35 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data
1. Proses Kreatif Pengarang
R. Giryadi merupakan salah satu sastrawan di Indonesia yang memiliki minat pada dunia teater. R. Giryadi memiliki nama lengkap Rakhmat Giryadi, lahir di Blitar, 10 April 1969 dan meninggal pada tanggal 8 Juli 2019. Ia merupakan lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya pada tahun 1994.
Bergabung dengan teater Institut Surabaya pada tahun 1990. Akan tetapi sudah aktif di Blitar dengan teater Gumyek pada tahun 1985. Pada tahun 1992-1993 menjabat sebagai ketua umum teater Institut Surabaya. Selama perjalannya menjadi seorang sastrawan, ia bukan hanya bergiat pada dunia teater. Ia juga giat menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya sering dibicarakan dalam pelbagai kesempatan dan juga dipublikasikan di media massa seperti Horison, Surabaya Post, Jawa Pos, Surya, Suara Karya, Sinar Harapan, Majalah Budaya Gong, Kompas (Jawa Timur), Suara Merdeka, Aksara, Penjebar Semangat, dan Karya Darma. Sebelum meninggal, R. Giryadi merupakan ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jawa Timur dan merupakan wartawan harian Surabaya Post.
Selama perjalanannya sebagai seorang sastrawan, R. Giryadi telah banyak menciptakan karya-karya sastra. Beberapa karya yang pernah diciptakan diantaranya adalah: 1) Buku kumpulan cerpen yang berjudul Mimpi Jakarta (2006); 2) pelbagai puisi yang termuat dalam kumpulan puisi Luka Waktu (1998), Duka Atjeh, Duka Kita Bersama (2004), Malam Sastra Surabaya (Malsasa 2005), dan Malam Sastra Surabaya (Malsasa 2007); 3) naskah drama yang pernah digarap seperti Orang-orang Bawah Tanah (1994), Monolog Provokator (1996), Monolog Peperangan (2000), Biografi Kursi Tua (2001), Monolog Teriakan-teriakan Sunyi (2004), Retorika Lelaki Senja (2005), dan Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh (2007); dan 4) naskah drama yang ditulis Orang-orang Bawah Tanah (1994), Orde Mimpi
commit to user
(1997), Monumen (1997), Serpihan Kaca Pecah (1997), Istana Maya (1998), dan Terompet Senjakala (2003).
B. Hasil Penelitian
Naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh dianalisis menggunakan pendekatan feminisme sastra. hasil temuan dalam penelitian ini meliputi: 1) analisis struktur naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh; 2) bentuk marginalisasi yang diterima tokoh Nyai Ontosoroh; 3) bentuk subordinasi yang diterima tokoh Nyai Ontosoroh; 4) bentuk stereotipe gender yang diterima tokoh Nyai Ontosoroh; 5) bentuk kekerasan yang diterima tokoh Nyai ontosoroh; 6) bentuk beban kerja yang diterima tokoh Nyai Ontosoroh; 7) bentuk perlawanan yang dilakukan oleh tokoh Nyai Ontosoroh; 8) pemanfaatan penelitian mengenai Feminisme sastra dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh sebagai bahan ajar.
1. Struktur naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi
a. Tema
Tema merupakan unsur penting dalam cerita. Tema merupakan pokok pikiran sebuah cerita. Tema dapat pula disebut sebagai bahan utama pembentuk sebuah alur. Di dalam tema ini lah kemudian akan ditemukan kesimpulan cerita. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tema merupakan nyawa dari sebuah cerita. Naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem:
Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi memiliki tema tentang ketidakadilan gender dan perlawanan atas ketidakadilan yang diterima. Ketidakadilan gender tersebut diterima oleh Sanikem, Nyai Ontosoroh kecil, ia dipaksa oleh Ayahnya sendiri untuk dijadikan gundik Tuan Besar Mellema.
“Betul saya akan menjadi juru Bayar Tuan? Ah, saya senang sekali.
Juru Bayar adalah pekerjaan yang sudah saya impikan bertahun-tahun.
Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya.
Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. Terimalah. (kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah nak! Dia adalah Tuan Besar Mellema.”
(Giryadi, 2007: 4)
commit to user
Atas perlakuan yang ia terima ketika ia remaja, Sanikem bertekad untuk melawan keadaan tersebut dengan sedikit demi sedikit mengembalikan harga dirinya. Ia mempelajari banyak hal selama hidup bersama Tuan Besar Mellema.
“Segala yang saya pelajari selama hidup bersama Tuan Besar Mellema, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. “ (Giryadi, 2007: 8)
Puncak dari perlawanan Nyai Ontosoroh adalah ketika ia berusaha mempertahankan haknya sebagai Ibu di persidangan. Ia tidak gentar menyuarakan opini-opininya.
“Apa karena Annelies indo? Tuan Minke anak bangsawan? Jadi Annelies punya kedudukan sperti orang berdarah Eropa? Tetapi Annelies sayalah yang melahirkan, membesarkan, dan mendidiknya tanpa bantuan satu sen pun dari Tuan-Tuan yang terhormat.” (Giryadi, 2007:26)
Perlawanan yang ia tunjukkan di depan Hakim, Jaksa, dan seluruh petinggi hukum Belanda mewakili gambaran keseluruhan sikap Nyai Ontosoroh. Berdasarkan beberapa uraian yang didukung oleh kutipan dalam naskah drama, naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh memiliki tema sebuah ketidakadilan yang menumbuhkan
perlawanan.
b. Alur cerita
Alur cerita dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi dibangun dengan konsistensi yang baik oleh penulis. Tiap-tiap peristiwa yang tergambar berurutan menghasilkan sebuah jalan cerita yang apik. Perkembangan emosi dan pemikiran tiap tokoh dibuat sesuai dengan struktur cerita.
Naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh memiliki alur maju. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dilukiskan secara kronologis, peristiwa pertama diikuti peristiwa-peristiwa selanjutnya secara berurutan.
Dalam membentuk sebuah cerita yang utuh, alur atau plot cerita terbagi dalam commit to user
beberapa tahap yaitu: eksposisi, komplikasi, klimaks, dan resolusi. Analisis tahapan alur cerita dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh dapat dipaparkan sebagai berikut.
1) Eksposisi
Eksposisi merupakan awal dari sebuah alur dalam cerita. Eksposisi biasanya ditandai dengan menceritakan setting dan tokoh sentral dalam cerita. Cerita dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh diawali dengan dibawanya Sanikem kepada tuan Besar Mellema untuk ditukarkan dengan jabatan dan uang oleh ayah kandungnya sendiri. Meskipun telah melakukan penolakan, Ayahnya tetap bersikeras untuk membawa Sanikem kepada Tuan Besar Mellema. Mengingat luka yang ia terima ketika remaja, Sanikem mengubah namanya. Ia tak ingin lagi dikenal sebagai Sanikem, ia menjadi Nyai Boederij Buitenzorg atau yang lebih dikenal sebagai Nyai Ontosoroh.
“Ya, mereka telah membikin saya menjadi Nyai begini. Maka sya harus jadi Nyai, jadi budak belian yang baik, Nyai yang sebaik- baiknya.” (Giryadi, 2007: 6)
Berdasarkan pada uraian di atas dan didukung oleh kutipan naskah drama yang ditemukan, maka dapat disimpulkan bahwa tahap eksposisi dalam naskah drama ini adalah ketika Sanikem (Nyai Ontosoroh muda) dipaksa oleh Ayahnya untuk “dijual” kepada Tuan Besar Mellema.
Adegan ini merupakan awal kisah Sanikem melewati hari-harinya menjadi seorang gundik.
2) Komplikasi
Pada tahap ini dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem:
Nyai Ontosoroh mulai nampak permasalahan yang berkaitan dengan tokoh cerita. Permasalahan diantara Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema berawal dari keinginan Nyai Ontosoroh untuk mendaftarkan anak-anaknya agar tercatat sebagai anak sah darinya dan Tuan Besar Mellema. Akan tetapi, pengadilan Belanda hanya menganggap bahwa hanya Tuan Besar
commit to user
Mellema yang dianggap sebagai orang tua sah dari Robert dan Annelies.
Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Itu sudah saya pikirkan sejak semula. Kemarin aku datang ke pengadilan untuk meminta pengakuan. Ternyata dengan campur tangan hukum, justru Robert dan Annelies tetap dianggap anak tidak sah dan hanya diakui sebagai anakku, anak Tuan Mellema.”
(Giryadi, 2007: 16)
Konflik terus berkembang ketika tiba-tiba datang seorang pemuda yang mengaku sebagai anak Tuan Besar Mellema. Ia aadalah Mauritz Mellema, anak Tuan Besar Mellema dengan wanita lain yang bernama Mevrow Amelia Mellema Harmes. Mauritz menuntut Tuan Besar Mellema atas kesalahannya di masa lalu yang telah menelantarkan ia dan ibunya.
“Aku tidak datang untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting dari pada duduk. Dengarlah, Tuan Mellema! Ibuku, Mevrow Amelia Mellema Hermes, setelah tuan tinggalkan secara pengecut, harus membanting tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku sampai aku berhasil menjadi insinyur. Tuan telah tinggalkan Mevrow Amelia Hermes, ibuku, dengan satu tuduhan berbuat serong. Aku anaknya, ikut merasa terhina. Tuan tak pernah mengajukan soal ini ke pengadilan. Tuan tidak pernah memberikan kesempatan kepada ibuku untuk membela diri. Tuan seenaknya saja menggantungkan perkara ibuku, sehingga ibuku susah karenanya. Seharusnya ibuku bisa kawin lagi dan hidup bahagia.” (R. Giryadi, 2007: 18)
Berdasarkan uraian dan didukung oleh kutipan yang ditemukan, tahap komplikasi pada naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh terjadi dalam beberapa adegan. Konflik bermula ketika Nyai Ontosoroh mengusulkan agar kedua anaknya didaftarkan sebagai anak syah Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema, akan tetapi hukum Belanda berpendapat lain. Annelies dan Robert Mellema hanya dianggap anak sah dari Tuan Besar Mellema.
Konflik berkembang ketika Mauritz Mellema datang. Mauritz yang merupakan anak Tuan Besar Mellema dan Mevrow Amelia Mellema Harmes.
Mauritz datang untuk menuntut keadilan atas perbuatan yang dilakukan oleh Tuan Besar Mellema di masa lalu. Mauritz yang merasa bahwa selama ini Ibunya menderita menuntut balas Tuan Besar Mellema, atas perbuatan commit to user
Mauritz inilah tahap cerita Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh memasuki tahap klimaks.
3) Klimaks
Klimaks merupakan titik puncak pada sebuah cerita. Pada tahap ini, konflik berada pada titik kegawatan. Dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi, titik puncak cerita terjadi ketika Tuan Besar Mellema pergi ke tempat pelacuran milik Babah Ah Tjong.
Kedatangan Mauritz ternyata membawa dampak besar pada keadaan rumah tangga Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema. Setelah tertekan dengan masalah hukum kedua anaknya, kedatangan Mauritz justru menambah masalah bagi Tuan Besar Mellema, akhirnya ia melarikan diri ke tempat plesiran milik Babah Ah Tjong. Pada saat yang bersamaan, Robert juga datang di tempat Babah Ah Tjong. Di tempat plesiran itulah kemudian Tuan Besar Mellema meninggal dunia. Meninggalnya Tuan Besar Mellema ini sekaligus menjadi tahap puncak konflik cerita.
“Tuan! Tuan Mellema! (menggoyang-goyang tubuh. Mendengar napas) Tuan Mellema mati! (para pelacur segera berhamburan menjauh) Nyai! Nyai! Tuan Mellema Nyai!”
....
Mayat itu kemudian ditutup dengan jarit sidomukti. Minke, Annelies duduk di dekat mayat Tuan Besar Mellema. Para pelacur dan orang- orang juga duduk dengan ta’jim. (Girydi, 2007: 24)
Berdasarkan uraian dan didukung oleh kutipan yang terdapat dalam drama tersebut, dapat disimpulkan bahwa titik puncak pada cerita Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh adalah saat Tuan Besar Mellema meninggal di tempat pelacuran milik Babah Ah Tjong. Kematian Tuan Besar Mellema yang mendadak melahirkan praduga-praduga dari pihak Belanda kepada Nyai Ontosoroh.
4) Resolusi
Tahap resolusi merupakan tahap penyelesaian dalam sebuah cerita.
Pada tahap ini, konflik yang terjadi pada tahap sebelumnya diselesaikan commit to user
satu per satu. Tahap resolusi pada naskah drama ini dimulai saat Nyai Ontosoroh mendatangi persidangan hak asuh Robert dan Annelies.
“Tetapi Annelies, sayalah yang melahirkan, membesarkan, dan mendidiknya, tanpa bantuan se sen pun dari tuan-tuan yang terhormat. Siapa yang menjadikan saya gundik? Siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa yang dipertuan! Mengapa kami ditertawakan dan dihinakan? Apakah tuan-tuan menghendaki anak saya juga jadi gundik? Kalianlah yang membuat saya menjadi nyai, menjadi gundik!” (Giryadi, 2007: 26) Akan tetapi, meskipun Nyai Ontosoroh telah berusaha untuk mempertahankan hak asuhnya terhadap Annelies, hukum Belanda tidak berpihak padanya. Annelies harus pergi ke Belanda meninggalkan suaminya dan juga Nyai Ontosoroh. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Aku lebih menyukai tanah yang bergunung dan pantai-pantai daripada Nederland. Tetapi persengkokolan hukum ini telah membuat aku tidak punya pilihan apa-apa.” (Giryadi, 2007: 27) Meskipun berakhir dengan kepergian Annelies ke Belanda, dengan sekuat tenaga dan pendiriannya Nyai Ontosoroh dan Minke adalah pemenangnya. Justru merekalah yang telah memenangkan persidangan dengan kemenangan yang lebih terhormat. Meskipun telah dicurangi oleh hukum Eropa, mereka telah berhasil mengungkapkan semua kebenaran yang terjadi.
“Kita telah melawan, Nak Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat- hormatnya.” (Nyai Ontosoroh: 27)
Tahap resolusi merupakan tahap penyelesaian konflik dalam sebuah cerita. Tahap resolusi berkaitan dengan tahap sebelumnya, yaitu tahap komplikasi hingga klimaks. Tahap resolusi pada naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh ditandai dengan adegan di persidangan Belanda. Bagian akhir dalam tahap resolusi dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh digambarkan dengan kepergian Annelies ke Belanda meninggalkan Minke dan Nyai Ontosoroh. commit to user
c. Penokohan
Sebuah naskah drama terdiri dari beberapa tokoh untuk membangun sebuah cerita. Tokoh dalam sebuah cerita sendiri dibagi dalam beberapa karakter. Tokoh dapat dibedakan berdasarkan posisinya dalam sebuah cerita. Waluyo ( 2003: 16) mengklasifikasi tokoh menjadi tiga yaitu: tokoh sentral, tokoh utama, dan tokoh pembantu. Dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh tokoh-tokohnya dibagi menjadi.
1. Tokoh Sentral a) Nyai Ontosoroh
Sesuai dengan judulnya, tokoh sentral pertama dalam naskah drama ini adalah Nyai Ontosoroh. Sebagi tokoh sentral, Nyai Ontosoroh berperan sebagai penggerak cerita sekaligus sebagai penentang dari tokoh antagonis. Diceritakan bahwa Nyai Ontosoroh adalah gundik Tuan Besar Mellema. Meskipun seorang gundik, ia sangat piawai dalam urusan bisnis hingga mengurus pekerbunan.
“Sebaliknya, orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya:
Nyai Ontosoroh, gundik yang banyak dikagumi orang.
Rupawan, berumur tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan dan pertanian besar itu.” (Giryadi, 2007: 10)
Nyai Ontosoroh merupakan tokoh yang memiliki hubungan dengan setiap tokoh yang diceritakan, sehingga watak dan perilaku Nyai Ontosoroh juga digambarkan oleh tokoh lain. berdasarkan urian dan didukung dengan kutipan naskah drama tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Nyai Ontosoroh adalah seorang gundik yang memiiki banyak kemampuan.
b) Tuan Besar Mellema
Tokoh selanjutnya adalah Tuan Besar Mellema. Ia berperan sebagai tokoh antagonis, penentang tokoh Nyai Ontosoroh. Ia digmbarkan sebagai Tuan Besar dari Belanda, ia memiliki perkebunan yang luas dan perusahaan yang besar. commit to user
“Hahaha tak mungkin kau seperti wanita Belanda. Juga tidak perlu. Kau cukup seperti sekarang. Kau lebih mampu dari rata- rata mereka, apalagi yang peranakan. Kau lebih cerdas dan lebih baik dari mereka semua. Tapi, kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai. Muka yang kusut dan pakaian yang berantakan juga mencerminkan perusahaan yang kusut dan berantakan.”
(Giryadi, 2007: 7)
Tuan Besar Mellema merupakan tokoh penentang Nyai Ontosoroh. Berdasarkan deskripsi dan didukung oleh kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tokoh sentral dalam naskah drama ini adalah Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema. Kedua tokoh ini memiliki peran yang saling bertolak belakang.
2. Tokoh Utama
Tokoh utama berbeda dengan tokoh sentral. Tokoh utama berperan sebagai tokoh yang mendukung ataupun menentang tokoh sentral. Tokoh utama juga merupakan tokoh perantara tokoh sentral dalam sebuah cerita. Dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi, tokoh utamanya terdiri dari Sastrotomo, Istri Sastrotomo, Robert, Annelies, Minke dan Mauritz.
a) Sastrotomo
Selain Tuan Besar Mellema, terdapat pula tokoh antagonis lain yaitu Sastrotomo. Sastrotomo merupakan ayah dari Sanikem.
Dikarenakan ketamakan Sastrotomo lah Sanikem menjadi gundik Tuan Besar Mellema. Ia beralasan bahwa dengan menukarkan Sanikem, ia akan mendapatkan uang dan jabatan baru di perkerjaannya.
“Sastrotomo! Ini berisi golden. Kelak, setelah kowe lulus dalam pemagangan selama dua tahun, kowe akan jadi Juru Bayar.”
(Giryadi, 2007: 4)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa Sastrotomo adalah gambaran seorang Ayah yang rakus. Ia bukan hanya menjual anak semata wayangnya demi uang, ia juga menjual Sanikem demi jabatan yang dijanjikan oleh Tuan Besar Mellema. commit to user
b) Istri Sastrotomo
Terdapat tokoh protagonis lain dalam cerita ini yaitu ibu Sanikem, atau dalam naskah ini disebut dengan Istri Sastrotomo.
Berbeda dengan Sastrotomo, sebagai seorang ibu yang telah mengandung dan membesarkan Sanikem, ia merasa enggan untuk
“menjual” anak kandungnya. Akan tetapi sekuat apapun sang Ibu mencegah, keputusan Sastrotomo telah bulat. Sanikem tetap diberikan kepada Tuan Besar Mellema. Hal tersebut dibuktikan dengan potongan dialog berikut.
“Jangan Pak, jangan! Kenapa Ikem kau serahkan kepada laki- laki raksasa itu? Oh, Pak, Pak. Kenapa kau tega Pak?”
(Giryadi, 2007: 4)
Ibu kandung Sanikem atau pada naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh disebut dengan Istri Sastrotomo merupakan gambaran sosok Ibu yang penyanyang.
Berbeda dengan suaminya, ia tidak rela jika anaknya dijadikan gundik.
c) Robert
Robert merupakan anak pertama dari perkawinan Tuan Besar Mellema dan Nyai Ontosoroh. Robert memiliki watak yang bertolak belakang dengan adiknya, Annelies. Robert sangat mendewakan orang-orang Belanda dan begitu menghina pribumi, padahal dari rahim seorang pribumi ia lahir. Ia selalu menyebut dirinya bukan pribumi, ia lebih senang disebut sebagai seorang Indo. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Namanya Robert Mellema. dia putra Mellema yang tidak ingin disebut pribumi. Padahal dari perut pribumilah dia dilahirkan di Bumi ini.” (Giryadi, 2007: 10)
“Aku bukan pribumi! Aku tidak peduli sapi-sapi. Aku tidak peduli pribumi. Aku mau berlayar ke negeri jauh. Ke Eropa.
Aku bukan pribumi.” (Giryadi, 2007: 16) commit to user
Robert adalah gambaran seseorang yang selalu membanggakan bangsa Barat. Ia bukan hanya bangga dengan bangsa Barat, ia juga enggan disebut sebagai pribumi.
d) Annelies
Annelies merupakan anak kedua dari perkawinan Tuan Besar Mellema dan Nyai Ontosoroh, serta adik dari Robert Mellema.
Berbeda dengan kakaknya, Annelies begitu sayang dengan mamanya.
Ia tidak membenci pribumi, justru sebaliknya ia senang. Ia begitu bangga karena mamanya seorang pribumi yang mandiri.
“Tidak, oh mengapa kau pucat? Pribumi juga baik. Ibu saya juga pribumi. Pribumi Jawa.” (Giryadi, 2007: 11)
Berdassrkan kutipan tersebut, digambarkan bahwa Annelies memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sang kakak. Jika Robert membanggakan bangsa Eropa, Annelies justru lebih bangga menjadi pribumi. Ia bangga dilahirkan dari rahim seorang pribumi.
e) Mauritz
Mauritz merupakan anak dari perkawinan Tuan Besar Mellema dan istri pertamanya, Mevrow Amelia Mellema-Hermes. Berbeda dengan Nyai Ontosoroh, Mevrow dicampakkan oleh Tuan Besar Mellema ketika mengandung Mauritz. Hal tersebut yang membuat Mauritz tidak terima dengan perlakuan Tuan Besar Mellema.
Ketidakterimaan itu juga yang kemudian membuat Mauritz menuntut keadilan. Ia juga memiliki watak pendendam.
“Aku datang tidak untuk duduk di kursi ini. Ada sesuatu yang lebih penting dari pada duduk. Dengarlah, Tuan Mellema!
Ibuku, Mevrow Amelia Mellema-Hermes, setelah tuan tinggalkan secara pengecut, harus membanting tulang untuk menghidupi aku, menyekolahkan aku sampai aku berhasil menjadi insinyur.” (Giryadi, 2007: 17)
“Sekarang semua sangat jelas, Mauritz Mellema bersekongkol dengan pengadilan Amsterdam untuk menyingkirkan kita.
Merampas semua yang ada.” (Giryadi, 2007: 26) commit to user
Watak Mauritz yang pendendam dibuktikan dengan kutipan pada halaman 26. Rasa sakit hati di masa lalu membuatnya balas dendam.
Ia adalah seseorang yang menyebabkan Nyai Ontosoroh diadili di persidangan Belanda.
f) Minke
Minke merupakan seorang pribumi. Ia adalah anak dari Bupati Brojonegoro. Minke merupakan kekasih dari Annelies. Minke begitu menghormati Nyai Ontosoroh, karena baginya Nyai Ontosoroh merupakan manifestasi seorang perempuan yang kuat dan mandiri.
“Saya telah jatuh cinta. Tak pernah aku jatuh cinta. Tetapi memang dara itu, Annelies, sangat menarik dan cantik tiada banding. Bahkan Sang Ratu Nederland sana kalah. Annelies sangat menarik, menawan.” (Giryadi, 2007: 20)
Minke adalah suami Annelies. Berdasarkan urian dan kutipan naskah drama tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Minke adalah sosok yang sangat mencintai Annelies.
Berdasarkan analisis watak dan di dukung oleh kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh utama dalam naskah drama ini terbagi dalam dua posisi. Posisi pertama adalah tokoh utama yang mendukung Nyai Ontosoroh atau berada dipihaknya, yaitu: Annelies, Minke, dan Istri Sastrotomo (Ibu Nyai Ontosoroh). Posisi selanjutnya yaitu tokoh utama penentang Nyai Ontosoroh. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
Sastrotomo; Robert, dan Mauritz.
3. Tokoh Pembantu a) Darsam
Darsam merupakan pelayan yang dipercaya oleh Nyai Ontosoroh.
Berbeda dengan pelayanan lain di rumahnya yang dipecat oleh Nyai, Darsam tetap dipertahankan. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.
“Kecuali kau Darsam, tetaplah disini. Jagalah saya!” (Giryadi, 2007: 6) commit to user
“Darsam adalah pelayan Mama yang setia.” ( Giryadi, 2007: 11) Kutipan di atas memperkuat fakta bahwa hanya Darsam pelayan yang dipercaya oleh Nyai Ontosoroh. Darsam dipilih menjadi pelayan kepercayaan Nyai Ontosoroh. Darsam juga merupakan pelayan yang setia.
b) Babah Ah Tjong
Babah Ah Tjong merupakan pemilik tempat plesiran. Ia merupakan germo langganan Tuan Besar Mellema dan Robert Mellema.
“Sederet pelacur sedang berpasang-pasangan dengan lelakinya.
Beberapa centeng berjalan kesana-kemari, seorang pemabuk melintas. Tuan Besar Mellema datang disambut gembira oleh Babah Ah Tjong.” (Giryadi, 2007: 20)
Babah Ah Tjong digambarkan sebagai seorang germo pemilik tempat pelacuran yang hanya peduli dengan uang. Pelanggan yang ia sukai adalah Tuan Besar Mellema dan Robert Mellema. Kutipan di atas memperkuat uraian yang telah dijelaskan.
Sesuai dengan perannya sebagai tokoh pembantu, tokoh Darsam dan Babah Ah Tjong merupakan pelengkap dalam cerita ini. Kedua tokoh tersebut sekaligus menjadi penghubung antara tokoh satu dengan tokoh lainnya.
d. Latar
Latar merupakan unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra. Latar mernggambarkan tempat, waktu, dan suasa dalam sebuah cerita. Sejalan dengan hal tersebut, latar dalam sebuah drama dibagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.
a) Latar tempat. Pada umumnya, sebuah karya sastra drama memiliki lebih dari satu latar tempat. Latar tempat dapat terjadi dalam beberapa tempat. Bahkan terkadang, setiap perganti babak, latar tempat juga ikut berganti. Berikut adalah latar tempat yang terdapat dalam naskah
commit to user
drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R.
Giryadi.
1) Pabrik Gula Tulangan.
Pabrik Gula Tulangan yang merupakan tempat tinggal Sanikem, Nyai Ontosoroh kecil.
“Dekat Pabrik Gula Tulangan. Orang-orang sedang bekerja.
Hilir-mudik, membawa karung gula dan juga batangan tebu dengan geledekan.” (Giryadi, 2007: 3)
Pabrik Gula Tulangan sekaligus menjadi latar tempat pertama yang disebutkan dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem:
Nyai Ontosoroh.
2) Rumah Tuan Besar Mellema.
Pada babak 2 latar tempat berubah menjadi rumah Tuan Besar Mellema karena Sanikem telah diserahkan kepada Tuan Besar Mellema. Hal tersebut sesuai dengan kutipan berikut.
“Di sudut lain Tuan Besar Mellema sedang memandang Sanikem yang bongsor dan kelihatan cantik. Beberapa pembantu jalan jongkok, menyediakan minum dan buah- buahan, Sanikem hanya berdiri terpaku di pojok ruang Tuan Besar Mellema.” (Giryadi, 2007: 6)
Rumah Tuan Besar Mellema sekaligus menjadi saksi bisu tumbuhnya sosok Sanikem yang dulu hanya seorang remaja kini telah berubah menjadi sosok yang lebih dewasa.
3) Wonokromo.
Kontrak perusahan pabrik gula dengan Tuan Besar Mellema yang telah habis menyebabkan ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan membeli tanah di Wonokromo.
“Kami harus pindah ke Wonokromo, karena kontrak perusahaan pabrik gula tidak memperpanjang jabatan Tuan Besar. Kami pindah ke Surabaya. Tuan Besar Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, penuh semak belukar dan dekat rumpun-rumpun hutan muda. Sapi yang dibeli dari Australia dipindah kemari.” (Giryadi, 2007: 8) commit to user
Wonokromo juga menjadi tempat Tuan Besar Mellema memulai kembali bisnisnya. Tempat ini seklaigus menjadi awal yang baru bagi keluarga Nyai Ontosoroh dan Tuan Besar Mellema. hal tersebut diperkuat dengan kutipan di atas.
4) Kawasan perkebunan dan peternakan Tuan Besar Mellema.
Tuan Besar memulai kembali bisnisnya. Di Wonokromo, ia tidak hanya memiliki pekerbunan yang luas, lahan peternakannya pun tidak kalah luas.
“Semuanya seratus delapan puluh hektar. Sawah dan ladang, hutan dan semak belum termasuk. Hutan-hutan itu hanya sumber kayu bakar. Ada dua rawa kecil di dekatnya. Di sana ada kandang sapi yang sangat panjang dan juga kuda-kuda.”
(Giryadi, 2007: 11)
Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Tuan Besar Mellema bukan hanya memiliki usaha perkebunan saja. Ia juga mengelola peternakan yang tidak kalah luas dengan perkebunannya. Tempat ini juga merupakan tempat yang pernah dikunjungi oleh Annelies dan Minke. Annelies mengajak Minke untuk berkeliling kawasan pekerbunan dan peternakan milik Ayahnya. Ia juga menjelaskan beberapa usaha yang sedang dikelola oleh keluarganya.
5) Tempat pelacuran Babah Ah Tjong.
Tempat plesiran ini merupakan tempat yang sering dikunjungi oleh Tuan Besar Mellema dan anaknya Robert Mellema.
“Kepada Tuan Hakim saya katakan, saya tidak pernah kenal dengan Babah Ah Tjong. Yang saya tahu, setiap bulan datang tagihan dari rumah plesirannya untuk Tuan Besar Mellema dan anaknya, Robert Mellema.” ( Giryadi, 2007: 25)
“Di rumah pelacuran Babah Ah tjong, Tuan Mellema sedang mabuk berat. Dia sempoyongan, tiba-tiba terhuyung dan jatuh.” (Giryadi, 2007: 23)
commit to user
Tempat ini sekaligus menjadi tempat meninggalnya Tuan Besar Mellema. Hal tersebut diperkuat dengan kutipan naskah drama di halaman 23.
6) Tempat persidangan.
Tempat ini merupakan tempat Nyai Ontosoroh disidang karena diduga telah membunuh Tuan Besar Mellema. Di tempat ini pula Nyai Ontosoroh harus mempertahankan hak asuhnya sebagai ibu kandung Annelies dan Robert Mellema. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut.
“Tetapi baik saya akan jawab agar tuan-tuan tahu, Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, kalian telah membongkar keadaan rumah tangga saya. Saya Sanikem, gundik Tuan Besar Mellema. Sanikem memang hanya seorang gundik, dari gundiknyalah lahir Annelies dan Robert Mellema.”(Giryadi, 2007: 25)
Kematian Tuan Besar Mellema dan hak asuh kedua anaknya membawa Nyai Ontosoroh hingga ke persidangan Belanda. Di persidangan ini Nyai Ontosoroh berusaha untuk tetap mempertahankan haknya sebagai Ibu dan membela dirinya atas tuduhan yang tidak benar.
7) Pelabuhan.
Kecurangan persidangan Belanda menyebabkan Annelies harus meninggalkan Ibu dan suaminya. Bangsa Belanda tetap menganggap bahwa Annelies dan Robert bukan anak sah Tuan Besar Mellema, dengan demikian Annelies harus segera pergi ke Belanda.
“Waktu kurang dua menit. Kapal akan segera berangkat.”
(Giryadi, 2007: 27)
Tempat ini sekaligus menjadi tempat berpisahnya Annelies, Minke dan Nyai Ontosoroh. Pelabuhan merupakan tempat terkahir pertemuan ketiganya, sebelum Annelies meninggalkan tanah Jawa.
commit to user
b) Latar waktu
Latar waktu menunjukkan kapan cerita terjadi. Secara keseluruhan peristiwa dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh terjadi pada sekitar tahun 1930-an. Saat Indonesia masih berada dibawah penjajahan Belanda. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya perbudakan dan juga pergundikan di Indonesia. Pada babak I dijelaskan secara tersirat bahwa masyarakat Indonesia yang menderita karena adanya perbudakan.
“Seorang juragan (mandor) dikawal oleh dua budaknya.
Dengan berkacak pinggang, mandor itu menuding-nuding.
Bahkan terkadang menendang para budak. Sementara di tempat yang berbeda yang berbeda anak-anak perempuan yang masih remaja berlarian. Ibunya mengikuti dnegan isak tangisnya. Seorang laki-laki dengan kasar menangkap satu di antara mereka yang melarikan diri. Anak itu meronta-ronta.
Tak ada yang berani melawan. Mereka hanya bisa menyaksikan dengan sedih. Laki-laki kasar itu menyerahkan anak tersebut kepada seorang mandor. Dengan imbalan satu ketip dua ketip, mereka melepaskan anak itu dibawa mandor, entah kemana?” (Giryadi, 2007:3)
Penggambaran peristiwa dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh tidak diperinci latar waktunya.
Hanya pada beberapa adegan diperjelas dengan kata siang hari.
“Siang hari. Suasana pesta pora perayaan pengangkatan Sri ratu Wilhelmina di Surabaya.” (Giryadi, 2007: 9)
Mengingat bahwa objek penelitian berbentuk naskah drama, penggambaran latar waktu disiratkan dengan keterangan penggunaan lampu sebagai latar cerita. Hal tersebut didukung dengan kutipan drama berikut.
“Sastrotomo meninggalkan panggung. Lighting meremang biru.
Tirai menurun pelan-pelan. Percintaan dibalik tirai.” (Giryadi, 2007: 6)
Penggunaan warna lampu biru untuk menunjukkan malam, lampu dimatikan sejenak untuk pergantian babak ataupun hari dalam cerita, dan lampu kuning cerah untuk menunjukkan latar siang hari.` commit to user
c) Latar suasana
Latar suasana dalam naskah drama tidak seluruhnya ditulis secara tersurat. Berbeda dengan novel maupun cerpen, dalam naskah drama latar suasana juga digambarkan dengan latar musik yang mengiringi peristiwa maupun pengaturan pencahayaan saat pementasan. Dalam naskah ini, terdapat beberapa latar suasana yang diperinci menggunakan kata suasana hening, suasana begitu sibuk, dan suasana pesta pora.
1) Suasana Hening
“Suasana hening. Sastrotomo dan istrinya beringsut pergi, wajahnya penuh duka. Sastrotomo beringsut terus seperti menapaki nasibnya yang tak berujung.” (Giryadi, 2007: 8) Suasan hening terjadi ketika Nyai Ontosoroh memutuskan untuk tidak menemui kedua orang tuanya. Penolakan tersebut disebabkan oleh sakit hati Nyai Ontosoroh di masa lalu. Menurutnya, keputusan untuk tidak menemui kembali kedua orangtuanya adalah sebuah keputusan yang terbaik.
2) Suasana Penuh Cinta
Latar suasana juga digambarkan dengan musik pengiring peristiwa dalam cerita. Musik cinta menggambarkan suasana penuh cinta antara Annelies dan Minke.
“Tangan Annelies membisikkan sesuatu pada Nyai, tiba-tiba Nyai berteriak (Minke.. Minke.. Minke) sebuah musik cinta mengalun merdu.” (Giryadi, 2007: 14)
3) Suasana Sedih
Penggambaran suasana sedih dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh juga menampilkan musik pengiring sebagai pendukung cerita. Hal tersebut didukung dengan kutipan berikut.
commit to user
“Mayat itu kemudian ditutupi jarit Sidomukti. Minke dan Annelies duduk di dekat mayat Tuan Besar Mellema. Para pelacur dan orang-orang juga duduk dengan ta’jim. Musik mengalun lirih sekali. Terdengar lamat-lamat tembang Megatruh.” (Giryadi, 2007: 24)
Musik pengiring adegan kematian Tuan Besar Mellema adalah tembang Macapat yang berjudul Megatruh. Megatruh diambil dari dua kata bahasa Jawa yaitu megat dan ruh. Megat memiliki arti terputus, sedangkan ruh diartikan sebagai jiwa manusia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa tembang Megatruh memiliki arti terputusnya jiwa seseorang dengan raganya.
a. Amanat
Berdasarkan analisi yang dilakukan terhadap naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontsosoroh karya R. Giryadi didapatkan beberapa amanat yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca. R. Giryadi, sebagai seorang penulis ingin menyampaikan bahwa seorang wanita yang menjadi gundik sekalipun tetap memiliki hak sebagai manusia seutuhnya. Ia berhak untuk tetap mempertahankan hak- haknya. Lewat tokoh Nyai Ontosoroh juga kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam hidup, kita tidak harus berpasrah kepada keadaan. Apabila kita memiliki keteguhan dan ketekunan maka kita bisa merubah nasib kita menjadi lebih baik. Lewat tokoh Nyai Ontosoroh, kita juga diajarkan tentang sebuah keberanian untuk menyuarakan kebenaran.
2. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh dimanifestasikan dalam lima bentuk, yaitu: a) marginalisasi; b) subordinasi; c) stereotipe gender; d) kekerasan; dan e) beban kerja.
a) Marginalisasi
Pada umumnya, marginalisasi dapat diartikan tersisih.
Marginalisasi biasanya disebabkan oleh beberapa hal seperti commit to user
penggusuran suatu wilayah, bencana alam, atau proses eksploitasi.
Marginalisasi terhadap perempuan terjadi akibat adanya ketidakadilan gender. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan (Fakih, 2013: 13-15).
Naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh merupakan naskah yang bercerita tentang seorang gadis belia yang menjadi korban dari ambisi Ayahnya. Ia dieksploitasi oleh Ayahnya sendiri, ia dijual kepada Tuan Besar Mellema.
Sanikem dipaksa menjadi gundik agar sang Ayah mendapatkan jabatan sebagai Juru Bayar dan juga sejumlah uang. Tindakan eksploitasi terhadap anak, khususnya pada perempuan digambarkan oleh Sanikem.
“Betul saya akan menjadi Juru Bayar, Tuan? Ah, saya senang sekali. Juru bayar adalah pekerjaan yang sudah saya impikan bertahun-tahun. Bertahun-tahun! Sebagai penggantinya, terimalah persembahan saya. Ini anak saya, Tuan Besar Mellema. terimalah. (Kepada Sanikem) Sanikem, mendekatlah, Nak. Dia adalah Tuan Besar.” (Giryadi, 2007:
4)
“Sampeyan menjadi Juru Bayar, tetapi sampeyan harus membayar mahal dengan mengorbankan masa depan Sanikem. Dia darah daging kita. Tetpai sampeyan tega menjual untuk menjadi gundik demi ambisi sampeyan, Pak.”
(Giryadi, 2007: 5).
Bagi Sastrotomo, Sanikem adalah sebuah barang yang harus dimanfaatkan. Ia sama sekali tidak peduli dengan perasaan anak semata wayangnya, baginya menjadi Juru Bayar adalah segalanya.
Alih-alih bekerja keras, ia lebih memilih untuk menjual anaknya agar mendapatkan posisi pekerjaan yang lebih tinggi.
“Diamlah! Saya punya rencana lain untuk Ikem. Rencana ini pasti akan mengubah hidup kita. Dan tidak ada urusannya dngan lamaran pemuda-pemuda kampung yang pada gudhikan itu. Apa mau kamu melarat dan hanya commit to user
mengandalkan dari penghasian saya sebagai Juru Tulis?”
(Giryadi, 2007: 5)
Tidak seperti seorang pekerja rumah tangga yang dibayar, menjadi gundik tidaklah dibayar. Padahal, menjadi gundik juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus pekerjaan rumah, terlebih lagi menjadi seorang gundik tidaklah memiliki posisi yang aman.
Gundik dapat dijual bahkan dibuang oleh tuannya apabila ia telah bosan.
“Sewaktu-waktu Nyai harus siap dengan kemungkinan Tuannya sudah merasa bosan untuk dicampakkan kembali, menjadi kere, tanpa hak perlawanan sedikitpun. Salah-salah badan bisa diusir dengan semua anak-anaknya sendiri”
(Giryadi, 2007: 6)
Fenomena pergundikan yang pernah terjadi di Indonesia juga merupakan sebuah contoh marginalisasi yang disebabkan oleh eksploitasi dari pihak yang lebih berkuasa. Korban dari adanya marginalisasi pada naskah drama ini merupakan perempuan.
b) Subordinasi
Subordinasi merupakan suatu penilaian atau anggapan bahwa satu jenis kelamin lebih rendah dari jenis kelamin lainnya. Subordinasi umumnya oleh perempuan. Perempuan dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab atas urusan domestic atau reproduksi sedangkan laki-laki bertanggungjawab dalam urusan public atau produksi (Rokhimah, 2014). Subordinasi juga berkaitan dengan istilah The Second Sex atau sang Liyan, yaitu anggapan bahwa jenis kelamin perempuan merupakan jenis kelamin yang tidak penting. Subordinasi membawa anggapan bahwa perempuan tidak mampu memimpin karena dinggap sebagai makhluk yang irrasional atau emosional hingga akhirnya perempuan ditempatkan pada posisi yang kurang penting.
commit to user
Pada naskah drama Hkayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh digambarkan bahwa Sanikem tidak diberikan kesempatan untuk menentukan hidupnya sendiri. Memilki seorang ayah yang berambisi dengan harta dan jabatan membuat Sanikem sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk menentukan hidupnya sendiri.\
Segala hal dalam hidupnya telah diatur dan ditentukan oleh Sastrotomo. Ia tidak dibiarkan untuk memilih laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupnya.
“Betul saya sudah dewasa, tetapi saya punya hak untuk menentukan pilihan.”
“Tak ada kata pilihan! Pemuda-pemuda melarat dan kampungan tak patut untuk dipilih. Yang ada sekarang kau dpilih untuk menjadi istri seorang yang kaya raya. Siapapun orangnya!”
(Giryadi, 2007: 4)
“Tidak seperti Mamamu dulu. Saya tidak punya hak untuk menentukan masa depan saya. Semua telah ditentukan oleh Ayah saya. Mamamu hanya bisa menunggu datangnya seorang laki-laki yang akan mengambilnya dari rumah, entah kemana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat. Ayah saya dan hanya Ayah sasya yang menentukan.” (Giryadi, 2007:
14)
Kutipan naskah drama di halaman 4 dan 14 menguatkan fakta bahwa Nyai Ontosoroh telah mengalami subordinasi, bahkan ketika ia masih remaja. Terlahir sebagai perempuan Jawa, pendapat Sanikem (Nyai Ontosoroh kecil) dipandang sebagai hal yang tidak penting.
Sebaliknya, laki-laki yang juga berperan sebagai Ayah memiliki pendapat yang mutlak untuk diikuti oleh semua anggota keluarga.
Peristiwa ini terjadi ketika Sanikem dipaksa untuk menjadi gundik Tuan Besar Mellema.
c) Stereotipe gender
Stereotipe gender merupakan sebuah keyakinan dalam masyarakat tentang konsepsi laki-laki dan perempuan (Mahendra, 2007: 107). Hal tersebut mengakibatkan adanya ketentuan bahwa laki-
commit to user
laki yang ideal adalah bersifat maskulin, sedangkan permpuan harus feminim (Connell, 2002: 54).
Masyarakat memiliki peran dalam membentuk pola tingkah laku dan ciri fisik yang diharapkan dari seorang laki-laki dan perempuan.
Sehingga kontruksi dari gender berasal dari pola budaya dan tidak terjadi secara alamiah. Berbeda dengan sex (jenis kelamin) yang terjadi secara alamiah, gender dibentuk oleh budaya sosial masyarakat. Dalam stereotipe gender, perempuan dihargai pada kecantikannya, perempuan tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi, perempuan harus mampu mengurus pekerjaan rumah tangga, dan lain sebagainya.
“Hidup menjadi Nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan Tuannya. Dalam segala hal!” (Giryadi, 2007: 6)
“Tapi kau juga harus selalu kelihatan cantik, Nyai.” (Giryadi, 2007: 7)
Pelabelan negatif diterima oleh Nyai Ontosoroh karena statusnya sebagai seorng gundik. Bagi masyarakat, gundik dinilai sangat rendah dan tidak bermartabat. Nyai juga dinilai sebagai seorang perempuan yang tak layak memakai bahasa Belanda meskipun ia mampu melafalkannya dengan baik.
“Tidak berbeda jauh, orang-orang Eropa dan pribumi memandang Nyai sangat buruk.” (Giryadi, 2007: 25)
“Saya sangat pesimis, seorang pribumi seperti saya, apalagi sudah dicap sebagai gundiknya, tidak mungkin menang di pengadilan Eropa. Pengadilan kulit putih.” (Giryadi, 2007: 25)
“Nyai tidak diperkenanakan menggunakan bahasa Belanda.
Nyai pribumi. Nyai harus memakai bahasa Jawa, bahasa bangsamu.” (Giryadi, 2007: 25)
Kutipan di atas mendukung adanya stereotipe gender yang terjadi pada Nyai Ontosoroh. Dalam naskah drama Hikayat Perlwanan Sanikem: Nyai Ontosoroh, diceritakan bahwa seorang commit to user
perempuan harus mampu melakukan segala kegiatan rumah tangga, dilain sisi seorang perempuan uga harus tetap tampil cantik dan rupakawan. Seorang Nyai (perempuan Jawa yang berstatus sebagai gundik) memiliki label seorang peremuan rendahan, dituduh sebagai pembunuh, dan tidak diperkenankan menggunakan bahasa asing meskipun ia mampu.
d) Kekerasan
Kekerasan merupakan serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang. Kekerasan dipengaruhi oleh beberapa hal, akan tetapi secara umum kekerasan terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan satu kaum dengan kaum lainnya. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut dengan gender related violence. Pada naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh kekerasan yang berhubungan dengan ketidakadilan gender terjadi ketika Annelies diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri,yaitu Robert Mellema.
“Kau bukan lelaki yang pertama, Mas. Tetapi itu bukan kemauanku. Bukan kehendakku. Kecelakaan itu sungguh tak bisa saya elakka.”
“kalau boleh saya tahu, binatang itu siaa? Robert? Suuhroff?”
“Dia Robert Mellema!” (Giryadi, 2007: 23)
Pemerkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan yang disebabkan oleh ketidakadilan gender. Dalam kasus pemerkosaan terdapat unsur paksaan, ancaman, bahkan tak jarang diikuti dengan kekerasan.
Bentuk kekerasan yang disebabkan oleh bias gender berikutnya adalah pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan (Fakih, 2013: 18).
“Sederet pelacur sedang berpasang-pasangan dengan lelakinya.
Beberapa centeng berjalan kesana-kemari. Sorang pemabuk melintas.” (Giryadi, 2007: 20) commit to user
Bentuk kekerasan lain yang terdapat dalam naskah drama ini yaitu adanya pelecahan seksual yang dialami oleh tokoh utama.
Pelecehan yang ditemukan yaitu berupa ungkapan yang menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor. Kekerasan ini juga dapat disebut sebagai kekerasan verbal. Nyai Ontosoroh mendapatkan pelecehan seksual dari Mauritz Mellema saat ia datang untuk meminta pertanggungjawaban Tuan Besar Mellema.
“Tuanlah yang justru telah mengambil seorang perempuan pribumi sebagai teman tidur, tidak untuk satu hari dua hari, bahkan sudah bertahun-tahun! Siang dan malam. Tanpa perkawinan yang syah. Tuan sudah menyebabkan lahirnya dua anak haram jadah!” (Giryadi, 2007: 18)
“Hmmm, o...o...o ini tidak ada urusannya dengan kowe, Nyai.
Tuan Mellema, biarpun Tuan kawini Nyai, gundik ini, dengan perkawinan syah, dia tetap bukan Kristen. Dia kafir! Sekalinya dia Kristen pun, Tuan tetap lebih busuk dari semua kebusukan yang pernah Tuan tuduhkan kepada Ibuku. Tuan telah lakukan dosa darah, pelanggaran darah! Mencampur darah Kristen Eropa dengan darah kafir pribumi bewarna! Dosamu tak terampuni Tuan! (Giryadi, 2007: 18-19)
Bukan hanya dari Mauritz ia menerima kekerasan secara verbal, anaknya sendiri Robert Mellema juga melakukan hal yang sama.
Kecintaannya yang tinggi terhadap bangsa Eropa membutakan hatinya hingga berani menghina Ibunya yang pribumi.
“Dia bukan Ibuku! Dia lonthe.” (Giryadi, 2007: 21)
Kutipan-kutipan di atas memperkuat fakta adanya kekerasan yang dialami oleh beberapa tokoh perempuan dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi.
e) Beban kerja
Beban kerja ganda harus ditanggung oleh Nyai Ontosoroh.
Sebagai seorang gundik Tuan Besar Mellema ia bertanggungjawab atas segala pekerjaan rumah tangga miliknya. Meskipun memiliki
commit to user
beberapa pekerja, Nyai Ontosoroh tetap dibebankan dengan tanggung jawab untuk menjadi panutan bagi bawahannya.
“Majikan penghidupan mereka adalah kau! Kau harus bisa jadi majikan yang baik, yang tahu bagaimana mengurus pekerjaannya.” (Giryadi, 2007: 7)
Bukan hanya mengurusi rumah tangga, Nyai Ontosoroh juga bertanggungjawab atas jalannya perkebunan dan peternakan. Hal ini disebabkan oleh perilaku yang ditunjukkan oleh Tuan Besar Mellema.
Semenjak kedatangan Mauritz, Tuan Besar Mellema mulai berperilaku seenaknya, bahkan ia tidak lagi peduli dengan semua urusan perusahaannya.
“Semua sudah saya letakkan pada tempatnya yang benar.
Anggap dia tidak ada, Nyo. Dulu saya memang Nyainya yangs etia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah tanpa harga. Lebih menyukai bersarang di rumah pelacuran.
Papamu, orang yang hanya bisa bikin malu pada keturunannya sendiri. Itulah Papamu, Ann.”
Sikap Tuan Besar Mellema yang sekan lari dari tanggungjawabnya membuat Nyai Ontosoroh memiliki beban kerja ganda. Sebagai seorang Ibu, ia memiliki tanggung jawab atas kehidupan anaknya, sedangkan sebagai seorang majikan ia bertanggungjawab atas kehidupan bawahannya, dengan demikian Nyai Ontosoroh harus mempertahankan perusahaannya agar kehidupannya dan seluruh pekerja tidak menderita. Nyai Ontsoroh terpaksa mengambil alih semua urusan perkebunan, peternakan, bahkan urusan surat menyurat.
“Akhir-akhir Mama sibuk sekali. Mama kerja sangat keras.
Semua buku dagang, surat menyurat, perusahaan kami luas, juga pemerahan susu.” (Giryadi, 2017: 11)
“Setiap hari, Tuan Damschoor memeriksa sapi. Tetapi sekarang semua ditangani oleh Mama.” (Giryadi, 2007: 11)
Berdasarkan uraian dan kutipan yang ditemukan dalam naskah drama tersebut, dapat disimpulkan bahwa beban kerja yang diterima oleh Nyai Ontosoroh sangat banyak. Nyai Ontosoroh bukan hanya commit to user
berperan sebagai istri dan ibu, ia juga berperan sebagai orang yang bertanggungjawab atas perkebunan dan peternakan yang dikelola oleh Tuan Besar Mellema.
3. Bentuk-Bentuk Perlawanan Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Naskah Drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh
Sesuai dengan judulnya, naskah drama ini menggambarkan perlawanan-perlawanan yang ditunjukkan oleh Nyai Ontosoroh.
Ketidakadilan yang diterima oleh Nyai Ontosoroh membuat ia tersadar bahwa ia harus melawan hal tersebut. Perlawanan yang dimaksud bukan perlawanan secara fisik, akan tetapi melawan dengan merubah sikap dan perilakunya. Ia berubah menjadi permpuan yang memiliki keteguhan, pendirian kuat, dan juga mandiri. Berikut adalah bentuk-bentuk perlawanan yang ditunjukkan Nyai Ontosoroh.
a) Penolakan Nyai Ontosoroh saat kedua orang tuanya datang Sakit hati yang dialami Nyai Ontosoroh pada orang tuanya di masa lalu ternyata membekas hingga ia dewasa. Atas perlakuan Ayahnya yang rakus dan ketidakberdayaan Ibunya membuat Nyai Ontosoroh enggan menemui kedua orang tuanya lagi.
“Bakal jadi apa kalau saya tidak sanggup bersikap keras.
Luka terhadap kebanggaan dan harga diri tak jua mau menghilang. Bila teringat kembali bagaimana terhinanya saya di jual kepada Tuan, saya tak mampu mengampuni kerakusan Ayah saya dan kelemahan Ibu saya. Sekali dalam hidup kita meski menentukan sikap.” (Giryadi, 2007: 7-8)
“Saya memang ada Ayah, dulu. Sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah saya usir!” (Giryadi, 2007: 8)
Berdasarkan uraian dan di dukung oleh kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk penolakan Nyai Ontosoroh yang pertama adalah penolakanya atas kedatangan kedua orang tuanya. Sikap yang ditunjukkan oleh Nyai Ontosoroh bukan untuk melawan kedua orang tuanya. Perlawanan Nyai Ontosoroh adalah perlawanan atas ketidakadilan yang ia terima dari kedua orang tuanya. commit to user
b) Sikap Mandiri Nyai Ontosoroh
Sikap mandiri yang ditunjukkan oleh Nyai Ontosoroh sedikit banyak dipengaruhi oleh ilmu dari Tuan Mellema. Lewat Tuannya, Nyai menjadi pribadi yang dapat “berdiri sendiri”. Bahkan dalam penentuan perkara, ia sudah mengambil andil tanpa penolakan dari Tuan Besar Mellema. Atas kepercayaan dirinya itu, Nyai Ontosoroh bertekad untuk tidak bergantung kepada siapapun. Ia akan mengusahakan segala hal sendiri.
“Segala yang saya pelajari, telah sedikit mengembalikan harga diri saya. Tetapi sikap saya tetap, mempersiapkan diri untuk tidak bergantung pada siapapun.” (Giryadi, 2007: 8)
“Begitulah akhirnya saya mengerti, saya tidak bergantung pada Tuan Besar Mellema. Sebaliknya, dia sangat bergantung pada saya. Saya telah bisa mengambil sikap untuk ikut menentukan perkara. Tuan tidak menolak.” (Giryadi, 2007:8) Berdasarkan uraian dan di dukung oleh kutipan yang telah ditulis, dapat disimpulkan bahwa sikap mandiri Nyai Ontosoroh merupakan bentuk perlawanannya atas ketidakadilan hidup yang ia terima selama menjadi gundik.
c) Nyai Ontosoroh yang mulai mempelajari banyak hal
Tidak seperti gundik lainnya, Nyai Ontosoroh berkesempatan mempelajari banyak hal. Ia diperkenankan untuk membaca majalah- majalah bahasa Belanda untuk mengasah kemampuannya berbahasa Belanda. Bahkan, Tuan Besar Mellema juga terus mengajari Nyai.
“Nyai, bacalah majalah-majalah itu selalu. Juga buku-buku itu akan membawamu kepada dunia yang maha luas. Dengan begitupun, bahasa Melayu dan Belandamu akan terus maju dan Nyai akan semakin menguasai berbagai bidang dan kemampuan.” (Giryadi, 2007: 7)
“Bahkan ia sangat memaksa saya untuk terus belajar. Dalam hal ini Ia seorang guru yang keras tapi baik, saya seorang murid yang taat dan juga baik. Saya tahu, apa yang diajarkan Tuan Besar Mellema kelak akan berguna bagi saya dan anak- anak saya, kalau Tuan Besar pulang ke Nedherland.”
(Giryadi, 2007: 8) commit to user
Berdasarkan uraian di atas dan di dukung oleh kutipan dalam naskah drama, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Nyai Ontosoroh telah mempelajari banyak hal untuk merubah nasibnya. Bentuk perlawanan yang ditunjukkan oleh Nyai Ontosoroh juga merupakan perlawanannya atas pandangan negatif masyarakat tentang seorang gundik.
d) Nyai Ontosoroh berhasil mengendalikan rumah tangganya Sikap Tuan Besar Mellema yang lebih senang berada di tempat plesiran membuat Nyai Ontosoroh mengambil tindakan.
Tuan Besar Mellema sekarang bukan apa-apa tanpa adanya Nyai Ontosoroh. Bahkan di dalam rumah pun, Tuan Besar tidak lagi memiliki kuasa penuh seperti dulu. Semua dikendalikan oleh Nyainya, Nyai Ontosoroh.
“Dialah orang yang menjadi “tuan besar” di rumah besar itu.
Orang-orang memanggilnya Nyai Ontosoroh.” (Giryadi, 2007: 9)
“Semua sudah saya letakkan pada tempatnya yang benar.
Anggap dia tidak ada, Nyo. Dulu saya memang Nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah. Lebih menyukai bersarang di rumah plesiran (pelacuran).” (Giryadi, 2007: 13)
Kutipan di atas mendukung uraian yang telah disebutkan bahwa Nyai Ontosoroh telah berhasil mengendalikan rumah tangganya.
Sikap Tuan Besar Mellema yang tidak lagi bertanggungjawab membuat Nyai Ontosoroh mengambil keputusan besar, yaitu menyelamatkan rumah tangganya.
e) Nyai Ontosoroh berhasil mengendalikan perusahaan
Perubahan sikap Tuan Besar Mellema yang tidak lagi bertanggungjawab mempengaruhi jalannya perusahaan. Nyai Ontosoroh yang kala itu telah mempelajari bnyak hal termasuk urusan perusahaan, akhirnya mengambil alih perusahaan milik Tuan Besar Mellema. Pengambilanalih perusahaan bukan semata-mata commit to user
untuk dirinya sendiri, Nyai Ontosoroh juga memikirkan nasib para pekerjanya.
“Sebaliknya, orang lebih banyak menyebut-nyebut gundiknya: Nyai Ontosoroh, gundik yang banyak dikagumi orang, rupawan, berusia tigapuluhan, pengendali seluruh perusahaan pertanian besar itu. (Giryadi, 2007: 10)
“Kalau saya tidak keras begini Nyo, maafkan saya harus membela diri sehina ini, akan jadi apa semua ini? Anak- anaknya, perusahaannya, semua sudah akan menjadi gembel.” (Giryadi, 2007: 13)
Berdasarkan uraian dan didukung oleh kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa Nyai Ontosoroh bukan hanya berhasil mengendalikan rumah tangganya, ia juga telah berhasil memegang kendali perusahaan. Perusahaan yang dimaksud dalam hal ini adalah pekerbunan dan peternakan yang dulunya dikendalikan oleh Tuan Besar Mellema.
f) Perlawanan Nyai Ontosoroh di persidangan
Puncak dari perlawanan yang ditunjukkan Nyai Ontosoroh adalah saat iaada di persidangan. Kematian Tuan Besar Mellema mau tidak mau telah menyeret nama Nyai Ontsoroh. Dikatakan bahwa ialah yang membunuh Tuannya, ia meracuni, dan lain sebagainya. Atas tuduhan tersebut, Nyai dipanggil di persidangan.
“Kepada Tuan Hakim saya katakan, saya tidak pernah kenal dengan Babah Ah Tjong. Yang syaa tahu, setiap bualn datang tagihan dari rumah plesirannya untuk Tuan Mellema dan anaknya Robert Mellema.” (Giryadi, 2007: 25)
Bukan hanya kematian Tuan Besar Mellema, persidangan Belanda juga mengaitkan kematian Tuan Besar Mellema dengan Minke dan Annelis.
“Namun persoalan ini terus melebar. Minke dilibatkan.
Mereka menanyakan hubungannya Minke dan Annelies. Saya katakan pada tuan Hakim dan Jaksa, bahwa kematian Tuan Besar Mellema tidak ada kaitannya dengan Minke dan Annelies. Mereka tidak pernah memperdulikannya. Seperti commit to user
telah terjadipersengkokolan untuk merampas semua yang kami miliki.” (Giryadi, 2007: 25)
Bagi pemerintah Belanda, pernikahan Annelies dan Minke bukan pernikahan yang sah. Nyai Ontosoroh yang merupakan Ibu dari Annelies pun membela anaknya. Ia kemudian membandingkan hubungannya dan Tuan Besar Mellema yang hanya dianggap perbudakan sedangkan pernikahan Annelies dan Minke yang sah justru dianggap sebagai sebuah tindakan pelanggaran hukum.
“Tetapi baik, saya akan jawab agar tuan-tuan tahu. Tuan hakim yang terhormat, Tuan jaksa yang terhormat, kalian telah membongkar keadaan rumah tangga saya. Saya Sanikem, gundik Tuan Besar Mellema. Sanikem memang hanya seorang gundik. Dari gundiknyalah lahir Annelies dan Robert Mellema. Perlu Tuan ketahui, selama ini tak pernah ada yang menggugat hubungan saya dengan mendiang.
Kenapa? Apa karena Tuan Besar Totok. Mengapa hubungan anak saya kalian persoalkan? Mengapa? Hanya karena Minke pribumi?” (Giryadi, 2007: 25)
“Tuan-Tuan yang terhormat. Antara saya dan Tuan Besar Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum Eropa. Antara anakku dan Tuan Minke ada cinta mencintai yang sama-sama tulus, bahkan mereka telah diikat oleh perkawinan yang syah. Sekali lagi Tuan, orang Eropa dapat membeli perempuan pribumi seperti diri saya ini, tetapi tak seorangpun memprotesnya. Apakah pembelian ini lebih benar dari pada percintaan yang tulus dari kedua insan ini?
Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keungguln dan kekuasaannya, mengapa kalau pribumi jadi ejekan, justru karena cinta yang tulus? (Giryadi, 2007: 26)
Sakit hati atas perlakuan bangsa Eropa yang merendahkan dirinya membuat Nyai Ontosoroh berani meneriakkan protesnya di pengadilan. Ia menjadi gundik bukan atas kemauannya. Justru karena keberadaan bangsa Eropa lah ia akhirnya menjadi seorang gundik. Budak belian untuk bisa memuaskan Tuannya, dalam segala hal.
“Siapa yang menjadikan saya gundik? Siapa yang membikin mereka menjadi Nyai-nyai? Tuan-tuan bangsa Eropa yang commit to user
dipertuankan! Mengapa kami ditertawakan dan dihinakan?
Apakah Tuan-Tuan menghendaki anak saya juga jadi gundik?
Kalianlah yang membuat saya nenjadi Nyai, menjadi gundik!” (Giryadi, 2007: 26)
Perlawanan yang dilakukan oleh Nyai Ontosoroh berakhir di persidangan. Berdasarkan uraian dan didukung dengan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa Nyai Ontosoroh telah berhasil melawan Belanda. Ia telah mengungkapkan segala kebenaran dan protesnya atas segala ketidakadlian yang ia alami selama ini. Secara hukum Belanda Annelies dan Robert harus pergi ke Belanda, akan tetapi Nyai Ontosoroh telah sepenuhnya menang dengan cara terhormat.
4. Pemanfaatan Kajian Feminisme dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh sebagai bahan ajar sastra di Sekolah Menengah Atas
Pengajaran sastra mencakup semua aspek sastra, mulai dari teori sastra hingga apresiasi sastra. Wujud bahan sastra yang ideal adalah berupa karya sastra seperti cerpen, novel, puisi, hingga naskah drama.
Sastra, khususnya naskah drama merupakan tempat yang strategis untuk mmpelajari nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Sebagai wadah bereksplorasi, naskah drama perlu dipahami terlebih dahulu isi yang ada di dalamnya. Dalam kegiatan pemahaman isi tersebut, guru dapat menciptakan inovasi dengan mengupas naskah drama melalui sudut pandang feminisme. Penggunaan naskah drama sebagai bahan ajar sastra sesuai dengan Kompetensi Dasar 3.19. yaitu menganalisis isi dan kebahasaan naskah drama.
commit to user
Tabel 3.19. Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi 3.19. Menganalisis isi dan
kebahasaan drama yang dibaca atau ditonton
3.19.1 Mengidentifikasi isi dan kebahasaan drama yang dibaca atau ditonton
Berdasarkan hasil penelitian mengenai kajian feminisme dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh ini, guru memanfaatkan naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh sebagai objek kajian dan hasil penelitian mengenai kajian feminisme sebagai referensi dan contoh bagi peserta didik. Pemanfaatan nskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh dikaji/diidentifikasi mencakup bentuk-bentuk ketidaksetaraan gender dan perlawanan yang terdapat didalamnya.
Naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh dan hasil penelitian mengenai bentuk-bentuk ketidaksetaraan gender dan perlawanan dipilih sebagai bahan ajar karena memenuhi ketiga prinsip pemilihan bahan ajar. Adapun prinsip pemilihan bahan ajar yaitu: aspek bahasa, aspek psikologis, dan aspek latar belakang sosial budaya (Rohmanto, 1986: 27-31). Apabila dilihat dari ketiga aspek tersebut, naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh serta temuan dari penelitian ini telah memenuhi kriteria.
Dilihat dari aspek bahasa, bahasa yang digunakan dalam naskah ini merupakan bahasa percakapan masyarakat pada umumnya, karena dipengaruhi oleh latar tempat cerita tidak heran apabila ditemukan kosa kata bahasa Jawa di dalamnya. Sebagai sebuah naskah drama yang menceritakan tentang kehidupan seorang gundik pada jaman penjajahan Belanda, banyak ditemukan kosa kata-kosa kata “negatif” seperti gundik, pelacuran, tempat plesiran, dan lain sebagainya. Hal ini juga disampaikan oleh Miastika, peserta didik kelas Bahasa SMA Negeri 1 Mojolaban sekaligus anggota teater Mesem yaang menyampaikan bahwa. commit to user
“Naskah drama ini cukup menarik, akan tetapi terdapat beberapa kosa kata yang belum saya pahami, seperti kata gundik, golden, dan beberapa kalimat yang dipadukan dengan bahasa lain.”
Melihat kesulitan yang dipaparkan peserta didik tersebut, guru wajib melakukan pendampingan dalam pembelajaran agar peserta didik tidak salah tafsir.
Ditinjau dari aspek psikologis, naskah drama Nyai Ontosoroh telah cukup memenuhi kriteria tersebut. Sejalan dengan pemaparan Bapak Agus Sunanto, S. Pd., guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Mojolaban yang menyebutkan bahwa:
“Penggunaan naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh sebagai bahan ajar telah sesuai dengan perkembangan psikologis peserta didik yang menginjak usia dewasa. Pemilihan kajian feminisme juga dinilai telah sesuai dengan aspek psikologis sebagai bentuk pengenalan pada siswa tentang sebuah kajian drama baru. Meskipun belum sedetail di bangku perkuliahan, akan tetapi pengenalan kajian feminisme sastra cukup menarik bagi peserta didik khususnya bagi peserta didik perempuan. Proses menganalisis dari sudut pandang feminisme dapat membantu peserta didik mengembangkan kepekaan secara psikologis dan sosial.”
Berdasarkan hasil wawancara narasumber, maka dapat disimpulkan bahwa naskah drama Hkayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh secara aspek psikologis telah sesuai dengan perkembangan psikologis peserta didik. Kajian feminisme sekaligus dapat digunakan sebagai media dalam mengasah kepekaan psikologis dan sosial peserta didik.
Pada aspek latar sosial dan budaya dalam pemilihan bahan ajar sastra, naskah drama Nyai Ontosoroh juga telah memenuhi aspek tersebut. Siswa cenderung lebih bisa memahami isi cerita ketika latar dalam cerita tersebut terasa dekat latar dalam kehidupan nyata. Seperti yang disampaikan oleh Rio Efendi, salah satu peserta didik kelas Bahasa SMA Negeri 1 Mojolaban yang menyebutkan bahwa
“Menurut saya, naskah drama Nyai Ontosoroh cukup menarik untuk dipelajari dan dinikmati. Latar tempat dan waktu yang diambil oleh penulis mampu membawa saya di era perjuangan commit to user
dulu, dimana masih maraknya fenomena pergundikan di tanah Jawa.”
Bapak Agus juga menambahkan pernyataan
“Seperti yang kita tahu, buku-buku teks sering menampilkan drama-drama dengan kritik tajam seperti drama milik W.S.
Rendra, Arifin C. Noer maka diperlukan drama-drama ringan seperti drama Nyai Ontosoroh ini sebagai inovasi bahan ajar drama yang baru.”
Berdasarkan penyataan dari kedua narasumber, dapat disumpulkan bahwa secara aspek sosial dan budaya, naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh layak dijadikan bahan ajar sastra.
Guna menambah alasan dipilihnya naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh peneliti juga melakukan wawancara dengan ahli sastra, yaitu Bapak Budi Waluyo, S.S., M. Pd sebagai dosen mata kuliah Kajian Drama prodi Pendidikan Bahasa Indonesia UNS. Menurut beliau pemilihan naskah drama ini sebagai bahan ajar sastra di SMA dapat dikatakan layak. Jika ditilik dari amanatnya, naskah drama ini cukup memberikan sebuah pembelajaran yang baik bagi peserta didik atau bagi generasi muda secara umum.
“Layak, apalagi jika kita lihat dari pesan-pesan moral yang tersirat di dalamnya. Naskah ini bukan hanya mengajak pembaca untuk kembali ke masa lalu, yaitu masa penjajahan Belanda tapi kita juga diajak untuk berfikir dari sudut pandang seseorang yang dalam strata sosial masyarakat dinilai hina akan tetapi tetap mampu mempertahankan hak-haknya.”
Beliau menambahkan, banyak nilai-nilai positif yang dapat diambil dari naskah drama tersebut. Nilai-nilai positif ini sejalan dengan kajian feminisme sastra yang membahas tentang perjuangan perempuan dalam menyetarakan haknya dengan laki-laki.
“Nilai-nilai positif yang dimaksud seperti kita tidak boleh menyerah dengan keadaan, harus tetap mempertahankan hak- hak kita dengan lantang, menjadi pribadi yang kuat ditengah tekanan, tidak boleh ragu dalam menyampaikan kebenaran, dan lain sebagainya.” commit to user
Upaya guru dalam memanfaatkan kajian feminisme naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh dapat dilihat pada uraian berikut.
Sesuai dengan RPP pada Kompetensi Dasar 3.19 yang digunakan oleh guru SMA Negeri 1 Mojolaban, pembelajaran diawali dengan salam pembuka, menanyakan kehadiran dan menyampaikan tujuan pembelajaran oleh guru. Selanjutnya guru menerangkan hakikat naskah drama dan kajian feminisme sastra secara garis besar. Sebelum masuk pada kegiatan inti pembelajaran, guru terlebih dahulu menampilkan materi melalui media Powerpoint. Pada materi Powerpoint tersebut, guru mencantumkan hasil penelitian ini pada bagaian analisi isi sebuah naskah drama sebagai referensi tambahan agar siswa mudah memahami materi.
Pada pembelajaran sastra kali ini, guru menggunakan metode Two Stay, Two Stray. Saat memasuki pembelajaran inti, guru membentuk kelas menjadi beberapa kelompok kecil. Kelompok kecil terdiri dari 4-5 anak. Kelompok kecil ini lalu dibagi kembali menjadi dua kelompok, kelompok pertama sebagai kelompok Tuan Rumah dan kelompok kedua merupakan kelompok Tamu. Saat masing-masing kelompok telah siap, guru membagikan salinan naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem:
Nyai Ontosoroh. Sebelum memulai proses identifikasi isi naskah drama, guru menjelaskan teknik metode Two Stay Two Stray terlebih dahulu, kemudian guru membimbing dan memberikan instruksi. Pada saat proses identifikasi, guru terus mendampingi dan memberikan penjelasan terkait dengan adegan-adegan yang tidak pantas dilakukan seperti pemaksaan, kekerasan, perkataan-perkataan kasar, dan adegan-adegan dewasa lainnya.
Guru juga memanfaatkan hasil penelitian untuk memberikan contoh kepada peserta didik tidak salah dalam mengindentifikasi bentuk- bentuk ketidaksetaraan dan bentuk perlawanan yang terdapat dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh. Contoh yang diberikan misalnya ketidakadilan gender yang diterima oleh commit to user