• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA. (Studi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus Temasek) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA. (Studi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus Temasek) SKRIPSI"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus Temasek)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

KRISTIAN HUTAPEA NIM: 140200137

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karuniaNya yang tiada berkesudahan dan telah memberikan penulis kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR 07/KPPU-L/2007 TENTANG KASUS TEMASEK)” yang membahas eksistensi dan implementasi prinsip ekstrateritorialitas dalam hukum persaingan usaha di Indonesia melalui tinjauan pustaka dan analisis kasus guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. O.K Saidin, SH., M,Hum., Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini;

7. Ibu Tri Murti Lubis, SH., M.H., selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH., M.LI., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan dukungan, bimbingan dan masukan terhadap penulisan skripsi ini, terimakasih bu;

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis;

10. Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik penulis;

11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Kedua orang tua penulis. Bapak Saut Hutapea dan Ibu St. Morina Tarigan yang telah membesarkan, mendidik serta memberi dukungan, semangat, dan doa sehingga penulis mampu menempuh pendidikan dari Taman Kanak- Kanak hingga menyelesaikan Sarjana Hukum. Kalian orang terbaik dalam hidupku.

13. Abang dan Kakak-Kakak penulis Herman Hutapea ST (sukses untuk usaha barunya), Nicky Astria Hutapea SE (semangat menyelesaikan magisternya),

(5)

Jesika Novritha Hutapea S.Pd (semangat dalam setiap langkahmu), Merlin Carera Hutapea SE (goodluck for all your things) yang telah memberikan dukungan, doa dan pengayoman terhadap penulis selama perkuliahan dan pengerjaan skripsi ini. Akhirnya kita semua sarjana. Thank God.

14. Kelompok kecil Gamaliel (Kak Saidibot Roulina Panjaitan SH, Elia Fransisco Silitonga, Ruth Secylia Siallagan, Yohannes Unggul Julius Sagala, Sonny Siregar yang kerap akan menjadi sarjana hukum juga serta Kak Evi Situmorang SH) yang selalu mendoakan dan memberi dukungan pada penulis sepanjang perkuliahan hingga pengerjaan skripsi ini. Sungguh beruntung memiliki kalian. Semangat buat kita semua dalam segala sesuatunya, Tuhan Yesus memberkati.

15. Sahabat terbaikku selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Tioneni Sigiro (Dijah Yellow), David Julianus Saruksuk (Ka Ity), Elia Fransisco Silitonga, Elisabeth Aurora Silalahi (Sabetta), Indra Permana Rajagukguk (Ka Iin), Andree Sergeyevich Gorbacev dan Teoli Bewamati Telaumbanua (Kaona), Monauli (Mondez) yang dirangkum dalam beberapa grup manja seperti ubi-ubi, mimi manja, grup klinis, cikole lepompong, penggila nangka (selalu memberi konten- konten 18-) yang selalu menjadi tempat penulis berkeluh kesah, namun tetap mendukung penulis dalam setiap hal yang penulis lakukan selama perkuliahan, perlombaan hingga pengerjaan skripsi ini. I will be missing you guys. Sukses buat skripsi kalian juga.

16. LENORISK (Lely, Nova, Riva, Sry, Kristian) yang telah menjadi sahabat penulis sejak Sekolah Menengah Pertama hingga hari ini, yang selalu

(6)

mendukung penulis dalam segala kegiatan perkuliahan terkhusus pengerjaan skripsi ini. I love you guys, sukses juga buat kalian. Kapan kita bisa kumpul ya?

17. Delegasi TMCC Mahkamah Konstitusi 2015, MCC Bulaksumur III UGM 2016, CMCC Mahkamah Konstitusi 2017 terkhusus Tetty Marlina Debora Sihaloho (Ka Etty), Yunita Octavia Siagian (si manja kami) dan Irene Cristna Silalahi (Kak Tono) yang turut memberi dukungan dan semangat kepada penulis dalam perkuliahan, kompetisi serta pengerjaan skripsi ini serta kepada anggota seluruh delegasi yang pernah bekerja dalam satu tim bersama penulis. Terimakasih telah memberi warna dalam kehidupan perkuliahan penulis.

18. Keluarga besar Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan dukungan bagi penulis selama berkarya di organisasi ini dan memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi bergengsi di tingkat nasional. Sungguh bangga menjadi bagian dari organisasi ini. Terkhusus buat rekan-rekan dan adik-adik seperjuangan Laora, Fanta, Adil, Silvia, Putri, Reinhard, Sugita, Ekinia, Kwarta, Firman, Akas, Candra, Frans, Theresia, Yohannes, Johan, Fadlan, Deniel, Riris, Irene Manik, Yudika, Doli, Adianto dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atau telah disebut dalam poin lain, semoga sukses untuk kita semua. Semoga KPS semakin jaya.

19. Keluarga besar UKM Kebaktian Mahasiswa Kristen UP Fakultas Hukum USU yang telah menjadi wadah pembinaan bagi penulis selama perkuliahan. Semangat melayani.

(7)

20. Keluarga Besar Duta Bahasa Sumatera Utara Hana Lisbeth, Fandy, Isron, Mindo, Sir Jhon dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah menjadi sahabat penulis dan turut mewarnai dunia penulis.

21. Panitia Perayaan HUT UKM KMK USU ke 36 tahun 2016 yang memberikan dukungan bagi penulis dalam perkuliahan serta pengerjaan skripsi ini.

22. Panitia Natal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2017 serta Adik- adik koor stambuk 2017 yang senantiasa memberikan semangat dalam pengerjaan skripsi ini.

23. Setiap orang dan pihak yang telah membantu dan memberi dukungan bagi penulis selama menjalani perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR SKEMA... ix

DAFTAR TABEL... x

ABSTRAK... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 11

D. Keaslian Penulisan... 12

E. Tinjauan Kepustakaan... 14

F. Metode Penulisan... 17

G. Sistematika Penulisan... 22

BAB II TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Tinjauan Umum Persaingan Usaha... 25

B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha di Beberapa Negara... 29 C. Pendekatan Teoritis dalam Hukum Persaingan

Usaha...

1. Pendekatan Per Se Illegal...

2. Pendekatan Rule of Reason...

40 40 43

(9)

D. Substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat...

1. Asas dan Tujuan...

2. Perjanjian yang Dilarang...

3. Kegiatan yang Dilarang...

4. Posisi Dominan...

5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha...

44 45 46 48 48 48 BAB III INDUSTRI TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Industri Telekomunikasi... 54 B. Sejarah dan Perkembangan Industri Telekomunikasi

di Indonesia... 59 C. Gambaran Umum Persaingan Usaha dalam Industri

Telekomunikasi di Indonesia... 65

BAB IV ANALISIS PENERAPAN PRINSIP

EKSTRATERITORIALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR: 7/KPPU- L/2007 TENTANG KASUS TEMASEK

A. Tinjauan Doktrinal Prinsip Ekstrateritorialitas dalam Hukum Persaingan Usaha... 76

B. Analisis yuridis teritorialitas Tugas dan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Menurut

(10)

Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat... 84

C. Kasus Posisi Putusan KPPU Nomor : 7/KPPU- L/2007 tentang Kasus Temasek...

D. Analisis Prinsip Ekstrateritorialitas dalam Putusan KPPU Nomor : 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus Temasek...

90

99

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 107

B. Saran... 110

DAFTAR PUSTAKA... x

(11)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Pangsa Pasar (market share) Operator Telekomunikasi

di Indonesia tahun 2014... 68 Skema 4.1 Struktur Kepemilikan Saham PT. Telkomsel dan PT.

Indosat oleh Temasek Holdings tahun 2007... 107

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jumlah Pelanggan Telepon Indonesia menurut Jenis

Penyelenggaraan Jaringan, 2010-2015... 61 Tabel 3.2 Perbandingan Jumlah Pelanggan Telkomsel, XL Axiata

dan Indosat tahun 2015 dan 2016... 73 Tabel 4.1 Pemenuhan Kriteria Pelaku Usaha menurut Pasal 1

angka 5 Undang-Undang Nomor 5/1999... 103

(13)

ABSTRAK

*Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait SH.,M.LI

**Dr. Mahmul Siregar SH.,M.Hum

***Kristian Hutapea

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang dalam mengawasi dan menangani berjalannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Yurisdiksi kewenangan KPPU adalah seluruh wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Melalui Putusan Nomor 7/KPPU-L/2007 KPPU menyatakan kelompok usaha Temasek Holding beserta anak perusahaannya telah terbukti bersalah melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tentang cross ownership terhadap PT Telkomsel dan Indosat yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat di Industri Telekomunikasi di Indonesia. Artinya KPPU telah melampaui yurisdiksi tugas wewenangnya dengan menerapkan prinsip ekstrateritorialitas (extraterritoriality doctrine) dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini, karena secara faktual diketahui bahwa Temasek Holding berkedudukan di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Pertimbangan KPPU menjatuhkan putusan ini yakni dengan berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta Single Economic Entity Doctrine yang membenarkan pertanggungjawaban perusahaan induk atas pelanggaran yang dilakukan oleh anak perusahaannya.

Eksistensi dan Implementasi prinsip ekstrateritorialitas serta doktrin Single Economic Entitiy dalam tugas dan wewenang menjadi permasalahan dalam tulisan ini dengan menganalisis Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus Temasek. Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yang bersifat normatif yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data sekunder, yang merupakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan media elektonik/internet.

Kata Kunci: Ekstrateritorialitas, KPPU, Temasek

*Dosen Pembimbing I

**Dosen Pembimbing II

***Mahasiswa

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia pada hakekatnya melaksanakan kegiatan usaha guna memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya. Dengan kata lain, kegiatan usaha dilaksanakan untuk memperoleh profit. Seiring berjalannya waktu, kegiatan usaha menjamur dan menghasilkan semakin banyak pelaku usaha. Hal ini berimplikasi pada semakin tingginya tingkat persaingan dan kecurangan dalam kegiatan usaha. Persaingan dalam dunia usaha merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan dapat dikatakan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak bagi terselenggaranya ekonomi pasar, walaupun diakui bahwa adakalanya persaingan usaha itu sehat dan dapat juga tidak sehat.1 Adanya kecurangan dalam kegiatan usaha menyebabkan kerugian bagi pelaku usaha pesaing bahkan terhadap masyarakat, hal ini menuntut adanya suatu keteraturan untuk menjamin dan mengawal pelaksanaan kegiatan usaha.

Hukum hadir sebagai panglima dalam keteraturan kehidupan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch “Die Idee des Rechts stellt sich dar als ein Spannungsverhältnis von drei Grundwerten: Gerechtigkeit, Zweckmassigkeit, Rechtssicherheit.2 Jadi, hukum sekaligus (serentak) memenuhi tiga syarat pokok: hukum

1 Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm.3.

2 E. Utrecht Moh & Saleh Diindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru. 2013), hlm.14.

(15)

seharusnya adil, seharusnya berguna dan seharusnya menjamin kepastian hukum.3 Artinya bahwa hukum hadir dengan tujuan untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam masyarakat, demikianlah hukum pula hadir untuk menjamin pelaksanaan kegiatan usaha berjalan baik.

Peranan hukum dalam aspek perekonomian diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan dalam hukum positif di Indonesia.

Konstitusi Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menjadi dasar konstitusionalisasi perekonomian di Indonesia. UUD NRI 1945 menginstruksikan bahwa perekonomian Indonesia disusun serta berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Pasal 33 UUD NRI 1945 yang merupakan dasar acuan normatif penyusunan kebijakan perekonomian nasional menjelaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar.4 Ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 secara lengkap menyatakan:

a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan

b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan c. Bumi, air dan kekayaan alam lainnya dipergunakan sebesar

besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

3 Ibid.,

4 Ningrum Natasya Sirait A, Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011), hlm.1.

(16)

Secara implisit dalam Pasal ini, para pendahulu kita dalam penyusunan konstitusi menginginkan kondisi perekonomian yang kondusif bagi segenap rakyat Indonesia, apabila kita kaitkan dengan ekonomi dalam lingkup persaingan usaha, maka dapat dinyatakan bahwa Indonesia pada dasarnya pro terhadap persaingan usaha yang mendorong perekonomian yang positif. Klausul “perekonomian disusun” sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut diatas secara langsung mengisyaratkan perlu dilaksanakannya suatu restrukturisasi dan reformasi ekonomi. Mekanismenya adalah penyelenggaraan perekonomian berdasarkan demokrasi ekonomi.5 Restrukturisasi ekonomi diperlukan untuk mewujudkan keadilan ekonomi atau pemerataan ekonomi, untuk menghindari polarisasi ekonomi.6 Implementasi ketentuan Pasal 33 tersebut berada dalam kendali pemerintah. Selaku penguasa, pemerintah harus tanggap terhadap situasi perekonomian dengan menghadirkan kebijakan mampu memayungi pelaksanan kegiatan perekonomian bagi segenap rakyat Indonesia. Setiap orang harus memiliki kesempatan yang sama dalam kegiatan usaha, tanpa adanya intervensi dari pemerintah ataupun pelaku usaha yang terlebih dahulu ada.

Peraturan perundang-undangan merupakan sarana yang palling efektif untuk mengimplementasikan kebijakan politik demokrasi ekonomi yang diarahkan pada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan

5 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.35.

6 Ibid., hlm.35.

(17)

Pancasila dan UUD NRI 1945.7 Kebijakan Persaingan Usaha di Indonesia diejawantahkan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 5/1999). Setiap pelaku usaha wajib tunduk pada ketentuan undang-undang ini. Pada ketentuan Pasal 1 angka 5 produk hukum ini dinyatakan bahwa:

“pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”

Ketentuan ini memberikan legitimasi akan kualifikasi pihak yang dapat disebut sebagai pelaku usaha. Salah satu yang menjadi sorotan penulis dalam hal ini adalah lingkup teritori kegiatan usaha yang dilaksanakan oleh pelaku usaha. Ketentuan ini secara eksplisit juga menerangkan bagaimana lingkup keberlakuan Undang-Undang Nomor 5/1999 dalam memerangi persaingan usaha tidak sehat. Pengertian yang diberikan tersebut boleh dibilang cukup luas sehingga mencakup segala jenis dan bentuk badan usaha, dengan tidak memperhatikan sifat badan hukumnya, sepanjang pelaku usaha tersebut menjalankan kegiatannya dalam bidang ekonomi di dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Asas teritorial menjadi dasar dari undang-undang ini.8 Adapun yang menjadi objek penegakan undang-undang ini adalah seluruh pelaku

7 Ibid., hlm.35-36.

8 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Antimonopoli, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), hlm.11.

(18)

usaha yang melaksanakan kegiatan usaha di Indonesia, tanpa memandang asal usul perusahaan tersebut dan tanpa memandang status badan hukum/pendirian perusahaan tersebut di Indonesia. Secara Implisit diketahui bahwa pelaku usaha lintas batas yang merupakan share holder dari perusahaan yang beroperasi, berdiri dan atau berkedudukan di Indonesia dapat menjadi objek penegakan hukum persaingan usaha tanpa terkecuali. Penegakan hukum persaingan usaha sewajarnya tidak terhalang oleh teritori suatu negara. Sebab, kegiatan perekonomian tidak dapat dipungkiri melampaui batas antar negara. Oleh sebab itu, hukum harus mampu bertindak secara global sebagaimana ekonomi. Jika pelaku usaha dapat melampaui batas teritori suatu negara, maka hukum pun demikian.

Hukum dan penegakannya sudah sewajarnya dapat diaplikasikan tanpa mengenal batas. Batasan dalam penegakan hukum justru akan menumpulkan mata hukum itu sendiri. Hukum persaingan usaha melalui Undang-Undang Nomor 5/1999 merupakan salah satu wujud pembaharuan perekonomian di Indonesia pasca krisis moneter 1998. Dalam pembaharuan hukum ini perlu dirancang suatu pendekatan yang tepat, sehingga pengkajian hukum tersebut memiliki arah dan tujuan yang relevan, yaitu untuk mencapai adanya jaminan dan kepastian hukum bagi perdagangan global. Dalam hal ini hukum persaingan usaha dan penegakannya harus mampu menandingi arus ekonomi global yang masuk ke Indonesia. Hal ini membuka ruang bagi otoritas persaingan usaha di Indonesia yakni Komisi Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU) untuk ambil andil dalam penegakan hukum persaingan usaha

(19)

dalam terhadap pelaku usaha yang tidak berada di wilayah Republik Indonesia namun turut ambil bagian dalam kegiatan usaha yang berlangsung atau dilaksanakan di Indonesia.

Selaku lembaga yang memiliki status untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5/1999, KPPU memiliki wewenang yang cukup efektif untuk itu. Namun, seiring berjalannya waktu banyak pihak yang mengoreksi pelaksanaan tugas dan kewenangan KPPU. KPPU dinilai memiliki kewenangan lembaga peradilan secara utuh. Dalam disiplin hukum pidana formil dikenal terminologi Criminal Justice System.

Menurut Marjono Reksodiputro, Criminal Justice System adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri atas lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.9 Dalam hal ini terdapat hubungan yang sinergis antara lembaga yang terlibat dalam tahap penegakan hukum pidana yang dimulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, pengadilan oleh pengadilan hingga pemasyarakatan oleh lembaga pemasyarakatan.

Berbeda dengan Criminal Justice System dalam hukum pidana, hampir keseluruhan kewenangan masing-masing lembaga peradilan tersebut dimiliki oleh KPPU. KPPU mempunyai kewenangan di bidang penegakan hukum, termasuk kewenangan di bidang penyelidikan, alat bukti,

9 Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 1993), hlm.1. dalam Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2013), hlm.11.

(20)

penyidikan, dan pemeriksaan perkara.10 Namun, pemberian kewenangan KPPU ini bukanlah tanpa alasan, sebagaimana layaknya KPPU di negara lain, KPPU di Indonesia juga diberikan kewenangan dan tugas yang sangat luas yang meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif serta konsultatif.

Sehingga berbagai pendapat melihat bahwa KPPU dapat dikatakan bersifat multifungsi karena memiliki kewenangan sebagai investigator (investigative function), penyidik, pemeriksa, penuntut (prosecuting function) pemutus (adjudication function) maupun fungsi konsultatif (consultative function). Tetapi sebagaimana dengan karakter yang khas dalam Hukum Persaingan maka KPPU dinyatakan sebagai lembaga quasi judicial yang artinya lembaga penegak hukum yang mengawasi persaingan usaha.11

Selain koreksi terhadap kewenangan yang dimiliki oleh KPPU, muncul isu permasalahan yang memperdebatkan teritorialitas pengawasan dan penegakan Undang-Undang Nomor 5/1999 oleh KPPU melalui tugas dan kewenangannya. Dalam beberapa kasus yang ditangganinya, KPPU melakukan pengawasan terhadap kegiatan persaingan usaha terhadap badan usaha yang berkedudukan di luar wilayah Republik Indonesia.

Kasus yang populer yakni kasus VLCC Pertamina dan Temasek. Dalam Perkara VLCC, KPPU memutus bahwa Goldman Sach Pte. (Singapura), Frontline Ltd. (Kepulauan Bermuda), dan PT Equinox telah bersekongkol dengan PT Pertamina dalam penjualan tanker VLCC kepada Frontline Ltd.

10Abdul R. Saliman, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hlm.227.

11 Ningrum Natasya Sirait A, Op.Cit. hlm.109.

(21)

Dalam Perkara VLCC ini, meskipun baik Goldman Sach Pte. dan Frontline Ltd. dinyatakan tidak terbukti melanggar Pasal 16 Undang- Undang Nomor 5/1999, keduanya tetap dihukum, dimana Goldman Sach Pte. diputus terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf d dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5/1999 dan Frontline Ltd.

melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5/1999.12 Meskipun keduanya adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan yurisdiksi hukum negara lain (Singapura dan Bermuda) keduanya terlibat dalam tender yang dilakukan oleh PT Pertamina dimana tender tersebut dilakukan di Indonesia dan dianggap memiliki dampak yang dapat merugikan negara hingga AS$ 54 juta.13

Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis bagaimana implementasi prinsip ekstrateritorialitas dalam pelaksanaan kewenangan KPPU dalam perkara Temasek. Telekomunikasi dan pendukungnya tidak bisa dipungkiri telah menjadi salah satu kebutuhan mendesak dan wajib dalam masyarakat hari ini, industri ini dapat dikatakan merupakan salah satu industri yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga sudah sewajarnya pengawasan terhadap industri ini dioptimalkan. Persaingan usaha juga tampak dalam industri telekomunikasi di Indonesia. Laporan Direktoral Jenderal Pos dan Telekomunikasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan teledensitas telepon seluler selama periode 1999-2005, dari

12 Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 07/KPPU-L/2004

13 M Dani Pratama Huzaini, “Ekstrateritorialitas Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Sebuah Keniscayaan” diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt598996a0c114b/ekstrateritorialitas-penegakan-hukum- persaingan-usaha-sebuah-keniscayaan pada tanggal 22 Januari 2017 pukul 19.02 WIB.

(22)

hanya 1,1 per 100 penduduk menjadi 23,1 per 100 orang. Jumlah pelanggan meningkat dari 2,1 juta pada tahun 1999 menjadi 46,9 juta pada tahun 2005. Gambaran tentang perkembangan telepon seluler menunjukkan bahwa pada tahun yang sama, jumlah pelanggan telepon di Indonesia mendekati jumlah pelanggan seluler di negara-negara maju seperti Prancis dengan 48 juta pelanggan (ITU, 2005).14 Dua raksasa industri telekomunikasi di Indonesia ternyata dikuasai sahamnya oleh anak perusahaan dari 1 (satu) perusahaan induk (holding company). Kelompok Usaha Temasek, lewat anak perusahaannya STT dan Singtel, memiliki saham pada dua perusahaan jasa telekomunikasi selular Indonesia yang saling bersaing yaitu PT Indosat dan PT Telkomsel. Kepemilikan STT sebesar 41,94 persen pada PT Indosat dan Singtel sebesar 35 persen pada PT Telkomsel dianggap KPPU telah melanggar Pasal 27 huruf a Undang- Undang Nomor 5/1999 tentang kepemilikan silang. Temasek Holding Pte.

Ltd. juga dianggap melanggar Pasal 17 ayat (1) karena melaksanakan hambatan interkoneksi dan mempertahankan harga tinggi sehingga bersifat anti persaingan.

Adapun dalam pemeriksaan perkara ini permasalahan yang timbul adalah bahwa dalam pembelaannya, kelompok Temasek mendalilkan bahwa KPPU tidak berwenang memeriksa karena perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam kelompok Temasek bukanlah didirikan berdasarkan Hukum Indonesia dan tidak beraktivitas secara langsung di Indonesia.

14 Nuzul Achjar dan Ibrahim Kholilulrohman, “Persaingan Industri Telekomunikasi dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan: Sebuah Tinjauan Pustaka”, Jurnal Bisnis dan Ekonomi Politik, 8:4, (Jakarta Desember 2007), hlm.30.

(23)

Kemudian KPPU menepis pembelaan kelompok Temasek tersebut dengan menyatakan bahwa kelompok Temasek adalah badan usaha sehingga memenuhi unsur “setiap orang” atau “badan usaha” dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5/1999 yang berdasarkan prinsip entitas ekonomi tunggal (single economic entity doctrine) dinyatakan dalam relasi induk- anak perusahaan, perusahaan anak tidak memiliki independensi untuk menentukan arah kebijakan perusahaan. Konsekuensinya adalah pelaku usaha dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh perusahaan lain dalam satu entitas ekonomi, dalam hal ini kelompok Temasek, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga sifat ekstrateritorialitas dari penegakan hukum persaingan usaha dapat terpenuhi.

Berdasar pada latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis mengangkat topik ”Penerapan Prinsip Ekstrateritorialitas dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan KPPU Nomor:

7/KPPU-L/2007 tentang kasus Temasek) untuk dijadikan judul skripsi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dirumuskan hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimanakah prinsip ekstrateritorialitas dalam tugas dan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-Undang Nomor

(24)

5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

2. Bagaimanakah analisis hukum terhadap implementasi prinsip ekstrateritorialitas dalam penegakan hukum persaingan usaha dalam putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang kasus Temasek?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasar pada rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk:

1. Mengetahui prinsip ekstrateritorialitas dalam dalam Tugas dan Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Menurut Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2. Memahami implementasi prinsip ekstrateritorialitas dalam penegakan hukum persaingan usaha dalam putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang kasus Temasek

Diharapkan skripsi ini memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Secara umum, tulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam sudut pandang teoritis dalam perkembangan ilmu hukum, terkhusus berkenaan dengan Hukum Persaingan Usaha. Secara khusus, tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran tentang perkembangan hukum ekonomi bisnis, perkembangan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia yang dikerucutkan dalam teritorialitas penanganan perkara. Semoga tulisan ini dapat

(25)

memberikan manfaat bagi pembaca baik akademisi, praktisi maupun kalangan umum sebagai bahan referensi dalam pembelajaran tentang prinsip ekstrateritorialitas dalam penegakan hukum persaingan usaha.

2. Manfaat Praktis

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran penulis bagi perkembangan hukum persaingan usaha dalam tatanan praktis.

a. Bagi Pemerintah, bermanfaat memberikan masukan dalam menilai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini agar disesuaikan dengan perkembangan dalam ilmu persaingan usaha. Saran dan penilaian terhadap isi Peraturan Perundang- undangan tersebut selanjutnya dapat dijadikan masukan apabila akan dilakukan revisi Peraturan Perundang-undangan.

b. Bagi pelaku usaha, sebagai acuan atau pedoman pelaku usaha mikro maupun makro dalam menjalankan usahanya.

c. Bagi penulis, dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang hukum ekonomi dan persaingan usaha.

d. Bagi Kalangan Umum, dengan adanya tulisan ini memberikan pemahaman akan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia secara normatif maupun empiris.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka memenuhi Tugas Akhir dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, penulis mengajukan skripsi dengan

(26)

judul “Penerapan Prinsip Ekstrateritorialitas dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU- L/2007 tentang kasus Temasek)” Sebelum melakukan penulisan skripsi, terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pusat Dokumentasi dan Infromasi Hukum/Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum melalui surat tertanggal 13 Desember 2017 menyatakan bahwa “tidak ada judul yang sama” dalam arsip/dokumen skripsi yang telah ditulis oleh mahasiswa maupun alumni Universitas Sumatera Utara berkenaan dengan judul tersebut diatas.

Penelusuran juga diadakan ke berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang dilakukan belum ada penulis lain yang yang mengangkat judul tersebut. Maka berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai

“Penerapan Prinsip Ekstrateritorialitas dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang kasus Temasek)” belum pernah ada penelitian dilakukan dalam topik dan permasalah yang sama. Sekalipun ada, hal tersebut adalah di luar pengetahuan penulis.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran yang didasarkan pada pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang berlaku dan diperoleh dari media cetak, media elektronik, dan bantuan dari beberapa pihak. Penelitian ini disebut asli sesuai dengan

(27)

keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.15 Monopoli merupakan suatu keadaan pasar yang hampir tanpa persaingan, baik dalam hal kualitas dan kuantitas barang atau jasa maupun dalam hal harga.16 Dalam Black’s Law Dictionary, Monopoli diartikan sebagai:

a privilege or periculiar advantage in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry in a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity.

Berbeda dari defenisi yang diberikan dalam undang-undang yang secara langsung menunjuk pada penguasaan pasar, dalam Black’s Law Dictionary penekanan lebih diberikan pada adanya suatu “hak istimewa”

(privilege) yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar.17

Selain defenisi dari Monopoli, dalam undang-undang juga diberikan pengertian dari praktek monopoli, yaitu suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa

15 Indonesia A, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 1 Angka 1.

16 Abdul Hakim G. Nusantara dan Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli, (Jakarta: Tanpa Penerbit), 1999, hlm.10.

17 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hlm.13.

(28)

tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.18 Berdasar pada defenisi yang diberikan diatas kita dapat ketahui bahwa pada dasarnya ada 4 (empat) hal penting yang dapat kita kemukakan tentang praktek monopoli ini yaitu:19

1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi;

2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi;

3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat; dan

4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.

Hukum Persaingan adalah suatu elemen yang esensial dalam perekonomian modern sehingga kebutuhan akan hukum persaingan merupakan kebutuhan akan adanya suatu “code of conduct” yang mengarahkan pelaku usaha untuk bersaing secara sehat.20 Peranan hukum dalam persaingan usaha adalah agar terselenggaranya suatu persaingan yang sehat dan adil (fair competition), sekaligus mencegah munculnya persaingan yang tidak sehat (unfair competition), karena persaingan yang tidak sehat hanya akan bermuara pada matinya persaingan usaha yang pada gilirannya akan melahirkan monopoli.21

Undang-Undang Nomor 5/1999 lahir untuk menjadi payung hukum penindakan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia. Secara substansial tindakan anti persaingan usaha yang sehat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) bab dalam undang-undang ini, yakni: perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan (yang dilarang). Kemudian sebagai

18 Indonesia A, Op. Cit. Pasal 1 angka 2.

19 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hlm.17-18.

20 Ningrum Natasya Sirait A, Op.Cit. hlm.17.

21 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit. hlm.107.

(29)

upaya penegakan atas sustansi norma tersebut diatas maka dalam undang- undang ini juga diakomodir ketentuan norma berkenaan dengan sanksi bagi pelanggar, prosedur penegakan serta otoritas yang berwenang untuk menegakkannya.

Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha.22 Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.23 Sebagai wujud pemenuhan titah Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5/1999, Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha membentuk KPPU sebagai lembaga independen yang mengawasi jalannya persaingan usaha di Indonesia melalui Undang- Undang Nomor 5/1999.

KPPU memiliki tugas dan kewenangan yang telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5/1999. KPPU melakukan pengawasan terhadap pelaku usaha dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang ini. Teritori pelaksanaan kewenangan KPPU adalah seluruh wilayah Republik Indonesia. Namun, Putusan KPPU Nomor 7/KPPU-L/2007 memperluas lingkup pelaku usaha yang dapat menjadi objek penegakan Undang-Undang Nomor 5/1999 oleh KPPU, dimana pelaku usaha yang dimaksud dapat tidak hanya berasal dari wilayah Republik Indonesia melainkan juga pelaku usaha lintas batas.

22 Indonesia A, Op. Cit. Pasal 30 ayat (1)

23 Ibid., Pasal 34 ayat (1)

(30)

Oleh karena itu, tolok ukur teritori pelaksanaan kewenangan KPPU tidak dapat diukur dengan hanya berdasarkan kedudukan dari pelaku usaha yang bersangkutan, namun juga lingkup kegiatan usaha yang dijalankannya.

Sehingga penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia dapat bersifat ekstrateritorial. Logika hukum dari prinsip ekstrateritorialitas dalam hukum persaingan usaha adalah manakala sebuah holding company memiliki anak perusahaan yang beroperasi di tanah air. Dengan interpretasi Single Economy Entity Doctrine, maka perusahaan induk tersebut dapat diperiksa pula oleh KPPU. Konsekuensi logis dari penerapan Single Economic Entity Doctrine ini adalah pelaku usaha tersebut dapat diminta pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha lain dalam satu kesatuan ekonomi, meskipun pelaku usaha yang pertama beroperasi di luar yurisdiksi hukum persaingan usaha suatu negara, sehingga hukum persaingan usaha dapat bersifat ekstrateritorial.24

F. Metode Penulisan

Penelitian dilaksanakan secara sistematis dan teratur untuk memperoleh data yang valid dan akurat, oleh karena itu metode yang dipergunakan dalam penelitian sangatlah menentukan hasil akhir. Metode penelitian yaitu urutan-urutan bagaimana penelitian itu dilakukan. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

24 Verry Iskandar, “Akuisisi Saham oleh Perusahaan Terafiliasi dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha”, Jurnal Persaingan Usaha, 5, (Jakarta, Juni 2011), hlm.22-23.

(31)

Tipe penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian Hukum normatif memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif. Dalam hal ini tema-temanya mencakup:25 a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematika hukum;

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal;

d. Perbandingan hukum; dan e. Sejarah hukum.

Aspek tema penelitian hukum normatif yang saya lakukan yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum.26 Dalam penelitian ini, adapun undang-undang yang digunakan antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi c. Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai obyek penelitian yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi suatu fenomena sehingga menghasilkan gambaran yang

25 Depri Liber Sonata, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Empiris: Karakteristik Khas dari Metode Meneliti Hukum”, Fiat Justicia Jurnal Ilmu Hukum, 8:1, (Lampung, Januari- Maret 2014), hlm.25-26.

26 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2011), hlm.184. Asas hukum yang menyangkut substansi peraturan perundang-undangan ialah asas-asas hukum yang berkaitan erat dengan materi muatan suatu peraturan perundang- perundangan yang akan dirancangkan. Karena itu maka di sini asas-asas ini juga tidak dapat dibahas, kecuali dengan mengemukakan bahwa substansi peraturan perundang-undangan harus searah dengan sedapat mungkin bahkan menunjang perundang-undangan yang lain, yang materinya juga berkaitan dengan materi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang disebut pertama.

(32)

akurat mengenai penelitian. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.27 Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis dan empiris, yaitu dengan menganalisis penelitian permasalah dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta implementasi dari norma yuridis tersebut dalam preseden atau putusan otoritas yang berwenang untuk itu.

2. Sumber Data

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Data sekunder merupakan data yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain.28 Data sekunder, antara lain mencakup dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data ini berfungsi untuk mencari data awal/informasi, mendapatkan batasan/defenisi/arti suatu istilah. Data sekunder yang dipakai adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki mulai dari UUD NRI 1945, Tap MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan

27 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.11.

28 Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hlm.41.

(33)

aturan lain dibawah undang-undang,29 serta bahan hukum terkait, antara lain: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposium yang dilakukan para pakar30 terkait dengan pembahasan dalam skripsi ini yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier, yang mencakup bahan yang memberikan petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus hukum, jurnal ilmiah, ensiklopedia, dan bahan-bahan lain yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan digunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka (Library Research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Metode Library Research dilakukan dengan

29 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2007), hlm.392.

30 Ibid., hlm.392.

(34)

mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan ini yang bersumber dari peraturan perudang-undangan, buku-buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarjana ekonomi dan hukum yang sudah mempunyai nama besar di bidangnya, koran dan majalah, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.31 Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan (studi pustaka). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Dalam pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilaksanakan juga pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus dalam penelitian normatif bertujuan untuk memperlajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Dalam hal ini akan dianalisis bagaimana penerapan prinsip ekstrateritorialitas dalam implementasi Undang-Undang Nomor 5/1999 dalam Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus Temasek. Selanjutnya data dari sumber yang diperoleh akan diolah dengan memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku, arti-arti dan fakta-fakta yang berhubungan dengan judul skripsi “Penerapan Prinsip

31 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.107.

(35)

Ekstrateritorialitas dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang Kasus Temasek)”.

4. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:

a. Mengumpul bahan primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab yang saling berkaitan satu sama lain.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

(36)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan tentang apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalahan sebagai topik yang akan dibahas secara mendalam, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan skripsi.

BAB II TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

Bab ini akan membahas mengenai tinjauan umum persaingan usaha, sejarah dan perkembangan hukum persaingan usaha di beberapa negara, pendekatan teoritis dalam hukum persaingan usaha serta substansi Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

BAB III INDUSTRI TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA

Bab ini akan membahas mengenai tinjauan umum industri telekomunikasi, sejarah dan perkembangan industri telekomunikasi di Indonesia serta gambaran umum persaingan usaha dalam industri telekomunikasi di Indonesia.

(37)

BAB IV ANALISIS PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DALAM PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR:

7/KPPU-L/2007 TENTANG KASUS TEMASEK

Bab ini akan membahas mengenai tinjauan doktrinal prinsip ekstrateritorialitas dalam hukum persaingan usaha, analisis yuridis teritorialitas tugas dan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kasus posisi Putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang kasus Temasek serta analisis penerapan prinsip ekstrateritorialitas dalam putusan KPPU Nomor: 7/KPPU-L/2007 tentang kasus Temasek.

BAB V PENUTUP

Pada bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan dari pembahasan bab-bab yang sebelumnya dan saran yang berguna bagi perkembangan Hukum Persaingan Usaha dan orang-orang yang membacanya.

(38)

BAB II

TINJAUAN HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Tinjauan Umum Persaingan Usaha

Dunia usaha merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri. Banyak aspek dari berbagai macam dunia lainnya turut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan dunia usaha ini.32 Dalam dunia usaha tidak asing lagi dikenal terminologi persaingan. Makna bersaing diartikan sebagai tindakan yang bersifat individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan sepihak dengan cara melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya.33 Menurut Black’s Law Dictionary Persaingan diartikan sebagai berikut:

The struggle for commercial advantage; the effort or action of two or more commercial interests to obtain the same business from third parties.34

Sesungguhnya bersaing bukanlah sesuatu yang harus dihindari, dikaitkan dengan kegiatan usaha, maka persaingan justru akan memberikan benefit yang luas bagi pihak yang terlibat dalam suatu kegiatan usaha. Disamping kita akan mendapat kesempatan untuk melihat dan sekaligus mendapatkan hasil yang terbaik dari suatu persaingan, maka banyak hasil positif yang kita temukan dalam persaingan. Kita mampu

32 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit. hlm.1.

33 Ningrum Natasya Sirait A, Op.Cit. hlm.15.

34 Bryan A Garner, “Black’s Law Dictionary (Eight Edition)”, hlm.856. diakses dari http://www.republicsg.info/Dictionaries/2004_Black%27s-Law-Dictionary-Edition-8.pdf, pada tanggal 30 Desember 2017 pukul 01.20 WIB.

(39)

melihat dan menikmati hasil yang terbaik, efisien serta strategi terbaik dari suatu persaingan.35 Suatu hal yang patut digarisbawahi berkenaan dengan persaingan dalam dunia usaha adalah apakah para pelaku usaha melakukan persaingan usaha secara sehat atau tidak.

Undang-Undang Nomor 5/1999 tidak memberikan defenisi persaingan usaha atau persaingan usaha yang sehat secara eksplisit. Pasal 1 angka 6 undang-undang ini hanya mendefenisikan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Apabila ditafsirkan secara a contrario36 maka berdasarkan pengertian diatas akan diperoleh pengertian persaingan usaha yang ideal (sehat) yakni persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara jujur dan mendukung persaingan.

Persaingan usaha yang sehat akan memberikan akibat positif bagi para pelaku usaha, sebab dapat menimbulkan motivasi atau rangsangan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, inovasi dan kualitas produk yang dihasilkannya.37 Selain menguntungkan bagi para pelaku usaha, tentu saja konsumen memperoleh manfaat dari persaingan usaha yang sehat itu, yaitu adanya penurunan harga, banyak pilihan, dan peningkatan kualitas

35 Ibid., hlm.15.

36 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984. hlm.69. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran) ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu Pasal dalam undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh Pasal yang termasuk atau dengan kata lain berada diluar Pasal tersebut.

37 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit. hlm.3.

(40)

produk. Pada intinya muara yang diharapkan dari persaingan usaha yang sehat adalah tercapainya pasar yang kompetitif atau dikenal dengan pasar persaingan sempurna.38 Suasana (atmosphere) yang kompetitif adalah syarat mutlak bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang efisien, termasuk proses industrialisasinya. Dalam pasar yang kompetitif perusahaan-perusahaan akan saling bersaing untuk menarik lebih banyak konsumen dengan menjual produk mereka dengan harga yang serendah mungkin, meningkatkan mutu produk, dan memperbaiki pelayanan mereka kepada konsumen.39 Sebaliknya dalam pasar dengan persaingan usaha tidak sehat maka akan ditemui negasi dari persaingan usaha yang sehat. Menurut Black’s Law Dictionary persaingan usaha tidak sehat (Unfair Competition) adalah:

Dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce; esp., the practice of endeavoring to pass off one's own goods or products in the market for those of another by means of imitating or counterfeiting the name, brand, size, shape, or other distinctive characteristic of the article or its packaging.40

Persaingan usaha yang tidak sehat akan bermuara pada terjadinya praktek yang menjurus ke arah monopoli. Richard Posner mengajukan argumen yang tetap dianggap berlaku sampai saat ini mengenai akibat dari

38 Dina Amalia, “Pengertian dan Ciri-Ciri Pasar Persaingan Sempurna”, diakses dari https://www.jurnal.id/id/blog/2017/pengertian-dan-ciri-ciri-pasar-persaingan-sempurna pada tanggal 30 Desember 2017 pukul 00.07 WIB. Pasar persaingan sempurna adalah suatu pasar di mana jumlah penjual dan pembeli (konsumen) sangat banyak dan produk atau barang yang ditawarkan atau dijual sejenis atau serupa. Pasar persaingan sempurna merupakan pasar di mana penjual dan pembeli tidak dapat memengaruhi harga, sehingga harga di pasar benar-benar merupakan hasil kesepakatan dan interaksi antara penawaran dan permintaan.

39 Susanti Adi Nugroho, Loc.Cit.

40 Bryan A Garner, Op.Cit. hlm.4747.

(41)

terjadinya monopoli yang merugikan masyarakat secara sosial maupun ekonomi yaitu:41

1. Terjadinya perpindahan kesejahteraan dari konsumen kepada produser mengakibatkan re-distribusi yang tidak adil karena kesejahteraan hanya dinikmati oleh sekelompok orang saja (pemegang saham dari perusahaan monopoli tersebut). Dalam hal ini keuntungan monopoli akan dipergunakan untuk mempertahankan posisi monopolis yang bersangkutan.

2. Monopoli akan mengakibatkan perusahaan yang bersaing berupaya menjalin kerjasama dengan jalan memfasilitasi lobby atau upaya mempengaruhi proses legislasi untuk proteksi dalam bentuk peraturan yang mempersulit masuk pasar, pengecualian dari undang-undang (exemption).

Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di antaranya adalah:42

a. Kebijaksanaan perdagangan

b. Pemberian hak monopoli oleh pemerintah c. Kebijaksanaan investasi

d. Kebijaksanaan pajak, dan

e. Pengaturan harga oleh pemerintah

Belajar dari pengalaman pahit akan krisis ekonomi di Indonesia pasca rezim orde baru, dimana kekuatan ekonomi dipegang dan dikendalikan oleh pihak tertentu dengan kebijakan anti persaingan demi kepentingan kroninya yang justru menyebabkan runtuhnya pertahanan ekonomi Indonesia sebagai efek domino dari krisis moneter yang terjadi di Thailand. Hal ini menunjukkan bagaimana seharusnya peran pemerintah dalam menanggulangi dan membatasi monopoli dalam kegiatan usaha, bukan malah turut serta memperparah kondisi dengan mendukung serta membuat kebijakan pro monopoli untuk kepentingan pihak tertentu.

41 Ningrum Natasya Sirait A, Op.Cit. hlm.53-54.

42 Muliyawan, “Persaingan usaha tidak sehat dalam tinjauan hukum”, diakses dari http://www.pn-palopo.go.id/index.php/berita/artikel/222-persaingan-usaha-tidak-sehat-dalam- tinjauan-hukum pada tanggal 30 Desember 2017 pukul 10.37 WIB.

(42)

B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Persaingan Usaha di Beberapa Negara

Lahirnya Undang-Undang 5/1999 menjadi cikal bakal lahirnya Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Hadirnya cabang hukum ini dalam tatanan hukum perekonomian Indonesia merupakan langkah represif dari terjun bebasnya perekonomian negara-negara asia tenggara pada ahkir masa orde baru. Indonesia mau tidak mau menormakan pengaturan tentang persaingan usaha dalam hukum positifnya. Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara lain telah memiliki visi akan urgensi hukum antimonopoli sehingga telah memiliki hukum antimonopoli di negaranya. Berikut ini akan dibahas sejarah dan perkembangan hukum antimonopoli di beberapa negara.

1. Amerika Serikat

Secara historis, selaku negara penganut common law Amerika Serikat telah memiliki preseden terhadap penegakan hukum persaingan usaha. Hukum persaingan usaha (Antitrust Law) di Amerika Serikat telah dikenal sejak lama, bahkan telah ada sebelum berlakunya Sherman Act pada tahun 1890, di mana pengadilan Amerika Serikat telah memberikan putusan-putusan mengenai larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan common law.43 Lahirnya undang-undang berkenaan dengan antitrust di Amerika Serikat pada dasarnya merupakan reaksi terhadap keluhan-keluhan

43 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2008). hlm.137-138.

(43)

masyarakat atas atas praktik-praktik trust. Pada akhir abad ke-19-an di Amerika Serikat banyak praktik bisnis yang berwujud monopoli pada perusahaan-perusahaan yang mendominasi bidang manufakturing dan pertambangan ataupun perusahaan-perusahaan dalam bentuk holding company. Pengertian trust berasal dari peristilahan hukum yang berkaitan dengan penyatuan usaha (business incorporation) yang disebut trusteeship, yang melakukan aktivitas berupa kontrol atas usaha dan industri secara terkonsolidasi dengan melalui penguasaan atas saham-saham sebagai hasil pertukarannya dengan bentuk sertifikat trust (trust certificate).44

Sebagai wujud perlindungan terhadap kepentingan masyarakat atas praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Amerika, pengadilan telah memutus beberapa perkara berkenaan dengan itu, dari bidang perdagangan gula sampai daging sapi, proses merger dan konsolidasi berlangsung dan membawa seluruh industri menjadi berada di bawah kontrol kekuasaan segelintir “orang kuat”. Minyak dan baja, yang menjadi tulang punggung industri berat Amerika Serikat berada di bawah penguasaan raksasa bisnis Jhon D. Rockfelfer dan J.P Morgan. Kesepakatan trust di antara mereka dapat menentukan harga pada setiap tingatan.45 Kasus lainnya yang menandai hadirnya antitrust law di Amerika Serikat adalah Kasus Mitchel v Reynold yang menjadi cikal bakal prinsip Rule of Reason lahir.

44 Ibid.,hlm.38.

45 Ibid.,hlm.39

(44)

Amerika Serikat dalam hukum positifnya mengenal undang- undang antitrust yang berkembang dalam kurun waktu 100 (seratus) tahun dimulai sejak tahun 1890 yakni sebagai berikut:

a. Act to Protect Trade and Commerce Againts Unlawful Restraints and Monopolies 1890 (Sherman Act)

Sherman Act merupakan produk undang-undang antitrust pertama di Amerika Serikat sebagai jawaban atas permasalahan persaingan usaha tidak sehat. Lahirnya undang-undang ini tentu bertubrukan dengan sistem hukum common law yang tunduk pada preseden bukan undang-undang. Oleh sebab itu, dalam penegakan undang-undang ini pengadilan diberikan kewenangan yang luas untuk melarang perilaku bisnis tertentu46, hal ini untuk tetap mengoptimalkan peranan peradilan dalam memberantas praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Antitrust Law dianalogikan sebagai Magna Charta47 dalam dunia perdagangan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat. Hak atas persaingan usaha yang sehat dalam dunia bisnis disetarakan dengan hak asasi manusia dalam kehidupan ketatanegaraan. Hal ini menunjukkan bagaimana persaingan usaha dijunjung tinggi dalam hukum negara ini.

46Susanti Adi Nugroho, Op.Cit. hlm.29.

47Magna Carta, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Magna_Carta pada tanggal 06 Januari 2017 pukul 16.21 WIB. Magna Carta adalah piagam yang dikeluarkan di Inggris pada tanggal 15 Juni 1215 yang membatasi monarki Inggris, sejak masa Raja John, dari kekuasaan absolut.

(45)

b. Act to Supplement Existing Laws Againts Unlawful Restraints and Monopolies 1914 (Clayton Act)

Implementasi Sherman Act banyak mengalami tubrukan dengan lembaga peradilan. Clayton Act diundangan guna meluruskan dan melengkapi antitrust law di Amerika Serikat terutama terhadap praktik-praktik yang bersifat ofensif (offensive practices) termasuk price discrimination.48 Menurut Clayton Act, ada 4 (empat) tindakan yang dianggap merupakan praktik-praktik bisnis yang masuk ke dalam kategori praktik bisnis yang secara substansial mengurangi persaingan atau cenderung menciptakan monopoli diantaranya:49

1) Melakukan tindakan diskriminasi harga (Price Discrimination) (Pasal 2).

2) Pengikatan kontrak dan perjanjian eksklusif (tying and sales and exclusive dealings) (Pasal 3).

3) Melakukan merger, yakni penggabungan perusahaan yang menimbulkan monopoli (mergers with or acquisitions of competitors) (Pasal 7).

4) Interlocking directorates, yakni menduduki jabatan direksi yang merangkap pada satu atau lebih perusahaan yang saling bersaing (Pasal 8).

c. Act to Create a Federal Trade Commission, to Define Its Power and Duties, For Other Purposes 1914 (Federal Trade Commission Act)

Federal Trade Commission (FTC) adalah lembaga sejenis KPPU di Amerika Serikat. Eksistensi dan lahirnya lembaga ini dipelopori melalui melalui undang-undang ini. Menurut The Federal Trade Commission Act, FTC adalah suatu badan (agency)

48 Hermansyah, Op.Cit. hlm.31.

49 Susanti Adi Nugroho, Op.Cit. hlm.32

Referensi

Dokumen terkait

Smart Telecom, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang peranan KPPU terhadap kasus pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

3.2.1.1 Bahwa yang dimaksud pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena perjanjian ini dilakukan di antara

Keterlibatan pemerintah dalam mengatur ekonomi nasional dimaksudkan sebagai usaha untuk menghindari terjadinya suatu kondisi free fight liberalism , etatisme ,

Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang

Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai

Terkait dengan pelanggaran Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam putusannya,

15 Proses Hukum di KPPU Pemeriksaan Lanjutan: Pelaku usaha dan atau pihak lain yg diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yg diperlukan dalam penyelidikan & pemeriksaan {Pasal 41