TESIS
Oleh
IRNOVIAN 127016001/TS
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Magister Teknik Sipil Pada Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
IRNOVIAN 127016001/TS
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2016
Nama Mahasiswa : Irnovian Nomor Pokok : 127016001
Program Studi : Magister Teknik Sipil
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. A. Perwira Mulia Tarigan, M.Sc) (Ir. Makmur Ginting, M.Sc) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)
Tanggal Lulus: 21 April 2016
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Ir. A. Perwira Mulia Tarigan, M.Sc Anggota : 1. Ir. Makmur Ginting, M.Sc
2. Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE 3. Ir. Syahrizal, MT
4. Ir. Rudi Iskandar, MT
ABSTRAK
Sub DAS Lau Biang merupakan salah satu Sub DAS dari DAS Wampu yang memiliki luas 22.102,19 ha yang melintasi kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun untuk keperluan kelompok yang semakin meningkat. Penggunaan lahan yang dilakukan masyarakat pada Sub DAS Lau Biang sebahagian tidak sesuai dengan fungsi kawasan akan dapat menyebabkan erosi.
Untuk mencapai pengelolaan yang baik pada Sub DAS Lau Biang, maka diperlukan fungsi kawasan untuk mengetahui potensi dan kelayakan kawasan dengan hasil yang maksimal. Perlunya penelitian dilakukan pada Sub DAS Lau Biang untuk mengetahui kondisi kawasan dan pengaruhnya terhadap erosi, sehingga penelitian dapat memberikan pengaruh bagi perencanaan dan pembangunan di kawasan tersebut.
Terdapat 4 (empat) fungsi kawasan pada Sub DAS Lau Biang yaitu kawasan lindung 8.746,29 ha, kawasan penyangga 12.0229,87 ha, kawasan budidaya tanaman tahunan 946,433 ha dan kawasan budi daya tanaman semusim dan permukiman 377,661 ha.
Penggunaan lahan yang sesuai fungsinya 18.969,158 ha dan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya 3.133,033 ha. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Sub DAS Lau Biang berpotensi mengalami erosi dengan sebaran tingkat bahaya erosi yaitu sangat berat 4.476,397 ha, berat 575,872 ha, sedang 89,916 ha, ringan 16.675,14 ha dan sangat ringan 283,015 ha.
Mikro DAS merupakan satuan unit terkecil pada pengelolaan DAS maupun Sub DAS.
Mikro DAS yang dihasilkan pada penelitian ini sebanyak 26 yang tersebar di Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Hasil Mikro DAS 26 dengan luas 2.114,99 ha merupakan Mikro DAS terbesar dan Mikro DAS 1 merupakan Mikro DAS terkecil dengan luas 477,672 ha.
Kata Kunci: Pengelolaan, Fungsi Kawasan, Kesesuaian Lahan, Tingkat Bahaya Erosi (TBE), Sistem Informasi Geografis, Sub DAS Lau Biang, Mikro DAS.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis panjatkan syukur kehadirat Allah S.W.T yang Maha Pengasih lagi Penyayang atas segala rahmat dan karunianya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak Dr. Ir. A. Perwira Mulia Tarigan, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang banyak memberikan arahan dan masukan pada penulisan tesis ini, Bapak Ir. Makmur Ginting, M.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan pada penulisan tesis ini. Terima kasih yang tak terhingga kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Roesyanto, MSCE selaku Ketua Program Studi dan Bapak Ir. Rudi Iskandar, MT selaku Sekretaris Program Studi Magister Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Terima kasih penulis kepada seluruh Dosen dan Staff Pengajar Program Magister Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara. Seluruh Mahasiswa Program Magister Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara terutama teman-teman angkatan 2012.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang sangat penulis hormati ayahanda H. Ir. Ibrahim Matondang dan ibunda Hj. Ir.Intan Murni Siregar, Ibu Mertua Dra.Sulhana Lely, Istri Santi Saidah Tanjung, SKM, Abang Irwansyah, ST, Adik Dewi Agustina, SE dan anak-anak penulis: Muhammad Rafiq, Umar Sadat Faiq, Asyraf Habibie dan Aghnia Thahira atas dukungan moral, materil, motivasi, dan do’a yang diberikan hingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih juga kepada teman seperjuangan Bustami Rangkuti, ST, MT yang banyak memberikan dorongan dalam menyelesaikan tesis ini. Hanya Allah SWT yang dapat membalas segala bentuk bantuan yang telah diberikan, semoga mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, saran dan masukan demi perbaikan sangat diharapkan, mudah-mudahan tesis ini dapat bermanfaat bagi kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Medan, April 2016
Irnovian 12 7016 001
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 8
2.2 Mikro Daerah Aliran Sungai (Mikro DAS) ... 9
2.3 Pengelolaan DAS ... 10
2.4 Pengelolaan Mikro DAS ... 12
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 13
2.5.1 Pemanfaatan SIG untuk DAS dan Mikro DAS ... 14
2.6 Fungsi Kawasan ... 15
2.7 Erosi ... 19
2.8 Perhitungan Nilai Faktor Erosi ... 21
2.9 Tingkat Bahaya Erosi (TBE) ... 24
BAB III METODE PENELITIAN ... 26
3.1 Area Penelitian ... 26
3.1.1 Batas Sub DAS Lau Biang berdasarkan Daerah Administrasi ... 27
3.2 Kondisi Fisik ... 37
3.3 Bahan atau Materi Penelitian ... 39
3.4 Peralatan dan Perlengkapan yang Dipergunakan Dalam Penelitian ... 40
3.5 Asumsi……… ... 41
3.6 Rancangan Penelitian ... 41
3.7 Jalan Penelitian ... 42
3.8 Pengolahan Data dan Analisis Penelitian ... 44
3.9 Faktor Penentuan Fungsi Kawasan ... 44
3.10 Faktor Kesesuaian Lahan ... 46
3.11 Faktor Penduga Erosi ... 46
3.12 Mikro DAS ... 48
3.13 Pengelolaan Sub DAS Lau Biang ... 49
3.14 Pengelolaan Mikro DAS ... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 51
4.1 Kondisi Fisik Sub DAS Lau Biang ... 51
4.1.1 Kemiringan Lereng ... 51
4.1.2 Geologi ... 53
4.1.3 Penggunaan Lahan ... 55
4.1.4 Jenis Tanah ... 58
4.1.5 Curah Hujan ... 59
4.2 Penentuan Fungsi Kawasan ... 60
4.3 Faktor Penduga Erosi pada Sub DAS Lau Biang dengan Metode USLE ... 62
4.3.1 Faktor Erosivitas Hujan (R) ... 63
4.3.2 Faktor Erodibilitas Tanah (K) ... 64
4.3.3 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) ... 67
4.3.4 Faktor Tutupan dan Pengelolaan Lahan (CP) ... 67
4.3.5 Estimasi Erosi Sub DAS Lau Biang ... 69
4.4 Analisa Mikro DAS……… ... 74
4.4.1 Data Kontur 25 m……… ... 74
4.4.2 Orde Aliran……… ... 76
4.4.3 Mikro DAS……… ... 79
4.5 Pengelolaan Sub DAS Lau Biang……… ... 82
4.5.1 TBE dan Fungsi Kawasan pada Sub DAS Lau Biang ... ...83
4.5.2 Desa-Desa pada Sub DAS Lau Biang ... .. 84
4.5.3 Kesesuaian Lahan ... .. 84
4.5.4 Strategi Kebijakan Pengelolaan Lahan Sub DAS Lau Biang……… ... 86
4.6 Pengelolaan Mikro DAS……… ... 87
4.6.1 Analisa Fungsi Kawasan, Penggunaan Lahan dan TBE pada Mikro DAS……….87
4.6.2 Analisa Kondisi Mikro DAS berdasarkan TBE dan Kesesuaian Lahan………...87
4.6.3 Kebijakan Pengelolaan Mikro DAS ………...89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...96
5.1 Kesimpulan ………….………...96
5.2 Saran………... ..97
DAFTAR PUSTAKA………..……….98
LAMPIRAN……….………100
DAFTAR GAMBAR Gambar
2.1 Pembagian Mikro DAS ... 9
3.1 DAS Wampu ... 27
3.2 Batas Administrasi ... 28
3.3 Kecamatan Bahorok ... 29
3.4 Kecamatan Kutambaru ... 30
3.5 Kecamatan Kutabuluh ... 32
3.6 Kecamatan Mardingding ... 35
3.7 Kecamatan Laubaleng ... 36
3.8 Diagram Alur Penelitian ... 43
4.1 Kemiringan Lereng ... 52
4.2 Peta Geologi ... 55
4.3 Peta Penggunaan Lahan ... 57
4.4 Peta Jenis Tanah ... 59
4.5 Curah Hujan Bulanan ... 60
4.6 Peta Fungsi Kawasan ... 62
4.7 Peta Kelas Bahaya Erosi ... 71
4.8 Peta Tingkat Bahaya Erosi ... 73
4.9 Citra Aster Sub DAS Lau Biang ... 74
4.10 Citra Aster Sub DAS Lau Biang pada ArcGIS ... 75
4.11 Hasil ekstrak Sub DAS Lau Biang ... 75
4.12 Kontur 25 m ... 76
4.13 Hasil Flow Direction ... 77
4.14 Hasil Flow Accumulation ... 77
4.15 Hasil Conditional ... 78
4.16 Hasil Stream Order ... 78
4.17 Hasil Stream to Feature ... 79
4.18 Hasil Flow Direction ... 80
4.19 Hasil Basin ... 80
4.20 Hasil data vektor basin ... 81
4.21 Tumpangtindih aliran sungai dengan basin ... 81
4.22 Mikro DAS ... 82
4.23 Kesesuaian Lahan ... 85
4.24 Kondisi Mikro DAS ... 88
DAFTAR TABEL Tabel
2.1 Parameter Kelerengan... ... 17
2.2 Jenis Tanah Menurut Kepekaannya Terhadap Erosi ... 18
2.3 Parameter Curah Hujan Tahunan... ... 18
2.4 Kriteria Fungsi Kawasan... ... 18
2.5 Klasifikasi Kelas Bahaya Erosi... ... 21
2.6 Tabel Perkiraan nilai Erodibilitas Tanah (K)... . 22
2.7 Kelas Kemiringan Lereng (LS)... ... 23
2.8 Faktor Tutupan Lahan dan Konservasi Lahan (CP)... 23
2.9 Klasifikasi Kedalaman Tanah/Solum Tanah ... 24
2.10 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi ... ... 25
3.1 Penggunaan Lahan pada Kecamatan Bahorok ... 29
3.2 Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kutambaru ... 31
3.3 Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kutabuluh ... 33
3.4 Data Statistik Desa pada Kecamatan Kutabuluh ... 34
3.5 Penggunaan Lahan pada Desa Kuta Pengkih ... 35
3.6 Statistik Desa Kuta Pengkih ... 36
3.7 Desa Mbelin pada Sub DAS Lau Biang ... 37
3.8 Kelas Kemiringan Lahan ... 37
3.9 Jenis Tanah ... 38
4.1 Luas Kemiringan Lereng... ... 52
4.2 Batuan Geologi... ... 53
4.3 Penggunaan Lahan... ... 57
4.4 Jenis Tanah Berdasarkan USDA dan Luasan...58
4.5 Data Curah Hujan Harian ... 59
4.6 Hasil Fungsi Kawasan ... 61
4.7 Curah Hujan Rata-Rata dan Erosivitas Rata-Rata Bulanan ... 64
4.8 Rata-Rata Nilai K pada Sub DAS Lau Biang ... 66
4.9 Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng ... 67
4.10 Nilai CP Rata-Rata ... 68
4.11 Kelas Bahaya Erosi ... 69
4.12 Tingkat Bahaya Erosi ... 72
4.13 TBE dan Fungsi Kawasan... ... 83
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pengelolaan DAS di Indonesia secara formal mulai dilakukan sejak 1970-an, hal ini dilakukan akibat dari banjir bandang yang terjadi di Kota Solo, Jawa Tengah.
Tantangan pengelolaan DAS dengan melindungi dataran tinggi pada DAS
DAS sangat bermanfaat dalam berbagai keperluan pembangunan seperti pertanian, perkebunan, permukiman, kayu hutan dan lain – lain untuk keperluan dan meningkatkan kesehjateraan manusia. Namun seiring perkembangan kehidupan modern, manusia semakin berkembang dan memiliki banyak kebutuhan yang akan di penuhi sehingga DAS dikelola sesuai dengan kebutuhan hidup. Akan tetapi, dalam melakukan pemanfaatan lahan mulai terabaikan dengan tidak sesuai potensi dan kesesuaian lahan tersebut. Terjadi perusakan terhadap ekosistem dan pembangunan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menghasilkan bencana dan merugikan manusia itu sendiri.
Alih fungsi lahan, penebangan liar dan penyebab-penyebab kerusakan lainnya yang mengakibatkan perubahan fungsi DAS adalah permulaan dari hilangnya volume air yang besar melalui aliran permukaan (surface run-off) yang semestinya di konservasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Salah satu DAS yang ada di Sumatera Utara adalah DAS Wampu. DAS Wampu memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) sehingga dibutuhkan pengelolaan yang konprehensif agar SDA tersebut terjaga (sustainable) serta pemanfaatan potensi
menjadi maksimal/optimal. DAS Wampu dengan luas 415.617,46 ha dan memiliki 6 Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) yang membentang dari hulu hingga ke hilir yaitu: Sub DAS Lau Biang Hulu, Sub DAS Lau Biang, Sub DAS Lau Meriah, Sub DAS Tebah, Sub DAS Ketekukan, Sub DAS Lau Berkali, meliputi Kabupaten Simalungun, Tanah Karo, Langkat dan Kota Binjai.
Pengelolaan DAS Wampu ini di kelola oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Wampu-Sei Ular Kementrian Kehutanan dengan wilayah kerja Aceh- Sumatera Utara bersama-sama dengan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Sebagai bahagian pihak pengelola, BPDAS Wampu Sei Ular berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 655/Kpts-II/2002 tanggal 7 Maret 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) memiliki tugas pokok sebagai berikut (Sumber BPDAS Sei Wampu-Sei Ular):
1. Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS 2. Pengembangan Pengelolaan DAS 3. Evaluasi DAS
Sub DAS Lau Biang merupakan bagian hulu dari DAS Wampu yang memiliki luas 22.102 ha dan berada di wilayah Administrasi Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo.
Untuk meningkatkan dan mewujudkan Sumber Daya Alam yang berkelanjutan maka Pengelolaan Sub DAS Lau Biang menjadi sangat diperlukan karena posisi pada bagian hulu yang harus selalu dijaga kelestariannya. Pembangunan pada Sub DAS Lau Biang dalam hal penggunaan lahan yang harus terkoordinir, sehingga perlunya konsentrasi
untuk pengembangan Sub DAS Lau Biang menjadi beberapa Mikro Daerah Aliran Sungai (Mikro DAS) sebagai area yang akan diidentifikasi permasalahan yang ada.
Potensi DAS sangat luas dan besar, sehingga pengelolaannya menjadi sangat luas dan diperlukan pemecahan pengelolaan yang lebih kecil dalam pelaksanaannya.
Pengelolaan DAS sangat berhubungan erat dengan peningkatan kesehjateraan masyarakat, maka dalam hal ini diperlukan suatu percepatan pengelolaan yang lebih kecil skalanya dan bisa menciptakan pelaksanaan pembangunan tepat cara dan sistemnya. DAS di bagi menjadi beberapa bagian Sub DAS dan Sub DAS dikembangkan menjadi beberapa Mikro DAS. Dengan adanya Mikro DAS, pengelolaan akan semakin baik dan direncanakan oleh berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Mikro DAS tersebut. Untuk itu, pihak pengelola bersama-sama dengan pemangku kepentingan (Stakeholder) dapat mengambil kebijakan dan keputusan yang berkenaan dengan pengembangan dan peningkatan sumber daya yang ada. Sehingga pengelolaan terpadu oleh Stakeholder dalam melakukan identifikasi sumber daya lokal dan mengembangkan potensi dan mengimplementasikan pada Mikro DAS dalam berbagai pendayagunaan.
Mikro DAS masih merupakan sebuah konsep yang belum diterapkan pada Sub DAS Lau Biang, maka diperlukan konsep Mikro DAS untuk pengembangan Sub DAS itu sendiri. Dengan adanya pengembangan dan peningkatan Mikro DAS Lau Biang maka diharapkan kedepan, tingkat kesehjateraan masyarakat sekitar akan meningkat dan juga pengelolaan kawasan tersebut menjadi lebih baik lagi. Dalam melakukan pengelolaan Mikro DAS, diperlukan teknologi terapan yang akan digunakan dalam
pengambilan berbagai keputusan menjadi lebih sederhana dan terstruktur. Untuk itu, diperlukan alat bantu berupa Sistem Informasi Geografis (SIG) yang memiliki kemampuan pemodelan, manipulasi, pemanggilan kembali, analisa dan penyajian data.
SIG juga memiliki kemampuan integrasi dan analisis berbagai data termasuk perencanaan pengembangan DAS dan data-data tersebut dapat menjadi sebuah atau berbagai informasi.
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu perangkat lunak yang saat ini sangat banyak dipergunakan orang dalam melakukan analisa dan pengambilan keputusan yang sangat baik dalam berbagai bidang pengetahuan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Pengelolaan Sub DAS Biang belum dikelola secara Mikro DAS dan belum sesuai dengan fungsi lahan. Permasalahan tersebut dapat dianalisa dari peta-peta yang tersaji. Permasalahan yang akan dianalisa berupa ketidaksesuaian antara fungsi kawasan dengan penggunaan lahan eksisting yang ada. Ketidaksesuaian penggunaan lahan terhadap fungsi kawasan dapat menimbulkan kerusakan lahan tersebut dan dapat menimbulkan bahaya erosi. Terjadinya penebangan liar, kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan fungsinya serta penggunaan lahan seperti ladang dan perkebunan berada pada kawasan hutan dan penyangga.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari perumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka dibuat rumusan untuk mendapatkan tujuan penelitian dengan mengumpulkan data dan
informasi komprenhensif tentang kondisi Sub DAS Lau Biang dari berbagai sumber.
Data dan informasi tersebut akan diolah dan dianalisa untuk mencapai tujuan penelitian.
Tujuan penelitian yang pertama yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah menentukan fungsi kawasan yang berada pada Sub DAS Lau Biang untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi kawasan tersebut.
Tujuan penelitian yang kedua adalah menentukan kesesuaian lahan atau ketidaksesuaian lahan pada penggunaan lahan Sub DAS Lau Biang berdasarkan fungsi kawasan pada tujuan penelitian pertama.
Tujuan penelitian yang ketiga adalah menentukan pendugaan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada Sub DAS Lau Biang untuk dilakukan pengelolaan, pengawasan dan pencegahan pada kawasan dalam penelitian ini.
Tujuan penelitian keempat adalah Pengelolaan Sub DAS Lau Biang dengan pendekatan Mikro DAS sehingga pengelolaan akan lebih fokus, mudah dalam perencanaan dan pengelolaan.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian diatas, maka ruang lingkup pada Sub DAS Lau Biang dalam penelitian ini dilakukan dengan menganalisa data sekunder kondisi fisik dan data statistik. Variabel curah hujan, kelerengan dan jenis tanah digunakan untuk memperoleh hasil fungsi kawasan. Fungsi kawasan akan digunakan untuk menilai lahan-lahan tersebut yang sesuai peruntukan lahannya. Setelah dilakukan penentuan fungsi kawasan, maka akan dilakukan analisa pada penggunaan lahan yang ada. Hasil dari analisa penggunaan lahan akan dilakukan proses tumpangtindih dengan fungsi
kawasan untuk menentukan kesesuaian lahan dan ketidaksesuaian lahan berdasarkan fungsi kawasan.
Selain penentuan kesesuaian lahan, penelitian akan dilakukan pendugaan tingkat bahaya erosi dengan metode Universal Soil Loss Equation (USLE). Penggunaan metode USLE dilakukan untuk mendapatkan nilai setiap kawasan dengan nilai erosi tertentu yang menjadi tingkat bahaya erosi.
Setelah dilakukan pendugaan tingkat bahaya erosi, maka informasi yang terdapat pada tingkat bahaya erosi dan fungsi kawasan akan digabungkan. Hasil penggabungan tersebut akan ditambahkan informasi dari data statistik.
Penelitian akan melakukan pembagian Sub DAS Lau Biang menjadi beberapa Mikro DAS sebagai dasar untuk pengelolaan yang akan lebih mudah, fokus dan konprehensif. Setiap Mikro DAS akan dianalisa tingkat bahaya erosi dan fungsi kawasannya serta ditentukan kondisi saat ini.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi baru dari pemanfaatan data-data dan peta yang ada. Dengan penelitian ini juga dapat menambah wawasan keilmuan dan penggunaan terapan teknologi Sistem Informasi Geografis dalam memberikan solusi pada penelitian ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pihak lain yang akan menggunakan hasil penelitian ini untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam maupun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini. Penelitian ini juga diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pemanfaatan lahan yang lebih baik, meminimalisir perbedaan antara fungsi lahan dengan kesesuaian
lahan yang kedua-duanya merupakan penjabaran peraturan perundangan-undangan, meningkatkan potensi wilayah berdasarkan kelompok mikro DAS, baik dari segi potensi sumber daya alam maupun segi sumber daya manusianya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Berdasarkan Undang-undang No.7 tahun 2004 pasal 1 menyatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak- anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batas didarat merupakan pemisah topografis dan batas dilaut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
DAS merupakan ruang dimana sumber daya alam terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam tersebut untuk memnuhi kebutuhan hidupnya (Paimin,dkk. 2012).
DAS merupakan prosesor dari setiap masukan berupa hujan dan intervensi manusia (manajemen) untuk menghasilkan luaran yang berupa produksi, limpasan dan sedimen.
DAS juga dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi yang terdiri dari komponen- komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi dalam satu kesatuan. Hubungan antara berbagai komponen berlangsung dinamis untuk memperoleh keseimbangan secara alami. Dinamika keseimbangan tersebut bisa menuju ke arah baik atau buruk, yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh intervensi manusia terhadap sumber daya alam dan proses interaksi alam sendiri. Oleh karena itu, daerah tangkapan air atau DAS terjadi hubungan timbal balik antara sumber daya manusia dengan sumber daya alam yang mempengaruhi kelestarian sumber daya alam tersebut (Paimin, 2012).
2.2 Mikro Daerah Aliran Sungai (Mikro DAS)
Mikro DAS (small catchment) adalah bagian dari sub DAS yang merespon langsung terhadap hujan jika terjadi perubahan sistem fungsi produksinya. Istilah mikro DAS diartikan pada skala teknis sehingga asumsi parameter fisik DAS lebih terpenuhi seperti batas DAS, jaringan hidrologi, curah hujan sebagai faktor input, faktor tanah dan penggunaan lahan (MurtilaksoNo, 2013).
Secara fisik mikro DAS adalah bagian dari DAS yang termasuk ordo 1-3 dan ordo 1 adalah alur sungai paling hulu dan maksimal luas 5000 ha (Murtilaksono, 2013).
Pembagian Mikro DAS tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Pembagian Mikro DAS (Pallaris, 1998)
Mikro DAS merupakan suatu daerah yang pengaruh aliran dari darat lebih besar daripada pengaruh dari aliran terusan/saluran ,yang mempengaruhi puncak run-off.
Pada beberapa DAS mulai tingkat kerentanan air hujan hingga intensitas tinggi air hujan dalam jangka pendek dan mampu merubah penggunaan lahan akibat ketidakmampuan daya simpan dari saluran/terusan (Sikdar,dkk. 2012).
2.3 Pengelolaan DAS
Perencanaan pengelolaan DAS merupakan salah satu bentuk perencanaan pembangunan sumber daya alam (vegetasi, tanah dan air) dengan menggunakan satuan atau unit pengelolaan daerah tangkapan air (catchment area) atau daerah aliran sungai dengan bagian wilayahnya. Salah satu acuan utama peraturan perundang-undangan yang mendasari penyusunan perencanaan pembangunan di Indonesia adalah Undang- Undang (UU) No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Paimin.dkk, 2012).
Tujuan pengelolaan DAS dalam amanah Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 adalah untuk mewujudkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif instansi terkait dan masyarakat dalam Pengelolaan DAS yang lebih baik, mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air yang optimal menurut ruang dan waktu dan mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Murtilaksono.2013).
Pengelolaan DAS menurut Kementrian Kehutanan (2001) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar sumber daya alam terutama vegetasi, tanah dan
air dengan sumber daya manusia di DAS dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS.
Metode Pengelolaan DAS secara terpadu secara umum telah diterima sebagai yang terbaik untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam, tetapi jarang atau sebagian diimplementasikan karena kekurangan acuan kerangka kerja dan/atau kemampuan teknik (Gosain,dkk. 2004).
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 37 tahun 2012 bahwa Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia didalam DAS dan segala aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Selanjutnya dalam PP No.37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS pada Pasal 22 disebutkan bahwa Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS dilakukan oleh :
a. Menteri untuk DAS lintas Negara dan DAS lintas Provinsi
b. Gubernur sesuai kewenangannya untuk DAS dalam Provinsi dan/atau lintas Kabupaten/Kota
c. Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk DAS dalam Kabupaten/Kota
Pengelolaan DAS bukan hanya hubungan antar biofisik, tetapi juga merupakan pertalian dengan faktor ekonomi dan kelembagaan. Perencanaan pengelolaan DAS perlu mengintegrasikan faktor-faktor biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan untuk
mencapai kelestarian berbagai macam penggunaan lahan didalam DAS yang secara teknis aman dan tepat, secara lingkungan sehat, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima masyarakat ( Brooks, 1990;Paimin, 2012).
2.4 Pengelolaan Mikro DAS
Pengelolaan mikro DAS meliputi keharmonisan kegunaan tanah dan sumber air diantara wilayah hulu hingga hilir DAS untuk konservasi sumber daya alam, peningkatan produktivitas pertanian dan standar hidup yang lebih baik bagi penduduk yang berada diwilayah DAS tersebut (Sikdar,P.K. 2012)
Dengan adanya PP No.37 tahun 2012 tentang pengelolaan DAS diharapkan bahwa perencanaan Mikro DAS merupakan bagian dari perencanaan daerah sehingga pengelolaan Mikro DAS akan selaras dengan pembangunan daerah (Purwanto, 2011).
Kegiatan fisik yang dapat dilakukan pada area model DAS Mikro adalah berbagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai sektor dalam skala mikro DAS tersebut antara lain:
a. Sektor Tata Ruang
Menekankan pada perencanaan tata guna lahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dengan sektor-sektor yang terlibat didalamnya serta masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan didalam Mikro DAS.hal ini dilakukan dengan menggunakan peraturan yang ada, mempertimbangkan aspek kelestarian sumber daya itu sendiri.
b. Sektor Kehutanan
Model hutan rakyat, model hutan desa, intensifikasi pekarangan, model reboisasi, model aneka hasil kehutanan, model perlindungan mata air/rehabilitasi sumber daya air, rehabilitasi sempadan sungai, bangunan sipil teknis dalam skala kecil.
c. Sektor Pekerjaan Umum
Pembangunan sipil teknis untuk konservasi tanah dan air skala besar, irigasi, arboterum dihulu DAS, penyediaan air baku dan perlindungan sumber air.
d. Sektor Pertanian dan Perkebunan
Model pengelolaan lahan pertanian dengan sistem terasering, mulsa, rorak model usaha tani konservasi lahan kering, model pemanfaatan lahan dibawah tegakan/agroforestry, pengembangan model kebun campuran dan model hortikultura.
e. Sektor Peternakan dan Perikanan
Penanaman pakan ternak, model silvapasture, model silvofishery, model pemanfaatan biogas dan usaha peternakan terpadu.
f. Sektor Lingkungan Hidup dan Kesehatan
Monitoring kualitas air dan lingkungan, penanganan lingkuyngan dan sanitaasi air bersih. (Murtilaksono.2013).
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menurut Environmental Systems Research Institute (ESRI) bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) memungkinkan kita memvisualisasikan, pertanyaan,
menganalisis, dan menafsirkan data untuk memahami hubungan, pola, dan tren.
Selanjutnya kelebihan dari SIG ini dapat dilihat sebagai berikut:
a. Penghematan biaya daripada efisiensi yang lebih besar b. Membuat pengambilan keputusan yang lebih baik c. Meningkatkan komunikasi antar pengguna
d. Menjaga dan mengelola data menjadi lebih baik
Menurut National Geographic bahwa sistem informasi geografis (GIS) adalah sistem komputer untuk menangkap, menyimpan, memeriksa, dan menampilkan data yang berhubungan dengan posisi dipermukaan bumi. GIS dapat menunjukkan berbagai macam data pada satu peta, seperti jalan-jalan, bangunan, dan vegetasi. Hal ini memungkinkan orang untuk lebih mudah melihat, menganalisis, dan memahami pola dan hubungan.
Teknologi SIG saat ini menempati tempat yang menonjol diantara alat-alat komputer modern dan merupakan suatu dukungan yang tak ternilai dalam pengambilan keputusan masalah dengan dimensi spasial atau keruangan.
2.5.1 Pemanfaatan SIG untuk DAS dan Mikro DAS
Sistem Informasi Geografis dengan kemampuannya mengintegrasikan dan menganalisis data spasial, data non spasial, informasi multi layer sehingga menghasilkan berbagai bentuk keberanekaragaman data yang luas dari sumber data konvensional telah dibuktikan menjadi perangkat yang efektif dalam perencanaan pengembangan DAS (Bera. 2013; Sidkar. 2012).
SIG merupakan perangkat yang efektif untuk analisa data spasial dan Non spasial pada drainase, geologi, dan parameters kepemilikan lahan untuk memahami hubungan data-data tersebut (Nag dan Lahiri.2011). SIG dengan kemampuan integrasi dan analisa spasial, informasi multi layer spasial menghasilkan dalam berbagai bentuk yang luas pemanfaatannya menjadi perangkat yang efektif dalam perencanaan pengembangan mikro DAS (Ilanthirayan,dkk.2013).
Kurang lebih 10 tahun terakhir ini, permasalahan mikro DAS telah meningkat secara terus menerus telah menjadi konseptual yang berkenaan dengan prosedur evaluasi multi kriteria berbasis SIG (Sidkar, dkk.2012).
2.6 Fungsi Kawasan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pasal 1 menyebutkan :
1. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya;
2. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan;
3. Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan;
4. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi
sebagai lingkungan tempat tinggal / lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perkehidupan dan penghidupan;
Fungsi kawasan terdiri dari Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Fungsi untuk Kawasan Lindung terdiri dari :
a) Kawasan Lindung adalah kawasan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (Permen PU No. 41/PRT/M/2007);
b) Kawasan Penyangga adalah kawasan yang melindungi kawasan lindung, tanaman yang digunakan bersifat ekonomis dan dapat di kelola denga tanaman kayu yang bernilai jual.
Kawasan Budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan (Permen PU No. 41/PRT/M/2007). Kawasan Budidaya terdiri dari:
a) Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan seperti perkebunan, hutan produksi maupun tanaman buah-buahan;
b) Kawasan Budidaya Tanaman Semusim dan Permukiman adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman semusim atau tahunan, ataupun kawasan budidaya yang dapat dijadikan daerah permukiman.
Masih dalam UU No.47 Tahun 1997 tersebut, pada pasal 5 ayat 2 menyatakan
“Strategi dan arahan kebijaksanaan pengembangan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. strategi dan arahan kebijaksanaan pengembangan kawasan lindung;
b. strategi dan arahan kebijaksanaan pengembangan kawasan budi daya;
c. strategi dan arahan kebijaksanaan pengembangan kawasan tertentu.”
Berikut ini merupakan tabel parameter fisik yang digunakan dalam menentukan Fungsi Kawasan yaitu Tabel 2.1, Tabel 2.2, dan Tabel 2.3. Tabel 2.1 diberikan nilai berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/UM/11/1980 dan No.683/Kpts/UM/8/1981, Tabel 2.2 diberikan nilai berdasarkan Pedoman Penyusunan Pola RLKT Tahun 1994 dalam latifah, 2010 dan Tabel 2.3 diberikan nilai berdasarkan SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/UM/11/1980; No.683/Kpts/UM/8/1981 dan PP No.47 Tahun 1997.
Tabel 2.1. Parameter Kelerengan (SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/UM/11/1980 dan No.683/Kpts/UM/8/1981)
Kelas Kelerengan (%) Klasifikasi Nilai Skor
1 < 8 Datar 20
2 8 – 15 Landai 40
3 15 – 25 Agak Curam 60
4 25 -40 Curam 80
5 > 40 Sangat Curam 100
Tabel 2.2. Jenis Tanah Menurut Kepekaannya terhadap Erosi (Latifah, 2010) Kelas Kelompok Jenis Tanah Klasifikasi Nilai Skor
1 Aluvial, Glei, PlaNosol, Hidromerf, Laterik Air Tanah
Tidak Peka 15
2 Latosol Kurang Peka 30
3 Brown Forest Soil, Non Calcic Brown Mediterian
Agak Peka 45
4 Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolic
Peka 60
5 Regosol, Litosol, OrgaNosol, Rensina
Sangat Peka 75
Tabel 2.3. Parameter Curah Hujan Tahunan Kelas Curah Hujan (mm/tahun) Nilai Skor
1 < 1000 10
2 1000 - 1500 20
3 1500 - 2000 30
4 2000 - 2500 40
5 > 2500 50
Setelah keseluruhan tabel tersebut bernilai skor, maka total skor terdapat pada Tabel 2.4 SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/UM/11/1980; No.683/Kpts/UM/8/1981 dan PP No.47 Tahun 1997 dalam menentukan fungsi kawasan pada daerah penelitian.
Tabel 2.4. Kriteria Fungsi Kawasan
Skor Total Kriteria Kawasan
> 175 Kawasan Lindung
125 – 175 Kawasan Penyangga
0 – 124 dan lereng > 8 % Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
0 – 124 dan lereng < 8 % Kawasan Budidaya Tanaman Semusim dan Permukiman
2.7 Erosi
Menurut rauf.A, 2011 (Isma, 2014) bahwa “erosi merupakan peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh media alami. Media alami yang berperan adalah air dan angin erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh diatas tanah”. Erosi bisa terjadi secara alami maupun akibat perbuatan manusia. Pada proses alami, erosi terjadi akibat air maupun angin yang mengikis tanah dan tanah tersebut akan berpindah ke tempat lain yang akhirnya menjadi sedimentasi. Manusia yang menjadi penyebab erosi adalah alih fungsi lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup dan keberlangsungan kehidupan, sehingga memanfaatkan lahan secara berlebihan dan tidak sesuai untuk peruntukannya.
Menurut Hardjowigeno (Latifah, 2010), Erosi dibagi menjadi dua macam yaitu, erosi geologi dan erosi dipercepat. Erosi geologi merupakan erosi yang berjalan sangat lambat dimana jumlah tanah yang tererosi sama dengan jumlah tanah yang terbentuk.
Erosi ini tidak berbahaya karena terjadi dalam keadaan keseimbangan alami. Erosi dipercepat (acceleration erotion) adalah erosi yang diakibatkan oleh kegiatan manusia yang menggangu keseimbangan alam. Jumlah tanah yang tererosi lebih banyak dari pada tanah yang terbentuk. Erosi ini berjalan sangat cepat sehingga tanah dipermukaan (top soil) menjadi hilang. Analisa estimasi erosi dengan menggunakan metode USLE yang dikembangkan dan digunakan oleh Dinas Pengawetan Tanah Departemen Amerika Serikat dengan rumus pada persamaan (1) sebagai berikut:
E = R x K x LS x CP (1) Dimana :
E = Perkiraan erosi (ton/ha/tahun) R = Erosivitas hujan
K = Erodibilitas tanah
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng
CP = Faktor Faktor pengelolaan tanaman dan konservasi lahan
Seluruh parameter dalam rumus erosi tersebut merupakan hasil konversi peta-peta yang disajikan dibawah ini:
1. Peta curah hujan dikonversi menjadi peta erosivitas hujan (peta R);
2. Peta tanah dikonversi menjadi peta erodibilitas tanah (peta K) dan peta solum tanah;
3. Peta kemiringan lereng dikonversi menjadi peta panjang dan kemiringan lereng (peta LS);
4. Peta penggunaan lahan dikonversi menjadi peta pengelolaan tanaman dan konservasi lahan (peta CP).
Keseluruhan hasil konversi peta diubah menjadi format raster untuk memudahkan perhitungan perkalian mendapatkan nilai pendugaan erosi (E). Setelah keseluruhan parameter telah menjadi peta raster, maka proses selanjutnya adalah melakukan perhitungan nilai pendugaan erosi dengan metode USLE. Seluruh pengolahan menggunakan ArcGIS versi 10.0, nilai E didapat dengan menggunakan raster
calculator dengan mengkalikan seluruh parameter. Setelah nilai E didapatkan, maka
dilakukan klasifikasi kelas bahaya erosi pada Tabel 2.5
Tabel 2.5. Klasifikasi Kelas Bahaya Erosi (Rauf, 2011 dalam Isma, 2014) Kelas Bahaya Erosi Erosi (ton/ha/tahun) Keterangan
I < 15 Sangat Rendah
II 15 – 60 Rendah
III > 60 - < 180 Sedang
IV 180 - 480 Berat
V > 480 Sangat Berat
2.8 Perhitungan Nilai Faktor Erosi
Perhitungan nilai faktor erosi diperlukan Penelitian ini menggunakan estimasi model penduga USLE oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang merupakan perhitungan dari beberapa faktor dibawah ini:
A. Faktor Erosivitas Hujan (R)
Dalam melakukan pembuatan peta erosivitas untuk kawasan Sub DAS Lau Biang, hanya menggunakan 1 (satu) data hasil pengamatan dari stasiun pengamatan curah hujan Tongkoh dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengumpulkan data curah hujan bulanan selama 10 tahun dan memasukkannya menjadi data dan peta curah hujan;
b. Melakukan perhitungan curah hujan rata-rata menggunakan MS.Excel Melakukan perhitungan erosivitas hujan (R) menggunakan Persamaan Lenvain pada Persamaan (2.1) dan Persamaan (2.2);
Rm = 2,21 x (Rain)m1,36 (2.1)
Dan untuk mendapatkan R keseluruhan dapat dihitung dengan Persamaan R = ∑12𝑚=1Rm (2.2) Dimana :
Rm = erosivitas curah hujan bulanan rata-rata (Rain)m = curah hujan rata-rata bulanan (cm) R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata B. Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Jenis tanah dapat membantu dalam analisa pada penelitian. Erodibilitas tanah dapat diketahui dengan jenis tanah yang telah ada. Peta erodibilitas tanah didapatkan dengan menggunakan peta jenis tanah dan disesuaikan dengan jenis tanahnya pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Tabel Prakiraan Nilai Erodibilitas Tanah (K) (Latifah, 2010)
No Jenis Tanah Nilai K
1 Andaquept, Tropaquepts 0,30
2 Dystropepts, Distrandepts, Troposults 0,15 3 Dystropepts, Humitropepts, Tropohumults 0,30
4 Dystropepts, Paleudults 0,30
5 Dystropepts, Troporthens, Tropodults 0,30 6 Dystropepts, Tropodults, Humitropepts 0,15 7 Dystropepts, Tropodults, Troporthens 0,69 8 Dystropepts, Eutropepts, Tropodults 0,30 9 Eutropepts, Dystropepts, Tropodulfs 0,30 10 Humitropepts, Dystrandepts, Hydrandepts 0,05
11 Hydraquents, Sulfaquents 0,05
C. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Dalam menentukan faktor panjang dan kemiringan lahan (LS) menggunakan nilai LS berdasarkan kemiringan rata-rata berdasarkan Tabel 2.7.
Tabel 2.7: Kemiringan Lereng (LS) (Isma, 2014) No Kemiringan rata-rata (%) Nilai LS
1 0 - 8 0,4
2 >8 – 15 1,4
3 >15 – 25 3,1
4 >25 – 40 6,8
5 > 40 9,5
D. Faktor Tutupan dan Pengelolaan Lahan (CP)
Dalam hal mengidentifikasi kondisi lahan berdasarkan jenis penutupan lahan, maka diperlukan faktor tutupan lahan (C) dan faktor konservasi lahan (P). Faktor C adalah faktor tanaman penutup lahan atau pengelolaan tanaman, penentuan indeks pengelolaan tanaman yang ditentukan dari peta penggunaan lahan ataupun data yang langsung diperoleh dari lapangan.
Faktor P adalah faktor konservasi lahan, indeks konservasi tanah ditentukan dari jenis penggunaan lahan maupun pengecekan lapangan. Nilai dari faktor CP disajikan pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8. Faktor Tutupan Lahan dan Konseravsi Lahan (CP) (Isma, 2014)
Penggunaan Lahan CP
Belukar Rawa 0,010
Rawa 0,010
Semak/Blukar 0,300
Pertanian Lahan Campur Kering 0,190
Tegalan 0,700
Permukiman 1,000
Industri 0,700
lain-lain 0,700
E. Solum Tanah
Solum tanah merupakan kedalaman tanah yang menunjukkan tingkat ketebalan tanah, mulai dari permukaan sampai dengan batuan induk. Semakin dalam solum tanahnya semakin baik tanah tersebut dalam menahan erosi tanah, begitu juga sebaliknya. Secara umum pengelompokan solum tanah berdasarkan klasifikasi kedalaman tanah yang dikeluarkan melalui Menteri Kehutanan Republik Indonesia No:P.32/Menhut-II/2009 dan disajikan pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9. Klasifikasi Kedalaman Tanah / Solum Tanah
Kelas Deskripsi Kedalaman Tanah (cm)
0 Dalam > 90
1 Cukup Dalam 60 – 90
2 Cukup Dangkal 30 – 60
3 Dangkal 15 – 30
4 Sangat Dangkal 10 – 15
5 Dangkal Sekali < 10
2.9 Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dihasilkan dengan menumpangtindihkan hasil kelas bahaya erosi yang didapatkan berdasarkan rumus USLE dengan peta kedalaman solum tanah berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.32/ Menhut-II/ 2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Daerah Aliran Sungai. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi diperlihatkan dengan menyesuaikan solum tanah dengan kelas bahaya erosi yang dengan jumlah erosinya. Hasil dari klasifikasi TBE pada Sub DAS Lau Biang ditampilkan dalam Tabel 2.10.
Tabel 2.10. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Solum Tanah (cm)
Kelas Bahaya Erosi
I II III IV V
Erosi (ton/ha/tahun)
< 15 15 - 60 60 - 180 180 - 480 > 480 Dalam
> 90
S R 0
R I
S II
B III
S B IV Sedang
60 - 90
R I
S II
B III
S B IV
S B IV Dangkal
30 - 60
S II
B III
S B IV
S B IV
S B IV Sangat
Dangkal
< 30
B III
S B IV
S B IV
S B IV
S B IV
Keterangan :
0 – SR = Sangat Ringan I – R = Ringan
II – S = Sedang III – B = Berat
IV – SB = Sangat Berat
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Area Penelitian
Area penelitian pada penelitian tesis ini dilakukan pada wilayah Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Lau Biang. Sub DAS Lau Biang merupakan salah satu Sub DAS pada DAS Wampu yang berada di wilayah Sumatera Utara. Area penelitian tesis ini terbentang secara geografis pada lokasi (3˚08’13,2’’- 03˚20’45,6” LU; 98˚07’22,8” - 98˚18’7,2” BT) dengan berada pada wilayah administrasi Kabupaten Karo dan wilayah administrasi Kabupaten Langkat.
Selain bentang wilayah secara geografis dan wilayah administrasi terdapat juga batas-batas area penelitian Sub DAS Lau Biang berdasarkan data dan peta dari Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Wampu-Sei Ular yaitu:
Sebelah Utara : Sub DAS Ketekukan Sebelah Selatan : Sub DAS Lau Meriah Sebelah Timur : Sub DAS Biang Hulu Sebelah Barat : Sub DAS Lau Tebah
Untuk mengetahui batas-batas Sub DAS Lau Biang tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1 yang merupakan gambar citra satelit. Wilayah DAS Wampu dengan batas- batas Sub DAS tersebut telah diambil melalui perangkat lunak Google Earth. Sub DAS Lau Biang Hulu merupakan bagian hulu dari DAS Wampu dan Sub DAS Berkali merupakan bagian hilir dari DAS Wampu.
Gambar 3.1. DAS Wampu
3.1.1 Batas Sub DAS Lau Biang berdasarkan Daerah Administrasi
Dengan menggunakan analisa Sistem Informasi Geografis dan data dari BPDAS Wampu-Sei Ular, Sub DAS Lau Biang berada pada wilayah administrasi Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Sebahagian besar wilayah tersebut masuk dalam Kabupaten Karo. Sub DAS Lau Biang memiliki keseluruhan luas wilayah sebesar 22.102,19 ha.
Batas-batas administrasi yang berada pada Sub DAS Lau Biang pada kedua kabupaten tersebut dapat membantu untuk mengetahui keadaan lokasi penelitian berdasarkan data sekunder. Batas-batas secara administrasi menggunakan peta
administrasi dalam Sub DAS Lau Biang yang disajikan pada Gambar 3.2 dikelompokkan berdasarkan wilayah kabupaten.
Gambar 3.2. Batas Administrasi (BPDAS, 2013) A. Kabupaten Langkat
Kabupaten Langkat memiliki luas wilayah 6.272 km² dengan 23 wilayah kecamatan. Namun dalam penelitian tesis ini yang termasuk wilayah Sub DAS Lau Biang pada Kabupaten Langkat terdapat 2 (dua) Kecamatan yaitu Kecamatan Bahorok dan Kecamatan Kutambaru. Kecamatan Bahorok terdapat Taman Nasional Gunung Leuseur dan pada Kecamatan Kutambaru terdapat Desa Kaperas dan Desa Sulkam yang mewakili Kabupaten Langkat pada wilayah Sub DAS Lau Biang.
A.1 Kecamatan Bahorok
Kecamatan Bahorok memiliki luas keseluruhan sebesar 1.104,84 km² atau 17,59 persen dari luas total Kabupaten Langkat. Kecamatan bahorok pada Gambar 3.3 memiliki 18 Desa dan 1 Kelurahan.
Gambar 3.3. Kecamatan Bahorok (BPS Langkat, 2014)
Wilayah yang termasuk dalam Sub DAS Lau Biang pada Kecamatan Bahorok adalah Taman Nasional Gunung Leuseur. Taman Nasional Gunung Leuseur merupakan lokasi yang dilindungi Pemerintah terdapat Gunung Leuseur dengan ketinggian 3.119 m di atas permukaan laut. Ekosistem asli pada Taman Nasional Gunung Leuseur ditutupi hutan lebat khas tropis yang didominasi pohon-pohon besar.
Letak Taman Nasional Gunung Leuseur berada di Propinsi Aceh dan Propinsi Sumatera Utara terdapat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Penggunaan Lahan pada Kecamatan Bahorok (BPDAS, 2013)
Desa Land Use Luas (ha) Hutan Taman Gunung Lauser Hutan 2857,6165
Ujung Bandar Hutan 3,739856
A.2 Kecamatan Kutambaru
Kecamatan Kutambaru memiliki luas wilayah sebesar 236,83 km2 dengan ketinggian 155 m diatas permukaan laut. Pada sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bahorok dan Salapian, disebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, disebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bahorok, serta disebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Salapian. Peta Kecamatan Kutambaru dengan wilayah per desa disajikan pada Gambar 3.4
Gambar 3.4. Kecamatan Kutambaru (BPS Karo, 2014)
Desa yang termasuk pada Sub DAS Lau Biang adalah Desa Kaperas dan Desa Sulkam. Desa Kaperas terletak pada Kecamatan Kutambaru yang memiliki luas 82,98 km² sebelah barat berbatasan langsung dengan Kecamatan Kutabuluh. Jumlah penduduk sebanyak 624 orang dengan kepadatan penduduk sebesar 8/km², termasuk dalam kategori tidak padat penduduk. Desa Kaperas memiliki ketinggian 155 m diatas permukaan laut (DPL), berdasarkan kriteria iklim menurut Junghuhn maka Desa Kaperas termasuk daerah panas.
Desa Sulkam dengan luas 47,61 km2 secara keseluruhannya. Jumlah penduduk di Desa Kaperas sebanyak 363 orang dengan jumlah rumah tangga didesa tersebut sebanyak 89. Desa yang termasuk pada Sub DAS Lau Biang pada Kecamatan Kutambaru disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Penggunaan Lahan pada Kecamatan Kutambaru (BPDAS, 2013) Desa Land Use Luas (ha)
Kaperas Hutan 1882,4686 Sulkam Hutan 74,041969 B. Kabupaten Karo
Kabupaten Karo terletak diantara 2°50 - 3°19’ Lintang Utara dan 97°55 - 98°38’
Bujur Timur. Luas Kabupaten Karo seluas 2.127,25 km². Kabupaten Karo memiliki 17 Kecamatan 259 Desa dan 10 Kelurahan. Terdapat 3 (tiga) wilayah kecamatan yang masuk dalam wilayah Sub DAS Lau Biang yaitu: Kecamatan Kutabuluh, Kecamatan Lau Baleng dan Kecamatan Mardingding.
B.1 Kecamatan Kutabuluh
Kecamatan Kutabuluh memiliki 16 desa dengan luas 195,70 km2 dan berada pada ketinggian 900 m diatas permukaan laut. Pada sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat, pada sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tiga Binanga, pada sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Laubaleng berbatasan dengan Kecamatan Payung. Peta Kecamatan Kutabuluh dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Kecamatan Kutabuluh (BPS Karo, 2014)
Desa-desa pada Kecamatan Kutabuluh yang termasuk didalam kawasan Sub DAS Lau Biang adalah Desa Gunung Meriah, Desa Ujung Deleng, Desa Kutabuluh Gugung, Desa Buah Raya, Desa Mburidi, Desa Laubuluh, Desa Liang Merdeka, Desa Pola Tebu, Desa Rih Tengah, Desa Tanjung Merahe, Desa Nageri Jahe dan Desa Kuta Male.
Penggunaan lahan pada desa-desa tersebut berbeda-beda yang terbentuk secara alami maupun oleh pemanfaatan oleh manusia. Penggunaan lahan yang berada pada Sub DAS Lau Biang diperlihatkan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3: Penggunaan Lahan Desa di Kecamatan Kutabuluh (BPDAS, 2013) Desa Land Use Luas
(ha) Desa Land Use Luas
(ha)
Amburidi
Hutan 1324,097
Lau Buluh Perkebunan 1,746
Ladang 144,962 Permukiman 0,407
Perkebunan 76,592
Liang Merdeka
Hutan 652,967
Permukiman 3,370 Ladang 209,508
Buah Raya
Ladang 134,566 Perkebunan 13,446
Perkebunan 764,249 Permukiman 1,684
Permukiman 2,344 Negeri Jahe Perkebunan 35,617 Gunung
Meriah Hutan 0,840 Pola Tebu Hutan 38,188
Jinabun Hutan 295,248
Rih Tengah
Hutan 2774,374 Kuta
Buluh
Ladang 134,608 Ladang 330,858
Perkebunan 76,247 Permukiman 3,414
Semak
Belukar 0,191
Semak
Belukar 68,127
Kuta Male
Hutan 2073,132
Tanjung Merahe
Hutan 396,673
Ladang 234,428 Ladang 378,716
Perkebunan 80,950 Perkebunan 513,453
Permukiman 3,210 Permukiman 4,197
Kutabuluh Gugung
Hutan 776,450
Ujung Deleng
Hutan 913,122
Ladang 10,055 Ladang 172,356
Perkebunan 8,502 Perkebunan 1340,484
Lau Buluh
Hutan 953,598 Permukiman 3,949
Ladang 271,456
Semak
Belukar 18,105
Untuk kawasan yang merupakan permukiman masyarakat terdapat beberapa informasi dalam Tabel 3.4 tentang desa berdasarkan data dari BPS Karo.
Tabel 3.4. Data Statistik Desa pada Kecamatan Kutabuluh (BPS Karo, 2014)
Desa Jumlah
Penduduk
Rumah Tangga
PLN (Rumah Tangga)
Amburidi 390 137 0
Buah Raya 470 162 140
Kuta Male 503 178 161
Lau Buluh 852 308 185
Liang
Merdeka 179 57 36
Rih Tengah 373 123 65
Tanjung
Merahe 449 155 75
Ujung
Deleng 671 228 200
B.2 Kecamatan Mardingding
Kecamatan Mardinding memiliki luas wilayah 267,11 km² dengan 12 (dua belas) Desa/Kelurahan. Kecamatan Mardingding secara umum berada pada ketinggian diantara 270-540 m diatas permukaan laut dan beriklim tropis.
Kecamatan Mardingding terletak pada sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Laubaleng, sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (N.A.D) dan pada sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tiga Binanga. Peta administrasi Kecamatan Mardingding dengan batas desa-desanya terlihat pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6. Peta Kecamatan Mardingding (BPS Karo, 2014)
Hasil dari Desa pada Tabel 3.5 yang termasuk pada wilayah Sub DAS Lau Biang dalam Kecamatan Mardingding adalah Desa Kuta Pengkih.
Tabel 3.5. Penggunaan lahan pada desa Kuta Pengkih (BPDAS, 2013)
Desa Land Use Luas (ha)
Kuta Pengkih
Hutan 356,157 Perkebunan 258,2 Permukiman 6,465 Semak Belukar 62,191
Pada Desa Kuta Pengkih terdapat lokasi permukiman masyarakat sehingga perlu untuk diantisipasi penggunaan lahan tersebut dalam rangka penyesuaian dengan analisa yang akan dilakukan penelitian pada informasi statistik kependudukan tersaji pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Statistik Desa Kuta Pengkih (BPS Karo, 2014) Desa Penduduk Rumah
Tangga
PLN (Rumah Tangga)
Kuta Pengkih 1547 414 243
B.3 Kecamatan Laubaleng
Kecamatan Laubaleng pada Gambar 3.7 memiliki luas 252,60 km² dengan 15 Desa/Kelurahan dengan ketinggian 175-580 m diatas permukaan laut dengan iklim tropis. Kecamatan Laubaleng pada sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Mardingding, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi, sebelah barat berbatasan dengan Propinsi N.A.D dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tiga Binanga dan Kecamatan Kutabuluh.
Gambar 3.7. Kecamatan Laubaleng (BPS Karo, 2014)
Desa yang termasuk pada Sub DAS Lau Biang pada Kecamatan Laubaleng adalah Desa Mbelin. Penggunaan lahan pada Desa Mbelin terdapat daerah perkebunan dan kawasan hutan yang disajikan pada Tabel 3.7.
Tabel 3.7. Desa Mbelin pada Sub DAS Lau Biang (BPDAS, 2013) Desa Penggunaan Lahan Luas (ha)
Kuta Mbelin Perkebunan 7,222
Hutan 1357,65
3.2 Kondisi Fisik
Kondisi fisik pada Sub DAS Lau Biang adalah kondisi yang menggambarkan kawasan Sub DAS Lau Biang dari data-data yang ada. Beberapa analisa kondisi fisik yang menggambarkan kondisi Sub DAS Lau Biang berdasarkan data-data pada tesis ini mencakup beberapa hal dibawah ini:
a) Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng pada Sub DAS Lau Biang yang bersumber dari BPDAS Wampu – Sei Ular dibagi menjadi lima kelas berdasarkan tingkat kemiringannya. Tingkat kemiringan lereng tersebut disajikan pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8. Kelas Kemiringan Lereng (BPDAS, 2013) Kemiringan Lereng (%) Kelas
0 – 8 Datar
> 8 - 15 Landai
> 15 - 25 Agak Curam
> 25 - 40 Curam
> 40 Sangat
Curam
b) Jenis Tanah
Jenis tanah pada penelitian sangat dibutuhkan dalam melakukan penghitungan erosi dan fungsi kawasan. Klasifikasi jenis tanah yang terdapat pada Sub DAS Lau Biang diklasifikasikan berdasar taksonomi United State Department of Agriculture (USDA) adalah Dystropepts, Eutropepts, Kanhapludults, Hapludox, Humitropepts, Hydrandepts dan Troporthents. Jenis tanah tersebut ada yang berdiri sendiri dan ada yang saling berasosiasi. Jenis tanah dan simbol berdasarkan USDA ditampilkan pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9. Jenis Tanah (BPDAS, 2013)
Jenis Tanah Simbol
Dystropepts, Kanhapludults, Humitropepts Mq.2.2.3
Eutropepts, Dystropepts Kc.5.3
Dystropepts, Humitropepts Mu.2.2.3
Hapludox Vad.2.10.2
Dystropepts Qd.1.8.2
Tropaquepts, Eutropepts Aq.2.1.0 Hydrandepts, Dystropepts Qd.1.3.2 c) Geologi
Data geologi yang digunakan merupakan data batuan pembentuk dan lapisan dasar bumi. Data geologi digunakan sebagai informasi tambahan yang menunjukan lapisan pembentuk tanah pada Sub DAS Lau Biang bervariasi dengan luasan tertentu. Data geologi menunjukkan tanah tersebut memiliki sejarah dan terkandung mineral tertentu pada lokasi tertentu. Data-data geologi sangat membantu dalam proses perencanaan pembangunan dan mempengaruhi tingkat kesuburan lahan tersebut.
d) Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada penelitian bersumber dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan menggunakan keterangan peta yang memberikan informasi tentang penggunaan eksisting lahan. Penggunaan lahan didigitasi on screen menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis untuk membuat kawasan dengan penggunaan lahan tertentu.
Hasil informasi yang terkandung dalam peta penggunaan lahan berupa hutan, pertanian lahan kering, semak/belukar, tegalan, permukiman dan perkebunan.
Informasi penggunaan lahan dapat membantu penelitian dalam menentukan potensi erosi dan ketidaksesuaian penggunaan lahan.
3.3. Bahan atau Materi Penelitian
Bahan atau materi penelitian sangat dibutuhkan dalam melakukan pengolahan data dan analisa yang dilakukan. Bahan atau materi penelitian yang akan dipergunakan didalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapat dapat dari berbagai sumber.
Bahan atau materi penelitian yang pertama adalah peta digital administrasi Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat yang masuk dalam Sub DAS Lau Biang yang didapat dari BPDAS Wampu – Sei Ular dalam bentuk format Shapefile (shp) tahun 2014. Bahan atau materi penelitian yang kedua adalah peta digital geologi Sub DAS Lau Biang BPDAS Wampu – Sei Ular dalam bentuk format Shapefile (shp) tahun 2014.
Bahan atau materi penelitian yang ketiga adalah peta digital kemiringan lahan Sub DAS Lau Biang yang didapat dari BPDAS Wampu – Sei Ular dalam bentuk format Shapefile (shp) tahun 2014.
Bahan atau materi penelitian yang keempat adalah peta digital Sub DAS pada DAS Wampu BPDAS Wampu – Sei Ular dalam bentuk format Shapefile (shp) tahun 2014.
Bahan atau materi penelitian yang kelima adalah Peta Digital Jenis Tanah DAS Wampu BPDAS Wampu – Sei Ular dalam bentuk format Shapefile (shp) tahun 2014.
Bahan atau materi penelitian yang keenam adalah Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) nomor 0619-21; 0619-22; 0619-23; 0619-24 tahun 2013. Bahan atau materi penelitian yang ketujuh adalah Citra Satelit Sub DAS Lau Biang yang bersumber dari ASTER GDEM diperoleh dari situs http://www.gde.aster.crsdac.or.jp/outline.jsp.
Bahan atau materi penelitian yang kedelapan adalah Data Curah Hujan harian pada Sub DAS Lau Biang tahun 2004 hingga 2013 yang bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika tahun 2014.
3.4. Peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan dalam penelitian
Peralatan dan perlengkapan sangat dibutuhkan dalam melakukan pengolahan data dan analisa. Peralatan dan perlengkapan yang akan dipergunakan dalam pengolahan penelitian ini berupa perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) yang dimulai dari proses entry data sampai hasil analisis data berupa peta, informasi dan kesimpulan.
Peralatan dan perlengkapan tersebut berupa: laptop, printer, Software ArcGIS v.10.0, Software Global Mapper v.14, MS Word, MS Excel , Internet, Citra Satelit dan perangkat Google Earth.
3.5 Asumsi
Pada penelitian menggunakan beberapa asumsi yang akan dipergunakan dalam pengolahan dan analisa. Asumsi-asumsi tersebut yang digunakan pada penelitian ini menyangkut beberapa hal dibawah ini:
Asumsi pertama bahwa penentuan fungsi kawasan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan dalam penelitian. Asumsi yang kedua bahwa ketidaksesuaian lahan yang terjadi adalah penggunaan lahan berdasarkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) pada tahun 2013 yang tidak sesuai dengan hasil fungsi kawasan sehingga dapat menurunkan kemampuan lahan.
Asumsi yang ketiga bahwa akibat dari ketidaksesuaian penggunaan lahan tersebut dapat mengakibatkan tingkat bahaya erosi yang berat. Untuk mengetahui erosi tersebut maka digunakan metode pendugaan sebaran erosi dan tingkat bahaya erosi (TBE) berupa metode Universal Soil Loss Equation (USLE).
Asumsi yang keempat bahwa hasil dari fungsi kawasan, ketidaksesuaian lahan dan tingkat bahaya erosi dapat dipergunakan untuk mengelola kawasan Sub DAS Lau Biang menjadi tepat penggunaan untuk perencanaan pembangunan masa yang akan datang.
3.6 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian merupakan suatu rencana yang akan dikerjakan atau proses kegiatan pada penelitian ini. Rancangan penelitian dilakukan dengan pengumpulan data–data sekunder dari berbagai sumber yang tertera pada bahan atau materi penelitian untuk menjadi dasar proses penelitian.
Setiap data dari peta tersebut dianalisa berdasarkan temanya dan ditumpangtindihkan antara satu peta digital dengan satu atau peta digital lain yang digunakan beserta data non spasial atau data tabular. Utuk data yang bersumber dari BPS akan menjadi informasi , begitu juga data dari BMKG akan diolah menjadi data siap pakai.
Penelitian juga akan mengunggah file citra satelit dengan menggunakan software Global Mapper v.3.0, citra satelit tersebut akan diolah sesuai dengan tujuan penelitian.
Data – data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi tambahan bahan informasi yang sangat membantu dalam penelitian ini.
3.7 Jalan Penelitian
Untuk melaksanakan rancangan penelitian diatas perlu dilakukan langkah-langkah konkrit dalam pelaksanaan penelitian ini berupa suatu rangkaian kegiatan penelitian sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan tersebut yaitu jalan penelitian.
Jalan Penelitian ini diawali dengan rencana dan tujuan penelitian pada Sub DAS Lau Biang, sehingga perlu dilakukan penyusunan urutan kegiatan dalam pelaksanaan penelitian yang dapat menjawab permasalahan. Penentuan fungsi kawasan dan penghitungan erosi akan digunakan untuk menganalisa kondisi lahan dan penanganan kawasan tersebut untuk menjadi lebih baik dan maksimal hasil yang akan dicapai.
Jalan penelitian yang akan dipergunakan pada penelitian dalam tesis ini secara umum dilakukan dengan langkah awal menentukan judul tesis dengan dasar melakukan tinjauan pustaka yang kemudian diakomodir dengan melakukan pengumpulan data.
Jalan penelitian tesis ini dirangkum pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8: Diagram alur penelitian Desain Pengelolaan Sub DAS Lau Biang dengan Pendekatan Mikro DAS Berbasis Sistem Informasi
Geografis Tinjauan Pustaka
Pengambilan Data
Data Sekunder 1. Peta Digital Fungsi Lahan 2. Peta Rupa Bumi Indonesia 3. Peta Digital Jenis Tanah 4. Peta Digital Kemiringan
Lereng 5. Peta Geologi 6. Data Curah Hujan
Menghitung Pendugaan Erosi Menghitung Fungsi
Kawasan
Tumpang tindih Peta Fungsi Kawasan dengan
Tingkat Bahaya Erosi
Analisa dan Pengelolaan berdasarkan Mikro DAS
Kesimpulan
3.8 Pengolahan Data dan Analisis Penelitian
Pengolahan data dari proses penelitian dengan menggunakan berbagai perangkat lunak seperti software Argis 10.0, penggunaan excel sebagai perhitungan dan MS Word sebagai media penulisan.
Pengolahan data juga dilakukan dengan mengidentifikasi penggunaan lahan eksisting dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) tahun 2013, Peta kemiringan lahan, peta geologi, peta jenis tanah dan data curah hujan. fungsi kawasan dan penggunaan lahan eksisting digunakan untuk mengolah dan melakukan analisa ketidaksesuaian pada penggunaan lahan tersebut.
Hal ini dilakukan untuk menganalisa kondisi lahan dan tingkat bahaya erosi pada Sub DAS Lau Biang. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan arahan dalam melakukan pengawasan penggunaan lahan yang merupakan bagian pengelolaan Mikro DAS.
Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis Sistem informasi Geografis (SIG) dan melakukan perhitungan pada fungsi kawasan dan erosi. Bahan penelitian tesis adalah data spasial dan data non spasial, keseluruhannya diolah dengan menganalisa data spasial dan non spasial tersebut. Data – data spasial yang dianalisa akan ditumpangtindihkan, sehingga menghasilkan data-data spasial yang baru dan memiliki tertentu pada hasil akhir proses pengolahan.
3.9 Faktor Penentuan Fungsi Kawasan
Dalam menentukan fungsi kawasan berdasarkan data spasial maupun non spasial.
Dasar untuk membuat peta peruntukan lahan menggunakan peta parameter fisik yaitu:
a) Peta Kemiringan Lereng;
b) Peta Jenis Tanah;
c) Peta Curah Hujan
Dari ketiga peta tersebut akan diolah dan ditumpangtindihkan menggunakan ArcGIS 10.0, masing-masing peta diberikan skor berdasarkan PP no.47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Kriteria Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Hasil dari pengolahan peta tersebut adalah skor total yang didapatkan menjadi suatu kelayakan kawasan tertentu yang akan ditetapkan.
Data curah hujan yang akan digunakan bersumber dari SPMK Tongkoh, Kabupaten Karo. Data tersebut merupakan data curah hujan harian rentang 10 tahun mulai dari tahun 2004 sampai 2013. Data curah hujan bulanan akan dihitung rata-ratanya.
Selanjutnya rata-rata curah hujan bulanan akan dijumlahkan untuk mendapatkan curah hujan rata-rata tahunan. Data curah hujan tahunan rata-rata akan menjadi peta dan diberi skor sesuai Tabel 2.3 pada Bab II.
Data kemiringan lahan didapatkan dari peta digital kemiringan lahan BPDAS Wampu – Sei Ular. Identifikasi dilakukan pada Sub DAS Lau Biang dan akan didapatkan masing-masing wilayah dengan kelas kemiringan yang berbeda-beda.
Setelah ditentukan kelas kemiringan lahan, maka diberi skor sesuai Tabel 2.1 Bab II.
Data jenis tanah ditetapkan berdasarkan peta digital yang diperoleh dari BPDAS Wampu – Sei Ular. peta tersebut akan diidentifikan jenis tanah dan luasnya pada Sub DAS Lau Biang. Setelah ditentukan jenis tanahnya, maka setiap jenis tanah tersebut akan diber skor berdasarkan Tabel 2.2 pada Bab II.