• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POLA DASAR INKULTURASI: ISTILAH, MAKNA, DASAR

2.5 Inkulturasi Musik Liturgi

Sebelum melihat lebih khusus inkulturasi dalam bidang musik liturgi ada baiknya bila kita melihat lebih dulu sejarah singkat bagaimana inkulturasi dalam bidang liturgi telah menjadi bagian dari Gereja sejak awal kemunculannya.

Sedangkan contoh konkret usaha inkulturasi musik liturgi akan dibatasi pada usaha inkulturasi musik liturgi di Indonesia.

Inkulturasi dalam bidang liturgi dapat dikatakan setua Gereja itu sendiri.

Ketika kelompok murid Yesus menjadi sebuah kawanan yakni Gereja, mereka tidak lepas dari persoalan bagaimana iman akan Yesus Kristus dihidupi seutuhnya dalam budaya Yahudi terlebih berhadapan dengan pelaksanaan hukum Taurat atau Perjanjian Lama27. Apalagi ketika kekristenan berkembang luas di luar Palestina kira-kira pada abad I-III terjadi inkulturasi di mana iman Kristen yang sudah mendarah daging dalam budaya Yahudi berhadapan dengan budaya Yunani (bahasa, filsafat, budaya kota). Pada abad keempat, Gereja berhadapan dengan pengaruh yang kuat dari budaya Roma (Latin-Romawi). Ini memaksa Gereja menjadi liturgi kepausan: universalisme Gereja dan universalisme kekaisaran Roma menjadi satu28. Secara khusus inkulturasi liturgi terjadi di awal abad-abad pertengahan, pada waktu Gereja di wilayah Eropa Selatan bertemu dengan suku-suku di Eropa Tengah dan Utara yang menghasilkan Liturgia Gallica dengan simbol-simbol yang sangat kaya29. Misalnya pesta Natal tanggalnya diambil alih

27 E. Martasudjita, “Inkulturasi Gereja Katolik di Indonesia: Problematik, Pengertian dan Teologi Inkulturasi”, 133.

28 Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi, Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta 1999, 9.

29 Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi, 9.

dari pesta “Kemenangan dewa Matahari” menjadi pesta “Kemenangan Kristus atas Kegelapan” karena kelahiran-Nya di dunia.

Inkulturasi musik liturgi30 boleh dikatakan terjadi pada abad keempat (mungkin juga musik sebagai bagian dari nyanyian dalam ibadat sudah digunakan pada masa Gereja perdana) pada waktu uskup Ambrosius di Milano menciptakan himne-himne yang didasarkan pada bentuk musik dari Eropa Timur31. Himne Ambrosian dikenal oleh banyak kalangan pada zamannya oleh karena bentuknya yang sederhana dan sungguh merakyat. Musik Gereja kemudian terus berkembang dan pada abad keenam (560 SM) nyanyian Gregorian menjadi populer dan dipakai dalam ibadat Liturgi (nyanyian Gregorian mendapat pengaruh dari Ambrosius yang lebih dulu mengumpulkan dan menciptakan himne-himne untuk keperluan ibadat liturgi). Istilah Gregorian sangat erat kaitannya dengan Uskup Gregorius Agung dari Roma yang walaupun bukan dirinya yang menciptakan nyanyian Gregorian secara langsung tetapi menciptakan notasi yang dikenal dengan notasi Gregorian berupa balok not dengan empat garis. Gregorius juga memiliki andil yang besar dalam menetapkan nyanyian Gereja sebagai nyanyian liturgi yang agung dan berkembang pesat sesudah ia mangkat yakni antara abad ke-6 sampai

30 Mengikuti Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium atau Konstitusi Liturgi Suci, istilah musik Liturgi lebih menunjuk pada musik Gereja. Musik Liturgi kemudian dipertegas sebagai nyanyian umat yang ikut berpartisipasi aktif dalam ibadat dan menjadi bagian fungsional dari liturgi itu sendiri sebab bagian-bagian dalam ibadat seyogyanya dilakukan dengan bernyanyi.

Meski pada masa Paus Pius X dalam Motu Proprio „Tra le sollecitudine‟ tahun 1903 membedakan istilah musik Gereja dan musicam sacram.

31 Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi, 9.

abad ke-9. Dalam surat kepada Abas Honoratus dari Paus Leo IV (847-855) muncul istilah Carmen Gregorianum atau nyanyian Gregorian32.

Musik Gregorian kemudian tersebar luas dan disampaikan secara lisan dan penuh improvisasi. Oleh karena musik Gregorian yang berkembang semakin rumit dan berseni, umat sulit mengikutinya dan hanya milik sekelompok paduan suara saja maka lahirlah bentuk musik yang lain yakni musik polifon. Musik polifon kemudian menjadi cikal bakal berkembangnya musik-musik selingan di luar liturgi namun dapat pula digunakan dalam liturgi. Pada abad ke-17 mulai ada usaha untuk memisahkan antara musik sebagai selingan atau musik profan dan musik Gereja. Sebab seperti yang juga menjadi tantangan musik liturgi zaman sekarang, musik untuk keperluan ibadat yang bermutu tinggi kurang dimengerti dan diminati oleh umat dan sebaliknya yang disenangi justru musik yang kurang bermutu misalnya nyanyian pop rohani yang lebih menekankan aspek hiburan daripada isi dan syair lagu.

Konsili Vatikan II membuka cakrawala baru sebagai bagian dari usaha inkulturasi musik liturgi. Dokumen tentang musik liturgi dalam Sacrosanctum Concilium 112-121 menegaskan bahwa musik Gereja tidak lagi didominasi oleh musik Gregorian melainkan dapat pula tumbuh dan tercipta melalui musik tradisional sejati. Apa yang diserukan oleh Konsili Vatikan II semakin memberi ruang bagi perkembangan inkulturasi musik liturgi yang tentunya tetap

32 Rasid Rachman, “Hymne Ambrosian dan Nyanyian Gregorian” 2007, Diakses dari

http://rasidrachman-volunteer.blogspot.com/2007/12/hymne-ambrosian-dan-nyanyian-gregorian.html (22 Oktober 2012).

mengindahkan kaidah-kaidah dan peraturan menurut tradisi Gereja: tujuan musik liturgi yakni kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman (SC 112).

2.5.1 Usaha Inkulturasi Musik Liturgi di Indonesia

Bagaimana dengan usaha inkulturasi musik liturgi di Indonesia? Oleh karena keberagaman Indonesia yang sangat kaya dan luas, sulit untuk menentukan kapan mulainya inkulturasi musik liturgi yang khas Indonesia apalagi perkembangan Gereja Indonesia di setiap pulau beragam. Pusat Musik Liturgi Yogyakarta (sejak 1971) cukup berjasa dalam mengembangkan musik liturgi khas Indonesia sebagaimana visi dan misinya memajukan musik Indonesia pada umumnya dan secara khusus musik liturgi33. Jauh sebelumnya telah ada usaha inkulturasi musik liturgi di mana musik Jawa diujicobakan untuk dimasukkan dalam khazanah ibadat Gereja namun belum menggunakan Gamelan. Pada tahun 1926, Bp. Hardjosubrata di Muntilan mulai mengarang lagu Gereja yang waktu itu berbahasa Latin dengan nada pelog34. Kemudian sejak tahun 1955 di bawah dukungan Gereja yakni Mgr. Soegijapranata. SJ inkulturasi musik liturgi berjalan perlahan namun pasti hingga saat ini. Waktu itu didirikan panitia liturgi untuk gendhing Jawa35.

33 Visi dan Misi PML: Pusat Musik Liturgi (PML) didirikan untuk mengabdi kepada perkembangan musik di Indonesia pada umumnya, dan khususnya pada musik liturgi terutama dalam rangka inkulturasi atau “pengungkapan perayaan liturgi dalam tetacara dan suasana yang selaras dengan cita rasa budaya umat yang beribadat”.

34 Karl-Edmund Prier, dan Paul Widyawan, Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, 59.

35 Karl-Edmund Prier, dan Paul Widyawan, Roda Musik Liturgi: Panduan untuk para Petugas Musik Liturgi, 53.

Proses inkulturasi musik liturgi di Indonesia merupakan peluang yang besar sekaligus unik. Indonesia yang terdiri dari 13.000 pulau memiliki bahasa yang beragam, dengan lagu dan alat musik yang beragam pula (ada gamelan di Jawa dan Bali, gondang Sabangunan di daerah Batak, alat musik berdawai berupa Sapeq dari Kalimantan, gandang dan keso-keso di Toraja, angklung dari Jawa Barat dsb). Sungguh indah dan kaya samudera musik tradisional Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Mianggas sampai pulau Rote yang tinggal diretas ombaknya agar sampailah pada kemuliaan Allah dan pengudusan umat beriman.

2.5.2 Proses dan Tahap Inkulturasi Musik Liturgi

Tentunya tahap inkulturasi musik liturgi tidak jauh berbeda dengan tahap inkulturasi yang sudah dipaparkan di atas. Pada bagian ini, penulis akan memaparkan bagaimana memulai suatu inkulturasi musik liturgi khususnya menciptakan nyanyian yang sesuai dengan rasa iman budaya setempat. Proses dan tahap-tahapnya bercermin dari pengalaman Pusat Musik Liturgi Yogyakarta yang telah mengadakan lebih dari 53 Lokakarya Musik Liturgi di berbagai pelosok Nusantara selama 40 tahun (1971-2011).

1. Mendalami Teologi Inkulturasi Liturgi. Tahap ini begitu penting untuk memberikan kerangka dasar akan gagasan teologi inkulturasi menurut ajaran Gereja. Seseorang tidak cukup menguasai alat musik dan mengaransemen lagu-lagu yang bagus tetapi untuk sampai pada

pemaknaan yang mendalam perlulah juga mengetahui dasar teologis inkulturasi. Bila ini terjadi, lagu-lagu yang diciptakan sungguh berakar biblis dan berjiwa liturgis.

2. Studi Musik Etnis. Pakar musik Liturgi selain belajar etnologi musik dari sumber kepustakaan perlu juga mendalami ilmu tersebut secara praktis.

Bila ingin mendalami musik entnis, pakar musik liturgi sebaiknya pergi ke suatu daerah, merekam sejumlah lagu dan tari tradisional yang ada di daerah tersebut. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan para pakar budaya (pemain alat musik tradisional, penari, penyanyi, ketua adat, para tetua adat, dsb) untuk bersama-sama mendiskusikan tangga nada, pola irama khas, bentuk-bentuk lagu dsb. Perlu diingat bahwa penting untuk melibatkan seluruh komponen yang ada di daerah tersebut. Jiwa atau rasa iman budaya setempat belum tentu ditemukan hanya melalui pengamatan, tetapi dengan mudah ditangkap melalui sharing pengalaman. Diskusi pun akan berkembang terus dalam menemukan kaitan hidup masyarakat setempat dengan ritus dan agama asli yang „masih‟ mempengaruhi perilaku serta semakin jelas menampakkan identitas suku yang bersangkutan.

3. Diskusi yang terarah. Diskusi yang terarah misalnya dalam pelaksanaan lokakarya komposisi musik liturgi yang dilaksanakan PML. Para ahli liturgi, pakar budaya dan musik dikumpulkan dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok tersebut menyusun syair nyanyian tentang tema tertentu, kemudian mencoba untuk melagukannya dalam pola nyanyian tradisional

yang mereka kuasai. Akhirnya dihasilkan nyanyian yang sungguh-sungguh orisinil. Pertanyaannya ialah apakah syair dan makna musik yang dimainkan sudah berciri liturgis?

4. Lagu baru disosialisasikan. Tahap sosialisasi ini dapat dilakukan secara sederhana dulu. Nyanyian yang tercipta kemudian dibawakan dalam suatu perayaan liturgi dan tentunya menunggu masukan dan kritikan dari segenap umat dan para pakar budaya dan liturgi lainnya. Yang penting adalah bahwa para pengarang lagu harus selalu dengan rendah hati menerima masukan dan kritikan demi menghasilkan suatu nyanyian liturgi yang berbobot.