• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POLA DASAR INKULTURASI: ISTILAH, MAKNA, DASAR

2.4 Tahap-tahap Inkulturasi

2.4 Tahap-tahap Inkulturasi

Tahap-tahap inkulturasi yang dipaparkan berikut ini mengikuti rangkuman Peter Schineller, SJ, dalam The New Dictionary of Sacramental Worship (Dublin:

19 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 25.

Gill and Macmillan 1990)20. Istilah „tahap‟ bisa jadi menunjuk suatu proses yang perlu dilalui dari awal tahap demi tahap. Namun, khusus pada tahap inkulturasi liturgi ini, tahap pertama bisa saja tidak dilalui dan langsung pada tahap yang lebih maju. Dengan demikian tahap inkulturasi ini dapat juga dikatakan sebagai model di mana model yang satu mungkin memiliki hubungan satu dengan yang lainnya.

2.4.1 Tahap Pengambilalihan

Tahap pengambilalihan (imposition) merupakan tahap yang paling sederhana dari tahap yang lainnya. Sebab, dalam prosesnya orang dari budaya tertentu mengambil alih atau menggunakan begitu saja rumusan atau teks asli yang ada. Misalnya teks liturgi misa yang digunakan menggunakan bahasa Latin atau Inggris padahal masyarakat tersebut tidak menggunakan bahasa Latin atau Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Tentunya tahap ini masih jauh dari penghayatan. Apalagi bila seseorang tidak mengerti bahasa yang digunakannya.

Bagi A. Chupungco, di sinilah kelemahan dari penggunaan bahasa Latin dalam kebudayaan lain. Maka konsekuensinya adalah jauh dari penghayatan karena tidak dimengerti dan dipahami, tidak ada ruang bagi teologi yang lebih kontekstual dan akhirnya Gereja lokal sulit berkembang dan melahirkan teologi lokalnya sendiri21.

Tahap ini dalam inkulturasi musik liturgi dapat kita temukan pada penulisan lagu-lagu Latin model Gregorian yang ada di buku nyanyian umat Puji

20 Dikutip dari E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 33.

21 Anscar J. Chupungco, O.S.B., Liturgiam Authenticam and Inculturation, dalam “East Asian Patoral Review” 39 (2002), 98.

Syukur yang dikeluarkan oleh Komisi Liturgi KWI. Beberapa paroki di Indonesia masih menggunakan lagu-lagu Latin pada kesempatan-kesempatan misa meskipun sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sedangkan terjemahan lagu-lagu Gregorian ke dalam bahasa Indonesia masuk dalam tahap penerjemahan inkulturasi yang akan dibahas selanjutnya.

2.4.2 Tahap Penerjemahan

Tahap penerjemahan lebih maju dari tahap pengambil-alihan. Prosesnya adalah rumusan-rumusan dan ajaran iman Gereja (hukum, liturgi dan katekese) diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Robert Schreiter menyebut model penerjemahan ini sebagai model teologi lokal yang pertama22. Budaya setempat merumuskan atau mencari kata yang tepat dan mempertimbangkan segala segi seperti pemaknaan bahasa, sosiologis, antropologis maupun segi religiositasnya.

Dari usaha ini tentu diharapkan pemahaman teologi yang lebih hidup dan warna lokalitas yang lebih mengena di hati setiap orang. Namun, penerjemahan bukanlah proses yang mudah, sebab membahasakan suatu istilah asing ke dalam bahasa setempat belum tentu sesuai dengan makna dari bahasa asli atau bahkan bertolak belakang. Bagi Schreiter, inilah salah satu dari kelemahan pada tahap atau model penerjemahan ini. Kebanyakan para ahli menganalisa budaya tidak berdasarkan budaya yang diteliti, tetapi hanya untuk menemukan pararel-pararel dengan pola Kekristenan yang sudah ada. Namun, jarang sekali diajukan pertanyaan kritis apakah pararel-pararel itu memang ada atau memiliki makna yang sama

22 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, 15.

dalamnya 23 . Meskipun demikian, bagi Gereja model penerjemahan juga membawa keuntungan misalnya tradisi dan ajaran iman Gereja dapat dijaga baik.

Tahap ini dalam inkulturasi musik liturgi dapat kita temukan dalam buku nyanyian umat Puji Syukur. Lagu-lagu ordinarium, syahadat iman, Bapa Kami, Sekuensia Paskah dan lagu devosional dalam bahasa Latin sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Ordinarium: 339, 340, 341, 342, 343, 344, 385, 386, 387, 388, 406, 407, 408, 409; Syahadat Iman: 374; Bapa Kami: 402, 403 dan Devosional: 501, 623, 624, 625, 626, 627). Tentunya ada kelemahan dalam terjemahan Latin ke dalam bahasa Indonesia. Seringkali terjemahan Indonesia lebih panjang dari teks Latin (misalnya suku kata) dan terjadi kesulitan bila menyanyikan pola nyanyian Gregorian ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya vokal „o‟ dalam bahasa Latin begitu enak dan indah didengar namun sulit bila dihadirkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata-kata yang berakhiran „o‟

pula24. Boleh dikata, nuansa atau jiwa lagu Gregorian menjadi hilang ketika dinyanyikan ke dalam bahasa Indonesia. Apakah berarti nyanyian Gregorian sebaiknya dinyanyikan dalam bahasa asli? Untuk hal ini diserahkan kembali pada setiap orang dengan tetap memperhatikan bahwa keindahan nyanyian Gregorian dan suasana khidmat memang hanya terdengar dalam versi aslinya.

23 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, 16.

24 Misalnya dalam aklamasi “Gratias agamus Dominio Deo Nostro” diterjemahkan dengan

“Marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita”. Dikutip dari Karl-Edmund Prier, dan Paul Widyawan, Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, 48.

2.4.3 Tahap Penyesuaian

Tahap penyesuaian atau adaptation merupakan tahap yang lebih maju dan mendalam dari dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini, pendekatan terhadap unsur-unsur dari budaya setempat diolah secara lebih sungguh-sungguh daripada tahap penerjemahan. Terkait dengan tahap penyesuaian ini, Gereja menyerukan pula agar memelihara dan memajukan adat kebiasaan para bangsa, asal saja selaras dengan hakikat dan semangat liturgi yang sejati dan asli (SC 37). Ada dua kata yang penting untuk diperhatikan dalam tahap ini sebagaimana yang dimaksudkan oleh Konstitusi Liturgi yakni aptatio dan accomodatio25. Aptatio menunjuk pada wewenang Konferensi pada Uskup untuk membuat penyesuaian seturut dengan norma liturgi dan wajib mendapat pengakuan dari Tahta Suci. Accomodatio menunjuk pada wewenang setiap pelayan liturgi untuk mengadakan penyesuaian sesuai dengan petunjuk buku-buku liturgi.

Begitu banyak penyesuaian yang kita jumpai dalam bidang liturgi khususnya di Indonesia. Misalnya, tarian-tarian yang bermakna penyambutan tamu kehormatan digunakan dalam prosesi perarakan pembuka Ekaristi, juga menghantar bahan persembahan dalam persiapan persembahan dan biasa juga dalam ritus penutup. Dalam liturgi perkawinan dan tahbisan muncul kebiasaan sungkeman, penggunaan pakaian adat dalam liturgi (pembawa bahan persembahan dsb), gedung Gereja dalam gaya arsitektur setempat (Joglo di Jawa, Madhu di Bajawa-Flores, rumah panggung di Kalimantan, Pura di Bali, Tongkonan di

25 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi), 35.

Toraja dsb), corak kain pada stola dan kasula, tata ruang altar dengan ornamen hasil seni ukiran dan seni pahat (biasanya untuk Altar, Ambo dan Tabernakel).

Penyesuaian dalam nyanyian liturgi pun banyak kita jumpai terutama dalam buku nyanyian umat Madah Bakti terbitan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta26. Misalnya nyanyian madah syukur gaya Toraja, Maha Dahsyat Karya Tangan-Nya (MB. 485). Nyanyian ini diciptakan dengan mengambil salah satu kidung pantun (lagu dasar: Londe) yang ada dalam masyarakat Toraja.

Unsur-unsur alam seperti gunung, lembah, sawah dan ladang sungguh sesuai dengan topografi daerah Toraja dan mata pencaharian masyarakatnya. Semua keindahan alam itu membawa pada rasa syukur dan pujian kepada Tuhan yang maha agung.

2.4.4 Tahap Akhir: Inkulturasi yang Mendalam

Tradisi Paskah yang dirayakan Gereja sampai saat ini merupakan tradisi yang berakar pada perayaan paskah Yahudi. Namun bagi orang Kristen sendiri makna paskah Yahudi tersebut dimaknai secara baru. Paskah Yahudi yang berarti perayaan karya pembebasan Allah atas bangsa Israel dari penjajahan Mesir memperoleh makna baru dan berpuncak pada Paskah Yesus Kristus yang merupakan karya pembebasan Allah atas umat manusia dari penjajahan dosa dan maut. Inilah contoh suatu inkulturasi yang mendalam. Ciri khasnya bahwa unsur budaya setempat tetap namun roh atau maknanya mendapat arti yang baru karena telah dibaptis atau diterangi oleh Injil Yesus Kristus.

26 Ada ratusan nyanyian inkulturasi dipublikasikan dalam Madah Bakti yang tercipta dari 53 lokakarya komposisi musik liturgi yang diadakan oleh PML sepanjang tahun 1971-2011.

Untuk sampai pada tahap yang mendalam ini tidaklah mudah. Butuh proses dan tentunya melibatkan seluruh umat Allah dan bukan hanya segelintir orang saja atau kelompok tertentu. Umat Allah yang berliturgi perlu dilibatkan bukan sekadar untuk menghindari selera segelintir orang atau kelompok bahkan kreasi berlebihan dari mereka yang pernah „mendalami‟ liturgi. Keterlibatan seluruh umat Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Missio 54 adalah karena aspek “sensus fidei” atau rasa iman yang tidak boleh diabaikan.

Proses lokakarya komposisi musik liturgi yang seringkali diadakan oleh PML menjadi contoh yang baik bagaimana penciptaan suatu nyanyian inkulturasi melibatkan banyak elemen masyarakat. Misalnya sebelum mengadakan suatu lokakarya di daerah, PML membentuk panitia persiapan di daerah untuk merekam musik tradisional yang ada, mencari peserta yang berkompeten di bidangnya (ahli budaya, musik tradisional, pemangku adat, aktivis liturgi dsb), persiapan akomodasi peserta dan lain-lain. Pada saat lokakarya, peserta dibagi dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyusun syair nyanyian dalam tema tertentu lalu mencoba menyanyikannya dalam motif atau pola nyanyian tradisional yang diketahui. Hasil-hasil nyanyian kemudian dipresentasikan dalam sidang pleno, ditanggapi dan diperbaiki bersama bila ada yang tidak sesuai dengan keotentikan budaya khususnya dengan prinsip-prinsip Liturgi dan nilai-nilai Injili. Alhasil, nyanyian liturgi yang tercipta bukan hanya hasil kreasi dan selera pribadi dari segelintir orang melainkan melibatkan banyak pihak yang terkait khususnya umat setempat yang lebih memiliki sensus fidei daripada tim PML sendiri tentunya.