• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Bakteri ini biasanya sering menyerang paru-paru, tetapi bakteri TB dapat juga menyerang dibeberapa bagian organ tubuh lainnya, termasuk meningens, ginjal, tulang dan nodus limfe (CDC, 2016). Penyakit ini dapat bersifat menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Utomo & Margawati, 2016).

2.2 Etiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (basil tuberkulosis) satu diantara 30 anggota genus Mycobacterium yang telah ditentukan sifatnya dengan baik dan banyak yang belum diklasifikasi. Mycobacterium tuberculosis mengandung sususan protein dan antigen polisakarida (Gero et al., 2017). Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang masuk dalam bentuk batang dan memiliki sifat tahan terhadap asam atau Batang Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam keadaan dingin. Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan TB aktif lagi (Gero et al., 2017).

Penderita tuberkulosis merupakan sumber penularan utama penyakit ini, terutama pada waktu bersin atau batuk. Penyebaran melalui droplet atau percikan dahak yang didalamnya terkandung bakteri aktif yang nantinya apabila terhisap oleh orang lain dapat menularkan TB melewati saluran pernapasan. Daya

(2)

penularan dari seorang penderita di tentukan banyaknya kuman yang di keluarkan dari parunya. Pada penderita tuberculosis semakin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak maka semakin infeksi penderita tersebut, dan begitu pun sebaliknya (Alves da Silva et al., 2018).

Tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer.

Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman TB yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Kelanjutannya pada infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister”

atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan. Sedangkan pada infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau tidak menularkan kuman TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko, yaitu:

1. Resiko Eksternal

Faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan kumuh.

2. Resiko Internal

Penyebabnya ada pada tubuh penderita sendiri yg disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya (Kemenkes, 2014).

2.3 Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Di wilayah Asia Timur dan juga Selatan merupakan

(3)

penyumbang kasus terbesar yaitu sekitar 40% atau 3.500.000 kasus setiap tahunnya, dengan angka kematian yang cukup tinggi yaitu 26 orang per 100.000 penduduk (Kartasasmita, 2016).

Prevalensi kejadian TB di Indonesia berdasarkan diagnosis menunjukkan angka 8% dari jumlah penduduk, hal ini memperlihatkan bahwa dari setiap 100.000 penduduk yang ada di Indonesia ternyata terdapat 8000 orang yang telah didiagnosis menderita TB oleh tenaga kesehatan. Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan RI untuk mengendalikan penyakit TB yaitu dengan melakukan pengobatan namun berdasarkan data Kemenkes RI tahun 2015 menunjukkan bahwa dari sebanyak 194.853 orang menderita TB paru di Indonesia dan tingkat kesembuhan untuk pasien TB paru hanya sebanyak 161.365 orang (82,80%) dengan pengobatan lengkap hanya sebanyak 14.964 kasus (7,70%). Proporsi penderita BTA (+) yang tinggi terbanyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat sebanyak 33.460 penderita TB paru kemudian diikuti Provinsi Jawa Timur yaitu sebanyak 23.703 penderita TB paru dan Provinsi Sumatera Utara juga memiliki jumlah proporsi BTA (+) yang tinggi yaitu sebanyak 16.930 penderita TB paru (Apriadisiregar et al., 2018).

2.4 Patofisiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tempat masuk kuman ini melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi (Ilham Hutama et al., 2019).

Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas dengan melakukan reaksi inflamasi bakteri dipindahkan melalui jalan nafas, basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri

(4)

namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala Pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembangbiak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari (Ilham Hutama et al., 2019).

Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa (Ilham Hutama et al., 2019).

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.

Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfo hematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu penyakit akut yang biasanya menyebabkan Tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ- organ tubuh. Komplikasi yang dapat timbul akibat Tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas,

(5)

sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus, Meningitis serosa, dan Tuberkulosis milier (Apriadisiregar et al., 2018).

2.5 Penularan Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis yang ditularkan melalui udara (droplet) saat seorang pasien tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri akan di hirup oleh orang yang sehat saat bernafas (Kemenkes, 2018). Ketika pasien tuberkulosis batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang yang sehat maka kuman tuberkulosis akan keluar dan terhirup kedalam paru-paru orang sehat. Masa inkubasinya selama 3 – 6 bulan, setiap BTA positif akan menularkan kepada 10 – 15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak yang tertular tuberkulosis yaitu sebesar 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat yaitu keluarga dalam satu rumah akan dua kali lebih berisiko tertular dibandingkan dengan kontak yang biasa yang tidak serumah (Artha R S et al., 2019).

Kuman ini dapat bertahan dalam udara bebas selama 1- 2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi udara yang buruk dan kelembapan. Dalam suasana gelap kuman ini akan bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila kuman ini dihirup oleh orang sehat maka akan masuk dan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru-paru (Zulkifli Amin, 2014)

2.6 Gejala Tuberkulosis

Gejala utama pasien TB yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TBC yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih (Kemenkes, 2018).

(6)

Gejala diatas dapat dianggap sebagai seseorang “suspek tuberculosis” atau tersangka penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikrokopis langsung (Kemenkes, 2018).

2.7 Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TB paru secara teoritis dapat ditegakkan berdasarkan atas:

2.7.1 Anamnesa

Anamnesa suspek TB dengan keluhan umum (malaise, anorexia, berat badan turun, cepat lelah), keluhan karena infeksi kronik (keringat pada malam hari), keluhan karena ada proses patologis di paru (batuk lebih dari 2 minggu, batuk bercampur darah, sesak nafas, demam dan nyeri dada) (Wijaya, 2015).

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan memeriksa fungsi pernafasan antara lain frekuensi pernafasan, jumlah dan warna dahak, frekuensi batuk serta pengkajian nyeri dada. Pengkajian paru – paru terhadap konslidasi dengan mengevaluasi bunyi nafas, fremitus serta hasil pemeriksaan perkusi. Kesiapan emosional pasien dan persepsi tentang tuberkulosis (Wijaya, 2015).

2.7.3 Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biopsy, termasuk biopsy jarum halus (BJH). Pemeriksaan secara mikroskopi dilakukan dengan 3 kali menggunakan sputum SPS (sewaktu - pagi – sewaktu) yaitu dahak sewaktu kunjungan – dahak keesokan saat pagi hari – dahak saat mengantarkan dahak pagi. Untuk menemukan BTA maka pembuatan sputum dilakukan dengan pewarnaan tahan asam dengan metode Ziehl-Neelsen. Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan sputum untuk BTA dilakukan dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) yaitu:

(7)

a. BTA (-) : BTA tidak ditemukan / 100 Lapang Pandang (LP).

b. Meragukan: Di temukan 1-9 BTA / 100 lapang pandang (LP) c. + : Di temukan 10 - 99 BTA / 100 Lapang Pandang(LP) d. ++ : Di temukan 1 – 10 BTA / 1 lapang pandang (LP) e. +++ : Di temukan > 10 BTA / 1 lapang pandang (LP)

(periksa minimal 20 LP) 2.7.4 Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks posteroanterior (PA) dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko−lordotik, oblik, CT−Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif jika terdapat (Wijaya, 2015):

a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

c. Bayangan bercak milier

d. Efusi pleura yang umumnya unilateral atau bilateral 2.8 Klasifikasi Tuberkulosis

Penyakit tuberkulosis dibagi menjadi dua yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru (PDPI, 2011):

2.8.1 Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis Paru yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan pada paru – paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA), maka tuberkulosis paru di bagi menjadi:

1. Tuberkulosis Paru BTA positif (+)

a. Sekurang – kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

(8)

c. Hasil dari pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif.

2. Tuberkulosis Paru BTA negatif (-)

a. Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respon terhadap antibiotik spektrum luas.

b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan bukan Mycobacterium tuberkulosis positif.

c. Jika belum ada hasil dari pemeriksaan dahak, maka ditulis BTA belum diperiksa.

Tipe pasien tuberkulosis ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Tipe pasien tuberkulosis paru dibagi menjadi (Darliana et al., 2015):

a. Kasus Baru

Pasien tuberkulosis yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) b. Kasus kambuh (relaps)

Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah sembuh atau pengobatan yang dilakukan lengkap, kemudian pasien kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA potitif atau biakan positif.

c. Kasus pindahan (Transfer In)

Pasien tuberkulosis yang sedang menjalani pengobatan di suatu daerah lalu kemudian pindah berobat ke daerah lain. Pasien tuberkulosis harus membawa surat rujukan atau surat pindah

d. Kasus lalai berobat

Pasien yang telah menjalani pengobatan kurang dari 1 bulan dan berhenti 2 minggu atau lebih dan datang kembali untuk berobat.

Umumnya pasien kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

(9)

e. Kasus gagal

• Pasien BTA positif yang masih tetap dengan hasil positif atau kembali positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)

• Pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya makin buruk.

f. Kasus kronik

Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak BTA yang masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

g. Kasus bekas tuberkulosis

• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi tuberkulosis inaktif, dan gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan Obat Anti Tuberkulosis yang adekuat akan lebih mendukung.

• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi tuberkulosis aktif, namun setelah mendapatkan pengobatan selama 2 bulan ternyata tidak mengalami perubahan gambaran radiologik.

2.8.2 Tuberkulosis Ekstra Paru

Yaitu penyakit tuberkulosis yang menyerang oorgan tubuh lain selain paru – paru, seperti pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, ginjal, usus, saluran kencing, alat kelamin dan sebagiannya (Darliana et al., 2015).

2.9 Terapi Farmakologis Tuberkulosis

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

(10)

Sehingga sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Sedangkan pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes, 2014). Pada tabel II.1 beberapa klasifikasi penggunaan obat anti tuberkulosis obat yang digunakan pada pasien di Indonesia terdiri dari:

Tabel II. 1 Klasifikasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (Kemenkes, 2018)

Obat anti- TB lini pertama

Kelompok 1

Oral: isoniazid (INH/H), rifampisin/rifampin (RIF/R), pirazinamid (PZA/Z), etambutol (EMB/E), rifapentin (RPT/P) atau rifabutin (RFB)

Obat anti- TB lini

kedua

Kelompok 2

Aminoglikosida injeksi: streptomisin (STM/S), kanamisin (Km), amikasin (Amk). Polipeptida injeksi: kapreomisin (Cm), viomisin (Vim)

Kelompok 3

Fluoroquinolon oral dan injeksi: ciprofloksasin (Cfx), levofloksasin (Lfx), moxifloksasin (Mfx), ofloksasin (Ofx), gatifloksasin (Gfx)

Kelompok 4

Oral: asam para-aminosaslisilat (Pas), sikloserin (Dcs), terizidon (Trd), etionamid (Eto), protionamid (Pto),

Obat anti- TB lini

ketiga

Kelompok 5

Clofazimin (Cfz), linezolid (Lzd), amoksisilin plus klavulanat (Amx/Clv), imipenem plus cilastatin (Ipm/Cln), klaritomisin (Clr).

(11)

2.10 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia yang di minum oleh pasien di Indonesia terdiri dari jenis, sifat dan dosis obat anti tuberkulosis (OAT). Secara ringkas dijelaskan pada tabel II.2:

Tabel II. 2 Jenis, Sifat, Dosis dan Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (Kemenkes, 2018)

Jenis Sifat Dosis Efek Samping

Isoniazid (H) Bakterisidal Dosis dewasa oral 300 mg/hari

Neuritis perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, kejang

Rifampisin (R) Bakterisidal Dosis dewasa 600 mg satu kali sehari, atau 600 mg 2 – 3 kali seminggu

Gangguan

gastrointestinal, flu syndrome, gangguan fungsi hati, urine berwarna merah, trombositopenia, demam, skin rash, anemia hemolitik, sesak nafas

Ethambutol (E) Bakteriostatik Dosis dewasa 15mg/kgBB/hari pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis 30 mg/kg BB

Gangguan

penglihatan, buta warna, neuritis perifer

Pirazinamid (Z) Bakterisidal Dosis dewasa 15-30 mg/kg/hari, Dosis maksimal sehari 3 g

Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout arthritis.

Streptomisin (S) Bakterisidal Dosis dewasa 15 mg/kgBB (12-18 mg/kgBB) per hari (maksimal 1 g) selama 5 hari dalam seminggu atau 25-30 mg/kgBB 2 kali seminggu.

Nyeri di tempat suntikan, gangguan keseimbangan dan pendengaran, renjatan anafillaktik, anemia, arganulositosis, trombositopenia.

(12)

2.11 Panduan OAT yang digunakan di Indonesia

Panduan Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah :

a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru tabel II.3 dan tabel II.4:

1. Pasien baru TB paru BTA positif.

2. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif 3. Pasien TB ekstra paru

Tabel II. 3 Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 1 (Kemenkes, 2018)

Tabel II. 4 Dosis panduan untuk OAT Kombipak Kategori 1 (Kemenkes, 2018)

Tahap Pengobatan

Lama Pengobatan

Dosis per hari/ kali Jumlah hari/kali menelan

obat Tablet

Isoniazid

@300 mg

Kaplet Rifampis in @450

mg

Tablet Pirazinami

d @500 mg

Tablet Etambut ol @250

mg

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Berat Badan

Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE

(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu

RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

(13)

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya dilihat pada tabel II.5 dan tabel II.6:

1. Pasien kambuh 2. Pasien gagal

3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel II. 5 Dosis untuk panduan OAT KDT Kategori 2

(Kemenkes, 2018)

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E(400) Selama 56 hari Selama 28 hari

30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj.

2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg

Streptomisin inj.

3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg

Streptomisin inj.

4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol

71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj.

5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol

Tabel II. 6 Dosis paduan OAT Kombipak untuk kategori 2 (Kemenkes, 2018)

Tahap Pengobat

an

Lama Pengobat

an

Tablet Isoniaz id @ 300 mg

Kaplet Rifampis in @ 450

mg

Tablet Pirazina mid @ 500 mg

Etambutol Streptomi sin Injeksi

Jumla h hari/

kali menel

an obat Tabl

et

@25 0 mg

Tabl et @

400 mg Tahap

Intensif (dosis harian)

2 bulan 1 bulan

1 1

1 1

3 3

3 3

- -

0,75 gr -

56 28

Tahap Lanjutan (dosis 3x semggu)

4 bulan 2 1 - 1 2 - 60

(14)

c. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). Secara ringkas akan dijelaskan pada tabel II.7 dan tabel II.8:

Tabel II. 7 Dosis KDT untuk sisipan (Kemenkes, 2018)

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT

38 – 54 kg 3 tablet 4KDT

55 – 70 kg 4 tablet 4KDT

71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel II. 8 Dosis OAT kombipak untuk Sisipan (Kemenkes, 2018)

Tahap Pengobatan

Lama Pengobatan

Tablet Isoniazid

@ 300mg

Kaplet Rifampisin

@ 450mg

Tablet Pirazinamid

@ 500mg

Tablet Etambutol

@ 250mg

Jumlah hari/ kali menelan

obat Tahap

intensif (dosis harian)

1 bulan 1 1 3 3 28

2.12 Teori Perilaku

Perilaku kesehatan merupakan suatu respon dari seseorang berkaitan dengan masalah kesehatan, penggunaan pelayanan kesehatan, pola hidup, maupun lingkungan sekitar yang mempengaruhi. Menurut Lawrence Green perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan faktor pendorong (reinforcing factor)( Gunawan et al., 2017).

(15)

1. Faktor Predisposisi a. Pendidikan

Penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah kejadian serta mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh pertugas kesehatan, akan dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat keputusan (Ratnasari et al., 2015).

b. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan dipengaruhi oleh pengalaman seseorang, kemudian pengalaman tersebut dapat diekspresikan, diyakini sehingga menimbulkan motivasi serta faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan adalah lingkungan, baik lingkungan fisik maupun non fisik dan sosial budaya (Aritonang, 2015).

c. Sikap

Menurut Fishbein (1975) bahwa Sikap merupakan:

predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek, variabel mendasari, mengarahkan, dan mempengaruhi perilaku, tidak identik dengan respon perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari keseharian perilaku yang dapat diamati (Aritonang, 2015). Sikap juga secara nyata menunjukkan konotasi kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2015).

d. Motivasi

Motivasi dapat diartikan sebagai pendorong yang timbul dari diri sendiri secara sadar maupun tidak sadar membuat orang lain berperilaku untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan

(16)

kebutuhannya. Pasien yang memiliki motivasi untuk berobat tinggi cenderung lebih patuh melakukan pengobatan dibandingkan dengan pasien yang memiliki berobat rendah. Aspek-aspek motivasi meliputi sikap positif, yang dapat mecapai tujuan dan kekuatan pendorong untuk sembuh (Rasajati et al., 2015).

e. Status Pekerjaan

Status pekerjaan berkaitan dengan kepatuhan yaitu kerja berperan penting dalam penentuan keputusan untuk mencari dan memenuhi aturan pengobatan. Pekerjaan yang memiliki aktivitas padat dapat menjadi alasan ketidakpatuhan seseorang dalam meminum obat tuberkulosis (Rasajati et al., 2015).

2. Faktor Pendukung a. Jarak Pelayanan

Hubungan yang mendukung antara pelayanan kesehatan dan penderita, serta keyakinan penderita terhadap pelayanan kesehatan yang signifikan merupakan faktor-faktor yang penting bagi penderita untuk menyelesaikan pengobatannya. Pelayanan kesehatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB (Yulisetyaningrum et al., 2019).

Jarak terhadap pelayanan kesehatan harus baik, artinya bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, budaya, organisasi atau hambatan bahasa. Akses geografis dapat diukur dengan jenis tranportasi, jarak, waktu perjalanan dan hambatan fisik lain yang dapat menghalangi seseorang untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Yulisetyaningrum et al., 2019).

b. Efek Samping

Efek samping obat/ Adverse Drug Reactions (ADRs) oleh World Health Organization (WHO) sebagai respon terhadap obat yang tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang biasanya

(17)

digunakan untuk profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologis (Meilani & Sinuraya, 2018).

c. Pelayanan Petugas Kesehatan

Pelayanan kesehatan berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru. Faktor pelayanan kesehatan ini meliputi penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah, ketersediaan obat TB (OAT), mutu obat TB (OAT), ketersediaan sarana transportasi dan jarak (Pameswari et al., 2016).

3. Faktor Pendorong a. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga sangat penting untuk memotivasi pasien dalam menjalankan pengobatan tuberkulosis. Sehingga keterlibatan keluarga sejak awal merupakan langkah yang harus ditempuh untuk memberi dukungan pada penderita TB dan akan berdampak positif terhadap kelangsungan pengobatan (Astuti et al., 2016).

b. Dukungan Kelompok dan Masyarakat

Dukungan sosial yang ada dalam kelompok atau masyarakat juga mempengaruhi sikap dalam penerimaan informasi tentang penyakit tuberkulosis (Mirza, 2017).

2.13 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcob, seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu (Ratnasari et al., 2015). Sikap belum tentu suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2015). Sikap terbagi menjadi 3 kelompok yaitu:

(18)

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran dan emosi memegang peranan penting. Sebagai contoh misalnya penyebab, akibat, pencegahan dan sebagainya. Sikap terdiri dari berbagai tindakan yaitu:

(Notoatmodjo, 2015) 1. Menerima (receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa seseorang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang terhadap informasi yang didapat tentang gizi (Notoatmodjo, 2015).

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menjelaskan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

Dalam suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti bahwa orang tersebut menerima ide yang dijelaskan (Notoatmodjo, 2015).

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangga, saudara atau lainnya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak (Notoatmodjo, 2015).

4. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko yang merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya:

seorang ibu mau mengukur sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Apabila secara langsung dapat dinyatakan bagaimana

(19)

pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek (Notoatmodjo, 2015).

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Menurut (S. Azwar, 2015) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap sebagai berikut:

a) Lingkungan 1. Rumah

Tingkah laku anak dan sikap anak tidak hanya dipengaruhi oleh bagaimana sikap-sikap orang yang berada di dalam rumah itu, melainkan juga bagaimana sikap-sikap mereka dan bagaimana mereka mengadakan atau melakukan hubungan- hubungan dengan orang-orang di luar rumah. Dalam hal ini, peranan orang tua penting sekali untuk mengetahui apa-apa yang dibutuhkan si anak dalam rangka perkembangan nilai-nilai moral si anak, serta bagaimana orang tua dapat memenuhinya. Dalam hal ini, orang tua dan orang sekitar berperan dalam membentuk pengetahuan anak yang akan membentuk sikap anak tersebut.

2. Sekolah

Peran pranata pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian anggota masyarakat agar menjadi warga yang baik dan unggul secara intelektual. Peran guru sejak pendidikan dasar sangat besar mempengaruhi pola pikir, perilaku, sikap anak dalam membentuk kepribadiannya. Guru senantiasa memberikan dorongan dan motivasi terhadap keberhasilan anak dalam membentuk kepribadian anak. Ketika anak memasuki sekolah lanjutan, peran guru dalam mempengaruhi kepribadian anak mulai dibatasi oleh peran anak itu sendiri. Pada tahap ini, anak sudah mempunyai sikap, kepribadian, dan kemandirian.

3. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan sangatlah berpengaruh terhadap sikap seseorang, kondisi lingkungan pekerjaan yang nyaman, akan membentuk sikap positif pada pekerjanya, begitu sebaliknya lingkungan kerja yang tidak nyaman akan membentuk sikap

(20)

negatif pada pekerjanya. Dari gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa lingkungan pekerjaan sangat berperan dalam mekanisme pembentukan sikap. Kenyamanan pada lingkungan kerja, akan membawa sikap positif pada kehidupan orang tersebut.

b) Pengalaman

Apa yang telah dan sedang dialami seseorang, akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan seseorang terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Pengalaman dapat didapatkan dari pendidikan dari suatu instansi, pernah mengalami suatu kejadian, dan pernah melihat dari orang lain. Pengalaman sangat mempengaruhi seseorang dalam bersikap.

c) Pendidikan

Pendidikan bisa berupa pendidikan formal, yaitu dari sekolah, maupun pendidikan nonformal, seperti pendidikan dari orang tua. Pembentukan sikap dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap seseorang sangat ditentukan oleh kepribadian, intelegensia, dan minat.

B. Cara Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan kepada responden (Notoatmodjo, 2015). Pengukuran sikap juga dapat dilihat dari tingkat kepatuhan responden dalam menyembuhkan penyakit pasien.

Dalam mengukur sikap, pendapat maupun persepsi seseorang yaitu dengan menggunakan teknik skala Likert. Menurut Sugiyono (2018), teknik skala Likert atau metode rating yang dijumlahkan merupakan teknik skala yang menggunakan distribusi respon atau perilaku sebagai

(21)

dasar penentuan nilai atau skala. Teknik skala Likert didasari oleh 2 hal, yaitu :

1.1 Menyusun pernyataan, dimana setiap pernyataan yang telah ditulis dapat disepakati sebagai pernyataan yang favorable (positif) atau pernyataan yang unfavorable (negatif).

2.1 Sikap atau respon yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi dari pada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif. Dalam hal ini sikap dikategorikan ke dalam 2 dimensi yaitu sikap positif dan sikap negatif. Sikap positif cenderung menyenangi, mendekati, mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap negatif cenderung menjauhi, menghindari atau tidak menyukai objek tertentu.

Untuk melakukan skala dengan metode ini maka sejumlah pertanyaan yang telah ditulis berdasarkan pada rancangan skala yang telah ditetapkan. Responden akan diminta untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terkait dengan isi pertanyaan dalam empat macam kategori jawaban yaitu (Sugiyono, 2018): STS (Sangat tidak setuju); TS (Tidak setuju); S (Setuju); SS (Sangat setuju)

Dari keempat macam kategori respon atau perilaku diatas, penilaian untuk pertanyaan yang favorable yaitu (Sugiyono, 2018):

a. Sangat tidak setuju 1

b. Tidak setuju 2

c. Setuju 3

d. Sangat setuju 4

Sedangkan alternatif penilaian untuk pertanyaan yang unfavorable yaitu (Sugiyono, 2018):

a. Sangat tidak setuju 4

b. Tidak setuju 3

c. Setuju 2

d. Sangat setuju 1

(22)

Skala likert yang sudah dinilai harus dilakukan interprestasi terhadap skor responden yang didapat. Menurut Sugiyono (2018), skor tanda yang biasanya digunakan dalam skala model likert yaitu skor-T:

𝑇 = 50 + 10[𝑥 − 𝜋 𝑠 ] Keterangan :

x : skor responden pada skala sikap yang akan diubah menjadi skorT ℼ : mean skor kelompok

s : standar deviasi kelompok

Dari rumus diatas, dapat dilakukan pengkategorian sikap penggunaan OAT yang terdiri dari :

a. Mendukung (sikap positif) : nilai skor T ≥ rata-rata

b. Tidak mendukung (sikap negatif) : nilai skor T < rata-rata (Sugiyono, 2018).

2.14 Definisi Kepatuhan

Kepatuhan merupakan perilaku kesehatan atau tindakan seseorang terhadap sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan (Astuti et al., 2016). Kepatuhan berasal dari kata “patuh” yang berarti taat, suka menuruti, disiplin. Seseorang dikatakan tidak patuh dalam pengobatan apabila orang tersebut meninggalkan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru adalah sejauh mana perilaku penderita sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan, sehingga dia benar-benar mematuhi segala ketentuan yang diberikan dengan tujuan agar cepat sembuh dari penyakit yang dideritanya (Sugiono, 2017).

Kepatuhan merupakan salah satu bentuk dari perilaku manusia, hal yang mempengaruhi kepatuhan jika dilihat menurut teori Lawrence Green menyatakan ada tiga faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan. Salah satu dari faktor tersebut adalah faktor predisposisi (predisposing factors) yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, nilai, sikap dan persepsi (Notoatmodjo, 2015). Kepatuhan didefinisikan sebagai perilaku pasien yang mentaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis, seperti

(23)

dokter, apoteker, dan perawat. Segala sesuatu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satunya adalah kepatuhan minum obat (Sugiono, 2017).

Keberhasilan pengobatan tuberkulosis paru di tentukan oleh kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Kemenkes RI, 2018). Kepatuhan juga menyangkut aspek dalam jumlah dan jenis OAT yang diminum dan juga aturan waktu dalam minum obat (Hadifah et al., 2019).

Kendala dalam tuberkulosis paru yaitu kurangnya motivasi dari pasien dalam menjalani pengobatan, putus berobat yang disebabkan karena pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu yang lama, jumlah dosis sekali minum akan mempengaruhi kapatuhan, keteraturan dan keinginan untuk minum obat sehingga pasien akan menghentikan pengobatan sebelum masa pengobatan selesai (Shalahuddin & Irwan Sukmawan, 2018).

A. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan Tuberkulosis

Kepatuhan pengobatan TB yang paling dominan adalah efek samping obat TB, lamanya pengobatan, status imigran, jarak yang jauh dari rumah pasien ke pelayanan kesehatan, riwayat kehidupan pasien TB, adanya persepsi risiko terhadap penyakit TB yang dialami pasien.

Pengaruh kepatuhan terhadap pengobatan TB dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan eksternal (Gunawan et al., 2017).

1. Faktor Internal

Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan TB paru adalah karakteristik diri dan persepsi pasien TB terhadap kepatuhan pengobatan TB. Apabila keinginan pasien untuk sembuh berkurang maka persepsi pasien tentang pengobatan TB akan berespon negatif sehingga kepatuhan pasien TB menjadi tidak teratur dalam menyelesaikan pengobatannya (Gunawan et al., 2017).

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan TB paru adalah dukungan dan informasi dari petugas kesehatan

(24)

tentang keteraturan minum obat. Petugas kesehatan yang ramah akan memotivasi pasien untuk menyelesaikan pengobatan secara teratur, sementara dukungan keluarga yang minimal, rejimen pengobatan yang salah dapat mengubah kepatuhan pengobatan. Akhirnya, pasien menjadi drop out (putus berobat) dalam pengobatan sehingga tidak sembuh (Gunawan et al., 2017).

B. Cara Mengukur Kepatuhan

Kepatuhan meminum obat pada pasien tuberkulosis dapat diukur dengan beberapa metode antara lain Metode MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale) dan Metode ARMS (adherence to refills and medications scale) yang sudah terbukti dan tervalidasi untuk mengukur kepatuhan minum obat pada penyakit kronis. Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8) ini tersusun atas 8 pertanyaan dan kategori respon terdiri dari jawaban ya atau tidak, sedangkan untuk kuisioner ARMS menggunakan desain psikometrik dengan kriteria inklusi berikut: lebih dari 60 tahun; memiliki riwayat penyakit tuberkulosis selama lebih dari enam bulan; menggunakan satu atau lebih obat-obatan; mampu berkomunikasi secara lisan dalam Bahasa Indonesia; dan tidak memiliki penyakit kejiwaan atau kognitif.

Kelebihan kuisioner ARMS ini dapat digunakan untuk pasien yang mengalami kesulitan membaca (Barati et al., 2018).

Kuisioner ARMS (adherence to refills and medications scale) asli terdiri dari 12 pertanyaan dan dua sub-skala yaitu 8 pertanyaan tentang kepatuhan pasien untuk minum obat dan 4 item pertanyaan tentang kepatuhan pasien untuk menebus resep yang dapat dilihat pada tabel II.9.

Setiap pertanyaan disusun untuk respons pada skala Likert dengan jawaban selalu, sering, jarang, dan tidak pernah yang diberi nilai dari 1 hingga 4. Sebagian besar pertanyaan yang mendapatkan skor yang lebih rendah menunjukkan kepatuhan yang lebih baik, sedangkan semakin tinggi skor menunjukkan kepatuhan pasien semakin rendah (Barati et al., 2018).

(25)

Tabel II. 9 Item pertanyaan kuisioner berdasarkan indikator metode ARMS (Barati et al., 2018)

No. Item Pertanyaan Indikator

1. Seberapa sering anda lupa minum obat?

Kepatuhan meminum obat 2 Seberapa sering anda memutuskan

untuk tidak minum obat?

Kepatuhan meminum obat 3 Seberapa sering anda tidak

menebus resep kembali?

Kepatuhan menebus resep kembali 4 Seberapa sering anda kehabisan

obat?

Kepatuhan menebus resep kembali

No. Item Pertanyaan Indikator

5 Seberapa sering anda melewatkan dosis obat sebelum pergi ke dokter?

Kepatuhan meminum obat 6 Seberapa sering anda melewatkan

minum obat ketika anda merasa lebih baik?

Kepatuhan meminum obat

7 Seberapa sering anda melewatkan minum obat ketika anda merasa tidak peduli?

Kepatuhan meminum obat

8. Seberapa sering anda melewatkan minum obat ketika anda merasa sakit?

Kepatuhan meminum obat

9. Seberapa sering anda mengubah dosis obat anda sesuai dengan kebutuhan anda (ketika anda mengambil lebih banyak atau kurang dari yang seharusnya)?

Kepatuhan meminum obat

10. Seberapa sering anda lupa minum obat ketika anda seharusnya meminum lebih dari sekali?

Kepatuhan meminum obat

11. Seberapa sering anda menunda untuk menebus resep karena harganya yang mahal?

Kepatuhan menebus resep kembali

12. Seberapa sering anda

merencanakan untuk menebus resep sebelum obat anda habis?

Kepatuhan menebus resep kembali

Referensi

Dokumen terkait

Nilai praksis dalam kehidupan ketatanegaraan dapat ditemukan dalam undang-undang organic, yaitu semua perundang-udangan yang berada dibawah UUD 1945 sampai

Serey menjelaskan bahwa terdapat masalah yang dihadapi sebagai ibu remaja yaitu : adanya kecemasan karena takut kehamilannya diketahui, ibu remaja harus bersaing dengan

Menurut (Arikunto (2006:130), populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi adalah seluruh karyawan pengolahan makanan Hotel Purnama

Setelah dilakukan evaluasi terhadap dokumen kualifikasi dan penawaran yang Saudara ajukan pada pekerjaan Pengadaan Jasa Konstruksi Pembangunan Gedung Kantor Pengadilan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam tentang ciri-ciri pengelolaan kurikulum dan pembelajaran, ciri-ciri pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan,

(1989) yang mengamati peranan vitamin C terhadap induk ikan trout mencatat bahwa pada saat vitelogenesis, kandungan kolesterol serum induk yang menerima pakan dengan

Metode yang digunakan adalah dengan membandingkan jumlah konflik yang terjadi dengan karakteristik pergerakan di persimpangan, yaitu pergerakan membelok, waktu

Berkaitan dengan hal tersebut, maka karya ilmiah “ Mengikutsertakan Ranah Afektif dalam Kriteria Kelulusan Ujian Nasional dengan Meningkatkan Kualitas