkaian analisa dan refleksi mengenai sumbangan kekayaan nyanyian tradisional Toraja bagi inkulturasi musik liturgi di wilayah Keuskupan Agung Makassar khususnya di Kevikepan Toraja.

(29)

BAB II

POLA DASAR INKULTURASI: ISTILAH, MAKNA, DASAR TEOLOGIS DAN TAHAP-TAHAPNYA SERTA INKULTURASI

MUSIK LITURGI

2.1 Peristilahan

Tema inkulturasi menjadi tema sentral dalam gagasan teologis hubungan Gereja dan budaya khususnya pada abad XX dan selanjutnya. Sebelum memahami lebih dalam soal tema ini perlu dilihat beberapa pendekatan problematik yang muncul di seputar istilah inkulturasi tersebut. Misalnya dalam Redemptoris Missio, disinggung bagaimanakah ajaran „Kerajaan Allah‟ yang diwariskan dan diwartakan oleh para Rasul dalam kebudayaan tertentu (Yahudi- Yunani-Romawi dan Barat) dapat diwartakan dan diterima dalam kebudayaan- kebudayaan lain di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu perlulah sebuah pendekatan baru mewartaan Kerajaan Allah dalam mana Injil diwartakan dan diungkapkan dalam situasi sosio-politis dan religius-kultural tertentu agar pesannya benar-benar sampai dan berdaya ubah. Ada juga pandangan inkulturasi yang nampaknya berat sebelah: iman Kristen berada di pusat,

“mengkomunikasikan diri” kepada kebudayaan lain, yang sepertinya hanya memberi saja dan kurang terbuka untuk menerima atau belajar sesuatu dari

(30)

kebudayaan lain1. Jika demikian, teologi lokal yang diharapkan tumbuh selaras dengan Gereja universal dalam proses inkulturasi tersebut sulit untuk berkembang2.

Lepas dari permasalahan seputar inkulturasi di atas, perlu disadari bahwa pengertian inkulturasi serta cakupannya memang sangat luas apalagi dalam konteks Gereja Indonesia yang memiliki kekayaan religius-budaya leluhur yang sangat kaya. Istilah inkulturasi pertama-tama dipopulerkan oleh Joseph Mason, seorang misiolog dari Belgia pada tahun 1959 3 . Kata „inkulturasi‟ ini berhubungan dengan kosakata antropologi enkulturasi yakni penyesuaian seseorang ke dalam suatu budaya tertentu dan akkulturasi yakni pertemuan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur dari suatu budaya asing. Akkulturasi lebih bernada negatif sebab dalam pertemuan antar-budaya terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan dan dapat jadi ciri kebudayaan dari kelompok yang satu demikian dominannya, sehingga menghapus ciri kebudayaan dari kelompok lainnya4. Jelas ini bukanlah inkulturasi.

Istilah inkulturasi masuk dalam khazanah diskusi teologis sekitar tahun 70-an misalnya pada pertemuan para Uskup di Asia yang tercantum dalam dokumen FABC I di Taiwan pada tahun 1974. Istilah ini juga digunakan dalam dokumen Yesuit pada Kongregasi Jendral pada tahun 1974/75. Pada sinode para

1 Robert Hardawiryana, “Inkulturasi dalam Alam Pikiran Indonesia”, dalam Spektrum, 22 (1994), 263-264.

2 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, diterjemahkan oleh Stephen Suleeman dari Constructing Local Theology, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006, 62.

3 E. Martasudjita, “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia: Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, dalam Studia Philosophica et Theologica, 5 (2005), 130.

4 Karl-Edmund Prier, dan Paul Widyawan, Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, 53.

(31)

Uskup tahun 1977, istilah ini diterima dan digunakan dalam dokumen resmi Gereja5. MAWI lewat Komisi Liturgi (sekarang KWI) juga mengeluarkan dokumen tentang pedoman inkulturasi tahun 1984. Dalam dokumen tersebut, inkulturasi didefinisikan sebagai pengungkapan/perayaan liturgi Gereja dalam tatacara dan suasana yang serba selaras dengan cita rasa budaya umat yang beribadat6. Paus Yohanes Paulus II menggunakan istilah ini pada beberapa dokumen yang dikeluarkannya yakni dalam anjuran Apostolik Catechesi Tradendae no. 53 dan Ensiklik Redemptoris Missio no. 52 dan 54.

2.2 Makna Inkulturasi

Banyak orang yang menganggap inkulturasi hanya dapat terjadi dan dilakukan dalam konteks liturgi saja. Misalnya busana liturgi yang bercorak budaya tertentu, musik tradisional yang digunakan dalam Gereja, tata ruang dan arsitek bangunan setempat. Tentu saja inkulturasi yang dipahami kebanyakan orang tersebut tidaklah sepenuhnya salah namun tidak tepat juga karena membatasi pengertian dan maknanya yang sebenarnya sangat luas dan dalam.

Meskipun pengertiannya sangat luas dan dalam, prinsip dasar yang selalu dapat diperhatikan untuk memahami inkulturasi yakni: inkulturasi merupakan inkarnasi atau penjelmaan hidup kristiani dan pewartaan Kristen dalam rangka

5 E. Martasudjita, “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia: Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, 130

6 Komisi Liturgi MAWI, Pedoman Inkulturasi, dalam majalah EKAWARTA 5(1985), 5.

(32)

kebudayaan tertentu 7 . Dengan demikian inkulturasi tidak hanya mencari pewajahan lewat unsur-unsur dari kebudayaan yang bersangkutan, tetapi usaha inkulturasi menjadi prinsip yang menjiwai, mengarahkan dan mempersatukan kebudayaan, dibentuk dan dibangun kembali hingga menjadi “ciptaan baru”8.

Ciptaan baru yang dimaksud menegaskan bahwa inkulturasi bukanlah semata-mata soal pengungkapan iman Gereja universal ke dalam tata cara budaya atau bahasa tertentu. Pengungkapan budaya tersebut haruslah sampai pada penghayatan iman yang konkret dalam hidup sehari-hari di mana hidup diubah dan ditransformasikan dalam Injil Kristus yang diimani9. Inkulturasi bukan sekadar menerjemahkan budaya atau bahasa tertentu, tetapi menemukan makna terdalam dari budaya tersebut dan menjadi bagian dalam semangat hidup kristiani10. Sinode para Uskup tahun 1985 juga menegaskan bahwa inkulturasi bukanlah sekadar adaptasi atau penyesuaian lahiriah saja melainkan haruslah sampai pada sebuah transformasi batin atau interior transformation. Inkulturasi menyangkut masalah penghayatan mendalam di mana seluruh diri manusia ikut terlibat yakni perasaan, tingkah laku, disposisi batin, tabiat dan tradisinya menyatu dengan Injil yang diterima dan nampak dalam kehidupan konkret. Paus Yohanes Paulus II menegaskan pula transformasi mendalam ini dalam ensiklik Redemptoris Missio tahun 1990 yaitu, “Inkulturasi berarti transformasi

7 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), diterjemahkan oleh A.

Soenarja, SJ., Seri Pustaka Kuntara, 2914, Semarang, 1978, 2.

8 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 2.

9 E. Martasudjidta, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 12.

10 Subhash Anand, “The Inkulturation of the Eucharistic Liturgy” dalam Vidyajyoti Journal of Theological Reflection, 57 (1993), 271.

(33)

mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang bebeda-beda11.

Definisi inkulturasi yang dipaparkan oleh E. Martasudjita dalam bukunya, “Liturgi: Pengantar untuk Studi Praksis Liturgi”, kiranya sangat membantu dalam memahami beragam definisi inkulturasi di atas:

“Inkulturasi sebagai suatu proses yang terus menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.12

Definisi di atas memiliki makna bahwa inkulturasi tidak hanya memuat atau sekadar suatu cara pengungkapan iman Gereja universal ke dalam tata-cara budaya tertentu tetapi juga menyangkut penghayatan iman yang mendalam.

Pengungkapan iman misalnya terungkap lewat rumusan-rumusan doa yang tidak lagi didominasi oleh bahasa tertentu tetapi sesuai dengan bahasa setempat yang dihidupi. Pengungkapan lainnya juga nampak melalui seni lukis (gambar Yesus yang berwajah Asia misalnya), seni tari, seni patung (misalnya corpus salib yang berbeda-beda di setiap daerah), seni suara dan musik Gereja yang dimainkan dalam alunan alat musik tradisional. Sedangkan penghayatan iman lebih pada soal transformasi hidup yang melibatkan seluruh diri dan kebudayaannya.

11 Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, De Liturgia Romana et Inculturatione (Liturgi Romawi dan Inkulturasi), KWI, Jakarta 2008, 14.

12 E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Revisi Buku Pengantar Liturgi), Kanisius, Yogyakarta, 2011, 266.

(34)

Sejak awal inkulturasi memang dimaksudkan agar Injil benar-benar diresapkan dan mengena di hati setiap orang. Maka, Injil melalui usaha inkulturasi perlulah memasuki setiap kebudayaan dari dalam, sebab tidak ada orang-orang yang lebih meresapi dari dalam kehidupan bangsa selain „orang dalam‟ yang lahir dalam kebudayaan itu sendiri13. Akhirnya, ketika Injil membuka diri memasuki setiap kebudayaan maka diharapkan budaya itu turut memperdalam, menjelaskan dan menerangi misteri Kristus sebagaimana diwartakan oleh para Rasul14.

2.3 Dasar Teologis Inkulturasi: Misteri Perutusan Trinitaris

Dasar teologis inkulturasi terletak pada perutusan trinitaris yaitu perutusan Putra oleh Bapa dalam Roh Kudus dan sekaligus misteri perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra15. Dasar teologis inkulturasi ini mengambil pemikiran teologis yang dikembangkan oleh E. Martasudjita dalam Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Lokal (Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi), berdasarkan gagasan G.L. Muller mengenai kesatuan perutusan trinitaris.

Perutusan Putra oleh Bapa mewujud dalam rencana keselamatan Allah dalam sejarah manusia di mana Putra menjelma menjadi manusia dan inilah misteri Inkarnasi. Seluruh hidup dan karya Yesus di dunia dalam kerangka keselamatan Allah itu berpuncak pada wafat dan kebangkitan-Nya sebagai misteri Paskah.

13 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 25.

14 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 13.

15 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 23.

(35)

Perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra terwujud dalam Pencurahan Roh oleh Allah melalui Yesus Kristus untuk membagikan, menerapkan dan menjamin agar karya keselamatan Allah Bapa yang terlaksana melalui Putra-Nya Yesus Kristus itu sampai kepada masing-masing orang di segala zaman16. Pencurahan Roh Kudus ini senyatanya terjadi pada hari Pentakosta (Kis 2) dan inilah yang disebut sebagai misteri Pentakosta. Selanjutnya ketiga misteri di atas yang terjadi dalam perutusan trinitas akan dibahas lebih lanjut.

2.3.1 Misteri Inkarnasi

Misteri inkarnasi atau misteri penjelmaan adalah peristiwa masuknya Allah (yakni Allah Putra) ke dalam dunia yakni dalam konteks hidup manusia dengan seluruh dimensinya: religius, sosiologis, antropologis, budaya, ekonomi, politik, lingkungan hidup dsb17. Penjelmaan inilah yang merupakan inkulturasi yang sempurna, di mana Allah menjadi manusia dengan menerima, memakai dan mengangkat seluruh kehidupan manusia beserta dengan kebudayaannya sebagai medan perjumpaan antara Allah dan manusia.

Allah sendirilah yang berinisiatif dan ingin dekat dengan manusia dan terlibat seluruhnya dalam diri manusia. Putra Allah menjadi manusia yang lahir dari seorang wanita, mengikatkan diri pada keadaan sosial, hukum setempat dan budaya tertentu. Yesus Kristus hidup menurut Taurat, namun Ia sendiri menyempurnakannya. Ia merayakan Paskah Yahudi, namun membaharuinya.

16 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 24.

17 E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Revisi Buku Pengantar Liturgi), 267.

(36)

Sebagaimana Allah telah berbuat demikian, Gereja pula melaksanakan inkulturasi dengan ingin menjelma sepenuh jiwa dan sepenuh hati dalam setiap kebudayaan, untuk diperkaya dengan nilai-nilai baru dan menyumbangkan penebusan Kristus sebagai nilai yang berharga dan sumber hidup baru18.

2.3.2 Misteri Paskah

Misteri Paskah adalah misteri penebusan Kristus melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Kristus yang bangkit tidak hanya menebus namun sekaligus membersihkan, memurnikan dan menyucikan seluruh kehidupan manusia termasuk seluruh kebudayaannya.

Penebusan ini begitu penting karena tidak semua dimensi kehidupan manusia termasuk seluruh dimensi kebudayaannya adalah bersih dan murni.

Banyak paham dari kebudayaan tertentu tidak sesuai dengan nilai-nilai Injili dan harus dimurnikan dan disucikan. Misalnya dalam pemahaman masyarakat Toraja khususnya pemeluk agama asli yakni Aluk To Dolo¸ menyakini bahwa keselamatan arwah dari manusia yang meninggal sangat ditentukan dari jumlah hewan kerbau yang dikurbankan. Pemahaman ini perlu dimurnikan dengan paham keselamatan Kristiani bahwa Kristus Sang Anak Domba adalah Kurban utama dan sejati bagi penebusan dan keselamatan umat manusia. Maka, dalam proses inkulturasi pula, kebudayaan yang dibawa serta masuk dalam nilai-nilai Injil harus mengalami pemurnian dalam wafat dan kebangkitan Kristus.

18 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 25.

(37)

2.3.3 Misteri Pantekosta

Sebagaimana dalam misteri penjelmaan, Putra masuk dalam keluarga manusia sebagai seorang pribadi, begitu pula dalam setiap peristiwa dan usaha inkulturasi, Roh Kudus hadir membuka kekayaan Gereja yang beraneka-ragam19. Perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra tidak hanya mengangkat kita sebagai anak, menjadi ahli waris (Rm 8:15), tetapi memungkinkan kita pula sebagai Gereja untuk mewartakan Injil sampai kepada segala bangsa. Roh Kudus yang sama, yang tercurah pada hari Pentakosta (Kis 2) tercurah pula pada Gereja dalam mewartakan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus.

Mukjizat Pentakosta memperlihatkan peran Roh Kudus dalam pewartaan karya keselamatan sehingga pewartaan tersebut dapat diterima oleh segala bangsa dalam beragam bahasa dan kebudayaan. Peristiwa yang dialami para rasul pada hari Pentakosta juga menunjukkan oleh karena berkat kurnia Roh Kudus, hati setiap orang menjadi terbuka dan bersedia untuk dibaptis, “mereka menjadi terharu dan orang-orang yang menerima pewartaannya itu memberi diri dibaptis” (Kis 2:37,41).

2.4 Tahap-tahap Inkulturasi

Tahap-tahap inkulturasi yang dipaparkan berikut ini mengikuti rangkuman Peter Schineller, SJ, dalam The New Dictionary of Sacramental Worship (Dublin:

19 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 25.

(38)

Gill and Macmillan 1990)20. Istilah „tahap‟ bisa jadi menunjuk suatu proses yang perlu dilalui dari awal tahap demi tahap. Namun, khusus pada tahap inkulturasi liturgi ini, tahap pertama bisa saja tidak dilalui dan langsung pada tahap yang lebih maju. Dengan demikian tahap inkulturasi ini dapat juga dikatakan sebagai model di mana model yang satu mungkin memiliki hubungan satu dengan yang lainnya.

2.4.1 Tahap Pengambilalihan

Tahap pengambilalihan (imposition) merupakan tahap yang paling sederhana dari tahap yang lainnya. Sebab, dalam prosesnya orang dari budaya tertentu mengambil alih atau menggunakan begitu saja rumusan atau teks asli yang ada. Misalnya teks liturgi misa yang digunakan menggunakan bahasa Latin atau Inggris padahal masyarakat tersebut tidak menggunakan bahasa Latin atau Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Tentunya tahap ini masih jauh dari penghayatan. Apalagi bila seseorang tidak mengerti bahasa yang digunakannya.

Bagi A. Chupungco, di sinilah kelemahan dari penggunaan bahasa Latin dalam kebudayaan lain. Maka konsekuensinya adalah jauh dari penghayatan karena tidak dimengerti dan dipahami, tidak ada ruang bagi teologi yang lebih kontekstual dan akhirnya Gereja lokal sulit berkembang dan melahirkan teologi lokalnya sendiri21.

Tahap ini dalam inkulturasi musik liturgi dapat kita temukan pada penulisan lagu-lagu Latin model Gregorian yang ada di buku nyanyian umat Puji

20 Dikutip dari E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 33.

21 Anscar J. Chupungco, O.S.B., Liturgiam Authenticam and Inculturation, dalam “East Asian Patoral Review” 39 (2002), 98.

(39)

Syukur yang dikeluarkan oleh Komisi Liturgi KWI. Beberapa paroki di Indonesia masih menggunakan lagu-lagu Latin pada kesempatan-kesempatan misa meskipun sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sedangkan terjemahan lagu- lagu Gregorian ke dalam bahasa Indonesia masuk dalam tahap penerjemahan inkulturasi yang akan dibahas selanjutnya.

2.4.2 Tahap Penerjemahan

Tahap penerjemahan lebih maju dari tahap pengambil-alihan. Prosesnya adalah rumusan-rumusan dan ajaran iman Gereja (hukum, liturgi dan katekese) diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Robert Schreiter menyebut model penerjemahan ini sebagai model teologi lokal yang pertama22. Budaya setempat merumuskan atau mencari kata yang tepat dan mempertimbangkan segala segi seperti pemaknaan bahasa, sosiologis, antropologis maupun segi religiositasnya.

Dari usaha ini tentu diharapkan pemahaman teologi yang lebih hidup dan warna lokalitas yang lebih mengena di hati setiap orang. Namun, penerjemahan bukanlah proses yang mudah, sebab membahasakan suatu istilah asing ke dalam bahasa setempat belum tentu sesuai dengan makna dari bahasa asli atau bahkan bertolak belakang. Bagi Schreiter, inilah salah satu dari kelemahan pada tahap atau model penerjemahan ini. Kebanyakan para ahli menganalisa budaya tidak berdasarkan budaya yang diteliti, tetapi hanya untuk menemukan pararel-pararel dengan pola Kekristenan yang sudah ada. Namun, jarang sekali diajukan pertanyaan kritis apakah pararel-pararel itu memang ada atau memiliki makna yang sama

22 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, 15.

(40)

dalamnya 23 . Meskipun demikian, bagi Gereja model penerjemahan juga membawa keuntungan misalnya tradisi dan ajaran iman Gereja dapat dijaga baik.

Tahap ini dalam inkulturasi musik liturgi dapat kita temukan dalam buku nyanyian umat Puji Syukur. Lagu-lagu ordinarium, syahadat iman, Bapa Kami, Sekuensia Paskah dan lagu devosional dalam bahasa Latin sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Ordinarium: 339, 340, 341, 342, 343, 344, 385, 386, 387, 388, 406, 407, 408, 409; Syahadat Iman: 374; Bapa Kami: 402, 403 dan Devosional: 501, 623, 624, 625, 626, 627). Tentunya ada kelemahan dalam terjemahan Latin ke dalam bahasa Indonesia. Seringkali terjemahan Indonesia lebih panjang dari teks Latin (misalnya suku kata) dan terjadi kesulitan bila menyanyikan pola nyanyian Gregorian ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya vokal „o‟ dalam bahasa Latin begitu enak dan indah didengar namun sulit bila dihadirkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata-kata yang berakhiran „o‟

pula24. Boleh dikata, nuansa atau jiwa lagu Gregorian menjadi hilang ketika dinyanyikan ke dalam bahasa Indonesia. Apakah berarti nyanyian Gregorian sebaiknya dinyanyikan dalam bahasa asli? Untuk hal ini diserahkan kembali pada setiap orang dengan tetap memperhatikan bahwa keindahan nyanyian Gregorian dan suasana khidmat memang hanya terdengar dalam versi aslinya.

23 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, 16.

24 Misalnya dalam aklamasi “Gratias agamus Dominio Deo Nostro” diterjemahkan dengan

“Marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita”. Dikutip dari Karl-Edmund Prier, dan Paul Widyawan, Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, 48.

(41)

2.4.3 Tahap Penyesuaian

Tahap penyesuaian atau adaptation merupakan tahap yang lebih maju dan mendalam dari dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini, pendekatan terhadap unsur- unsur dari budaya setempat diolah secara lebih sungguh-sungguh daripada tahap penerjemahan. Terkait dengan tahap penyesuaian ini, Gereja menyerukan pula agar memelihara dan memajukan adat kebiasaan para bangsa, asal saja selaras dengan hakikat dan semangat liturgi yang sejati dan asli (SC 37). Ada dua kata yang penting untuk diperhatikan dalam tahap ini sebagaimana yang dimaksudkan oleh Konstitusi Liturgi yakni aptatio dan accomodatio25. Aptatio menunjuk pada wewenang Konferensi pada Uskup untuk membuat penyesuaian seturut dengan norma liturgi dan wajib mendapat pengakuan dari Tahta Suci. Accomodatio menunjuk pada wewenang setiap pelayan liturgi untuk mengadakan penyesuaian sesuai dengan petunjuk buku-buku liturgi.

Begitu banyak penyesuaian yang kita jumpai dalam bidang liturgi khususnya di Indonesia. Misalnya, tarian-tarian yang bermakna penyambutan tamu kehormatan digunakan dalam prosesi perarakan pembuka Ekaristi, juga menghantar bahan persembahan dalam persiapan persembahan dan biasa juga dalam ritus penutup. Dalam liturgi perkawinan dan tahbisan muncul kebiasaan sungkeman, penggunaan pakaian adat dalam liturgi (pembawa bahan persembahan dsb), gedung Gereja dalam gaya arsitektur setempat (Joglo di Jawa, Madhu di Bajawa-Flores, rumah panggung di Kalimantan, Pura di Bali, Tongkonan di

25 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi), 35.

(42)

Toraja dsb), corak kain pada stola dan kasula, tata ruang altar dengan ornamen hasil seni ukiran dan seni pahat (biasanya untuk Altar, Ambo dan Tabernakel).

Penyesuaian dalam nyanyian liturgi pun banyak kita jumpai terutama dalam buku nyanyian umat Madah Bakti terbitan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta26. Misalnya nyanyian madah syukur gaya Toraja, Maha Dahsyat Karya Tangan-Nya (MB. 485). Nyanyian ini diciptakan dengan mengambil salah satu kidung pantun (lagu dasar: Londe) yang ada dalam masyarakat Toraja.

Unsur-unsur alam seperti gunung, lembah, sawah dan ladang sungguh sesuai dengan topografi daerah Toraja dan mata pencaharian masyarakatnya. Semua keindahan alam itu membawa pada rasa syukur dan pujian kepada Tuhan yang maha agung.

2.4.4 Tahap Akhir: Inkulturasi yang Mendalam

Tradisi Paskah yang dirayakan Gereja sampai saat ini merupakan tradisi yang berakar pada perayaan paskah Yahudi. Namun bagi orang Kristen sendiri makna paskah Yahudi tersebut dimaknai secara baru. Paskah Yahudi yang berarti perayaan karya pembebasan Allah atas bangsa Israel dari penjajahan Mesir memperoleh makna baru dan berpuncak pada Paskah Yesus Kristus yang merupakan karya pembebasan Allah atas umat manusia dari penjajahan dosa dan maut. Inilah contoh suatu inkulturasi yang mendalam. Ciri khasnya bahwa unsur budaya setempat tetap namun roh atau maknanya mendapat arti yang baru karena telah dibaptis atau diterangi oleh Injil Yesus Kristus.

26 Ada ratusan nyanyian inkulturasi dipublikasikan dalam Madah Bakti yang tercipta dari 53 lokakarya komposisi musik liturgi yang diadakan oleh PML sepanjang tahun 1971-2011.

(43)

Untuk sampai pada tahap yang mendalam ini tidaklah mudah. Butuh proses dan tentunya melibatkan seluruh umat Allah dan bukan hanya segelintir orang saja atau kelompok tertentu. Umat Allah yang berliturgi perlu dilibatkan bukan sekadar untuk menghindari selera segelintir orang atau kelompok bahkan kreasi berlebihan dari mereka yang pernah „mendalami‟ liturgi. Keterlibatan seluruh umat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Missio 54 adalah karena aspek “sensus fidei” atau rasa iman yang tidak boleh diabaikan.

Proses lokakarya komposisi musik liturgi yang seringkali diadakan oleh PML menjadi contoh yang baik bagaimana penciptaan suatu nyanyian inkulturasi melibatkan banyak elemen masyarakat. Misalnya sebelum mengadakan suatu lokakarya di daerah, PML membentuk panitia persiapan di daerah untuk merekam musik tradisional yang ada, mencari peserta yang berkompeten di bidangnya (ahli budaya, musik tradisional, pemangku adat, aktivis liturgi dsb), persiapan akomodasi peserta dan lain-lain. Pada saat lokakarya, peserta dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyusun syair nyanyian dalam tema tertentu lalu mencoba menyanyikannya dalam motif atau pola nyanyian tradisional yang diketahui. Hasil-hasil nyanyian kemudian dipresentasikan dalam sidang pleno, ditanggapi dan diperbaiki bersama bila ada yang tidak sesuai dengan keotentikan budaya khususnya dengan prinsip-prinsip Liturgi dan nilai-nilai Injili. Alhasil, nyanyian liturgi yang tercipta bukan hanya hasil kreasi dan selera pribadi dari segelintir orang melainkan melibatkan banyak pihak yang terkait khususnya umat setempat yang lebih memiliki sensus fidei daripada tim PML sendiri tentunya.

(44)

2.5 Inkulturasi Musik Liturgi

Sebelum melihat lebih khusus inkulturasi dalam bidang musik liturgi ada baiknya bila kita melihat lebih dulu sejarah singkat bagaimana inkulturasi dalam bidang liturgi telah menjadi bagian dari Gereja sejak awal kemunculannya.

Sedangkan contoh konkret usaha inkulturasi musik liturgi akan dibatasi pada usaha inkulturasi musik liturgi di Indonesia.

Inkulturasi dalam bidang liturgi dapat dikatakan setua Gereja itu sendiri.

Ketika kelompok murid Yesus menjadi sebuah kawanan yakni Gereja, mereka tidak lepas dari persoalan bagaimana iman akan Yesus Kristus dihidupi seutuhnya dalam budaya Yahudi terlebih berhadapan dengan pelaksanaan hukum Taurat atau Perjanjian Lama27. Apalagi ketika kekristenan berkembang luas di luar Palestina kira-kira pada abad I-III terjadi inkulturasi di mana iman Kristen yang sudah mendarah daging dalam budaya Yahudi berhadapan dengan budaya Yunani (bahasa, filsafat, budaya kota). Pada abad keempat, Gereja berhadapan dengan pengaruh yang kuat dari budaya Roma (Latin-Romawi). Ini memaksa Gereja menjadi liturgi kepausan: universalisme Gereja dan universalisme kekaisaran Roma menjadi satu28. Secara khusus inkulturasi liturgi terjadi di awal abad-abad pertengahan, pada waktu Gereja di wilayah Eropa Selatan bertemu dengan suku- suku di Eropa Tengah dan Utara yang menghasilkan Liturgia Gallica dengan simbol-simbol yang sangat kaya29. Misalnya pesta Natal tanggalnya diambil alih

27 E. Martasudjita, “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia: Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, 133.

28 Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 9.

29 Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi, 9.

Referensi

Dokumen terkait