• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7 Sistematika Penulisan

Pokok pemikiran, analisa dan pandangan penulis dalam karya tulis ini akan diuraikan secara sistematis sebagai berikut.

Bab I : Pendahuluan. Pendahuluan ini menguraikan sejumlah bagian penting yang mendasari seluruh uraian karya tulis ini. Diawali dengan uraian tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, merumuskan hipotesa dari suatu masalah kemudian melihat metode penelitian yang akan digunakan, tujuannya, sumbangan penelitian dan sistematika penuliasan.

Bab II : Pola dasar Inkulturasi: mengurai istilah, makna, dasar teologis dan tahap-tahapnya. Bagian ini mengantar pada pemahaman mendasar mengenai inkulturasi itu sendiri. Dimulai dengan pengertian istilah, maknanya, dasar

teologis dari inkulturasi serta tahap-tahap dalam berinkulturasi. Selain itu akan dilihat pula kedudukan nyanyian dalam liturgi menurut beberapa dokumen Gereja serta secara mendalam memahami struktur dasar nyanyian liturgi dalam perayaan Ekaristi. Selanjutnya akan dipaparkan pengertian dan makna inkulturasi musik liturgi menurut beberapa dokumen Gereja yakni Sacrosanctum Concilium, Musicam Sacram, De Liturgia Romana et Inculturatione dan Chirograph on Sacred Music.

Bab III : Rasa Religius Orang Toraja dan Pola Nyanyian Tradisionalnya.

Bagian ini adalah hasil penelitian lapangan yang secara khusus mengurai pemahaman atau konsep dasar orang Toraja mengenai Sang Pencipta, alam semesta, dan hubungan dengan sesama. Agar lebih konkret akan diurai pula bentuk-bentuk upacara keagamaan beserta dengan pola nyanyian tradisionalnya yang dapat membantu menemukan arti, lambang, fungsi dan bentuk dari pola nyanyian pada bagian selanjutnya.

Bab IV : Sumbangan Pola Nyanyian Tradisional Toraja Bagi Inkulturasi Musik Liturgi. Bagian ini akan mengkaji hasil nyanyian liturgi inkulturasi yang tercipta pada lokakarya komposisi musik liturgi di Toraja tahun 1998. Lagu-lagu pilihan akan dikaji dan dikritisi berdasarkan beberapa aspek yaitu pola nyanyian tradisional yang dipakai, kedudukannya dalam liturgi, penggunaan syair dan pola inkulturasinya. Selanjutnya akan dipaparkan evaluasi hasil lokakarya dari beberapa peserta lokakarya dan penulis sendiri untuk menentukan arah pastoral yang akan dilaksanakan sebagai tindak lanjut hasil lokakarya.

Bab V : Penutup. Bagian terakhir dari karya tulis ini menutup seluruh rangkaian analisa dan refleksi mengenai sumbangan kekayaan nyanyian tradisional Toraja bagi inkulturasi musik liturgi di wilayah Keuskupan Agung Makassar khususnya di Kevikepan Toraja.

BAB II

POLA DASAR INKULTURASI: ISTILAH, MAKNA, DASAR TEOLOGIS DAN TAHAP-TAHAPNYA SERTA INKULTURASI

MUSIK LITURGI

2.1 Peristilahan

Tema inkulturasi menjadi tema sentral dalam gagasan teologis hubungan Gereja dan budaya khususnya pada abad XX dan selanjutnya. Sebelum memahami lebih dalam soal tema ini perlu dilihat beberapa pendekatan problematik yang muncul di seputar istilah inkulturasi tersebut. Misalnya dalam Redemptoris Missio, disinggung bagaimanakah ajaran „Kerajaan Allah‟ yang diwariskan dan diwartakan oleh para Rasul dalam kebudayaan tertentu (Yahudi-Yunani-Romawi dan Barat) dapat diwartakan dan diterima dalam kebudayaan-kebudayaan lain di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu perlulah sebuah pendekatan baru mewartaan Kerajaan Allah dalam mana Injil diwartakan dan diungkapkan dalam situasi sosio-politis dan religius-kultural tertentu agar pesannya benar-benar sampai dan berdaya ubah. Ada juga pandangan inkulturasi yang nampaknya berat sebelah: iman Kristen berada di pusat,

“mengkomunikasikan diri” kepada kebudayaan lain, yang sepertinya hanya memberi saja dan kurang terbuka untuk menerima atau belajar sesuatu dari

kebudayaan lain1. Jika demikian, teologi lokal yang diharapkan tumbuh selaras dengan Gereja universal dalam proses inkulturasi tersebut sulit untuk berkembang2.

Lepas dari permasalahan seputar inkulturasi di atas, perlu disadari bahwa pengertian inkulturasi serta cakupannya memang sangat luas apalagi dalam konteks Gereja Indonesia yang memiliki kekayaan religius-budaya leluhur yang sangat kaya. Istilah inkulturasi pertama-tama dipopulerkan oleh Joseph Mason, seorang misiolog dari Belgia pada tahun 1959 3 . Kata „inkulturasi‟ ini berhubungan dengan kosakata antropologi enkulturasi yakni penyesuaian seseorang ke dalam suatu budaya tertentu dan akkulturasi yakni pertemuan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur dari suatu budaya asing. Akkulturasi lebih bernada negatif sebab dalam pertemuan antar-budaya terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan dan dapat jadi ciri kebudayaan dari kelompok yang satu demikian dominannya, sehingga menghapus ciri kebudayaan dari kelompok lainnya4. Jelas ini bukanlah inkulturasi.

Istilah inkulturasi masuk dalam khazanah diskusi teologis sekitar tahun 70-an misalnya pada pertemuan para Uskup di Asia yang tercantum dalam dokumen FABC I di Taiwan pada tahun 1974. Istilah ini juga digunakan dalam dokumen Yesuit pada Kongregasi Jendral pada tahun 1974/75. Pada sinode para

1 Robert Hardawiryana, “Inkulturasi dalam Alam Pikiran Indonesia”, dalam Spektrum, 22 (1994), 263-264.

2 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, diterjemahkan oleh Stephen Suleeman dari Constructing Local Theology, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2006, 62.

3 E. Martasudjita, “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia: Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, dalam Studia Philosophica et Theologica, 5 (2005), 130.

4 Karl-Edmund Prier, dan Paul Widyawan, Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, 53.

Uskup tahun 1977, istilah ini diterima dan digunakan dalam dokumen resmi Gereja5. MAWI lewat Komisi Liturgi (sekarang KWI) juga mengeluarkan dokumen tentang pedoman inkulturasi tahun 1984. Dalam dokumen tersebut, inkulturasi didefinisikan sebagai pengungkapan/perayaan liturgi Gereja dalam tatacara dan suasana yang serba selaras dengan cita rasa budaya umat yang beribadat6. Paus Yohanes Paulus II menggunakan istilah ini pada beberapa dokumen yang dikeluarkannya yakni dalam anjuran Apostolik Catechesi Tradendae no. 53 dan Ensiklik Redemptoris Missio no. 52 dan 54.

2.2 Makna Inkulturasi

Banyak orang yang menganggap inkulturasi hanya dapat terjadi dan dilakukan dalam konteks liturgi saja. Misalnya busana liturgi yang bercorak budaya tertentu, musik tradisional yang digunakan dalam Gereja, tata ruang dan arsitek bangunan setempat. Tentu saja inkulturasi yang dipahami kebanyakan orang tersebut tidaklah sepenuhnya salah namun tidak tepat juga karena membatasi pengertian dan maknanya yang sebenarnya sangat luas dan dalam.

Meskipun pengertiannya sangat luas dan dalam, prinsip dasar yang selalu dapat diperhatikan untuk memahami inkulturasi yakni: inkulturasi merupakan inkarnasi atau penjelmaan hidup kristiani dan pewartaan Kristen dalam rangka

5 E. Martasudjita, “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia: Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, 130

6 Komisi Liturgi MAWI, Pedoman Inkulturasi, dalam majalah EKAWARTA 5(1985), 5.

kebudayaan tertentu 7 . Dengan demikian inkulturasi tidak hanya mencari pewajahan lewat unsur-unsur dari kebudayaan yang bersangkutan, tetapi usaha inkulturasi menjadi prinsip yang menjiwai, mengarahkan dan mempersatukan kebudayaan, dibentuk dan dibangun kembali hingga menjadi “ciptaan baru”8.

Ciptaan baru yang dimaksud menegaskan bahwa inkulturasi bukanlah semata-mata soal pengungkapan iman Gereja universal ke dalam tata cara budaya atau bahasa tertentu. Pengungkapan budaya tersebut haruslah sampai pada penghayatan iman yang konkret dalam hidup sehari-hari di mana hidup diubah dan ditransformasikan dalam Injil Kristus yang diimani9. Inkulturasi bukan sekadar menerjemahkan budaya atau bahasa tertentu, tetapi menemukan makna terdalam dari budaya tersebut dan menjadi bagian dalam semangat hidup kristiani10. Sinode para Uskup tahun 1985 juga menegaskan bahwa inkulturasi bukanlah sekadar adaptasi atau penyesuaian lahiriah saja melainkan haruslah sampai pada sebuah transformasi batin atau interior transformation. Inkulturasi menyangkut masalah penghayatan mendalam di mana seluruh diri manusia ikut terlibat yakni perasaan, tingkah laku, disposisi batin, tabiat dan tradisinya menyatu dengan Injil yang diterima dan nampak dalam kehidupan konkret. Paus Yohanes Paulus II menegaskan pula transformasi mendalam ini dalam ensiklik Redemptoris Missio tahun 1990 yaitu, “Inkulturasi berarti transformasi

7 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), diterjemahkan oleh A.

Soenarja, SJ., Seri Pustaka Kuntara, 2914, Semarang, 1978, 2.

8 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 2.

9 E. Martasudjidta, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 12.

10 Subhash Anand, “The Inkulturation of the Eucharistic Liturgy” dalam Vidyajyoti Journal of Theological Reflection, 57 (1993), 271.

mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang bebeda-beda11.

Definisi inkulturasi yang dipaparkan oleh E. Martasudjita dalam bukunya, “Liturgi: Pengantar untuk Studi Praksis Liturgi”, kiranya sangat membantu dalam memahami beragam definisi inkulturasi di atas:

“Inkulturasi sebagai suatu proses yang terus menerus, dalam mana Injil diungkapkan ke dalam suatu situasi sosio-politis dan religius-kultural dan sekaligus Injil itu menjadi daya dan kekuatan yang mengubah dan mentransformasikan situasi tersebut dan kehidupan orang-orang setempat.12

Definisi di atas memiliki makna bahwa inkulturasi tidak hanya memuat atau sekadar suatu cara pengungkapan iman Gereja universal ke dalam tata-cara budaya tertentu tetapi juga menyangkut penghayatan iman yang mendalam.

Pengungkapan iman misalnya terungkap lewat rumusan-rumusan doa yang tidak lagi didominasi oleh bahasa tertentu tetapi sesuai dengan bahasa setempat yang dihidupi. Pengungkapan lainnya juga nampak melalui seni lukis (gambar Yesus yang berwajah Asia misalnya), seni tari, seni patung (misalnya corpus salib yang berbeda-beda di setiap daerah), seni suara dan musik Gereja yang dimainkan dalam alunan alat musik tradisional. Sedangkan penghayatan iman lebih pada soal transformasi hidup yang melibatkan seluruh diri dan kebudayaannya.

11 Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI, De Liturgia Romana et Inculturatione (Liturgi Romawi dan Inkulturasi), KWI, Jakarta 2008, 14.

12 E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Revisi Buku Pengantar Liturgi), Kanisius, Yogyakarta, 2011, 266.

Sejak awal inkulturasi memang dimaksudkan agar Injil benar-benar diresapkan dan mengena di hati setiap orang. Maka, Injil melalui usaha inkulturasi perlulah memasuki setiap kebudayaan dari dalam, sebab tidak ada orang-orang yang lebih meresapi dari dalam kehidupan bangsa selain „orang dalam‟ yang lahir dalam kebudayaan itu sendiri13. Akhirnya, ketika Injil membuka diri memasuki setiap kebudayaan maka diharapkan budaya itu turut memperdalam, menjelaskan dan menerangi misteri Kristus sebagaimana diwartakan oleh para Rasul14.

2.3 Dasar Teologis Inkulturasi: Misteri Perutusan Trinitaris

Dasar teologis inkulturasi terletak pada perutusan trinitaris yaitu perutusan Putra oleh Bapa dalam Roh Kudus dan sekaligus misteri perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra15. Dasar teologis inkulturasi ini mengambil pemikiran teologis yang dikembangkan oleh E. Martasudjita dalam Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Lokal (Catatan Matakuliah Teologi Inkulturasi), berdasarkan gagasan G.L. Muller mengenai kesatuan perutusan trinitaris.

Perutusan Putra oleh Bapa mewujud dalam rencana keselamatan Allah dalam sejarah manusia di mana Putra menjelma menjadi manusia dan inilah misteri Inkarnasi. Seluruh hidup dan karya Yesus di dunia dalam kerangka keselamatan Allah itu berpuncak pada wafat dan kebangkitan-Nya sebagai misteri Paskah.

13 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 25.

14 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 13.

15 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 23.

Perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra terwujud dalam Pencurahan Roh oleh Allah melalui Yesus Kristus untuk membagikan, menerapkan dan menjamin agar karya keselamatan Allah Bapa yang terlaksana melalui Putra-Nya Yesus Kristus itu sampai kepada masing-masing orang di segala zaman16. Pencurahan Roh Kudus ini senyatanya terjadi pada hari Pentakosta (Kis 2) dan inilah yang disebut sebagai misteri Pentakosta. Selanjutnya ketiga misteri di atas yang terjadi dalam perutusan trinitas akan dibahas lebih lanjut.

2.3.1 Misteri Inkarnasi

Misteri inkarnasi atau misteri penjelmaan adalah peristiwa masuknya Allah (yakni Allah Putra) ke dalam dunia yakni dalam konteks hidup manusia dengan seluruh dimensinya: religius, sosiologis, antropologis, budaya, ekonomi, politik, lingkungan hidup dsb17. Penjelmaan inilah yang merupakan inkulturasi yang sempurna, di mana Allah menjadi manusia dengan menerima, memakai dan mengangkat seluruh kehidupan manusia beserta dengan kebudayaannya sebagai medan perjumpaan antara Allah dan manusia.

Allah sendirilah yang berinisiatif dan ingin dekat dengan manusia dan terlibat seluruhnya dalam diri manusia. Putra Allah menjadi manusia yang lahir dari seorang wanita, mengikatkan diri pada keadaan sosial, hukum setempat dan budaya tertentu. Yesus Kristus hidup menurut Taurat, namun Ia sendiri menyempurnakannya. Ia merayakan Paskah Yahudi, namun membaharuinya.

16 E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 24.

17 E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Revisi Buku Pengantar Liturgi), 267.

Sebagaimana Allah telah berbuat demikian, Gereja pula melaksanakan inkulturasi dengan ingin menjelma sepenuh jiwa dan sepenuh hati dalam setiap kebudayaan, untuk diperkaya dengan nilai-nilai baru dan menyumbangkan penebusan Kristus sebagai nilai yang berharga dan sumber hidup baru18.

2.3.2 Misteri Paskah

Misteri Paskah adalah misteri penebusan Kristus melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Kristus yang bangkit tidak hanya menebus namun sekaligus membersihkan, memurnikan dan menyucikan seluruh kehidupan manusia termasuk seluruh kebudayaannya.

Penebusan ini begitu penting karena tidak semua dimensi kehidupan manusia termasuk seluruh dimensi kebudayaannya adalah bersih dan murni.

Banyak paham dari kebudayaan tertentu tidak sesuai dengan nilai-nilai Injili dan harus dimurnikan dan disucikan. Misalnya dalam pemahaman masyarakat Toraja khususnya pemeluk agama asli yakni Aluk To Dolo¸ menyakini bahwa keselamatan arwah dari manusia yang meninggal sangat ditentukan dari jumlah hewan kerbau yang dikurbankan. Pemahaman ini perlu dimurnikan dengan paham keselamatan Kristiani bahwa Kristus Sang Anak Domba adalah Kurban utama dan sejati bagi penebusan dan keselamatan umat manusia. Maka, dalam proses inkulturasi pula, kebudayaan yang dibawa serta masuk dalam nilai-nilai Injil harus mengalami pemurnian dalam wafat dan kebangkitan Kristus.

18 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 25.

2.3.3 Misteri Pantekosta

Sebagaimana dalam misteri penjelmaan, Putra masuk dalam keluarga manusia sebagai seorang pribadi, begitu pula dalam setiap peristiwa dan usaha inkulturasi, Roh Kudus hadir membuka kekayaan Gereja yang beraneka-ragam19. Perutusan Roh Kudus oleh Bapa dan Putra tidak hanya mengangkat kita sebagai anak, menjadi ahli waris (Rm 8:15), tetapi memungkinkan kita pula sebagai Gereja untuk mewartakan Injil sampai kepada segala bangsa. Roh Kudus yang sama, yang tercurah pada hari Pentakosta (Kis 2) tercurah pula pada Gereja dalam mewartakan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus.

Mukjizat Pentakosta memperlihatkan peran Roh Kudus dalam pewartaan karya keselamatan sehingga pewartaan tersebut dapat diterima oleh segala bangsa dalam beragam bahasa dan kebudayaan. Peristiwa yang dialami para rasul pada hari Pentakosta juga menunjukkan oleh karena berkat kurnia Roh Kudus, hati setiap orang menjadi terbuka dan bersedia untuk dibaptis, “mereka menjadi terharu dan orang-orang yang menerima pewartaannya itu memberi diri dibaptis” (Kis 2:37,41).

2.4 Tahap-tahap Inkulturasi

Tahap-tahap inkulturasi yang dipaparkan berikut ini mengikuti rangkuman Peter Schineller, SJ, dalam The New Dictionary of Sacramental Worship (Dublin:

19 Pedro Aruppe, Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan.

Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), 25.

Gill and Macmillan 1990)20. Istilah „tahap‟ bisa jadi menunjuk suatu proses yang perlu dilalui dari awal tahap demi tahap. Namun, khusus pada tahap inkulturasi liturgi ini, tahap pertama bisa saja tidak dilalui dan langsung pada tahap yang lebih maju. Dengan demikian tahap inkulturasi ini dapat juga dikatakan sebagai model di mana model yang satu mungkin memiliki hubungan satu dengan yang lainnya.

2.4.1 Tahap Pengambilalihan

Tahap pengambilalihan (imposition) merupakan tahap yang paling sederhana dari tahap yang lainnya. Sebab, dalam prosesnya orang dari budaya tertentu mengambil alih atau menggunakan begitu saja rumusan atau teks asli yang ada. Misalnya teks liturgi misa yang digunakan menggunakan bahasa Latin atau Inggris padahal masyarakat tersebut tidak menggunakan bahasa Latin atau Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Tentunya tahap ini masih jauh dari penghayatan. Apalagi bila seseorang tidak mengerti bahasa yang digunakannya.

Bagi A. Chupungco, di sinilah kelemahan dari penggunaan bahasa Latin dalam kebudayaan lain. Maka konsekuensinya adalah jauh dari penghayatan karena tidak dimengerti dan dipahami, tidak ada ruang bagi teologi yang lebih kontekstual dan akhirnya Gereja lokal sulit berkembang dan melahirkan teologi lokalnya sendiri21.

Tahap ini dalam inkulturasi musik liturgi dapat kita temukan pada penulisan lagu-lagu Latin model Gregorian yang ada di buku nyanyian umat Puji

20 Dikutip dari E. Martasudjita, Injil Yesus Kristus dalam Perayaan Iman Gereja Lokal (Pro Manuscripto Matakuliah Teologi Inkulturasi). 33.

21 Anscar J. Chupungco, O.S.B., Liturgiam Authenticam and Inculturation, dalam “East Asian Patoral Review” 39 (2002), 98.

Syukur yang dikeluarkan oleh Komisi Liturgi KWI. Beberapa paroki di Indonesia masih menggunakan lagu-lagu Latin pada kesempatan-kesempatan misa meskipun sudah ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Sedangkan terjemahan lagu-lagu Gregorian ke dalam bahasa Indonesia masuk dalam tahap penerjemahan inkulturasi yang akan dibahas selanjutnya.

2.4.2 Tahap Penerjemahan

Tahap penerjemahan lebih maju dari tahap pengambil-alihan. Prosesnya adalah rumusan-rumusan dan ajaran iman Gereja (hukum, liturgi dan katekese) diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Robert Schreiter menyebut model penerjemahan ini sebagai model teologi lokal yang pertama22. Budaya setempat merumuskan atau mencari kata yang tepat dan mempertimbangkan segala segi seperti pemaknaan bahasa, sosiologis, antropologis maupun segi religiositasnya.

Dari usaha ini tentu diharapkan pemahaman teologi yang lebih hidup dan warna lokalitas yang lebih mengena di hati setiap orang. Namun, penerjemahan bukanlah proses yang mudah, sebab membahasakan suatu istilah asing ke dalam bahasa setempat belum tentu sesuai dengan makna dari bahasa asli atau bahkan bertolak belakang. Bagi Schreiter, inilah salah satu dari kelemahan pada tahap atau model penerjemahan ini. Kebanyakan para ahli menganalisa budaya tidak berdasarkan budaya yang diteliti, tetapi hanya untuk menemukan pararel-pararel dengan pola Kekristenan yang sudah ada. Namun, jarang sekali diajukan pertanyaan kritis apakah pararel-pararel itu memang ada atau memiliki makna yang sama

22 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, 15.

dalamnya 23 . Meskipun demikian, bagi Gereja model penerjemahan juga membawa keuntungan misalnya tradisi dan ajaran iman Gereja dapat dijaga baik.

Tahap ini dalam inkulturasi musik liturgi dapat kita temukan dalam buku nyanyian umat Puji Syukur. Lagu-lagu ordinarium, syahadat iman, Bapa Kami, Sekuensia Paskah dan lagu devosional dalam bahasa Latin sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Ordinarium: 339, 340, 341, 342, 343, 344, 385, 386, 387, 388, 406, 407, 408, 409; Syahadat Iman: 374; Bapa Kami: 402, 403 dan Devosional: 501, 623, 624, 625, 626, 627). Tentunya ada kelemahan dalam terjemahan Latin ke dalam bahasa Indonesia. Seringkali terjemahan Indonesia lebih panjang dari teks Latin (misalnya suku kata) dan terjadi kesulitan bila menyanyikan pola nyanyian Gregorian ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya vokal „o‟ dalam bahasa Latin begitu enak dan indah didengar namun sulit bila dihadirkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata-kata yang berakhiran „o‟

pula24. Boleh dikata, nuansa atau jiwa lagu Gregorian menjadi hilang ketika dinyanyikan ke dalam bahasa Indonesia. Apakah berarti nyanyian Gregorian sebaiknya dinyanyikan dalam bahasa asli? Untuk hal ini diserahkan kembali pada setiap orang dengan tetap memperhatikan bahwa keindahan nyanyian Gregorian dan suasana khidmat memang hanya terdengar dalam versi aslinya.

23 Robert J. Schreiter, C.PP.S., Rancang Bangun Teologi Lokal, 16.

24 Misalnya dalam aklamasi “Gratias agamus Dominio Deo Nostro” diterjemahkan dengan

“Marilah bersyukur kepada Tuhan Allah kita”. Dikutip dari Karl-Edmund Prier, dan Paul Widyawan, Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, 48.

2.4.3 Tahap Penyesuaian

Tahap penyesuaian atau adaptation merupakan tahap yang lebih maju dan mendalam dari dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini, pendekatan terhadap unsur-unsur dari budaya setempat diolah secara lebih sungguh-sungguh daripada tahap penerjemahan. Terkait dengan tahap penyesuaian ini, Gereja menyerukan pula agar memelihara dan memajukan adat kebiasaan para bangsa, asal saja selaras dengan hakikat dan semangat liturgi yang sejati dan asli (SC 37). Ada dua kata yang penting untuk diperhatikan dalam tahap ini sebagaimana yang dimaksudkan oleh Konstitusi Liturgi yakni aptatio dan accomodatio25. Aptatio menunjuk pada wewenang Konferensi pada Uskup untuk membuat penyesuaian seturut dengan norma liturgi dan wajib mendapat pengakuan dari Tahta Suci. Accomodatio menunjuk pada wewenang setiap pelayan liturgi untuk mengadakan penyesuaian sesuai dengan petunjuk buku-buku liturgi.

Begitu banyak penyesuaian yang kita jumpai dalam bidang liturgi khususnya di Indonesia. Misalnya, tarian-tarian yang bermakna penyambutan tamu kehormatan digunakan dalam prosesi perarakan pembuka Ekaristi, juga menghantar bahan persembahan dalam persiapan persembahan dan biasa juga dalam ritus penutup. Dalam liturgi perkawinan dan tahbisan muncul kebiasaan sungkeman, penggunaan pakaian adat dalam liturgi (pembawa bahan persembahan dsb), gedung Gereja dalam gaya arsitektur setempat (Joglo di Jawa, Madhu di Bajawa-Flores, rumah panggung di Kalimantan, Pura di Bali, Tongkonan di

Begitu banyak penyesuaian yang kita jumpai dalam bidang liturgi khususnya di Indonesia. Misalnya, tarian-tarian yang bermakna penyambutan tamu kehormatan digunakan dalam prosesi perarakan pembuka Ekaristi, juga menghantar bahan persembahan dalam persiapan persembahan dan biasa juga dalam ritus penutup. Dalam liturgi perkawinan dan tahbisan muncul kebiasaan sungkeman, penggunaan pakaian adat dalam liturgi (pembawa bahan persembahan dsb), gedung Gereja dalam gaya arsitektur setempat (Joglo di Jawa, Madhu di Bajawa-Flores, rumah panggung di Kalimantan, Pura di Bali, Tongkonan di