• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN TERAPAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN TERAPAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

Higher Education in Indonesia

APLIKASI PENDEKATAN ONE-HEALTH BERBASIS

TEKNOLOGI INFORMASI YANG DIINTEGRASIKAN DENGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGENDALIAN RABIES

DI KABUPATEN BENER MERIAH

Tahun ke-1 dari rencana 2 tahun

TIM PENELITI:

Drh. Al Azhar, M.Kes., Ph.D. (NIDN: 0018026902) Drh. Teuku Reza Ferasyi, M.Sc., Ph.D. (NIDN: 0020067207)

Drh. Erwin, M.Sc. (NIDN: 0027118401)

Dibiayai oleh:

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Sesuai dengan Kontrak Penelitian

Nomor: 105/SP2H/LT/DPRM/IV/2017 tanggal 3 April 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

OKTOBER 2017

(2)

ii

(3)

iii RINGKASAN

Aplikasi Pendekatan One-Health Berbasis Teknologi Informasi yang Diintegrasikan dengan Kearifan Lokal dalam Pengendalian Rabies di Kabupaten Bener Meriah (Al Azhar, T. Reza Ferasyi, dan Erwin: 2017: 83 halaman)

Penyakit anjing gila atau rabies merupakan suatu penyakit infeksi pada hewan yang bersifat akut dan dapat ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Provinsi Aceh pada tahun 2000-2004 telah ditetapkan termasuk sebagai daerah tertular rabies dan pada tahun 2007 dikategorikan sebagai wilayah endemik. Salah satu wilayah dengan kasus gigitan dan konfirmasi rabies tinggi di Aceh adalah Kabupaten Bener Meriah. Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menyatakan bahwa upaya pemberantasan rabies perlu dilakukan dengan strategi pendekatan one-health. Strategi ini memerlukan keterlibatan sejumlah pihak terkait untuk melakukan langkah- langkah pengendalian secara tepat dan komprehensif. Namun demikian hingga saat ini penelitian terkait masih sangat minim. Kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk memberi informasi/inovasi teknologi terhadap pembaharuan dan kemajuan ipteks dengan perpaduan pendekatan one-health berbasis teknologi informasi dan kearifan lokal dalam pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah. Hal ini sejalan dengan salah satu butir dari point 8 rencana strategis Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) 2017-2021, yaitu mengembangkan pusat unggulan berbasis riset dan meningkatan relevansi ristek melalui kegiatan memfasilitasi pengembangan iptek berbasis sumber daya lokal yang memiliki daya saing melalui penyediaan fasilitas dan pemberian insentif. Dengan demikian, penelitian ini sangat mendukung upaya jangka panjang Unsyiah menjadi universitas riset yang unggul dan terkemuka. Pada tahun pertama telah selesai dilakukan kajian cross-sectional tentang tingkat knowledge, attitude, and practice (KAP) tentang penyakit rabies awal dan akhir pemiliki anjing pemburu, petugas Puskesman dan petugas Puskesmas melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Perancangan pesan singkat, kuesioner dan poster tentang rabies dilakukan dalam format KIE. Survey lokasi dan pelaksanaan wawancara dilaksanakan dengan sepengetahuan, izin dari dan kerjasama dengan Dinas Pertanian dan Pangan Bener Meriah serta Dinas Kesehatan Bener Meriah. Wawancara melibatkan 65 responden yang terdiri dari 47 orang pemilik anjing pemburu, 13 orang petugas Puskesmas dan 5 orang petugas Puskeswan di Kabupaten Bener Meriah.

Intervensi KIE dilakukan dengan penyebaran poster rabies dan pengiriman pesan dalam format short message service (SMS) yang efeknya kemudian dikaji dengan melakukan wawancara ulang. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan analitik menggunakan SPSS dengan signifikansi 0,05. Kaitan antara tingkat ancaman rabies dan faktor risiko terkait diukur dengan odds ratio (OR), sedangkan perbedaan tanggapan dan perubahan KAP responden masing-masing dianalisis dengan uji chi- square dan uji McNemar.

Kata kunci: rabies, anjing, KIE, permodelan, Bener Meriah.

(4)

iv SUMMARY

Applying Information Technology Based One-Health Approach Integrated with Local Wisdom in Rabies Control in Bener Meriah Regency (Al Azhar, T. Reza Ferasyi, and Erwin: 2017: 83 pages)

Rabies is an acute infectious disease in animals can be transmitted from animals to human and vice versa (zoonosis). Aceh Province has been classified as rabies infected region since 2000-2004 and a rabies endemic zone since 2007. One region in Aceh has high suspected and confirmed rabies transmitted animal bites is Bener Meriah Regency. Department of Health of the Republic of Indonesia suggests efforts to eradicate rabies have to be implemented by using one-health approach. This strategy requires the involvement of several agencies/stakeholders to do appropriate and comprehensive control actions. Studies relate to these issues, however, hardly available. This cross-sectional study, therefore, was performed to provide information/innovation technology toward knowledge change and technological advance by integrating information technology-based one health approach with local wisdom in rabies control in Bener Meriah Regency. A totally 65 respondents were involved in this study encompassing 47 owners of hunting dogs, 13 staffs of primary health care (Puskesmas) and 5 staff of primary animal health care (Puskeswan). Short message, structured questioners and poster were designed using communication, information and education (CIE) format. The questioners were then used for investigating the level of knowledge, attitude, and practice (KAP) of respondents about rabies. Interviews intended to collect respondent KAP base line were carried out under the approval of and in collaboration with the Agriculture and Food Agency and Health Office of Bener Meriah. CIE intervention was implemented by distributing poster and sending text using short message service facility consisting of information about rabies to recruited respondents. Second interview was then carried out to find out the changes in KAP of respondents. Data obtained was analyzed descriptively. SPSS software for windows was used to evaluate the relationship between level of rabies treats and risk factors based on odds ratio (OR), and the KAP response and changes of respondents using chi-square and McNemar tests, respectively. The different was categorized significant by 0.05.

Keywords: Rabies, Dog, CIE, Bener Meriah.

(5)

v PRAKATA

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya sehingga penelitian berjudul ”Aplikasi Pendekatan One-Health Berbasis Teknologi Informasi yang Diintegrasikan Dengan Kearifan Lokal Dalam Pengendalian Rabies di Kabupaten Bener Meriah” telah dapat dilaksanakan dengan baik. Shalawat dan salam disanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang berperadaban islami.

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan metode dan format yang akan digunakan untuk mendukung integrasi peran para pihak terkait dalam rangka pengendalian rabies. Selain itu juga untuk mengembangkan sistem peringatan dini ancaman wabah penyakit rabies yang efektif. Target khususnya adalah (1) untuk membuktikan adanya pengaruh pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah, (2) untuk dapat memberikan rekomendasi strategi pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah secara khusus, dan di Indonesia secara umum, dan (3) untuk dapat menghasilkan metode pengendalian rabies yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Aceh khususnya, dan di Indonesia secara umum.

Diharapkan melalui hasil penelitian ini akan dapat memberikan informasi tentang potensi dari pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah. Untuk jangka panjang, hasil penelitian tersebut akan dapat digunakan untuk merancang

(6)

vi sistem pengendalian rabies yang efektif dan efisien dengan pendekatan one-health untuk meminimalisir ancaman GHPR dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Peneliti mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungan dana penelitian dari skim Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Pendamping 7 in 1 DRPM Kemristekdikti Tahun 2017, kepada Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Bener Meriah, kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah serta kepada pihak-pihak lainnya serta mahasiswa yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini.

Darussalam, 30 Oktober 2017

(7)

vii DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN PENGESAHAN………... .... ii

RINGKASAN ... iii

SUMMARY ...……...………... .. iv

PRAKATA ...……...………... .... v

DAFTAR ISI ... .... vii

DAFTAR GAMBAR ... ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... .... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

BAB II STUDI PUSTAKA ... 5

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN …...…... . 14

BAB IV METODE PENELITIAN ... 16

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN……...………..…..………... 22

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...……... .. 34

DAFTAR PUSTAKA ...……... ... 35

LAMPIRAN ...……... ... 37

(8)

viii DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

1. Road map penelitian ……..………... 16 2. Bagan alur penelitian Tahun I……..,………..……... 17 3. Peta Kabupaten Bener Meriah ... 22 4. Pertemuan peneliti dengan kepala Dinas Pertanian dan Pangan dan

Dinas Kesehatan bener Meriah ... 23

(9)

ix DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Hal

1. Kuesioner Penelitian Masyarakat………... 37

2. Kuesioner Penelitian Petugas ... 45

3. Poster Penelitian …………..………..……... ... 54

4. Foto Kegiatan Penelitian..………..……... .. 55

5. Biodata Peneliti ………. . 58

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies adalah penyakit yang menyerang semua hewan berdarah panas dan bersifat mematikan (Zulu et al., 2009). Penyakit ini disebabkan oleh virus yang tergolong dalam genus Lyssavirus dari family Rhabdoviridae (Tordo et al., 2006).

Berdasarkan hasil karakterisasi antigenik Lyssavirus diketahui terdapat 7 genotip (WHO, 2005; Tordo et al., 2006). Ketujuh genotip tersebut adalah virus rabies klasik (RABV, genotip 1), Lagos bat virus (LBV, genotip 2), Mokola virus (MOKV, genotip 3), Duvenhage virus (DUVV, genotip 4), European bat lyssavirus type-1 (EBLV-1, genotip 5), European bat lyssavirus type-2 (EBLV-2, genotip 6) dan Australian bat lyssa virus (ABLV, genotip 7). Virus dapat ditemukan dalam glandula saliva dan sistem syaraf pusat (SSP) hewan berdarah panas dan manusia terinfeksi (bersifat zoonosis). Salah satu tanda infeksinya dapat diamati dari iritasi SSP, diikuti dengan paralisis dan kematian (Harper, 2004).

Secara global penyakit rabies telah dianggap sebagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Menurut WHO (2013) penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dengan perkiraan 55.000 kematian per tahun dan hampir semuanya terjadi di negara berkembang. Jumlah terbanyak dijumpai di Asia sebesar 31.000 jiwa (56%) dan di Afrika 24.000 jiwa (44%). Diperkirakan 30%-50% proporsi kematian yang dilaporkan terjadi pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Di kawasan Asia,

(11)

2 termasuk Indonesia, kejadian rabies tergolong endemik dengan reservoir utama (>90%) adalah anjing (Depkes R.I., 2003).

Beberapa faktor telah dikatakan dapat mempengaruhi peningkatan ancaman gigitan hewan penular rabies (GHPR) (Panichabhongse, 2001). Diantaranya adalah besarnya angka populasi anjing, baik anjing liar maupun anjing peliharaan, di daerah endemik rabies. Kemudian juga didukung kurangnya pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman gigitan dan penyebaran hewan penular rabies. Terkait peningkatan angka kematian manusia, hal ini disebabkan kurangnya fasilitas dan pengetahuan masyarakat mengenai penanganan kasus gigitan serta terbatasnya jumlah vaksin pasca gigitan dan obat-obat lainnya (seperti serum anti rabies).

Sehingga mengakibatkan keterlambatan penanganan yang berujung pada kematian korban tergigit (WHO, 2005). Tentu saja ini akan merupakan bencana epidemi penyakit menular yang membahayakan jika tidak segera dikendalikan, sehingga sangat diperlukan metode pengontrolan yang cepat dan efektif.

Salah satu provinsi yang masih digolongkan sebagai daerah tertular rabies di Indonesia adalah Provinsi Aceh. Pada tahun 2007 di daerah ini telah dilaporkan sebanyak 91 kasus GHPR (BPPV Regional I Medan, 2007). Sebagian besar kasus tersebut terjadi di wilayah Aceh bagian tengah. Salah satunya adalah di Kabupaten Bener Meriah, yang melaporkan terdapat sejumlah 83 kasus GHPR pada tahun 2012.

Secara lebih rinci kasus tersebut terdiri dari 66 kasus gigitan oleh anjing, 11 kasus gigitan kucing dan 6 kasus gigitan kera. Pada tahun 2015 terdapat 1 laporan kematian pada manusia yang tergigit anjing (Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah, 2015). Selain itu di Kabupaten Bener Meriah juga terdapat laporan kasus

(12)

3 kematian pada 2 ekor sapi perah pasca gigitan anjing (Laporan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bener Meriah, 2015) sehingga wabah rabies bukan saja mengancam jiwa penduduk, tetapi juga berisiko terhadap sumber pangan dan ekonomi masyarakat.

Peningkatan jumlah GHPR akan memberikan dampak negatif atau kerugian yang besar bagi daerah, baik secara kesehatan, sosial maupun ekonomi. Secara ekonomi khususnya, kerugian akan besarnya biaya yang digunakan untuk pemberantasan rabies, penyediaan sarana dan prasarana pemberantasan, seperti penyiapan sumberdaya manusia, vaksin dan peralatan penunjang lainnya (Wera, 2013). Selain itu munculnya kasus rabies akan menimbulkan keresahan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari (Wahyudi, 2001). Termasuk juga menyangkut ketakutan anak-anak untuk menuju sekolah di daerah endemik rabies.

Selain itu akan menurunkan minat kunjungan wisatawan ke Indonesia. Oleh karena itu sangat diperlukan penerapan langkah-langkah tindakan pengendalian rabies yang baik, efektif dan efisien (Putra et al., 2009).

Pengendalian penyakit rabies umumnya dilakukan dengan vaksinasi dan eliminasi anjing liar, disamping program sosialisasi, dan pengawasan lalu lintas HPR (Inoue et al., 2003). Dengan demikian pemberantasan rabies tidak hanya tergantung pada pengendalian anjing, tetapi juga menyangkut peran serta manusia. (Suartha et al., 2014). Mengingat akan bahaya rabies terhadap kesehatan dan ketenteraman masyarakat karena dampak buruknya sering berakhir dengan kematian serta dapat mempengaruhi dampak perekonomian di Indonesia, maka usaha pengendalian

(13)

4 penyakit berupa pencegahan dan pemberantasan perlu dilaksanakan se-intensif mungkin.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menyatakan bahwa upaya pemberantasan rabies perlu dilakukan dengan strategi pendekatan one-health (Infodatin Kementerian Kesehatan, 2014). Dalam pendekatan ini diperlukan keterlibatan sejumlah pihak terkait untuk melakukan langkah-langkah pengendalian secara tepat dan komprehensif. Namun demikian hingga saat ini penelitian terkait masih sangat minim, khususnya penelitian aplikasi pendekatan one-health dengan dukungan sarana teknologi informasi dan pemanfaatan kearifan lokal. Oleh karena itu dalam penelitian yang diusulkan ini akan dirancang dan diuji aplikasi pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah.

(14)

5 BAB II

STUDI PUSTAKA

Penyakit Rabies

Rabies adalah penyakit yang menyerang semua hewan berdarah panas dan bersifat mematikan (Zulu et al., 2009). Penyakit ini disebabkan oleh virus yang tergolong dalam genus Lyssavirus dari family Rhabdoviridae (Tordoet al., 2006).

Berdasarkan hasil karakterisasi antigenic Lyssavirus diketahui bahwa terdapat 7 genotipe (WHO, 2005; Tordo et al., 2006). Ketujuh genotype tersebut adalah virus rabies klasik (RABV, genotipe 1), Lagos bat virus (LBV, genotipe 2), Mokola virus (MOKV, genotipe 3), Duvenhage (DUVV, genotipe 4), European bat lyssavirustype- 1 (EBLV-1, genotipe 5), European bat lyssavirustype-2 (EBLV-2, genotipe 6) dan Australian bat lyssavirus (ABLV, genotipe 7). Virus tersebut dapat ditemukan di dalam glandula saliva dan sistem syaraf pusat (SSP) dari hewan berdarah panas dan manusia yang terinfeksi (karena bersifat zoonosis). Salah satu tanda infeksinya dapat diamati dari iritasi SSP, yang kemudian diikuti dengan paralisis dan kematian (Harper, 2004).

Akoso (2007), menyebutkan agen penyebab penyakit rabies memiliki daya infeksi yang kuat untuk menyerang jaringan saraf yang menyebabkan terjadinya peradangan pada otak atau dikenal dengan nama enchepalitis. Bila agen penyakit telah menginfeksi otak, maka akan berakibat fatal bagi hewan ataupun manusia yang tertular. Klasifikasi virus rabies menurut (Wunner, 2002) adalah sebagai berikut:

(15)

6 Ordo Mononegavirales, Family Rhabdoviridae, Genus Lyssavirus, Spesies Rhabdovirus (Virus Rabies).

Virus rabies merupakan family Rhabdoviridae yang memiliki empat genus yaitu Lyssavirus, Vesiculovirus, Ephemerovirus, dan Novirhabdovirus. Rabies termasuk dari genus Lyssavirus yang penyebarannya mencapai seluruh benua di dunia, kecuali Antartika (Murphy dkk., 2008). Anjing merupakan salah satu hewan penyebar rabies diantara hewan pembawa rabies lainnya seperti kelelawar, musang, kucing dan kera. Lebih dari 95% kasus rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan anjing (Ratsitorahina dkk., 2009).

Rabies pada umumnya di tularkan oleh jenis hewan karnivora atau jenis hewan berdarah panas. Misalnya anjing, kucing, kera, anjing hutan, dan musang. Di Indonesia umumnya rabies ditularkan oleh HPR seperti anjing, kucing dan kera.

Rabies ditularkan ke manusia atau hewan melalui gigitan hewan penderita rabies dan luka terkena air liur atau dijilat oleh hewan penderita rabies (Bell dkk., 1988).

Gejala klinis akan terlihat setelah masa inkubasi, lama masa inkubasi pada tiap individu berbeda-beda. Tergantung pada banyaknya virus, spesies, kedalaman gigitan, banyaknya luka dan kedekatan dengan susunan saraf pusat (SSP) (Direktorat Kesehatan Hewan, 1979).

Menurut Tierkel (1975), gejala klinis rabies pada hewan ada tiga fase, yaitu fase prodormal, fase exitasi dan fase paralitik. Pada fase prodormal berlangsung selama 2- 3 hari, hewan mengasingkan diri ditempat gelap, suhu badan naik, dilatasi pupil, refleks kornea berkurang dan menjadi agresif. Fase exitasi berlangsung 3-7 hari, hewan semakin peka, lesu, nervous, takut pada sinar dan suara. Hewan cenderung

(16)

7 bergerak, memakan makanan yang lain dari biasanya, serta menggigit apa yang ditemuinya. Kalau hewan ini dikurung maka akan terus menyalak dengan suara parau akibat paralisa otot laring (Ressang, 1986). Paralisa otot menyebabkan air liur tidak bisa ditahan keluar, napas cepat, terjadi konvulsi dan inkoordinasi. Fase paralitik berlangsung 10-12 hari dimulai dari fase prodromal, hewan akan mengalami inkoordinasi, kemudian paralisis pada seluruh tubuh, koma dan akhirnya mati.

Tanda-tanda rabies pada manusia menurut Akoso (2007), ada empat fase, yaitu fase prodormal, fase sensoris, fase eksitasi dan fase paralisis. Pada fase prodromal, gejala awal berupa demam, sakit kepala, malaise, kurang nafsu makan, mual, rasa nyeri di tenggorokan, batuk dan kelelahan yang luar biasa sampai beberapa hari (1-4 hari). Gejala ini gejala spesifik dari orang yang terinfeksi virus rabies yang muncul 1- 2 bulan setelah terinfeksi. Fase sensoris penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada daerah bekas luka gigitan dan secara bertahap akan menyebar ke anggota badan yang lainnya, disusul dengan rasa cemas dan reaksi berlebihan terhadap rangsangan sensorik. Fase eksitasi, tonus otot-otot dan aktivasi simpatik menjadi meninggi dengan gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupildilatasi. Bersama dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai puncaknya.

Keadaan yang khas pada stadium ini adalah adanya macam-macam fobia, yang sangat sering diantaranya adalah hidrofobia (ketakutan pada air). Fase paralisis, sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang -kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.

(17)

8 Epidemiologi Rabies

Rabies ditemukan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tiap negara yang tertular rabies mempunyai vektor utama sendiri. Seperti di Amerika Selatan dan Tengah, anjing, kucing, kelelawar penghisap darah (vampir) dan kelelawar pemakan serangga memegang peranan sebagai vektor rabies. Di Afrika yang memegang peranan sebagai penyebar utama adalah anjing, kucing, jakal dan monggus. Di Timur Tengah yang berperan sebagai vektor rabies yaitu lembu, anjing, dan anjing hutan (wolves). Sedangkan di Asia yang berperan sebagai penyebar rabies adalah anjing, kucing dan kera (Tamayo, 2011).

Rabies telah diketahui di Indonesia sejak 120 tahun yang lalu, sejak Esser pada tahun 1889, dan Penning pada tahun 1890, melaporkan adanya kasus rabies di daerah Tangerang dan Bekasi. E. Van de Haan adalah ilmuwan pertama yang melaporkan adanya kasus rabies pada manusia di Indonesia. Setelah laporan tersebut, banyak kasus rabies lainnya yang dilaporkan di berbagai daerah di Indonesia, seperti di Jawa Barat pada tahun 1948, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur pada tahun 1953 dan Sumatera Utara pada tahun 1956. Akhir tahun 1997, kasus rabies dilaporkan di Nusa Tenggara Timur dikarenakan transportasi HPR ilegal dari Buton (Sulawesi Tenggara). Rabies dilaporkan juga di Ambon dengan korban tewas sebesar 21 orang.

Daerah endemik rabies di Indonesia saat ini telah meluas. Dari 33 provinsi di Indonesia, hanya 9 provinsi yang bebas dari rabies (Siregar, 2009).

(18)

9 Pengendalian Rabies

Pencegahan penularan kasus rabies ke manusia dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya gigitan HPR. Manusia yang digigit HPR di daerah endemis rabies harus diwaspadai terhadap kemungkinan terjadinya penularan penyakit rabies (Soeharsono, 2002). Luka bekas gigitan harus segera dibasuh dengan air sabun, eter atau kloroform lalu dibilas dengan air dan luka diberi iodin tincture atau alkohol 70%.

Selain itu dapat pula dilakukan pemberian anti tetanus dan antibiotik. Untuk penanganan lebih lanjut dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi anti rabies di puskesmas atau rumah sakit terdekat (Direktorat Kesehatan Hewan, 2004).

Solusi penanganan kasus rabies ini tergantung pada kontrol dan eliminasi penyakit dari populasi hewan yang ada. Hal yang dapat dilakukan antara lain, vaksinasi anjing secara massal, mengeliminasi jumlah anjing liar, manajemen yang baik terhadap anjing-anjing yang telah terinfeksi rabies dan sistem karantina hewan yang baik (Hoeden, 1964). Hal yang sama juga disebutkan oleh Direktorat Kesehatan Hewan, kontrol penyebaran penyakit rabies dapat dilakukan dengan pengobatan hewan yang peka (pemberian vaksin), pemusnahan hewan-hewan tak bertuan (dilakukan dengan penembakan, peracunan atau penangkapan hewan) dan pembatasan daerah rabies (Direktorat Kesehatan Hewan, 2004).

Menurut Direktorat Kesehatan Hewan (2007), kebijakan memberantas rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa liar. Hal ini dapat dicapai dengan menjalankan gabungan atau kombinasi strategi di sebagai berikut: (1) Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular rabies di wilayah atau daerah untuk

(19)

10 mencegah penyebaran penyakit; (2) Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak untuk mencegah sumber virus rabies yang paling berbahaya; (3) Vaksinasi semua hewan yang dipelihara di daerah tertular untuk melindungi hewan terhadap infeksi dan mengurangi kontak terhadap manusia; (4) Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan dan arah pembebasan dari penyakit; (5) Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (publik awareness) untuk memfasilitasi kerjasama masyarakat terutama dari pemilik hewan dan komunitas yang terkait.

Dukungan aktif dari masyarakat adalah bagian penting dari upaya pemberantasan rabies. Hal ini dapat dicapai dengan mengadakan kampanye publik yang intensif melalui media yang dianggap efektif. Masyarakat harus diinformasikan mengenai aspek kesehatan masyarakat dari rabies, keperluan yang berkaitan dengan kampanye pengendalian, dan pemberantasan termasuk pelaporan kasus penggigitan, hasil yang dicapai dan hal-hal lain yang menarik perhatian masyarakat. Kampanye untuk mendidik masyarakat mengenai sifat alamiah penyakit, terutama gejala klinis pada hewan dan cara penularan penyakit dari hewan ke manusia harus diajarkan di sekolah-sekolah, pusat-pusat lembaga sosial masyarakat, pusat-pusat kesehatan, pabrik dan tempat-tempat lainnya yang biasa digunakan sebagai tempat berkumpulnya massa, begitu juga melalui media kampanye yang tersedia (Direktorat Kesehatan Hewan, 2007).

(20)

11 Pendekatan One-Health dan Penggunaan Sarana Teknologi Informasi

Salah satu alternatif untuk mencegah terus meningkatnya kasus GHPR di masa yang akan datang adalah melalui implementasi upaya pengendalian secara komprehensif dan terpadu berbasis pendekatan one health (Infodatin Kementerian Kesehatan, 2014). Binot et al (2015) menyatakan bahwa dalam pengendalian penyakit zoonosis dengan pendekatan one health tidak cukup hanya mengandalkan peran petugas kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, tetapi juga memerlukan peran sektor lainnya, baik yang terkait aspek sosial maupun teknis, untuk mencapai targetnya. Selain itu, dalam upaya pengendalian rabies juga perlu diintegrasikan dengan kearifan lokal (Digna et al., 2014). Kearifan lokal tersebut dapat dilihat dari sisi sosial budaya maupun agama.

Alternatif lain dalam mendukung upaya pengendalian rabies di Indonesia adalah dengan dukungan sarana informasi. Menurut Ossebaard (2013) sarana teknologi informasi digital akan sangat membantu upaya pengendalian penyakit dengan pendekatan one-health. Penggunaan sarana informasi sangat diperlukan dalam membantu peringatan dini kejadian wabah penyakit (Madoff and Li, 2014).

Jika kejadian wabah dapat diketahui sejak dini, maka upaya tindakan kesehatan masyarakat dapat dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalisir dampak wabah penyakit dan mencegah konsekwensi lanjutan. Penggunaan teknologi ini juga dapat diterapkan untuk peringatan dini kejadian gigitan hewan berpotensi rabies, misalnya melalui pesan yang dikirimkan ke masyarakat via telepon genggam. Terlebih lagi dengan mempertimbangkan bahwa dewasa ini penggunaan smartphone bukan saja oleh masyarakat perkotaan, tetapi telah merambah hingga ke kawasan pedesaan di

(21)

12 daerah-daerah terpencil. Hal ini menjadi mungkin dikarenakan semakin beragamnya produk smartphone dengan harga yang relatif terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Selain itu juga seiring semakin mudahnya akses sinyal telepon seluler di daerah-daerah terpencil. Sehingga jika dimanfaatkan untuk pengiriman pesan informasi terkait kewaspadaan terhadap rabies tentu saja akan sangat membantu upaya pengendalian penyebaran penyakit. Namun demikian, saat ini masih sangat sedikit kajian yang dilakukan terkait dampak peran teknologi informasi via telepon seluler terhadap pengendalian rabies di negara berkembang seperti Indonesia.

Kasus Gigitan HPR di Kabupaten Bener Meriah

Kabupaten Bener Meriah terdiri dari sepuluh kecamatan dan dua 232 gampong (desa). Kecamatan yang berada di Kabupaten Bener Meriah adalah Kecamatan Pintu Rime Gayo, Permata, Syiah Utama, Bandar, Bukit, Wih Pesam, Timang Gajah, Bener Kelipah, Mesidah dan Gajah Putih (BPS Kab. Bener Meriah, 2013).

Sesuai dengan Laporan dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bener Meriah terdapat sejumlah 10 kasus gigitan HPR pada tahun 2012. Kasus gigitan tertinggi terjadi pada Kecamatan Bandar dan Kecamatan Bener Kelipah (Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Bener Meriah, 2013).

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah tentang jumlah kasus gigitan hewan penular Rabies di Kabupaten Bener Meriah pada tahun 2012 sebanyak 83 kasus yang tersiri dari 66 kasus gigitan oleh anjing, 11 kasus gigitan kucing dan 6 kasus gigitan kera. Angka kasus gigitan tersebut merupakan kasus tertinggi jika dibandingkan pada tahun 2011 dan 2013. Pada tahun 2011 terjadi

(22)

13 kasus gigitan HPR sebesar 58 kasus dengan rincian kasus gigitan oleh anjing 49 Kasus, Kucing 8 kasus gigitan dan 1 kasus gigitan oleh kera. Pada tahun 2013 terjadi kasus gigitan sebanyak 54 kasus dimana 44 kasus disebabkan oleh gigitan anjing, 6 kasus gigitan kucing dan 2 kasus gigitan kera (Dinas Kesehatan Kab. Bener Meriah, 2014).

(23)

14 BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk membuktikan adanya pengaruh pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah.

2. Untuk dapat memberikan rekomendasi strategi pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah secara khusus, dan di Indonesia secara umum.

3. Untuk dapat menghasilkan metode pengendalian rabies yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Aceh khususnya, dan di Indonesia secara umum.

Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:

1. Memberikan informasi dan inovasi teknologi terhadap pembaharuan dan kemajuan ipteks:

a. Penelitian ini akan memberikan informasi tentang potensi dari pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah. Terutama terkait dugaan peran sekolah, tokoh masyarakat, budaya lokal dan aplikasi teknologi

(24)

15 informasi tersebut yang diduga dapat memperbaiki pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam mewaspadai potensi GHPR.

b. Untuk jangka panjang, hasil penelitian tersebut akan dapat digunakan untuk merancang sistem pengendalian rabies yang efektif dan efisien dengan pendekatan one-health untuk meminimalisir ancaman GHPR dan meningkatkan kesehatan masyarakat.

2. Memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah-masalah dalam mitigasi bencana epidemi rabies, yaitu melalui:

a. Perbaikan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam mewaspadai ancaman GHPR, dengan pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies secara efektif dan efisien. Dengan demikian akan dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya pemerintah dalam merancang strategi pembebasan rabies di Indonesia tahun 2020. Sehingga dapat mendukung peningkatan kesehatan masyarakat sesuai harapan program Sustainable Development Goals (SDGs).

b. Desain pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies. Hasil penelitian ini juga akan dapat dipatenkan.

(25)

16 BAB IV

METODE PENELITIAN

PETA JALAN PENELITIAN

Gambar 1. Road-map penelitian.

Kajian Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Pemilik Anjing Pemburu

dan Non-Pemburu Terhadap Rabies di Kabupaten Bener

Meriah (2015)

Pengaruh Kegiatan KIE Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Pemilik Anjing Pemburu dan Non-

Pemburu Terkait Rabies di Kabupaten Bener Meriah (2016)

Pengaruh Kegiatan KIE Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Tindakan

Murid Sekolah Menengah dan Permodelan Dinamikan Terkait Rabies di Kabupaten Bener Meriah

(2017) Kajian Dampak Ekonomi

Pengendalian Rabies di Kabupaten Bener

Meriah (2018)

(26)

17 Alur Penelitian Tahun I

Gambar 2. Bagan alur penelitian Tahun I.

Lokasi Penelitian

Kabupaten Bener Meriah dipilih karena merupakan salah satu wilayah di Aceh dengan populasi anjing, angka kasus gigitan manusia tertinggi, dan terjadi kematian manusia dan ternak akibat gigitan hewan penular rabies. Di sini juga ada kelompok pemilik anjing untuk berburu hama perkebunan/pertanian sebagai tradisi lokal.

Pemilihan Populasi Sampel

Kajian Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Sampel Terhadap Penyakit Rabies Sebelum

Intervensi KIE

Kajian Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Sampel Terhadap Penyakit Rabies 10 hari Pasca

Intervensi KIE menggunakan SMS

Pengumpulan Laporan Kasus Ancaman GHPR

via sms Tabulasi Data

Analisis Data

(27)

18 Rancangan Penelitian, Populasi Sampel

Penelitian cross-sectional ini melibatkan responden berupa anggota kelompok pemilik anjing pemburu, petugas Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) dan petugas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang ada di Kabupaten Bener Meriah dengan pendekatan purposive sampling. Kriteria inklusi adalah anggota kelompok pemilik anjing pemburu yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Bener Meriah dan memiliki telepon seluler, serta petugas Puskesmas dan Puskeswan yang bekerja dan tinggal di wilayah Bener Meriah serta memiliki telepon seluler.

Metode Survei dan Wawancara, Materi Kuesioner KIE

Wawancara pertama menggunakan kuesioner terstruktur akan dilakukan untuk menilai KAP rabies awal (baseline) responden tentang rabies. Informasi yang akan digali adalah demografi (Bagian A), pengetahuan (Bagian B), sikap (Bagian C), dan tindakan (Bagian D) responden terkait rabies. Bagian E menanyakan pengetahuan awal responden tentang rabies, sumber informasi dan kekurangan metode penyampaian. Kemudian akan dilakukan pengiriman SMS berbahasa Indonesia tentang gejala klinis dan tanda khas rabies pada anjing dan manusia; cara penularan dan pencegahan rabies; serta peran pemilik dalam kesejahteraan anjingnya. SMS dibuat dalam format Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan dikirim via telepon seluler. Wawancara kedua (ulang) dilakukan 20 hari setelah pengiriman SMS KIE. Jika responden tidak dapat ditemui akan dijadwalkan wawancara ulang. Jika tidak juga berhasil, responden dikeluarkan dari populasi sampel. Koordinasi dan komunikasi akan dilakukan dengan Puskeswan dan Puskesmas setempat selama 90

(28)

19 hari pasca pengiriman pesan singkat KIE terkait perubahan tingkat pelaporan ancaman dan kasus gigitan HPR di Bener Meriah.

Metode Pemilihan Sampel, Survei dan Kuesioner Tehadap Petugas

Survei dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur juga dilakukan terhadap petugas dari Puskeswan dan Puskesmas. Kepada mereka diajukan pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan terkait laporan gigitan hewan penular rabies. Secara khusus, terhadap petugas Puskeswan pertanyaan difokuskan pada pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap hewan penggigit dalam menindaklanjuti laporan gigitan dari hewan penular rabies serta bentuk koordinasi dengan petugas Puskesmas atau pihak terkait lainnya. Selain itu juga ditelusuri pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap kemungkinan gigitan hewan ternak atau lainnya oleh hewan HPR. Terhadap petugas Puskesmas, pertanyaannya akan difokuskan pada pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap korban gigitan HPR serta bentuk koordinasi dengan petugas Puskeswan atau pihak terkait lainnya.

Media Pelaporan Ancaman Gigitan HPR Melalui SMS

Penempelan poster berisi informasi singkat terkait gejala rabies pada anjing akan dilakukan di tempat strategis setiap SMP/SMA yang dipilih sebagai lokasi sampel.

Poster juga mencantumkan nomor telepon seluler peneliti, kepala desa, petugas Puskeswan/Puskesmas di wilayah terkait untuk dimanfaatkan melaporkan ancaman dan kasus gigitan HPR di sekitar lingkungan tempat tinggal. Hal ini untuk menilai tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaporan ancaman dan kasus gigitan HPR serta

(29)

20 subyek personal yang lebih mudah atau nyaman bagi mereka untuk melaporkannya.

Rasio jumlah anjing (total dan menurut jenis kelamin) terhadap jumlah pemilik, jumlah kepala keluarga/daerah sebaran anjing, dan luas wilayah juga akan dihitung kembali.

Pencatatan Perubahan Populasi Anjing Melalui SMS

Pencatatan perubahan angka populasi anjing yang dimiliki oleh anggota kelompok pemilik anjing pemburu di Kabupaten Bener Meriah dilakukan dengan wawancara dan menggunakan pesan singkat. Pencatatan dilakukan selama enam bulan sejak waktu pelaksanaan wawancara pertama dengan kuesioner terstruktur.

Dalam pencatatan dihitung angka pertambahan populasi anjing dari kelahiran berdasarkan jenis kelamin yang dimiliki responden, jumlah yang dipelihara dan yang tidak dimanfaatkan, dan alasan pemeliharaan anjing tersebut. Juga ditelusuri informasi mengapa anjing tidak dimanfaatkan dan kemana anjing yang tidak dimanfaatkan dibawa atau pergi.

Perhitungan Rasio Jumlah Anjing Terhadap Pemilik, KK dan Luas Wilayah Data lain yang juga akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah rasio jumlah anjing, secara keseluruhan dan berdasarkan jenis kelamin, terhadap beberapa variabel. Perbandingan rasio tersebut akan dihitung terhadap jumlah pemilik, jumlah kepala keluarga (KK) per daerah sebaran anjing, dan terhadap luas wilayah.

(30)

21 Analisis Data

Data hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif dan analitik menggunakan SPSS dengan signifikansi 0,05. Kaitan antara tingkat ancaman rabies dan faktor risiko terkait akan diukur dengan odds ratio (OR). Perbedaan tanggapan responden akan dianalisis dengan chi-square. Perubahan KAP akan dianalisis dengan uji McNemar.

(31)

22 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bener Meriah, kabupaten di Aceh yang berlokasi di darah tinggi Aceh. Kabupaten yang berlokasi 4°33 50 - 4° 54 50 Lintang Utara dan 96° 40 75- 97° 17 50 Bujur Timur memiliki demografi rata-rata 100-2,500 meter di atas permukaan laut. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tengah.

Gambar 3. Peta Kabupaten Bener Meriah

(32)

23 Bener Meriah merupakan salah satu wilayah di Aceh dengan populasi anjing, angka kasus gigitan manusia tertinggi, dan terjadi kematian manusia dan ternak akibat gigitan hewan penular rabies. Di Bener Meriah juga terdapat kelompok pemilik anjing untuk berburu hama perkebunan/pertanian sebagai tradisi lokal. Aceh.

Responden

Data rabies komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) rabies diperoleh dengan melakukan wawancara langsung menggunakan kuesioner terstruktur setelah mendapatkan izin dari dan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Bener Meriah (Gambar 4 dan 5).

(A) (B)

Gambar 4. Pertemuan peneliti dengan kepala Dinas Pertanian dan Pangan (A) dan Dinas Kesehatan bener Meriah (B) dalam rangka pengurusan perizinan dan kerjasama penelitian.

Wawancara ini melibatkan 65 responden yang terdiri dari 47 orang pemilik anjing pemburu, 13 orang petugas Puskesmas dan 5 orang petugas Puskeswan di

(33)

24 Kabupaten Bener Meriah, dengan karakteristik masing-masing terlihat pada Tabel 1, 2 dan 3.

Reponden anggota kelompok pemilik anjing pemburu yang terlibat dalam penelitian berusia 19 – 72 tahun, dengan tingkat pendidikan bervariasi, yaitu tidak menamatkan sekolah dasar (SD) 4%, tamat SD/sederajat 15%, tamat sekolah lanjutan tingkat pertama/sederajat (SLTP) 32%, dan tamat sekolah lanjutan tingkat atas/sederajat (SLTA) 45%, menamatkan perguruan tinggi (PT) 4% (Tabel 1).

Sebagian besar responden merupakan pria (98%) suku Gayo (81%) dan beragama Islam (98%). Pekerjaan responden adalah sebagai petani (64%), swasta (34%) dan ibu rumah tangga (2%), dengan tingkat penghasilan per bulan Rp 1.300.000,- (77%) dan

>Rp. 13.300.000,- (23%).

Sebagaimana terlihat pada Tabel 2, kelompok responden petugas puskeswan yang ada di Bener Meriah sebanyak 5 orang petugas berusia 26 – 42 tahun dengan masa kerja 1 tahun (40%) atau lebih (60%). Semua petugas Puskewan yang terlibat sebagai responden beragama Islam, dengan tingkat pendidikan SLTA/sederajat (40%) atau perguruan tinggi (60%)..

Responden petugas Puskesmas adalah 13 orang petugas yang bertanggung bertugas memberikan penanganan, pengobatan, dan penyuntikan vaksin anti rabies (VAR) kepada pasien penderita korban gigitan hewan penular rabies dan melaksanakan pelaporan kasus rabies ke dinas kesehatan (Tabel 3). Para responden berusia 24-48 tahun dan pengalaman kerja 1 tahun (46%) atau lebih (54%).

Responden pria 62% dan yang wanita 38%, dengan tingkat pendidikan tamatan akademi perguruan tinggi (92%) atau SLTA/sederajat (8%).

(34)

25 L P TS SD SLTP SLTA PT I K Gy Jw Mn Ac Swasta Tani IRT 1.300 >1.300

Timang Gajah 32 – 72 8 - - 1 4 3 - 8 - 6 2 - - 4 4 - 7 1

Bukit 22 – 63 9 1 2 3 3 9 - 9 - - - 1 8 - 9 -

Wih Pesam 31 – 43 3 - - - 1 2 3 - - 3 - - - 3 - 3 -

Bandar 23 – 48 18 - 1 2 4 11 - 18 1 15 1 1 1 5 13 - 13 5

Gajah Putih 28 – 50 3 1 - - 1 1 2 4 - 4 - - - 2 1 1 3 1

Pintu Rime Gayo 28 – 65 5 - - 3 2 - - 5 - 5 - - - 4 1 - 4 1

Total 22 – 72 46 1 2 8 15 20 2 46 1 39 6 1 1 16 30 1 39 8

Keterangan:

Thn: tahun, JK: jenis kelamin, L: laki-laki, P: perempuan, TS: tidak bersekolah, SD: sekolah dasar, SLTP: sekolah lanjutan tingkat pertama/sederajat, SLTA:

sekolah lanjutan tingkat atas/sederajat, I: Islam, K: Kristen, Gy: Gayo, Jw: Jawa, Mn : Minang, Ac: Aceh, IRT: Ibu rumah tangga

Tabel 2. Demografi responden Staf Puskeswan di Bener Meriah

No Puskesmas Kecamatan

JK

Umur (Tahun)

Pekerjaan

Agama Suku

Tingkat

Pendidikan Tanggung jawab

Status

Lama (Tahun)

1 Lampahan Timang Gajah L 42 Honorer ≥ 1 Islam Gayo SLTA Tim pengendali rabies

2 Pondok Baru Bandar L 28 Honorer ≥ 1 Islam Gayo PT Tidak khusus

3 Uber Uber Mesidah L 26 Honorer ≥ 1 Islam Gayo SLTA Tim pengendali rabies

4 Arul Gading Pintu Rime Gayo p 41 PNS < 1 Islam Gayo PT Tim pengendali rabies 5 Samarkilang Bandar P 40 PNS < 1 Islam Aceh Profesi Tim pengendalian zoonosis Keterangan:

JK: jenis kelamin, L: laki-laki, P: perempuan, SLTP: sekolah lanjutan tingkat pertama/sederajat, SLTA: sekolah lanjutan tingkat atas/sederajat, PT: perguruan tinggi, PNS: pegawai negeri sipil

(35)

26

JK (Thn) Status (Thn) Agama Suku dikan Tanggung jawab

1

Simpang

Tritit Wih Pesam P 48 PNS ≥ 1 Islam Gayo PT

Mencuci luka, menyuntikkan VAR, memberi penyuluhan tentang rabies

2 Pante Raya Wih Pesam L 41 PNS ≥ 1 Islam Jawa SLTA

Menerima pasien GHPR, memberi tindakan dan penyuluhan GHPR, mnedokumentasi, pelaporan kejadian, aprah stok VAR 3

Simpang Tiga

Redelong Bukit P 32 PNS ≥ 1 Islam Jawa PT Melakukan tatalaksana pada pasien kasus gigitan HPR 4 Lampahan Timang Gajah L 48 PNS < 1 Islam Gayo PT Cuci luka, berikan VAR, penyuluhan ke keluarga/penderita 5 Ronga Ronga Gajah Putih L 35 PNS < 1 Islam Aceh PT Penyuluhan tentang rabies di Posyandu

6

Buntul

Kemumu Permata P 39 PNS < 1 Islam Gayo PT Mencuci luka, menyuntikkan VAR, memberi penyuluhan 7 Ramung Permata L 25 Honorer < 1 Islam Jawa PT Penyuluhan ke masyarakat penanganan/pengendalian rabies 8 Singah Mulo Pintu Rime Gayo P 34 Honorer ≥ 1 Islam Gayo PT Membersihkan luka, penyuntikan VAR, laporan bulanan 9 Blang Rakal Pintu Rime Gayo L 32 Honorer ≥ 1 Islam Gayo PT

Penanggungjawab program rabies, menangani kasus rabies, dan melaporkan ke Dinkes

10 Bandar Bandar L 36 Honorer ≥ 1 Islam Aceh PT

Menangani pasien dicurigai terkena rabies dari anjing, kucing, kera

11 Bandar Bener Kelipah P 24 Honorer < 1 Islam Jawa PT

Menangani kasus gigitan hewan, mencuci bekas gigitan, memberikan vaksin

12 Meusidah Mesidah L 29 Honorer ≥ 1 Islam Gayo PT Penanganan kasus rabies dan melaporkannya ke dinas kesehatan 13 Samarkilang Syeh Utama L 25 PNS < 1 Islam Jawa PT Pemberian vaksin rabies

Keterangan:

Thn: tahun, JK: jenis kelamin, L: laki-laki, P: perempuan,: tidak bersekolah, SD: sekolah dasar, SLTP: sekolah lanjutan tingkat pertama/sederajat, SLTA:

sekolah lanjutan tingkat atas/sederajat, PT: perguruan tinggi.

(36)

27 Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Pemilik Anjing Pemburu Mengenai rabies

Hasil wawancara dengan format komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan responden tentang rabies diperoleh hasil pemilik anjing pemburu di Kabupaten Bener Meriah telah memiliki tingkat pengetahuan,sikap dan tindakan yang cukup baik namun bervariasi tentang rabies.

Pengetahuan responden tentang rabies

Dari sejumlah 47 responden pemilik anjing pemburu menyatakan memelihara 2-5 ekor anjing dan sudah berpengalaman memelihara anjing selama 2-5 tahun (60%), 6-10 tahun (11%), 11-15 tahun (15%), 16-20 tahun (10%) dan selama lebih dari 20 tahun (4%). Responden memanfaatkan anjing yang dipelihara untuk tujuan berbeda. Sebagian besar (47%) dari mereka menyatakan bahwa memelihara anjing untuk digunakan saat berburu atau untuk dimanfaatkan sebagai penjaga kebun (34%).

Akan tetapi, juga terdapat 19% responden yang memelihara anjing hanya sebagai penjaga rumah.

Responden mampu menyebutkan rabies sebagai penyakit yang timbul karena gigitan anjing gila (66%) atau sebagai penyakit menular yang disebabkan oleh gigitan hewan penderita rabies (34%). Akan tetapi hanya 83% responden yang dapat menyebutkan dengan benar bahwa penyebab rabies adalah virus. Demikian juga, hanya sebagian kecil (26%) dari 47 rseponden yang mampu mengidentifikasi 3 hewan berdarah panas yang dapat tertular dan menyebarkan rabies (anjing, kucing

(37)

28 dank era), sedangkan sebagian besar responden hanya menyebutkan hewan penular rabies adalah anjing (57%) atau anjing dan kucing (17%)

Hal yang menggembirakan adalah dari 47 responden pemilik anjing pemburu 98% mengetahui bahwa terjadinya penularan rabies pada hewan dan manusia terjadi melalui luka gigitan langsung/luka terkena air liur hewan yang tertular penyakit rabies. Sejumlah responden dapat menyebutkan gejala-gejala anjing yang terinfeksi rabies paling kurang 2 buah (6%) atau 4 buah (85%), namun 9% responden tidak dapat menyebutkan satupun gejala anjing yang terinfeksi rabies. Persentase responden yang mengetahui 2 - 4 gejala rabies manusia yang terinfeksi rabies cukup tinggi (85%) dan hanya 13% responden saja yang tidak mengetahui gejala tersebut.

Responden umumnya (96%) menyatakan bahwa anjing yang menunjukkan gejala penyakit rabies harus segera ditangkap dan dilaporkan ke Dinas Peternakan setempat dengan alasan berbeda, diantaranya supaya anjing dikarantina/dibatasi pergerakannya) untuk diobservasi (70%) atau Supaya anjing dimatikan sehingga tidak menggigit manusia (26%).

Meskipun hanya 4 (8%) dari 47 responden yang menyatakan bahwa anjingnya pernah mengigit orang hanya 38% yang mengetahui cara mencegah anjingnya agar tidak menggigit orang, baik dengan memberangus anjing jika hendak dibawa keluar rumah (4%) atau dengan mengikat anjing dengan rantai yang panjangnya < 2m (34%). Pada umumnya (98%) responden faham bahwa untuk mencegah anjing terinfeksi rabies harus divaksinasi, dan sangat berbahaya apabila orang tergigit anjing rabies di bagian kepala atau bagian tubuh yang dekat dengan kepala (87%). Semua responden tahu bahwa korban gigitan anjing rabies atau diduga menderita rabies

(38)

29 harus dilaporkan ke Puskesmas atau petugas kesehatan setempat dengan harpan mereka dapat mendapatkan penanganan segera dari petugas (55%) atau mendapatkan suntikan vaksin anti-rabies VAR (45%), namun ada 6% responden yang merasa hal ini tidak perlu dilakukan dengan segera.

Sikap responden tentang rabies

Meskipun hampir semua responden menyetujui anjing mereka harus diregistrasi (92%), diberikan tanda kepemilikan (98%), dan divaksinasi secara rutin (96%).

Responden juga setuju anjingnya diikat dengan rantai sepanjang 2 meter saat dipelihara di sekitar tempat tinggal (85%) dan tidak setuju anjing peliharaan bebas berkeliaran (70%), namun mereka (66%) cenderung menolak anjingnya diikat dengan rantai sepanjang  2 meter saat dipelihara dengan alasan untuk mencegah terjadinya pencurian anjing pemburu yang sudah terlatih. Akan tetapi responden tampaknya tidak melakukan suatu usaha untuk mencegah anjingnya berkontak dengan anjing liar (tak berpemilik), mengikat anjing dan memberangus (membungkus) moncongnya saat dibawa keluar rumah. Ini menunjukkan kurangnya kewaspadaan mereka terhadap kemungkinan anjingnya beresiko mengigit hewan atau orang..

Semua (100%) responden sepakat perlunya melaporkan kasus anjing berpemilik menggigit orang kepada petugas berwenang dan siap memberi persetujuan ke petugas tersebut menangkap anjing yang mengigit itu ditangkap untuk diobservasi dalam kurun waktu tertentu (98%), dan kemudian dieliminasi jika terbukti terinfeksi rabies (98%). Tindakan penangkapan anjing liar (tanpa pemilik) untuk dieliminasi guna

(39)

30 mencegah kasus gigitan, kemunculan dan penyebaran penyakit rabies juga disetujui (98%).

Dari 47 responden, 99% setuju bahwa anjing berpemilik harus didaftarkan ke kantor Kepala Desa atau Dinas Peternakan/Puskeswan terdekat, dan 70%

menyebutkan perlunya pemilik yang membawa anjing peliharaan masuk ke daerah baru dilengkapi dengan surat bukti kepemilikan dan vaksinasi dari daerah asal guna mencegah/mengurangi kasus rabies. Akan tetapi sebagian responden tidak memiliki kartu vaksinasi anjing mereka.

Tidak semua (hanya 79%) dari 47 responden merupakan anggota kelompok berburu babi meskipun mereka memelihara anjing antara 2 – 5 ekor. Lebih sedikitnya jumlah anjing yang dipelihara terkait dengan berkurangnya aktifitas berburu yang dilakukan serta relatif sedikitnya perhatian dinas terkait dengan aktifitas ini. Jumlah total anjing yang dimiliki responden ada 111 ekor sehingga jumlah anjing per kepala keluarga (KK) pemilik anjing pemburu adalah 2 ekor/KK. Responden cenderung memelihara sedikit anjing betina untuk tujuan pengendalian populasi anjing yang dimiliki.

Tidak semua (hanya 89%) responden yang setuju bahwa anjing yang dibiarkan lepas tanpa tanda kepemilikan dapat dianggap anjing liar sehingga dapat dilakukan penangkapan untuk dieliminasi guna mencegah kasus gigitan, kemunculan dan penyebaran penyakit rabies. Semua responden setuju bahwa setiap orang yang terkena (korban) gigitan anjing harus segera dibawa ke Puskesmas terdekat untuk diperiksa, dan bila perlu diberi suntikan anti rabies. Mereka juga sepakat bahwa pencegahan penyakit rabies bukan hanya tugas pemerintah saja tetapi juga

(40)

31 masyarakat terutama pemilik anjing, namun tidak semuanya (hanya 98%) yang menyebutkan perlunya Pemerintah daerah membuat peraturan atau qanun tentang pencegahan/pengendalian kasus gigitan anjing dan penyakit rabies.

Tindakan responden tentang rabies

Apabila terjadi pertambahan populasi anjing dari anak anjing yang dilahirkan oleh induk yang dipelihara responden akan menguranginya 60%, memeliharanya (30%). Namun ada 10% responden yang belum memutuskan mau diapakan. Tindakan mengurangi populasi anjing dilakukan dengan membagikannya ke orang lain (55%), mematikannya (26%), memandulkan induknya (11%), membawanya ke tempat lain (4%) atau lainnya (4%). Upaya mematikan anjing yang tidak diinginkan itu dilakukan dengan bantuan petugas (9%), meracunnya dengan racun yang diperoleh dari petugas (15%) atau dibeli sendiri (19%), tidak tahu (9%) atau tindakan lain (49%) seperti

Hal yang menarik bahwa banyak responden (96%) perlunya vaksinasi untuk mencegah anjing terkena rabies dan menyebutkan mengikat dan mengandangkan anjing merupakan upaya pencegahan anjing menggigit orang, hanya 15% yang memberangus anjingnya saat dibawa keluar. Bila anjingnya menunjukkan gejala rabies 51% responden akan melaporkannya ke petugas peternakan (14%), Puskeswan (17%), Petugas kesehatan (2%), kepala desa (4%) atau pihak lainnya (5%) atau belum tahu mau melaporkannya kemana (5%).

Responden mendapatkan informasi tentang penyakit rabies dari sumber yang berbeda diantaranya dari Petugas Peternakan (58%), Petugas Kesehatan (21%), atau

(41)

32 dari sumber lainnya (11%) seperti dari teman, selebaran, surat kabar atau televisi.

Semua responden setuju anjing yang dimiliknya untuk divaksinasi rabies untuk mencegah enyakit Rabies (94%), mengikuti anjuran petugas (2%) atau mencegah bahaya bagi manusia (4%), namun sekitar 10% responden masih berpikir vaksinasi dapat mematikan atau melemahkan anjing yang dimilikinya. Sebanyak 98%

responden setuju anjing yang menunjukkan gejala rabies dimatikan, namun 2% tidak menyetujui tindakan ini dengan alasan tidak tega, merasa sayang atau berpikir ada cara lain yang sebenarnya lebih berpotensi menyiksa anjing atau bertentangan dengan animal welfare seperti mengikat atau mengurungnya sampai mati. Ada juga yang

berpikir lebih baik untuk membuang/membawa anjing terindikasi rabies ke tempat lain, yang dapat menyebabkan penularan rabies ke tempat tersebut.

Infomasi menarik yang juga diperoleh selama wawancara adalah ada responden yang mampu menyebutkan dan menjelaskan pola spesifik penyebaran rabies dari anjing liar (tak berpemilik) ke anjing berpemilik yang tidak diikat selama musim hujan.

Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Petugas Puskeswan dan Puskesmas Mengenai rabies

Wawancara interaktif dengan petugas bidang rabies seluruh 13 Puskesmas dan petugas 4 Puskeswan di Kabupaten Bener Meriah menggunakan kuesioner terstruktur dengan format KIE menunjukkan bahwa mereka mempunyai pengetahuan, sikap dan tindakan yang sudah baik tentang rabies. Mereka juga mengetahui tugas dan deskripsi

(42)

33 kerja masing-masing terhadap kasus rabies, hewan penggigit atau korban gigitan hewan penular rabies, serta tindakan yang dilakukan terkait hal tersebut.

Petugas dari Puskesmas menunjukkan respek yang baik terhadap petugas Puskeswan dan cakupan tugasnya serta cenderung berkomunikasi dan bekerjasama jika terjadi kasus gigitan terkait rabies. Hal yang sama ditunjukkan oleh petugas Puskeswan terhadap Petugas Puskesmas. Akan tetapi, petugas kedua satuan kerja ini belum memiliki latar belakang informasi yang cukup mengenai konsep One-Health terkait rabies dan/atau penyakit zoonosis lainnya. information, Adanya indikasi dari petugas Puskesmas mengenai rabies ditunjukkan dari adanya beberapa tindakan yang dilakukan terkait anjing yang menyebabkan kasus gigitan, yang sebenarinya merupakan tanggung jawab dari Petugas Puskeswan. Petugas kedua instansi umumnya mengetahui gejala anjing atau manusia yang terinfeksi rabies, namun mereka tidak mengetahui tiga tahapan gejala klinis rabies pada anjing yang disebukan oleh Tierkel (1975), yaitu prodormal, eksitasi and paralisis. Hal ini tidak mengherankan karena upaya pelatihan terstruktur dan berjenjang belum dilakukan secara rutin. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya penyegaran dan pelatihan rabies secara teratur melalui workshop dan pelatihan terintegrasi.

(43)

34 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penelitian aplikasi pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies telah berhasil dilakukan dengan baik.

2. Sebagian besar pemilik anjing pemburu di wilayah Kabupaten Bener Meriah sudah memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan yang cukup baik mengenai rabies, namun belum komprehensif.

3. Petugas Puskesmas dan Puskeswan di wilayah Kabupaten Bener Meriah juga sudah memiliki pengetahuan, sikap dan tindakan yang cukup baik mengenai rabies, namun belum berdasarkan konsep one-health.

Saran

Sebagian besar kasus gigitan hewan penular rabies pada terjadi pada anak-anak sekolah. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian aplikasi pendekatan one-health berbasis teknologi informasi yang diintegrasikan dengan kearifan lokal dalam pengendalian rabies di Kabupaten Bener Meriah dengan melibatkan anak-anak dan guru sekolah.

(44)

35 REFERENSI

Akoso, B.T. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies Penyakit Menular pada Hewan dan Manusia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Anonimus. 2014. Situasi dan Analisis Rabies. Infodatin Kementerian Kesehatan. Pp.

6.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bener Meriah. 2013.

Barrett, P.H.R., Bell, B.M., Cobelli, C., Golde, H., Schumitzky, A., Vicini, P., and Foster, D.M. (1998). SAAM II: Simulation, analysis, and modeling software for tracer and pharmacokinetic studies. Metabolism 47: 484-492.

Bell, J.C., S.R. Palmer dan J.M. Payne. 1988. The zoonoses : Infections transmitted from animal to man. Edward Arnold. London

Binot, A, Raphaël Duboz, Panomsak Promburom, Waraphon Phimpraphai, Julien Cappelle, Claire Lajaunie, Flavie Luce Goutard, Tanu Pinyopummintr, Muriel Figuié, François Louis Roger. 2015. A framework to promote collective action within the One Health community of practice: Using participatory modelling to enable interdisciplinary, cross-sectoral and multi-level integration. One health.

1: 44-48

Direktorat Kesehatan Hewan. 2004. Pedoman Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular. Jakarta: Departemen Pertanian.

Ferasyi, T.R. 2008. Mathematical Model of TheReproductive Endocrine System in Male Sheep. Dissertation. The University of Western Australia. Crawley.

Australia. Pp. 212.

Harper, T.K. 2004. Virology: Rabies. Retrieved from www.tarakharper.com/v_rabies.htm.

Hoeden. J. Van Der, editor. 1964. Zoonoses. Amsterdam: Elsevier Publishing Company

Inoue, S., M.Yurie, K.Tomoko, O.Kenichiro, and Y.Akio. 2003. Safe and Easy monitoring of anti-rabies antibody in dogs using His-Tagged Recombinant N- protein. Jpn.J.Infect.Dis. 56 : 158-160.

Laporan BPPV Regional I Medan. 2007.

Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah. 2014.

Laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Bener Meriah. 2015.

Laporan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bener Meriah. 2015.

Laporan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bener Meriah. 2013.

Madoff LC, Li A. 2014. Web-based surveillance systems for human, animal, and plant diseases. Microbiol Spectrum 2(1):OH- 0015-2012.

doi:10.1128/microbiolspec.OH-0015-2012.

Murphy, Frederick A, E. Paul J. Gibbs, Marian C. Horzinek, Michael J. Studdert.

2008. Veterinary Virology 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders Company

Ossebaard, H.C. 2013. One Health Information and Communication Technologies . International Journal on Advances in Life Sciences, vol 5 no 3 & 4, year 2013 Panichabhongse, P., 2011. The Epidemiology of Rabies in Thailand. A Thesis of

Master of Veterinary Studies. Massey University.

Referensi

Dokumen terkait

masyarakat yang mengakibatkan beberapa aparatur pemerintah yang lemah akhirnya tersangkut masalah hukum. Semangat kebersamaan ketiga pihak untuk berperilaku etis inilah

Hal ini terbukti dari kemampuan Sistem Informasi Pustaka Peraturan dalam hal menatausahakan peraturan menggunakan satu buah database dimana sistem ini memiliki

Pada hari ini Rabu tanggal empat belas bulan November tahun dua ribu dua belas, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Presiden Bidang Protokol dan

Kemakmuran pemegang saham meningkat bila harga saham yang dimilikinya meningkat. Harga pasar saham yang terbentuk dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: earning per share,

Hasil pada lima regional ini sesuai dengan analisis Joko Irianto dan Tjitra yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan tipe daerah dengan diare

Dengan demikian, area permasalahan yang menjadi prioritas pertama untuk diselesaikan dengan DMAIC adalah faktor quality pada mesin toelasting glue.. Dari hasil

Basically this report is a combination of 3 (three) explorative and co relational studies, which explores factors that influence buying decisions, consumer

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefisitan 7 Kelurahan