• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adapun poin poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Adapun poin poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut:"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGAPAN DAN MASUKAN ELSAM TERHADAP RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA (KOMINFO)

TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

Diajukan kepada:

Direktorat e‐Business, Direktorat Jendral Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia

Menindaklanjuti hasil kelompok diskusi terfokus (FGD) mengenai penanganan situs internet bermuatan negatif yang diselenggarakan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), pada tanggal 3 April 2014, yang membuka kesempatan bagi institusi yang hadir untuk memberikan masukan tertulis, bersama ini, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyampaikan beberapa poin masukan dan tanggapan terhadap Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif (draft per 3 April 2014).

Adapun poin‐poin tanggapan dan masukan tersebut adalah sebagai berikut:

I. Penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) konten internet sebagai bentuk pengurangan hak atas kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi warga negara:

a. Praktik penapisan dan pemblokiran (filtering and blocking) yang diatur di dalam RPM ini merupakan bentuk pengurangan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi yang dijamin UUD 1945.

Berdasarkan standar hukum hak asasi manusia internasional, 1 maupun ketentuan hukum nasional, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, perumusan cakupan pengurangan hak, hanya dimungkinkan dilakukan melalui pengaturan dalam Undang‐undang dan bukan peraturan teknis setingkat peraturan pemerintah, apalagi peraturan Menteri.2 Lebih lanjut pengaturan tersebut juga tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pengurangan yang secara hukum dapat dibenarkan, termasuk di dalamnya perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), dan bukan list dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat di re‐intepretasikan oleh pembuat kebijakan (dalam hal ini pemerintah). Hal ini dimaksudkan untuk

1 Lihat Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya ketentuan Pasal 19, yang telah disahkan Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Secara detail prinsip-prinsip mengenai pembatasan tersebut kemudiaan diatur di dalam Prinsip Siracusa mengenai Pembatasan Hak-hak dalam ICCPR.

2 Lebih lanjut, diuraikan dalam ELSAM, Tata Kelola Internet yang berbasis Hak, “ Studi tentang permasalahan umum Tata Kelola Internet dan dampaknya terhadap Perlindungan HAM” dapat diakses pada http://www.elsam.or.id/downloads/389032_Briefing_Paper_1_TATA_KELOLA_INTERNET_dan_HAM.pdf

(2)

mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan.3

Lebih jauh, dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional, yang dimaksud dengan penapisan/pemblokiran konten interney adalah tindakan‐

tindakan yang dilakukan untuk mencegah konten tertentu mencapai pengguna akhir. Hal tersebut meliputi pencegahan pengguna dalam mengakses laman khusus, Internet Protocol (IP), alamat, ekstensi nama domain, penutupan laman dari laman server di mana mereka menempatinya, atau menggunakan teknologi filter untuk membuang halaman‐halaman yang mengandung kata kunci tertentu atau memblok konten tertentu agar tidak bisa muncul.4

Dalam banyak kasus, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor konten internet telah dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu. Selain itu tindakan tersebut juga seringkali dilakukan tanpa adanya pembenaran tujuan atau dengan cara yang jelas‐jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan. Tindakan sensor terhadap konten internet, dalam bentuk penapisan dan pemblokiran dengan menggunakan teknologi tertentu adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Tindakan‐tindakan tersebut benar‐

benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia, dan sering menciptakan “chilling effect” atau efek ketakutan yang besar terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Merujuk pada batasan‐batasan tersebut, jika suatu tindakan penapisan dan pemblokiran konten diatur dalam wadah pengaturan yang tidak tepat, maka tindakan tersebut justru masuk dalam kategori pelanggaran. Secara detail tindakan penapisan dan pemblokiran yang dianggap sewenang‐wenang dan termasuk pelanggaran hak asasi adalah jika kategorinya berikut ini: Pertama, kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum, atau diatur oleh hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung, sehingga menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena‐mena;

Kedua, pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat‐alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan, karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa diakses karena dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran dilakukan tanpa adanya intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan independen.5

Oleh karena itu, apabila pemerintah hendak mengeluarkan peraturan yang sifatnya teknis, setingkat peraturan menteri, semestinya hanya mengatur materi yang sifatnya teknis dan bukan menentukan cakupan apa yang dilarang/dibatasi (dimaksud dengan konten negatif dalam istilah RPM ini). Lebih lanjut,

3 Untuk kajian mengenai praktek-praktek pembatasan dan kontrol yang tidak sesuai dengan standar ini dan dampak kerugian bagi warga negara, lebih jauh diuraikan dalam, ELSAM, Membelenggu Ekspresi: Studi kasus mengenai praktik pemblokiran/penyaringan konten internet dan kriminalisasi pengguna internet di Indonesia, 2014, dapat diakes

pada laman

http://www.elsam.or.id/downloads/933273_Membelenggu_Ekspresi_Studi_Kasus_Penerapan_UU_ITE.pdf

4 Lihat A/HRC/17/27, paragraf 29, dapat diakses di http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/17session/

A.HRC.17.27_en.pdf.

5 Lihat Ibid., paragraf 31.

(3)

pembatasan dengan mendasarkan pada ketertiban umum, moral publik dan keamanan negara tidak lagi dapat dipergunakan secara fleksibel, dalam standar tersebut juga harus dirumuskan secara rigid, batasan dan cakupannya, yang secara limitatif harus dirumuskan dalam Undang‐undang. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya kesewenangan dari pemerintah atau badan‐badan negara dalam mengurangi hak asasi warga negara. Secara khusus Indonesia terikat dalam kewajiban ini dengan diratifikasinya Kovenan Internasional Hak‐

hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Rekomendasi:

(1) Menghapus Pasal 3: Ruang lingkup Peraturan Menteri ini, poin a “penentuan situs internet bermuatan yang perlu ditangani”, karena rumusan ini melampau kewenangan aturan pelaksanaan teknis setingkat peraturan Menteri.

(2) Menyesuaikan rumusan cakupan peraturan Menteri dengan batasan standar pembatasan Hak sebagaimana berlaku terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

b. Pemerintah hanya berwenang melakukan pemblokiran konten internet yang mengandung muatan pornografi. Hal ini sebagaimana termaktub di dalam peraturan perundang‐undangan terkait berikut ini:

Peraturan perundang‐undangan yang secara tegas memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran konten internet, adalah ketentuan Pasal 18 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang menyebutkan: “Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet”. Sementara ketentuan perundang‐undangan yang lain, termasuk UU No.

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak secara eksplisit memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk melakukan penapisan dam pemblokiran konten internet, termasuk terhadap konten‐konten yang dilarang sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE.

Apabila dasar yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan RPM ini adalah ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE, yang menyebutkan: “Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang‐

undangan”, maka tidak tepat pula jika kewenangan pemblokiran konten internet diperluas tidak hanya terhadap konten pornografi. Mengapa demikian? Oleh karena peraturan perundang‐undangan yang memberikan kewenangan pemblokiran konten bagi pemerintah hanyalah ketentuan UU Pornografi, sementara yang lain tidak ada.

Lalu apakah terhadap konten‐konten yang dilarang lainnya, yang masuk kategori kejahatan menurut Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE tidak dapat dilakukan pemblokiran?

Dapat, sepanjang memenuhi kaidah prosedur pidana yang diatur UU ITE.

Terhadap konten‐konten yang dilarang sebagaimana diatur ketentuan UU ITE, kategorinya adalah tindak pidana, yang penanganannya juga secara pidana, bukan lagi penanganan administratif. Oleh sebab itu, jika diperlukan pemblokiran terhadap konten‐konten dimaksud maka harus merujuk pada ketentuan Pasal 43

(4)

UU ITE. Dalam ketentuan tersebut Penyidik PNS yang dibentuk Kemenkominfo, salah satunya diberikan wewenang untuk “melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang‐undangan”.6 Artinya, jika PPNS tidak memerlukan adanya pemblokiran terhadap konten yang menjadi sarana kejahatan, maka pemblokiran oleh pemerintah—Kemenkominfo pun tidak bisa dilakukan. Penyegelan/penyitaan/pemblokiran tersebut sifatnya sementara, ‘pemblokiran tetap’ hanya bisa dilakukan atas perintah dari pengadilan, ketika pengadilan memutus bersalah subjek hukum yang melakukan pelanggaran berdasar ketentuan UU ITE. Apabila pengadilan memutus sebaliknya, atau PPNS melakukan penghentian penyidikan sebagaimana diatur ketentuan Pasal 43 huruf i, maka konten yang diblokir harus segera dipulihkan atau dalam istilah RPM dilakukan normalisasi.

Rekomendasi:

(1) Apabila RPM akan dilanjutkan proses pembahasannya untuk disahkan menjadi Peraturan Menteri Kominfo, maka ruang lingkup kewenangan untuk melakukan pemblokiran konten internet harus dipersempit hanya pada konten pornografi.

(2) Apabila konten‐konten lain yang dilarang sebagaimana dimaksud UU ITE, akan diatur, maka pengaturannya haruslah merupakan pengaturan yang sifatnya sangat teknis, yang prosesnya merupakan turunan dari yang diatur oleh ketentuan Pasal 43 UU ITE (permintaan dari PPNS atau perintah pengadilan). Mekanismenya harus dibedakan dengan penanganan terhadap konten pornografi, yang kewenangan pemblokirannya memang ada pada pemerintah.

II. Penapisan dan pemblokiran sebagai bentuk pembatasan terhadap hak asasi manusia semestinya menjadi wewenang negara atau perangkat negara. RPM memberikan hak tersebut kepada masyarakat melalui beberapa pasal yakni:

a. Pemberian wewenang pada masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 RPM, yang menyebutkan: “Masyarakat dapat ikut serta menyelenggarakan layanan pemblokiran dengan memuat …”.

Perumusan masyarakat sangat luas dan tidak ada penjelasan definitif lebih lanjut siapa yang disebut sebagai masyarakat, apakah individu perorangan, kelompok, badan usaha atau bentuk lain.

Selain itu, bila masyarakat diijinkan melalukan praktik pemblokiran mandiri, bagaimana mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya, khususnya bila terjadi penyalahgunaan? Bagaimana menjamin perlindungan korban, khususnya kelompok‐kelompok rentan dari praktik pemblokiran sepihak ini? Sebagai contoh, kelompok‐kelompok minoritas keagamaan yang selama ini menjadi target aksi sepihak dari kelompok intoleran, kelompok transgender, dan LBGT yang secara hukum hak asasinya diakui, tapi dalam beberapa kasus menjadi subjek salah blokir. Ruang ini tentu akan menjadi alat legitimasi dan legalisasi bagi tindakan kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok masyarakat yang lain untuk melakukan tindakan pemblokiran konten, dengan mengatasnamakan penanganan konten negatif.

6 Lihat Pasal 43 huruf g UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

(5)

Meski terlihat demokratis dengan memberikan ruang partisipasi pada warga negara/kelompok masyarakat, pengaturan ini secara prinsip bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, yang secara jelas merujuk pada kewenangan dan otoritas negara dan bukan entitas privat (anggota masyarakat). Disebutkan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Rekomendasi:

Pasal 7 yang memberikan kewenangan kepada masyarakat secara mandiri untuk menyelenggarakan layanan pemblokiran dihapuskan.

b. Pemberian wewenang pemblokiran bagi Penyelenggara Jasa Akses Internet, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 8 ayat (2) RPM, yang menyebutkan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan sebagai berikut: (a) pemblokiran mandiri; (b) pemblokiran oleh pihak lain yang menyediakan layanan pemblokiran.

Pemberian kewenangan pemblokiran kepada penyedia jasa akses internet secara mandiri berpotensi membenarkan terjadinya pemutusan akses informasi di luar kontrol negara. Perumusan pasal ini memberikan pembenaran hukum pada praktik pemblokiran sepihak oleh penyedia akses tanpa proses yang akuntabel dan transparan. Hal ini jelas tidak sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia yang berlaku dan dijamin dalam UU No. 39 Tahun 1999. Selain itu praktik ini berpotensi merugikan pengguna/konsumen yang secara sepihak mengalami pemutusan akses informasi.

Bagi penyelenggara jasa akses internet sendiri, pemberian wewenangan ini sesungguhnya juga merugikan, terutama bila dilihat dari pertimbangan bisnis.

Tindakan pemblokiran yang dilakukan secara mandiri oleh penyelenggara jasa akses internet akan membuka banyak celah gugatan hukum dari konsumen, yang tentu akan memberikan banyak kerugian bagi penyelenggara jasa akses intenter itu sendiri.

Rekomendasi:

(1) Pembatasan cakupan pemblokiran yang limitatif sesuai dengan rumusan yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang‐undangan.

(2) Pengaturan yang lebih rinci mengenai detail prosedur penapisan/pemblokiran yang dilakukan ISP untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi sebagai bagian dari perlindungan hak konsumen/pengguna, yang merupakan turunan dari ketentuan perundang‐

undangan, baik UU Pornografi (tanpa proses pidana), maupun UU ITE (proses pidana).

III. Sejumlah kelemahan yang terkait dengan rumusan‐rumusan ketentuan di dalam RPM, sebagai berikut:

a. Rumusan “konten negatif”

RPM merumuskan cakupan pengaturan dengan sangat luas dan kurang spesifik.

Sebagai peraturan teknis, sebenarnya RPM ini merupakan aturan pelaksanaan/delegasi dari UU yang mana? Bila yang dirujuk adalah UU ITE

(6)

(sebagaimana diutarakan pihak KOMINFO dalam FGD tgl 3/4/201), tidak terdapat rujukan ‘konten negatif’ dalam UU tersebut.

Apabila merujuk pada UU ITE maka sebagai peraturan pelaksanaan semestinya Rancangan Permen ini merujuk pada pasal‐pasal larangan dalam UU ITE, yang secara limitatif membatasi rumusan larangan terkait (Pasal 27‐Pasal 29 UU ITE), atau jika merujuk pada perintah UU Pornografi, sebagaimana telah disinggung di atas, maka RPM ini hanya mengatur konten pornografi. Pemberian kewenangan di dalam RPM ini, bertentangan dengan prinsip umum hierarki peraturan perundang‐

undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dimana peraturan pelaksanaan tidak boleh melampaui kewenangan UU yang mendasarinya. Dengan rumusan tersebut, pelaksana memiliki kekuatan yang jauh lebih besar untuk merumuskan dan menentukan kegiatan ilegal yang kemudian disebut sebagai muatan negatif .

Rekomendasi:

Menyesuaikan/mengganti rumusan ‘muatan negatif’ dengan rumusan yang ada dan dikenal dalam ketentuan peraturan perundang‐undangan (UU Pornografi atau UU ITE). Sehingga RPM ini merupakan turunan prosedur dari dari prosedur yang diatur dalam kedua undang‐undang tersebut.

b. Rumusan “kegiatan ilegal”

Terkait dengan pengaturan ‘kegiatan ilegal’ yang terdapat pada Pasal 4 ayat (1) huruf c RPM, yang menyebutkan, mengenai “kegiatan ilegal lainnya …”, dan Pasal 4 ayat (2) RPM, rumusan tentang “kegiatan ilegal” mengandung dua kelemahan:

1. UU ITE tidak mengenal ‘kegiatan ilegal’ sebagaimana diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri ini. Dalam penjelasan lebih lanjut (Pasal 4 ayat (2)) kegiatan ilegal adalah kegiatan yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Pasal 4 huruf c RPM “kegiatan illegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan” memberikan kewenangan dari RPM untuk menentukan cakupan dan apa yang dikategorikan sebagai ‘bermuatan negatif’ dengan rumusan yang sangat luas dan tanpa batasan yang jelas.

Rumusan ini justru semakin memperlebar batasan pengertian dengan menyerahkan intepretasi kegiatan ilegal berdasarkan kementerian atau lembaga pemerintah. Perumusan yang sedemikian fleksible dapat meningkatkan potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan dengan secara lentur melakukan intepretasi atas ‘perbuatan ilegal’ rumusan ini jelas mempertinggi tingkat ‘ketidakpastian hukum’ khususnya bagi warga negara/

entitas pengguna internet yang menjadi subyek dari peraturan ini.

Merujuk pada FGD tgl 3/4/2014 diuraikan mengenai kebutuhan perumusan ayat ini untuk mewadahi permintaan‐permintaan pemblokiran yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tapi dipersepsikan meresahkan masyarakat (seperti dicontohkan dengan permintaan FPI melalui telepon kepada pejabat yang bersangkutan untuk melakukan pemblokiran konten, yang segera dilakukan pihak kementerian dengan alasan kemendesakan karena bila tidak dilakukan pemblokiran, FPI akan segera mengerahkan massa untuk melakukan tindakan sepihak). Dengan rujukan ini, ketentuan ayat ini berpotensi untuk menjadi ayat karet sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan menjadi ancaman bagi warga negara karena dapat menjadi

(7)

alas hukum pembenar untuk melakukan pengurangan hak akibat tekanan dari pihak ketiga (alasannya menjadi suka dan tidak suka).

2. Secara teknis, rumusan ‘kegiatan ilegal’ bukanlah merupakan diksi yang tepat dipergunakan dalam drafting ketentuan perundang‐undangan, apabila ingin merujuk pada tindakan yang dilarang sebaiknya merujuk langsung pada ketentuan hukum yang dipergunakan sebagai acuan, atau apabila merujuk pada tindak kejahatan atau perbuatan melawan hukum juga harus mempergunakan cakupan dan rumusan dari ketentuan UU yang dijadikan acuan.

Rekomendasi:

Oleh karena itu, ELSAM merekomendasikan menghilangkan Pasal 4 ayat (1) huruf c “kegiatan illegal …dst”, dan menghapus Pasal 4 ayat (2) “kegiatan ilegal lainnya…”.

IV. Pengaturan mengenai “pelaporan mendesak”

RPM ini merumuskan pelaporan mendesak dengan rumusan yang sangat terbuka dan lentur sebagai diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e. mengenai “muatan lainnya yang berdampak negatif yang menjadi keresahan masyarakat secara luas”.

Perumusan ini memberikan ruang keluasan yang tidak terbatas pada pemegang otoritas (unit teknis pelaksana tupoksi pemblokiran dalam Direktorat Jendral terkait) untuk menentukan dan berdasarkan hal tersebut mengambil langkah cepat (1X24 jam). Tanpa perumusan dan batasan yang tegas, rumusan semacam ini memberikan ruang intepretasi dan subjektifitas yang tinggi tanpa disertai kontrol dan mekanisme akuntabilitas yang memadai.

Rekomendasi:

(1) menyesuaian dengan batasan dan standar pembatasan sebagaimana diatur dalam UU yang dirujuk/diacu.

(2) Menyesuaikan dengan batasan standar pembatasan Hak sebagaimana berlaku terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan mendapatkan informasi yang diatur dalam UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

(3) Menghapus rumusan Pasal 10 ayat (3) huruf e RPM, karena cakupan kewenangan peraturan teknis melampaui rumusan dan cakupan peraturan perundangan yang lebih tinggi hierarkinya (UU) yang dirujuk.

V. Mekanisme dan prosedur pembahasan Rancangan Peraturan Menteri

Mengingat keluasan dan dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan ketentuan teknis ini terhadap warga negara, proses pembahasan semestinya melibatkan konsultasi publik yang luas dengan pemangku kepentingan maupun subjek yang akan terkena dampak peraturan ini.

Upaya melakukan konsultasi publik dan menjaring masukan ini tidak dapat secara memadai dilakukan hanya dengan mencantumkan dalam website kementrian, mengingat 70% pengguna internet hanya terkonsentrasi di lima kota besar di Jawa dan Sumatera. Mekanisme ini jelas menutup akses yang memadai bagi warga negara yang tidak memiliki akses internet. Sementara peraturan ini akan berlaku bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali, mereka dianggap tahu segera setelah diundangkan (presumptio iures de iure).

Selain itu, proses konsultasi yang luas dan upaya menjaring masukan juga tidak semestinya dihentikan karena dipersepsikan sebagai sesuatu yang menghambat

(8)

proses penyelesaian pembahsan RPM ini (sebagaimana diutarakan dalam FGD tanggal 3/4/2014). Hal ini bertentangan dengan semangat menjamin partisipasi warga dalam proses pembuatan kebijakan sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan umum yang baik, maupun prinsip tata kelola internet itu sendiri, yang menghendaki partisipasi multi‐pemangku kepentingan dalam setiap perumusan kebijakan yang terkait dengan internet.

Dalam kaitan itu, ELSAM merekomendasikan keterlibatan lembaga‐lembaga dan pemangku kepentingan dalam proses pembahasan RPM ini, antara lain: (i) KOMNAS HAM; (ii) Komisi Informasi Pusat; (iii) Dewan Pers; (iv) Perwakilan media, khususnya media online; dan (v) organisasi jurnalis yang akan menjadi subjek penerima dampak dan manfaat langsung dari penerapan peraturan ini.

Demikian masukan ELSAM terhadap materi dan proses pembahasan RPM Kominfo tentang Penanganan Konten Negatif, untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 5 April 2014

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),

Indri D. Saptaningrum, S.H., LL.M.

Direktur Eksekutif

___________________________________________

 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak‐hak sipil dan politik serta hak‐

hak asasi manusia pada umumnya—sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi manusia.

Informasi lebih lanjut: ELSAM, Jl Siaga II No. 31/Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Laman: http://elsam.or.id/, Surel: office@elsam.or.id, Twitter: @elsamnews.

Referensi

Dokumen terkait

- Dapat melakukan pencarian data Kesediaan Mengajar - Dapat melakukan pencarian data Biaya Training - Dapat melakukan pencarian data Jadwal Training - Dapat melakukan

berkesimpulan sudah tidak mungkin lagi dapat meneruskan dan mempertahankan hidup rumah tangga bersama Tergugat walaupun Penggugat sudah berusaha untuk rukun kembali

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui lebih medalam tentang praktik pembiayaan gadai emas di BMT-UGT Sidogiri Kantor Cabang Pembantu Kwanyar Bangkalan. 2)

Hal ini berdasarkan temuan penelitian, gaya belajar yang memiliki nilai paling tinggi yaitu kinestetik dengan nilai rata-rata 84,6%, setelah itu disusul gaya belajar

Penyempitan atau penyumbatan pada pembuluh arterikoroner dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri.. alam kondisi yang aliran darah ke

Terdapat hasil dari peneliti yang mendukung pada penelitian ini yakni yang menjelaskan adanya hu- bungan dari pemahaman yakni peraturan perpajakan terhadap kepatuhan WP pada

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hiperglikemia persisten terbukti merupakan faktor perancu terhadap terjadinya MACE dan didapatkan pula bahwa hiperglikemia nonpersisten (GD

Kesimpulannya suami dan istri, masing-masing dari keduanya bercampur dengan yang lain dan saling pegang serta tidur-meniduri, maka amatlah sesuai bila diringankan bagi