• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POLA DASAR INKULTURASI: ISTILAH, MAKNA, DASAR

2.7 Inkulturasi Musik Liturgi menurut Dokumen Gereja

Inkulturasi musik liturgi tidak secara eksplisit diterangkan dalam dokumen Gereja khususnya dalam Konsili Vatikan II. Maksudnya istilah inkulturasi musik liturgi tidak secara khusus digunakan dalam Konsili Vatikan II. Namun, maksud yang lebih dalam telah diuraikan dari apa yang dapat kita lihat dari Konstitusi Liturgi atau Sacrosanctum Concilium yang secara khusus membahas soal musik liturgi (SC 112-121).

Pada bagian berikut, penulis secara khusus mengulas dokumen Gereja yang terkait dengan musik liturgi khususnya yang berhubungan dengan inkulturasi musik liturgi. Dokumen yang paling utama adalah Sacrosanctum Concilium khususnya artikel 112-121. Sedangkan dokumen Musicam Sacram yang dikeluarkan oleh Dewan Pelaksana Kongregasi Liturgi pada tahun 1967 merupakan intruksi sebagai lanjutan dari hasil Konsili Vatikan II. Sesuai dengan maksudnya, Musicam Sacram diterbitkan untuk menjawab sedikit masalah yang berhubungan dengan musik ibadat dan peranannya secara lebih rinci dalam Sacrosanctum Concilium. Dokumen De Liturgia Romana et Inculturatione juga merupakan penjelasan rinci khususnya pada bagian SC 37-40 yang secara khusus membahas soal “kaidah-kaidah untuk menyesuaikan liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa”. Boleh dikata dokumen ini lebih lengkap membahas pedoman dan petunjuk-petunjuk pada proses inkulturasi dalam bidang liturgi.

Untuk dokumen terakhir yang akan dibahas adalah Chirograph on Sacred Music yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai tanggapan dan syukur atas 100 tahun dokumen Motu Proprio „Tra le Sollecitudine dari Paus Pius X.

Dokumen yang ditulis oleh Paus Pius X dirasa penting untuk melihat pemikiran dasar dari musik Gereja lebih dari seratus tahun yang lalu. Sungguh warisan yang berharga.

2.7.1 Sacrosanctum Concilium

Gereja memiliki warisan musik yang sangat kaya bahkan dikatakan sebagai kekayaan yang tak terperikan lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya (SC 112). Hal itu terungkap dari warisan musik Gregorian yang mewarnai bentuk musik Gereja pada awal abad pertengahan yakni tahun 560 M sampai menjelang akhir abad ke-10 sebelum muncul bentuk musik Polifoni.

Puncak keemasan musik Gereja boleh dikatakan terjadi pada abad ke-18 di mana hasil musik Gereja juga terungkap dari arsitektur Gereja dan lukisan pada waktu itu. Komponis yang terkenal pada waktu itu yakni J. Haydn (mengarang 15 misa dan 3 oratorio), W.A. Mozart (mengarang 15 misa) dan L.v. Beethoven (mengarang 2 misa)51.

Meskipun berabad-abad lamanya Gereja diwarnai oleh musik Gereja Barat namun, Gereja menyadari pula sebagaimana yang tertuang dalam dokumen SC 119 berikut ini:

“Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40”.

51 Karl-Edmund Prier, Sejarah Musik (Jilid II), PML, Yogyakarta 1993, 93-96.

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa Gereja sungguh mengakui dan memberi penghargaan selayaknya dan tempat sewajarnya bagi tradisi musik setiap bangsa. Sebab tradisi musik tersebut memainkan peranan penting dalam membentuk sikap religius dan perangai masyarakatnya. Oleh karena itu, pewartaan injil khususnya dalam proses inkulturasi musik liturgi di setiap daerah perlulah memperhatikan budaya dan tradisi setempat. Akhirnya melalui proses inkultrasi yang mendalam, unsur budaya setempat tetap otentik namun roh dan maknanya telah diterangi oleh Injil Yesus Kristus. Paus Yohanes Paulus II juga memperkembangkan gagasan teologis dalam Konstitusi Liturgi ini sebagaimana dimuat dalam Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae (1979) artikel 53:

“ istilah „Inkulturasi‟… dengan tepat sekali mengungkapkan satu faktor misteri agung Inkarnasi. Pewartaan Injil pada umumnya dipanggil untuk mengantar kekuatan Injil merasuki inti kebudayaan. Katekese akan mampu menyumbangkan kepada kebudayaan-kebudayaan itu pengertian tentang misteri yang tersembunyi serta membantunya memperbuahkan dari

tradisi-tradisinya yang hidup ungkapan-ungkapan asli bagi kehidupan”52

2.7.2 Musicam Sacram

Musicam Sacram kembali menegaskan kedudukan nyanyian yang sangat penting di mana perayaan liturgis menjadi lebih agung bila dirayakan dengan nyanyian dan umat dapat berpartisipasai di dalamnya (MS 5). Tidak ada hal yang lebih takwa dan menggembirakan daripada apabila seluruh umat mengungkapkan iman dan baktinya dalam nyanyian (MS 16).

52 Karl-Edmund Prier, Inkulturasi Musik Liturgi, 11.

Dokumen ini sendiri terbagi dalam 7 bagian pokok. Sedangkan untuk tema pokok inkulturasi musik liturgi sendiri tidak dibahas secara langsung pada suatu bagian tertentu. Namun, maksud ke arah peluang akan adanya inkulturasi dalam musik liturgi terungkap dengan jelas khusus pada Bab V tentang Menyiapkan Lagu untuk Naskah Pribumi dan Bab VI tentang Alat Musik Ibadat. Berikut akan dipaparkan bagian-bagian pokok dari kedua bab tersebut.

1. Terbuka peluang bagi penerjemahan nyanyian ke dalam naskah pribumi khususnya Mazmur dengan tetap memperhatikan kesetiaan pada naskah Latin. Dalam penerjemahan itu pentinglah ciri hakiki dan hukum bahasa masing-masing dihormati, dan ungkapan-ungkapan serta kekhasan setiap bangsa haruslah diperhitungkan dalam menyiapkan lagu-lagu baru (MS 54).

2. Lagu-lagu baru untuk naskah pribumi tetap membutuhkan masa percobaan karena harus senantiasa diperhatikan keselarasannya dengan kekudusan tempat ibadat dan martabat liturgi. Semua ini demi memperoleh kematangan dan kesempurnaan yang memadai (MS 60).

3. Musik ibadat disesuaikan bagi daerah-daerah yang memiliki tradisi musik sendiri, khususnya di daerah misi dan untuk penyesuaiannya perlu suatu persiapan yang istimewa oleh para ahli. Untuk itu bagi para ahli dibutuhkan suatu kecakapan dan pengetahuan yang memadai baik tentang tradisi musik Gereja maupun tentang bahasa setempat, lagu-lagu rakyat dan ungkapan khas lain dari bangsa yang mereka layani (MS 61).

4. Organ pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional Gereja Latin. Akan tetapi dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat

yang berwenang, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat, asal sesuai dengan fungsi kudusnya, cocok dengan keanggunan gedung gereja dan benar-benar membantu memantapkan ibadat kaum beriman (MS 62).

5. Penggunaan alat-alat musik dari suatu kebudayaan dan tradisi tertentu hendaknya tetap memperhatikan pendapat umum. Maksudnya, bila de facto alat musik tersebut hanya cocok untuk musik sekular, haruslah sama sekali dilarang penggunaannya untuk perayaan liturgis dan devosi umat (MS 63).

2.7.3 De Liturgia Romana et Inculturatione

Instruksi yang dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen pada tahun 1994 ini kiranya sedikit membantu mengatasi kesimpangsiuran dalam pemahaman tentang inkulturasi dan perwujudannya dalam praktek. Sebab, Gereja menyadari perlunya suatu penghayatan iman yang otentik;

Gereja mesti berani mengadakan suatu pembaruan yang radikal, suatu pembaruan liturgi yang lebih dalam meskipun sulit.

Instruksi ini secara garis besar berusaha menjabarkan lebih rinci asas-asas umum tentang penyesuaian liturgi dengan ciri-ciri khas dan situasi aneka bangsa.

Di samping itu, intruksi ini berisi penjelasan yang lebih baik tentang petunjuk-petunjuk dan peraturan yang harus dilaksanakan sebagai pedoman dalam usaha menginkulturasikan liturgi. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa usaha menjelmakan unsur-unsur kebudayaan ke dalam liturgi hendaklah tetap dijaga kesatuan dengan Ritus Romawi, kesatuan dengan seluruh Gereja Universal.

Berikut ini beberapa gagasan pokok mengenai inkulturasi dalam liturgi yang tentunya menjadi pedoman pula dalam inkulturasi musik liturgi.

1. Inkulturasi oleh Magisterium Gereja dimaknai sebagai inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja (LRI 14).

2. Dalam mempersiapkan inkulturasi liturgi, Konferensi Waligereja hendaknya mengundang orang-orang yang berwenang dalam tradisi liturgi Ritus Romawi dan mempunyai penghargaan terhadap nilai-nilai budaya setempat.

Studi tentang segi historis, biblis dan teologis adalah perlu sebelum memulai inkulturasi liturgi (LRI 30).

3. Tidak ada seorang pun, meski dia imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri. Maka, inkulturasi tidak pernah diserahkan kepada inisiatif pribadi pemimpin ibadat atau inisiatif bersama dari kelompok umat tertentu (LRI 37).

4. Musik dan menyanyi mengungkapkan jiwa umat dan mempunyai tempat penting dalam liturgi. Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peranan penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat (lih. SC 119).

5. Bentuk musik, lagu dan alat-alat musik dapat digunakan dalam ibadat asal

„cocok‟ atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, asal sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja dan sungguh membantu memantapkan penghayatan umat beriman (lih. SC 120).

6. Di kalangan beberapa bangsa, menyanyi secara naluriah diiringi dengan tepuk tangan, goyang badan seturut irama dan gerakan-gerakan tari lainnya.

Bentuk-bentuk ungkapan lahiriah seperti itu boleh mendapat tempat dalam kegiatan-kegiatan liturgis umat, asal semua itu boleh mengungkapkan sembah sujud, pujian, persembahan, permohonan seluruh jemaat dan tidak hanya menjadi pertunjukan belaka (LRI 42).

7. Kesenian dalam Gereja yang dikumpulkan dari semua suku dan bangsa hendaknya diberi kebebasan untuk mengungkapkan keindahannya, sejauh kesenian itu meningkatkan keindahan bangunan dan tata perayaan liturgi dengan memberinya penghargaan dan penghormatan sebagaimana mestinya (LRI 43).

2.7.4 Chirograph on Sacred Music (Paus Yohanes Paulus II)

Dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 2003 ini untuk memperingati 100 tahun Motu Proprio “Tra le Sollecitudini” yang dikeluarkan oleh Paus Pius X53. Baginya, tulisan Paus Pius X memiliki arti yang sangat mendalam bagi Gereja khususnya dalam pembaruan hakekat musik Gereja memasuki abad 20 dan pedoman bagi penyelenggaran musik kudus dalam liturgi Gereja.

Selain menegaskan dan menggali kembali keutamaan-keutamaan yang ditulis dalam “Tra le Sollecitudini”, Paus Yohanes Paulus II juga menyinggung

53 Motu Proprio “Tra le Sollecitudini” merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh Paus Pius X pada tanggal 22 November 1903 mengenai penggunaan dan pembaharuan musik suci dalam perayaan Misa Kudus.

beberapa dokumen dan ensiklik Gereja yang terkait dengan musik Gereja.

Misalnya, ensiklik Mediator Dei (20 November 1947) dan Musicae, Sacrae Disiplina (25 Desember 1955) yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII, Musicam Sacram dan Sacrosanctum Concilium dalam Konsili Vatikan II. Beberapa hal penting yang ditegaskan kembali oleh Paus Yohanes Paulus II terkait dengan maksud Pius X ketika mengeluarkan „Tra le Sollecitudini” yaitu, [1] musik kudus telah menjadi bagian yang integral bagi sebuah liturgi yang khidmat, [2]

partisipasi melalui musik kudus dalam liturgi yakni demi kemuliaan Allah, pengudusan dan pengembangan iman umat beriman (bdk SC 112), [3] musik instrumental, nyanyian dan vokal tidaklah cukup hanya sebatas keanggunan dan keindahan melainkan harus sampai pada inti terdalam yakni kesucian dan pengungkapan iman yang nyata.

Paus Pius X juga menyinggung permasalahan penyucian liturgi Gereja dari pengaruh lagu-lagu profan yang mencemari hakikat suci musik Gereja dalam liturgi. Permasalahan ini kemudian disikapi lebih lanjut dalam ensiklik Ecclesia de Eucaharistia yang menegaskan bahwa segala ekspresi yang lahir dari musik sedapat mungkin mengungkapkan misteri terdalam sesuai dengan iman Gereja.

Hal ini oleh Paus Yohanes Paulus II membuka suatu peluang bagi proses adaptasi dan inkulturasi di mana terbuka kemungkinan bagi ekspresi yang lahir dari berbagai bentuk musik yang ada di setiap bangsa. Namun perlu diingat apa yang ditegaskan oleh Pius X, bahwa liturgi bukanlah ruang laboratorium bagi pengungkapan bermacam-macam musik.