• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Sumbang Saran

5.2 Sumbang Saran

Lokakarya komposisi musik liturgi bukanlah satu-satunya jalan untuk melaksanakan inkulturasi musik liturgi di Kevikepan Toraja. Namun, perlu diakui pula bahwa lokakarya komposisi musik liturgi telah memberikan banyak manfaat bagi perkembangan inkulturasi musik liturgi di Kevikepan Toraja.

Sekurang-kurangnya hasil lokakarya tersebut berupa nyanyian inkulturasi liturgi membuka mata sebagian orang yang berpikir bahwa budaya dan adat tidak dapat masuk dalam wilayah suci antara lain liturgi. Dengan banyaknya manfaat dan sumbangan pola nyanyian tradisional Toraja yang telah dipaparkan dalam bab ini dan bab-bab sebelumnya, penulis mengusulkan untuk mengadakan kembali lokakarya komposisi musik liturgi yang kedua.

Ada beberapa alasan yang akan penulis paparkan untuk melihat betapa penting dan mendesaknya untuk mengadakan lokakarya yang kedua. Pertama, rentang waktu sejak lokakarya yang pertama hingga tahun 2012 adalah 14 tahun.

Rentang waktu tersebut bukanlah rentang waktu yang singkat. Banyak pola nyanyian tradisional Toraja yang perlu digali kembali atau lokakarya yang kedua ini dapat pula dijadikan sebagai sarana untuk mengevaluasi hasil lokakarya pertama misalnya lagu-lagu yang tercipta dan penggunaannya di lapangan.

Kedua, menjaga api semangat inkulturasi musik liturgi. Banyak pihak merasakan bahwa lokakarya komposisi musik liturgi telah mengobarkan semangat para pemerhati liturgi dan budaya Toraja namun hanya bertahan beberapa tahun setelah lokakarya. Sangat diharapkan bahwa lokakarya yang kedua mampu mengobarkan kembali api semangat untuk berinkulturasi khususnya dalam bidang musik liturgi. Ketiga, kebutuhan akan nyanyian inkulturasi yang semakin variatif dan mudah dinyanyikan. Di tengah gempuran musik pop rohani dalam wilayah liturgi, umat sungguh merindukan nyanyian liturgi yang khas dalam konteks religius yang dihidupi sehari-hari. Maka, lokakarya yang kedua ini haruslah mampu menjawab tantangan tersebut misalnya dengan menciptakan nyanyian inkulturasi yang benar-benar khas budaya Toraja namun mudah untuk dinyanyikan.

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak, lokakarya yang kedua tidak mungkin dapat terlaksana. Untuk itu dibutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang khususnya dari pihak Komisi Liturgi sebagai pelaksana umum dan para pastor yang memiliki andil yang sangat besar dalam

menularkan semangat inkulturasi kepada umat. Perlu juga diingat bahwa lokakarya tidak hanya menyangkut perencanaan, persiapan dan penyelenggaraan saja. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menentukan strategi dan arah pastoral selanjutnya berdasarkan evaluasi hasil lokakarya sebagaimana yang telah dituliskan dalam salah satu bab dari tesis ini.

Tentu saja pengembangan inkulturasi musik liturgi tidak hanya bergantung pada pelaksanaan lokakarya komposisi musik liturgi. Namun hal ini mengandaikan sumber daya manusia di sebuah keuskupan juga memadai.

Misalnya tersedianya pakar liturgi secara khusus bidang musik liturgi, para komponis musik Gereja atau mereka yang secara khusus belajar tentang musik Gereja. Ada beberapa usulan pastoral yang coba digagas oleh penulis untuk mengembangkan musik liturgi secara khusus inkulturasi musik liturgi dalam lingkup keuskupan. Pertama, Komisi Liturgi mempersiapkan orang-orang yang mau dan memiliki minat untuk belajar musik liturgi sebagai program jangka panjang pembangunan musik liturgi Gereja lokal ke depan. Kedua, membentuk tim kerja musik liturgi dengan fokus kerja menjaring hasil karya musik liturgi dari berbagai paroki. Cara menjaring hasil karya dapat melalui berbagai cara misalnya bekerja sama dengan tim liturgi setiap paroki atau dengan cara mengadakan lomba cipta kreasi musik liturgi se-keuskupan. Selanjutnya hasil karya musik liturgi yang berhasil dikumpulkan kemudian diolah dan dimatangkan oleh tim kerja musik liturgi. Tim kerja liturgi yang terdiri dari pakar liturgi, pakar musik liturgi dan pemusik bertugas dalam menentukan mana lagu-lagu yang tidak saja enak didengar tetapi juga dari sisi teks atau syair

berciri teologis dan liturgis. Setelah proses pengolahan dan pematangan selesai, akan lebih baik lagi bila lagu-lagu tersebut disusun menjadi satu buku nyanyian liturgi yang khas keuskupan sebagai alternatif dari buku-buku nyanyian liturgi yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Anand, Subash

1993 “The Inkulturation of the Eucharistic Liturgy” dalam Vidyajyoti Journal of Theological Reflection, Vol. LVII No. 5 May, 271.

Aruppe, P.,

1978 Inkulturasi: dengan kertas Kerja tentang Inkulturasi dan Daftar Kepustakaan. Surat Pater Jendral Pedro Aruppe kepada seluruh Serikat (Cur. Gen 78/5), diterjemahkan oleh A. Soenarja, SJ., Seri Pustaka Kuntara, 2914, Semarang.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Tana Toraja, 2010 Tana Toraja dalam Angka 2010, Adhitya Art, Makale.

Bugnini, Annibale,

1990 The Reform of the Liturgy 1948-1975, diterjemahkan oleh Matthew J.

O’Connell dari La riforma liturgica (1948-1975), The Liturgical Press, Minnesota.

Chupungco, A. J.,

1987 Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, diterjemahkan oleh Komisi Liturgi KWI dari buku Cultural Adaptation of Liturgy, Kanisius, Yogyakarta.

2002 Liturgiam Authenticam and Inculturation, dalam bulletin “East Asian Pastoral Review” (39).

Departeman Dokumentasi dan Penerangan KWI,

2008 De Liturgia Romana et Inculturatione (Liturgi Romawi dan Inkulturasi), KWI, Jakarta.

Dhavamony, M.,

1977 Christian Theology of Inkulturation, Editrice Pontificia Universita Gregoriana, Roma.

1955 Fenomenologi Agama, diterjemahkan oleh Kelompok Studi Agama Driyarkara dari “Phenomenology of Religion”, Kanisius, Yogyakarta.

Hardawiryana, R.,

1994 “Inkulturasi dalam Alam Pikiran Indonesia”, dalam Spektrum, (22), 263-264.

KOMLIT MAWI,

1984 Pedoman Inkulturasi, dalam majalah EKAWARTA 3/V/1985, Komisi Liturgi MAWI, Yogyakarta.

2000 Pedoman Umum Misale Romawi, Nusa Indah, Ende-Flores.

Liku Ada’, J.,

2012 “Reinterpretasi Budaya Toraja dalam Terang Injil: Menjelang Seabad Kekristenan di Toraja” dalam Bert Tallulembang (ed), Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya Toraja, Gunung Sopai, Yogyakarta.

Manta’, Y.,

2011 Sastra Toraja: Kumpulan Kada-kada To Minaa dalam Rambu Tuka’

dan Rambu Solo’, Sulo, Toraja.

Martasudjita, E.,

2005 “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia: Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, dalam Studia Philosophica et Theologica, (5), 2011 Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Revisi Buku

Pengantar Liturgi), Kanisius, Yogyakarta.

Martasudjita, E., - J. Kristanto,

2007 Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, Kanisius, Yogyakarta.

Nooy-Palm, Hetty,

1986 The Sa’dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion, Rituals of the East and West, Foris Publications, Dordrecht-Holland/Cinnaminson-USA.

1986 “Simple Death Rituals” in The Sa’dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion, Rituals of the East and West, Foris Publications, Dordrecht-Holland/Cinnaminson-USA.

1986 “Death Rituals of Higher Order” in The Sa’dan-Toraja: A Study of Their Social Life and Religion, Rituals of the East and West, Foris Publications, Dordrecht-Holland/Cinnaminson-USA.

Parsch, P.,

1948 Die Liturgische Predigt, Volksliturgisches Apostolat, Wien.

Prier, K.E.,

1987 Pedoman untuk Nyanyian dan Musik dalam Ibadat Dokumen Universa Laus (komentar dan terjemahan), PML-Yogyakarta, Yogyakarta.

1993 Sejarah Musik (Jilid II), Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

1999 Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

2010 Kedudukan Nyanyian dalam Liturgi (edisi baru), PML-Yogyakarta, Yogyakarta.

Prier, K.E., - Paul Widyawan,

2011 Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.

Schreiter, R. J.,

2006 Rancang Bangun Teologi Lokal, diterjemahkan oleh Stephe Sulleman dari Constructing Local Theology, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Suryanugraha, C.H.,

2003 Lakukanlah ini: Sekitar Misa Kita, Sang Kris, Bandung.

Redaksi Warta Musik,

2000 Redaksi Warta Musik, Nyanyian Kedukaan dalam Pesta Kematian di Tana Toraja, Warta Musik (25)/2000, 102-104.

2000 “Asal Usul Orang Toraja”, dalam majalah Warta Musik (25)/2000, 104-106.

2002 Bentuk Kesenian Khas Toraja, Warta Musik (27)/2002, PML, 123-124.

Rachman, Rasid,

2007 “Hymne Ambrosian dan Nyanyian Gregorian”, Diakses dari http://rasidrachman-volunteer.blogspot.com/2007/12/hymne-ambrosian-dan-nyanyian-gregorian.html (22 Oktober 2012).

Tangdilintin, L.,T.,

1981 Toraja dan Kebudayaannya, Yayasan Lepongan Bulan, Tana Toraja.

Veen, V. D. H.,

1985 The Merok Feast of the Sa’dan Toradja, S- Gravenhage, Martinus Nijhoff.

1966 The Sa’dan Toradja Chant for the Deceased, S- Gravenhage, Martinus Nijhoff.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR ISI LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lagu dasar Pa’Bugi Lampiran 2 : Lagu dasar Pa’Lele’

Lampiran 3 : Lagu dasar Pa’Katia Lampiran 4 : Lagu dasar Pa’Marakka Lampiran 5 : Lagu dasar Pa’Tende

Lampiran 6 : Lagu dasar Tung Tung Pini dan Tung Tung Kaloko Lampiran 7 : Lagu dasar Pia Biung

Lampiran 8 : Hasil Wawancara dengan Johony Y. Tulak (20 Oktober 2011) Lampiran 9 : Hasil Wawancara dengan M. Mangande (25 Oktober 2011) Lampiran 10 : Hasil Wawancara dengan M. Ruruk S.Pd. (05 November 2011) Lampiran 11 : Hasil Wawancara dengan Pastor John Manta, Pr

(07 November 2011)

Lampiran 12 : Hasil Wawancara dengan Daud Sampe Ruru (08 November 2011) Lampiran 13 : Hasil Wawancara dengan Romo Prier, SJ (22 Maret 2012)

Lampiran 14 : Hasil Wawancara dengan Pastor Eltus Mali, Pr (26 Maret 2012) Lampiran 15 : Lagu-lagu Hasil Lokakarya Komposisi Musik Liturgi di Tana

Toraja tahun 1998.

Lampiran 16 : Daftar Peserta Lokakarya Komposisi Musik Liturgi di Tana Toraja tahun 1998.

Lampiran 1 : Lagu dasar Pa’Bugi

Pa’Bugi’

4/4

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 21)

Keterangan:

1. Polanya sungguh tradisional dengan ciri khas Sforzato (^) atau aksen. Artinya nada 5 dibawakan dengan cara yang berbeda yaitu 5 6 5.

2. Banyak hiasan nada pada lagu ini sehingga memberi kesan hidup.

3. Contoh syair lengkap:

Diong kaluku sang Lombok, doing induk sang randanan Rokko kitorroi to’na kiekie sungi gurapakna

Sikoko’-koko’ daunna sitamben palapana Nanai membuya baan, naisungi kuku-kuku

Lihatlah betapa indah dan rindangnya pohon kelapa dan enau Tempat kita berteduh/bernaung

Daunnya rindang

Tempat burung-burung bertengger dan bersarang.

Lampiran 2 : Lagu dasar Pa’Lele’

Pa’Lele’

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 17)

Keterangan:

1. Bahan nada atau nada utama: 7 1 2 3 2. Terdapat dua macam motif utama yaitu:

a) 1 . 2 1 / 7 b) 0 1 2 2 1 / 2

3. Motif lagu berulang a – b – a – b 4. Terdapat nada jembatan yaitu: 2 7

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 18)

Keterangan:

1. Bahan nada atau nada utama: 7 1 2 3 2. Terdapat dua macam motif utama yaitu:

a) 1 1 3 2 / 2 1 7 1 2 / 1 b) / 1 2 2 1 2 / 1

3. Motif lagu berulang: a – a – a – b – b

Lampiran 3 : Lagu dasar Pa’Katia

Pa’Katia

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 15)

Keterangan:

1. Merupakan lagu pentatonis yakni lagu yang terdiri dari 5 nada 2. Bahan nada atau nada utama: 2 3 5 6 i 2

3. Tiga motif utama:

a) 6 / i i 2 6 / 6

merupakan motif nada naik dengan berbagai variasi menggunakan nada-nada tersebut.

b) 6 i 2 / i

merupakan motif nada naik dengan berbagai variasi.

c) 2 i 6 / 5

merupakan motif nada turun dengan berbagai variasi.

4. Terdapat banyak nada Acciacatura (nada pincang) seperti nada 6

5. Melodi lagu sangat indah apalagi dinyanyikan dengan nafas panjang, tidak terpotong-potong dengan tekanan-tekanan yang lembut.

Lampiran 4 : Lagu dasar Pa’Marakka’

Pa’Marakka’

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 15-16)

Keterangan:

1. Bahan nada atau nada utama: 3 4 5 7 i

2. Terdapat nada-nada melisma yaitu satu suku kata mendapat lebih dari satu nada.

3. Tidak seperti lagu Pa’Bugi’ dan Pa’Lele’, lagu ini tidak memiliki motif khusus yang diulang-ulang. Meskipun ada, pengulangan tersebut merupakan pengulangan tidak langsung atau hanya mirip dan tidak begitu kentara.

4. Irama lagu bergerak mengalir, ada keinginan untuk naik dan turun. Secara umum lagu ini diawali dengan nada-nada tinggi kemudian menuju ke nada yang lebih rendah.

5. Lagu ini diakhiri dengan nada 4 (fa) sehingga menampakkan karakter khusus pada lagu dan memudahkan untuk mengulangi lagu dari awal yang dimulai dengan nada 5 (sol).

Lampiran 5 : Lagu dasar Pa’Tende’

Pa’Tende’

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 20)

Keterangan:

1. Ciri yang menonjol dari lagu ini adalah gerakan naik dan turun (2 3 5 6 3).

2. Nada finalis atau nada akhir dari lagu ini adalah 2 (re). Namun tidak seperti lagu Gregorian di mana nada 2 (re)/doris berkesan berat, lagu ini tetap menampilkan karakter senang dan bahagia. Hal itu dilihat dari penggunaan nada 5 (sol)/miksolidis yang bersifat agung.

Lampiran 6 : Lagu dasar Tung Tung Pini dan Tung Tung Kaloko Tung-tung Pini

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 20)

Keterangan:

1. Bahan nada atau nada utama: 1 3 4 5 6

2. Bentuk lagu sangat sederhana dan sangat cocok untuk anak-anak agar mudah untuk diingat.

3. Motif lagu sungguh bervariasi:

a) utama: 5 5 / 3 1 b) kedua: 5 / 4 3

c) variasi lain : / 5 5 4 3 / 4 3 6 6 /, / 5 5 4 3 /, / 5 3 4 3 / Tung Tung Kaloko

Keterangan:

Kaloko adalah seekor burung yang kala matahari akan terbenam akan bernyanyi/berkicau untuk memberi tanda malam akan segera datang.

Lampiran 7 : Lagu dasar Pia Biung Pia Biung

(Sumber: Hasil Lokakarya I Komposisi Musik Liturgi Toraja 1998 halaman 19)

Keterangan:

1. Lagu ini bersifat didaktis (mendidik) dan berisi pesan moral. Tujuan dari lagu ini adalah mendidik anak dan menanamkan nilai-nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Terjemahan lagu:

Seorang kakak berjalan-jalan mencari adiknya yang pergi entah ke mana.

Kemudian bertemu dengan orang yang sedang mencangkul di sawah lalu bertanya, (ayat 1) “apakah adikku sudah lewat ke sana”/Denraka adingku male sau. Lalu orang yang mencangkul tadi menjawab, “Ya sudah lewat ke sana”/E malemo sau.Begitulah seterusnya, sang kakak berjalan terus dan bertemu dengan orang yang lain yaitu orang yang sedang menanam padi (ayat 2), orang yang sedang menyiangi sawah (ayat 3) dan orang yang sedang memanen padi.

3. Pesan moral:

Hidup manusia adalah sebuah perziarahan yang panjang. Perziarahan itu diibaratkan seperti kehidupan seorang petani: dimulai dengan mempersiapkan ladang untuk ditanami, kemudian menyemai bibit dan menanamnya, memeliharanya dan akhirnya siap untuk dipanen.

Nonongan-Tana Toraja 7 s.d. 13 Februari 1998

Nonongan-Tana Toraja 7 s.d. 13 Februari 1998

KEUSKUPAN AGUNG UJUNG PANDANG BERSAMA PUSAT MUSIK LITURGI YOGYAKARTA

Nonongan-Tana Toraja 7 s.d. 13 Februari 1998