• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 Landasan Pendidikan Inklusif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 Landasan Pendidikan Inklusif"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

Landasan Pendidikan Inklusif

Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK merupakan individu dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya,khususnya pada aspek kognitif, emosi,atau fisik (Rafikayati DKK, 2018). Pada umumnya, ABK mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan sekolah dan teman sebayanya dikarenakan mereka sangat peka terhadap keterbatasan yang dimilikinya (Santrock, 2003). Oleh karena itu, ABK cenderung disekolahkan di institusi khusus dengan metode dan pengembangan belajar khusus yang berbeda tentunya dengan metode pendidikan pada sekolah umumnya. Akan tetapi, menurut Rafikayati DKK (2018) dengan mulai dikembangkan pendidikan inklusif, kini ABK memiliki hak sama dalam memperoleh pendidikan seperti halnya anak-anak pada umumnya.

Menurut Irvan (2017) pendidikan inklusif merupakan pendekatan yang memperhatikan cara memungkinkan guru dan peserta didik merasa nyaman dengan keanekaragaman yang ada di sekolah inklusif, yang terdiri dari peserta didik normal dan peserta didik khusus. Bahkan menurut Rafikayati DKK (2018) dengan adanya pendidikan inklusif hal tersebut memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan di sekolah reguler bersama-sama dengan peserta didik reguler, mulai dari jenjang pendidikan usia dini (PAUD) hingga jenjang SMA atau SMK. Pendidikan inklusif di Indonesia mulai dikembangkan sebagai dampak dari isu-isu dunia tentang pendidikan untuk semua.

Pada prinsipnya sekolah inklusi menyertakan seluruh anak-anak untuk dapat belajar bersama, meski beberapa kesulitan atau perbedaan-perbedaan yang mungkin mereka miliki (Irvan, 2017). Indonesia menggunakan Permendiknas No.70 tersebut digunakan sebagai rujukan dalam penetapan kebijakan implementasi pendidikan inklusif di wilayah masing- masing. Pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas No.70 dalam Irvan : 2017). Penerapan pendidikan inklusif di Indonesia dilandasi oleh Landasan Filosofis, Yuridis, dan Empiris.

1. Landasan Filosofis

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ‘bhineka tunggal ika.’ Keragaman dalam etnik, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Pandangan agama khususnya Islam antara lain ditegaskan bahwa:

1) Manusia dilahirkan dalam keadaan suci

2) Kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan bukan dari fisik tetapi taqwanya.

3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri.

4) Manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (“inklusif’)

5) Pandangan universal hak asasi manusia, yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan.

(2)

2. Landasan Yuridis

a. UUD 1945 (Amandemen) Pasal 31:

1) Ayat 1 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.

2) Ayat 2 “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

b. UU no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

1) Pasal 48 “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk semua anak”.

2) Pasal 49 “Negara, Pemerintah, Keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.

c. UU no 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.

1) Pasal 5

a) Ayat 1 “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu”.

b) Ayat 2 “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

c) Ayat 3 “Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”.

d) Ayat 4 “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”.

2) Pasal 11

a) Ayat 1 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

b) Ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.

3) Pasal 12

a) Ayat 1 “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya”.

4) Pasal 32

a) Ayat 1 “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan /atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.

b) Ayat 2 “Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan /atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi”.

c) Dalam pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

5) Pasal 45

a) Ayat 1 “Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.

(3)

d. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

1) Pasal 2

a) Ayat 1 “Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan”.

b) Dalam PP No 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas SDLB, SMPLB, SMA LB.

e. Surat edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No 380/C.C6/MNB/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap kabupaten /kota sekurang-kurangnya 4 sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.

3. Landasan Empiris

a. Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948.

b. Konvensi Hak Anak tahun 1989.

c. Konferensi dunia tentang Pendidikan Untuk Semua tahun 1990.

d. Resolusi PBB nomor 48/49 tahun 1993 tentang persamaan kesempatan bagi orang berkelainan.

e. Pernyataan Salamanca tentang pendidikan inklusi tahun 1994.

f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk semua tahun 2000.

g. Deklarasi Bandung tahun 2004 dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”.

h. Rekomendasi Bukittinggi tahun 2005 bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:

1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk semua adalah benar-benar untuk semua.

2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program- program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi.

3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.

Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya :

1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional.

2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosional dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya.

3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip- prinsip non diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas.

4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka.

5) Semua kementrian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi.

(4)

6) Demi menjamin pendidikan untuk semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak, maka masalah non diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta.

7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak.

8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam manajemen sistem informasi sekolah harus mencangkup semua anak usia sekolah.

9) Program pendidikan prajabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini.

10) Pemerintah (pusat, provinsi, dan lokal) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non – diskriminatif dan inklusif .

(5)

BAB 2

Implementasi Pendidikan Inklusif

Penerapan pendidikan inklusif sejatinya mampu mendorong perkembangan kualitas pendidikan bagi warga negara. Memiliki tujuan luhur demi memenuhi hak setiap warga negara agar mendapat layanan pendidikan dan memenuhi program wajib belajar, pendidikan inklusif bergerak cepat merambah setiap kabupaten dan kota di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan / atau Bakat Istimewa. Wawasan baru bagi masyarakat tentang pendidikan inklusif, berawal dari opini negatif sampai dengan dukungan terbaik muncul di kalangan masyarakat, bahkan warga sekolah yang terlibat.

Pada umumnya sistem Pembelajaran pendidikan inklusif di jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah menengah menerapkan pendekatan model inklusif (full inclusive), dimana peserta didik berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya dalam kelas yang sama. Kurikulum yang digunakan yaitu Kurikulum modifikasi, yang merupakan hasil dari penyesuaian kurikulum standar satuan pendidikan dengan kemampuan peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan modifikasi kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan kondisi khusus yang dimilikinya.

Implikasi terhadap layanan pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus, diantaranya:

1. Tidak Diskriminatif

Pengakuan terhadap keberagaman, bahwa sekolah untuk semua. Semua orang berhak untuk memperoleh pendidikan. Sekolah yang ramah adalah sekolah yang terbuka untuk menerima semua peserta didik tanpa terkecuali termasuk yang berkebutuhan khusus.

2. Memperhatikan kebutuhan peserta didik

Sistem sekolah menyesuaikan dengan kebutuhan anak, proses belajar yang fleksibel, penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan anak, pembelajaran yang kooperatif, aktif dan kreatif, setiap anak dapat belajar sesuai kecepatannya (multi level curriculum).

3. Lingkungan dan fasilitas yang aksesibel

Lingkungan yang aman dan sehat bagi keselamatan peserta didik, misalnya tangga tidak membahayakan, kamar mandi tidak licin dan kotor. Fasilitas belajar memungkinkan semua peserta didik dapat belajar secara nyaman yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

4. Kerjasama tim

Hal ini penting karena akan sangat sulit bagi guru dalam mengembangkan keahliannya jika bekerja sendirian. Oleh karena itu perlu terus ditumbuhkan kebiasaan para guru untuk bekerja dalam tim. Guru yang terbiasa bekerja dalam tim, secara tidak langsung akan mempengaruhi sikapnya terhadap anak.

5. Peran serta orang tua

Keterlibatan orang tua di sekolah bukan hanya dalam kaitannya dengan urusan biaya, tetapi juga negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak, baik sekolah maupun di rumah.

6. Sistem pendukung

Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif membutuhkan sistem dukungan yang dapat diperoleh dari sekolah khusus atau sekolah luar biasa yang peran dan fungsinya diperluas atau dari institusi yang dibangun secara khusus untuk kepentingan tersebut yang disebut pusat sumber atau resource center.

Manajemen pembelajaran inklusi bagi anak berkebutuhan khusus tersebut terdiri atas proses yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian untuk mencapai tujuan pendidikan yang efektif dan efisien. Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai dalam manajemen

(6)

pembelajaran inklusi bagi anak berkebutuhan khusus adalah terwujudnya pemerataan penyelenggaraan sistem pembelajaran yang layak dan berkualitas sesuai dengan kondisi, potensi dan kebutuhan individu siswa agar terbentuknya manusia sosial yang menjadi bagian integral dalam keluarga, masyarakat dan bangsa

Berikut ini manajemen pembelajaran inklusi bagi anak berkebutuhan khusus yang meliputi:

1. Perencanaan Program Inklusi

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan meliputi: menganalisis hasil assessment untuk kemudian dideskripsikan, ditentukan penempatan untuk selanjutnya, dibuatkan program pembelajaran berdasarkan hasil assessment. Peran yang dilakukan oleh guru dalam perencanaan pembelajaran adalah dengan membuat perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran merupakan beberapa persiapan yang disusun oleh guru agar pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran dapat dilakukan secara sistematis dan memperoleh hasil seperti yang diharapkan. Perangkat pembelajaran tersebut minimal terdiri dari analisis pekan efektif, program tahunan, program semesteran, silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

2. Proses Implementasi Pendidikan Inklusi

Ara Hidayat dkk (2010:227-229) mengatakan Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.

a. Kegiatan pendahuluan, dalam kegiatan pendahuluan, guru:

1) Menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran.

2) Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.

3) Menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai.

4) Menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

b. Kegiatan inti.

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

c. Kegiatan penutup, dalam kegiatan penutup, guru:

1) Bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;

2) Melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;

3) Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;

4) Merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedial, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas, baik tugas individu maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;

5) Menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

3. Evaluasi

Menurut Direktorat PLB (2005:39) dalam evaluasi hendaknya mempertimbangkan sekurang-kurangnya 3 aspek yaitu siswa, program pembelajaran dan bagaimana pengadministrasian evaluasi itu sendiri. Evaluasi yang digunakan pada sekolah inklusi hendaknya menggunakan:

(7)

a. Untuk mereka yang berkebutuhan khusus maka evaluasi berdasarkan program pembelajaran individual.

b. Laporan hasil kemajuan atau perkembangan siswa hendaknya dilengkapi dengan laporan berbentuk penjelasan atau informasi secara narasi.

c. Dalam mengevaluasi perlu mempertimbangkan kondisi atau jenis anak berkebutuhan khusus.

d. Untuk kondisi tertentu kemungkinan juga evaluasi menggunakan media gambar misalnya bagi mereka yang mengalami gangguan membaca.

Dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004:6) untuk evaluasi dalam program pembelajaran inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus berupa:

a. Penilaian selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, baik secara lisan, tertulis, maupun melalui pengamatan.

b. Melakukan tindak lanjut atas hasil penilaian yang telah dilakukan selama kegiatan belajar mengajar.

Dalam implementasinya pendidikan karakter tidak dapat dilakukan secara instan, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan menggunakan strategi yang sesuai dengan kondisi.

Strategi implementasi pendidikan karakter di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh satuan pendidikan. Kita ambil penerapan pendidikan karakter di tingkat SD dapat dilakukan melalui pembelajaran. Guru perlu menyampaikan setiap nilai karakter yang akan diajarkan kepada siswa pada setiap pembelajaran. Implementasi pendidikan karakter melalui pembelajaran.

1. Menanamkan nilai karakter kepada anak.

Menanamkan nilai kebaikan dimulai dengan pengenalan nilai-nilai karakter kepada siswa selama kegiatan pembelajaran. Hal tersebut dapat teramati dari adanya prioritas nilai karakter yang ditanamkan, penjelasan nilai-nilai karakter, dan penggalian isi materi pembelajaran dalam penanaman nilai-nilai karakter. Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa guru sudah menentukan beberapa nilai karakter yang akan ditanamkan pada siswa di kelas inklusi. Secara umum nilai yang menjadi prioritas adalah jujur, tanggung jawab, kebersamaan, toleransi, disiplin, dan peduli lingkungan. Sementara itu, mengenai keberadaan siswa berkebutuhan khusus, guru lebih menekankan pada saling menghargai, saling menolong, dan tidak membeda-bedakan.

Guru menyesuaikan nilai karakter dengan mata pelajaran dan materi pelajaran dalam penanamannya.

2. Memberikan contoh.

Siswa sekolah dasar membutuhkan contoh nyata penerapan nila-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil observasi selama delapan kali pembelajaran dapat disimpulkan bahwa guru memberikan contoh perbuatan baik dan tidak baik kepada siswa saat pembelajaran. Contoh yang diberikan guru merupakan contoh kontekstual yang dekat dengan kehidupan siswa dan terjadi di lingkungan rumah atau sekolah.

3. Menggunakan cara agar anak menampilkan nilai karakter

Selama kegiatan pembelajaran, guru merancang pembelajaran yang dapat membangkitkan siswa untuk menampilkan nilai-nilai karakter. Kegiatan tersebut berupa pembelajaran aktif dan pembelajaran kooperatif. Berdasarkan hasil observasi peneliti,

(8)

guru menciptakan pembelajaran aktif melalui percobaan, diskusi kelompok, presentasi individu, dan membuat produk. Guru sering menggunakan metode kerja sama yang dapat membangkitkan sikap, kemauan, dan kebiasaan siswa untuk menampilkan karakter.

4. Mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik

Pada indikator ini, peneliti menekankan pengamatan pada tiga sub indikator, yaitu membahas permasalahan siswa yang berkaitan dengan karakter, membahas isu moral, dan menggunakan cerita yang membangkitkan kemauan siswa untuk berbuat sesuai nilai karakter. Berdasarkan hasil observasi selama delapan kali pembelajaran dapat disimpulkan bahwa guru membahas permasalahan moral siswa yang berkaitan dengan sikap dan kebiasaan yang tidak mencerminkan karakter di kelasnya. Hal tersebut dijadikan pelajaran untuk semua siswa di kelas agar tidak melakukan hal yang sama.

Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal), untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Yang mana pendidikan inklusi ini merupakan sekolah yang diperuntukkan bagi semua siswa, tanpa melihat kondisi fisiknya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat keberagaman yang tidak dapat dipisahkan sebagai satu komunitas. Dan keberagaman itu justru akan menjadi kekuatan bagi kita untuk menciptakan suatu dorongan untuk saling menghargai, saling menghormati dan toleransi (Sri Suwartini; 2018) .

Menurut Kemendiknas, strategi implementasi pendidikan karakter di satuan pendidikan meliputi langkah-langkah sebagai berikut; Pertama, integrasi dalam mata pelajaran. Setiap mata pelajaran terdapat muatan nilai-nilai karakter yang perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Kedua, integrasi dalam muatan lokal. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79 Tahun 2014, muatan lokal adalah bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap keunggulan dan kearifan di daerah tempat tinggalnya. Muatan local diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk (a) mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial, budaya, dan spiritual di daerahnya, dan (b) melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna bagi diri dan lingkungannya dalam rangka menunjang pembangunan nasional.

Ketiga, pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar. Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yang meliputi: (a) Pengkondisian, yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kebersihan badan dan pakaian, toilet yang bersih, tersedianya tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak di sekolah dan di dalam kelas; (b) Kegiatan rutin, adalah kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat, misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdoa sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik dan teman; (c) Kegiatan Spontanitas, merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan

(9)

ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana; (d) Keteladanan, merupakan perilaku, sikap guru, tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain, misalnya nilai disiplin (kehadiran guru yang lebih awal dibanding peserta didik), kebersihan, kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, kerja keras dan percaya diri.

Keempat, kegiatan pembelajaran. Salah satu upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam kegiatan pembelajaran adalah dengan merancang dan menerapkan pendekatan atau strategi pembelajaran aktif atau pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Beberapa pendekatan dan strategi pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam kegiatan pembelajaran antara lain; pendekatan kontekstual, pendekatan saintifik, pembelajaran discovery, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek dan strategi pembelajaran lainnya yang berbasis aktivitas.

Kelima, kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Menurut Permendikbud Nomor 62 Tahun 2014, kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan kurikuler yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kegiatan intrakurikuler dan kegiatan kokurikuler, di bawah bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler diselenggarakan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, kemandirian serta nilai-nilai karakter peserta didik secara optimal dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan secara kooperatif tersebut dijelaskan oleh Muchlas Samani dan Hariyanto (2013: 162-163) bahwa pembelajaran kooperatif ini mampu meningkatkan kualitas pembelajaran siswa dalam berbagai hal, yaitu:

1. Memberikan kesempatan kepada sesama siswa untuk saling berbagi informasi kognitif.

2. Memberi motivasi kepada siswa untuk mempelajari bahan pembelajaran dengan lebih baik.

3. Meyakinkan siswa untuk mampu membangun pengetahuannya sendiri.

4. Memberikan masukan informative.

5. Mengembangkan keterampilan sosial kelompok yang diperlukan untuk berhasil di luar ruangan bahkan di luar sekolah.

6. Meningkatkan interaksi positif antar anggota yang berasal dari berbagai kultur yang berbeda serta kelompok sosial ekonomi yang berlainan.

7. Meningkatkan daya ingat siswa karena dalam pembelajaran kooperatif siswa secara langsung dapat menerapkan kegiatan mengajar siswa yang lain.

8. Mengembangkan karakter positif para siswa, misalnya kemandirian, berani mengemukakan pendapat, tanggung jawab, mengambil risiko, terbuka, toleran, menghargai orang lain, dinamis, kritis, kreatif, logis, dan sebagainya.

Amka (2017) menyatakan bahwa implementasi pembelajaran karakter inklusi pada kelas reguler dapat dilakukan melalui pembelajaran, keteladanan, penguatan, dan pembiasaan.

Pembelajaran karakter inklusi merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak pada umumnya dalam satu

(10)

kelas. Keragaman yang ada di dalam kelas merupakan cerminan kehidupan yang menampilkan perbedaan individual siswa secara fisik, kemampuan, kebutuhan, dan lain -lain.

(11)

BAB 3

Implementasi Pendidikan Inklusif di Berbagai Wilayah

Dengan dikeluarkannya Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, pemerintah telah mewajibkan agar pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar, dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan.

Dan satu satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus.

Setelah 11 tahun berjalan, tentu diperlukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia. Penulis berusaha melakukan survei implementasi pendidikan inklusif di berbagai SMA untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan inklusif jenjang SMA di berbagai wilayah. Berikut adalah hasil survei yang penulis lakukan:

1. SMA Sulthon Aulia Boarding School Bekasi

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di SMA Sulthon Aulia, penulis melakukan observasi dan wawancara dengan Ibu Salsabila N. H. S.Pd., selaku Guru Bimbingan Konseling. Wawancara dilakukan secara daring melalui aplikasi whatsapp. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa SMA Sulthon Aulia sendiri belum melaksanakan pendidikan inklusif karena belum pernah ada siswa difabel yang mendaftar di SMA Sulthon Aulia sampai saat ini. bahkan mengenai kebijakan jika ada siswa difabel yang mendaftar di SMA Sulthon Aulia pun belum ada pembahasannya dari pihak yayasan. Tetapi menurut pengalaman yang diungkapkan narasumber, ada satu kasus dimana SMA Sulthon Aulia menerima siswa yang IQ nya sangat kurang, tidak bisa menerima pelajaran, tetapi tetap diterima dan bersekolah di SMA Sulthon Aulia. Siswa tersebut tentunya mendapat perlakuan khusus dalam kegiatan belajar di sekolah, adapun perlakuan khusus yang diimplementasikan kepada siswa tersebut yaitu tidak diberikan target yang sama dengan siswa lain karena kemampuannya tidak sama, selain itu guru-guru mapel juga di akhir pelajaran menanyakan kepada siswa tersebut apakah materinya bisa diterima dengan baik atau tidak, jika tidak maka guru secara sukarela memberikan pengulangan pembelajaran di luar jadwal yang di kelas.

Berdasarkan hasil observasi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa SMA Sulthon Aulia Boarding School masih kurang dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif.

adapun saran yang dapat diberikan dari penulis antara lain :

a. Seharusnya tetap ada persiapan untuk menyambut kedatangan peserta didik berkebutuhan khusus meskipun belum ada yang mendaftar.

b. Dengan kebijakan pihak sekolah menerima siswa yang ber IQ kurang, maka sekolah harusnya juga menyiapkan sistem dan regulasi khusus untuk peserta didik tersebut, karena peserta didik tersebut termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, kurang efektif rasanya jika hanya mengandalkan kesukarelaan dari tenaga pendidik tanpa ada sistem dan regulasi yang jelas.

2. SMA Negeri 1 Banjarnegara

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di SMA Negeri 1 Banjarnegara, penulis melakukan observasi dan wawancara kepada Bapak Dika Dermawan, S.Pd., M. Pd, selaku Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Wawancara dilakukan secara daring melalui aplikasi whatsapp. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa SMA Negeri 1 Banjarnegara sudah mengalokasikan kuota PPDB untuk jalur difabel dan olahraga sebesar 15 %. Sampai saat ini belum ada ABK yang bersekolah di SMA Negeri 1 Banjarnegara, hal ini tentu karena

(12)

orangtua ABK mempertimbangakan kesiapan SMA dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi.

Menurut penulis, implementasi pendidikan inklusi di sekolah ini dinilai belum matang.

Hal ini dapat dilihat dari perencanaan fasilitas untuk ABK yang sudah dilakukan yaitu hanya membuat jalur masuk kursi roda pada akses pintu masuk sekolah, belum dilakukan langkah konkret lainnya untuk membantu berbagai ABK dalam proses pembelajaran seperti penyediaan guru khusus untuk ABK dalam proses pembelajaran. Narasumber mengatakan bahwa jika ada siswa ABK, maka sekolah berupaya meningkatkan pengetahuan guru tentang konsep keberagaman peserta didik, konsep dasar pendidikan inklusif dan sistem layanan pembelajaran bagi peserta didik berkebutuhan khusus.

Pengalaman kepada guru tersebut dapat direalisasikan melalui kegiatan bimtek dan pelatihan pendidikan inklusi secara daring.

Saran yang dapat penulis sampaikan untuk implementasi pendidikan inklusi di SMA Negeri 1 Banjarnegara diantaranya adalah:

a. Kepala sekolah sebaiknya melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan daerah untuk penetapan regulasi penyelenggaraan pendidikan inklusi.

b. Kepala sekolah memberikan instruksi kepada Waka Sarpras untuk perencanaan dan penyediaan yang fasilitas serta sarana dan prasarana yang inklusif.

c. Alangkah baiknya jika pelatihan kepada guru terkait konsep dasar pendidikan inklusif dilaksanakan untuk guru tanpa menunggu adanya siswa ABK yang mendaftar sehingga sekolah dapat meningkatkan kepercayaan kepada orangtua ABK.

d. Melakukan studi banding kepada sekolah-sekolah yang telah sukses menyelenggarakan pendidikan inklusi.

3. SMA Negeri 3 Sukoharjo

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di SMA Negeri 3 Sukoharjo, penulis melakukan wawancara kepada Ibu Suryani S.Pd. Wawancara dilakukan secara daring melalui aplikasi Whatsapp. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis diketahui bahwa di SMA N 3 Sukoharjo hanya sekedar menyetujui apabila nantinya terdapat ABK yang diterima disekolah tersebut akan melaksanakan pendidikan inklusif sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Akan tetapi untuk saat ini belum ada ABK yang masuk ke SMA N 3 Sukoharjo, oleh karena itu disana tidak ada pendidikan inklusif dan bahkan untuk rencana baik dari pembelajaran, ppdb, kurikulum untuk menunjang pendidikan inklusif belum tersedia. Pada PPDB memang ABK diperbolehkan mendaftar tetapi untuk seleksi sama seperti calon peserta didik yang lainnya, tidak terdapat kuota khusus ataupun syarat khusus bagi ABK. Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi pendidikan inklusif di SMA N 3 Sukoharjo belum diwujudkan secara maksimal, dari pihak sekolah, tenaga pendidik dan fasilitas belum siap untuk melakukan pendidikan inklusif.

Bahkan untuk gambaran secara umum bagaimana kedepannya apabila terdapat anak ABK belum mampu mendeskripsikannya. Saran yang dapat disampaikan penulis diantaranya adalah:

a. Sebaiknya dari pihak sekolah membuat rencana pembelajaran inklusif, kurikulum dan fasilitas pendukung untuk melaksanakannya

b. Memberikan kuota tersendiri bagi ABK karena kemampuan dan keterampilannya tidak sama dengan anak normal lainnya

c. Mempersiapkan tenaga pendidik untuk pendidikan inklusif supaya lebih siap apabila kedepannya terdapat ABK

d. Mensosialisasikan pendidikan inklusif kepada masyarakat umum, karena banyak yang tidak mengetahui adanya pendidikan inklusif

(13)

4. SMA Negeri 4 Cirebon

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di SMA Negeri 4 Cirebon, penulis melakukan wawancara kepada Bapak Nurjali Salam, S.Pd., selaku Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Wawancara dilakukan secara daring melalui aplikasi whatsapp. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa semua SMA di Jawa Barat sudah diproyeksikan sebagai sekolah inklusi. Sejak tahun 2020, SMAN 4 Cirebon sudah mengalokasikan kuota PPDB sebesar 1% dari 360 siswa untuk ABK.

Namun, sampai saat ini belum ada siswa berkebutuhan khusus yang mendaftar dan belajar di SMA Negeri 4 Cirebon. Menurut penulis, implementasi pendidikan inklusi di sekolah ini dinilai belum matang. Hal ini dapat dilihat dari perencanaan fasilitas dan guru untuk ABK yang belum dimiliki oleh sekolah ini, sehingga siswa yang diperkenankan untuk mendaftar hanya ABK dengan keterbatasan fisik.

Saran yang dapat penulis sampaikan untuk implementasi pendidikan inklusi di SMA Negeri 4 Cirebon diantaranya adalah:

a. Kepala sekolah sebaiknya melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan daerah untuk penetapan regulasi penyelenggaraan pendidikan inklusi.

b. Mengadakan sosialisasi dan pelatihan kepada guru terkait dasar-dasar pendidikan inklusif.

c. Mulai mengembangkan fasilitas untuk siswa berkebutuhan khusus.

d. Mengadakan sosialisasi kepada masyarakat dengan menunjukkan bahwa SMAN 4 Cirebon merupakan sekolah yang ramah terhadap siswa berkebutuhan khusus dan tidak membandingkan keterbatasannya dengan siswa reguler.

5. MA Negeri 1 Padangsidimpuan

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di MAN 1 Padangsidimpuan, penulis melakukan observasi melalui web Madrasah dan mencari sumber lainnya bahwa di MAN 1 Padangsidimpuan belum diterapkannya pendidikan inklusi dikarenakan tidak ada siswa ABK. Namun disisi lain, setelah melakukan pengamatan sekiranya MAN 1 Padangsidimpuan kurang memungkinkan untuk menerapkan konsep pendidikan inklusi disebabkan fasilitas untuk ABK masih belum memadai. Di Sekolah umum yang ada di Kota Padangsidimpuan sendiri masih jarang menerapkan pendidikan inklusif, jika dilihat ABK sendiri mempunyai sekolah khusus yang tidak bergabung dengan siswa normal lainnya.

Setelah melakukan penelusuran, untuk hal itu maka penulis menarik kesimpulan saran yang sebaiknya perlu ditinjau dan sekiranya dapat diterapkan yaitu:

a. Mensosialisasikan pada masyarakat akan pentingnya penerapan pendidikan inklusif karena ABK perlu dan harus mendapatkan pendidikan demi ketercapaian tujuan pendidikan di Indonesia.

b. Seharusnya pihak sekolah dan orangtua bekerjasama dalam mengarahkan ABK untuk bisa beradaptasi agar bisa bergabung dengan siswa normal lainnya.

c. Sebaiknya perlu ditinjau kembali agar sekolah-sekolah umum dapat menerapkan konsep pendidikan inklusif supaya ABK dapat berkolaborasi dan belajar bersama seperti siswa normal lainnya.

6. MA Negeri 1 Sragen

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi pendidikan inklusif di MA Negeri 1 Sragen, penulis melakukan observasi dan wawancara kepada Bapak Khanifuddin, selaku Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum. Wawancara dilakukan secara daring melalui aplikasi whatsapp. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa MA Negeri 1 Sragen adalah sekolah reguler tanpa ada penerimaan siswa berstatus ABK. Di samping karena sarana dan prasarana yang kurang memungkinan untuk menfasilitasi siswa ABK, terdapat kendala berupa tenaga pendidik yang berkompeten

(14)

dalam bidang pendidikan inklusi, sehingga jika dipaksakan untuk menerima siswa ABK dikhawatirkan sekolah tidak mampu memberikan pelayanan yang maksimal untuk siswa ABK guna memperoleh ilmu seperti halnya siswa normal lainnya.

Saran dari penulis, terkait hasil wawancara sebaiknya perlu untuk ditinjau dan dapat diterapkan terkait:

a. Meninjau kembali untuk sekolah-sekolah umum untuk dapat menerapkan konsep pendidikan inklusi supaya ABK mendapatkan tempat yang sama dalam menuntut ilmu.

b. Perlu adanya penambahan tenaga pendidik untuk pendidikan inklusi dan sarana prasarananya untuk menjadikan sekolah umum siap menjadi sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi.

(15)

Daftar Pustaka

Amka. 2017. Implementasi Pendidikan Karakter Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler. Journal of Islamic Elementary School. Vol. 1 (1)pp, 1-12

Andriyani, Winda. 2017. Implementasi Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Taman Muda Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Skripsi. FKIP, Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Herawati, Nenden Ineu. 2016. Pendidikan Inklusif. EduHumaniora: Jurnal Pendidikan Dasar Kampus UPI Cibiru. Vol.2 No.1 ISSN: 2085-1243.

Irvan, M. & Jauhari, M. N., 2018. Implementasi Pendidikan Inklusif Sebagai Perubahan Paradigma Pendidikan di Indonesia. Buana Pendidikan: Jurnal FKIP Unipa Surabaya, Volume 14, pp. 175-187.

Irvan, M. (2017). Pengetahuan Mahasiswa Pg-Paud Unipa Surabaya Tentang Pendidikan Inklusif. Jurnal Buana Pendidikan, 13(24): 155-164.

Kemendiknas. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. h. 14-15.

Muchlas, S., & Hariyanto. (2013). Konsep dan model pendidikan karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rafikayati, A., Badiah, L.I., & Soedarmadji, B. (2018). Pengaruh Implementasi Layanan Bimbingan Pribadi Sosial Terhadap Penyesuaian Diri Anak Berkebutuhan Khusus(Abk) Di Sekolah Inklusif Sman 10 Surabaya. Buana Pendidikan: Jurnal FKIP Unipa Surabaya, 14(26): 151-157.

Sa’idah, Fatikhatus. 2015. “Implementasi Program Pendidikan Inklusif di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sumbersari 3 Malang”. Skripsi. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Santrock, J.W. (2003). Adolescence. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta:

Erlangga.

Sudarto, Z., 2016. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, 1(2527-6891), pp. 89- 90.

Suwartini, Sri. 2018. Implementasi pendidikan karakter inklusi pada anak berkebutuhan khusus. Prosiding Konferensi Ilmiah Dasar: Membumikan pendidikan karakter dengan pendekatan Inklusi. Volume 1,pp. 1 – 10.

(16)

Lampiran

1. Biodata Anggota Kelompok a. Anggota 1

Nama Rania Milenia

Jenis Kelamin Perempuan

Program Studi Pendidikan Fisika

NIM K2319068

Tempat dan Tanggal Lahir Tangerang, 27 Desember 1999

Email raniamilenia@student.uns.ac.id

Nomor HP 081398655109

b. Anggota 2

Nama Rozin Fata Ulwan

Jenis Kelamin Laki-laki

Program Studi Pendidikan Fisika

NIM K2319073

Tempat dan Tanggal Lahir Wonosobo, 27 November 2000 Email rozinfataulwan@studentt.uns.ac.id

Nomor HP 082226841762

c. Anggota 3

Nama Shinta Ulil Amri

Jenis Kelamin Perempuan

Program Studi Pendidikan Fisika

NIM K2319077

Tempat dan Tanggal Lahir Klaten, 5 Juni 2001

Email shinta_amri562001@student.uns.ac.id

Nomor HP 088802923939

d. Anggota 4

Nama Tiara Rizki Annisa

Jenis Kelamin Perempuan

Program Studi Pendidikan Fisika

(17)

NIM K2319082

Tempat dan Tanggal Lahir Cirebon, 09 Oktober 2001

Email tiarariz0910@student.uns.ac.id

Nomor HP 0895364608360

e. Anggota 5

Nama Hilma Suhailah Rizky Hasibuan

Jenis Kelamin Perempuan

Program Studi Pendidikan Fisika

NIM K2320108

Tempat dan Tanggal Lahir Sleman, 21 Juni 2001

Email suhailahhilma@student.uns.ac.id

Nomor HP 081396474617

f. Anggota 6

Nama Istiqomah

Jenis Kelamin Perempuan

Program Studi Pendidikan Fisika

NIM K2320110

Tempat dan Tanggal Lahir Sragen, 8 Agustus 1999

Email istiqomaa5@student.uns.ac.id

Nomor HP 0895364740356

2. Identitas sekolah a. Sekolah 1

Nama Sekolah SMA Sulthon Aulia Boarding School

Akreditasi A

NPSN 69830492

Jumlah Rombel 12

Kurikulum 2013

Status Sekolah Swasta

Alamat JL. Batu Tumbuh 1, Radar Selatan, Jaticempaka,

(18)

Pondok Gede, Bekasi 17411

Email humas@sulthonaulia.org

Telp (021) 84902927

Website www.sulthonaulia.org

b. Sekolah 2

Nama Sekolah SMA Negeri 1 Banjarnegara

Akreditasi A

NPSN 20303987

Jumlah Rombel 30

Kurikulum Kurikulum 2013

Status Sekolah Berstandar Nasional

Alamat Jalan Let. Jend. Soeprapto 93 A, Banjarnegara, Jawa Tengah 53415, Banjarnegara, Jawa Tengah,

Indonesia

Email info@sman1-bna.sch.id

Telp (0286) 591293

Website http://sman1-bna.sch.id/

c. Sekolah 3

Nama Sekolah SMA N 3 Sukoharjo

Akreditasi A

NPSN 20310421

Jumlah Rombel 40

Kurikulum Kurikulum 2013

Status Sekolah Berstandar Nasional

Alamat JL. Jend. Sudirman No. 197, Jombor, Kec.

Bendosari, Kab. Sukoharjo, Jawa Tengah. Kode pos 57521

Email sman3sukoharjo@gmail.com

Telp (0271) 593064

Website http://sman3sukoharjo.sch.id d. Sekolah 4

(19)

Nama Sekolah SMA Negeri 4 Cirebon

Akreditasi A

NPSN 20222367

Jumlah Rombel 32

Kurikulum Kurikulum 2013

Status Negeri

Alamat Jalan Perjuangan No.1, Karyamulya, Kesambi, Karyamulya, Kec. Kesambi, Kota Cirebon, Jawa Barat 45135

Email smanepati@gmail.com

Telp (0231) 483162

Website - (Sedang maintenance)

e. Sekolah 5

Nama Sekolah MAN 1 Padangsidimpuan

Akreditasi A

NPSN 10264757

Jumlah Rombel 36

Kurikulum Kurikulum 2013

Status Negeri

Alamat Jl. Sutan Soripada Mulia No. 31 C Padangsidimpuan

Email man1psp.ppdb20@gmail.com

Telp 0634420719

Website https://man1psp.sch.id/data-madrasah/

f. Sekolah 6

Nama Sekolah MA Negeri 1 Sragen

Akreditasi A

NPSN 20313215

Jumlah Rombel 40

Kurikulum Kurikulum 2013

(20)

Status Negeri

Alamat JL. IRIAN NO. 05, Nglorog, Kec. Sragen, Kab.

Sragen Prov. Jawa Tengah

Email mansragen@yahoo.co.id

Telp 0271 – 891185

Website http://man1sragen.sch.id/

3. Instrumen yang digunakan untuk pencarian data implementasi pendidikan inklusif di SMA a. Lembar Wawancara Implementasi Pendidikan Inklusif di SMA Sulthon Aulia

Boarding School

b. Lembar Wawancara Implementasi Pendidikan Inklusif di SMA Negeri 1 Banjarnegara

(21)

c. Lembar Wawancara Implementasi Pendidikan Inklusif di SMA Negeri 3 Sukoharjo

(22)

d. Lembar Wawancara Implementasi Pendidikan Inklusif di SMA Negeri 4 Cirebon

e. Web obsevasi Implementasi Pendidikan Inklusif di MAN 1 Padangsidimpuan https://man1psp.sch.id/data-madrasah/

f. Lembar Wawancara dan Web Observasi Implementasi Pendidikan Inklusif di MAN 1 Sragen

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan maka dapat dikatakan bahwa proses penggunaan barang milik daerah yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan

NOVI NURLATHIFAH (1000434) “the Effect of Tactical Games Model towards Students’ Ability and the Development of Students’ Cooperativeness in Playing Hockey

Program dan kegiatan perbaikan lingkungan perumahan dan permukiman serta penyediaan PSD untuk meningkatkan kualitas permukiman di Kabupaten Tapanuli Selatan masih sangat

Berdasarkan hasil penelitian “Pengaruh Dosis Pupuk Anorganiki NPK Mutiara (16:16:16) Dan Pupuk Organik Mashitam Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Bawang Merah

Jenis ini memiliki ukuran diameter 3-5 serta lebar volume tubuh 3-5 cm cangkang oval serta permukaan cangkang yang licin bewarna kuning keemasan (Gambar

Penulis mencoba memberikan implikasi dan rekomendasi kepada pihak penyelenggara pelatihan cake dan cookies di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Garut,

Peran Kepala Sekolah Dalam Pengembangan Manajemen Sekolah Sebagai Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan DI SD Plus Islam Excellent Bukittinggi. “Peran kepala sekolah

The cloud transmittance functions developed have been tested in relation to their predictive capability of global photosynthetically active radiation when they are combined with